Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Artikel ini akan mengupas tentang siapa-siapa yang wajib dinafkahi dalam Islam menurut
empat mazhab yang ma'ruf dan sedikit rahasia nafkah itu sendiri. Tema ini saya anggap
perlu sebab banyak sekali saudara-saudara kita yang tidak paham bahwa mereka masih
diwajibkan oleh syariat untuk menafkahi ayah-ibunya yang kekurangan atau menafkahi
anak-anaknya yang belum mampu mandiri walaupun mereka sudah dewasa.
1. Ta'rif Nafkah
Secara bahasa nafkah ( )النفقةdiambil dari kata infak ( )النفاقyang berarti pengeluaran,
penghabisan (consumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik.
Adapun menurut istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia daripada
sandang, pangan dan papan.
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama fikih tentang siapa-siapa saja
yang berhak untuk mendapatkan nafkah. Ini diukur berdasarkan seberapa dekat dan
jauhnya seorang yang menerima infak kepada si pemberi infak.
A. Mazhab Maliki
Infak hanya wajib untuk istri, kedua orang tua dan anak-anak saja. Mereka berdalilkan:
(Al Isra':23) ساًنا
َحْ ن ِإ
ِ " َو ِباْلَواِلَدْيdan kepada kedua orang tua berbuat baiklah" dan (Al
Luqman:16) حْبُهَما ِفي الّدْنَيا َمْعُروًفا ِ صا
َ " َوDan dampingilah keduanya di dunia dengan cara
yang ma'ruf".
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada seorang yang mengadu
kepada Rasulullah bahwa bapaknya meminta-minta hartanya:
سِبُكْم َفُكُلوهُ َهِنيًئا رواه أحمد
ْ ن َك
ْ لِدُكْم ِم
َ ل َأْو
َ ن َأْمَوا
ّ سِبُكْم َوِإ
ْ ن َك
ْ ب َما َأَكْلُتْم ِم
َ طَي
ْ ن َأ
ّإ
"Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah hasil upayamu sendiri dan harta-
harta anak-anakmu adalah hasil upaya kamu sendiri.
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Hindun: "Ambillah (harta
Abu Sofyan) sesuai dengan kebutuhanmu dan anak-anakmu." (Diriwayatkan oleh
Jama'ah kecuali Tirmidzi)
Sangat jelas mantuq dari dalil-dalil di atas secara zahir bahwa penerima wajib infak
kedua orang tua dan anak-anak saja.
B. Mazhab Syafi'i
Ada sedikit tambahan dalam mazhab Syafi'i bahwa tidak hanya istri, kedua orang tua dan
anak-anak yang wajib diberikan infaknya sebagaimana mazhab Maliki di atas, tetapi juga
segala ushul yang ada di atas kedua orang tua seperti kakek dan nenek serta segala furu'
yang ada di bawah anak-anak seperti cucu, cicit dan terus ke bawah. Mereka berdalilkan
sebagaimana dalil-dalil Malikiyah hanya saja mereka mentafsirkan ( )الوالدlebih luas
mencakup kedua orang tua dan segala ushul yang ada di atasnya dan ( )الولدmencakup
anak-anak dan segala furu' yang ada di bawahnya sebagaimana friman Allah SWT: (Al
Hajj: 77) ِمّلَة َأِبيُكْم ِإْبَراِهيَمdan (Al A'raf:31) يا بني آدم
C. Mazhab Hanafi
Objek wajib nafkah dalam mazhab Hanafi lebih luas lagi melebihi mazhab Maliki dan
Syafi'i dimana ada penambahan, yaitu kewajiban memberikan nafkah kepada kepada
saudara kandung ( )القرابة المحرمةseperti kakak dan adik kandung. Mereka berdalilkan
firman Allah SWT:
(An Nisa:36) ساًنا َوِبِذي اْلُقْرَبي
َحْ ن ِإ
ِ شْيًئا َوِبالَْواِلَدْي
َ شِرُكوا ِبِه
ْ ل َول ُت
َّ عُبُدوا ا
ْ َوا
"....dan sembahlah Allah jangan engkau menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua."
(Al Isra:26)حّقه
َ ت َذا اْلُقْرَبى
ِ َوآ
"...dan berikanlah hak saudara-saudaramu."
Akan tetapi ini hanya sebatas saudara kandung saja, adapun yang bukan saudara kandung
seperti paman, sepupu dan saudara jauh lainnya tidak termasuk objek infak sebab
Hanafiyah mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud:
( Al Baqarah:233) و على الوارث ذي الرحم المحرم مثل ذالك
"Dan atas ahli waris yang punya ikatan mahram adalah yang seperti itu pula."
D. Mazhab Hambali
Inilah mazhab yang paling luas dalam kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga,
dimana tidak hanya mencakup keluarga dekat saja sebagaimana mazhab-mazhab di atas
tetapi juga keluarga jauh yang masih ada pertalian warisan seperti paman, bibi, sepupu
dan dzawi al-arham yang masih punya nasab terhadap ushul seperti ayahnya ibu. Mazhab
Hambali tidak mensyaratkan adanya hubungan mahramiyah (saudara kandung) walaupun
berdalilkan dengan dalil yang sama sebagaimana mazhab Hanafi hanya saja Hambaliyah
tidak mengamalkan qiro'at Ibnu Mas'ud yang dijadikan hujjah oleh Hanafiyah. Allah
SWT berfirman:
(233 :البقرةAl Baqarah: 233) و على الوارث مثل ذالك
"Dan atas ahli waris (yang umum) mendapatkan yang seperti itu pula."
Dalam ayat di atas ahli waris berhak mendapatkan harta waris karena di dalam diri ahli
waris terdapat hubungan kekerabatan. Sebagaimana harta waris wajib diberikan kepada
keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan, begitu pula nafkah wajib diberikan
kepada keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan.
Dari perbandingan di atas dapat kita tarik benang merah bahwa para ulama fikih
bersepakat
untuk mewajibkan memberi nafkah kepada istri, kedua orang tua dan anak-anak dan
adapun di luar itu mereka berbeda pendapat.
Penulis condong mengikut kepada Hambaliyah karena lebih luas cakupannya dan sangat
sejalan dengan ruh Islam untuk menebarkan kebajikan sebanyak-banyaknya dan seluas-
luasnya selama orang yang memberikan nafkah mampu dan mempunyai kelebihan dalam
hartanya.
Bahkan hemat penulis di sana ada mazhab yang lebih luas lagi dari sekedar hanya
memberikan nafkah kepada sanak saudara saja, dimana mereka mewajibkan dirinya
untuk memberikan nafkah kepada semua orang yang membutuhkan walaupun harus
mengorbankan sanak keluarga dan diri sendiri. Itulah mazhabnya ulama-ulama tasawuf.
Mereka berdalilkan:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah
orang orang yang beruntung."
Ayat di atas menceritakan akhlak kaum Anshor yang lebih mengutamakan kaum
Muhajirin tetapi al-'ibrotu bi'umumi al-alfazh la bikhushushiha.
Dan ini adalah mazhab para sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in seperti Abu Bakar Siddiq
Radhiyallahu 'Anhu yang menafkahkan seluruh hartanya kepada jihad tentara Islam.
Setelah itu ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Bagaimana
akan nasib keluargamu jika kamu menyerahkan seluruh hartamu?" Abu Bakar menjawab:
"Mereka kuserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya SAW." Begitu juga Umar bin Khattab
Radhiyallahu 'Anhu menyerahkan separuh hartanya untuk jihad kaum Muslimin yang
sudah dapat dipastikan sikapnya itu akan mengguncangkan perekonomian keluarganya.
Begitu pula Utsman bin Affan Radhiyallahu 'Anhu, walaupun beliau banyak hartanya
namun sedikit banyak ini akan mengganggu anggaran belanja keluarganya yang besar.
Begitu pula Sayyidina Ali Karramallahu Wajahahu yang sering memberikan makan
kepada fakir miskin selain keluarganya walaupun keluarganya dalam keadaan lapar.
Radhiyallahu 'anhum.
Pembahasan nafkah lintas mazhab sangat luas sekali, terlebih makalah yang kecil ini
tidak memiliki ruang yang banyak untuk mencantumkan seluruh pendapat mazhab yang
empat. Akhirnya penulis memutuskan untuk mengambil pendapat mazhab kita saja, yaitu
mazhab Imam Syafi'i Radhiyallahu 'Anhu.
Serendah-rendahnya nafkah yang diwajibkan syariat adalah kepada diri sendiri karena
inilah pintu untuk dapat memberikan nafkah kepada orang lain. Jenis barang yang wajib
dinafkahkan tidak keluar dari tiga benda yaitu:
1. sandang
2. pangan dan
3. papan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
َ ن ِذي َقَراَبِت
ك ْعَ ضَل
َ ن َف
ْ ك َفِإ
َ يٌء َفِلِذي َقَراَبِت
ْ ش
َ ك
َ ن َأْهِل
ْعَ ضَل
َ ن َف
ْ ك َفِإ
َ لْهِل
َِ يٌء َف
ْ ش
َ ضَل
َ ن َف
ْ عَلْيَها َفِإ
َ ق
ْ صّد
َ ك َفَت
َسِ اْبَدْأ ِبَنْف
يٌء َفَهَكَذا َوَهَكَذا )رواه مسلم ْ ش َ
"Mulailah dari diri kamu sendiri, maka infaqkanlah dirimu, jika ada lebih maka untuk
keluargamu, jika ada lebih lagi maka untuk saudara-saudaramu, jika ada lebih lagi maka
untuk si ini, si ini dan seterusnya."
Nafkah anak diwajibkan kepada ayah (dan seluruh ushul diatasnya). Jika ayah tidak ada
maka ayahnya ayah (kakek) yang menggantikan dan begitulah seterusnya ke atas.
Maka kalau si anak sudah mampu bekerja, gugurlah kewajiban si ayah untuk
menafkahinya. Kalau si anak tidak mampu bekerja karena masih menuntut ilmu, harus
dilihat jenis ilmu yang dituntutnya. Kalau itu adalah ilmu primer buat dirinya seperti ilmu
akidah dan ibadah maka tetap wajib dinafkahi. Namun jika ilmu-ilmu umum yang
bersifat sekunder seperti ilmu kedokteran dan industri maka tidak wajib dinafkahi. Di sini
si ayah tinggal memilih apakah bersedia menafkahi anaknya itu atau memaksa anaknya
untuk meninggalkan studinya dan menyuruhnya bekerja.
Perlu diingat bahwasanya nafkah ushul kepada furu' ini bukan pemindahan kepemilikan
sebagaimana jual beli (tamliki) sehingga bisa dianggap hutang kepada si anak apabila si
ayah tidak berkenan menafkahi anaknya. Karena ini adalah bentuk pemindahan harta
secara tolong menolong saja (tamkini)
Sebagaimana diwajibkan nafkah kepada furu' atas ushul begitu pula diwajibkan nafkah
kepada ushul atas furu' seperti ayah, ibu, kakek, nenek dan seterusnya ke atas.
Syarat-syarat diwajibkannya nafkah kepada ushul atas furu':
1. Furu' memiliki harta berlebih di luar nafkah diri dan istrinya sendiri sehari dan
semalam.
2. Ushul harus fakir (tidak tercukupi kebutuhan primernya, baik dia mampu bekerja
ataupun tidak mampu).
Terlebih nafkah kepada ibu, ini harus betul-betul diperhatikan karena ibu kedudukannya
lebih tinggi dari kedudukan seorang ayah dan perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam untuk memperhatikan ibu itu tiga kali lipat lebih besar daripada perhatian kepada
ayah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad Radhiyallahu 'Anhu:
َ ل ُأّم
ك َ ن َقاْ ت ُثّم َمُ ك ُقْل
َ ل ُأّم َ ن َأَبّر َقاْ ل َمِّ ل ا
َ سو ُ ت َيا َر
ُ ل ُقْل
َ جّدِه َقا
َ ن ْعَ ن َأِبيِه
ْعَ ن ُمَعاِوَيَة ِ حِكيِم ْب
َ ن
ُ حّدَثَنا َبْهُز ْب
َ حّدَثَنا َيِزيُد
َ
َ لْقَر
ب َْ ب َفا
َ لْقَر َْ ك ُثّم ا
َ ل ُثّم َأَبا
َ ن َقا ْ ت ُثّم َمُ ل ُقْل
َ ك َقا
َ ل ُأّم
َ ن َقا
ْ ل ُثّم َم
ِّ ل ا
َ سو
ُ ت َيا َرُ ل ُقْلَ َقا
"Daripada kakek Muawiyah berkata kepada Rasulullah Saw: "Wahai Rasulullah, kepada
siapa aku harus berbuat baik? Rasul Saw menjawab: "Ibumu", kemudian bertanya
lagi:"Kemudian siapa lagi?" dan Rasul menjawab: "Ibumu dan begitu seterusnya sampai
yang ketiga kali setelah itu beliau bertanya:"Kemudian kepada siapa?" Barulah Rasul
Saw menjawab: "Bapakmu, kemudian yang terdekat dan kemudian yang terdekat."
Jika dua kondisi di bawah ini terjadi maka nafkah kepada ibu wajib hukumnya atas anak:
1. Sang ayah tidak mampu memberikan infak kepada sang ibu.
2. Sang ayah wafat.
Peringatan:
Orang tua tetap wajib menafkahi anak walaupun si anak bukan muslim dan begitu pula
sebaliknya. Kecuali jika si anak murtad (keluar dari Islam) maka terputuslah nafkahnya.
Dalil tentang ini adalah Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
سّلَم
َ عَلْيِه َو
َ ل
ُّ صّلى ا
َ ل ِّ ل ا
ِ سوُ عْهِد َر
َ ي ُمشِْرَكٌة ِفي َ ي ُأّمي َوِهّ عَلَ ت ْ ت َقِدَم
ْ عْنُهَما َقاَل
َ ل ُّ ي ا
َضِ ت َأِبي َبْكٍر َر ِ سَماَء ِبْن
ْ ن َأ
ْ َع
ك متفق عليه ِ صِلي ُأّم
ِ ل َنَعْم
َ ل ُأّمي َقا
ُصِ غَبٌة َأَفَأ
ِ ي َرا
َ ت َوِه
ُ سّلَم ُقْل
َ عَلْيِه َو
َ لُّ صّلى اَ ل ِّ ل اَ سو
ُ ت َر
ُ سَتْفَتْي
ْ َفا
Berikut urutan pihak-pihak yang wajib diberikan nafkah dari yang paling kuat
prioritasnya sampai yang paling lemah:
Para ulama telah berijma' wajib hukumnya bagi suami untuk memberikan nafkah kepada
istri dan dalilnya di antaranya adalah sebagai berikut: (An Nisa': 34) ساِء َ عَلى الّن
َ ن
َ ل َقّواُمو
ُ جا
َ الّر
ن َأْمَواِلِهْم
ْ ض َوِبَما َأْنَفُقوا ِم
ٍ عَلى َبْع
َ ضُهْم
َ ل َبْع
ُّ ل ا
َض
ّ ِبَما َف
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Al-Mauludu lahu ( )المولود لهpada ayat di atas adalah ayah dan al-walidat ( )الوالداتadalah
istri maka maknanya adalah atas si suami kewajiban nafkah terhadap para istri.
وأن تكون المرأة فوقه، والحسب، والمال، والطول، بالسن:ينبغي أن تكون المرأة دون الرجل بأربع وإل استحقرته
والورع والخلق وعلمة صدق الرادة في دوام النكاح الخلق، والدب، بالجمال:بأربع
Hendaknya istri itu lebih di bawah daripada suami dalam empat hal, kalau tidak, istri
akan meremehkan suami: usia, tinggi, harta dan status sosial (keturunan). Dan istri
harus berada di atas suami dalam 4 hal : kecantikan, adab, wara' dan akhlaknya. Dan
tanda-tanda kejujuran niat yang menginginkan agar nikahnya langgeng adalah
akhlak. (Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin)
1. Istri telah memberikan suami hak kuasa yang penuh atas dirinya, sehingga istri
tidak bisa menolak suami untuk menggaulinya secara syar'i. Jika istri menolak
untuk digauli, maka gugur kewajiban suami untuk memberikannya infak.
2. Mengikut suami untuk tinggal di tempat atau rumah yang dipilih oleh suami
selama tempat itu baik dan layak huni secara syar'i. Jika istri menolak untuk
tinggal bersama suami di tempat yang telah ditentukan suami maka istri dalam hal
ini sudah dianggap nusyuz.
Ini sangat berbeda dengan beberapa mazhab lain, menurut Syafi'iyah jatuh hukum wajib
nafkah itu tidak semata-mata karena akad saja, tetapi juga ada beberapa kriteria di
belakang akad yang harus dijalani oleh istri yang telah dinikahi.
Kadar Nafkah Terhadap Istri
Kadar nafkah terhadap istri itu ditentukan oleh kondisi kemampuan suami, sebab dalam
infak, kadar infak itu bergantung kepada si pemberi infak bukan kepada si penerima
infak. Dalilnya adalah firman Allah SWT: (Ath Thalaq: 7)
جَعُل الُّ َبْعَد
ْ سَي
َ سا ِإّل َما َآَتاَها
ً ل َنْف
ُّ ف ا
ُ ل َل ُيَكّل
ُّ ق ِمّما َآَتاُه ا
ْ عَلْيِه ِرْزُقُه َفْلُيْنِف
َ ن ُقِدَر
ْ سَعِتِه َوَم
َ ن
ْ سَعٍة ِم
َ ق ُذو
ْ ِلُيْنِف
سًرا ْ سٍر ُي
ْ عُ
"Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya dan
orang-orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberikan nafkah sesuai apa yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah nanti akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan"
Dalam ayat di atas yang dijadikan timbangan kadar infak adalah mengikut kepada 'uruf
dan kondisi suami bukan kepada kondisi istri. Maka banyak dan sedikitnya infak, begitu
pula baik dan buruknya kualitas infak bergantung kepada senang dan susahnya suami.
Pakaian misalkan, jika suami dari golongan orang berada, maka suami wajib
memakaikan pakaian yang baik kualitasnya berdasarkan pakaian orang-orang berada
yang berada di sekitarnya. Istri tidak boleh memakai pakaian yang buruk dan dianggap
tidak layak bagi kalangan orang berada yang ada di sekitarnya sebab ini akan
menurunkan wibawa dan kehormatan (hurmah) suami. Ini semua terpulang kepada
kebiasaan yang ada di tempat itu. Begitu pula bila suami dari golongan orang susah,
maka suami cukup memakaikan istri pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang susah
yang ada di sekitarnya. Istri tidak boleh menuntut lebih dari itu. Oleh karena itulah jika
suami menjadi susah atau miskin selama ia masih mampu dan berusaha untuk menafkahi
istrinya maka istri harus ridho dan sabar untuk terus mulazamah kepada suami. Inilah
yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
َأ
ن رواه أبو داود
ّ حوُه
ُ ن َوَل ُتَقّب
ّ ضِرُبوُه
ْ ن َوَل َت
َ سو
ُ ن ِمّما َتْكَت
ّ سوُه
ُ ن َواْك
َ ن ِمّما َتْأُكُلو
ّ طِعُموُه
ْ
"Berilah makan istri-istrimu dengan apa-apa yang kamu makan dan pakaiankanlah
mereka dengan apa-apa yang kamu pakai dan janganlah kamu memukul serta
merendahkan mereka (Riwayat Abu Daud)
Namun jika suami sudah tidak mampu lagi menafkahi istri atau memang tidak mau dan
tidak berusaha maka dalam kondisi seperti ini istri boleh meminta fasakh sebagaimana y
riwayat dari Sa'id ibnu Musayyab Radhiyallahu 'Anhu.:
Istri hanya boleh meminta fasakh jika suami tidak memenuhi nafkah primernya seperti
makanan, rumah dan pakaian. Adapun jika itu nafkah sekunder (tambahan) seperti lipstik,
bedak, perhiasan, lauk pauk dan sebagainya maka istri tidak boleh menunutut fasakh
sebab itu hanya pelengkap saja dimana istri masih bisa hidup tanpa itu semua.
Makhluk lain di sini adalah hewan atau tumbuhan yang berada di bawah naungan
tuannya seperti hewan ternak, hewan piaraan dan tanam-tanaman yang ditanam seperti
bunga yang ditanam di
pekarangan rumah.
Makhluk-makhluk di atas juga memiliki hak nafkah sebagaimana manusia. Ini tidak
dapat dianggap remeh bahkan pernah ada seorang wanita yang dikatakan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masuk neraka karena tidak mau memberi makan seekor
kucing. Tentang ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
ي َتَرَكْتَها َتْأُكُل
َ سْتَها َوَل ِه
َ حَب
َ سَقْتَها ِإْذ
َ طَعَمْتَها َو
ْ ي َأ
َ ت ِفيَها الّناَر َل ِه
ْ خَل
َ ت َفَد
ْ حّتى َماَت
َ جَنْتَها
َسَ ت اْمَرَأٌة ِفي ِهّرٍة
ْ عّذَب
ُ
ض رواه مسلم ِ ش اَْلْرِ شا َ خَ نْ ِم
"Seorang perempuan nanti akan diazab karena seekor kucing yang dikurungnya hingga
mati, tidak dikasihnya makan dan tidak pula dikasihnya minum dan tidak pula
dilepaskannya hingga kucing itu memakan serangga-serangga tanah. (Riwayat Muslim)
4. Penutup
Itulah fikih Islam, semuanya dibangun atas dasar keadilan, bahkan seekor kucingpun juga
turut mendapatkan rahmat dari keadilan syariat Islam. Bukan kucing saja sebenarnya,
tetapi juga hewan-hewan kecil yang ada di dalam air dan lubang-lubang kecilpun turut
mendapatkan rahmat. Terbukti di seluruh kitab-kitab fikih Islam hampir tidak dapat kita
jumpai kitab yang tidak mengupas habis tentang adab-adab istinja dimana di sana umat
Islam diperintahkan untuk tidak buang air di lubang-lubang dan air tergenang.
Subhanallah, betapa indahnya agama Islam. Segalanya harus diletakkan pada tempatnya
dan tidak boleh sembarangan. Umatnya di atur, namun tidak di….Umatnya disuruh untuk
bersungguh-sungguh menjalankan perintah, tetapi tidak dipaksa ketika tidak mampu.
Akhirnya penulis mengatakan bahwa memberi nafkah kepada sanak keluarga memang
sudah menjadi bagian dari fitrah manusia, yang kemudian dirapihkan dan didisiplinkan
oleh syariat. Memberi nafkah tidak hanya program harian individu-individu umat Islam,
melainkan juga seluruh manusia merasa berkewajiban untuk menafkahi keluarganya.
Hanya saja mungkin di umat lain, permasalahan nafkah ini tidak tidak dibahas secara
detail di "fikih-fikih" yang ada pada agama mereka. Alhamdulillah kita menjadi bagian
dari pada umat yang agamanya sempurna ini.
Akhirnya penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya sebab masih banyak kekurangan
dan kesalahan dalam makalah yang kecil ini dan kepada Allah Subhânahu wa Ta'ala
penulis mohon ampun. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Walhamdulillah wa Allahu
A'lam.
Note: Bagi siapapun yang berkenan untuk mengambil dan menyebarkan artikel ini maka saya sangat
berterima kasih, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi amal jariyah bagi kita semua.
Amin.