Vous êtes sur la page 1sur 10

ANTARA PENDIDIKAN

JAHILIYAH MODERN DAN


PENDIDIKAN ISLAMI
Kita Dan Pendidikan Anak Kita Di Masa Kini
Kita, Ummat Islam yang hidup di abad ini terlahir di tengah budaya jahiliyah.
SADAR atau tidak sadar, kita tak dapat menghindarinya. Kita memang terlahir
sebagai anak muslim karena orangtua kita juga muslim, namun apakah kita sudah
’di-Islam-kan’ dengan baik oleh orangtua kita? Dengan segala hormat kepada
mereka yang sangat kita cintai, namun tetap saja harus diakui bahwa kita belum
diberikan pengajaran, pemahaman dan pembiasaan sebagai muslim sejati. -Atau
mungkin ada sebagian (kecil) diantara kita ada yang telah mendapatkannya dari
orangtua mereka namun diperkirakan pastilah jumlahnya tak banyak-. Sejak lahir
hingga besar kita sangat dipengaruhi budaya jahiliyah Indonesia dengan segala
versinya, ada versi tradisonal Indonesia, versi modern barat, versi kombinasi dll.

(ket gambar: Sesaji yang diletakkan di halaman di depan bangunan utama keraton
(tempat singgasana Sultan) )

Dapat dikatakan budaya Indonesia saat ini sama sekali tidak mencerminkan
statistik pemeluk Islam yang mayoritas. Jumlahnya memang banyak (meskipun
kini semakin turun rasionya dibandingkan dengan non muslim), namun apa yang
diyakini, dijalankan, bahkan dijadikan hukum sama sekali bukan Islam. Kita
bahkan tak tahu apa itu Islam lebih dari sekedar definisi rukun Islam yang 5 dan
rukun Iman yang 6. Kita hanya mengetahui ”narasi”nya, tanpa pemahaman
apalagi internalisasi dan sibghah1.

1
Sibghah adalah istilah untuk menunjukkan internalisasi Islam yang lebih mendalam lagi
dengan disertai amal secara terpadu dan kongkrit. Rujukan: QS 2:138.
Ketika kita sendiri menjadi orangtua dan mulai sadar akan nilai Iman serta ingin
memilikinya secara kaafah2, kita menjadi bingung. Di saat itu kita baru menyadari
betapa telah ’berjarak’nya antara kita sebagai muslim/muslimah dengan Islam
sebagai jalan hidup. Kita mengaku muslim, namun tidak hidup secara Islami,
tidak berpakaian secara Islami, tidak mencari nafkah (baca:berbisnis) secara
Islami, bahkan tidak berpandangan yang Islami. Jadi di mana letak ’ke-Islam-an’
kita? Tidak ada, selain di KTP.

Saat tersentak dengan kenyataan ini, barulah kita mulai gelisah dan mulailah
tergopoh-gopoh belajar Islam dari nol lagi; bahkan seringkali dengan cara yang
serabutan. Tidak heran, sebab selain memang jarak antara kita dan turunnya
wahyu terakhir sudah berbilang belasan abad, kitapun sudah kehilangan banyak
contoh. Di antara waktu itu, bukan hanya Nabi SAW yang telah wafat, namun
para sahabat, tabi’in bahkan tabi’it tabi’in3 semua sudah tiada. Peninggalan
merekapun seringkali hilang karena perang atau disembunyikan atau terlupakan.
Kita yang hidup saat ini harus mengais-ngais peninggalan kuno seraya mencoba
mengartikannya dengan situasi zaman kita. Belum lagi kendala bahasa dan
budaya. Situasi ini menimbulkan berbagai komplikasi penyakit ummat selain
wahn, misalnya penyakit isti’jal, tasyaddud, tasahul, jumud dll.

Sebagian dari kesulitan kita juga disebabkan karena sudah ter-kooptasi-nya


banyak tokoh yang dianggap ’ulama Islam’, bahkan lembaga-lembaga pendidikan
Islam sudah berganti rupa menjadi sistem yang se-pola dangan sistem pendidikan
jahiliyah, sehingga kita kehilangan tempat bertanya. Bagaikan anak ayam
kehilangan induk.

Ketika seseorang menjadi orangtua, menurut para pakar psikologi ia akan


cenderung mengambil pola pendidikan yang sama yang ia terima dari orangtua-
nya. Kadang bagaikan copy-paste, sama persis tanpa di edit lagi. Jika si orangtua
berpola permisif, si anak cenderung juga permisif terhadap anaknya sendiri.
Selain gaya/pola pendidikan, kadang isinya-pun diambil tanpa di-edit lagi,
terutama isi/konten moral (baca akhlaq) dan nilai-nilai luhur (agama/jalan hidup).
Isi/konten dalam hal pengetahuan/knowledge mungkin sudah diperbaharui atau
ditambah sesuai zamannya, namun perilaku moral maupun nilai-nilai yang
dijunjung tinggi diterima dan digunakan tanpa mempertanyakan apapun sama
sekali. Jika kebetulan orangtua kita belum mengenal Islam, belum menjadikan
Islam sebagai landasan/jalan hidup, maka kita-pun akan terjebak untuk mendidik
anak-2 kita sebagaimana kita sendiri dididik dalam budaya jahiliyah.

Banyak sekali orangtua muslim masa kini seolah hanya mengulangi sejarah
hidupnya sendiri. Jika ada yang menggugat mengapa demikian maka alasan kuno
yang dikemukakan bahkan amat mirip dengan yang ada disindir dalam Al Qur’an:
”Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami”.

2
Kaafah artinya menyeluruh/ seluruhnya/ seutuhnya/tidak terbagi. Rujukan QS 2:208.
3
Sahabat adalah istilah bagi pemeluk Islam yang langsung bertemu dan hidup bersama Nabi
SAW, tabi’in adalah orang-orang muslim yang berjumpa dan mengikuti cara hidup para sahabat
namun tidak berkesempatan berjumpa dan hidup bersama Nabi SAW, sedangkan tabi’it tabi’in
adalah orang-orang yang berjumpa dan mengikuti cara hidup para tabi’in
Pengecualian hanya pada segelintir orang yang di Rahmati Allah dan mendapat
petunjuk yang Benar.

Inilah yang kita -para orangtua yang ingin menegakkan Islam kembali dalam diri
dan keluarganya- harus hadapi ketika kita harus mencari sekolah yang cocok bagi
anak-anak kita, ketika kita coba melakukan riset pola asuh mana yang terbaik
dlsb,.....maka 99% yang akan kita temui adalah metode pendidikan yang layak
dianggap sampah dalam khazanah Islam. Pendidikan yang akan tampak baik di
kulit luar, namun cepat atau lambat akan segera menunjukkan kebobrokannya
sendiri.Sebagian merupakan warisan leluhur, sebagian lagi merupakan budaya
impor dari luar dan sebagian lagi merupakan hasil rekayasa baru yang mengada-
ada. Memang mungkin ada yang membawa satu atau dua nilai-nilai Islam, namun
jika hal-halyang mendasar (aqidah) tidak dijadikan sebagai landasannya, maka
teori pendidikan anak yang manapun pada hakekatnya adalah sampah. Kesulitan
mendapatkan sampel yang baik, mendapatkan metode yang tepat dan
mendapatkan acuan yang benar...semua merupakan masalah nyata bagi
ummat Islam di seluruh dunia.

Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti kita? Sebagian akan terus mencari
sampai dapat ketenangan dengan resep-resep pilihannya yang dipilih dengan hati-
hati dan penuh perjuangan, sebagian hanya berpikir sebentar kemudian
mengambil jalan pragmatis: yaitu menyerahkan pilihan kepada tokoh yang
menurut mereka adalah tokoh Islam teladan dan kemudian mulai memasang
”mode’ JUMUD atau asal ikut (sebuah penyakit yang cukup berbahaya di masa
kini). Atau sekedar merasa cukup dengan menyerahkan anak kepada
sekolah/lembaga pendidikan yang berlabel ”Islami”. Dan sebagian lagi kemudian
salah arah dan terkecoh oleh ”du’at ila abwaabi jahannam” (para da’i yang
memanggil ke pintu-pintu neraka) yang menyesatkan kini juga sedang aktif
berperan dengan baju dan bahasa yang seolah sama dengan da’i yang jujur namun
dengan hasil yang bertolak belakang. Merasa sudah berada di jalan yang benar
dengan sangat yakin, padahal sebenarnya sedang terseret ke neraka. Na’udzu
billahi min dzalik.

Sifat/ Nature Dari Pendidikan Sekarang Di Sini


Negara ini (Indonesia) dalam peringkat negara-negara di dunia saat ini masih
dikatagorikan sebagai ’negara yang sedang berkembang’. Indonesia belum
dianggap sebagai negara maju karena dianggap belum dapat menerapkan
seluruh sistem jahiliyah secara 100%. Di dunia sekarang ini, kasta negara-
negara ditentukan oleh sederet angka sebagai tolok ukur. Angka-angka tersebut
sebenarnya merupakan angka-angka mati yang bisa saja berarti baik atau buruk
tergantung bagaimana mengartikannya. Namun angka-angka tersebut kemudian
dimunculkan untuk menciptakan pencitraan tertentu sebagaimana yang
dikehendaki oleh pemakainya. Angka kematian penduduk (salah satu tolok ukur)
masih tinggi, angka korupsi masih termasuk ranking sepuluh besar, income per-
kapita masih rendah dan perolehan pajak masih kecil dan sejumlah tolok ukur
jahiliyah lainnya, baik yang dapat dikatagorikan termasuk ma’ruf atau mungkar
secara Islam maupun jelek atau bagus menurut nilai jahiliyah sendiri.
Di negeri ini, dalam masalah pendidikan, kasus kisruh UAN merupakan contoh
yang menarik untuk kita analisa baik dengan kacamata Islam maupun tolok ukur
jahiliyah. Sebagaimana diketahui, UAN diadakan dengan maksud melakukan
standardisasi mutu pendidikan. Karena dilakukan dengan semangat ”terburu-buru
karena takut di cap sebagai negera terbelakang”, maka UAN diberlakukan
sebelum pembenahan seluruh sekolah di seluruh Indonesia di lakukan.
Standardisasi dulu, benahi kemudian.....Kisruh-pun terjadi. Tidak meratanya
kesempatan pendidikan di berbagai daerah dan kota menjadi mencolok pada tahun
awal UAN. Ada banyak daerah dan sekolah yang angka gagalnya sangat
tinggi...seolah guru-guru mereka sama sekali tidak mengajarkan apa-apa selama
anak didik bersekolah. Para kanwil pendidikan merasa malu karena wilayahnya di
cibiri Pusat dan kemudian balik menekan pihak sekolah dan menyalahkan mereka
tidak serius mendidik. Pihak sekolah meradang karena selama ini fasilitas amat
minim dan problema gaji merupakan masalah kronis. Input dan output sebenarnya
sesuai dengan rumus, namun tidak sesuai ”pesanan’ dan ”keinginan” Pusat. Tahun
berikutnya sudah dapat dipastikan yang muncul adalah fenomena bocor UAN
merebak. Semua pihak, baik itu anak murid, guru, sekolah, kanwil diknas dst
ingin mendapatkan atau melihat hasil yang bagus. Oleh karena realitanya belum
dapat dicapai dengan jujur, maka bermain curang merupakan keharusan.

Penulis pernah menyekolahkan anak di wilayah luar Jakarta (pesantren). Pada


akhir tahun ajaran, setelah pengumuman UAN, pak guru terpaksa ”buka kartu”
dihadapan para orangtua bahwa sebelum UAN sekolah mereka diajak oleh diknas
setempat untuk gotong royong bersama para guru sekolah lain untuk
mendongkrak peringkat wilayah dengan cara para gurulah yang melakukan
koreksi (sebelum dikumpulkan ke panitia UAN) kertas UAN anak didik. Para
guru memperbaiki jawaban-jawaban yang salah dari para murid berdasarkan
kunci jawaban dan berdasarkan pengetahuan si guru. Sekolah pesantren ini
menolak, sebagai akibatnya, selain dikucilkan, sejumlah muridpun jatuh di nilai
UAN dan bahkan peringkat sekolah mereka jatuh di bawah sekolah lain se-
wilayah tsb padahal selama ini pesantren tsb dikenal sebagai sekolah terbaik di
sana. Tragis, ketika ada guru yang berusaha berpegang pada nilai-nilai
kejujuran, anak murid dan sekolahnya malah menjadi korban. Ini sangat
sesuai dengan hadis yang memperediksi keadaan di akhir zaman dimana org
baik dijatuhkan dan org jahat dianggap baik. Sampai saat ini sinetron UAN
masih berlangsung. Tahun ini bahkan percetakan soal UAN sudah terdeteksi ada
yang menjual soal UAN,....keuntungan tambahan di luar dari tender mencetak
soal UAN. Siapa lagi yang peduli bagaimana mutu pendidikan anak-anak kita?

Beberapa Persoalan Mendasar Yang Ada


(1) Pertama adalah soal paradigma pendidikan

Pendidikan jahiliyah berlandaskan paradigma sukses materialisme. Semua


yang dianggap sebagai ”achievement” bersifat kuantitatif atau
dikuantitatifkan. Anak sukses jika dapat gelar sarjana, anak sukses jika dapat
kerja dengan gaji tinggi, rumah mewah, mobil mewah dlsb tolok ukur kebendaan.
Anak sholeh dianggap abstrak dan utopia. Berapa nilai pemahamannya terhadap
hidup, kedalaman Imannya dan keindahan akhlaqnya tak perlu dipedulikan,
selama nilai-nilai kebendaan belum terpenuhi. Benda dulu, baru yang lain. Orang
pandai (sarjana) yang kaya dan santun....sangat dihormati. Yang pandai tapi
kurang ajar-pun di berikan tempat lebih baik daripada yang ’biasa-biasa-saja”
namun berakhlaq mulia.

Paradigma mendasar tentang kesuksesan orang beriman melampaui batas hidup


dan mati, melampaui batas dunia, rujukannya: 3:1854. Ya, jika kita sudah sampai
’di sana’, maka siapa lagi yang akan membantah kesuksesan kita? Ayah dan ibu
barulah dapat merasa sukses tanpa ragu jika telah berhasil mengantarkan anaknya
ke sana. Sepintas ini akan dianggap utopia/mimpi, sebab ”hasil”nya tak dapat
dilihat sekarang....BETUL 100%. Memang hasil pendidikan yang baik bukan
untuk dilihat orang lain, namun untuk dinilai Allah SWT. Kapan kita tahu itu
berhasil atau tidak? Ya nanti jika sudah di akhirat. Sebelum itu, tak ada orangtua
maupun pendidik yang boleh merasa tenang dan puas dan menganggap dirinya
telah berhasil. Kita sebagai orangtua maupun guru harus selalu dalam keadaan
waspada bahwa kita masih harus terus memperbaiki diri dan metode kita dalam
memberikan pendidikan kepada anak. Paradigma sukses di QS 3:185 bukan hanya
4
Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 185: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari
neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
penting di akhirat dan berarti di dunia kita tidak perlu mendapatkan apa-apa,
sebab di atas dunia ini kita juga harus mewujudkan kekuasaan Allah (sebagai
khalifah Allah di atas dunia) dan kita ummat Islam harus merangkainya dalam
amal-amal bermanfaat.

(2)Persoalan kedua adalah persoalan standar penilaian yang selain


mereduksi nilai-nilai yang utuh juga melakukan
kompartementalisasi dan sekularisasi.

Cara penilaian sistem pendidikan jahiliyah adalah dengan meredusir nilai- yang
utuh menjadi nilai-nilai kuantitatif yang kosong makna. Rangking ke 1 di kelas
yang mayoritas bodoh adalah anak terpandai diantara yang bodoh. Rangking
terbawah di kelas unggulan adalah anak yang masih di atas rata-rata statistik.
Angka hanya menampilkan skala yang kaku dari kemampuan anak, angka sangat
dipengaruhi oleh situasi kondisi saat penilaian dengan angka tsb dilakukan (ujian
atau ulangan). Apa yang dinilai merupakan sebagian kecil saja dari apa yang
keseluruhan. Apakah yang dinilai tsb dapat mewakili kualitas sesungguhnya dari
intelektualitas anak? Dengan meredusir penilaian yang utuh tentang seorang anak
menjadi sederet angka rapor, kualitas moral, kualitas pemahaman, kualitas
interaksi sosial anak tak lagi dapat di’baca’.

Kesenjangan antara penilaian di ruang kelas dengan apresiasi lapangan pekerjaan


merupakan bukti nyata problem ini. Sekian banyak angkatan kerja yang S1 tak
terserap lapangan pekerjaan. Sementara ada saja yang non sarjana dapat
melakukan sesuatu yang bahkan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain
( para enterpreneur). Apalagi jika kita coba menilai hasil pendidikan jahiliyah tsb
dengan timbangan nilai moral agama. Berapa banyak para sarjana S1, 2, 3 bahkan
profesor malah memberi contoh akhlaq buruk. Profesor selingkuh dengan sesama
profesor, doktor yang melakukan plagiat, mengajak kepada dosa dan kemunkaran
dlsb. Itu semua merupakan cerita lama. Penilaian intelektualitas yang ada sama
sekali tidak melibatkan aspek lain selain kemampuan berpikir di bidang tertentu.

Sudah menjadi anekdot umum bahwa profesor adalah orang yang pelupa dan
seringkali bertingkah bodoh. Adakah seorang Ulama mumpuni akan bertingkah
”absent minded?” sebagaimana ”absent minded professors? Sebab setiap proesor
mendapat gelarnya yang tertinggi tersebut hanya untuk penilaian atas salah satu
dari sejumlah besar cabang ilmu yang ada. Seorang prof yang membacakan pidato
pengukuhan di bidang eksakta, isi pidatonya bisa sangat menggelikan ketika ia
sedang menyebutkan apa rekomendasi/ kontribusi ilmunya untuk masyarakat luas
(bidang sosial kemasyarakatan). Terasa kedangkalan berpikir di bidang yang
bukan bidangnya. Ulama bukanlah ulama jika ia hanya mengusai salah satu saja
cabang Ilmu Islam. Seorang yang boleh berfatwa hanyalah yang mampu meninjau
seluruh aspek yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dibahas.

Pandangan hidup sekularis dan serba terpecah-lah yang telah menyebabkan


standar penilaian pendidikan jahiliyah menjadi kosong nilai yang utuh.
Bagaimana seseorang hanya dinilai untuk aspek-aspek kecil dari keseluruhan
dirinya dan melupakan nilai yang utuh. Persoalan kompartementalisasi dan
sekularisasi merasuk ke seluruh bidang kehidupan. Bidang pendidikan kedokteran
mencetak para dokter spesialis yang seringkali mereka ”mengeroyok” pasien yang
sudah ”komplikasi” dengan sejumlah obat resep masing-masing. sehingga seorang
dengan penyakit menjadi konsumen sejumlah obat para spesialis yang saling
bertentangan cara kerjanya. Masing-masing dokter spesialis hanya mementingkan
bagian tubuh yang merupakan bidang spesialisasinya, padahal yang menjadi
obyek adalah SATU orang manusia dengan sistem tubuh yang saling berkaitan.
Jika kita merujuk pasien yang sama kepada herbalis yang berdasarkan thibbun
Nabawi5, maka mungkin segera dapat diketahui bahwa semua penyakit orang
tersebut bersumber pada satu organ saja, yaitu perut. Bidang farmasi
menghasilkan sejumlah obat kimia hasil ekstrak yang telah meniadakan
keseimbangan bahan herbal yang di ekstrak sehingga efek sampingnya menjadi
besar. Apa bidang yang tidak di kompertementalisasikan ? Semua bidang
dibangun sekat-sekatnya, pembagian-pembagiannya, sehingga keseimbangan
dalam harmonisasi keutuhan menghilang. Orang mulai merindukan untuk menjadi
”manusia se-utuhnya” tanpa tahu lagi bagaimana caranya.

Keseimbangan alam telah lama terusik dan kini nyata-nyata telah menjadi korban
kebodohan dan kezaliman manusia. Pemanasan global merupakan kisah tragis
kemajuan ilmu pengetahuan yang di bangga-banggakan dunia barat. Penemuan
brillian atas bahan CFC (freon), plastik, teknologi nuklir dll merupakan bukti
nyata zholuman jahula6-nya manusia. Masih terlalu banyak contoh yang tak
disebutkan di sini, contoh di bidang kemajuan ilmu pertanian, genetika, antariksa
dll.

5
thibbun Nabawi adalah istilah untuk sistem kedokteran Islam yang berbasis warisan Islam
kuno sejak zaman Nabi Saw dan ilmu herbal alami
6
Istilah dalam Quran Surah 33 ayat 72: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (zholuman jahula).
(keterangan gambar: melelehnya lapisan demi lapisan es kutub)

Sebenarnya sejak akhir abad 19 awal abad 20 sudah ada sejumlah manusia dari
masyarakat kafir jahiliyah yang mengkritisi kemajuan yang belum seberapa saat
itu, yaitu para pem-protes revolusi Industri. Misalnya filsafat eksitensialisme.
Meskipun kritikan mereka masih sebatas kulit masalah dan ungkapan keresahan
belaka, bahkan sebagian dari mereka jelas-jelas tersesat menjadi ateis nyata,
namun kegelisahan jiwa manusia sudah terdeteksi sejak lama. Saat itu, mayoritas
umat Islam belum terlalu terpengaruh kemajuan ilmu barat sebab belum terlalu
”modern”.

(3) Persoalan lain dari sistem pendidikan jahiliyah modern adalah


masalah proses belajar mengajar secara klasikal massal.

Kelas menjadi ruang-ruang peng-generalisasi individu anak didik. Bekerja sama


dengan sistem penilaian kuantitatif, penegakkan dinding ruang kelas telah
menghilangkan kemampuan anak didik melihat dunia nyata. Simulasi persoalan
yang disederhanakan agar dapat dibungkus dan di bawa ke ruang kelas telah
menyebabkan ada jarak antara pengajaran teori dengan pemahaman realita.
Khusus Indonesia kita, sistem soal jawab yang sering mengandalkan multiple
choice telah memunculkan bisnis bimbel dengan sukses. Cara seperti ini telah
dengan amat berhasil membungkus berbagai soal jawab dalam lingkup kurikulum
yang melebar (seolah banyak, dan memang banyak topiknya, namun dangkal
pemahaman).

Kita, orangtua sangat kagum betapa anak-anak kita telah disuguhkan soal dari
topik bahasan matematika yang biasa diberikan di tingkat dua fak teknik justru
ketika anak kita masih kelas dua SMA. Seolah ada kemajuan beberapa tahun. Tapi
apakah lompatan ini bermanfaat? Itu soal lain, yang penting ketika evaluasi
kurikulum dilakukan, para pembuat kurikulum dapat dengan bangga mengatakan
bahwa mereka telah ”advance” dalam mendidik murid dengan materi bahasan
yang lebih tinggi. Benarlah anak murid dapat menjawab dengan pilihan jawaban
yang benar, sebab mereka telah pernah diberikan soal bahasan tsb dalam bentuk
bahasan soal multiple choice, bukan dalam konteks topik tsb sebenarnya berada.
Anak tinggal menghafalkan apa jawaban yang benar. Seorang anak kelas 3 SMA
di sekolah terpadu dalam 3-6 bulan terakhir tak lagi diberikan materi pelajaran
yang utuh. 3-6 bulan terakhir mereka hanya bertugas menjawab ribuan soal jawab
multiple choice yang terlepas-lepas dari topik bahasan masing-masing. Bahkan
ada yang mengadakan program pesantren kilat bimbel, tempat murid dikarantina
selama 1 bulan untuk menjawab ribuan soal sambil dipompa motivasi
”belajar”nya dengan berbagai teknik training motivasi layaknya seorang calon
manajer kantoran. Saya melihatnya sebagai sebuah kamp konsentrasi untuk cuci
otak, dan untuk itu ortu harus bayar jutaan rupiah. Ujilah hasilnya sebagaimana
kami pernah menguji anak kami dengan persoalan sederhana berikut ini (;.....soal
phytagoras).

Dengan meredusir setiap topik bahasan ke dalam sejumlah soal multiple choce,
para pembuat kurikulum telah berhasil mendapatkan evaluasi ”baik” (secara
statistik dan kuantitatif) dari pencapaian murid di ruang kelas yang massal. Dalam
ruang kelas seperti ini, seorang murid tak perlu berkonsentrasi secara penuh saat
belajar, dalam kelas ada waktu untuk main HP, main game, dan bercanda bahkan
melamun dan tidur, sebab kesuksesannya dapat dikejar nanti, saat ia habis-
habisanan menghafal huruf a.b,c,d yang mewakili jawaban yang benar. Mengapa
demikian? Mengapa ketika beban kurikulum ditambah anak murid malah lebih
banyak kesempatan bermain dalam kelas? Alasannya karena cara belajar seperti
ini pada hakekatnya tidak menambah kecerdasan. Murid tidak dibuat tambah
pandai berpikir, dan mereka tak perlu bekerja keras berpikir. Cukup melibatkan
proses berpikir sederhana yaitu mix and match antara soal dan huruf (abcd) yang
mewakili jawaban yang benar. Ini proses pengenalan sederhana yang anak TK-
pun sudah mampu mencapainya dengan kapasitas otak mereka. Sebagaimana soal
jawab di buku TK, hanya saja anak SMA bukannya harus melakukan mix and
match antara badan ayam dan dan kaki ayam, badan sapi dan kaki sapi, tapi antara
soal tsb dengan jawabannya.
Bagaimana jawaban tsb sampai ke sana, itu tak lagi penting. Persis anak TK yang
tak perlu tahu bahwa sapi adalah mamalia dan ayam adalah aves. Yang penting
adalah anak murid harus menghafal sebanyak-banyaknya soal jawab, dan semua
itu hanya untuk mengisis angka raport. Setelah nilai-nilai ujian dan raport
dibagikan, anak murid-pun tak akan ingat lagi semua soal jawab itu sama sekali.
Bagaimana mungkin ingat jika mereka hanya menghafal soal jawab tanpa
mengerti apa yang dibicarakan?

Intisari telah disampaikan pada Talk Show pendidikan anak, Masjid Darussalam
Kota Wisata Cibubur 29 Mei 2010, Tarbiyah a-la Sahabat vs Pendidikan Jahiliyah
Modern

Vous aimerez peut-être aussi