Vous êtes sur la page 1sur 62

Peter Kasenda

Soe Hok Gie


Sang Demonstran Yang Selalu Gelisah

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua


dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah
umur tua rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah
mereka yang mati muda.1

Itulah kata-kata filsuf Yunani yang disukai Soe Hok Gie. Ia merupakan salah satu
dari mereka yang menjadi arsitek gerakan-gerakan mahasiswa tahun 1966. Ia pula yang
mengotaki Long March Salemba-Rawamangun, aksi mahasiswa memenuhi jalan kota
Jakarta yang menuntut penurunan harga bensin dan karcis bis kota. Tulisan-tulisannya
yang kritis dan tajam yang tersebar di berbagai media massa mampu menggetarkan hati
nurani para pembaca yang berada dalam lingkaran kekuasaan maupun yang menjadi
korban perubahan politik.2 Kata-kata yang mengusik kalbu serta yang membayangi
langkahnya telah menjadi kenyataan. “Berbahagialah mereka yang mati muda”. Dalam
pendakiannya ke Gunung Semeru. Sang maut telah menjemputnya. Ia menjadi korban
sesak nafas akibat gas beracun yang mematikan tanpa bau, tanpa warna, dan lebih berat
daripada udara yang merembes dari permukaan gunung berapi itu. Ia tewas bersama
dengan anggota Mahasiswa Pencinta Alam UI lainnya, Davantari Lubis. Sehari sebelum
ia merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh tujuh.
Soe Hok Gie meninggal di tengah berbagai kegelisahan. Ia dihadapkan pada
kenyataan, bekas teman aktivis mahasiswanya telah melupakan perjuangan sebelumnya.
Sebagai tokoh mahasiswa Angkatan ’66 lebih memburu hal-hal yang berbau keduniawian
ketimbang memikirkan perubahan menuju masyarakat adil dan makmur. Mantan aktivis
mahasiswa yang duduk dalam DPR-GR justeru berbuat mendapatkan kredit murah mobil
mewah Holden.3 Bukankah sebelum ia berangkat ke gunung Semeru, Soe Hok Gie
bersama sejumlah teman rencana mengirimkan hadiah ‘Lebaran-Natal’ kepada tiga belas
perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR, berupa pemulas bibir, cermin, jarum dan
benang, di sertai surat terlampir yang berisi kumpulan tanda tangan dengan harapan agar
mereka lebih menarik di mata penguasa.4
Tokoh-tokoh mahasiswa 1966 yang kecewa dengan keduniawiaan. Mereka mulai
menyingkir dari dunia ramai bertani, berternak serta berladang di daerah pedesaan untuk
memenuhi panggilan hati nuraninya. Soe Hok Gie memilih ke gunung sebagai upaya
yang lebih baik untuk menenangkan ledakan-ledakan hati nuraninya. Ia tak kuasa
berjuang sendiri melawan anarki dan verlicht diktator yang telah berhasil menjinakkan

1
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: LP3ES, 1983, hal 125-126.
2
Ia menulis lebih dari seratus artikel dan sebagian tulisannya dikumpulkan dalam
Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995.
3
Sri Lestari dan Esti Adi, “Soe Hok Gie, Biodata Tentang Pribadi yang Paradoksal”,
dalam Soe Hok Gie, 1995, hal 247—261.
4
John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Jakarta,
Pustaka Utama Grafiti, 2001, hal 364-366.
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

rekan-rekannya sendiri.5 Intelektual muda ini berkeinginan mengadakan parlemen jalanan


seperti dahulu, tetapi kelihatannya aksi semacam itu akan semakin tidak populer atau
akan ditindas penguasa baru dengan alasan keamanan.6
Senjata yang digunakan gerakan mahasiswa dalam menumbangkan pemerintahan
Soekarno dan dilarang digunakan oleh pemerintahan yang menggantinya. Kenyataan ini
menjadi salah satu alasan Soe Hok Gie menulis. Tulisan-tulisan yang kelewat berani telah
mempersulit dirinya sendiri. Seperti sikap permusuhan, banyak teman yang mulai
meninggalkannya dan bahkan ia mendapat surat yang akan mengancam akan membuat
cacat seumur hidup. ‘Nasibmu telah ditentukan suatu ketika, kau sekarang mulai
dibuntuti. Saya nasehatkan jangan pergi sendirian atau malam hari. 7 Ibunda Soe Hok Gie
pun gelisah dan menyatakan bahwa tulisan-tulisan yang kritis hanya mencari musuh saja
dan tidak mendapatkan uang.
Mengapa Soe Hok Gie berbuat demikian? Mengenai maksud Soe Hok Gie
bersuara keras dalam tulisan-tulisannya. Sang kakak Arief Budiman menceritakan apa
yang dikatakan Soe Hok Gie tentang persoalan tersebut.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ni. Saya
menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang
sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saja dan makin sedikit orang yang
mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang
saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak
berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol?
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.8

Kesepian akan datang dan ia siap menerimanya. Soe Hok Gie menyadari bahwa
seorang intelektual yang bebas adalah pejuang yang selalu sendirian. Semual ia
membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang lebih bersih. Tetapi sesudah kekuasaan
baru ini berkuasa, orang seperti dirinya akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari
sistem kekuasaan. Soe Hok Gie tetap bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka,
sendirian, kesepian dan menderita. Mungkin yang tetap setia dengan cita-cita
kemanusiaan.

Bibit-bibit Pembentukan

Kakek buyut Soe Hok Gie, Soe Hoen Tjiang, adalah penduduk asli kepulauan
Hainan Cina Selatan. Ia tiba di Batavia sebagai seorang imigran yang miskin, mungkin
sekitar tahun 1870-an, yakni masa ketika ribuan orang Cina, hampir semuanya pria muda
yang belum menikah dan berasal dari propinsi-propinsi di salatan, mulai berimigran ke
Asia Tenggara untuk mencari pekerjaan dan peluang baru, kendati ia tidak membawa
apa-apa dari kelahirannya, kecuali pakaian yang ia kenakan, ia cukup beruntung bisa
menikahi anak perempuan dari keluarga peranakan yang terkemuka. Atas bantuan
5
Zaenal Arifin, “Soe Hok Gie dan Idhan Lubis yang Mati Muda”, Sinar Harapan, 27
November 1979.
6
A. Muis, “Soe Hok Gie Dalam Kenangan”, Sinar Harapan, 30 Desember 1970.
7
SN. Lestari dan Esti Adi, Soe Hok Gie, Op. cit.,
8
Arief Budiman, “Soe Hok Gie: Sebuah Renungan”, dalam Soe Hok Gie, 1983, hal 1-5.
2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mertuanya, Soe Hoen Tjiang yang tampak cerdas, berhasil menjadi pengusaha yang
sukses. Tetapi anak dan cucu-cucunya ternyata gagal untuk melipatgandakan keuntungan
tersebut, yang membeuktikan bahwa mereka tidak mampu mengelola kekayaan dan aset
yang mereka warisi.
Soe Hoen Tjiang kemudian berputra tujuh orang. Salah seorang adalah Soe Ho
Sei, yang sukses menjalankan sebuah perusahaan roti di Tanah Abang selama permulaan
abad ini. Tetapi bisnis roti bangkrut ketika hutang yang menumpuk tidak bisa dibayar. Ia
mempunyai anak empat orang dari Soe Lie Piet, ayah Soe Hoe Gie, anak pertama yang
lahir di Tanah Abang, Batavia pada 20 Februari 1904. Sebagai anak pertama ia sangat
disayangi kakeknya, Soe Hoen Tjiang, yang meminta agar anak itu dibesarkan
dirumahnya. Meskipun kakeknya totok, lingkungan sekitarnya adalah lingkungan
peranakan sehingga Soe Lie Piet tumbuh dengan menggunakan bahasa Melayu, dengan
dialek Cina-Melayu yang menjadi karakteristik komunitas peranakan Cina-Batavia.
Setelah menyelesaikan sekolah, Soe Lie Piet bekerja pada perusahaan roti orang
tuanya di Tanah Abang, Ia kemudian juga berusaha mandiri dengan berdagang batik.
Tetapi ia tidak bertahan lama dalam kedua pekerjaan tersebut rupanya menjadi penulis
merupakan panggilan hidupnya. Ia menjadi penulis yang cukup produktif dan redaktur
berbagai koran maupun majalah dalam bahsa Cina-Melayu. Pada awal 1933 Soe Lie Piet
dinikahkan dengan Nio Hoei An. Ibunda Soe Hok Gie, anak ketiga dari sepuluh
bersaudara. Ayahnya, Nio Boen Kie, lahir di daerah Fujian yang berbahasa Hokkien di
Cina selatan. Ayahnya datang ke Hindia Belanda seorang diri saat masih muda lalu
menjadi pedagang pakaian di Bandung. Meskipun ayahnya adalah Cina totok, Nio Hoei
An tumbuh di lingkungan peranakan yang didominasi oleh tradisi keluarga ibu, yang
menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari dan tidak mengenal bahasa Cina.9
Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942, sebagai anak keempat dari
lima bersaudara. Ia dibesarkan di Kebun Jeruk, kota merupakan daerah komunitas Cina
yang signifikan. Di seberang rumahnya, gubuk-gubuk bambu yang berderet sepanjang
jalan. Gubuk-gubuk ini merupakan rumah semi-permanen sejumlah keluarga yang sedang
berjuang keras untuk bertahan hidup. Soe Hok Gie dan kakak kandungnya, Soe Hok Djin
(Arief Budiman) memperoleh teman-teman bermain dari kalangan anak-anak tetangga
yang miskin. Orang tuanya yang hidup sederhana mampu memberi tempat bernaung yang
layak dan anak-anak selalu mendapatkan makanan dan pakaian yang cukup. Akibatnya,
selama masa kanak-kanak mereka, dua saudara itu senantiasa menyadari kekontrasan
antara keberuntungan orang tua mereka dengan perjuangan yang tidada henti yang
dilakukan oleh tetangga-tetangga mereka yang miskin. Tumbuhnya kesadaran tentang
realitas yang keras di sekitar mereka merupakan salah satu pengalaman penting di masa
kanak-kanak Soe Hok Djin dan Soe Hok Gie.10
Dalam usia 5 tahun, Soe Hok Gie masuk sekolah ‘Hsin Hwa’ di daerah kota, yang
diselenggarakan oleh komunitas Cina. Ketika sekolah-sekolah negeri dibuka, setelah
pengakuan kedaulatan, orang tua Soe Hok Gie yang tidak mempunyai dorongan kultural
untuk mendorong anak-anak agar menempuh pendidikan yang berbahasa Cina. Nio Hoei
An (Maria Sugiri) mengirim anaknya ke sekolah negeri. Di lihat dari daerah asal para
siswa, sebagian dari mereka dan hampir semua gurunya berlatar belakang Cina-
Indonesia. Di sekolah negeri, Soe Hok Gie dan abangnya, Soe Hok Djin, yang usianya

9
John Maxwell, hal. 12-22.
10
Ibid., hal. 22-26.
3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dua lebih tua, diterima di kelas satu. Keduanya murid yang cerdas dan prestasi mereka
terbilang baik di sekolah dasar. Hal yang istimewa adalah bahwa kedua anak itu belajar
membaca sejak dini dan mereka segera menjadi sangat antusias mencari buku dimana
saja mereka mendapatkannya. Mereka menjadi pengunjung rutin perpustakaan-
perpustakaan umum dan taman-taman bacaan kecil yang bermunculan di toko-toko dan
sudut-sudut jalan di Jakarta. Mereka mulai dengan membaca kisah-kisah petualangan,
khususnya cerita silat dan karya-karya penulis Barat yang diterjemahkan ke dalam edisi
bahasa Indonesia. Tetapi bisa dipastikan Soe Hok Gie mulai membaca karya sastra
Indonesia yang ditulis Rivai Apin, Idrus, Hamka, Chairil Anwar, Asrul Sani, Nur Sutan
Iskandar dan Pramoedya Ananta Toer.11
Ia merasa diperlakuan tidak adil dengan diturunkan nilai ulangan Ilmu Bumi
dengan seenaknya. Ia menulis, ‘dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras
sebagai batu. Kertasnya aku buang biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam
ulangan’.12 Bagaimana ia tidak menaruh dendam kalau nilai yang seharusnya dipotong 3
jadi tinggal 5 padahal ia terhitung sebagai seorang yang nomor tiga paling pandai di
dalam kelasnya dan ia yakin bahwa kalau dalam mata pelajaran lain ada orang lain yang
lebih pandai daripadanya, maka dalam ilmu Bumi dia merasa bahwa dialah yang
terpandai.
Dan masih beberapa kali lagi dia menggoreskan kata-katanya tentang gurunya di
Strada. Bila melihat kawannya diperlakukan secara semena-mena oleh gurunya maka di
dalam hati dia selalu bergumam, ‘kalau saya, saya lawan dia’. Mengenai guru-gurunya di
Strada ia menggoreskan kesimpulan tandas: Memang guru-guru sekolah Katolik
semuanya diktator’.13 Namun mungkin, karena badannya yang kecil dan tak pernah besar
meskipun dia sudah besar dan dewasa kata-kata itu hanya ditelannya dan yang ditelannya
adalah dendam yang dia sendiri buat keras, menjadi keras dan keras membatu. Apakah
karena penolakannya untuk begitu saja mematuhi disiplin ketat yang dikarenakan oleh
para bruder Katolik yang mengajar di sekolah Strada, yang jelas prestasinya di sekolah
mulai merosot menjelang akhir kelas dua di sekolah ini nilainya sangat jelek dalam
beberapa mata pelajaran sehingga sekolah memaksanya untuk mengulang. Ibunya
mencoba membujuk untuk menerima keputusan itu, tetapi Soe Hok Gie sangat berang
dan mengatakan bahwa ia telah diperlakukan tidak adil dan beberapa guru mendendam
kepadanya. Daripada mengulang di Strada, ia memilih bersekolah di jalan Pembangunan
III yang mengizinkan ia masuk ke kelas tiga SMP.
Sebenarnya di sekolah Strada, Soe Hok Gie bersahabat dengan salah seorang
teman sekelasnya, yaitu Effendi, seorang anak Jawa yang sama-sama berminat pada film
dan sastra. Kedua anak ini menjadi pengunjung rutin di perpustakaan yang berdempetan
dengan Museum Gajah di jalan Medeka dan Soe Hok Gie membaca literatur Indonesia
dan mulai berminat serius pada sejarah. Ia membaca karya Pramoedya yang berkisah
tentang kehidupan orang-orang Indonesia biasa tersapu oleh kekuatan peristiwa-peristiwa
dan lingkungan yang tak bisa mereka kendalikan. Literatur Indonesia semacam inilah
yang tampaknya mmperdalam rasa ketertarikan Soe Hok Gie pada sejarah Indonesia,
khususnya situasi sekitar revolusi 1945.14

11
Ibid., hal. 26-32.
12
Catatan Harian SHG, 4 Maret 1957.
13
Catatan Harian SHG, 14 Februari 1958.
14
John Maxwell, Op. cit., hal. 32-39.
4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selama beberapa waktu ia merasa kesulitan sikap negatifnya terhadap sekolah


yang terbentuk di Strada. Kembali ke sekolah baginya seperti ‘kembali masuk penjara’
dengan pekerjaan rumah yang bertumpuk-tumpuk sehingga membuat dirinya menjadi
bosan. Selama beberapa bulan Soe Hok Gie terus mengeluhkan ketidakadilan dan guru-
gurunya yang tidak kompeten serta suka memaksakan kehendak. Sulit bagi Soe Hok Gie
mengendalikan sifatnya yang suka menuruti kata hati dan bukanlah sifatnya untuk
menerima pendapat gurunya begitu saja jika ia yakin bahwa pendapat mereka itu salah.
Hal ini sering menimbulkan masalah. Dalam catatan hariannya Soe Hok Gie menjelaskan
pertikaiannya dengan seorang guru dalam mata-pelajaran sastra Indonesia.
Sang guru menyatakan Chairil Anwar adalah pengarang ‘Pulanglah dia Si Anak
Hilang’. Tetapi Soe Hok Gie membantah dengan menjelaskan bahwa Chairil Anwar
hanya menerjemahkan. Kemudian sang Guru menyatakan bahwa Andre Gide tak dikenal
di Indonesia, sebaliknya Soe Hok Gie menjelaskan bahwa sikap anak SMA tentu
mengenalnya. Mungkin merasa terpojok. Sang guru pun memakinya sebagai tukang baca
dan mempersilakan muridnya yang membantah dan dianggap tak percaya sama sang guru
untuk keluar. Soe Hok Gie tidak takut pada ancaman sang guru.

Aku sebetulnya tak mengenggap sebagai perang, hanya bertukar pikiran. Entah
pendapatnya … Sekarang hendak menentukan aktif atau pasifnya kalau angkaku ditahan
(model guru yang tak tahan kritik) aku akan melakukan koreksi-habis-habisan. Sedikit
kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikan maksudku. Itu 100 persen
tergantung dari dia. Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru
pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Aku rasa dalam hal sastra aku labih pandai. Guru
model gituan, yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa
dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.15

Meskipun sudah mengambil sikap demikian, harga dirinya terluka oleh kejadian
pada tahun-tahun sebelumnya. Perhatiannya pada hasil ujian tetap merupakan suatu yang
konsisten karena ia sadar benar arti penting keberhasilan di sekolah. Meskipun ada
gangguan dari teman-teman sekelasnya, tetapi ia telah memutuskan untuk belajar sekeras
mungkin. Pada tanggal 7 Juli 1958, Soe Hok Gie dinyatakan lulus.
Pada paruh kedua tahun 1958, Soe HoK Gie bersekolah di Kanisius, sebuah
lembaga pendidikan tua yang kukuh, yang memiliki reputasi membanggakan. Lebih dari
sepertiga murid Kanisius adalah keturunan Cina-Indonesia dan hanya separuh yang
beragama Katolik. Mereka yang bersekolah disana dipungut biaya yang cukup tinggi,
tetapi disediakan tempat bagi sejumlah anak-anak yang kurang mampu, khusus mereka
dengan nilai akademik yang baik dengan biaya lebih murah. Berkat ketentuan inilah Soe
bersaudara dapat diterima masuk. Soe Hok Gie masuk jurusan Ilmu Sastra dan kakaknya,
Hok Djin, yang berhasil menamatkan SMP-nya di sekolah itu memilih jurusan Ilmu
Alam. Semasa di SMA, minat Soe Hok Gie terhadap sejarah mendapat pupuk dengan
dorongan Pak Ata yang mendukung minatnya terhadap pelajaran ini. Saat SMA Soe Hok
Gie tampak sudah sedikit lebih mampu mengendalikan sifatnya yang suka membantah.
Namun secara pribadi ia sangat kritis terhadap guru-gurunya, khususnya mereka yang
menurutnya kurang pandai dan kurang bertanggung jawab. Di Kanisius, Soe Hok Gie
membuktikan dirinya sebagai murid yang serius dan pitar. Ia berusaha keras dan akhirnya

15
Catatan Harian SHG, 8 Februari 1958.
5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lulus pada bulan Agustus 1961 dengan nilai sangat tinggi untuk semua mata pelajaran
dan menjadi murid terpandai pada tahun itu.16
Di SMA kepedulian Soe Hok Gie terhadap dunia sekitarnya mulai terwujud
dalam ekspresi politik. Dalam catatan harian tertanggal 10 Desember 1959, Soe Hok Gie
menceritakan pengalaman yang mencekam. Dia bertemu dengan seorang yang dikira dari
tampangnya, bukanlah poengemis. Tapi menutupi kelaparannya dengan kulit mangga. Ia
tidak tahan melihat kejadian itu dan merogoh uangnya yang tinggal dua setengah rupiah,
kejadian itu berlangsung sekitar 2 km dari Istana yang menurutnya, ‘paduka kita mungkin
lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik.’ Memang begitulah
rahasia umum warga kota Jakarta bahwa istana adalah pusat pesta dan kemewahan di
mana perjamuan pesta tak mengenal batas siang dan malam.
Kejadian itu mengantarkan siswa SMA kanisus itu pada suatu kesadaran baru
yang membuat hatinya bangsa. Ia merasa generasinya terpanggil untuk memberantas
peristiwa yang mengacau dan menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-
koruptor tua itu seperti Iskak, Djodi, Dahjar dan Ibnu Sutowo. Tugas dari generasi Soe
Hok Gie adalah ‘generasi yang akan memakmurkan Indonesia’. Kenyataan adanya
kelaparan, menurut Soe Hok Gie, merupakan tanggung jawab generasi tua yang berkuasa
ketika itu yang merupakan pejuang kemerdekaan yang gigih seperti Soekarno, Hatta,
Sjahrir, Ali dan sebagaiya. Mereka dianggap telah mengkhianati apa yang diperjuangkan
dan bertanggung jawab atas harga yang membumbung, gerombolan yang meneror,
tentara yang juga meneror dan semuanya yang menjadi teror. Soe Hok Gie bukan saja
meminta pertanggungjawaban malahan menjatuhkan vonis agar ‘Soekarno, Ali, Iskak,
Lie Kiat Teng, Ong Eng Die. Semuanya pemimpin yang harus ditembak di lapangan
tembak.17
Inilah proklamasi pertama Soe Hok Gie sebelum ia terjun dalam kehidupan yang
sebenarnya. Ini bukan sekedar proklamasi tetapi sudah mengarah pada penghayatan
karena yang digantung adalah bapak bangsa dari suatu negara hasil proklamasi. Pengalam
luar biasa itu telah menimbulkan perasaan iba pribadi menjadi suatu iba politik yang
menyebabkan ia mengutuk kebijakan politik kemewahan dan kesewenangan. Disamping
itu timbulnya suatu sense of mission bangkitnya dendam kesumat generasional dan
akhirnya menimbulkan suatu sense of comitmen kepada orang yang terbuang ‘aku
besertamu orang-orang malang’.18
Apakah keluarga membentuk dan mempengaruhi pandangan politik Soe Hok
Gie? Tentu saja tidak. Orang tuanya tidak memberi pengaruh langsung padanya karena
kedua orang tuanya tidak aktif dalam dunia politik dan tidak secara khusus tertarik pada
isu-isu politik. Persoalan politik tentu saja bukan topik diskusi utama dalam rumah
tangga Soe saat Soe Hok Gie masih anak-anak. Soe Lie Piet tidak kelihatan tertarik pada
persoalan politik di masa lalu dan kini. Ketika persepsi Hok Gie tentang politik mulai
menajam pada dasawarsa 1950-an, ayahnya terserap sepenuhnya ke dalam mistisme dan
berbagai ajaran filsafat metafisika Nio Hoei An yang memiliki pendidikan formal
terbatas dan pemahamannya yang sangat sederhana terhadap politik senang mengobrol
dengan anaknya, Soe Hok Gie tentang beberapa isu politik penting, sementara Hok Gie
mendengarkan pendapat ibunya dengan hormat.
16
John Maxwell, Op. cit., hal. 39-44.
17
Catatan Harian SHG, 10 Desember 1959.
18
Daniel Dhakidae, “Soe Hok Gie: Sang Demontran”, dalam Soe Hok Gie, 1983, hal. 6-
76.
6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ketika di SMP Hok Gie telah menjadi pembaca koran yang rajin. Di rumahnya
selalu ada Keng Po, surat kabar yang berhati-hati dalam pemberitaannya, tetapi populer
di kalangan Cina-Indonesia. Tetapi kapanpun ia bisa mendapatkannya, Hok Gie selalu
tidak sabar untuk membaca halaman koran yang berisi pandangan kritis yang lebih
terbuka terhadap pemerintah dan kebijakannya. Dua koran yang secara khusus ia cari
adalah Indonesia Raya dan Pedoman. Saat berusia tiga belas tahun ia berusaha
menghindari kondektur yang menarik ongkos trem kota yang ia naiki menuju sekolahnya
setiap hari sehingga ia bisa menggunakan uangnya untuk membeli koran-koran tersebut.19
Kalau di SMP, goresan penanya berkisar tentang binatang peliharaannya,
keluarga dan sekolah. Ketika ia menjadi siswa Kanisius, persoalan-persoalan mulai
digores dalam catatan hariannya. Ketika Presiden Soekaro secara resmi membuka jurusan
Komunikasi Massa di Universitas Indonesia pada akhir 1959, Soe Hok Gie menganggap
jurusan tadi sia-sia karena kemerdekaan pers tidak ada.

Harian Rakyat diberangus karena berani-berani memuat tulisan yang tidak


menguntungkan pemerintah. Saya bukan seorang komunis, tetapi pemberangusan Harian
Rakyat adalah pelanggaran terhadap demokrasi. Dan kita rakyat sedang berada di bawah
kediktatoran, kita merayakan hal-hal akan tetapi kira merobek-robek hak-hak tadi. Kita
memuji demokrasi tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat
yang merugikan pemerintah.20

Enam bulan kemudian, ketika hukuman mati dujatuhkan kepada tiga pelaku yang
dituduh melakukan upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Jakarta pada 30
Desember 1957, Soe Hok Gie mencatat kekecewaaannya terhadap penolakan Presiden
Soekarno untuk mengabulkan permohonan grasi mereka. Ia menganggap bahwa tindakan
mereka merupakan bentuk tanggung jawab ketika revolusi dikhianati oleh para pemimpin
dan cendikiawan yang berdiam diri melihat kenyataan yang terjadi. Ia mengakui bahwa
sepatutnya ketiga pelaku menerima hukuman tetapi bukan hukuman mati. Ia menilai
perbuatan Presiden Soekarno itu merupakan ‘tidak lebih dari moral tukang beca.’21
Bacaannya yang luas, khususnya tentang sejarah Indonesia modern tentu saja
mengarahkan atau memperkaya pemikiran Soe Hok Gie tentang arah politik Indonesia
sejak kemerdekaan.Tulisan Sutan Sjahrir yang berjudul “Renungan Indonesia” yang
dibaca di SMP mempunyai pengaruh pada dirinya. Ia kemudian secara perlahan tapi pasti
mulai berpihak ke PSI dan koran Keng Po, Indonesia Raya dan Pedoman yang mengarah
pada PSI tentu saja turut berperan. Ia benar-benar gelisah dengan perubahan politik yang
pesat sepanjang dasa warsa 1950-an setelah jatuhnya demokrasi parlementer.22
Masalah demokrasi, hak-hak individu dan kebebasan mempengaruhi dirinya. Ia
mulai khawatir menyaksikan bagaimana sistem demokrasi dihancurkan secara sistematis
dan kebebasan peri dan berbicara terkikis. Erat kaitannya dengan kekuatan ini adalah
sikap antipatinya, yang ia ekspresikan dengan kuat terhadap bentuk pemerintahan
totaliter, khususnya komunisme.

19
John Maxwell, Op. cit., hal. 44-51.
20
Catatan Harian SHG, 12 desember 1959.
21
Catatan Harian SHG, 12 Juni 1960.
22
John Maxwell, Op. cit.,
7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Aku Cuma berpikir. Betapa malangnya nasib banagsa yang punya satu alternatif
totaliterisme. Moga-moga, terutama bagi Indonesia, cuma punya satu pilihan
demokrasi.23

Pandangan diatas tentu saja memperoleh pengaruh dari bacaannya yang luas telah
apa yang terjadi di belahan dunia lainnya, koran-koran yang mencurigai komunisme dan
tidak bisa dinaifkan lima tahun ia berseklah di sekolah Katolik yang dikenal padangan
yang memusuhi Marxisme dan deskripsinya mengenai kengerian dari kehidupan negara
komunisme.

Lahirnya Seorang aktivis Politik

Soe Hok Gie dan kakaknya berhasil menyelesaikan sekolah menengah atas
mereka pada Agustus 1961 dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke
universitas. Bulan September 1961 dia mengikuti tes masuk universitas. Hok Djin
memasuki Fakultas Psikologi UI, tetapi Soe Hok Gie ditolak disana. Bisa jadi karena
Fakultas Psikologi dipilihnya sebagai cadangan. Soe Hok Gie diterima di Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Fakultas Sastra UI jurusan Sejarah. Ketika Sok Hok
Gie terdaftar sebagai mahasiswa pada kuartal terakhir 1961, Fakultas Sastra adalah salah
satu dari fakultas yang terkecil dan kurang bergengsi di UI. Akan tetapi FSUI memiliki
esprit de corps tertentu yang mudah terlihat oleh mahasiswa yang sedikit menciptakan
kedekatan satu sama lain karena setiap orang segera dikenal oleh hampir semua anggota
fakultas.24
Soe Hok Gie mengawali perjalannya sebagai mahasiswa dengan mengikuti
perpeloncoan-- Periode Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram), yang sudah menjadi tradisi
dan bagian wajib dari program universitas menjelang akhir 1950-an. Sama seperti
mahasiswa-mahasiswa baru lainnya, Soe Hok Gie mendapatkan kenalan dan termasuk
mahasiswa senior, Zakse (Zainal Abidin) dan Parsudi Suparlan. Ia menilai anda unsur
positif dari perploncoan ‘setidak-tidaknya kita dicoba untuk menghadapi situasi nyata
atas beban sendiri’. Perploncoan ini harus dialami oleh semua mahasiswa, khususnya
orang-orang borjuis atau mereka yang tak dewasa dalam berpikir dan yang mempunyai
backing, dalam hal ini orang tuanya.25
Jurusan Sejarah FSUI baru terbentuk pada akhir dasawarsa 1950-an. Marwah
Djoened Poesponegoro yang memimpin jurusan yang baru ini dan hanya memiliki sedikit
ahli sejarah yang mampu memberikan mata kuliah dan jumlah kemahasiswaannya yang
masih sedikit. Mereka harus mengambil mata kuliah sejarah tiap tahun. Sejarah kuno dan
Eopa yang diajarkan, tetapi penekannya tetap pada sejarah Indonesia. Meskipun dengan
segala keterbatasan, pada tahun pertama di FSUI sangat antusias menempuh studinya.
Sebagai mahasiswa yang serius dan tekun, Soe berhasrat sekali memuaskan minatnya dan
bermaksud mencari tantangan sendiri melalui bacaannya yang luas dan dengan cara
belajar meandiri.26

23
Catatan Harian SHG, 9 Agustus 1960.
24
John Maxwell, Op. cit., hal. 89-94.
25
Catatan Harian SHG, 20 Oktober1961.
26
John Maxwell, Op. cit.,
8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sejarah, bagi Soe Hok Gie, bukan Cuma pemahamannya atas rangkaian peristiwa
dan gejala yang hadir secara kebetulan. Tapi lebih merupakan pergumulan kepentingan
umat manusia yang tak pernah habis. Ada yang berkuasa dan dikuasai. Ada yang kalah,
ada yang dimenangkan. Yang tertindas dan yang menindas. Dalam salah satu catatannya
Hok Gie menulis

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada ?
Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak ada ? Seolah-olah bila kita
membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap
ruang dan waktu kita hidup diatasnya ya betapa tragisnya. ’Hidup adalah penderitaan’,
kata Budha. Dan manusia tidak bisa bebas daripadanya. Kita akan hidup dan kita
menerima ini sebagai suatu keharusan. Tapi bagiku perjuangan harus tetap ada.27

Setelah Presiden Soekarno memperkenalkan demokrasi Terpimpin beserta


ideologinya Manipol-USDDEK dunia kampus mulai merasakan. Para pengajar di
universitas kini sadar bahwa promosi pangkat mereka tergantung pada loyalitas aktif
mereka kepada orang-orang yang disukai presiden dan kepada ideologi negara. Mereka
yang dipandang tidak sejalan dengan rezim ini melalui pernyataan-pernyataan yang kritis
atau bertentangan terancam dicap ‘anti Manipol’ atau ‘kontra revolusi’. Mereka bias
dipecat.
Pada pidato pengukuhan sebagai guru besar, 27 Januari 1962, Sutjipto
Wirjosuparto, dekan FSUI yang baru ditunjuk, menyerang yang sangat keras kepada
sejumlah akademis, khususnya G. J. Resink, profesor hukum internasioal dari Fakultas
Hukum UI. Resink telah menolak mitos yang diyakini secara luas bahwa wilayah
Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. Dalam pidato pengukuhan itu Sutjipto
mempermasalahkan teori Resink dan berusaha menunjukkan kelemahannya dengan
berbagai bukti sejarah. Dalam catatan hariannya Soe Hok Gie menyatakan bahwa
Sutjipto mulai keterlaluan dengan mempertentangkan dua pendapat yang berbeda dengan
membawa ke arena politik.

Tetapi caranya ia (Sutjipto) berorientasi sangat naïf dan dekadensi ilmiah. Ia berkata
bahwa mereka tidak manipol Usdek, tidak sesuai dengan tafsiran Pancasila dan
sebagainya. Ini adalah soal politik dan dalam situasi ini tidak pada tempatnya menuduh
seseorang ’A-USDEK’. USDEK merupakan trauma dan siapa yang dicap non-USDEK
maka berbahayalah satuannya. Dan ia berkata ‘Dengan perkataan lain Resink berkata
tidak benar bahwa penjajahan 350 tahun, Paduka yang mulia RI Soekarno telah mengakui
itu dalam anu, halaman anu dan lain-lain’. Entah berapa puluh kali ia mengutip, dan
menyertai Soekarno sebagai dalih penguatan atas teorinya. Soekarno adalah manusia
kepalang tanggung dan Sutjipto memperlakukannya sebagai nabi, bahkan sumber
kebenaran. Nada ini ada pada penulis/sarjana penjilat.28

Perkenalannya dengan Zakse (Zainal Abidin), tokoh mahasiswa Gemsos


mengantarkan Soe Hok Gie terlibat dalam kegiatan mahasiswa sosialis. Ia segera tertarik
dengan kalangan mahasiswa sosialis ketika mengetahui Zakse adalah penentang
Soekarno yang teguh dan berprinsip. Ia senang mendapatkan teman di kampus yang bisa

27
Catatan Harian SHG, 27 Januari 1962.
28
Catatan Harian SHG, 16 Desember 1961.
9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sama-sama mengecam apa yang dianggapnya sebagai kemunafikan dan kepicikan dari
ideologi Demokrasi Terpimpin. Soe Hok Gie tidak hanya diperkenalkan mahasiswa
Gemsos, tetapi aktivis-aktivis PSI yang lebih tua, yang berminat mencari dukungan dari
kalangan generasi muda.29
Mendekati tahun 1963, ketika Soe Hok Gie memasuki tahun kedua di FSUI, ia
mulai mencari cara untuk mendorong rekan-rekan mahasiswanya agar mengambil sikap
yang lebih positif dan lebih kritis terhadap dunia disekitar mereka. Tampak bagi Soe,
bahwa dua elemen Demokrasi Terpimpin Soekarno, yaitu militer dan PKI pada suatu saat
akan saling berhadapan untuk mendapatkan kekuasaan. Kecenderungan semakin kuatnya
otoritarianisme dalam politik Indonesia sejalan dengan kegagalan pemerintah untuk
mengatasi perekenomian Indonesia yang merosot tajam. Harga-harga bahan pokok dan
biaya hidup meningkat tajam dan ketika rupaiah benar-benar terpuruk. Soe mulai
mempertanyakan peran apa yang harus dilakukan para intelektual yang independen di
dalam satuan ini.

Dalam keadaan inilah seharusnya kaum intelegensia bertindak, berbuat sesuatu. Aku
sekali-kali tidak bermaksud menyuruh mereka berbuat konyol. Bidang seorang sarjana
adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus
masyarakat kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tentang predikat kesarjanaan itu (atau
walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya
ialah bertindak demi tanggung jawab sosial bila keadaan telah memaksa. Kelompok
intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan
kemanusiannya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge school (Scholl)
berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya kebenaran untuk berkata
‘tidak’. Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin gang-gang
bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal Mereka
telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik)
penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.
Aku kira kita di Indonesia sudah sampai saatnya untuk berkata ‘tidak’ kepada Soekarno.
Memang Soekarno bukanlah Hitler, bahkan dia adalah person yang begitu tragis dan
harus dikasihani. Tetapi orang sekelillingnya, baik militer maupun sipil, adalah bajingan-
bajingan yang tidak lebih berharga dari anjing kudis.30

Sebenarnya kaum intelektual seringkali merasa tertekan dan marah oleh korupsi,
kemunafikan dan demoralisasi, oleh kemewahan dan pameran kekayaan dari mereka
yang menduduki jabatan tinggi, kekuasaan uang dan koneksi yang besar, dan
diabaikannya secara sinis standar kehidupan masyarakat yang telah diterima secara resmi.
Banyak diantara mereka melihat hal ini sebagai ciri-ciri yang semakin lama menonjol.
Pada umumnya ketidakpuasaan kaum intelektual terhadap rejim Soekarno adalah
cukup besar. Mereka tidak menghadapi tekanan luar biasa seperti yang dilakukan
terhadap kaum intelektual dalam situasi pemerintahan totaliter, seperti di Jerman Nazi,
Rusia zaman Stalin, atau di Cina Komunis. Pembatasan terhadap kebebasan mereka
adalah jauh kurang ketat, dan usaha pemerintah untuk meyakinkan mereka mengenai
kebenaran doktrin-doktrinnya tetap pada tingkatan yang tidak terlalu mendalam,
sekurang-kurangnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Stalin dan Mao.
Tetapi dilain pihak mereka melihat sedikit ciri-ciri positif yang kiranya mengimbangi
29
John Maxwell, Op. cit., hal. 116-126.
30
Catatan Harian SHG, 14 Januari 1963.
10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dikuranginya kebebasan. Banyak diantara mereka melihat pemerintahan Soekarno


memberi sumbangan kepada kesatuan nasional dan kekuatan nasional, tetapi sedikit yang
melihatnya sebagai nasional, efisien dan adil.31
Lagkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan keinginannya, Soe Hok Gie
dan Zakse membentuk kelompok diskusi sejumlah mahasiswa dan intelektual muda
diundang untuk ambil bagian dan direncanakan berbagai intelektual terkemuka akan
diundang untuk bicara dalam kelmpok diskusi ini. Pertemuan pertama diselenggarakan di
rumah Ketua Gemsos Jakarta, Maruli Silitonga, sehari sebelum kunjungan Soe Hok Gie
ke Istana Kepresidenan pada tanggal 22 Februari 1963. Intelektual dan penulis dari PSI
yang terkenal, Soedjatmoko berbicara dalam pertemuan itu dan ia mengambil tema
“Peran Intelektual dalam perkembangan Indonesia dan kegagalan mereka untuk
memahami hakekat permasalahnya.” Diskusi yang seru terjadi saat-saat anggota lainnya
berusaha menentang pendapatnya mengenai posisi yang seharusnya mereka ambil dalam
menghadapi situasi saat ini. Dan bentuk pemikiran-pemikiran yang seharusnya menjadi
penuntun tindakan mereka.
Setelah sejumlah pertemuan diadakan pada bulan-bulan berikutnya, sejumlah
aktivis Gemsos ditahan akibat keterlibatan mereka dalam kerusuhan anti-Cina di
Bandung pada bulan Mei 1963, pertemuan mereka terhenti untuk sementara waktu.
Tahun 1963 merupakan tahun yang menentukan bagi Soe dan juga intelektual
muda lain yang berpandangan sama tentang Soekarno dan tentang arah yang kelihatannya
akan dituju oleh negara. Tahun 1963 adalah titik balik yang kritis dalam politik
Indonesia. Menjelang akhir tahun itu kekuatan tampak bergeser ke kelompok kiri.
Presiden Soekarno menggeser sejumlah gubernur dan kepala daerah yang sangat anti
komunis, PKI mulai mendesakkan klaim-klaimnya untuk memperbesar pengaruhnya
dalam pemerintahan. Dalam atmosfir politik yang panas ini, orang-orang yang berani
mempertanyakan kebijakan pemerintah berisiko dituduh kontra revolusi, keluar dari ‘rel
revolusi’. Orang tersebut harus ‘diganyang’ atau dienyahkan.32
Tetapi Soe Hok Gie tidak berdiam diri, ia punya rencana yang lebih mengarah
pada tindakan ketimbang membicarakan memburuknya nasib Indonesia. Pada tahun 1964
Soe Hok Gie menyadari benar tentang bagaimana mengumpulkan kekuatan untuk
melawan suatu kekuatan pula. Ia merumuskan bagi dirinya sendiri, yaitu mendapatkan
kekuatan (politik), secara riil menyusun kekuatan (politik) dan setelah itu terjun ke dalam
politik. Namun semua dilakukan dengan suatu pertimbangan moral yaitu dengan
kesadaran masuk ke dalam suatu permainan (politik) kotori dengan pertimbangan
mengambil keputusan dan menerima resiko-resikonya yang bakal keluar karena
keputusan ini.
Aku katakan padanya bahwa soal-soal ini juga menggangguku beberapa minggu yang
lalu. Yang penting ialah mendapatkan kekuatan yang diperlukan, sebab jika kita tak
memelihara kekuatan dan hanya studi terus, kita akan disapu bersih oleh grup lawan. Aku
telah menerima prinsip-prinsip pemikiran Sudjono bahwa kini kita harus secara riil
menyusun kekuatan. Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri politik adalah barang
paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tetapi suatu saat dimana kita tak dapat
menghindari diri lagi maka kita terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba seperti dalam

31
Herbeth Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Sinar
Harapan, 1995, hal. 153-173.
32
John Maxwell, Op. cit., hal. 116-126 dan DA Peransi, “Bung Karno Menjadi Oase”,
Suara Pembaruan, 23 Desember 1989.
11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan terjun ke lumpur
itu.33

Tetapi pada saat bersamaan dalam dirinya timbul rasa muak dengan manusia di
dalam lingkaran-lingkaran politiknya yaitu orang-orang senior dari Partai Sosialis
Indonesia. Walaupun Soedjatmoko masih dihormatinya, ia kecewa dengan adanya
arogansi dan perasaan memiliki keunggulan intelektual yang ditujukan oleh orang-orang
PSI. Mereka dianggapanya sebagai ‘kaum sosialis salon’.

Mereka berpikir bahwa mereka adalah yang paling hebat. Dari group mereka ini (sisa-
sisa PSI) usdah terlalu senang dan terpandang borjuis sehingga mereka menejadi
pengecut. Sosialisme bagi mereka adalah slogan-slogan dan lip service saja. ‘Musuh
kami adalah kemeiskinan dan kebodohan’ adalah slogan yang paling kosong yang pernah
mereka dengungkan. Itulah sebabnya PSI telah kalah dan tidak disenangi rakyat.34

Partai Sosialis Indonesia yang telah bubar ini selalu dipimpin oleh kaum
intelektual dalam tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan partai-partai lainnya, dan
secara tak seimbang telah menarik sejumlah besar kaum intelektual, khususnya orang-
orang yang lebih bersikap Barat dan kosmopolitan. Banyak diantara mereka ini yang
sekarang menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan partai terlarang
itu (PSI), tetapi hampir semuanya terus dipenegaruhi oleh golongan-golongannya.
Pada tahun 1964 menjadi petunjuk bagi Soe Hok Gie bahwa harus ada kekuatan
politik lain yang bisa ia dukung, setelah ia mendapati orang-orang PSI adalah orang-
orang yang tidak berguna dan tidak mampu menunjukkan kepemimpinan aktif yang ia
yakini sangat diperlukan pada waktu itu.
Apakah ini berarti Soe Hok Gie harus memilih natara mendukung PKI atau
tentara yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan? Bukankah ia sangat
bersimpati pada kampanye land reform (pengambalian lahan) berdasarkan undang-
undang land reform yang telah disahkan pemerintah tahun 1959 dan 1961. Walaupun ia
tidak banya mengetahui persoalan-persoalan di pedesaan atau mengalami langsung
masalah-masalah di pedesaan. Komitmennya pada gagasan kesetaraan membuatnya
mendukung kampanye land reform itu. Ia juga menyadari bahwa dari semua partai politik
yang ada, PKI yang memperoleh reputasi berkat dedikasi, kerja keras dan kebersihan
moral para pemimpin dan kadernya. Dalam catatan hariannya Soe Hok Gie menyatakan
sikapnya terhadap PKI.

Akhir-akhir ini aku makin condong ke kiri. Bacaan-bacaan pihak komunis, alas an-
alasannya lebih termakan untuk diriku daripada golongan lawannya. Aku kira hal ini
disebabkan karena bahwa antara saya dan mereka terdapat banyak faktor-faktor yang
sama. Kita sama digerakkan perasaan keadilan oleh ketidakadilan sosial yang paling
kasar. Kami sama-sama anti dan muak terhadap moral borjuis. Dan kita punya cita-cita
pembebasan yang sama. Sayang cara kita berbeda. Dalam situasi kemelut dewasa ini
hanya mereka yang melancarkan dan berani berbicara tentang land reform dan korupsi

33
Catatan Harian SHG, 16 Maret 1964.
34
Catatan Harian SHG, 20 Maret 1964.
12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pembesar-pembesar ya bahkan Nyoto menyerang pencabulan di Hotel Nirwana. Mana


suara partai-partai lain?35

Di Fakultas Sastra UI, Soe Hok Gie tidak pernah terpengaruh oleh dosen
manapun atau menjalin persahabatan erat dengan rekan-rekan mahasiswa berbeda tentang
Marxisme atau peran PKI dalam politik Indonesia. Tetapi persahabatannya dengan
Nugroho Notosusanto yang dekat dengan kalangan militer dan anti-komunis
mengarahkan Soe Hok Gie kepada pihak militer. Benih-benih hubungan dengan militer
tetap dipelihara dan pergunakan ketika mahasiswa melawan Soekarno.36
Ia menyadari betul bahwa keberanian dan dedikasi mahasiswa tak akan
merontokkan kekuasaan presiden Soekarno. Sejarah mencatat bahwa gerakan mahasiswa
tidak bisa merontokkan sebuah kekuasaan, tetapi bertapa sering kekuasaan rontok karena
militer. Karena itulah tentara dianggap paling tepat untuk berkeja sama. Terlebih lagi
pada saat itu terdapat sejumlah perwira yang bersikap kritis terhadap Presiden Soekarno.
Setelah pemberontakan PRRI-Permesta berakhir tahun 1961, Sumitro
Djojohadikusumo, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan menteri
kabinet selama tiga kali sepanjang dasawarsa 1950-an, yang melibatkan diri dalam
pemberontakan PRRI-Permesta, memilih untuk tetap tinggal di pengasingan ketimbang
kembali ke tanah air. Dari berbagai basis di luar negeri ia meneruskan propaganda keras
menyerang pemerintah Soekarno, menghujamkan kecaman terhadap retorika Demokrasi
Terpimpin, khususnya rencana ekonominya yang muluk-muluk.
Sumitro Djojohadikusumo berhasil membangun jaringan bawah tanah bagi para
pendukung di seluruh Indonesia, yang dikenal sebagai Gerakan Pembaruan, yang bekerja
untuk melemahkan rezim Soeharto. Jaringan ini diduga terdiri atas sekumpulan unit-unit
otonom yang dipimpin oleh ‘case officier’ yang melakukan kontak dengan Sumitro di
luar negeri. CO adalah unit yang cara kerjanya dan sistem organisasinya dibentuk dalam
satu sel. Anggota CO yang lain tidak mengenal anggota CO lainnya jenjang organisasi
dalam sistem CO inilah yang ada di Jakarta. Di Jakarta ada 5 CO. Salah satu bagian dari
aksi yang dilancarkan oleh CO adalah apa yang mereka namakan sebagai penekan dan
infiltrasi, yaitu penetrasi dan infiltrasi ke dalam tentara, buruh, cendikiawan, kemudian
dan mahasiswa. Di CO 5 inilah, Soe Hok Gie pada akhir 1963 atau awal 1964 melibatkan
diri.
Gerakan ini mempunyai markas besar yang sering berpindah-pindah karena itu
disebut MHQ (Mobile Headquarter) yang pernah bermarkas di Singapura, Kuala
Lumpur, Bangkok, dan beberapa tempat di Eropa. Melalui MHQ Sumitro
Djojohadikusumo mengirinkan instruksi kepada pendukungnya di Indonesia. Mereka
semuanya penentang keras Soekarno dan menganggap Demokrasi Terpimpin sebagai
kepalsuan yang tidak ada gunanya serta telah membawa Indonesia menuju perang
bencana politik dan keruntuhan ekonomi.
Meskipun mereka bertekad mewujudkan perubahan, sepanjang tahun 1954 dan
1965 tidak banyak ruang yang tersedia untuk melakukan kegiatan politik secara efektif.
Kelompok pendukung Soekarno dan PKI seluruhnya mendominasi politik Demokrasi
Terpimpin dan setiap pembangkangan secara terbuka akan segera ditindas. Setiap bulan
berita berkala (news letter) kelompok ini, yaitu Pembaruan, diselundupkan ke Indonesia

35
Catatan Harian SHG, 28 Februari 1964.
36
John Maxwell, Op. cit., hal. 126-133 dan Daniel Dhakidai, Op. cit.,.
13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari luar negeri melalui pegawai pesawat udara sebagai kurirnya. Sebagian besar kegiatan
kelompok dikonsentrasikan untuk menyebar selebaran itu ke seluruh Jakarta. Sepanjang
1954 mereka memperoleh dana yang membuat mereka bisa membeli mesin propaganda
dan bahan-bahan percetakan, menyewa tempat yang aman untuk menyimpannya dan
memproduksi Pembaruan di dalam negeri. Soe Hok Gie menulis artikel-artikel tambahan
untuk dimuat di Pembaruan, termasuk menulis pamflet politik anonim.
Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dalam aktivitas Soe dan rekan-rekannya di
gerakan Pembaruan. Karena Demokrasi Terpimpin menghalangi ekspresi perlawanan
politik secara terbuka, kelompok-kelomok oposisi terpaksa melakukan gerakan bawah
tanah. Saat ketegangan politik di Indonesia menyebabkan kekhawatiran bahwa krisis
sudah diambang pintu, banyak pengamat yang jeli menyadari bahwa konfrontasi antara
PKI dan angkatan bersenjata tidak lama lagi akan terjadi. Saat itu, Soe dan teman-
temannya dapat mendorong orang di sekitar mereka agar tidak kehilangan semangat
sementara mereka menunggu terbukanya celah untuk menerobos celah tersebut.37
Meskipun Soe mempunyai keyakinan politik yang kuat, ia tak pernah berusaha
meyakinkan sejumlah besar mahasiswa lain agar menjadi aktivis politik atau
mempengaruhi mereka dengan pandangan-pandangan politiknya. Ia jelas sadar bahwa
banyak rekan mahasiswa di FSUI bersikap sinis dan apatis terhadap politik, rupanya ia
mulai merasa bahwa sikap semacam ini dapat menjadi dampak positif dengan mendorong
mahasiswa untuk meyakini bahwa kampus adalah tempat yang seharusnya bebas dari
pengaruh yang buruk dan mencemarkan yang berasal dari luar. Pandangan ini juga sesuai
dengan kebimbangan batinnya dan ambivalensi moralnya tentang masa depan politik di
luar kampus, walaupun ia kemungkinan menyadari bahwa politik di luar kampus pada
akhirnya akan membuat dirinya terlibat.
Dengan dukungan mahasiswa-mahasiswa termuka yang sangat anti politik
akhirnya sentimen kebangsaan terhadap kampus mereka yaitu almamater, sedikit demi
sedikit muncul. Pada mahasiswa ini menjadi inti ‘golongan independen’ di FSUI.
Sentimen tersebut dikembangkan melalui pecakapan-percakapan informal. Kemudian
didirikan kelompok mahasiswa pendaki gunung dan pencipta alam di FSUI. Soe adalah
tokoh utama di kelompok itu. Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dibetuk pada November
1964 dengan segelintir anggota, tetapi tak lama kemudian makin banyak mahasiswa yang
ikut serta dalam aktivitas klub ini. Kelompok ini mencita-citakan kehidupan yang
sederhana, sehat, bersahabat, dan mencintai alam.
Dalam beberapa segi, kelompok ini merupakan perwujudan reaksi menentang
nilai-nilai dan perilaku sejumlah mahasiswa seangkatan mereka yang bergaya hidup
bourjuis urban, yang berusaha meniru-niru generasi muda di Barat. Klub ini juga
merupakan penolakan terhadap ideologi dan politik yang dipenuhi kemunafikan. Dalam
sebuah penjelasan tentang ekspedisi awal, Soe menulis.

Tujuan Mapal ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealis dikalangan
mahasiswa-mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air,
rakyat, dan almamaternya. Mereka adalah sekolompok mahasiswa yang tidak percaya
bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melukai slogan-slogan dan jendela-jendela

John Maxwell, Op. cit., hal. 133-138 dan Jopie Lasut, “Per seco an terbatas Pamflet
37

Gelap”, Sinar Harapan, 4 Januari 1970.


14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara
menyeluruh, barulah seorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.38

Mapala bagi Soe sangat penting dalam beberapa aspek. Di dalam kelompok ini
ada beberapa kawan terdekatnya, mahasiswa-mahasiswa sebaya yang selama bertahun-
tahun menjalin persahabatan sejati yang sederhana. Jauh dari ketegangan dan kepengapan
Jakarta, mereka bisa membahas masalah kehidupan pribadi mereka dan masalah sosial
yang lebih luas di sekitar mereka dengan keterbukaan dan kejujuran yang tampaknya
tidak mungkin diperoleh di tempat lain.
Sebagai organisasi berbasis kampus Mapala berdiri di atas landasan yang
sepenuhnya independen klub ini menjauhkan diri dan organisasi mahasiswa yang terkait
dengan partai dari mahasiswa dari berbagai afiliasi keagamaan maupun dari afiliasi
politik yang berbeda-beda dipersilahkan ikut ambil bagian dalam klub ini. Mapala juga
merepresentasikan perlawanan terhadap upaya pemerintah untuk menyebarkan
ideologinya ke semua bidang kegiatan, semua bidang kegiatan, semua klub, masyarakat
dan organisasi. Dengan demikian, Mapala merupakan penolakan terhadap dua bentuk
politisasi masyarakat, pertama yang datang dari partai politik dan kedua dari rezim.
Tapi meskipun Soe dan kelompoknya melakukan apa saja yang bisa dilakukan
untuk membatasi pengaruh badan-badan mahasiswa berbasis partai, dengan adanya
konflik dikampus-kampus lain antara GMNI dan sekutu-sekutunya di satu pihak, dan
HMI dan mahasiswa-mahasiswa independen di pihak lain, masalah ini akhirnya mereka
hadapi juga. Awal 1965 GMNI dan sekutu-sekutunya (GERMINDO-PERHIMI-AGMI)
menuntut agar senat yang baru dibentuk ini dengan tuduhan ada unsur-unsur kontra
(HMI-Manikebu) di dalamnya.

Dalam ‘konfrontasi’ itu saya jelas (kebutulan ketua Senat saya kurang pandai berbicara)
bahwa dalam Senat tak ada HMI. Yang ada hanyalah si A dan si B dan ‘kami memilihnya
bukan sebagai wakil-wakil ormas-ormas tetapi sebagai individu-individu yang cakap’.
Dalam konfrontasi itu saya menang, karena tak ada seorang pun dari anggota-anggota
HMI datau simpatisan Manikebu yang dikeluarkan.39

Namun kesulitan selanjutnya muncul pada pertengahan September 1965 saat


kegiatan Mapram selama seminggu yang menandai dimulainya tahun akademik baru.
Mapram merupakan peluang ideal bagi semua organisasi mahasiswa untuk merekrut
anggota di kampus dengan cara menonjolkan keinginan mereka. Soe dan teman-
temannya berusaha memastikan bahwa kelompok mahasiswa berbasis partai tidak
mendominasi pelaksanaannya, tetapi kali ini muncul konflik terbuka ketika salah seorang
kawan Soe merobek poster GMNI yang dituduh illegal, ia dikeluarkan dari komite
orientasi program. Soe berusaha sekuat tenaga membelanya dan akibatnya, ia juga
dipecat.40
Mungkin kejadian-kejadian ini biasa-biasa saja, tetapi dalam konteks peristiwa-
peristiwa yang terjadi di berbagai tempat lain, kejadian-kejadian tersebut menunjukkan
arah yang menguatirkan. Dibandingkan dengan rekan-rekan mahasiswanya, Soe jauh
38
John Maxwell, Ibid., hal. 138-149.
39
Soe Hok Gie, “Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua”, dalam Soe Hok Gie,
1995, hal. 118-126.
40
John Maxwell, Op. cit.,
15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lebih menyadari terjadinya ketegangan politik yang lebih luas di balik perkembangan ini.
Ia tahu bahwa situasi bergerak dengan cepat menuju ke konflik tentara dan PKI,
meskipun ia tak tahu kapan hal ini akan terjadi. Pada dini hari 30 September ia dan
teman-teman meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah untuk melakukan pendakian.
Ini adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman pahit selama
Mapram yang baru berakhir.
Ketika terjadi pembunuhan terhadap enam jendral TNI AD di Jakarta pada dini
hari esoknya, Soe dan teman-temannya sudah berangkat ke gunung Merapi di luar kota
Yogyakarta. Beberapa hari kemudian ia baru mengetahui kelompok kiri telah berusaha
melakukan kudeta terhadap kepemimpinan tentara dan bentrokan antara tentara dengan
PKI yang sudah lama ditunggu-tunggu tengah berlangsung.41 Ketika ia mendenegar berita
ini Soe mungkin teringat janjinya yang ia buat delapan belas bulan yang lalu.

Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, hampir-hampir yang kotor. Tetapi
suatu saat dimana kita tak menghindari diri lagi maka terjunlah kadang-kadang saat ini
tiba, seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan
terjun ke Lumpur itu.42

Turun ke Jalan

Pembunuhan sejumlah jendral TNI-AD di sertai dengan kampanye yang


menyatakan bahwa PKI terlibat langsung dalam percobaan kudeta berdampak pada
kemarahan yang mendidih terhadap PKI. Kemarahan publik tersalur dengan terbentuknya
Komando Aksi Pengganyangan (KAP) G-30-S pada tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian
mereka mengadakan rapat umum yang dihadiri ribuan massa demonstran yang marah.
Setelah menyampaikan pidato dan resolusi anti-PKI, massa demonstran bergerak ke
markas besar PKI di jalan Kramat Raya kemudian meneyerang dan membakar.
Soe Hok Gie yang sudah kembali dari pendakian di gunung Merapi langsung
melibatkan diri dalam serangan terhadap bangungan PKI karena ia jelas merasa bahwa
saat kritis telah dating dan mengharuskan dirinya terlibat dalam gerakan apa pun yang
diperlukan untuk mengintensifkan krisis sampai pada titik yang memungkin transformasi
politik yang maksimal.43
Peristiwa G30S mendapat respon dari mahasiswa yang anti komunis dengan
mendirikan KAMI yang tanggal 25 Oktober 1965, yang terdiri dari berbagai organisasi
mahasiswa, yang salah satu tugas adalah membantu angkatan bersenjata untuk
menghancurkan ‘Gestapu yang kontrarevolusioner’. Kalau dahulu aksi mahasiswa secara
sporadis atau aksi gabungan, tetapi gerakan mereka tidak memiliki jaringan nasional, atau
terorganisir secara rapi. Kini mahasiswa telah memiliki kesatuan aksi yang efektif dalam
memobilisasi mahasiswa dari berbagai kampus di ibukota maupun di kota daerah-daerah.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang

41
Ibid.,
42
Catatan Harian SHG, 16 Maret 1964.
43
John Maxwell, Op. cit.,
16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berkuasa bisa tersebar kemana-mana di semua level pemerintahan dan bisa


dikoordinasikan secara efektif.44
Menjelang akhir 1965, ketika perekonomian nasional mulai memburuk sampai ke
tingkat yang menguatirkan, pemerintah tidak mempunyai alternatif lain kecuali
menaikkan harga komoditas dan jasa yang dikuasai pemerintah sebagai upaya
mengurangi laju inflasi. Pada pertengahan Desember, pemerintah mengeluarkan mata
uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.00 (satu rupiah) uang baru sama dengan Rp
1.000 (seribu) uang lama. Hanya saja bis di Jakarta sangat dibutuhkan oleh sebagian
besar warga kota naik dari Rp 200,- menjadi Rp 1.000,-. Akhirnya rakyat mengalami
kesengsaraan. Mahasiswapun mulai banyak menghadapi kesulitan.
Kemudian KAMI Pusat memutuskan untuk menjadikan kenaikan harga sebagai
fokus demonstrasi mahasiswa. Mereka mendekati panglima daerah militer Jakarta untuk
meminta izin mengadakan demonstrasi terbuka. Tetapi kepala staf komando, Kolonol
Witono, yang sudah dikenal oleh para pemimpin KAMI Pusat dan bersimpati pada
gerakan mahasiswa. Witono tidak setuju dengan rencana KAMI yang hanya akan
mengalihkan perhatian publik dari kampanye penghancuran PKI. Ia bersetuju agar
pelarangan PKI dan restrukturisasi kabinet untuk mencopot menteri-menteri yang
diyakini merupakan pendukung PKI harus lebih diutamakan daripada isu harga. Setelah
menyepakati perubahan ini, para pemimpin KAMI segera memberi tahu aktivis-aktivis
terkemuka untuk menyebarkan ke kampus-kampus karena mereka ingin agar demonstrasi
ini menimbulkan dampak semaksimal mungkin.45
Ketika kudeta orang ini kembali ke kantor Senat menerima surat penting dari
Menteri Koordinasi Pendidikan dan Kebudayaan, Profesor Priyono, yang meminta FSUI
mengirimkan dua puluh mahasiswa untuk menghindari pertujukkan wayang semalam
suntuk di istana presiden, Karena tidak mendapat jawaban, menteri yang marah ini
berusaha menggertak maka siswa agar mengirimkan mereka dingan alasan bahwa ini
adalah permintaan resmi Presiden Soekarno sendiri.
Soe, Herman Lantang dan yang lainnya marah, muak, sedih dan kecewa melihat
cara-cara Prioyono dan ditafsirkan sebagai usaha untuk menggunakan FSUI sebagai
sumber potensial bagi prosistensi kelas tinggi untuk istana. Perilaku Priyono
membenarkan tentang adanya percabulan di istana.

Aku pernah tiga kali menemui Bung Karno dan berdiskusi dengannya. Dan aku muak
melihat permbantu-pembantunya yang menjilat-jilat (aku, seorang mahasiswa, tidak
menjilat-jilat, sedangkan kolonel-kolonel dan menteri-menteri menjilat). Aku juga
melihat sekretaris pribadinya yang berkebaya ketat dengan buah dada yang menggiurkan.
Terus terang saja aku melirik kepadanya padahal dalam-dalam soal-soal seperti ini aku
biasanya acuh tak acuh. Memang dia cantik tetapi aku dapat membayangkan betapa
kotornya hidup perkelaminan di sini.46

Tuntuan penurunan harga barang kebutuhan pokok kemudian dirumuskan ke


dalam konsep sederhana tetapi sistematis dan sangat provokatif/ dalam arti sesuai dengan

44
Abduk Mun’im D. Z., “Gerakan Mahasiswa 1966 di Tengah Pertarungan”, dalam
Muridan S. Widjojo et. Al., Penakluk Rezim Orde Baru. Gerakan Mahasiswa ’98,
Jakarta: Sinar Harapan, 1999, hal. 17-44.
45
John Maxwell, Op. cit., hal. 157-162.
46
Catatan Harian SHG, 7 Januari 1966.
17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahasa politik yang berkembang pada saat ini, sehingga hasilnya benar-benar bisa
menggerakkan sentimen massa, yaitu tri tuntutan rakyat (tritura). Tuntutan itu, bubarkan
PKI, Retool Kabinet Dwikora dan Turunkan harga barang. Tritura itu dideklarasikan pada
hari Senin, 10 Januari 1966 di halaman Fakultas Kedokteran UI.
Setelah rapat umum usai, para mahasiswa bersiap-siap bergerak menuju ke
gedung Sekretariat Negara untuk menyampaikan tuntutan kepada Wakil Perdana Menteri
III, Chaerul Saleh dan sekaligus Menteri Koordinator Pembangunan. Akan tetapi, Soe
dan Herman mempunyai strategi sendiri. Walaupun diprotes oleh ketua KAMI FSUI,
mereka mengarahkan mahasiswa Sastra kembali ke Rawamangun untuk membahas
rencana mereka selanjutnya. Soe dan Herman meminta mahasiswa mendeklarasikan
‘Minggu Berkabung’. Selama periode itu, mahasiswa didesak untuk memboikot bis-bis
Jakarta sebagai protes terhadap kenaikan harga.
Sementara itu massa demonstran telah memblokir jalan-jalan di sekitar gedung
Sekretariat Negara dan kawasan Harmoni di belakang istana kepresidenan sehingga lalu
lintas menjadi macet. Chaerul Saleh yang dicari sedang tidak ada di kantornya dan
mahasiswa menolak untuk bubar dengan duduk-duduk di jalan sambil menyanyikan
slogan-slogan. Mereka yang beragama Islam tetap bersembahyang lohor dan azar di aspal
yang keras dan panas dibundaran Harmoni. Ketika jam menunjukkan pukul tiga lebih,
Liem Bian Koen, salah seorang ketua KAMI jaya dengan sejumlah mahasiswa
ditugaskan untuk menjemput Chaerul Saleh di rumahnya di kawasan Menteng. Chaerul
Saleh bersedia mendatangi massa yang berkumpul. Kemudian Ketua Periodik KAMI
Pusat Cosmas Batubara menyatakan bahwa mahasiswa tidak bisa pergi kuliah, sebab
ongkos bis tak terbayar. Ia juga mengumumkan keputusan KAMI untuk mogok kuliah.
Mahasiswa akan mogok kuliah sampai Tritura terpenuhi dan mereka hanya membayar
tarif bis tetap Rp 200,-. Massa demonstran kemudian bubar dengan hati lega. Dalam
catatan Soe Hok Gie mengenang kebenaran mahasiswa pada massa itu.

Panser mendekati demonstran, karena peringatan sudah tidak mempan. Tetapi para
mahasiswa tidak gentar menghadapi semuanya. Mereka secara serentak tidur di jalanan
menghadap panser sambil berteriak ‘Hidup Baru’. Melihat spontanitas dan semangat
yang begitu suci daripada mahasiswa, tentara akhirnya mundur. Aku dapat
membayangkan jujur dan beraninya mahasiswa-mahasiswa Indonesia.47

Keesokan harinya, Soe dan Herman lantang memimpin long march 50 orang
mahasiswa Sastra dari Salemba menuju Rawamangun dengan menempuh jarak sekitar
empat kilometer, sedapat mungkin mengacaukan lalu lintas di sepanjang jalan yang
mereka lalui. Dalam perjalanan kembali ke Salemba, peserta long march lebih besar
berjumlah sekitar 200 mahasiswa. Di sana lalu lintas macet dan mobil-mobil serta truk-
truk yang lewat dicoret-coret dengan tulisan –dekat jauh dua ratus, turunkan harga
bensin, DPR banci, ritual menteri-menteri goblok dan lain-lainnya. Soe Hok Gie yang
menjadi arsitek dari long march menulis tentang tujuan gerakan ini.

Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah ‘the happy
sedected few’ yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan
melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dengan long march ini moga-moga mereka
sadar bahwa soal tarif an sich akan tetapi merupakan aspek kecil saja daripada seluruh
47
Catatan Harian SHG, 10 Januari 1966.
18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

perjuangan rakyat bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan


dengan menyatukan diri di bawah pimpinan-pimpinan patriot universitas.48

Pada hari berikutnya, ribuan mahasiswa bergerak menuju Gedung DPR GR di


Senayan. Sekitar 10.000 mahasiswa berangkat dari lapangan FKUI di Salemba kira-kira
pukul 08.30 dengan berjalan kaki sepanjang 8 km. Daerah elite Menteng merupakan rute
yang dilewati mahasiswa-mahasiswa. Mahasiswa Sastra yang bergabung dengan Fakultas
Psikologi mengambil posisi dibarisan belakang, ketika mahasiswa melintasi jalan
Diponegoro, mereka melalui beberapa rumah menteri kabinet. Soe memimpin mahasiswa
Sastra meneriakkan ’Ganyang menteri plintat-plintut’. Rupanya sang meteri merasa
bahwa teriakan itu diarahkan padanya. Ia hanya tersenyum kecil sambil melambaikan.
Tetapi di rumah Roeslan Abdulgani, yang lebih jauh lagi, ejekan berubah menjadi pujian
yang menandakan Roeslan tetap popular. Kendati Soe Hok Gie berteriak sama seperti
mahasiswa lainnya. ‘Hidup pak Roeslan’, tetapi sebenarnya ia tidak menyukai Roeslan
yang dianggap oportunis. Ketika barisan mahasiswa itu meneruskan perjalananya, Soe
mendapati bahwa mahasiswa mulai menjadi liar. Soe sendiri hampir berkelahi di dekat
jembatan Semanggi. Di sana Soe merampas korek api yang diacung-acungkan oleh
seorang mahasiswa.
Jika demonstrasi itu berubah menjadi chaos, maka gagallah seluruh perjuangan
mahasiswa. Semuanya akan seperti 10 Mei 1963.49

Soe Hok Gie dan teman-temannya pada saat ini menjadi sadar bahwa mahasiswa
pendukung rezim Soekarno yang memusuhi mereka mungkin saja menyusup ke dalam
barisannya dan memprovokasi tindakan yang akan medeskreditkan gerakan mahasiswa.
Soe khawatir akan terjadinya kerusuhan anti-Cina atau penghancuran gedung DPR-GR.
Sampai di gedung DPR-GR, Menko/Ketua DPR-GR Arudji Karyawinata
menerima delegasi mahasiswa. Atas nama KAMI, Cosmas Batubara mengutarakan
tuntutan mahasiswa berkisar Tritura. Arudji berjanji akan menyampaikan tuntuan
mahasiswa kepada Presiden Soekarno. Untuk menentramkan suasana ia mengatakan:
‘jika tidak ada hasil dalam tiga hari maka tak ada gunanya mempunyai parlemen dan
gedung sebaiknya dibakar saja.’
Setelah itu mahasiswa memasuki gedung rakyat untuk beristirahat dan
menyampaikan pesan melalui tembok DPR-GR –Rakyat Melarat, Menteri foya-foya di
HI, Menteri jangan nyaba, Bubarkan PKI dan lain-lainnya. Mereka kemudian
meninggalkan kompleks DPR-GR, pulang dengan mencegat truk, bus, microbus dan
mobil sedan serta memerintahkan sopir yang bersimpati atau ketakutan untuk mengantar
mereka ke kampus Salemba.
Pengalaman sebagai demonstran diekspresikan dalam dua tulisan, yang
dikerjakan Soe Hok Gie pada dini harinya, 13 Januari 1966, untuk harian Kompas.
Tulisan pertama dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perjuangan mahasiswa sekarang
bukanlah sekedar perjuangan menurunkan harga, akan tetapi merupakan perjuangan
untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Dan jika mereka mundur dalam pergulatan
sekarang maka mereka akan kalah untuk selama-lamanya. Rakyat yang sudah
mempercayakan dirinya pada mahasiswa akan kecewa dan para mahasiswa-mahasiswa

48
Catatan Harian SHG, 11 Januari 1966.
49
Catatan Harian SHG, 12 Januari 1966.
19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

UI akan dimaksudkan dalam daftar hitam menter-menteri yang tidak becus. Mahasiswa
akan ditekan bila menghentikan perjuangannya. Selain itu ia membuat tulisan feature
ringan tentang demonstrasi-demonstrasi ini. Tetapi sayangnya kedua tulisan itu ditolak
karena editor menganggap bahwa terlalu berbahaya menerbitkan tulisan anti pemerintah
yang blak-blakan seperti itu.
Pada hari yang sama, mahasiswa Sastra dan Psikologi melakukan aksi bersepeda
untuk memacetkan lalu lintas di Jakarta. Mereka mengayuh sepeda, sambil meneriakkan
yel-yel dan lagu-lagu bersemangat menuju kantor kejaksaan yang terletak di dekat stasiun
bus di Lapangan Banteng. Mereka akan memprotes pernyataan kepala Kejaksaan, Dan
Sulaiman, telah muncul di media sehari sebelumnya, yang mengatakan bahwa
demonstrasi liar. Orang yang dicari tidak ada dan mereka ditemui salah seorang
bawahannya yang berjanji akan meneruskan tuntutan mahasiswa kepada Jaksa Agung
yang bersangkutan. Dari kejaksaan rombongan bersepeda melewati Pasar Baru, Sawah
Besar menuju Harmoni. Mereka tetap bersemangat meskipun keringat mereka bercucuran
kulit mereka seakan-akan terbakar oleh sinar terik matahari. Kegembiraan tetap terjaga
kepercayaan kepada kebenaran dan kemenangan perjuangan senantiasa tercermin dari
wajah-wajah yang penuh keyakinan. Di Wisma Nusantara mahasiswa berhenti sebentar
untuk istirahat. Dan Soe memberi larangan pada mahasiswa.

Secara tegas aku katakan bahwa mahasiswa hanya boleh minum air ledeng. Tak boleh
lebih. Dari dapur aku hanya mengambil sisa kopi. Semuanya adalah untuk mencegah
kesan buruk bahwa kita, para mahasiswa, merampok minuman. Dan aku mau perlihatkan
kepada karyawan-karyawan Wisma Nusantara bahwa disamping buaya-buaya dansa yang
selalu menghamburkan uangnya di bar-bar, terdapat pula lapisan masyarakat yang idealis
dan jujur. Aku kira mereka akan berkesan. Namun yang ditawarkan aku tolak. Kita hanya
minum air kran jawabku tegas.50

Dari Wisma Nusantara, sebuah klub malam yang terkenal, mereka kembali
menuju ke Salemba. Selama perjalanan pulang, rombongan bersepeda itu mengganggu
lalu lintas, mobil-mobil di stop, dicoret-coret ditempeli dan lain-lain. Warga Jakarta
tampak bersimpati pada demonstrasi ini.
Pagi berikutnya, 14 Januari 1966, KAMI UI bermaksud membawa demonstran
bergerak menuju daerah stasiun kota, letak kantor menteri Suryadi, Menteri Anggaran
Negara. Glodok, pusat pertokoan dan bisnis Cina, menjadi rute yang akan dilalui
rombongan demonstran. Jopie Lasut memberitahukan bahwa di Pecinan telah menunggu
orang-orang sewaan Chaerul Saleh yang akan mencetuskan rasialisme begitu rombongan
mahasiswa memasuki Glodok.
Abdul Gafur, mahasiswa kedokteran, aktivis, dan salah seorang pemimpin KAMI
UI diperingatkan Soe Hok Gie mengenai bahaya tersebut. Tetapi gafur mengabaikan
peringatan Soe, malah menganjurkan agar disiplin diperkeras. Soe segera menelpon
Mayor AL, Sindhunata untuk mengontak Kepala Staf Komando Jakarta Kolonel Witono
untuk melakukan tindakan pengamanan dan demonstrasi tidak dihalangi.
Kemudian KAMI FSUI-FPUI membuat rencana di luar KAMI UI. Mereka
bersepeda lagi menuju Departemen Minyak dan Gas untuk bertemu menteri Ibnu Sutowo.
Di sana Soe mengadakan agitasi dengan menyatakan bahwa kenaikkan harga bensin yang
membuat harga lain naik merupakan taktik PKI agar mahasiswa melupakan
50
Catatan Harian SHG, 13 Januari 1966.
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pengganyangannya PKI. Suasana mulai panas dengan ditempeli plakat-plakat pada mobil
menteri, mobil-mobil pejabat yang sedang diparkir dan tembok-tembok di coret-coret.
Soe dengan anggota delegasi lain diterima Brgigadir Jendral Ibnu Sutowo yang
bertanggung jawab atas kenaikan harga bensin di ruang kerja. Dalam pertemuan itu Soe
menjelaskan maksud kedatangan rombongan minta agar Menteri mencabut peraturan
harga bensin yang memberatkan rakyat dan dalam lingkungan kerja PKI ditindak dengan
tegas. Menteri yang bersangkutan berjanji akan menyampaikan hal ini, karena dia bukan
satu-satunya pengambil keputusan dan harus dikonsultasikan. Wajah sang menteri
menjadi merah ketika mendengar suara nyanyian bersama.

Menteri goblok, Menteri goblok, goblok apa sekarang. Goblok benar, goblok benar
sekarang.51

Kemudian demonstran bergerak menuju kantor Bank Indonesia untuk bertemu


dengan menteri Jusuf Muda Dalam, yang terkenal korup dan hidup mewah. Dikabarkan
ia menjadi donatur bermilyar-milyar pada PKI. Sekali lagi delegasi kecil diterima di
kantor menteri. Menurut penjelasan Soe, teman-temannya berbicara dengan nervous. Ada
yang menangis. Soe kemudian mengulangi tuntutan kami.

Adanya peraturan-peraturan pemerintah yang didasarkan atas realitas dalam masyarakat,


membuktikan bahwa banyak pemimpin-pemimpin, mulutnya saja berteriak turba, padahal
dia sendiri belum pernah melihat kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.52

Menteri Jusuf Muda Dalam diminta agar berbicara di depan demonstran. Rupanya
Jusuf Muda Dalam punya nyali ketimbang Ibnu Sutowo. Sebelum Jusuf Muda dalam
sampai di luar, Soe Hok Gie keluar duluan dan memerintahkan agar kawan-kawannya
berteriak ‘Ganyang Menteri Gestapu’. Ketika kawan-kawannya apa yang diperintahkan
Jusuf Muda dalam tidak bisa bicara. Soe menulis peristiwa ini.

Sungguh ‘kasihan’ melihat menteri di permain-mainkan oleh mahasiswa.53

Perjalanan selanjutnya adalah melalui jalan Merdeka Barat. Di Harmoni


rombongan berbelok ke kanan memasuki jalan Nusantara. Soe kemudian mengetahui
bahwa rombongan yang tujuan semula ke stasiun kota berbelok arah menuju ke
Pertamina di Tanjung Priok. Rupanya teman Soe Hok Gie, Boelie Londa, telah berhasil
membujuk Cosmas Batubara, Ketua KAMI Pusat yang sedang memimpin demonstran,
untuk mengubah rencanyanya.54 Cosmas Batubara dalam pembicaraan dengan Kepala
Bagian Pejualan Pertamina menuntut diturunkan harga jual bensin dengan harga Rp
250,-. Pejabat Pertamina yang ketakutan ini diancam agar menandatangani sebuah
resolusi yang isinya menyetujui tuntutan mahasiswa untuk menurunkan harga minyak
menjadi Rp 250,- per liter.55
51
Catatan Harian SHG, 14 Januari 1966.
52
Catatan Harian SHG, 14 Januari 1966.
53
Catatan Harian SHG, 14 Januari 1966.
54
Catatan Harian SHG, 14 Januari 1966.
55
Christianto Wibisono, Aksi-Aksi Tritura Kisah Sebuah Partnership 10 Januari-11
Maret 1966. Jakarta Departemen Pertahanan-Keamanan, 1970, hal. 26-27.
21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada tanggal Januari 1988 diadakan sidang kabinet di Bogor dan perwakilan
KAMI di undang datang. Karena para pemimpin KAMI sadar bahwa Presiden Soekarno
akan menyerang mereka, maka mereka membawa mahasiswa sebanyak mungkin untuk
mengiringi ke Bogor dengan ratusan truk-truk yang disediakan oleh Witono dan Kepala
Staf Kemal Idris.56 Mahasiswa dari Fakultas dan Psikologi lagi-lagi berangkat dalam
rombongan tersendiri. Sepeda-sepeda mereka ditaruh di atas truk. Di Bogor yang sepi itu,
Soe dan teman-teman menaiki sepeda yang mereka bawa sambil meneriakkan slogan-
slogan Tritura, menempel plakat dan bernyanyi-nyanyi. Tak ketinggalan menyetop
mobil-mobil menteri.
Selama ini Presiden memperoleh informasi tentang riuh rendah aksi mahasiswa
yang terjadi di berbagai tempat di Ibukota, beberapa menteri senior dan pejabat
pemerintah tingkat tinggi dipermalukan dan berbagai kebijakan pemerintah dicerca
dengan bahasa yang kasar. Kampanye mahasiswa menuntut penurunan harga jelas
memperoleh simpati warga Jakarta dan aksi mahasiswa ditampilkan secara mencolok di
media massa Jakarta.57 Sidang kabinet, Presiden Soekarno menuangkan kemarahannya
dan menuduh mahasiswa telah menyimpang dari adat Indonesia.

Masakan menteri-menteri, orang-orang yang lebih tua dari mereka, dituduh goblok.
Masakan ibu-ibu yang naik mobil dikata-katai dengan omong-omongan yang kotor.58

Presiden Soekarno yang marah itu tidak memberi kesempatan pemimpin untuk
berdialog. Ia mengabaikan tuntutan mahasiswa. Tentang masalah harga, ia menantang
bahwa siapa saja yang dapat menurunkan harga dalam waktu tiga bulan, akan diangkat
jadi menteri. Tetapi jika tiga bulan harga masih tinggi, orang itu akan ditembak mati.59
Presiden Soekarno menganggap bahwa kejadian-kejadian selama ini digerakkan tangan-
tangan Nekolim. Oleh sebab itu ia mengakhiri pidatonya dengan menyerukan kepada
para pendukungnya untuk bersama-sama berpihak kepadanya.
Di luar gerbang istana, mahasiswa segera memperoleh informasi dari dua orang
pemimpin KAMI yang meninggalkan sidang kabinet tentang penolakan Presiden
Soekarno untuk memenuhi tuntutan mahasiswa semakin menjadikan mahasiswa yang
memang sudah ingin berontak. Beberapa kelompok mahasiswa mulai merangsek dan
akan meobohkan besi yang mengelilingi istana. Pengawal Istana yang menjadi sasaran
ejekan dan penghinaan mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Mereka
membatalkan niatnya setelah Mayor Jendral Soeharto ditemani Panglima Angkatan Laut,
Laksamana Madya Martadinata dan Kepala Kepolisian, Mayor Jendral Sutjipto,
meninggalkan pertemuan dan menenangkan mereka, mahasiswa akhirnya setuju untuk
bubar dan kembal ke Jakarta.60

56
Disadari atau tidak mahasiswa dijadikan kepanjangan tangan tentara. Jadi
dukungan tentara bukan berdasarkan kebaikan hati, tetapi merupakan bagian dari
perebutan kekuasaan. Lihat, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967.
Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1986, hal. 290-421.
57
John Maxwell, Op. cit., hal. 175-179.
58
Catatan Harian SHG, 15 Januari 1966.
59
Tampaknya tantangan Presiden Soekarnio tidak serius. Lihat. Hadely Hasibuan,
Pengalaman sebagai calon Menteri Penurunan Harga. Kisah Nyata Masa tritura,
Jakarta, Yayasan Permata Sari, 1985.
60
John Maxwell, Op. cit.,
22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Seruan Presiden Soekarno direspon Menteri Luar Negeri Subandrio pada hari
minggu malamnya dengan mengecam keras siapa saja yang terlibat dalam demonstran
selama seminggu itu dan menuduh mereka telah ditunggangi oleh agen-agen subversi
asing. Lebih dari itu, ia menyerukan agar segera dibentuk Barisan Soekarno untuk
mempertahankan Presiden dari orang-orang yang berusaha menjatuhkannya. Pada hari
yang sama, Panglima Kodam Jakarta, Mayor Jendral Amir Machmud menggunakan
undang-undang darurat untuk melarang demonstran di dalam kota. Kemudian mahasiswa
pendukung Soekarno (GMNI asu-UBK, Germindo) segera bergerak dengan merobek
plakat-plakat KAMI dan poster HIDUP BUNG KARNO ditempel, yang menurut Soe
Hok Gie, ‘secara insiruaktif mau mengesankan bahwa KAMI adalah anti Bung Karno,
kanan, ditunggangi Nekolim dan lain-lain.’61
Di tengah hari, 17 Januari 1988, dalam suasana kampus yang lebih tenang, Soe
dan teman-temannya mendapati empat mahasiswa yang tidak mereka kenal sedang
memasang poster-poster anti KAMI di kampus UI Salemba. Mereka kemudian dibawa ke
ruang kosong di lantai atas dan dibuka bajunya dan diinterogasi. Mereka mengaku
berasal dari Universitas Bung Karno dan diperintahkan Pembantu Rektor. Mereka
kemudian diserahkan kepada pimpinan militer Jakarta.62
Kendati ada larangan demonstran, KAMI memutuskan untuk mengadakan
demonstrasi dan tetap meneruskan perjuangan. Demonstrasi yang terbilang liar ini
mendapatkan sambutan yang luar biasa. Sekitar 5000 mahasiswa diantar Departemen
Luar Negeri di Jalan Pejambon dengan truk-truk yang distop ketika lewat kampus UI
Salemba. Soe merasakan bahwa mahasiswa telah melakukan langkah penting.
Di Pejambon, Soe bergabung dengan delegasi yang beranggotakan sepuluh orang
yang dipimpin Hakim Sorimuda dari Fakultas Kedokteran UI yang membawakan
tuntutannya kepada orang bawahannya, yang berisi Soebandrio untuk menarik kembali
tuduhannya terhadap mahasiswa. Asisten Menteri Suwito Kusumowidagdo berjanji akan
meneruskan pada atasannya, yang tidak berada di tempat. Kemudian mahasiswa bergerak
menuju kantor Soebandrio yang lain di jalan Merdeka Selatan sambil meneriakkan
‘Soebandrio Anjung Peking.’
Di kantor Wakil Perdana Menteri I, delegasi bertemu dengan Soebandrio dan
terjadi pertengkaran. Soebandrio menuduh bahwa demonstran ditunggangi oleh Nekolim,
tetapi mahasiswa menolak tuduhan itu. Soebandrio mengancam akan
mengkonfrontasikan mereka dengan para pendukungnya. Mahasiswa menuduh
Soebandrio ingin mengadu massa pendukungnya dengan KAMI. Dialog panas ini
terganggu dengan datangnya instruksi dari aparat kemanan yang memerintakan agar
demonstran bubar. Soebandrio kemudian menyuruh mahasiswa pergi. Tetapi delegasi
mendesak agar Soebandrio menerima mahasiswa di luar. Meskipun semula menolak
karena khawatir menjadi bahan ejekan, tetapi akhirnya ia menemui tuntuan mahasiswa.
Seobandrio menyatakan bahwa ia tidak bermaksud merendahkan mahasiswa tetapi hanya
mengingatkan agar mahasiswa jangan ditunggangi oleh siapa pun. Setelah mahasiswa
bubar garnisun militer Jakarta memerintahkan mereka yang bertanggung jawab dalam
demonstran untuk datang dan ditahan.
Bersamaan mahasiswa bergerak menuju Pejambon, sepuluh pimpinan KAMI
bertemu Presiden Soekarno di Istana Merdfeka. Dalam pertemuan itu, Soekarno

61
Catatan Harian SHG, 16 Januari 1966.
62
John Maxwell, Op. cit., hal. 179-189.
23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

melampiaskan kemarahannya terhadap aksi-aksi mahasiswa, khususnya yang berkaitan


dngan tulisan-tulisan yang dicoret-coretkan di tembok rumah Hartini, istrinya, di Bogor.

Mana PMKRI…. Kau tahu apa yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di rumah Ibu
Hartini? Kau tahu rumah Ibu di coret-coret ‘Lonte Agung’, ‘Gerwani Agung’, dan lain-
lainnya? Kau tahu apa yang artinya Lonte? Hartini adalah istriku dan aku adalah
bapakmu, jadi dia juga ibumu. inikah yang dilakukan oleh seeorang anak terhadap
ibunya?.63

Wakil PMKRI menjelaskan PMKRI kepada Presiden Soekarno bahwa yang


melakukan aksi coret-coret itu adalah Pemuda rakyat yang menggunakan baret PMKRI.
PMKRI mempersilahkan agar penguasa Pelaksana Dwikora (Pepelrada) yang menangkap
Pemuda Rakyat dikonfrontir. Presiden Soekarno terdiam mendengar sanggahan itu.
Kendati dua kali mendapat dampratan dari Presiden Soekarno, para pemimpin
KAMI tetap menyataan loyal terhadap Pemimpin Besar Revolusi. Sehari setelah
pertemuan di istana, para pemimpin KAMI bertemu Menteri Dalam Negeri dan Gubernur
Jakarta, Mayor Jendral Sumarno Sostroatmodjo. Setelah mereka berdialog, Ketua KAMI
Pusat, Cosmas Batubara, mengumumkan bahwa pada hari berikutnya, 20 Januari
mahasiswa akan membersihkan coretan-coretan yang menghiasi seluruh kota Jakarta
selama seminggu terakhir. Sebelum mahasiswa melakukan pembersihan itu, para
pemimpin KAMI mendorong mehasiswa untuk menghadiri ‘apel Kesetian’ yang
diadakan diluar Istana Merdeka.
Pada hari mengapur kota Jakarta, hanya ada sekitar 300 mahasiswa yang hadir di
UI Salemba. Soe yang hampir lupa mendampingi Herman Lontang yang harus berada
disana mengkoordinir mahasiswa Sastra, kemudian ke istana menumpang becak. Soe
datang terlambat, yakni ketika pidato Presiden Soekarno baru saja berakhir. Disana ada
beberapa ratus mahasiswa KAMI yang hadir. Pendukung Seoekarno yang terdiri dari
mahasiswa dan buruh jumlahnya lebih banyak ketimbang mahasiswa KAMI.
Kebanyakan mahasiswa KAMI mengenakan jaket kuning UI. Ketika mahasiswa mulai
pergi, ejekan dan caci maki dari kedua belah pihak dan tiba-tiba mahasiswa KAMI
dikepung pada pendukung presiden. Sambil memukuli kelompok kecil mahasiswa yang
berada di luar barisan, GMNI Asu berteriak-teriak ‘Ganyang KAMI, ganyang jaket
kuning, “KAMI= Kesatuan Aksi Maling Indodnesia,’ dllnya.’
Resimen Cakrabirawa, Pengawal Presiden RI, tidak berintak apa-apa atas
kejadian tersebut dan yang menolong adalah Polisi. Kejadian itu baru berakhir ketika
barisan KAMI dalam waktu singkat dapat diatur dan segera mundur teratur dengan
kawalan polisi. Setelah mahasiswa sampai di Salemba, para pemimpin mengadakan
pertemuan darurat untuk membahas apa yang terjadi dan akan membuat laporan. Soe
mengadukan perbuatan salah seorang aktivis GMNI ASU dan FSUI yang dikenali saat
pemukulan.64
Pada esok harinya, 21 Januari 1966, massa demonstran KAMI yang berkumpul di
UI Salemba bergerak menuju ke Lapangan Banteng untuk menghadiri rapat umum yang
diadakan Pangdam Jakarta Amir Machmud untuk menyatakan kesetiaan kepada Presiden
Soekarno. Meskipun Soe mendapat informasi telah disediakan RPKAD preman guna

63
Catatan Harian SHG, 18 Januari 1966.
64
Catatan Harian SHG, 20 Januari 1966.
24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menghadang tukang pukul dan orang bayaran dari ASU-Ban-Chairul Saleh, Soe tetap
diliputi rasa kuatir karena kebanyakan orang datang dengan tekad untuk berkelahi.

Selama rapat umum tadi perhatian sama sekali tidak ke pembicaraan, tetapi pada situasi
keamanan. Sampai akhir rapat tidak terjadi apa-apa, ketika bubar, grup KAMI mengejek-
ejek fron ASU untuk diprovokasi tetapi tidak dijawab. Rupa-rupanya karena rombongan
KAMI sangat besar membawa besi dan memakai sepatu lars. Pendeknya combat ready.
Di sekeliling front ASU ini terdapat Ansor, PPI Katolik dan lain-lainnya yang juga siap
untuk berkelahi.65

Setelah rapat umum usai, massa demonstran KAMI tidak mau lagi naik truk,
melainkan ingin berjalan kaki sambil unjuk kekuatan. Puluhan bendera universitas di
depan barisan meyakinkan masyarakat betapa kompak mahasiswa dalam
memperjuangkan Tritura. Kendati jalan kaki dari Banteng ke Salemba cukup melelahkan,
tetapi Soe dan teman-teman Sastra tetap menyanyi penuh keriangan. Rapat umum ini dan
unjuk kekuatan KAMI menandai akhir fase pertama aksi mahasiswa. Tebaran, jatuh pada
tanggal 23 Januari dan tahun yang lama akan berakhir. Akibatnya, selama sepekan
sampai dua pekan berikutnya kampus akan sepi. Soe Hok Gie mengenang aksi
mahasiswa fase pertama.

Tetapi kenang-kenangan demonstran akan tetapi hidup. Dia adalah batu tapal batas dalam
revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indoneia. Karena yang dibelanya adalah
keadilan dan kejujuran.66

Para pelaku gerakan mahasiswa ketika itu membayangkan dunia sekitarnya


sedang menghadapi ancaman yang mungkin bisa mempertaruhkan nyawa. Dunia hanya
memberi dua pilihan berbuat atau mati, maju atau hancur. Barangkali dengan tekad
serupa inilah gerakan mahasiswa dibakar. Disana ada lawan, ada ancaman dan ada
pertaruhan dan akhirnya ada keharusan untuk berbuat. Keharusan untuk berbuat inilah
bisa pula didorong ada bayangan bahwa suatu zaman baru sedang diambang pintu dan
mereka berkewajiban mendesakkan kelahirannya. Tak ada konsepsi yang jelas tentang
zaman itu tetapi tampaknya ia diliputi oleh semua yang serba baik keadilan dan
kebenaran.67
Dalam suasana lebaran, Soe Hok Gie tinggal dirumah dan menghabiskan waktu
untuk beristirahat dan menulis. Ia mencoba menjelaskan mengenai kejadian luar biasa
selama tiga minggu terakhir dan memasukkannya untuk edisi khusus bulletin mahasiswa
Fakultas Psikologi, yakni edisi demonstasi yang disebarkan diseluruh kampus dan
berbagai tempat pada awal Februari. Tulisan itu dimaksud untuk mempertahankan
komitmen kalangan mahasiswa sendiri, juga menyebarkan pesan-pesan ke luar
universitas.68

65
Catatan Harian SHG, 21 Januari 1966.
66
Catatan Harian SHG, 21 Januari 1966.
67
Dialog, “Gelombang Nan Tak Kunjung Mencapai Pantas”, Prisma No. 12, Tahun VI,
Desember 1977.
25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Setelah mendapat tekanan politik yang kuat oleh beberapa preman politik yang
paling berpengalaman dan senior di negeri ini, pemimpin KAMI Pusat mengeluarkan
instruksi kepada semua cabang untuk kembali pada 1 Februari 1966. keputusan ini
diumumkan pada rapat umum yang diadakan di Salemba pada tanggal 1 Februari.
Kendati pimpinan KAMI Pusat telah menjelaskan posisi KAMI Pusat, tetapi kebanyakan
mahasiswa kecewa dengan keputusuan itu. Mahasiswa yang sadar politik seperti Soe Hok
Gie, yang mengharapkan terjadinya transformasi sistem politik secara total, jelas menolak
mengakhiri pemogokan kuliah dan bertekad mencari cara untuk meneruskan
perlawanannya terhadap pemerintah. Kebanyakan mahasiswa yang melibatkan diri dalam
aksi mahasiswa gelombang pertama menganggap kompromi ini tidak perlu dan tidak
dapat diterima,. Mahasiswa berpegang teguh pada satu prinsip utama. Sampai ada
jawaban positif dari Presiden Soekarno untuk ketiga tuntutan pokok mereka dan tidak
melihat ada alasan untuk mundur sebagaimana yang ditetapkan oleh KAMI Pusat.
Sebenarnya bisa dimengerti mengapa pimpinan KAMI Pusat mengambil
keputusan semacam itu. Dalam bermain politik yang berdampak besar selalu diperlukan
pertimbangan politik yang rumit yang berliku. Tetapi mereka juga salah membaca
suasana yang sedang berkembang. Saat ini di kampus banyak mahasiswa yang bertekad
untuk melanjutkan perjuangan gelombang kedua. isu ini akhirnya medeskreditkan
pimpinan KAMI Pusat di mata para mahasiswa yang menganggap mereka telah menjual
diri kepada para politikus. Pendekatan tetang mogok kuliah berlanjut selama tiga pekan
berikutnya karena pimpinan KAMI Pusat dan Menteri Pendidikan Tinggi Brigadir
Jendral Syarif Thayeb, yang kemudian didukung oleh rektor universitas, beberapa
kelompok pers di Jakarta, organisasi mahasiswa pro-Soekarno, gagal membujuk,
mengancam, dan memaksa mahasiswa kembali kuliah.69
Gelombang demonstrasi kedua dimulai ketika mereka pergi ke Keduataan Besar
Amerika Serikat untuk memprotes pemboman di Vietnam dan mereka diterima dengan
baik oleh Duta Besar Marshal Green. Tetapi mereka yang datang ke Kedutaan Besar
Cina, mengecam apa yang mereka sebut sebagai campur tangan Cina dalam masalah
internal Indonesia, pintu gerbar Kedutaan Cina pintu gedungnya tertutup kuat. Akibatnya
massa marah mencoret-coret kata-kata kasar di tembok tinggi dan mencabut lambang
negara RRC kemudian diinjak-injaknya sampai hancur. Kejadian 3 Februari 1966,
dilanjutkan dengan aksi-aksi mahasiswa lainnya.
Pada 8 dan 9 Februari KAMI jaya mengorganisasikan kegiatan di jalan-jalan di
luar kampus –‘barisan pemogok’ pada 8 Februari dan barisan yang berjalan
bergandengan tangan melewati jalan-jalan di Jakarta Pusat pada hari berikutnya yang
melibatkan banyak mahasiswa yang mengenakan plakat bertuliskan tuntuan Tritura.
Kendati saat itu kantor-kantor menteri dan pemerintah tidak dimasuki, secara teknis
mahasiswa yantg terlibat telah melanggar larangan demonstran dan pasukan dari kodam
jaya menangkapi beberapa pimpinan KAMI dan menahan mereka ke penjara selama
beberapa hari.70 Kejadian ini membuat bingung KAMI. Mereka merasa mendapat angin
dari tentara, tetapi penangkapan mahasiswa tetap terjadi. Sebenarnya pada saat itu tentara
68
John Maxwell, Op. cit., hal. 191-201. Catatan Harian SHG hanya menulis
pengalamnnya sebagai demonstran gelombang pertama. Kesibukannya yang luar
biasa mungkin menyebabkan ia tidak menulis pengalamannya dalam demonstrasi
gelombang kedua.
69
John Maxwell, Op. cit.,
70
Ibid.,
26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

belum jelas sikapnya. Ada yang menentang PKI dan pula mendukung. Ada yang kritis
terhadap Presiden Soekarno dan ada pula mendukung.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Tinggi Syarif Thayeb, yang kredibilitasnya
dimata mahasiswa KAMI sudah memudar mengulang kembali perintahnya agar
mahasiswa kembali ke kampus, mengancam akan memecat mereka jika tidak patuh
perintah menteri diulangi di koran-koran dan siaran radio selama beberapa hari berturut-
turut mulai 10 Februari dan didukung kuat oleh mahasiswa-mahasiswa GMNI.
Tiga hari kemudian, dalam rapat umum di stadion Senayan, Presiden Soekarno
mengecam aksi-aksi mahasiswa, mengulang kembali seruannya untuk membentuk
Barisan Soekarno, dan mengutarakan tantangannya kepada KAMI dengan memuji
kontribusi PKI di Indonesia. Pidato Soekarno membuat marah musuh-musuhya, bahkan
orang-orang di dalam militer yang masih menghormati Soekarno sangat berang dengan
pidatonya yang pro-PKI itu.
Mahasiswa-mahasiswa militan itu seperti Soe mendapat tekanan kuat. Presiden
Soekarno dan para pendukungnya berada di atas angin dalam perang urat syaraf yang
telah dilancarkan di kampus, dan tampak bagi mahasiswa bahwa sebagian besar
komandan kunci militer mendukungnya. Para pemimpin KAMI yang pernah ditahan jelas
tergoncang oleh pengalaman itu dan kembali berusaha memujuk mahasiswa agar
menghentikan mogok kuliah.71
Rektor Universitas Indonesia, Profesor Sumantri Brodjonegoro menyerukan agar
mahasiswa kembali ke bangku kuliah pada 17 Februari 1966. demikian juga Presidium
KAMI menyerukan agar mahasiswa kembali ke bangku kuliah di depan Universitas
Indonesia. Mahasiswa yang tak mau berkompromi berkumpul di Fakultas Psikologi UI di
jalan Diponegoro dan Soe tetap pada posisi bertahan.

Soe Hok Gie menyatakan bahwa segala bentuk ‘kompromi politis’ tidak akan pernah
diterimanya. ‘Saya pribadi’, kata Hok Gie dengan berapi-api akan tetap mogok kuliah.
Semua orang yang berpikir sederhana musti akan menyetujui pandangan saya. Kita harus
terus berjuang, perjuangan masih panjang, jalan masih jauh, pengorbanan masih diminta
dari kita. Kita tidak boleh mundur karena alasan-alasan politis, karena perhitungan-
perhitungan politik. Saya tetap akan meneruskan mogok kuliah, dengan segala resiko dan
konsekuensinya.72

Tekanan terhadap mereka yang mungkin kuat, lebih menjelaskan pada Soe bahwa
mahasiswa sejati tidak akan mampu menumbangkan rezim Soekarno. Mahasiswa
memerlukan elemen-elemen militer yang menentang gaya pemerintahan Soekarno dan
yang percaya pada perubahan fundamental. Oleh karena itu, Soe semakin sering bertemu
dengan Suripto, kawannya dari Gemsos dan Gerakan Pembaruan, yang tinggal di
Senayan terletak di dekat markas Brigade Mobil Kostrad. Pada kahir 1965, Suripto telah
bekerja di bagian intelijen domestik KOTI di bawah komando Brigadir Jendral Yoga
Sugama. Suripto menjalin hubungan dengan sejumlah perwira yang memberi kepastian
kepada Suripto dan rekan-rekan mahasiswanya bahwa mereka akan memberi dukungan
materi dan fisik untuk kegiatan mereka. Sekarang senayan menjadi pusat aktivitas yang
penting untuk kelompok mahasiswa yang paling militan dari teman-temannya di Gerakan
Pembaruan Soe Hok Gie, Jopie Lasut, Boelie Londa dan Henk Tombokan dan
71
Ibid., dan Wibisono, 1970, hal. 57-58.
72
Wibisono, Ibid., hal. 63-64.
27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sekelompok kecil aktivis mahasiswa militan dari Bandung yang secara teratur datang ke
Jakarta. Banyak dari aktivis mahasiswa di senayan mencapat akses dan diizinkan
menumpang kendaraan militer sehingga mereka dapat menghindari jam malam. Bahkan
ada juga beberapa orang yang dibekali senjata.
Perombakan kabinet yang disiarkan melalui radio pada 23 Februari malam hanya
menambah kemarahan mahasiswa yang merasa tuntutan mereka diabaikan begitu saja.
Tidak ada satu pun menteri yang dijadikan sasaran kritik mahasiswa diturunkan, baik
yang dikritik karena kegagalannya mengatasi masalah perekonomian maupun yang
korupsi atau dituduh sebagai simpatisan PKI. Kemudian sejumlah mahasiswa militan
menyusun rencana untuk kembali mengadakan demonstran besar. Rapat Umum kesetian
kepada Presiden Soekarno di Lapangan Banteng pada 23 Februari, yang diserukan Amir
Machmud memberi peluang ideal. Dengan dukungan dari Yoga Sugama dan Kemal Idris
yang meyakinkan mahasiswa bahwa jika mereka menimbulkan huru-hara serius maka
tentara dibawah Soeharto memiliki cukup alasan untuk bertindak dan mengambil alih,
Soe dan mahasiswa-mahasiswa, militan yang lain berkumpul di senayan untuk berangkat
di Lapangan Banteng dengan tujuan membuat kekacauan sebanyak mungkin. Mereka
tahu bahwa mahasiswa-mahasiswa pro-Soekarno juga akan hadir pada rapat itu dalam
jumlah yang besar dan berharap akan dapat memicu konfrontasi dengan mahasiswa-
mahasiswa tersebut saat pidato berakhir. Soe dan Marsilam Simanjuntak berencana
mengarahkan demonstran ke gedung Departemen Luar Negeri di jalan Pejambon –rute
yang akan membuat mereka langsung bentrok dengan mahasiswa-mahasiswa pro-
Soekarno yang mereka harapakan berkumpul di selatan Lapangan Banteng. Mereka
mengatakan kepada rekan-rekan mereka dari militer bahwa bentrokan mungkin terjadi di
jalan Pejambon.
Tetapi ketika rapat umum berakhir, sejumlah besar mahasiswa bergerak ke arah
Utara Lapangan Banteng lewat jalan Khatedral dan menuju gedung Sekretaris Negara
yang terletak di belakang Istana Kepresidenan. Ketika mahasiswa akan melintasi rel
kereta api di jalan Nusantara (kiri jalan Ir. H. Juanda), mereka diblokir oleh tentara.
Ketika mahasiswa bersikeras maju, seorang tentara melepas tembakan dan ada yang
terluka. Para demonstran berhamburan disepanjang jalan Nusantara dan jalan veteran
menuju gedung Sekretaris negara. Mereka kemudian berhasil memasuki gedung
Sekretaris Negara untuk menyampaikan tuntutannya, menduduki gedung itu. Selama
beberapa jam dan mengobrak-abrik isinya. Diluar gedung yang bersebelahan dengan
istana kepresidenan, para mahasiswa yang berdesakan memaki-maki Resimen
Cakrabirawa. Para demonstran akhirnya bersedia meninggalkan gedung Sekretariat
Negara pada sore harinya. Saat mereka berusaha berbaris kembali di sepanjang jalan
Nusantara dan Veteran, mereka ditembaki oleh pengawal istana dan beberapa orang lagi
terluka. Akibatnya, sejumlah mahasiswa tetap bertahan di gedung Skretariat Negara
sepanjang malang karena terlalu takut untuk pergi.73
Tidak jelas berapa banyak mahasiswa yang terluka dan tewas, tetapi menjadi jelas
bagi mahasiswa bahwa aksi mereka telah memasuki tahap yang baru dan berbahaya.
Tidak ada bantuan dari tentara telah membuat mahasiswa khawatir. Soeharto, Kemal
Idris dan Yoga Sugama tidak memberi dukungan terhadap aksi mahasiswa tersebut
karena menganggap terlalu dini bagi tentara untuk bergerak melawan Presiden Soekarno.
Mahasiswa sekarang harus menghadapi pengawal istana sendirian. Informasi yang
73
Wibisono, Ibid., hal. 63-64.
28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diperoleh ditengah hari hanya membuat mahasiswa-mahasiswa militan


74
menampakkankejengkelannya kepada para perwira Kostrad.
Esoknya tanggal 24, kabinet yang dirombak akan dilantik di istana. Mahasiswa-
mahasiswa militan bertekad melakukan apa saja untuk mencegah upacara pelantikan
berlangsung. Mulai dari subuh, rombongan kecil mahasiswa berangkat dari universitas
menghentikan kendaraan di titik-titik strategis menuju istana, mengempiskan ban
kendaraan-kendaraan itu dan membuat arus lalu lintas sehingga melumpuhkan sebagaian
besar kota. Sebagai jawaban presiden memerintahkan pesawat-pesawat helikopter
digunakan untuk mengangkut para menteri ke pelantikan dan salah seorang menteri yakni
Brigadir Jendral Sukendro tiba dengan naik sepeda. Pelantikan kabinet dilakukan
sementara presiden dalam keadaan marah. Ia menyatakan bahwa perubahan kabinet tidak
ada hubungannnya dengan tuntutan KAMI. Dengan marah, ia membantah slogan-slogan
KAMI yang menuduhnya mengangkat kabinet Gestapu atau kabinet Komunis, lalu
menanyakan para menteri baru satu demi satu apakah mereka itu komunis semua
menjawab tidak.
Pada saat bersamaan, kelompok besar mahasiswa mendekati istana dengan
pengawalan militer. Mereka bergerak dari Salemba pada pagi hari dan berangkat melalui
jalan-jalan di Menteng dengan mengibarkan jaket kuning ‘berdarah’ sebagai tanda perang
bagi mahasiswa yang mengikutinya dan sepanjang jalan yang dilalui banyak rumah yang
penghuninya mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda simpati. Ketika
mahasiswa sampai di tenggara lapangan Merdeka satuan tentara yang berada di bawah
Letkol Urip Widodo yang bersimpati terhadap aksi mahasiswa mencoba menenangkan
para mahasiswa, menjauhkan mereka dari istana dan dari pasukan Tjakrabirawa.
Mahasiswa mendesak maju, meminta tentara membiarkan mereka lewat. Para mahasiswi,
kebanyakan dari rombongan Sastra-Psikologi, membuat sibuk di garis depan,
memanfaatkan keengganan tentara untuk mendorong dorong mereka. Akhirnya mereka
bisa bergerak maju ke sisi utara sepanjang jalan Merdeka Timur.
Pada saat rombongan mahasiswa sampai di ujung Utara Merdeka Timur, banyak
dari mereka yang berhasil mendobrak penjagaan dan berhamburan lari menuju istana
presiden beberapa ratus meter dari jalan Merdeka Utara disebelah utara lapangan. Saat
mereka mendekat, pasukan Tjakrabirawa melepaskan tembakan, mengenai dan
menghabisi nyawa dua orang, Arief Rachman Hakim, mahasiswa Kedokteran tingkat
empat UI, dan Zubaedah, siswi sekolah lanjutan atas. Pada hari esoknya, 25 Februari,
pemakaman Arief rackman Hakim menjadi proses yang sangat besar dai Salemba UI
sampai Kebayoran dengan ribuan iring-iringan kendaraan jenazahnya dibawa dengan
kendaraan militer, dan karangan-karangan bunga dikirim oleh Nasution, Soeharto,
Kostrad, Kodam Jakarta, Kodam Siliwangi, para janda dari Jenderal Yani, Panjaitan dan
lain-lain. Prajurit-prajurit dari Komando Daerah Militer Jakarta menembakkan salvo di
atas pusara. Toko-toko di sepanjang rute yang dilalui tutup dan bendera setengah tiang
dikibarkan pada beberapa kantor pemerintah. Untuk pertama kali dalam gerakan
mahasiswa ini gugur seorang martir.
Pada saat bersamaan, terjadi pertemuan yang panjang antara Presiden Soekarno
dan para perwira senior militer, yang mana Presiden Soekarno menuntut dibubarkannya
KAMI dan disetujui jendral Soeharto. Kami kemudian dibubarkan secara resmi oleh
Komando Ganyang Malaysia (Kogam) dan sekaligus berlaku larangan demonstrasi,
74
John Maxwell, Ibid.,
29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mahasiswa dilarang berkumpul lebih dari lima orang di tempat umum. Hari berikutnya,
Pangdam Jakarta, Amir Machmud mengumumkan bahwa jam malam akan segera
diberlakukan. Mengikuti keputusan ini, Kemal Idris memanggil pimpinan mahasiswa dan
menyuruh mereka untuk memindahkan markas mereka. Mulanya mereka menolak namun
akhirnya menyetujui dan pindah markas. Komando tempur II Kostrad dimana
ditempatkan unit operasi khusus dari Ali Moertopo. Tindakan Kostrad sebagian adalah
dalam rangka melindungi pimpinan KAMI dan mungkin juga untuk menghindari
tindakan yanfg terlalu cepat dari KAMI yang dapat mengganggu rencana perwira-perwira
Kostrad sendiri yang sedang dalam penggodokan.75
Dari Kebon Sirih, tempat pimpinan KAMI Pusat berlindung, mereka berusaha
terus mengetahui apa yang terjadi diluar, tetapi karena mereka terisolasi maka hubungan
mereka dengan kampus yang sudah lama renggang malah menjadi semakin jauh. Setelah
mereka keluar dari tempat perlindungan pada awal Maret, banyak pemimpinan Kami
tersebut menghilang dari pandangan publik, tidak lagi berperan aktif dalam demonstran
meskipun kemudian mereka muncul kembali dan berupaya menjadi perhatian masyarakat
setelah 11 Maret. banyak dari pimpinan ini pernah menonjol pada bulan Januari, tetapi
reputasi mereka di mata mahasiswa telah ternodai akibat pendirian mereka tentang
masalah pemogokan kuliah. Kalangan aktivis mahasiswa yang berbasis kampus menjadi
marah kepada mereka ketika mendapati mereka tidak terlibat pada saat demonstran
berubah menjadi kekerasan. Ada baiknya kita ketahui pandangan Soe Hok Gie mengenai
peristiwa ini.

Dan selama minggu-minggu yang sulit itu dari bawah muncul tokoh-tokoh mahasiswa
yang dapat lebih ‘mewakili’ aspirasi moral forces yang terdapat dibawah. Tokoh-tokoh
itu tidak berbicara sebagai politikus, tetapi sebagai mahasiswa biasa. Pada hari-hari itu
kita lihat munculnya Fahmi Idris, Hakim Sarimudo yang datang dengan cepat keatas.
Terbunuhnya Arief Rachman Hakim merupakan suatu point of no return bagi perjuangan
mahasiswa. Presidium formal jarang lagi turun lapangan mungkin karena perhitungan
oportunisme politik dan pimpinan lapangan berada di tangan mahasiswa nonpolitikus.
Demikian keadaannya sampai 12 Maret 1966.76

Sejak saat itulah keputusan mengenai jalannya gerakan mahasiswa secara efektif
sepenuhnya berada di tangan beberapa kelompok aktivis mahasiswa militan yang berbaris
kampus. Karena mereka senantiasa hadir di tengah-tengah mahasiswa selama
berlangsungnya kegiatan yang berbahaya ini, mampu memimpin dengan dukungan
loyalitas, dan komitmen rekan-rekan mahasiswa mereka.
Ketika suasana semakin suram dan pesimistis meliputi kampus UI setelah
peristiwa 21-25 Februari, kedatangan kelompok radikal dari Bandung telah
membangkitkan semangat mahasiswa Jakarta dan banyak dari mereka yang sudah pergi
kini kembali dan bergabung lagi untuk membangun markas besar di kampus mereka.
Dalam waktu singkat mahasiswa-mahasiswa Bandung yang kebanyakan dari ITB dan UI
yang masih bertahan mengubah gedung Fakultas Kedokteran menjadi benteng pertahanan
dengan membuat barikade di dalam dan menumpuk perabotan-perabotan yang diguyur
minyak tanah di pintu masuk kendati Kapala Staf Kostrad, Kemal Idris, berupaya
75
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1986, hal.
203-205.
76
Soe Hok Gie, 1995, Op. cit.,
30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

membujuk, sebagaimana yang dilakukan kepada pimpinan KAMI, tetapi mahasiswa-


mahasiswa Bandung menegaskan bahwa mereka akan melawan setiap usaha untuk
memindahkan mereka dan akan membakar bangunan jika diserang.
Kelompok mahasiswa Sastra dan Psikologi dan mahasiswa Bandung menemukan
kecocokan yang kompak. Dalam berbagai demonstrasi yang terjadi selama dua minggu
kemudian, keduanya bekerja dalam satu tim. Soe dan beberapa aktivis Bandung segera
membangun transmisi radio gelap untuk menyiarkan pandangan mereka dan laporan versi
mereka sendiri. Soe selama ini kesulitan menyampaikan berita-beritanya tentang
kampanye mahasiswa, bahkan melalui koran-koran Ibukota tempat ia mempunyai
sejumlah teman. Oleh sebab itu, beberapa mahasiswa Bandung dengan keahlian
tekniknya memasang pemancar kecil yang telah mereka bawa dari Bandung, sedangkan
mahasiswa-mahasiswa lain menyiapan materi siaran. Siaran itu harus diudarakan pada
waktu yang sama persis dengan waktu siaran resmi RRI.
Saat itu adalah hari-hari yang melelahkan bagi Soe Hok Gie dan tidak banyak
kesempaan baginya untuk beristirahat. Ia jarang pulang ke Kebon Jeruk dan
menghabiskan waktu dengan kesibukan dimarkas mahasiswa di kampus, mengadakan
kontak dengan penghubung-penghubungnya di Senayan dan di kelompok Gerakan
Pembauran di jalan Setia Budi. Ia sering muncul di kampus tengah malam dan
menjelaskan tentang perkembangan terakhir kepada para mahasiswa, dan dengan
pengetahuannya yang luas tentang peta politik, ia mengesankan semua orang. Soe Hok
Gie sendiri bukan orang ahli memimpin gerakan di lapangan tetapi sering dihormati
karena pengetahuan, gagasan dan pendapatnya.77
Sejak awal Maret para demonstran mahasiswa berada di jalan-jalan Jakarta hampr
setiap hari kadang-kadang ribuan pelajar sekolah menengah atas di bawah bendera
KAPPI, ikut serta dalam demonstran yang dimulai dari kampus UI, atau mereka membuat
barisan protes sendiri. Pada tanggal 2 Maret mahasiswa berkumpul di Universitas
Indonesia kemudian bergerak menjelajahi kota Jakarta dengan membawa patung
Soebandrio, yang digantung diatas tongkat bambu. Mereka memamerkannya diatas
sebuah truk yang melintas di depan rumah Soebandrio di jalan Diponegoro dan
meneriakkan ‘Gantung Soebandrio’ dan ‘Soebandrio Anjing Peking’. Ketika rombongan
sampai di halaman Universitas Indonesia, masa demonstran mengadakan upacara
simbolis dengan membakar patung Soebandrio yang disertai suasana hiruk-pikuk.
Tujuh hari setelah tewasnya Arief Rachman Hakim, 4 Maret, mahasiswa-
mahasiswa berkumpul di salah satu aula halaman Universitas Indonesia untuk
menyaksikan pembentukan milisi mahasiswa yang diberi nama Laskar Arief Rachman
Hakim, yang terdiri dari 42 Universitas dan Akademi di Jakarta. Laskar ini terdiri dari
batalyon yang diberi nama sesuai dengan nama para perwira senior yang dibunuh pada 1
Oktober. Komandan Fahmi Idris dan wakil adalah Louis Wangge. Pembentukannya
sudah disetujui oleh para perwira-perwira dan seragam serta perlengkapannya disediakan
oleh pengusaha-pengusaha yang bersimpati kepada mereka. Milisi ini bertekad aktif di
dalam beberapa demonstran sepanjang hari-hari berikutnya, dan perannya yang paling
penting adalah menghadapi kelompok mahasiswa, pemuda dan buruh yang mendukung
Soekarno, yang senantiasa menjadi ancaman bagi demonstran mahasiswa selama
minggu-minggu terakhir.

77
John Maxwell, Op. cit., hal. 211-215.
31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Langkah perjuangan mahasiswa makin mantap dengan terbentuknya Laskar Arief


Rachman Hakim, mahasiswa berkumpul di Universitas Indonesia dengan penjagaan dari
kesatuan kijang dan Kostrad kemudian bergerak menuju jalan Merdeka Selatan, letak
kantor Waperdam I, Soebandro. Iring-iringan mahasiswa mengarak boneka dengan tubuh
sekor anjing dan wajah Soebandrio yang berkacamata – Anjing Peking. Meskipun
pasukan Brimob melepaskan tembakan peringatan, tetapi massa demonstran berhasil
memasuki halaman kantor Soebandrio. Di sini massa membakar patung berbadan anjing
bermuka manusia Soebandrio dengan diringi sorak-sorai ramai.78
Dalam pandangan mahasiswa militan, tentara terlalu lamban bergerak melawan
Soekarno. Mereka telah mempertaruhkan nyawa dalam menghadapi pendukung
Soekarno. Tetapi sekutu mereka, Kemal Idris berusaha meyakinkan mahasiswa militan
bahwa kesabaran tetap diperlukan. Ia menjelaskan bahwa tekanan politik terhadap
Soekarno hanya bisa dilakukan secara perlahan-perlahan, yang akan memaksa Soekarno
memenuhi tuntutan perubahan politik yang signifikan dan menghindari penggunaan
kekuasaan militer secara langsung. Serangan militer hanya akan menimbulkan aksi
pembalasan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena disana Presiden Soekarno
mempunyai pendukung luas sehingga dapat memicu perang saudara.
Mahasiwa-mahasiswa militan mulai mencari cara untuk mengadakan perlawanan
dengan merencanakan demonstran yang lebih liar dan lebih keras, yang memicu
kemarahan Soekarno dan para pendukungnya, memprovokasi mereka agar membalas.
Pada saat yang sama, mahasiswa melakukan apa saja yang dapar melibatkan militer
secara langsung dalam konflik tersebut. Saat Soeharto menampilkan diri sebagai
pembantu presiden yang setia, aktivis-aktivis mahasiswa membuat marah para perwira
senior militer dengan secara tak terduga datang ke pertemuan mahasiswa di markas Besar
Kostrad di jalan Merdeka Selatan dengan mengenakan jaket kuning mereka, yang
menandakan bahwa mereka adalah mahasiswa Universitas Indonesia. Mahasiswa yang
lebih nekat memprovokai militer secara langsung, paling tidak satu kali mahasiswa-
mahasiswa yang mengendarai kendaraan militer ’meminjam’ senapan otomatis dan
beberapa kali mengeluarkan rentetan tembakan yang diarahkan pada jip Cakrabirawa
yang sedang melintas.
Soe Hok Gie, teman-temannya di senayan dan kelompok radikal Bandung
memprakarsai demonstrasi mahasiswa yang paling anarkis dan destruktif. Pada pagi hari,
8 Maret, mengadakan serbuan mendadak dan menduduki gedung Departemen Luar
Negeri di Pejambon. Para demonstran menduduki kantor Soebandrio dari pagi hari
sampai sore. Mereka mencoret-coret tembok kantor dengan slogan-slogan,
mengharamkan perabotan dan peralatan kantor, mengeluarkan semua isi rak-rak arsip dan
lacinya serta menyobek kertas-kerta. Mahasiswa-mahasiswa dipaksa keluar dari gedung
dengan tembakan gas air mata Brimob melalui jendela, tetapi jumlah pasukan kepolisian
itu tidak seimbang dengan gerombolan mahasiswa yang marah dan liar itu. Gas air mata
bukan saja membuat mahasiswa menjadi ketakutan tetapi juga membuat mereka menjadi
lebih brutal.79
Beberapa mahasiswa sastra-Psikologi, termasuk Soe Hok Gie dan aktivis-aktivis
Bandung yang dikenal sebagai militan merasa frustasi karena militer berusaha mengawasi

78
Yozan Anwar, Angkatan 66, Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, Jakarta, Sinar
Harapan, 1981, hal. 174-181.
79
John Maxwell, Op. cit., hal 218-224 dan Yozan Anwar, Ibid., hal. 185-187.
32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan mengontrol aktivitas mereka. Oleh sebab itu, operasi mereka menjadi lebih bersifat
sembunyi-sembunyi dan berani, dengan berkonsentrasi pada target-target yang sulit dan
berbahaya agar mencapai hasil maksimal. Sekelompok kecil mahasiswa akan melakukan
serangan semi-militer secara mendadak, pimpinannya menjadi terobsesi dengan detail
rencana dan penggunaan mata-mata, taktik mengalihkan perhatian serta berusaha
merahasiakan niat mereka dari perwira-perwira militer, baik yang menjadi sekutu mereka
maupun lawan.
Pada 9 Maret, mereka mendatangi kantor Berita Hsin Hua, yang mereka tuduh
mendukung PKI serta menyebarkan kabar bohong dan propaganda mengenai gerakan
mahasiswa dan tetap mendukung PKI. Mereka berusaha membakar kantor yang terletak
di daerah Tanah Abang, tidak jauh dari Korps Markas Marinir, tetapi serangan mereka
hanya menimbulkan kerusakan kecil, sebelum mereka dipukul mundur oleh aparat
keamanan. Di malam harinya, Soe dan dua mahasiswa Bandung mengamati gedung
Konsulat RRC di jalan Kramat Raya dan Konsulat Pedagangan Cina di jalan Cilosari,
yang menjadi sasaran keseokan harinya, kedua bangunan ini dekat dengan kampus
Salemba dan tidak ada barak tentara dan polisi di dekatnya, sehingga menjadi sasaran
serangan.
Pagi-pagi setelah jam malam berakhir, sekeitar empat puluh mahasiswa
mengadakan serangan terhadap kedua gedung tersebut. Pintu gerbang gedung konsulat
ditabrak dengan truk sampai jebol lalu mengobrak-abrik isi gedung. Di jalan Cilosari
mahasiswa memanjat tembok yang mengelilingi gedung. Mereka sempat berkelahi
dengan pegawai-pegawai Cina di dalam gedung dan menghancurkan kendaraan,
menguasai kantor serta mengambil dokumen-dokumen secara serabutan. Mahasiswa juga
merampas pemancar radio yang kuat dan mereka berharap dapat menggunakannya untuk
meningkatkan kualitas siaran Radio Ampera.80
Ketika situasi di Jakarta menjadi semakin kacau, Presiden Soekarno mengundang
rapat pimpinan partai pada tanggal 10 Maret. Dalam rapat dengan pimpinan partai-partai
politik presiden menuntut mereka menandatangani suatu pernyataan yang mengutuk
demonstran-demonstran akhir-akhir ini. Setelah lima jam berapat disetujui tuntutan
Presiden soekarno mengutuk aksi-aksi mahasiswa itu. Setelah penandatanganan, wakil-
wakil partai diperbolehkan pulang meninggalkan istana. Tetapi keesokan harinya semua
partai, kecuali PNI dan Partindo, mencabut kembali dukungan mereka kepada pernyataan
itu.
Kaum radikal dalam Angkatan Darat menganggap peristiwa itu sebagai suatu
kesempatan untuk mengingkatkan kampanye anti-Soekarno. Mereka mengetahui adanya
perbedaan pendapat antara para pemimpin politik dengan Presiden Soekarnop dalam
pertemuan itu, adanya rasa marah yang ditimbulkan oleh intimidasi yang digunakan
presiden terhadap banyak tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut. Jika mereka ingin
mempertahankan momentum perasaan anti-Soekarno itu dan mendorong Soeharto dan
kaum moderat untuk mengambil sikap yang lebih aktif dan tegas, maka harus diusahakan
agar Angkatan Darat secara terang-terangan tampil di pihak anti-Soekarno.
Pada sidang kabinet yang diadakan pada 11 Maret, Kemal Idris dan Sarwo Edhi
Wibowo yang tergolong barisan radikal dalam Angkatan Darat mengadakan operasi
untuk menakuti-nakuti Presiden Soekarno dan menangkap sejumlah menteri termasuk
Soebandrio dengan menyiapkan tiga kompi RPKAD mengepung istana tanpa baret merah
80
John Maxwell, Ibid.,
33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang terkenal itu. Sewaktu presiden Soekarno memberikan pengarahan, presiden


mendapat informasi ada sekelompok pasukan yang tdak dikenal telah menduduki posisi
mengepung depan istana. Soekarno segera meninggalkan sidang diikuti Soebandrio dan
Chaerul Saleh menuju Istana Bogor. Pada hari yang sama, Soeharto mengirim tiga
perwira tinggi, M. Jusuf, Amir Machmud dan Basuki Rachmat untuk meyakinkan
(memaksa) Presiden Soekarno memberi wewenang (menyerahkan kekuasaan) kepada
Soeharto. Akhirnya Presiden Soekarno menyerah dengan menandatangani surat
pelimpahan wewenang kepada Pangkostrad Soeharto.81
Aksi-aksi mahasiswa KAMI yang dimulai dari halaman Fakultas Kedokteran UI
pada tanggal 10 Januari 1966, setelah memulai gelombang demonstran pertama dan
kedua akhirnya mencapai ‘kemenangan’ dengan dengan dibubarkannya PKI dan segala
ormasnya dengan Surat Perintah Sebelas Maret yang diberikan Presiden Soekarno kepada
Letjen Soeharto. Keputusan ini merupakan sebuah kemenganan dari suatu perjuangan
yang lama dan melelahkan Soe Hok Gie mengenang arti kemenangan itu bagi
mahasiswa.

Mulai tanggal 12 Maret, setelah Soekarno menyerahkan kekuasaannya pada Jendral


Soeharto, mahasiswa Indonesia tiba-tiba mempunyai pengaruh yang amat besar. Rakyat
menghormatinya karena tanpa mahasiswa, tiran Soekarno masih berkuasa. Tentara
Indonesia (yang mempunyai perwira-perwira korup), disamping yang baik juga takut
pada mahasiswa. Belum pernah dalam sejarah Indonesia, mahasiswa-mahasiswa
mempunyai pengaruh politik yang demikian besar. Tokoh-tokoh mahasiswa menjadi
tokoh-tokoh nasional.82

Menumbangkan Rezim Soekarno

Peristiwa 11 dan 12 Maret menjadikan Soe optimis, tetapi tetap berhati-hati.


Komitmen Soe Hok Gie terhadap penggulingan Soekarno dan sistem pemerintahan yang
diciptakannya, membuat dirinya percaya bahwa bukan hanya Demokrasi Terpimpin saja
yang akan segera lenyap, tetapi sekaligus akan digantikan sistem pemerintahan yang
bebas, terbuka, dan lebih demokratis. Namun Soe tahu benar bahwa Soekarno dan para
pendukungnya bersikeras mempertahankan kekuasaannya. Untuk itu, ia bertekad
sedapatnya meruntuhkan rezim Soekarno dan mendorong militer yang dipimpin Soeharto
untuk mengambil tindakan tegas dan tanpa kompromi terhadap Soekarno beserta
pendukung utamanya dan segera melaksanakan reformasi struktural.
Pada hari-hari berukutnya para pemimpin KAMI, KAPPI dan Laskar Arief
Rachman Hakim mengadakan rapat-rapat umum dan demonstrasi-demonstrasi untuk
mendukung Soeharto, menyokong pelarangan PKI, dan mendesak agar segera diambil
tindakan terhadap menteri-menteri tertentu. Dengan meredanya demonstran setelah 11
Maret, Soe Hok Gie lebih mencurahkan perhatiannya untuk mengoperasikan Radio
Ampera. Sekarang peralatan siaran telah dipindahkan dari Fakultas Kedokteran UI dan
ditempatkan di sebuah rumah pribadi di kawasan Menteng, di jalan Hagi Agus Salim,
milik pengacara terkenal, Maskuri, yang kebetulan adalah tetangga sebelah rumah
Soeharto. Kalau dahulu siaran dengan pemancar kecil sehingga siarannya belum bisa
Harold Crouch, Op. cit., hal. 207-213 dan Ulf Sundhaussen, Op. cit., hal. 405-409.
81

Soe Hok Gie, “Di sekitar Demontrasi-Demontrasi Mahasiswa di Jakarta”, dalam Soe
82

Hok Gie, 1995, hlm. 3-11.


34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengudara secara teratur untuk daerah jangkauan yang luas. Tetapi sekarang pada
pertengahan Maret telah tersedia pemancar yang lebih kuat dan siaran malam reguler
mereka mampu menjangkau pendengar lebih luas di seluruh Jakarta.
Soe Hok Gie dan kakaknya, Hok-djin yang mengerjakan sebagian besar persiapan
dan penulisan teks siaran dan masalah teknik diurusi oleh mahasiswa Bandung.
Kerjasama kakak beradik ini sebagai pertanda kebencian dan permusuhan mereka kala
remaja telah berakhir. Kesamaan pandangan moral dan politik mereka disamping sikap
dewasa mereka yang memasuki usia dua puluhan telah memperkuat keduanya mulai
bekerja sama untuk menjatuhkan Soekarno dan pendukungnya.
Pada pertengahan Maret, RRI masih dikuasai oleh rezim Soekarno, sementara
tidak ada surat kabar berani menentang atau mengkritik kata-kata atau tindakan presiden
secara terbuka. Dalam situasi semacam ini, Soe dan kelompoknya mempersiapkan diri
untuk memberi komentar secara keras mengenai isu-isu yang berkembang saat itu;
tindakan yang sangat diinginkan oleh warga Jakarta.

Radio Ampera berpendapat bahwa dalam zaman rezim seratus menteri, bangsa Indonesia
telah diindoktrinasi secara sistematis dan terarah sehingga daya kritis mereka (kecuali
beberapa) telah sangat minim. Mereka bereaksi seperti robot-robot, seperti ‘anjing
Pavlov.’ …. Tugas daripada mass media adalah justeru untuk membongkar pola-pola
pemikiran seperti itu. Caranya hanya satu, yaitu dengan membuka mata rakyat
‘kebohongan’ dari pada apa yang pernah mereka percaya sebagai kebenaran. Bertitik
tolak dari pendapat seperti ini, maka Radio Ampera selalu akan menyiarkan hal-hal yang
dapat merobohkan ‘mitos-mitos kepalsuan’ yang telah ditanamkan oleh rezim seratus
menteri yang lalu.83

Dalam menghadapi tekanan Soeharto yang mengingkan ada perombakan kabinet


Dwikora, Presiden Soekarno mempersiapkan pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Presiden hanya bertanggung jawab kepada
MPRS yang telah mengangkatnya sebagai presiden yang berhak untuk memutuskan siapa
yang akan menduduki jabatan dalam kabinet. Pernyataan tertulis tertanggal 16 Maret itu
dibacakan melalui siaran radio dan televisi pada malam itu oleh Wakil Perdana Menteri
Chaerul Saleh, yang dilanjutkan dengan penjelsan terperinci oleh Roeslan Abdulgani,
Menteri Koordinator Penrangan Rakyat.
Pada malam itu juga Radio Ampera melancarkan kecaman pedas terhadap
Presiden Soekarno dan menteri-menteri yang menyampaikan pesan tersebut. Radio
Ampera menunjukkan kepada para pendengarnya bahwa memang benar presiden
bertanggung jawab hanya kepada MPR, tetapi anggota lembaga terpilih oleh rakyat
Indonesia dalam pemilihan yang bebas dan adil.

MPRS yang ada adalah dibuat dan dibentuk oleh Bung Karno sendiri. Anggota-
anggotanya dipilih seenaknya saja. Jadi dengan sendirinya wajar jika orang-orang yang
dipilih adalah orang-orang yang disenangi oleh Bung Karno. Dalam hal ini rakyat sama
sekali tidak diajak serta. Yang menanamkan dirinya wakil-wakil rakyat adalah budak-
budak yang patuh pada tuannya. Apa yang tuannya bilang ia turut. Karena itu tidak usah
heran jika MPRS mengeluarkan keputusan yang tidak karuan. Milsanya saya menetapkan
bahwa Presiden Soekarno adalah Presiden seumur hidup. Hanya orang gila dan anak

83
John Maxwell, Op. cit., hal. 227-244.
35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kecil saja yang mau terus dipimpin oleh orang-orang yang sudah tua, sakit-sakitan dan
pikun.84

Radio Ampera menyerang tanpa belas kasihan pada dua menteri yang tampil
sebagai pembela. Chaerul Saleh dituduh sebagai menteri yang menyalahgunakan
jabatannya untuk menimbun kekayaan pribadi yang sangat besar jumlahnya. Serangan
kepada Roeslan Abdulgani bahkan lebih kejam. Ia digambarkan sebagai badut dan
bunglon yang tidak terpakai dalam partainya sendiri –PNI— baik yang faksi Osa-Usep
maupun faksi ASU. Roeslan Abdulgani diikhtisarkan sebagai.

Plintat-plintut, bunglon, tak punya prinsip, maunya jadi kawula penguasa tertinggi,
korup, tapi mau menyelimuti semua ramuan yang celaka ini dengan sikap yang agung,
ilmiah, filosofis dan majestic.85

Perombakan kecil pada kabinet yang diumumkan pada 27 Maret membuat Radio
Ampera bertanya, Mengapa orang yang terbukti tidak layak di mata rakyat ditunjuk
kembali? Beberapa menteri, seperti Dr. Soeharto (Perencanaan Pembangunan Nasional),
Pandelaki (Anggaran), Sumarno (Keuangan) dan David Cheng (Perumahan, Perencanaan
dan Pembangunan Kota). Radio Amper juga mengkritik Leimena yang tetap
dipertahankan sebagai Wakil Perdana Menteri dan Roeslan Abdulgani yang diangkat ke
posisi itu. Leimena dikecam sebagai menteri yang bertanggung jawab atas penutupan
Universitas Indonesia pada 3 Maret dan karena ia memaksa para pemimpin partai
menandatangani pernyataan 10 Maret yang menuduh demonstran mahasiswa sebagai
ulah Nekolim dan CIA. Sekali lagi cacat pribadi dan publik Roeslan Abdulgani
dijelaskan secara detail dan menteri ini dicemooh sebagai jubur Usman. Usman adalah
singkatan dari USDEK- Manipol, Ideologi Demokrasi Terpimpin.
Soe Hok Gie dan teman-temannya berpendapat bahwa prombakan kabinet dengan
menghadirkan wajah baru yang kompeten dalam kabinet dan tentu saja integritasnya
tidak diragukan. Mereka ragu apa bisa pemimpin-pemimpin rakyat yang jujur seperti Sri
Sultan, Adam Malik dan Soeharto bekerja sama dengan orang-orang yang tidak mereka
kritik. Tidak berhenti di situ saja formulasi ideologis Soekarno dan slogan-slogan
politiknya juga di serang juga oleh Radio Ampera.

Kita sudah muak dengan slogan-slogan kosong. Kita sudah muak, muak sekali lagi muak.
Kita tidak mau pidato-pidato yang setinggi langit yang isinya kosong belaka. Kita mau
pemimpin-pemimpin yang rendah hati, yang melihat kenyataan yang riel, yang melihat
kenyataan yang riel dan kemudian bekerja dengan keras memperbaiki kekurangan-
kekeurangan yang ada.86

Dari Maret hingga Mei Radio Ampera selalu melancarkan serangan terhadap
Presiden Soekarno, sekutu-sekutu politiknya, dan kebijakan-kebijakannya dalam setiap
siaran reguler malam. Kecenderungan otoriter Presiden Soekarno, kegemarannya
mengumpulkan gelar-gelar yang hebat, pelecehannya terhadap ketetapan UUD Dasar
1945 dengan menerima status presiden seumur hidup dan mengisi MPRS dengan
84
Ibid.,
85
Ibid.,
86
Ibid.,
36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

penjilat-penjilatnya, menjadi sasaran kecaman berulang kali dari Radio Ampera.


Disamping terus menyerang Presiden Soekarno, Radio Ampera juga menyerukan kepada
Pers Indonesia dan partai politik untuk membuang loyalitas total kepada orang-orang
yang berkuasa, khususnya Presiden Soekarno. Para wartawan ditantang untuk
memperlihatkan keberanian dengan kembali kepada perannya sebagai alat kontrol dan
memberitakan korupsi di manapun terjadinya.
Diperkirakan Radio Ampera terus mengudara setelah Mei 1966. menjelang Juni
1966, suara kritis mulai muncul dikalangan pers Jakarta bersamaan dengan menyusutnya
kekuasaan Soekarno dan kini telah ada sumber-sumber perlindungan lain jika mereka
mengalami kesulitan. Pada saat itu terbit dua surat kabar yang dikelola mahasiswa, yaitu
Harian KAMI di Jakarta dan mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung. Pada tahun-
tahun berikutnya kedua surat kabar tersebut segera terkenal karena serangannya yang
tajam terhadap seluruh aspek Orde Lama dan kepemimpinannya. Mengenai Presiden
Soekarno tajuk rencana dan artikel-artikel feature kedua koran ini blak-blakan dan
langsung sehingga dengan cepat menarik perhatian pembaca dari kalangan elite politik
dan terdidik di Indonesia.87
Setelah siaran Radio Ampera menghilang di Jakarta saat mendekati sidang
istimewa Juni 1966, dapat dipastikan Soe Hok Gie telah kembali ke bangku kuliah, yang
mana kampus UI telah dibuka kemblai secara resmi pada awal April dan memerlukan
waktu beberapa lama untuk memulihkan kedhidupan akademiknya. Kembalinya Soe ke
kampus dikarenakan ia menganggap bahwa keterlibatan mahasiswa secara langsung
dalam politik nasional dengan turun ke jalan-jalan merupakan fenomena sementara.
Berbeda dengan beberapa mahasiswa yang menduduki posisi pimpinanan dalam gerakan
mahasiswa sejak akhir tahun 1965--khususnya mereka yang menjadi pucuk pimpinan
front aski KAMI—Soe tidak menganggap mahasiswa per se sebagai kekuatan politik
permanen di tingkat tertinggi dalam politik Indonesia. Ia juga tidak menganggap gerakan
mahasiswa sebagai jalan untuk mendapatkan posisi dalam dalam politik nasional.
Namun sepanjang paruh kedua 1966 banyak rekan mahasiswanya tetap diliputi
oleh suasana emosional yang telah berkembang dalam paruh pertama. Ada yang percaya
dengan retorika mereka tentang kemitraan mahasiswa-militer dan mengklaim hak-hak
istimewa karena yakin bahwa mereka telah menjadi pahlawan. Sikap yang berlebih-
lebihan tersebut mendapat kritik dari Soe Hok Gie dan ia menyatakan bahwa sudah
waktunya untuk meninggalkan jalan-jalan dan kembali ke kampus. Setelah sidang
istimewa MPRS memberi dukungan resmi pada Supersemar, Soe Hok Gie menganggap
bahwa krisis pokok telah berlalu. Masalah Presiden Soekarno dan masalah-masalah lain
yang belum diselesaikan bagi Soe, menjadi tugas utama aktor-aktor politik yang sudah
matang yaitu mereka yang duduk di DPR-GR dan MPRS, pemimpin partai dan pejabat
senior militer untuk membentuk dan memberi makna politik Indonesia Orde Baru yang
muncul dari reruntuhan Orde Lama.
Sidang MPRS yang berlangsung pada menjelang Juni telah mengeluarkan
sejumlah ketetapan yang menegaskan kembali kekuasaan konstitusionalnya dan
mengurangi kekuasaan serta wewenang-wewenang yang telah dilakukan Presiden
Soekarno selama masa Demokrasi Terpimpin. Status presiden seumur hidup Soekarno
dicabut, pertanggungjawabanya di bawah konstitusi untuk memberikan penjelasan yang

87
Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. Pembentukan dan
Konsolidasi Orde baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES, 1989.
37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menyeluruh tentang masa jabatannya harus diulang kembali, dan ia diwajibkan


memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam laporannya tersebut, MPRS
juga menugaskan di bentuk kabinet ‘Ampera’, yang komposisi akhirnya ditentukan oleh
Soeharto sebagai tokoh kuncinya.88
Setelah sidang MPRS berakhir, tampak jelas surat kabar menanggalkan kepatuhan
mereka pada masa Demokrasi terpimpin dan menunjukkan kekuatan serta ketegasan
mereka yang bangkit kembali. Pada saat itu, Soe berkeinginan untuk memberi
sumbangan bagi debat piblik tentang langkah dan arah perubahan politik dengan
mengirimkan artikel-artikel ke beberapa surat kabar sepanjang paruh kedua tahun 1966,
yang menjadi pijakan bagi kemunculannya sebagai intelektual Indonesia yang paling
blak-blakan dan berhaluan independen selama lebih dari tiga tahun berikutnya. Tuisan
pertama tentang Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, yang
dikagumi karena ketegasannya menentang Soekarno, yang ditulis tak lama setelah
pembebeasan Lubis dari tahanan. Tulisannya kemeudian disusul dengan sebuah artikel
yang meneyerukan pembebeasan lawan-lawan ppolitik Orde Lama lainnya. Pada bulan
Agustus Soe menulis mengenai ketegangan antara kaum intelektual dengan Partai
Komunis Cina di RRC. Pada saat bersamaan, Soe menulis mengenai gerakan mahasiswa
di Universitas Berijing tahun 1956-1957, yang menimbulkan gerakan reformasi’seratus
BUNga’ di Cina. Tulisan Soe itu menggambarkan tindakan keras terhadap kaum
intelektual dan mahasiswa pembangkang dan diakhiri dengan pendapatnya bahwa nasib
yang sama mungkin akan menimpa mahasiswa Indonesia jika gerakan mereka gagal.

Kalau mahasiswa-ABRI dapat mereka kalahkan, maka di tanah air akan lahir Barisan
Soekarno, yang kemudian akan diisi oleg fungsionaris-fungsionaris PKI-ASU dan
kawan-kawan. UI akan dibubarkan (Kemeudian disusul Unpad, ITB dan IPB).
Kemeudian Jakarta akan berdiri Universitas Bung Karno, dengan akhmad sebagai
rektornya. Guru Besar seperti Prof. Dr. Imam Slamet Santoso akan ‘dicomot’, dan
kemudian diikuti rekan-rekannya lebih muda, seperti Nugroho, Fuad Hasan, Widjojo dan
lain-lainnya. Setelah itu mahasiswa-mahasiswa seperti Marsilam Simanjuntak, Liem Bian
Koen, Firdaus dan kaum ‘Ekstremis’ akan ditendang dari bangku kuliah.89

Pada bulan-bulan terakhir 1966, saat kelompok militan anti-Soekarno


menyuarakan tuntutan perubahan menyeluruh, perhatian mulai diarahkan pada
pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan terhadap Presiden Soekarno sendiri. Sampai
awal November kampanye kelompok militan Mahasiswa Indonesia agar Soekarno
dipecat dan diadili. Soe Hok Gie adalah bagian dari proses ini, dengan menulis artikel-
artikel keras, yang menjelaskan betapa perlunya tindakan tegas dan segera untuk
mencopot Soekarno dari jabatan Kepresidenan.

Sesudah PKI dan Soebandrio dan kawan-kawan ‘ditertibkan’, timbul persoalan


berikutnya. Sesudah mereka siapakah yang harus ditertibkan? Dan pilihan rakyat adalah
pada Soekarno. Karena beliaulah yang dianggap (dan memang beralasan) bertanggung
jawab terhadap adanya korusi-korupsi, dekadensi moral dan lenyapnya demokrasi di
Indonesia. Sesudah Soekarno sasaran berikutnya adalah golongan yang ikut

John Maxwell, Op. cit., hal. 252-263.


88

Soe Hok Gie, “Sembilan Tahun yang lalu Mahasiswa-Mahasiswa Univeersitas Pekin
89

Mengamuk (Mei 1957-1966)”, Soe Hok Gie, 1995, hal. 107-117.


38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

membantunya, golongan-golongan koruptor, dan lain-lainnya. Jadi dalam penegakan


tuntutan mahasiswa rakyat ini Soekarno adalah sasaran kedua. Golongan-golongan yang
menjadi sasaran ketiga, keempat, kelima dan seterusnya sadar bahwa giliran mereka
hanyalah soal waktu. Dan karena itulah sekarang mereka bersatu untuk mempertahankan
Soekarno. Mereka mempertahankan Soekarno, bukan karena mereka cinta padanya,
tetapi karena mempertahankan dirinya. Soekarno adalah medan perang sekarang. Dia
adalah benteng, dia adalah lini kedua. Tanpa benteng ini jatuh, sulit sekali untuk
meningkatkan perjuangan. Dengan perkataan lain sebelum Soekarno jatuh perjuangan
belum lagi maju. Dalam soal inilah Soekarno menjadi faktor politik.90

Ketika tulisan Soe dimuat di Mahasiswa Indonesia, kampanye melawan Soekarno


di majalah ini sedang mencapai puncaknya. Tiap edisi memuat berita yang memenuhi
Soekarno di halaman muka, artikel-artikel yang ditulis dengan cerdas dan tajuk-tajuk
yang tajam mengecam politik Soekarno dan menuntut agar diambil tindakan segera
terhadapnya. Disamping itu, ditaruh foto-foto yang sesuai dengan tulisan itu dan
dipadukan dengan kartun-kartun sarkastik yang menusuk untuk menyerang Soekarno,
dengan menggambarkannya sebagai seorang yang korup, gila sex, yang mengagungkan
diri secara berlebih-lebihan, yang telah membawa negara ke jurang kehancuran politik
dan ekonomi.91
Kesaksian Omar Dhani, Panglima Angkatan Udara di hadapan sidang Mahmilub
pada awal Desember 1966, yang dimanipulasi pimpinan tentara untuk menciptakan kesan
yang kuat di mata publik bahwa Presiden Soekarno mengetahui dan menyetujui rencana
para pelaku kudeta.92 Akibatnya front aksi mahasiswa menuduh bahwa Presiden
Soekarno mengetahui dan menyetujui rencana pada pelaku kudeta tersebut. Mahasiswa
menyerukan agar MPRS bersidang kembali dan meminta Soekarno diajukan ke
pengadilan.93
Menjelang akhir tahun 1966 banyak pendukung Soekarno yang paling gigih
berusaha mencari kompromi yang bisa menghindari pemecatan yang memalukan saat
sidang MPRS nanti. Selama minggu-minggu ini, Soeharto yang berkeinginan menggeser
Soekarno, bertindak hati-hati dengan penuh perhitungan, berusaha merundingkan cara-
cara yang dapat membuat presiden bersedia meletakkan jabatannya secara sukarela dan
terhormat sehingga terhinda dari penghinaan.
Setelah perdebatan yang seringkali memanas selama beberapa hari, pada 12 Maret
MPRS akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Soekarno dari jabatannya dan
mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden untuk menggantikan Soekarno
sampai Pemilihan Umum diadakan. Keputusan MPRS itu bersifat kompromi, Soekarno
tidak diseret ke pangadilan untuk menghindari perang saudara dan Soekarno diam-diam
menghilang dari perhatian publik. Dengan berakhirnya periode Soekarno, pembentukan
tatanan politik baru dapat dilanjutkan tanpa halangan dari Soekarno dan para
pendukungnya.94
Bagi Soe Hok Gie, kejatuhan Soekarno dan sekutu-sekutunya hanya sebagai
langkah awal dari serangkaian tugas yang rumit dalam perombakan politik, sosial, dan

90
John Maxwell, Op. cit.,
91
Francois Raillon, Op. cit., hal. 125-162.
92
Ulf Sundhaussen, Op. cit., hal. 429-431.
93
Prisma, Desember, 1977, Op. cit.,
94
Ulf Sundhaussen, hal. 434-439 dan Harold Crouch, hal. 238-244.
39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ekonomi, yang jika berhasil, pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat yang lebih
adil, makmur dan demokratis. Tulisan-tulisan Soe selanjutnya, perombakan menjadi salah
satu tema yang diperhatikan. Ia berpendapat bahwa reformasi total berarti orang-orang
yang terkenal karena korupsinya atau oran- orang yang dulu aktif mendukung kebijakan
dan ideologi Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin seharusnya tidak boleh diizinkan
berkuasa kembali dalam masyarakat. Soe anggap sudah tiba saatnya untuk melakukan
revitalisasi total terhadap jajaran pegawai-pegawai negeri yang berkuasa dan yang
berpengaruh dalam pemerintahan.
Mengenai kebangkitan kembali menjadi topik hangat di Jakarta dengan adanya
laporan intelijen militer yang memastikan bahwa beberapa pimpinan PKI telah
berkumpul kembali dan membangun baris di tempat terpencil di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Soe segera berusaha menjelaskan tentang tindakan apa yang harus dilakukan agar
berita itu tidak menjadi kenyataan. Ia menegaskan bahwa perlu dilakukan sejumlah
perombakan penting dalam upaya memperlemah daya tarik Komunisme.

Menurut kami segala pelarangan terhadap PKI akan sia-sia saja kalau sekiranya di tanah
air kita ini tidak diadakan perbaikan yang drastis. Kalau sekiranya tidak ada peradilan-
peradilan, kalau sekiranya tidak ada keadilan sosial dan keadilan keamanan. Kita akan
mengalami nasib seperti Irak, Vietnam Selatan dan tiongkok Koumintang.95

Kendati sejumlah pimpinan PKI telah ditangkap pada akhir tahun 1966 dan
gerakan Mbah Suro di Jawa Timur telah ditumpas pada Maret 1967, Soe tetap
memikirkan kemungkinan-kemungkinan berikutnya komunisme dalam jangka panjang.
Ia mengulangi peringatan dengan mengatakan bahwa jalan satu-satunya untuk mencegah
bangkitnya PKI adalah

Membina kehidupan demokratis di Indonesia, dan kesamaan dengan itu membawa


korupsi dan menyebabkan kehidupan ekonomi dan pengadilan.96

Soe Hok Gie yang turut aktif mengganyang PKI, hatinya menjerit tatkala terjadi
pembantaiaan pasca kudeta yang gagal yang sangat mengerikan dengan korban jiwa yang
menurut laporan berkisar mendekat seratus ribu sampai satu juta. Dalam tulisannya, Soe
menguraikan secara detail ketidakadilan yang mengerikan yang masih menimpa orang-
orang yang selamat dari permbantaiaan itu namun terjebak di dalam gelombang
penyiksaan dan pembalasan oleh pihak anti komunis, yang melanda negeri ini.

Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan


ini sangat sulit. Banyak ex SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk
SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka (yang komunis) akan mempersulitnya.
Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta ampun dan
bersumpah bahwa ia bukan PKI. ‘Organisasi saya adalah BTI,’ katanya dengan berlinang
air mata.
Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, diasingkan masyarakat
dan diusir dari pergaulan. Dan hampir tidak ada yang mau memberikan kerja baru untuk
mereka karena mereka ex SOBSI. Lowongan yang tersedia untuk mereka adalah (yang

95
John Maxwell, Op. cit., hal. 264-284.
96
Ibid.,
40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang kecil (tukang
loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan
wajahnya).97

Keadaan ini menurut Soe bisa membawa bencana bagi bangsa Indonesia. Jika
tidak ada langkah yang diambil untuk menangani masalah tersebut, berarti dalam tahun-
tahun berikutnya banyak orang akan hidup dalam permusuhan, tidak tenang, terasing dari
masyarakat luas. Hal ini akan memperbesar kemungkinan meningkatnya perilaku anti
sosial dan kejahatan serta ancaman dari kelompok yang berjumlah besar, yang secara
potensial mendukung kebangkitan kembali komunisme di masa depan.
Tidak jelas kapan ia sepenuhnya sadar bahwa pembantaian yang telah dimulai sejak akhir
Oktober 1965 dan terjadi di kota-kota kecil atau pedesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Bali. Peristiwa ini tidak pernah dilaporkan pers nasional. Akibatnya informasi yang
muncul ke permukaan sebagian besar adalah rumor ketimbang berita yang akurat.
Informasi yang lebih akurat tentang apa yang sesungguhya terjadi baru muncul pada
tahun berikutnya.98
Kendati Soe sepenuhnya menyadari betapa besarnya tragedi kemanusiaan ini,
namun ia tidak banyak mengungkapkan simpati terhadap nasib pimpinan PKI. Ia
menganggap pimpinan PKI dan kader-kader seniornya bertanggung jawab langsung
karena menaburkan kebencian dalam masyarakat Indonesia sepanjang periode 1958
sampai 1965. Dalam pandangannya, tindakan-tindakan ini berperan langsung dalam
meletusnya kekerasan yang terjadi tak lama setelah percobaan kudeta. Soe juga menarik
garis pemisah yang tajam antara pembersihan pemimpin-pemimpin PKI dan nasib jutaan
pengikut-pengikut –yaitu anggota biasa dan orang-orang yang menjadi anggota badan-
badan afiliasinya, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia (SOBSI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani). Orang-orang tersebut dan keluarganyalah yang harus menanggung
beban terberat pembunuhan dan terus menerus menjadi sasaran penganiayaan serta
pembalasan.
Sepanjang bulan-bulan berikutnya Soe tetap terusik oleh menebalnya keragu-
raguannya terhadap ketulusan dan integritas beberapa orang politisi yang mengklaim diri
mereka sebagai pendukung yang paling setia Orde Baru. Ia muak terhadap opotunis Orde
Lama yang kini beruduyun-duyun berpihak kepada Orde Baru. Soe juga mengecam keras
beberapa anggota pers Jakarta karena terang-terangan bersikap munafik. Mereka dengan
cepat melompat ke gerbang Orde Baru setelah kejatuhan Soekarno dan kecenderungan
mereka bersenang-senang dengan melakukan apa yang ia sebut ‘menari diatas bangkai
Orde Lama’.99

Masalah Minoritas Cina

Soe Hok Gie bukan tak menyadari prasangka anti Cina itu merupakan suatu
rintangan yang harus diatasi. Ia tidak menolak kebenciannya dan menerima kenyataan

97
Ibid.,
98
Mengenai rincian pembantaian. Lihat, Harold Crouch, hal. 159-174.
99
John Maxwell, Op. cit.,
41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahwa manusia siapapun pada dasarnya dilemparkan begitu saja tanpa bisa memikirkan
jenis ras mana dia sebaiknya. Dan ini dibuktikan sekuat-kuatnya dalam sikapnya sendiri.
Beberapa anggota keluarganya menggantikan nama Cinanya menjadi nama Indonesia.
Ayahnya sendiri menggantikan namanya dari Soe Lie Piet menejadi Salam Setiawan,
Ibunya dari Nio Hoei An menjadi Maria Sugiri, kakak kandungnya dari Soe Hok Djin
menjadi Arief Budiman, tetapi Soe Hok Gie tetap dengan nama Cinanya. Ia begitu yakin
bahwa namanya tidak akan mengurangi sedikit rasa ke-Indonesian-nya.
Namun masalah minortas Cina bukan sesuatu yang bisa ditafikkan dengan begitu
saja. Ia sangat sadar akan hal yang disebutkan sebagai permasalahan yang sudah usang
tapi aktual. Kesadaran ini muncul terlebih ketika ia berada di tingkat pertama di FSUI
yang dipersoalkan mengapa dia dan kawan-kawannya keturunan Cina yang terbilang
pandai di masing-masing jurusan. Ia menolak semua alasan rasialis yang menyebabkan
keistimewaan ini. Ia juga menolak determinisme ekonomi seseorang dalam menentukan
prestasinya. Dan alasan yang dipakai adalah.

Aku lebih cenderung untuk berkata bahwa stimulus dan selera adalah faktor yang sangat
berpengaruh pada pemikiran seseorang. Belajar tanpa selera tidak akan berhasil. Tanpa
fighting spirit, maka kita bukan apa-apa. Hanya dengan inilah kita dapat belajar dengan
bersemangat. Aku lihat orang-orang Tionghoa telah mempunyai stimulus.100

Demikian dia sendiri tidak pernah percaya kepada alasan-alasan rasial untuk
menjelaskan peristiwa-peristiwa sosial. Tetapi persoalan menjadi aktual yaitu bahwa
masalah rasial masih tetap menghantui Indonesia dalam hubungan orang Indonesia asli
dan warga keturunan Cina. Hampir dua bulan kemudian, Soe berhadapan dengan
prasangka buta dan streotip rasis karena lawan-lawan bicaranya, yang bersikeras bahwa
semua warga keturunan Cina adalah materialis, dan pengkhianat. Ia berusaha, membela
dengan mengatakan bahwa tuduhan itu tidak sepenuhya benar dan hal itu bisa saja
berubah. Identitas nasional merupakan suatu proses yang lama dalam situasi tertentu,
tetapi dalam satuan lain dapat berubah.

Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran. Betapa gigihnya dekaden-
dekaden ilmiah bertahan. Dan betapa kita harus memeranginya. Kita dalam bertindak
dengan benar memakai segi rasio dan intuisi sedang mereka hanya membakar perasaan
lalu pergi begitu saja. Betapa Batubara anti kepada orang Tionghoa. Dan kaumnya belum
dapat belajar dari Hitler dan pengalaman sejarah. Sekarang aku dapat memahami
bagaimana kambing hitam dalam mesyarakat (di Indonesia orang Tionghoa) dapat
dengan mudah dikorbankan ya, dan kita harus merintis dan berjuang membasmi akar-
akar prasangka yang jauh ke dalam alam bawah sadar. Dan rumput-rumput prasangka
akan mudah bertumbuh, sedang pohon kebenaran begitu sukar.101

Kenyataan ini menunjukkan betapa sakitnya Soe Hok Gie berjuang untuk
membongkar garis batas. Kelompok solidaritas Cina untuk dihubungkan dengan
kelompok solidaritas lain yang juga masih begitu pluralistis. Bagaimana membangun
jembatan transkomunal yang mengubungkan kelompok agama satu dengan yang lain
kelompok etnis dan ras di Indonesia dengan yang lainnya. Ia menghadapi sentimen anti
100
Catatan Harian SHG, 8 Februari 1962.
101
Catatan Harian SHG, 12 April 1962.
42
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Cina sebagai pengalaman yang menyulitkan dan menyakitkan. Kejadian seperti itu tentu
saja berperan dalam keputusannya untuk bergabung dengan sekelompok orang yang
sepaham beberapa bulan kemudian ketika mereka mulai mendirikan sebuah organisasi
yang bertujuan menyebar luaskan ide asimilasi sebagai solusi bagi masalah yang dihadapi
oleh masyarakat etnis Cina di Indonesia.102
Pada saat itu ada Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki)
yang dibentuk pada bulan Maret 1954 atas prakarsa sejumlah WNI keturunan Tionghoa
yang terkemuka. Baperki dalam mencapai tujuannya di bidang kewarganegaraan,
menyokong integritas golongan WNI keturunan Tionghoa, yaitu diterimanya mereka
sebagai suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia. Baperki berpandangan bahwa
golongan WNI keturunan Tionghoa haruslah diperlakukan sama seperti suku-suku lain
dikalangan bangsa Indonesia. Setiap tuntutan bahwa mereka harus meninggalkan ciri-ciri
budayanya dianggap oleh mereka sebagai diskriminatif dan tidak bisa diterima. Demikian
pula, mereka menyambut dengan rasa curiga anjuran bahwa orang WNI keturunan
Tionghoa hendaknya melakukan kawin campuran dengan orang Indonesia pribumi dan
memakai nama Indonesia, dengan mengumumkan bahwa ‘asimilasi’ seperti itu bukan
merupakan perlindungan terhadap rasialisme dan diskriminasi. Tetapi ketika bandul
politik Indonesia berayun ke kiri pada akhir tahun 1950-an, demikian pula argumen para
pemimpin Baperki. Terutama ketuanya, Siauw Giok Tjhan, berargumen bahwa masalah
rasial hanya akan lenyap dengan tercapainya sosialisme Indonesia.
Berlawanan dengan Baperki ada sekelompok WNI keturunan Cina yang
menganjurkan asimilasi dari warga negara Indonesia keturunan Cina. Sekalipun gagasan
asimilasi telah dikemukakan jauh hari sebelumnya, gerakan similasi dikalangan glongan
WNI keturunan Tionghoa muncul pada tahun 1960 dalam suasana kekacauan yang
ditimbulkan oleh diberlakukannya larangan terhadap perdagangan eceran oleh orang-
orang asing di wilayah pedesaan (PP 10/1959) dan pelaksanaan perjanjian dwi
kewarganegaraan (20 Januari 1950) yang kedua-duanya memberikan alasan kepada
golongan WNI Keturunan Tionghoa untuk merenungkan makna kewarganegaraan
Indonesia. Kelompok asimilasi berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk memecahkan
masalah minoritas di Indonesia adalah mengusahakan lenyapnya golongan WNI
keturunan Tionghoa sebagai suatu kelompok sosial budaya yang terpisah. Mereka merasa
bahwa proses ini dapat dipercepat, kalau golongan WNI keturunan Tionghoa mengganti
nama Tionghoanya menjadi nama Indonesia dan menikah dengan orang Indonesia
pribumi dan meninggalkan kelompok-kelompok kesukuan yang menyendiri dan
meninggalkan alur budaya Tionghoa.103
Gerakan asimilasi dilancarkan dengan suatu pernyataan oleh sepuluh orang
Tionghoa Peranakan dalam masalah Star Weekly bulan Maret 1960. pernyataan ini
menimbulkan suatu perdebatan berkepanjangan mengenai asimilasi golongan WNI
keturunan Tionghoa dalam kolom surat pembaca dari majalah ini. Ketika Soe Hok Gie
memasuki FSUI pada akhir 1961 perdebatan tentang asimilasi in sedang berlangsung
karena bersahabat dengan Onghokham dan Tan Hong Gie, segera ikut serta dalam diskusi
mereka tentang masyarakat Cina-Indonesia. Dalam bulan-bulan berikutnya ia
diperkenalkan dengan beberapa pendukung gerakan asimilasi.

Daniel Dhakidae, Op. cit.,


102

Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1994,
103

hal. 96-101.
43
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sebagai anak muda Indonesia yang idealis, terdidik dalam sekolah berbahasa
Indonesia pada masa pasca perang, tanpa ikatan dengan komunitas Cina perqanakan yang
lebih luas, dant idak banyak tertarik pada tradisi dan kebudayaan sendiri, Soe lebih
mudah tertarik pada gagasan asimilasi. Ia adalah contoh yang sempurna dari Ci104na yang
sudah berasimilasi. Ia benar-benar mengidentifikasikan dirinya dengan negeri
kelahirannya dan sangat tertarik pada sejarah, kondisinya saat ini dan di masa depan. Ia
gampang berbaur dengan orang Indonesia dari berbagai kelompok etnis. Kebanyakan
temannya bukan berasal dari etnis Cina, hanya beberapa temannya dari etnis ini. Ia
menolak sikap eksklusif sesamanya orang Cina-Indonesia, apalagi jika sikap ini
dipadukan dengan apa yang ia anggap sebagai obsesi terhadap dunia bisnis. Ia yakin
bahwa sikap ini ikut berperan dalam munculnya prasangka dan rasisme yang berkembang
luas dalam masyarakat karena ia sendiri bukan berasal dari keluarga pedagang maka ia
cenderung menentang orang-orang Cina-Indonesia yang mengeja tujuan tersebut dan
menilai mereka sebagai golongan kelas mengah atau yang mempunyai ideal tertinggi
pada uang.104
Setelah menandatngani Piagam Asimilasi pada Januari 1951, Kaum Chuan Tho
dan yang lainnya mendirikan Panitia Penyuluhan Asimilasi dan mulai mencari dukungan
yang lebih luas bagi gerakan tersebut. Kemudian golongan asimilasi ini mendapat
dukungan dari Angkatan Darat dan membentuk Urusan Pembinaan Kesatuan Bangsa.
Pada saat ini Soe menjadi terlibat dengan kelompok anti para aktivis asimilasi.

Aku setuju dengan ide-ide mereka dalam soal asimilasi. Pokoknya ada peranan kebencian
pada masyarakat peranakan pada diriku. Masyarakat sebagai suatu sikap karena hidup
mereka yang begitu middle class dalam perngertian money complex atau tepatnya
maniak.105
Hubungan antara golongan asimilasi dan Angkatan Darat, yang dimulai sejak Juni
tahun 1962, semakin menambah kecurigaan banyak orang Tionghoa bahwa asimilasi
mungkin dipaksakan pada mreka, dan kecurigaan ini diperluas dengan tuduhan mengenai
hal itu oleh terompet Baperki. Hubungan dengan Angktan Darat itu juga pertanda sejauh
mana oposisi terhadap Baperki di kalangan penganjur asimilasi itu lebih termotivasi oleh
kekhawatiran mereka bahwa Baperki sedang menarik minoritas Tionghoa ke kiri
dibandingkan dengan komitmen mereka kepada gagasan asimilasi itu sendiri. Betapun,
perpecahan dikalangan golongan WNI keturunan Tionghoa mengenai masalah integrasi
dan asimilasi yang khas Tionghoa itu secara umum sama dengan polarisasi dalam
perkembangan politik Indonesia pada umumnya antara PKI dan Angkatan Darat.106
Pada awal 1963, golongan asimilasi sadar dengan berakhirnya undang-undang
darurat pada bulan Mei bisa meniadakan badan yang telah didirikan. Oleh karena itu
mereka mencoba bisa bertemu dengan Presiden Soekarno. Pada tanggal 22 Februari
1963, delegasi pendukung asimilasi diterima Presiden Soekarno di Istana Presiden. Soe
yang termasuk di dalamnya, tidak mempunyai pakaian yang layak untuk pertemuan itu, ia
buru-buru mencari jas pinjaman yang terlalu besar ukurannya. Delegasi ini terdiri dari
lima orang Indonesia keturunan Cina dan empat orang Indonesia Asli.

104
John Maxwell, Op. cit., hal. 100-111.
105
Catatan Harian SHG, 12 Agustus 1962.
106
Charles A. Coppel, Op. cit.,
44
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mereka diperkenalkan oleh Kolonel Sutjipto salah seorang perwira militer yang
mendukung gerakan asimilasi sejak setahun sebelumnya. Juru bicara kelompok,
Sindhunata, kemudian menjelaskan garis besar posisi gerakan asimilasi dan menjelaskan
usul mereka untuk memecahkan masalah minoritas di Indonesia. Ia mengakhiri
penjelasannya dengan meminta pendapat presiden dan meminta agar presiden memberi
peringatan jika mereka melakukan kesalahan.
Presiden Soekarno menyatakan setuju dengan gagasan pendukung asimilasi. Ia
menggaris-bawahi bahwa ia selalu melawan rasisme dalam segala bentuk, sehingga sikap
inisiatif akan memperkuat persatuan nasional, seperti perkawinan campur antar etnis,
akan ia restui. Selama diskusi berikutnya delegasi itu mendengarkan penjelasannya yang
baru mengenai motto nasional, Bhineka Tunggal Ika Presiden Soekarno dengan
menggunakan kata-kata dan frasa asing yang ia sukai, menerangkan bahwa Bhineka
(perbedaan) seharusnya dianggap sebagai das Sein (yang sebenarnya), sedangkan
Tunggal Ika (persatuan) menyiratkan das Sollen (yang seharusnya), pernyataan presiden
ini dapat dikapai untuk membenarkan asimilasi dan melemahkan kebijakan integrasionis
dari saingan mereka, Baperki.107
Kemudian golongan asimilasi ini mengadakan konferensi pada pertengahan
Maret, sebelum kongres Baperki dimulai beberapa hari kemudian sambil menyerang
organisasi dan sekolah yang dalam kenyataan secara rasial bersifat eksklusif. Mereka
kemudian membentuk Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Soe Hok Gie
terpilih menjadi pengurus pusat organisasi yang diketuai pegawai hukum Angkatan Laut,
Sindhunata. LPKB mencakup sejumlah orang Indonesia asli dari kalangan sipil yang
berhaluan politik kanan. Lembaga itu berkerja dari suatu kantor di Jakarta milik
Angkatan Darat.
Kongres Baperki yang diadakan kemudian tentulah merupakan pukulan dari
golongan asimilasi. Di sana Presiden menyampaikan pidato yang memuji Baperki dan
menerangkan bahwa di Indonesia tidak ada minoritas, yang ada hanya suku-suku, dan ia
dengan tergas mengacu golongan Tionghoa peranakan sebagai salah satu dari suku-suku
itu. Ia juga mengungkapkan secara pribadi bahwa nama seseorang, seperti juga
agamanya, adalah urusan pribadinya, ia tidak perlu mengganti namanya untuk menjadi
warga negara yang baik.108
Tetapi setelah kongres Baperki dan sebelum kedatangan Presiden Cina Liu Chao
chi dan Menlunya Chen Ji, diawali perkelahian antara gerombolan pemuda keturunan
Cina dan Indonesia di Cirebon pada 27 Maret 1963 dengan segera berkembang menjadi
kerusuhan anti Cina. Dua hari kemudian menyusul di Jawa Tengah dan Timur.
Kerusuhan di Cirebon dapat dengan cepat dikuasai komandan Korem Cirebon, Letkol. A.
J. Witono. Kerusuhan di Jawa Tengah dan Jawa Timur pun reda.
Gelombang kemarahan anti-Cina itu, yang diadasarkan atau kesenjangan ekonomi
yang makin besar antara golongan Cina yang relatif makmur dan pribumi Indonesia yang
miskin, digerakkan sel-sel PSI bawah tanah yang anti-Soekarno yang lebih radikal dan
simpatisan mereka dianggap sebagai suatu kesempatan baik untuk merikukkan rezim
Soekarno. Kerusuhan anti-Cina yang lebih besar selama atau tidak lama setelah
kunjungan pembesar-pembesar Cina itu pasti merikukkan pemerintah.

107
Catatan Harian SHG, 24 Februari 1963.
108
Charles A. Coppel, Op. cit.,
45
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kelompok aktivis anti-Soekarno itu punya kontak-kontak yang erat dengan


mahasiswa Bandung, terutama dengan Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dengan
beberapa tokoh mahasiswa Muslim. Setelah sejumlah pertemuan persiapan di rumah-
rumah perwira-perwira Siliwangi, mahasiswa Gemsos bentrokan dengan mahasiswa Cina
di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada pagi hari 10 Mei 1963 dan mereka segera
dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa HMI dan GMNI di dalam apa yang nantinya
merupakan huruhara anti Cina yang paling gawat di zaman Demokrasi Terpimpin.
Tidak ada orang Cina yang tewas atau mengalami cidera yang parah, tetapi toko-
toko Cina dirusakkan dan mobil-mobil dibakar. Polisi tak mampu menguasai para
mahasiswa itu yang dengan cepat diikuti oleh pelajar-pelajar sekolah menengah dan
khalayak yang menonton. Angkatan Udara mengirimkan sejumlah pasukan tetapi mereka
tak dapat menghentikan kerusuhan. Pada akhirnya, menjelang pukul tiga sore, pasukan
Siliwangi mengerahkan satuan Raider Kujang dan satuan Zeni yang, dengan bantuan
satuan-satuan Brigade Mobil, dapat memadamkan huru-hara itu. Pada saat itu Soekarno
menegaskan bahwa unsur-unsur Masyumi, PSI, PRRI/Permesta dan aktivis-aktivis
subversi asing telah mengorganisasikan huru-hara itu untuk merusak persahabtan
Indonesia dengan Cina, dan pada akhirnya menggulingkannya.109 PKI dan kelompok-
kelompok kiri lainnya dengan jelas menamakan peristiwa ini sebagai rasialis dan
mencapnya sebagai kontra revolusioneer. Pandangan ini juga diambil Baperki. Tetapi
para juru bicara anti komunis membatasi diri pada pernyataan menyesalkan peristiwa
tersebut, yang seringkali digambarkan dalam bahasa yang diulang-ulang, dan
mengisyaratkan secara luas bahwa para korban kekerasan itu mungkin telah mengundang
bahaya bagi dirinya sendiri dengan sifatnya yang menyendiri dan kemewahan mereka. Ini
adalah reaksi yang timbul dari LPKB.110
Selama dua tahun berikutnya, Soe memainkan peran penting dalam dewan LPKB.
Ia secara khusus aktif dalam seksi perencanaan dan penelitian lembaga ini. Di seksi ini ia
bisa menggunakan pengetahuannya tentang sejarah dan keahliannya dan disini sejumlah
akademisi serta intelektual bekerja sama dalam proyek-proyek khusus. Soe membantu
pembuatan sejumlah brosur dan plamfet informasi yang mengemukakan pendangan
LKPB tentang asimilasi. Ia terutama berusaha menempatkan asimilasi Cina dalam
konteks yang lebih luas dari perkembangan sejarah Indonesia sebagai bangsa yang
merdeka. Soe berpendapat bahwa pada masa pergerakan nasional, persatuan nasional
telah terancam oleh golongan yang berusaha mempertahankan kepentingannya yang
sempit. Di samping itu, kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda telah
memperparah perpecahan dalam masyarakat dengan memanfaatkan perbedaan ras, etnis
dan daerah. Ini adalah taktik yang sengaja digunakan untuk mempertahankan kekuasaan
dengan cara memperkuat identitas etnis dan mendorong prasangka rasial untuk
menghancurkan persatuan nasional. Dipandang dari perspektif ini, ‘asimilasi’ adalah
kebijakan yang pada hakikatnya patrotik, yang mengambil inspirasi dari teladan yang
telah diberikan oleh tokoh-tokoh nasionalis tedahulu, seperti Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Di pihak lain, LPKB berpendapat bahwa
‘integrasi’ telah menyerupai usaha untuk mendahulukan kepentingan minoritas di atas
kepentingan nasional.

109
Ulf Sundhaussen, Op. cit., hal. 311-314.
110
Charles A. Coppel, Op. cit.,
46
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soe kemudian menjadi anggota dewan redaksi Gelora Minggu pada paruh kedua
1963, sebuah terbitan mingguan yang mendukung kerja LPKB, tetapi mingguan ini tidak
berumur panjang. Pada Mei 1954, LPKB menerbitkan Jurnalnya sendiri, Baru Eka. Soe
yang juga anggota dewan redaksi, menulis sejumlah artikel untuk majalah bulanan ini
selama delapan bulan berikutnya, termasuk-termasuk studi-studi singkat tentang karya
orang-orang tertentu yang diyakininya merupakan perintis semangat asimilasi dan
persatuan nasional yang sedang berusaha dipromosikan oleh LPKB.
Saingan politik, LPKB, yaitu Baperki adalah organisasi yang lebih besar dan lebih
kuat. Baperki saat itu mendapat perhatian dari Soekarno dan mendapat dukungan
finansial yang berarti dari komunitas pengusaha Cina-Indonesia. Sedangkan LPKB
dengan keuangan terbatas, sedang berusaha keras membangun organisasi nasional yang
efektif dengan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Akibatnya, para pemimpin lembaga
memberikan suatu dasar yang lebih aman bagi dari LPKB dari pada apa yang selama ini
dipunyainya. LPKB dialihkan dari badan swasta menjadi organ resmi pemerintah.
Tetapi status yang diperoleh LPKB membuat Soe agak khawatir. Kekhwatiran ini
menjadi kekecewaan pada tahun 1965 ketika ia mengetahui bahwa yayasan swasta yang
diberikan untuk membantu kerja LPKB telah menerima izin ’defered payment’ dari Bank
Sentral. Setelah ditunjuk sebagai Menteri Bank Sentral pada November 1963, Jusuf
Muda Dalam mengubah nama itu menjadi milik pribadi secara politis. Selain untuk
membiaya proyek-proyek konstruksi besar yang disukai oleh Presiden Soekarno, sumber-
sumber keuangan Bank juga digunakan untuk mendukung dan memberikan sumbangan
bagi mereka yang mempunyai koneksi politik. Oleh karena itu, Soe menganggap bahwa
apapun keterlibatan LPKB dalam bisnis yang tidak jelas itu sama sekali tidak bisa
diterima. Ketika ia mengemukakan persoalan ini dikalangan LPKB pada paruh akhir
1965 ia ditentang oleh orang-orang yang mengambil sudut pandang yang lebih pragmatis,
dan yang berpendapat bahwa organisasi ini sangat memerlukan dana jika ingin
beroperasi. Kompromi semacam itu ditolak Soe Hok Gie karena dianggap persoalan
prinsip.111
Pada tanggal 8 Maret 1966 Soe Hok Gie ‘diadili’ oleh LPKB. Dan pada hari itu
juga ia ‘diberhentikan dengan ucapan terima kasih atas segala jasa-jasanya’. Kini ia tidak
LPKB dan tidak mungkin menjadi anggota Baperki. Dalam suasana itulah ia harus pula
menghadapi suatu ‘kepastian’ sikap pribumi terhadap masalah Cina yang tidak
memperdulikan dan tak akan mau pusing mempersoalkan apakah itu artinya asimilasi dan
apakah itu integrasi dan menganggap dua-duanya sama saja. Suatu kutub rasis
bersebelahan dengan nasionalisme Soekarno. Dan itu dialaminya sendiri pada awal tahun
1969 ketika dia akan berurusan dengan imigrasi dalam rangka mengadakan perjalanan ke
luar negeri.

Waktu saya meminta paspor RI jawaban, imigrasi meminta saya membuktikan bahwa
saya warga negara Republik Indonesia. Saya tunjukkan surat asli bahwa saya telah
memilih Indonesia dalam rangka persetujuan Dwikewarganegaraan (saya tak pernah
setuju dengan perjanjian ini). Tapi hal ini tidak cukup. Mereka ingin mengadakan
checking bahwa surat asli itu memang sah.
Dalam hati saya berpikir-pikir, betapa birokratisnya aparat RI. Saya telah membawa
naskah asli saya sebagai pegawai negeri (di Fakultas Sastra UI). Saya adalah Ketua Senat
Mahasiswa FSUI. Dan saya pun membawa surat pengantar Rektor UI. Akhirnya
111
John Maxwell, Op. cit.,
47
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ditempuh prosedur checking di pendaftaran orang asing. Jika nama saya tidak ada di sana
maka saya dianggap warga negara Indonesia.112

Peristiwa yang menyebabkan bagi Soe Hok Gie, sebenarnya bukan sekedar
persoalan birokratis, tetapi lebih merupakan suatu penolakan dari manusia-manusia
anonim, ranpa wajah, tanpa nama terhadap usaha-usahanya sendiri untuk menghapuskan
ketegaran kelompok solidaritas dan membangun jembatan transkomunal.

Kenyataan dan Kekecewaan

Sepanjang awal dasawarsa 1960-an Soe mengamati politisasi dalam segala aspek
kehidupan kampus di bawah Demokrasi Terpimpin. Dampak politik terhadap dunia
kampus membuatnya khawatir. Ia cemas banyaknya mahasiswa dan dosen yang terseret
ke dalam pusaran arus Demokrasi Terpimpin. Merkipun kampus Rawamangun terhindar
dari ketegangan yang paling parah itu, sepanjang 1965 konflik-konflik serius juga
meletup disana karena organisasi-organisasi mahasiswa yang bersaing, yang berafiliasi
dengan kekuatan politik di luar kampus berusaha mendominasi dunia mahasiswa. Dengan
terjadinya peristiwa-peristiwa dramatis pada akhir 1965 dan awal 1966, persoalan
internal kampus sepenuhnya dilingkupi oleh krisis politik nasional.
Selama periode ini di kampus Rawamangun Soe berperan penting mendorong dan
mengarahkan partisipasi teman-teman mahasiswanya. Merkipun ia sendiri aktivis, Soe
berpendapat keterlibatan langsung mahasiswa dalam politik nasional sebagai fenomena
sementra ini adalah reaksi spontan terhadap krisis politik yang saat ini tengah
mengancam akan melanda seluruh negeri. Walaupun keterlibatan itu merupakan
keharusan dan tak dapat dihindari, menjelang pertengahan 1966. Soe menganggap bahwa
partisipasi aktif mahasiswa dalam politik nasional harus benar-benar diakhiri. Keyakinan
Soe Hok Gie adalah para dosen dan mahasiswa kini seharusnya kembali pada tugas, yaitu
mengajar dan belajar.
Pada waktu bersamaan Soe berkeinginan mengadakan pembersihan apa yang
dianggap sebagai damnpak kekuatan politik eksternal yang menggerogoti kehidupan
kampus dan pemulihan kebebasan akademik sepenuhnya karena ia yakin bahwa kondisi
semacam itu penting agar kebebasan akademik dihargai, tanpa takut dikenai tuduhan.
Pengalamannya pada masa Demorasi Terpimpin menjadi dasar pandangan Soe yang
menganggap tentang perlunya membangun dan memelihara independensi kampus. Oleh
karena itu, ia bertekad untuk melakukan apapun yang dapat dilakukannya untuk
mempertahankan FSUI sebagai bagian dari universitas yang seharusnya bebas dari
campur tangan politik dan dominasi kekuatan luar manapun.
Ketika Mapram dimulai pada bulan Februari 1967 ia merupakan orang yang
paling rajin menyuarakan kemandirian kampus. Ia menjadi begitu jengkel dengan aktivis-
aktivis yang sedang berusaha menarik anggota baru agar tidak bergabung dengan
organisasi politik dan keagamaan apapun sampai mereka mempunyai waktu untuk
memikirkannya secara matang. Ia juga berusaha keras membujuk mahasiswa di FSUI
agar tetap mengikuti Mapram dan tidak terburu-buru berpartisipasi dalam demonstrasi

112
Daniel Dhakidae, Op. cit.,
48
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

politik anti-Orde Lama yang masih berlangsung yang ditujukan untuk sidang MPRS
bulan Maret.
Terpilihnya Soe Hok Gie sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI telah memberi
kepastian bahwa FSUI berkembang sesuai dengan konsepnya tentang universitas sebagai
tempat yang bebas dari pengaruh negatif dan unsur-unsur yang merusak dari masyarakat
luas. Walaupun ia bekerja keras meyakinkan rekan-rekan mahasiswanya untuk bersama-
sama mewujudkan cita-citanya agar universitas menjadi sebuah forum debat yang bebas
dan terbuka serta forum penelitian intelektual yang kokoh.
Sebagai ketua senat, Soe Hok Gie ada kalanya dihadapkan dengan beberapa
masalah yang menyebabkan ia tertekan. Masalah yang paling penting adalah dukungan
terhadap Pembantu Dekan I, Harsya W. Bachtiar yang menerima kembali beberapa staf
dan mahasiswa yang dituduh terlibat dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI, yang
telah diberhentikan sementara. Beberapa dari orang-orang ini sekedar menjadi pengikut
dan tidak memainkan peran politik dalam masalah apapun, sedangkan yang lainnya
hanya korban prasangka yang membabi buta dan dipersalahkan karena dianggap
memiliki keterkaitan dengan aliansi kiri. Namun di pihak lain, telah diambil keputusan
bahwa dosen yang dianggap ‘komunis’ harus dipecat.
Tetapi dukungan terhadap keputusan Pembantu Dekan I ternyata menyadarkan
Soe Hok Gie bukan saja karena mahasiswa tidak menyokong dirinya dan cepat padangan
golongan-golongan yang menamakan dirinya ‘almamater dan putera terbaik dari Sastra’.
Ia berpendapat bahwa sekiranya mayoritas senat dan kelompoknya tidak sejalan dengan
kebijakannya. Soe Hok Gie bersedia mengundurkan diri sebagai ketua senat. Ia merasa
tertekan oleh melebarnya jarak pemisah antara dirinya dengan kawan-kawan
mahasiswanya.

Faktor lain yang membuat saya merasa ‘sendiri’ sekarang adalah bahwa saya makin tidak
dimengerti oleh kawan-lawan. Mereka mengeluh bahwa saya keras kepala. Mungkin
keluhan mereka benar. But I can’t change my personality. Saya tidak mau mengubah
pendirian-pendirian saya selama saya percaya bahwa pendirian saya benar. Dan saya
tidak mau menjadi manusia massa, yang sikap pribadinya ditentukan oleh poster, slogan
dan intimidasi. Barangkali orang-orang seeperti saya hanya bisa muncul dalam saat-saat
krisis. Sesudah itu masyarakat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang lebih lunak. Dan
mereka tidak berpikir kreatif, terlalu pragmatis kadang-kdang saya takut memikirkan
masa depan.113

Bukan hanya persoalan internal kampus saja yang membuat semangat Soe
menurun pada bulan-bulan terkahir 1967. Yang juga ia khawatir adalah posisi KAMI
sebagai sebuah organisasi yang mengklaim dirinya mewakili kepentingan dan aspirasi
semua mahasiswa Indonesia. Walaupun Soe menganggap kemunculan KAMI dan
perannya sebahai penggerak demonstrasi mahasiswa pada 1966 adalah perkembangan
positif, sebagai seorang aktivis kampus ia segera meragukan kelangsungan hidup KAMI
dalam jangka panjang. Ia menganggap bahwa sebagian besar pimpinan KAMI Pusat tidak
lolos dalam ujian sebagai pemimpin. Karena mereka tidak ikut turun ke jalan sepanjang
Februari dan awal Maret ketika gelombang demonstran mahasiswa sedang gencar-
gencarnya dilakukan dan nyawa menjadi taruhannya. Beberapa diantaranya mereka

113
John Maxwell, Op. cit., 286-295.
49
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

membuat marah dirinya karena terang-terangan mendukung keinginan pemerintah agar


mahasiswa mengakhiri pemogokan kuliah dan kembali ke kelas.
Meskipun demikian, setelah 11 Maret para pemimpin KAMI berupaya merebut
perhatian publik. Ironisnya, menjelang pertengahan 1966 ketika Soe secara aktif
membujuk mahasiswa untuk kembali ke kampus mereka dan menyatakan bahwa sudah
saatnya KAMI membubarkan diri, aktivis-aktivis KAMI Pusat justeru mulai melakukan
manuver agar mereka memperoleh tempat permanen dalam forum politik Orde Baru.
Pentolan KAMI berpendapat bahwa karena mahasiswa telah memainkan peran kunci
pada periode Januari sampai Maret untuk mendukung Tritura, maka suara mereka berhak
didengar di MPRS dan DPR-GR. Di samping itu, mereka berpendapat bahwa pertarungan
melawan Soekarno dan pendukungnya masih jauh dari selesai dan perwakilan mahasiswa
dapat memainkan peran vital untuk mengadakan unsur-unsur Orde Lama yang masih ada
di MPRS, yang pada bulan Maret 1967 akan mengadakan perhelatan.
Keinginan KAMI Pusat terpenuhi dengan pengumuman Soeharto tentang daftar
anggota baru MPRS dan DPR-GR hasil restrukturisasi pada akhir Januari 1967, ada
empat belas aktivis mahasiswa yang termasuk didalamnya. Penunjukkan itu jelas ditolak
mentah-mentah oleh Soe Hok Gie yang berpandangan bahwa mahasiswa seharusnya
meninggalkan aktivitas politik dan kembali melanjutkan kuliah.
Soe Hok Gie mempersoalkan adanya dua golongan mahasiswa di dalam
organisasi gerakan mahasiswa yaitu suatu kelompok mahasiswa yang bergerak atas aspek
perjuangan moral, yang bergerak atas ukuran benar dan salah. Yang kedua adalah yang
bergerak atas perhitungan politik praktis, yang bergerak atas perhitungan tentang yang
kuat dan lemah. Ia berpandangan bahwa mahasiswa seharusnya hanya muncul sebagai
aktor politik ketika krisis sedang mencapai puncaknya, sebagaimana yang memang telah
mereka lakukan awal 1966. ketika krisis sudah berlalu, golongan moralis berpendapat
bahwa mahasiswa seharusnya kembali ke kampus dan tugas utama mereka. Selain itu,
mereka seharusnya tidak mengharapkan imbalan untuk intervensi mereka dan tidak layak
mencari posisi.

Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan koboi. Seorang koboi datang ke
sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan
dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah
banditnya mati penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang koboi. Tetapi ia
telah pergi ke horizonyang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi
kalau ada bandit-bandit yang berkuasa.
Demikian pula mahasiswa. Ia turun ke ‘kota’ karena terdapat ‘bandit-bandit PKI
Soekarno-Soebandrio’ yang sedang menteror penduduk, merampok kekayaan rakyat dan
mencemarkan wanita-wanita terhormat. Mahasiswa ini menantangnya berduel dan
menang. Setelah ia menang, ia balik ke bangku kuliah sebagai mahasiswa yang baik. Ia
tidak mengeksploitasi jasa-jasanya untu dapat berbagai rezeki.114

Pada paruh kedua 1966 Soe menganggap bahwa hakikat KAMI sebagai koalisi
longgar berbagai kepentingan kelompok yang bersaing muncul kembali dengan cepat.
Setelah penunjukkan mahasiswa untuk duduk di MPRS/ DPR-GR meletup perselisihan
antara anggota lembaga-lembaga yang terhimpun dalam KAMI. Konflik kepentingan
menjadi lebih jelas setelah perwakilan mahasiswa mendapat tempat di legislatif karena
114
Soe Hok Gie, 1995, Op. cit., hal. 12-24.
50
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mereka bukan saja tidak mampu bertindak sebagai kelompok yang bersatu, tetapi bahkan
beberapa orang yang paling terkemuka secara terbuka bersekutu dengan partai politik
atau bergabung dengan organisasi tertentu yang mempunyai hubungan dekat dengannya.
Seeiring berjalannya waktu, para aktivis KAMI semakin sulit bersuara bulat dalam
berbagai isu penting.
Persaingan dan permusuhan antara elemen-elemen dasar KAMI melahirkan
ancaman yang lebih besar, yaitu semakin terlibatnya mahasiswa dalam perpecahan politik
dan golongan di luar kampus. Soe menganggap bahwa KAMI bukanlah entitas yang
demokratis. Mereka yang duduk dalam presidium pusat atau yang menjadi perwakilan
mahasiswa di dewan legislatif tidak dipilih oleh badan mahasiswa yang lebih luas dan
disana tidak ada mekanisme bagi mahasiswa untuk mengontrol kegiatan mereka. Tidak
ada mekanisme kontrol ini mengakibatkan tidak adanya pertanggungjawaban. Soe
mengecam posisi aktivis-aktivis KAMI tanpa ampun.
Lama-kelamaan KAMI Pusat menjadi klik vested interest mahasiswa. Sebagian besar
aktivis-aktivis KAMI adalah tokoh-tokoh yang hidup dengan menunggangi status
kemahasiswaannya. Umurnya rata-rata mendekati 30 tahun dan telah berkali-kali tak naik
kelas, karena jarang kuliah. Mereka bukan lagi mahasiswa yang berpolitik, tetapi
politikus yang punya kartu mahasiswa. 115

Pada awalanya KAMI merupakan suatu badan yang populer dan berita
penunjukkan perwakilan mahasiswa di MPRS/DPR-GR di dukung oleh kebanyakan
mahasiswa yang terlibat dalam kampanye Tritura, tetapi menjelang akhir 1967 terjadi
pergeseran yang dramatis dalam opini kampus dengan munculnya tanda-tanda semakin
menambah kemarahan dan sinisme. Ketika mendaki gunung Slamet pada tahun 1967 dan
berbicara tentang Jakarta dan KAMI dengan seorang pemuda desa yang dikenal di sana,
Soe Hok Gie menjelaskan tentang korupsi dalam kalangan mahasiswa

Sebagian dari pimpinan-pimpinan KAMI adalah maling juga. Mereka korupsi, mereka
merebut kursi, rebut-rebut pesan mobil, dan tukang kecap pula. Tetapi sebagian dari
mereka jujur.116

Tulisan Soe Hok Gie yang mengkritik pentolan KAMI telah menyebabkan
presidium pusat KAMI memanggil Soe Hk Gie untuk menjelaskan ucapannya tetapi Soe
menolak. Sebulan kemudian pers ibukota mengemukakan tentang beberapa pemimpin
KAMI yang duduk di DPR-GR ternyata terlibat dalam manipulasi penyediaan kendaraan
bermotor untuk para anggota parlemen. Prediksi Soe bahwa diperolehnya sejumlah kursi
di dewan legislatif adalah ‘racun berlumur darah’ terbukti dengan munculnya
perkembangan ini. Soe berpendapat bahwa KAMI pusat tidak mungkin membicarakan
pemberantasan korupsi dalam kehidupan masyarakat jika KAMI tidak berbenah diri.
Tetapi kenyataannya, ketika sampai isu korusi, sebagian besar pemimpin KAMI hanya
menganggapnya soal sepele dan membahas secara umum saja. Peringatan awal Soe
tentang kelemahan KAMI tidak dihiraukan. Sampai akhir 1967 ia yakin bahwa posisi
KAMI hampir ridak dapat diperbaiki lagi.
Selain memeberikan penilaian yang pesimis terhadap KAMI sebagai lembaga
yang cacat dan goyah, pada akhir 1967 Soe memperhatikan semakin meningkat
115
Ibid.,
116
Soe Hok Gie, “Menaklukan Gunung Slamet”, dalam Soe Hok Gie, 1995, hal. 31-49.
51
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keterlibatan beberapa organisasi mahasiswa ekstra dalam urusan kampus. Soe mencurigai
mereka yang dianggap peduli dengan kepentingan kelompok mereka ketimbang
kepentingan komunitas yang lebih luas karena banyak dari organisasi ekstra mempunyai
hubungan dekat dengan dunia politik di luar kampus, Soe yakin bahwa kampus akan
dijadikan ajang pertarungan bagi kepentingan di luar kampus. Pada 1967 posisi
mahasiswa anti organisasi mahasiswa ekstra beraliran independen di FSUI tidak pernah
benar-benar terancam. Dewan mahasiswa UI dan hampir semua senat fakultas lain berada
di bawah kontrol mahasiswa-mahasiswa yang bergabung dengan organisasi mahasiswa
ekstra, dengan aktivis HMI sebagai pemegang posisi-posisi kunci di dalamnya.
Pada awal Februari 1968 Soe Hok Gie memprakarsai serangkaian pertemuan
pribadi dengan sekelompok kecil rekan mahasiswanya dari berbagai fakultas di UI.
Kelompok ini mempunyai pandangan yang sama bahwa reputasi universitas sedang
dipertaruhkan akibat ulah para pemimpin mahasiswa yang menempatkan kepentingan
kelompok yang sempit di atas kesejahteraan komunitas mahasiswa yang lebih luas, dan
yang dianggap seringkali menyalahgunakan posisinya sebagai pimpinan demi
keuntungan pribadi. Mereka menganggap pentingnya melindungi dan memperkuat
universitas mereka sebagai benteng kegiatan intelektual yang kuat dan independen.
Mereka juga bertekad menolak setiap upaya campur tangan pihak luar dalam persoalan
mahasiswa dan universitas. Pada 2 Juli 1968, tujuh belas mahasiswa menamakan diri
mereka Group Diskusi Universitas Indonesia. Deklarasi tersebut sebagai tantangan
langsung kepada mahasiswa-mahasiswa yang menguasai Dewan Mahasiswa UI dan
menjadi tanda dimulainya kampanye reformasi struktur kemahasiswaan yang saat itu
sedang berlaku di UI

Kami menyadari bahwa di dalam lingkungan kemahasiswaan Universitas Indonesia


masih terdapat banyak sekali ketidakberesan, struktur kehidupan mahasiswa masih
ditentukan oleh pengotak-kotakan, ideologi, golongan secara sempit. Pimpinan
mahasiswa Universitas Indonesia saat ini masih banyak yang melakukan tindakan-
tindakan yang curang seperti manipulasi, korupsi, dan perbuatan-perbuatan amoral
lainnya.
Kebebasan mimbar dan tanggung jawab akademik masih sering disisihkan dan digantikan
oleh sikap intoleransi dan dogmatisme, yang membuat warga UI, menjadi berpikir sempit
dan picik…. Kami melihat bahwa sikap-sikap seperti ini membahayakan hakikat dasar
dari Universitas sebagai penelitian, pendidikan dan pengabaian.117

Soe Hok Gie prihatin terhadap meningkatnya derajat intoleransi akibat


konsentrasi kekuasaan politik yang berlebihan ditangan para perwira militer senior yang
dipimpin oleh pejabat Presiden Soeharto dan munculnya kecenderungan yang semakin
mengebiri elemen-elemen dalam masyarakat Indonesia yang ingin melihat bangsanya
bergerak menuju bentuk pemerintahan demokratis yang bertanggung jawad. Disamping
itu Soe mendapatkan informasi tentang korupsi terang-terangan dan kehidupan mewah
sejumlah perwira senior militer yang ditunjuk untuk menduduki posisi kunci.
Sehubungan dengan masalah-masalah seirus ini, Soe berpendapat bahwa mahasiswa di
kampus-kampus perlu mempertimbangkan kembali apakah mereka akan terus
mendukung Soeharto sepenuh hati atau tidak. Soe berpendapat cara yang lebih ampuh
untuk menarik dukungan dari kalangan mahasiswa.
117
John Maxwel,, hal. 303-307.
52
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tulisan-tulisan yang terus terang dan tajam di media massa Indonesia menarik
banyak perhatian. Tetpai sejumlah teman yang jelas mencemaskan keselamatannya
menyarankan agar ia lebih berhati-hati dengan kritiknya terhadap militer dan kebijakan
pemerintah dan terutama sekali, mereka mendesak Soe agar menahan diri untuk tidak
menyebut nama-nama tokoh masyarakat yang berkuasa dan berpotensi membalas
dendam. Keterlibatannya memimpin demonstrasi untuk memprotes serangan brutal
terhadap pemerintah Dubcek di Cekoslowakia telah memberi kesan bahwa Soe seorang
ambisius yang mempunyai tujuan untuk kepentingan diri sendiri. Mengenai kesan orang,
Soe menjawab.

Saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang selalu ingin
mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi, juga ketidak-populeran. Ada
selalu yang lebih besar: kebenaran.118

Pada bulan Agustus 1968, mendapat tawaran dari pemerintah AS untuk melawat
ke negeri Paman Sam selama lebih dari 70 hari. Soe menyatakan kesediannya menjadi
wakil Indonesia dari mahasiswa universitas dari wilayah Asia-Pasifik tanpa ada
persyaratan tertentu.

Saya katakan jika saya mau, asalkan tidak ada syarat-syaratnya kemudian saya
menuminya secara pribadi, dan menjelaskan sikap politik saya terhadap politik AS. Saya
katakan bahwa saya anti politik Perang Vietnamnya, dan saya tidak pro secara membabi
buta terhadap AS. Saya katakan pula, bahwa saya bukan anggota KAMI. “Saya tak punya
ormas.” Saya menjelaskan pula sikap politik terhadap keadaan sekarang. “Saya
menganggap bahwa saya anti komunis, tetapi saya juga memprotes keadaan yang tidak
adil untuk mereka.
Saya tunjukkan bahwa saya pernah menulis karangan di Kompas tentang akibat-akibat
dari Gestapu, dimana saya mengeritik policy pemerintah saya terhadap pembasmian
komunisme. …saya juga jelaskan ‘record’ saya sebagai mahasiswa anti komunis sebelum
Gestapu, dan selama demonstran-demonstran mahasiswa.
Jika hal-hal ini telah dipertimbangkan dan anda tetap ingin agar saya ke AS, saya mau.119

Rupanya record Soe Hok Gie tidak mempengaruhi undangan yang telah ada
kemudian ia melakukan persiapan untuk keberangkatannya sebulan lebih. Sebelum
meninggalkan tanah air, Soe masih mempunyai waktu untuk menulis. Tulisannya yang
berjudul ‘Srigala Biru’ dimuat pada mingguan Mahasiswa Indonesia pada tanggal 6
Oktober 1968. Di sana ia menjelaskan kekuatannya akan arah yang akan ditempuh
pemerintahan Soeharto untuk membawa Indonesia. Ia juga frsutasi atas kegagalan badan
legislatif yang dulu diharapkan bisa berkembang menjadi lembaga perwakilan yang
bermanfaat, dan terutama, kekecewaannya terhadap orang-orang yang generasinya yang
ia yakini mengkhianati cita-cita yang menjadi inti perjuangan120 menggulingkan Soekarno
dan Orde Lama.
Pada tanggal 8 Oktober Soe terbang dari Jakarta menuju Amerika Serikat.
Lawatannya dimulai dari Universitas Hawaii dan East-West Centre di Honolulu
kemudian ke universitas terkenal seperti Berkeley, Chicago, Cornell dan Yale.
118
Catatan Harian SHG, 26 Agustus 1968.
119
Soe Hok Gie, “Saya Bukan Wakil KAMI”, dalam Soe Hok Gie, 1995, hal. 191-193.
120
John Maxwell, Op. cit., hal. 316-323.
53
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kunjungan yang lebih kecil di negara bagian Oregon dan New York ke kampus-kampus
yang didominasi oleh mahasiswa kulit hitam di San Fransisco dan Houston.
Disana Soe bertemu lagi dengan teman-teman lamanya di Berkeley, Cornell dan
Yale, yang sama-sama tertarik pada persoalan Indonesia. Ia senang diundang beberapa
kali untuk memberi kuliah kepada para mahasiswa tentang politik Indonesia, khususnya
peran mahasiswa selama tahun-tahun terakhir. Ketika di Ithaca Soe memanfaatkan
Cornell Modern Indonesia Project dan perpustakaan universitas untuk mengumpulkan
beberapa materi tambahan bagi skripsinya yang belum selesai tentang Persitiwa Madiun
1948.
Di sana Soe mengamati sebuah bangsa yang diguncang oleh konflik rasial. Di
Universitas Hawaii, Soe berkenalan dengan Nasionalisme Hitam melalui tokoh militan
mahasiswa kulit hitam; English Brandshaw, yang menyatakan bahwa tujuan dari gerakan
mereka adalah mengembalikan identitas mereka. Bahwa hitam adalah hitam. Ia
menyatakan bahwa dulu orang-orang kulit hitam menginginkan integrasi dengan
masyarakat kulit putih Amerika Serikat. Tapi sekarang mereka menolak karena integritas
pada akhirnya akan melenyapkan identias hitam mereka. Kendati Soe tidak setuju dengan
anti rasialisme hitam, tetapi Soe bisa mengerti atas perlawanan kelompok kulit hitam
militan.

Baru-baru ini saya anti-rasialisme hitam. Tetapi lama kelamaan saya mulai dapat
mengerti latar belakang. Sampai tahun 1863 perbudakan masih dianggap sah, mereka
dijual sebagai ternak di pasar-pasar budak. Setelah perbudakan dilarang mereka tetap
diperlakukan amat buruk. Di banyak negara di bagian Selatan hak mereka sebagai warga
negara diingkari kalau mereka mulai membuka suara protes, mereka akan dibunuh seperti
anjing. Polisi tidak pernah peduli akan nasib mereka….
Tetapi krisis terbesar dari orang-orang hitam Amerika Serikat adalah bahwa mereka
direnggutkan rasa harga dirinya sebagai kelompok. Mereka telah kehilangan identitasnya
karena mereka bukan lagi orang-orang Afrika, tetapi juga tidak diberikan tempat dalam
masyarakat kulit putih.

Soe juga tidak setuju dengan pandangan organisasi mahasiswa keturunan


Tionghoa Amerika Serikat ‘Yellow Peril’ yang berkeinginan mempertahankan identitas
ketionghoaan mereka. Soe menganggap ide mereka berbeda dengan genrasi muda
keturunan Indonesia, yang mengasimilasikan dirinya kedalam masyarakat mayoritas. Ia
menjelaskan pemikiran-pemikiran pembinaan bangsa Indonesia, dimana setiap golongan
malah meleburkan dirinya membentuk nasion yang baru, yang tidak berdasarkan
keturunan dan kedaerahan. Soe menganjurkan mereka yang tetap ngotot mempertahankan
agar pulang ke Hongkong , Taiwan atau RRC supaya tidak frustasi.
Dari masyarakat AS yang dikagumi Soe adalah kaum intelektual dan kelompok-
kelompok agama tertentu yang tak kenal kompromi terhadap kebijaksanaan Amerika di
Vietnam. Bagi AS, Perang Vietnam adalah soal kehormatan bangsa. Suatu bangsa yang
selalu menang perang. Mereka yang mempertanyakan hak Amerika Serikat untuk
memusnahkan bangsa kecil diseberang lautan Pasifik, atas nama anti komunisme,
dianggap tidak patriotik karena mengecam kehormatan AS.

Kaum intelektual AS menyatakan, bahwa berdiam diri di tengah-tengah ketidakadilan,


adalah kejahatan. The Crime of Silince dinyatakan kepada masyarakat AS yang berdiam
54
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diri (atau pura-pura tidak tahu) terhadap kejahatan yang sedang dilakukan
Pemerintahannya.122

Di anatara kesibukkan diskusi di kampus-kampus, Hok Gie sempat menyusuri


lorong-lorong kawasan lampu merah. Ia menyaksikan betapa AS dipenuhi berbagai
persoalan sosial. Dari mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di AS, HokGie baru tahu
bahwa pejabat Indonesia kalau kesana paling hobi ‘naik’ dan merasa kenikmatan’kuda
putih’.123
Pada malam Natal 1968, Soe meninggalkan Honolulu menuju Sidney, Australia.
Di Airport, petugas pabean menyita kaset-kaset Joan Baez dan buku-buku yang didapat
dari toko buku radikal di AS. Ia kemudian ditanya tentang sikapnya terhadap perang
Vietnam dan apakah ia seorang komunis atau bukan. Di Melbourne, Soe bertemu dengan
teman-temannya. Ia juga bertemu dan berbicara dengan John Tigge yang sedang menulis
biografi politik Soekarno. Soe kembali ke tanah air pada awal Januari 1969.
Kemudian ia bermaksud mengakhiri hari-harinya sebagai mahasiswa secepat
mungkin. Ia berencana menghabiskan sebagian besar waktunya di Kebon Jeruk untuk
menyelesaikan skripsinya. Meskipun mengalami kesulitan-kesulitan, Soe berhasil
menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Simpang Kiri dari Sebuah Jalan: Kisah
Pemberontakan Madiun September 1948” pada pertengahan April. Soe menceriktakan
suka duka, intrik, kelicikan, penderitaan, harapan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peristiwa berdarah yang menelan ribuan korban, termasuk para pelakkunya. Mereka
dihadirkan secara utuh dengan segala problema kemanusiaan yang mengiringinya,
bagaikan gelombang pasang surut.
Dalam berkisah Soe Hok Gie tidak pernah membicarakan dirinya terpasung dalam
tarikan pro dan kontra. Rasionalitas dan pertimbangan jernih merupakan rujukan. Soe
menulis skripsi pada halaman akhir dijelaskan bagaimana psosisinya dalam membawa
sebab-sebab pemberontakan yang tidak mungkin diberikan secara konklusif.

Mencari sebab-sebab sejarah melalui fakta-fakta yang telanjang tidaklah mungkin.


Persoalan ‘provokasi’, fait accompali’, ‘rencana pemberontakan’, dan lain-lainnya tidak
menjawab persoalan-persoalan yang fundamental. Persoalan ini hendaknya dilihat dari persoalan-
persoalan ketegangan masyarakat Indonesia (di Jawa) dalam revolusi nasionalnya. Harapan-
harapan yang tidak terpenuhi, dan tekanan-tekanan ekonomi membawa frustasi-frustasi yang
mendalam pada seluruh lapisan masyarakat. Di dalam keadaan seperti ini tendensi radikalisme
dari segala pihak yang bertambah. Lebih-lebih penyaluran-penyaluran politik dan ekonomi tidak
(atau kurang) diberikan waktu itu. Radikalisme seperti ini seperti perlombaan mobil di lereng
gunung yang makin lama makin menyemepit. Pastilah suatu hari roda-roda berputar ini akan
saling bersinggungan dan dari percikan-percikan api ini semuanya akan dibakar.124

Ujian lisan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 1969, dimana Slamet Mulyana,
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan G. J. Resink menjadi
pengujinya. Setelah menjawab sejumlah pertanyaan yang biasa, skripsinya mendapat
122
Soe Hok Gie, “Perkenalan Pertama Dengan Nasionalisme Hitam”, Soe Hok Gie,
1985, hal. 226-230.
123
Soe Hok Gie, “Orang-orang Indonesia di Maerika Serikat”, dalam Soe Hok Gie,
1985, hal. 209-212.
124
Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Jalan: Kisah Pemberontakan Madiun
September 1948, Yogyakarta, Bentang, 1997, hal. 273.
55
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

nilai yang memuaskan. Kemudian Soe mengikuti acara yang lazim dilakukan, yaitu
penceburan ke kolam berlumpur oleh teman-temannya. Acara dilanjutkan dengan pesta
kecil di Warung Senggol dengan sekitar 30 orang. Drs. Soe Hok Gie mulai memalingkan
perhatian pada masa depan yang segera akan ditempuhnya.

Rasanya tidak enak sekali menjadi sarjana. Kehidupan dunia mahasiswa terasa begitu
dekat dan mesra. Saya telah mengalami buku, pesta dan cinta. Dan akhirnya semuanya
berakhir. Ini mempunyai akibat emosional pada saya. Dalam telinga saya seolah-olah
terdengar lagu It’s all over. Ya, rasanya semuanya telah berakhir. Semua yang saya cintai
dari kehidupan kampus. Saya sadar walaupun sedih bahwa sebagian dari masa yang
indah telah lampau yes, It’s all over.
Telah satu tahun saya hidup dengan skripsi saya. Kegelisahan karena skripsi belum
selesai, muak karena sudah dan kadang-kadang putus asa. Dan saya kira saya telah jatuh
cinta pada kegelisahan ini dan tiba-tiba semuanya berakhir. Dan terasa kosong sekali,
kehilangan dengan apa yang telah menjadi sebagian dari hidup saya. Rasanya seperti
orang yang telah hidup bertahun-tahun dalam sel dan tiba-tiba harus berpisah.125

Kendati mendapat undangan dari Monash dan Berkeley, Soe telah memutuskan
untuk tetap berada di Indonesia paling kurang selama setahun lagi. Walaupun baginya
tugas rutin yang dibebankan kepada agak membosankan, ia merasa mempunyai
kewajiban moral untuk tinggal sementara waktu mengajar di Fakultas Sastra, dan
membayar hutang budi kepada Harsya W. Bachtiar yang tak lama sesudah itu ditunjuk
menjadi pejabat dekan.
Di luat komitmenya terhadap Universitas ia tetap memiliki perhatian besar
terhadap masalah-masalah politik dan sosial yang paling utama saat itu. Sebagai orang
luar, yang tidak menjadi anggota partai maupun menduduki posisi apapun di dalam
pemerintahan, Soe bertekad mencari jalan untuk berperan dalam perdebatan publik
tentang masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat Indonesia, dan khususnya
tentang karakter rezim Orde Baru yang baru muncul, yang sedang mengalami masa
depan negara. Dengan sudut pandang ini, ia berpendapat bahwa tugas yang dapat ia
lakukan dengan baik adalah terus menulis artikel di media massa Indonesia tentang
persoalan-persoakan sosial, moral atau politik yang dipandangnya sebagai penting.
Keinginan terus menulis didorong oleh kekhawatiran bahwa masa diskusi publik
yang bebas, terbuka, dan dinamis mengenai berbagai isu di Indonesia hampir dipastikan
akan dibatasi. Selain berbagai indikasi meningkatnya intoleransi dalam kehidupan
masyarakat yang telah terjadi sepanjang tahun sebelumnya, ia tahu bahwa ada banyak
perwira senior angkatan bersenjata yang tidak sabar menghadapi kritik terhadap mereka
atau pemerintah. Oleh sebab itu, ia mengerti bahwa penting untuk memanfaatkan setiap
peluang yang masih ada untuk kebebasan berbicara dan pers.
Ketika hubungan antara intelektual dengan pemerintahan Soekarno menjadi
sorotan tajam, Soe memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk mengarahkan
perhatian masyarakat kepada peran yang sedang dimainkan para intelektual di bawah
Orde Baru yang sedang terbentuk karena sejumlah akademisi senior telah menerima
jabatan dalam pemerintahan pada tahun sebelumnya, isu ini sangat relevan. Kontroversi
atas dugaan pelacuran intelektual ini mendorong untuk memikirkan lebih jauh sifat

125
Catatan Harian SHG, 13 Mei 1969.
56
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hubungan yang muncul antara tokoh-tokoh intelektual sipil tertentu dengan angkatan
bersenjata di bawah Orde Baru.
Dalam esai selanjutnya, ia menelusuri kembali awal-usul hubungan ini ke era
Demokrasi Terpimpin, dengan menekankan pentingnya peran Brigadir Jenderal Suwarto
sebagai pelopor dalam menarik sejumlah akademisi universitas dan intelektual terkemuka
untuk mengajar di Seskoad Bandung pada awal dasawarsa 1960-an. Dengan jatuhnya
Orde Lama di bawah Soekarno. Soeharto dan angkatan bersenjata depat menggunakan
pengetahuan bersenjata dan keahilan teknis kelompok ini untuk menjalankan
rekomendasi yang mendesak untuk dilakukan, khususnya membangun kembali ekonomi
Indonesia yang hancur. Pertisipasi para akademisi ini dalam pemerintahan Orde Baru
juga telah menaikkan rujukan Indonesia di luar negeri dan memperlancar upaya menarik
bantuan serta investasi asing yang sangat dibutuhkan. Namun Soe menyadari bahwa
kontrol terhadap politik dalam negeri tetap berada di tangan militer yang mengetahui
bahwa ‘mitra’ sipil mereka tidak akan pernah menjadi saingan dalam kekuasaan.
Kerjasama antara para intelektual universitas dengan militer dalam membangun
negara seperti Indonesia mempunyai sejumlah argumen yang mendukungnya yang
dipakai Soe. Dengan menempatkan sipil sebagai agen perubahan sosial yang
menyebarkan cita-cita dasar, pengetahuan, dan keahlian, dan yang menganggap bahwa
dengan meningkatnya pembangunan dan modernisasi, posisi para petugas pemerintah
semakin kompleks. Dengan semua argumen yang mengagumkan ini. Soe dan kawan-
kawannya tetap mencemaskan sebutan ‘kemitraan’ sipil-ABRI, sementara tanda-tanda
munculnya kontrol politik otoriter semakin jelas dan korupsi yang dilakukan beberapa
pejabat-pejabat militer yang paling berkuasa semakin meningkat. Oleh sebab itu, Soe
yakin bahwa posisi yang para intelektual yang telah memutuskan untuk bekerja di
pemerintahan Orde Baru tetap perlu dipertanyakan.126
Sepanjang paruh kedua 1969, Soe semakin pesimis terhadap arah yang akan
ditempuh Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto dan karena ia menyadari bahwa
tatanan politik yang baru yang sedang mendorong kegiatan dan keterlibatannya sepanjang
dekade sebelumnya. Sekarang Soe merasa sangat menderita dengan kesendirian dan
keterasingan yang terus ia alami di tengah-tengah kawan dan kenalannya yang
tampaknya sudah seperti keluarga.
Mengenai persoalan politik dan nasioal Soe terus menulis esai dan komentar
secara teratur tentang bermacam-macam isu untuk media massa Jakarta. Dari sekitar dua
puluh artikel yang ia berikan ke media massa antara Mei dan Desember, beberapa
diantaranya merefleksikan perspektif yang matang dan menantang mengenai isu-isu
nasional, tetapi banyak tulisannya yang memuat kecaman tajam, yang mengindikasikan
bahwa ia semakin frsutasi dan skeptis.
Karena itu ia tahu bahwa kritik terbuka melalui pers nasional terhadap para
pejabat pemerintah dan politik dipandang sebagai permusuhan besar oleh pejabat senior
angkatan bersenjata, ia menyadari pentingnya menggunakan kesempatan yang masih ada
untuk mencapai efek maksimal. Pada saat yang sama ia percaya bahwa sudah tiba saatnya
untuk mengekspresikan rasa frustasi akibat kurangnya tindakan dan investigasi resmi
terhadap kasus-kasus korupsi dan kesalahan manajemen yang sudah diungkapkan oleh
peri Indonesia yang te lah menguat kembali. Soe berpendapat bahwa tidak dilakukannya
tindakan dan investigasi yang sepatutnya oleh pemerintah terhadap dugaan-dugaan serius
126
John Maxwell, Op. cit., hal. 338-345.
57
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah tidak hanya membuat frustasi tetapi pada
dasarnya juga mengungkapkan karakter sesungguhnya rezim politik yang sedang
berkuasa.
Pada pertengahan Juli Soe mengemukakan apa yang ia yakini sebagai kegagalan
pemerintah Orde Baru dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunannya ke berbagai
lapisan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini ia yakin bahwa kegagalan ini berbanding
terbalik dengan mantan Presiden Soekarno yang sangat berhasil membangkitkan
semangat bangsanya dan menarik dukungan bagi program dan kebijaksanaan-
kebijaksanaannya. Kendati ia sendiri mengaku kurang ahli dalam persoalan ekonomi, Soe
sangat menyadari betapa penting program reformasi ekonomi yang sedang di jalankan
oleh para tekhnokrat yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan Orde Baru.
Tetapi yang membuatnya kecewa adalah kurangnya upaya Soeharto dan menter-menteri
seniornya untuk menyampaikan pentingnya program pemerintah dengan cara yang
menarik dan dapat dipahami.
Menjelang akhir tahun, melalui beberapa esainya Soe membahas secara lebih
umum beberapa dimensi politik nasional. Pada perayaan kemerdekaan Indonesia bulan
Agustus, dengan penuh perasaan ia menulis tentang harapan dan cita-cita anak-anak
muda Indonesia dari generasinya yang tidak mengalami langsung revolusi dan
perjuangan merebut kemerdekaan, yang tumbuh dengan penuh optimisme, tetapi hanya
untuk mengalami frustasi dan kegagalan pada dekade-dekade selanjutnya. Setelah itu,
pada bulan Oktober saat perayaan sumpah Pemuda 1928 yang bersejarah –tonggak
bersejarah yang sangat penting dalam perkembangan gerakan nasionalis—ia
menggambarkan bahwa perbedaan regional, etnis, dan agama dari waktu ke waktu telah
menjadi ancaman yang dapat menghancurkan semangat persatuan nasional yang telah
membangkitkan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara
Indonesia.
Selain suara masyarakat yang diungkapkan Soe dalam tulisannya di media massa,
kekecewaaanya yang semakin dalam terhadap arah politik nasional juga mengandung
dimensi pribadi. Pada akhir 1969 ia mulai menyangsikan beberapa orang yang
sebelumnya sangat ia harapkan untuk masa depan. Mochtar Lubis dan Sumitro
Djojohadikusumo adalah pribadi yang dikaguminya karena perlawanan mereka yang
gigih terhadap Soekarno dan Demokrasi Terpimpin. Soe sedih karena Mochtar tidak
sependapat dengannya mengenai pelepasan tahanan-tahanan politik yang kesalahanya
tidak dapat dibuktikan oleh pemerintah. Soe juga resah terhadap kabar yang melaporkan
tentang berbagai kasus korupsi yang melibatkan orang sekitar Menteri Perdagangan,
Sumitro Djojohadikusumo.
Kekecewaan Soe yang tampak jelas terhadap kelangan politik yang lebih luas
disertai depresi yang semakin dalam. Kendati ia menonjol dan sangat populer di kalangan
mahasiswa, seiring berlalunya waktu ia mulai merasa semakin terasing dan sendiri.
Walaupun hubungannya sehari-hari dengan teman-teman dan kenalan-kenalannya masih
berjalan, ia merasa bahwa jarak antara dirinya dengan teman-temannya di kampus
semakin besar dan ia merasa tak lagi sepaham dengan padangan nilai atau kepentingan
mereka. Tetapi ini hanya sebagian dari penjelasan tentang kemurungan dan kesepian
yang dirasakannya, yang sebagian besar ia sembunyikan dari padangan publik.127

127
Ibid., hal. 346-355.
58
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kendati Soe bukan lagi mahasiswa dan ia berstatus sebagai dosen muda, Soe
melibatkan diri dalam konflik internal kampus. Reputasinya sebagai orang yang
memusuhi kegiatan politik organisasi mahasiswa yang berbasis di luar kampus, Soe tidak
membiarkan aktivis-aktivis HMI mendominasi Dewan Mahasiswa UI dan bisa berakibat
mahasiswa-mahasiswa, independen yang berorientasi ‘intra’ praktis akan tersingkir.
Perlawanan terhadap HMI terutama datang dari mahasiswa berhaluan independen
di UI, tetapi pusatnya terdapat FSUI, Fakultas Psikologi dan Fakultas Kedokteran Gigi –
yang memiliki sentimen anti ormas yang kuat. Pada awal Juni tiga senat mahasiswa dari
fakultas-fakultas tersebut membentuk aliansi untuk melawan HMI. Perselisihan yang
berlarut-larut mengenai bentuk struktur kemahasiswaan telah melahirkan organisasi
tandingan yaitu koordinasi kegiatan kemahasiswsa-UI, yang dimotori ketiga ketua senat
mahasiswa fakultas terkecil.
Soe beberapa kali secara langsung bertemu dengan Rektor Profesor Sumantri
Brojonegoro untuk membahas kebutuhan dalam masalah kemahasiswaan. Ia menegaskan
bahwa ada persoalan yang serius menimpa seluruh struktur kemahasiswaan di UI. Bentuk
hubungan antara DMUI dan senat-senat mahasiswa tetap membingungkan dan prosedural
institusional –‘aturan permainan’—untuk memilih berbagai lembaga ini tidak konsisten
dan tidak dilaksanakan dengan tepat. Selain itu, Soe mengangkat masalah kesalahan
manajemen keuangan yang serius dan korupsi dalam bidang kemahasiswaan, dengan
menyodorkan beberapa contoh yang paling jelas kepada Sumantri. Rektor tidak memberi
jawaban yang tegas hanya bisa meminta agar masalah salah urus dan korupsi tidak
tersebar ke kalangan pers karena ada orang lain yang akan menggunakannya untuk
menjatuhkan reputasi UI di mata masyarakat.
Ketika rektor mengeluarkan pernyataan tentang penentangan terhadap keberadaan
KKK-UI tersebut. Soe merasa adanya kepentingan bersama antara DMUI dan Sumantri.
Establishment UI yang berhasil menutupi borok di UI pada akhirnya memihak DMUI.
Oleh karena itu, Soe Hok Gie bersedia untuk bentrok dengan pimpinan UI termasuk
Sumantri.
Pada bulan Oktober diadakan pertemuan dengan rektor, yang mana Soe dan
rekan-rekannya turut serta. Dalam kesempatan itu, Sumantri meminta agar fakultas-
fakultas yang membangkang kembali bergabung dengan DMUI, tetapi tidak menjamin
dengan tegas bahwa korupsi akan ditanggani pada masa mendatang. Seminggu kemudian
DMUI secara resmi melarang KKK-UI berikut program kegiatannya di UI. Pada tanggal
17 Oktober para pemimpin SM FSUI dipanggil oleh rektor dan dituduh sebagai biang
keributan karena terus beroperasi dibawah bendera KKK-UI. Pada hari yang sama,
setelah membaca artikel di Harian KAMI yang dinilainya merupakan penjelasan sepihak
mengenai konflik tersebut dan memberi penafsiran yang menghina motivasi mahasiswa-
mahasiswa anti ormas yang independen, Soe habis kesabaran dan ia segera menulis
pembalasan yang terperinci yang ia bacakan di radio UI malam itu.
Tulisan soe yang marah itu, menyalahkan ormas-ekstra atas terjadinya kebuntuan
dalam masalah kemahasiswaan di UI, khususnya HMI dan para pemimpin utamanya
yang menurutnya telah sengaja merancang sebuah misi untuk menguasai forum
mahasiswa di seluruh universitas, menolak bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa
yang berorientasi ‘intra’ di fakultas atau forum-forum lain di universitas.
Ia juga mengritik dengan tajam pimpinan UI karena gagal memastikan bahwa
prosedur universitas yang adil dan konsisten dijalankan untuk menjamin lembaga-

59
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lembaga perwakilan menyuarakan keinginan komunitas mahasiswa dengan tepat dan


berimbang. Tetapi aspek yang mungkin paling kontroversial dan menyulut emosi dalam
tulisannya adalah serangan langsungnya pada masalah korupsi dalam urusan
kemahasiswaan di UI. Soe memperkuat tuduhannya dengan memberikan sejumlah contoh
kesalahan manajemen keuangan yang paling mencolok dan kurangnya
pertanggungjawaban yang menurutnya mencapai jutaan rupiah setiap tahun.
Ia telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an tetapi ia
merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling
menyedihkan. Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga
menjadi lawan pada pimpinan senior universitas. Sepanjang perkan-pekan persoalan ini
mengakibatkan ia tegang dan gelisah. Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan
lain kecuali memancing publik terhadap masalah ini.
Tulisan yang provokatif segera menarik perhatian lawannya dan sejumlah
tanggapan muncul pada hari berikutnya. Selain mendengar komentar khalayak umum,
Soe juga mendengar kabar dari kawan-kawannya mengenai penghinaan pribadi, beberapa
diantaranya bernada rasisme. Mungkin yang paling menyakitkan ia adalah ketika ia
mengetahui bahwa beberapa orang dari kelompok ‘almamater’-nya di Rawamangun telah
mendekati pimpinan DMUI memberikan dukungan mereka. Terkejut oleh berbagai reaksi
terhadap tulisannya Soe menulis tanggapan singkat. Dari sinilah peran pribadinya dalam
konflik itu tampaknya telah berakhir.128
Dalam minggu-minggu berikutnya ia mulai mengalihkan perhatiannya pada
persoalan-persoalan lain, khususnya rencana pendakian Mapala ke Gunung Semeru di
Jawa Timur bersama kawan-kawannya. Dengan konflik di UI yang menyakitkan, yang
masih segar dalam ingatannya, ditambah kekecewaannya terhadap banyak aspek politik
di bawah Orde Baru dan perasaan melankolis yang menyelimuti dirinya, dengan
antusiasme Soe menanti-nanti kesempatan untuk menyendiri ke puncak gunung agar ia
bisa keluar dari begitu banyak penderitaan dan kegelisahan peribadinya.
Soe bersama ke tujuh teman lainnya berangkat dari Jakarta tanggal 12 Desember
melalui Surabaya dan Malang. Pendakian dimulai tanggal 14 Desember dari Desa
Gubukklakali, perkampungan tertinggi di sebelah timur laut Gunung Semeru. Untuk
mencapai puncak gunung itu, mereka harus menempuh perjalanan yang panjang dan
sulit. Kelompok ini harus melewati hutan yang lebat di lereng-lereng yang rendah dan
hujan yang baru saja turun membuat tanah sangat liat. Setelah melewati deretan
pepepohonan, mereka masih harus terus bersusah payah menempuh perjalanan yang
melelahkan melewati pasir yang gembur dan butir-butiran lava yang menutupi lereng
bagian atas dengan kemiringan anam puluh derajat. Setelah mendirikan perkemahan yang
berjarak 500 meter dari puncak, kelompok ini melanjutkan pendakian, mencapai pinggir
kawah saat sore menjelang malam tanggal 16 Desember 1969.
Ketika para pendaki akhirnya sampai dipuncak kawah aktif yang menyembur
asap, mereka sangat lelah. Mereka turun satu persatu untuk mencari pelindungan dari
angin malam yang sangat dingin dan dari gumpalan awan yang terbentuk dari asap yang
menyembur dari dalam kawah.
Meskipun tubuhnya kecil, Soe adalah pendaki yang kuat dan ulet, tetapi ia juga
merasakan efek perjalanan selama sua hari sebelumnya. Tiba-tiba Soe Hok Gie seperti
dalam keadaan kejang, kemudian berteriak-teriak mengamuk lalu lari menuju jurang.
128
Ibid., hal. 455-364.
60
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Herman O. Lantang yang melihat itu langsung menangkap Soe Hok Gie. Dan Idan Lubis
berlaku sama dan ia berhasil ditangkap dan tak sampai jatuh ke jurang. Setelah itu baik
Soe Hok Gie maupun Idan berteriak teriak lagi, kejang dan tidak sadarkan diri. Dia
mencoba menolong dengan pernapasan buatan. Tetapi usahanya sia-sia dan dua-duanya
menghembus nafas terakhir pada tanggal 16 desember 1969 karena terjebak ke dalam gas
beracun. Soe meninggal dipelukan sahabatnya sehari sebelum ulang tahun yang kedua
puluh tujuh.129
Dari beberapa hari kemudiaan berita tragedi Semeru sampai di Jakarta dan
dibutuhkan waktu sampai seminggu untuk mengambil jenazah kedua anak muda itu dari
tempat mereka menemu ajalnya. Regu pencari berhelikopter tetap berputar diatas puncak
gunung dan tidak berani menurunkan regu untuk mengambil mayat karena medan yang
sulit dan terutama karena takut terjebak gas beracun itu. Akhirnya pada tanggal 22
Desember oleh regu penyelamat yang dibantu oleh penduduk setempat secara berantai
jenazah berhasil diturunkan dari gunung dan dengan truk dibawa ke Malang. Lantas ke
Surabaya. Dari Surabaya dengan pesawat pengangkut Antonov milik AURI diterbangkan
ke Jakarta pada tanggal 24 Desember 1969. Kerumunan besar kawan-kawan dan rekan
mahasiswa yang amat berduka cita telah menunggu ketika pesawat mendarat di
kemayoran pada sore harnya.
Dari kemayoran kemudian kedua jenazah itu pertama-pertama dibawa secara
terpisah ke rumah duka, yaitu rumah orang tua mereka masing-masing, sebelum
keduanya dibawa ke Rawamangun pada hari itu juga. Jalan-jalan sempit di sekitar rumah
Soe di kebon Jeruk menjadi penuh sesak dengan banyaknya kendaraan yang mengiringi
mobil jenazah menuju ke sebuah rumah sederhana, rumah orang tua Soe yang sedang
menunggu dengan rasa duka. Malam harinya jenazah Soe meninggalkan Kebon Jeruk
untuk terakhir kali menuju rumah keduanya, yaitu Fakultas Sastra UI di Rawamangun.
Peti jenazah Soe ditempatkan di sisi peti jenazah Idan Lubis di Auditorium
fakultas yang sudah penuh dengan mahasiswa, teman dan anggota keluarga kedua anak
muda itu. Saat upacara perkabungan sederhana berlangsung, Dekan FSUI Dr. Harsya W.
Bachtiar atas nama pelayat memberi penghormatan utama.

Di tengah-tengah pertentangan politik dan agama, kepentingan golongan, ia tegak berdiri


di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan dan secara jujur dan berani menyampaikan
kritik-kritik atas dasar prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa. Karena (itu) kami
mendukung dan akan meneruskan cita-cia dan ide-ide.130

Ketika rembang petang menyelimuti Jakarta dan hujan lebat yang telah
membassahi kota selama sehari penuh masih turun, iring-iringan pelayat yang berduka
berangkat menuju pemakaman Menteng-Pulo, tempat dua sahabat ini dibaringkan
berdampingan.
Tak lama kemudian, karena keluarganya Soe direpotkan oleh pemerasan kecil-
kecilan di Menteng-Pulo, jenazah Soe dipindahkan ke Perkuburan kober, Tanah abang.
Empat tahun kemudian, pada Desember 1973, sekelompok kecil anggota Mapala
melakukan pendakian sulit ke Gunung Semeru, mendirikan tanda peringatan dengan batu
pualam putih di puncak gunung itu sebagai penghormatan kepada kawan mereka yang

129
Ibid., hal. 364-366.
130
Daniel Dhakidae, Op. cit.,
61
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

telah tiada. Namun jenazahnya sendiri belum aman, karena pada tahun 1975 keluarlah
Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Ali Sadikin untuk membongkar
perkuburan kober, karena disana akan dibangun suatu bangun lagi. Maka jenazah Soe
hok Gie yang sudah tinggal tulang, harus diangkut lagi dari sana. Tetapi Jakarta menjadi
kota yang tidak aman lagi bagi yang hidup dan juga bagi yang mati. Karena itu
keluarganya mengambil keputusan untuk tidak lagi menguburkan puteranya di
perkuburan Jakarta tetapi membakar mayatnya. Abunya disebarkan oleh teman-temannya
pada pertengahan hari ulang tahunnya di salah satu tempat favoritnya jika ingin mencari
ketenangan dan menyendiri, yaitu lembah Mandalawangi dekan Gunung Pangarango,
sekitar 90 kilometer sebelah selatan Jakarta. Disanalah Soe Hok Gie berbaring selama-
lamanya di tanah dan tidur selama-lamanya bersatu dengan bumi.131

131
Ibid.,
62
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

Vous aimerez peut-être aussi