Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
(ket gambar: Sesaji yang diletakkan di halaman di depan bangunan utama keraton
(tempat singgasana Sultan) )
Dapat dikatakan budaya Indonesia saat ini sama sekali tidak mencerminkan
statistik pemeluk Islam yang mayoritas. Jumlahnya memang banyak (meskipun
kini semakin turun rasionya dibandingkan dengan non muslim), namun apa yang
diyakini, dijalankan, bahkan dijadikan hukum sama sekali bukan Islam. Kita
bahkan tak tahu apa itu Islam lebih dari sekedar definisi rukun Islam yang 5 dan
rukun Iman yang 6. Kita hanya mengetahui ”narasi”nya, tanpa pemahaman
apalagi internalisasi dan sibghah1.
1
Sibghah adalah istilah untuk menunjukkan internalisasi Islam yang lebih mendalam lagi
dengan disertai amal secara terpadu dan kongkrit. Rujukan: QS 2:138.
Ketika kita sendiri menjadi orangtua dan mulai sadar akan nilai Iman serta ingin
memilikinya secara kaafah2, kita menjadi bingung. Di saat itu kita baru menyadari
betapa telah ’berjarak’nya antara kita sebagai muslim/muslimah dengan Islam
sebagai jalan hidup. Kita mengaku muslim, namun tidak hidup secara Islami,
tidak berpakaian secara Islami, tidak mencari nafkah (baca:berbisnis) secara
Islami, bahkan tidak berpandangan yang Islami. Jadi di mana letak ’ke-Islam-an’
kita? Tidak ada, selain di KTP.
Saat tersentak dengan kenyataan ini, barulah kita mulai gelisah dan mulailah
tergopoh-gopoh belajar Islam dari nol lagi; bahkan seringkali dengan cara yang
serabutan. Tidak heran, sebab selain memang jarak antara kita dan turunnya
wahyu terakhir sudah berbilang belasan abad, kitapun sudah kehilangan banyak
contoh. Di antara waktu itu, bukan hanya Nabi SAW yang telah wafat, namun
para sahabat, tabi’in bahkan tabi’it tabi’in3 semua sudah tiada. Peninggalan
merekapun seringkali hilang karena perang atau disembunyikan atau terlupakan.
Kita yang hidup saat ini harus mengais-ngais peninggalan kuno seraya mencoba
mengartikannya dengan situasi zaman kita. Belum lagi kendala bahasa dan
budaya. Situasi ini menimbulkan berbagai komplikasi penyakit ummat selain
wahn, misalnya penyakit isti’jal, tasyaddud, tasahul, jumud dll.
Banyak sekali orangtua muslim masa kini seolah hanya mengulangi sejarah
hidupnya sendiri. Jika ada yang menggugat mengapa demikian maka alasan kuno
yang dikemukakan bahkan amat mirip dengan yang ada disindir dalam Al Qur’an:
”Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami”.
2
Kaafah artinya menyeluruh/ seluruhnya/ seutuhnya/tidak terbagi. Rujukan QS 2:208.
3
Sahabat adalah istilah bagi pemeluk Islam yang langsung bertemu dan hidup bersama Nabi
SAW, tabi’in adalah orang-orang muslim yang berjumpa dan mengikuti cara hidup para sahabat
namun tidak berkesempatan berjumpa dan hidup bersama Nabi SAW, sedangkan tabi’it tabi’in
adalah orang-orang yang berjumpa dan mengikuti cara hidup para tabi’in
Pengecualian hanya pada segelintir orang yang di Rahmati Allah dan mendapat
petunjuk yang Benar.
Inilah yang kita -para orangtua yang ingin menegakkan Islam kembali dalam diri
dan keluarganya- harus hadapi ketika kita harus mencari sekolah yang cocok bagi
anak-anak kita, ketika kita coba melakukan riset pola asuh mana yang terbaik
dlsb,.....maka 99% yang akan kita temui adalah metode pendidikan yang layak
dianggap sampah dalam khazanah Islam. Pendidikan yang akan tampak baik di
kulit luar, namun cepat atau lambat akan segera menunjukkan kebobrokannya
sendiri.Sebagian merupakan warisan leluhur, sebagian lagi merupakan budaya
impor dari luar dan sebagian lagi merupakan hasil rekayasa baru yang mengada-
ada. Memang mungkin ada yang membawa satu atau dua nilai-nilai Islam, namun
jika hal-halyang mendasar (aqidah) tidak dijadikan sebagai landasannya, maka
teori pendidikan anak yang manapun pada hakekatnya adalah sampah. Kesulitan
mendapatkan sampel yang baik, mendapatkan metode yang tepat dan
mendapatkan acuan yang benar...semua merupakan masalah nyata bagi
ummat Islam di seluruh dunia.
Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti kita? Sebagian akan terus mencari
sampai dapat ketenangan dengan resep-resep pilihannya yang dipilih dengan hati-
hati dan penuh perjuangan, sebagian hanya berpikir sebentar kemudian
mengambil jalan pragmatis: yaitu menyerahkan pilihan kepada tokoh yang
menurut mereka adalah tokoh Islam teladan dan kemudian mulai memasang
”mode’ JUMUD atau asal ikut (sebuah penyakit yang cukup berbahaya di masa
kini). Atau sekedar merasa cukup dengan menyerahkan anak kepada
sekolah/lembaga pendidikan yang berlabel ”Islami”. Dan sebagian lagi kemudian
salah arah dan terkecoh oleh ”du’at ila abwaabi jahannam” (para da’i yang
memanggil ke pintu-pintu neraka) yang menyesatkan kini juga sedang aktif
berperan dengan baju dan bahasa yang seolah sama dengan da’i yang jujur namun
dengan hasil yang bertolak belakang. Merasa sudah berada di jalan yang benar
dengan sangat yakin, padahal sebenarnya sedang terseret ke neraka. Na’udzu
billahi min dzalik.
Cara penilaian sistem pendidikan jahiliyah adalah dengan meredusir nilai- yang
utuh menjadi nilai-nilai kuantitatif yang kosong makna. Rangking ke 1 di kelas
yang mayoritas bodoh adalah anak terpandai diantara yang bodoh. Rangking
terbawah di kelas unggulan adalah anak yang masih di atas rata-rata statistik.
Angka hanya menampilkan skala yang kaku dari kemampuan anak, angka sangat
dipengaruhi oleh situasi kondisi saat penilaian dengan angka tsb dilakukan (ujian
atau ulangan). Apa yang dinilai merupakan sebagian kecil saja dari apa yang
keseluruhan. Apakah yang dinilai tsb dapat mewakili kualitas sesungguhnya dari
intelektualitas anak? Dengan meredusir penilaian yang utuh tentang seorang anak
menjadi sederet angka rapor, kualitas moral, kualitas pemahaman, kualitas
interaksi sosial anak tak lagi dapat di’baca’.
Sudah menjadi anekdot umum bahwa profesor adalah orang yang pelupa dan
seringkali bertingkah bodoh. Adakah seorang Ulama mumpuni akan bertingkah
”absent minded?” sebagaimana ”absent minded professors? Sebab setiap proesor
mendapat gelarnya yang tertinggi tersebut hanya untuk penilaian atas salah satu
dari sejumlah besar cabang ilmu yang ada. Seorang prof yang membacakan pidato
pengukuhan di bidang eksakta, isi pidatonya bisa sangat menggelikan ketika ia
sedang menyebutkan apa rekomendasi/ kontribusi ilmunya untuk masyarakat luas
(bidang sosial kemasyarakatan). Terasa kedangkalan berpikir di bidang yang
bukan bidangnya. Ulama bukanlah ulama jika ia hanya mengusai salah satu saja
cabang Ilmu Islam. Seorang yang boleh berfatwa hanyalah yang mampu meninjau
seluruh aspek yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dibahas.
Keseimbangan alam telah lama terusik dan kini nyata-nyata telah menjadi korban
kebodohan dan kezaliman manusia. Pemanasan global merupakan kisah tragis
kemajuan ilmu pengetahuan yang di bangga-banggakan dunia barat. Penemuan
brillian atas bahan CFC (freon), plastik, teknologi nuklir dll merupakan bukti
nyata zholuman jahula6-nya manusia. Masih terlalu banyak contoh yang tak
disebutkan di sini, contoh di bidang kemajuan ilmu pertanian, genetika, antariksa
dll.
5
thibbun Nabawi adalah istilah untuk sistem kedokteran Islam yang berbasis warisan Islam
kuno sejak zaman Nabi Saw dan ilmu herbal alami
6
Istilah dalam Quran Surah 33 ayat 72: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (zholuman jahula).
(keterangan gambar: melelehnya lapisan demi lapisan es kutub)
Sebenarnya sejak akhir abad 19 awal abad 20 sudah ada sejumlah manusia dari
masyarakat kafir jahiliyah yang mengkritisi kemajuan yang belum seberapa saat
itu, yaitu para pem-protes revolusi Industri. Misalnya filsafat eksitensialisme.
Meskipun kritikan mereka masih sebatas kulit masalah dan ungkapan keresahan
belaka, bahkan sebagian dari mereka jelas-jelas tersesat menjadi ateis nyata,
namun kegelisahan jiwa manusia sudah terdeteksi sejak lama. Saat itu, mayoritas
umat Islam belum terlalu terpengaruh kemajuan ilmu barat sebab belum terlalu
”modern”.
Kita, orangtua sangat kagum betapa anak-anak kita telah disuguhkan soal dari
topik bahasan matematika yang biasa diberikan di tingkat dua fak teknik justru
ketika anak kita masih kelas dua SMA. Seolah ada kemajuan beberapa tahun. Tapi
apakah lompatan ini bermanfaat? Itu soal lain, yang penting ketika evaluasi
kurikulum dilakukan, para pembuat kurikulum dapat dengan bangga mengatakan
bahwa mereka telah ”advance” dalam mendidik murid dengan materi bahasan
yang lebih tinggi. Benarlah anak murid dapat menjawab dengan pilihan jawaban
yang benar, sebab mereka telah pernah diberikan soal bahasan tsb dalam bentuk
bahasan soal multiple choice, bukan dalam konteks topik tsb sebenarnya berada.
Anak tinggal menghafalkan apa jawaban yang benar. Seorang anak kelas 3 SMA
di sekolah terpadu dalam 3-6 bulan terakhir tak lagi diberikan materi pelajaran
yang utuh. 3-6 bulan terakhir mereka hanya bertugas menjawab ribuan soal jawab
multiple choice yang terlepas-lepas dari topik bahasan masing-masing. Bahkan
ada yang mengadakan program pesantren kilat bimbel, tempat murid dikarantina
selama 1 bulan untuk menjawab ribuan soal sambil dipompa motivasi
”belajar”nya dengan berbagai teknik training motivasi layaknya seorang calon
manajer kantoran. Saya melihatnya sebagai sebuah kamp konsentrasi untuk cuci
otak, dan untuk itu ortu harus bayar jutaan rupiah. Ujilah hasilnya sebagaimana
kami pernah menguji anak kami dengan persoalan sederhana berikut ini (;.....soal
phytagoras).
Dengan meredusir setiap topik bahasan ke dalam sejumlah soal multiple choce,
para pembuat kurikulum telah berhasil mendapatkan evaluasi ”baik” (secara
statistik dan kuantitatif) dari pencapaian murid di ruang kelas yang massal. Dalam
ruang kelas seperti ini, seorang murid tak perlu berkonsentrasi secara penuh saat
belajar, dalam kelas ada waktu untuk main HP, main game, dan bercanda bahkan
melamun dan tidur, sebab kesuksesannya dapat dikejar nanti, saat ia habis-
habisanan menghafal huruf a.b,c,d yang mewakili jawaban yang benar. Mengapa
demikian? Mengapa ketika beban kurikulum ditambah anak murid malah lebih
banyak kesempatan bermain dalam kelas? Alasannya karena cara belajar seperti
ini pada hakekatnya tidak menambah kecerdasan. Murid tidak dibuat tambah
pandai berpikir, dan mereka tak perlu bekerja keras berpikir. Cukup melibatkan
proses berpikir sederhana yaitu mix and match antara soal dan huruf (abcd) yang
mewakili jawaban yang benar. Ini proses pengenalan sederhana yang anak TK-
pun sudah mampu mencapainya dengan kapasitas otak mereka. Sebagaimana soal
jawab di buku TK, hanya saja anak SMA bukannya harus melakukan mix and
match antara badan ayam dan dan kaki ayam, badan sapi dan kaki sapi, tapi antara
soal tsb dengan jawabannya.
Bagaimana jawaban tsb sampai ke sana, itu tak lagi penting. Persis anak TK yang
tak perlu tahu bahwa sapi adalah mamalia dan ayam adalah aves. Yang penting
adalah anak murid harus menghafal sebanyak-banyaknya soal jawab, dan semua
itu hanya untuk mengisis angka raport. Setelah nilai-nilai ujian dan raport
dibagikan, anak murid-pun tak akan ingat lagi semua soal jawab itu sama sekali.
Bagaimana mungkin ingat jika mereka hanya menghafal soal jawab tanpa
mengerti apa yang dibicarakan?
Intisari telah disampaikan pada Talk Show pendidikan anak, Masjid Darussalam
Kota Wisata Cibubur 29 Mei 2010, Tarbiyah a-la Sahabat vs Pendidikan Jahiliyah
Modern