Vous êtes sur la page 1sur 16

REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

DI DESA MINASA UPA KEC. BONTOA KAB. MAROS

LAPORAN PRAKTEK LAPANG

OLEH:

ATRASINA ADLINA

L 111 08 287

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Definisi Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman

pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung

daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove

merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan

pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang

ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove

sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,

atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia

merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu

Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak

membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah

ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang

memiliki karakteristik hidup di daerah pantai (Anonim, 2009).

Ekosistem mangrove memiliki peran yang penting bagi lingkungan

pesisir. Pemanfaatan yang berlebihan mengakibatkan kerusakan pada

ekosistem mangrove. Oleh karena itu, perlu digalakkan berbagai kegiatan

rehabilitasi, dalam kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan pemeliharaan dan

pemantauan untuk melihat dan mengukur tingkat keberhasilan kegiatan

ini (Harjo, 2008).

Kondisi ekosistem hutan mangrove saat ini sangat memprihatinkan

dan pada umumnya disebabkan oleh konversi lahan secara tidak

terkendali.
Selanjutnya, hutan magrove tersebut akhirnya berubah menjadi

pemukiman, lahan pertanian dan tambak karena selama ini hutan

mangrove selalu dianggap lahan yang tidak penting. Selain itu, hutan

mangrove selalu pada posisi yang kalah atau dikorbankan apabila ada

kepentingan ekonomi yang lebih menjanjikan. Konversi lahan ekosistem

hutan mangrove terjadi karena ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai

pemanfaatan hutan mangrove masih sangat minim, ppadahal hutan

mangrove apabila dikelola secara lestari dan berkelanjutan akan

memberikan multipler efek yang cukup diandalkan ( Anonim, 2009).

1.2 Tujuan dan kegunaan

Tujuan dilakukannya praktek lapang kali ini adalah :

a. Untuk mengurangi kandungan pestisida di lingkungan tambak

b. Untuk memulihkan kondisi lingkungan yang telah mengalami

degradasi melalui rehabilitasi mangrove

c. Untuk menghijaukan lingkungan pesisir dan pantai melalui

rehabilitasi mangrove

Kegunaan dari praktek lapang kali ini untuk

a. sebagai prasyarat kelulusan dalam mengambil mata kuliah teknik

rehabilitasi.

b. Selain itu untuk memotivasi masyarakat untuk terlibat secara aktif

dalam gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lingkungan.


c. Diharapkan bisa memberikan pemahaman dan skill kepada

mahasiswa untuk pengembangan merehabilitasi mangrove mulai

dari pembenihan, pembibitan, dan penanaman.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian rehabilitasi mangrove

Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk

menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi

oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang

mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken,

1992).

Rusaknya hutan mangrove untuk dijadikan lahan pertambakan atau

karena penebangan yang tak terkendali membawa dampak negatif pada

lingkungan laut berupa sedimentasi, yang pada gilirannya akan merusak

terumbu karang dan padang lamun. Sedimentasi juga meningkatkan

kekeruhan yang menyebabkan menurunnya kelayakan lingkungan untuk

pariwisata maupun perikanan (Nybakken, 1992).


Usaha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa

daerah, baik di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah

berulangkali dilakukan. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal

dari Departemen Kelautan dan Perikanan, maupun Departemen

Kehutanan bahkan dari Pemda setempat. Namun hasil yang diperoleh

relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh

pemerintah (Nybakken, 1992).

Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar,

tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup

memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa

hasilnya kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya

peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan

wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih

cenderung dijadikan obyek dan bukan subyek dalam upaya pembangunan

(Subing, 1995).

Secara umum ekosistem mangrove cukup tahan terhadap berbagai

gangguan dan tekanan lingkungan. Namun sangat dipengaruhi oleh

pengendapan atau sedimentasi, ketinggian rata-rata permukaan laut dan

pencemaran perairan itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya

penurunan oksigen dengan cepat yang selanjutnya akan menyebabkan

kerusakan. Kerusakan mangrove juga disebabkan oleh kegiatan

penebangan/eksploitasi masyarakat ataupun konversi lahan untuk

keperluan lain. Rehabilitasi mangrove tidak selalu harus dengan

penanaman, sebab setiap pohon mangrove menghasilkan ratusan ribu


benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang cocok, biji atau buah

mangove ini dapat tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh

sebelumnya, sehingga dapat kembali membentuk koloni secara normal.

Ada 6 langkah penting dalam prosedur teknis yang menunjang

kesuksesan rehabilitasi mangrove, yaitu :

1. Memahami autekologi, yakni sifat-sifat ekologi tiap-tiap jenis

mangrove di lokasi, khususnya pola reproduksi, distribusi benih, dan

keberhasilan pertumbuhannya, serta ekologi hutan bakau keseluruhan

(community ecology).

2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan

pertumbuhan jenis-jenis mangrove.

3. Meneliti perubahan yang telah terjadi pada ekosistem mangrove

yang menghambat regenerasi alami.

4. Kerjasama masyarakat lokal, LSM, pemerintah dan para akademisi

untuk memilih lokasi restorasi yang layak dari segi teknis, ekologi serta

biaya (untuk implementasi serta monitoring). Tahap ini termasuk

pemecahaan konflik kepemilikan lahan untuk menjamin pelestarian hutan

mangrove dalam jangka panjang.

5. Membuat desain program restorasi hidrologi untuk memungkinkan

pertumbuhan mangrove secara alami.

6. Melakukan pembibitan dan penanaman hanya jika kelima langkah

di atas telah dilakukan namun tidak menghasilkan pertumbuhan

sebagaimana yang diharapkan.


2.2 Fungsi dan kegunaan

Hutan mangrove di Indonesia mengalami banyak persoalan karena

terjadi perubahan-perubahan struktural akibat intervensi pembangunan.

Persoalan ini sangat signifikan, mengingat fungsi hutan mangrove

merupakan “ginjal” dari seluruh sistem ekologi. Mangrove di Indonesia

sedang terancam kelestariannya, antara lain disebabkan oleh pembukaan

lahan tambak yang makin marak dalam sepuluh tahun terakhir.

Kerusakan mangrove tersebut membawa dampak ekonomi, sosial, dan

budaya bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Laksono, dkk, 2002).

Jika keadaan ekosistem rusak maka harus diadakan rehabilitasi.

Jika dilakukan rehabilitasi, maka akan didapat manfaat yang banyak.

Adapun manfaat atau pentingnya mangrove bagi kebutuhan manusia dan

organisme yang hidup di daerah mangrove yaitu dengan adanya hutan

mangrove di tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat

menyukainya untuk berlindung karena gelombang di bawah tegakan

hutan mangrove relatif tenang, keberadaan biota tersebut juga didukung

banyaknya plankton, menjaga kelestarian terumbu karang yang sangat

berguna untuk tempat berlindung beranekaragam binatang air serta

memungkinkan dikembangkan untuk tempat wisata alam, mencegah

abrasi dan erosi di pantai sehingga keutuhan pantai dapat terjaga dan

menghindari penurunan luasan pantai secara drastis, dan sebagai perisai

hidup apabila terjadi bencana tsunami, sehingga meskipun tertimpa

musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah seperti


yang terjadi di Aceh. Menurut informasi, 50 persen kekuatan hempasan

gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove ( Anonim, 2005).

2.3 Pemilihan lokasi dan keseuaian jenis mangrove

a. Avicennia alba (Avicenniaceae)

Ekologi Avicennia alba ini, merupakan jenis pionir pada habitat

rawa mangrove di lokasi pantai yang terlindung, juga di bagian yang lebih

asin di sepanjang pinggiran sungai yang dipengaruhi pasang surut, serta

di sepanjang garis pantai. Mereka umumnya menyukai bagian muka teluk.

Akarnya dilaporkan dapat membantu pengikatan sedimen dan

mempercepat proses pembentukan daratan. Perbungaan terjadi

sepanjang tahun. Genus ini kadang-kadang bersifat vivipar, dimana

sebagian buah berbiak ketika masih menempel di pohon.

b. Bruguiera cylindrica (Rhizophoraceae)

Ekologi dengan tumbuh mengelompok dalam jumlah besar,

biasanya pada tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian

tengah vegetasi mangrove kearah laut. Jenis ini juga memiliki

kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk dan

tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya pada tanah liat

membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk

memperoleh pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat

responsif terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah

yang ringan dan mengapung sehinggga penyebarannya dapat dibantu

oleh arus air, tapi pertumbuhannya lambat. Perbungaan terjadi sepanjang

tahun.
c. Rhizophora mucronata (Rhizophoraceae)

Ekologi Rhizophora mucronata ini di areal yang sama dengan

R.apiculata tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan

pasir. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok, dekat atau pada

pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh

pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi

pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan

humus. Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling

penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.

Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga menghambat

pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan dibawah naungan

untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting. Hal

tersebut mungkin dikarenakan adanya akumulasi tanin dalam jaringan

yang kemudian melindungi mereka.

d. Sonneratia alba (Sonneratiaceae)

Ekologinya Jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar dalam

periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir,

kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi

pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan

sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis tumbuhan lain

telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat.

Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga hidup tidak terlalu lama dan

mengembang penuh di malam hari, mungkin diserbuki oleh ngengat,

burung dan kelelawar pemakan buah. Di jalur pesisir yang berkarang


mereka tersebar secara vegetatif. Kunang-kunang sering menempel pada

pohon ini dikala malam. Buah mengapung karena adanya jaringan yang

mengandung air pada bijinya. Akar nafas tidak terdapat pada pohon yang

tumbuh pada substrat yang keras.

Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian

terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R.

mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan

perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian

laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar

atau zona pionir ini (Wikipedia, 2009).

Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi,

biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka

(Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan

di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa

fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada

bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih

(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera

littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha) (Wikipedia, 2009).

2.4 Cara memilih bibit yang baik

Propagul mangrove diusahakan berasal dari lokasi setempat atau

lokasi terdekat. Buah dapat diperoleh dengan cara mengambil buah-buah

yang telah jatuh atau memetik langsung dari pohonnya. Sebaiknya,

pengumpulan buah dilakukan secara berulang dengan interval waktu

tertentu. Pada saat memetik buah secara langsung dari pohon induknya
harus dilakukan secara berhati-hati, jangan sampai bunga dan buah yang

belum matang berjatuhan (Anonim, 2009)

Untuk memperoleh buah yang baik, dapat dilakukan antara bulan

September sampai dengan Maret. Seleksi buah tergantung pada

karakteristik jenisnya. Namun biasanya, buah dipilih berasal dari buah

yang matang, sehat, segar dan bebas dari hama. Ciri kematangan dapat

dilihat dari warna kotiledon, warna hipokotil, berat buah atau ciri lainnya.

Sebelum digunakan untuk pembibitan, buah dapat disimpan sementara

waktu. Buah dimasukkan dalam ember atau bak yang berisi air penuh,

dengan posisi tegak, dan diletakkan di tempat yang terlindung dari sinar

matahari. Lama penyimpanan maksimal adalah 10 hari (Anonim, 2009)

Benih yang dapat dipakai sebagai calon bibit adalah yang sudah

tua dan berkualitas baik. Buah/benih dikumpulkan dari pohon induk atau

pohon yang sudah tua, berumur minimal 8 tahun. Pengumpulan benih

dapat dilakukan dengan memetik buah yang sudah tua atau

mengumpulkan buah yang jatuh di sekitar pohon. Kemudian, buah

diseleksi untuk mendapatkan benih yang berkualitas baik. Benih yang

telah dikumpulkan dan diseleksi harus cepat disemaikan atau direndam

dalam air, supaya tidak cepat kering (Anonim, 2009).

Untuk praktek rehabilitasi kali ini menggunakan Rhizophora

mucronata. Jenis ini di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih

toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya

tumbuh dalam kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut

dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air
pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang

dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus. Merupakan salah satu

jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling tersebar luas.

Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan oleh

kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah

dikeringkan dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan

terhadap gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya

akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian melindungi mereka (Anie,

2009).

2.5 Pembibitan/ penyemaian

Ada sebuah system yang dinamakan Sistem Pembibitan Cabutan.

System ini dilakukan untuk bibit yang memang sengaja disemaikan.

1. Bibit tanpa polibek

Benih disemaikan dahulu di tepi pantai yang berlumpur tanpa

menggunakan polibek. Setelah berumur 5 - 6 bulan, bibit dipindahkan ke

lapangan. Untuk daerah genangan air, bibit minimal berumur 1 tahun.

2. Bibit dengan polibek

Sistem bibit dalam polibek sangat efisien karena (a) Tidak perlu

menyiram setiap hari. Pada saat air pasang, bisa tergenang sendiri.

Diusahakan, bibit berada di bawah pohon mangrove. (b) Tidak perlu

naungan buatan. (c) Lokasi pembibitan diusahakan yang bebas dari

ombak. Adapun benih yang belum bisa disemai di pembibitan sebaiknya

diikat untuk selanjutnya direndam/dibenamkan di tepi pantai yang

berlumpur. Penanaman diutamakan di tepi pantai yang belum tertanami.


Untuk menambah kerapatan tanaman, sebaiknya bibit mangrove ditanam

dengan jarak tanam 2 m 3 bibit, masing-masing berjarak 1 x 1 m atau ½ x

½ m. Hal ini dilakukan agar apabila ada bibit yang mati, jarak tanam tetap

ideal.

2.6 Penanaman

Pada tahap penanaman, spesies mangrove dikelompokkan

berdasarkan spesiesnya. Bibit mangrove ditanam di lokasi penanaman

dengan teknik penanaman mangrove menggunakan ajir. Penggunaan ajir

berguna untuk menjaga bibit mangrove tidak tumbang ketika terkena

ombak. Jarak tanam adalah ± 1 m x 1 m. Penanaman mangrove diatur

sedemikian rupa sehingga ketiga jenis mangrove tidak tercampur supaya

tidak merubah sifat alami mangrove yaitu membentuk tegakan murni

(Anonim, 2009)

Mangrove ditanam di lahan yang telah disediakan dengan cara

membuat lubang di dekat ajir-ajir, dengan ukuran lebih besar dari ukuran

polibek dan dengan kedalaman dua kali lipat dari panjang polibek. Bibit

ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah disediakan dengan cara

melepaskan bibit dari polibek secara hati-hati, dan jangan sampai

merusak akarnya. Sela-sela lubang di sekeliling bibit, ditimbuni dengan

tanah. Bibit yang telah ditanam, batangnya diikat dengan ajir-ajir, supaya

tidak mudah rebah bila terjadi air pasang (Anonim, 2009).

Penanaman bibit mangrove menggunakan tiga cara

1. Memakai benih yang langsung ditanam/ditancapkan di pantai. Dengan

cara menanam benih miring, mengkuti arus ombak supaya tidak roboh.
2. Memakai bibit cabutan. Harus diusahakan bibit yang masih muda,

berdaun 3 - 4 pasang. Jarak antara pencabutan sampai dengan

penanaman adalah 2 - 4 hari.

3. Memakai bibit dalam polibek. Hal ini dilakukan pada saat surut di siang

hari (September s/d Januari).

Berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Tim Kesemat (2009),

bibit mangrove yang berasal dari polibek tingkat keberhasilannya akan

lebih besar. Sebagai tambahan, lokasi penanaman yang tergenang air

lebih baik dibuatkan parit dengan arah membujur ke arah ombak di waktu

surut, supaya air tidak menggenangi lokasi penanaman yang bisa

mengakibatkan kematian bibit-bibit mangrove (Anonim, 2009)

2.7 Pemeliharaan

Pekerjaan pemeliharaan dan monitoring merupakan pekerjaan

penyempurnaan dari keempat tahap di atas karena pekerjaan

pemeliharaan dan penjagaan bibit-bibit mangrove yang telah ditanam

diharapkan akan memiliki kelulushidupan yang maksimal sehingga

program konservasi penanaman mangrove dapat berhasil dengan baik.

Kegiatan ini terdiri dari kegiatan penyiangan, penanganan gangguan

hama, penanggulangan terhadap kerusakan dan pengukuran

pertumbuhan (Anonim, 2009)

Untuk program pemeliharaan mangrove di Rembang, meliputi

penyulaman yang dilakukan di lokasi persemaian/pembibitan dan

lapangan. Penyulaman dimaksudkan untuk mendapatkan jarak yang

ideal. Selanjutnya, hama yang ditemukan di sepanjang kawasan


mangrove di Rembang terdiri dari ganggang laut dan hewan pengganggu

seperti runti/trisipan (teritip), wideng/kepiting/ketam, tikus, kambing, dan

manusia (Anonim, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Ekofisiologi dan Zonasi. [online] http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/


index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=56 (Diakses pada
tanggal 2 Desember 2009).
Bengen, DG. 2002. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan –
Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Lembaga


Penelitian Indonesia (LIPI), Jakarta.

Wetlands International 1. 2009. Avicennia alba. [online]


http://www.wetlands.or.id/mang rove/mangrove_species.php?id=11 [Diakses
pada tanggal 2 Desember 2009].

Wetlands International 3. 2009. Rhizophora mucronata. [online]


http://www.wetlands.or. id/mangrove/mangrove_species.php?id=37 [Diakses
pada tanggal 2 Desember 2009].

Wetlands International 2. 2009. Bruguiera cylindrica . [online] http://www.wetlands.or.


id/mangrove/mangrove_species.php?id=16 [Diakses pada tanggal 6
Desember 2009].

Wetlands International 4. 2009. Sonneratia alba. [online] http://www.wetlands.or.


id/mangrove/mangrove_species.php?id=41 [Diakses pada tanggal 6
Desember 2009].

Wikipedia. 2009. Hutan bakau. [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Mangrove [Diakses


pada tanggal 2 Desember 2009].

Vous aimerez peut-être aussi