Vous êtes sur la page 1sur 39

PENERAPAN

PRINSIP GOOD

GOVERNANCE

DALAM

PEMERINTAHAN LOKAL

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. 1

DAFTAR ISI …………………………………………………………… 2

ABSTRAK ……………………………………………………………. 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian …………..……………………….…………….. 6
D. Metode Penelitian …………..……………………….……………. 6

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Good Governance ………………………………………………… 8
B. Perwujudan “Tata Pemerintahan Lokal yang Baik” ……………… 21

BAB III PEMBAHASAN ………………………………….…………. 24

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………….. 33
B. Saran ………………………………………………………………. 34

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 36

2
ABSTRAK

Pemerintah menyadari bahwa terpuruknya Indonesia dalam krisis ini disebabkan


oleh berbagai faktor, yang salah satunya adalah penyelenggaraan negara yang buruk (poor
governance) atau populer dengan sebutan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Oleh
karena itu, hal ini menyadarkan kita akan pentingnya reorientasi terhadap tata kehidupan
bernegara yang baik (good governance) untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis,
yaitu yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance, distribusi kekuasaan secara
sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan hak asasi
manusia (HAM), serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kepada masyarakat luas.
Konsep good governance tentunya tidak hanya perlu diaplikasikan di tingkat nasional, tetapi
bahkan lebih penting lagi adalah di tingkat lokal. Undang-undang (UU) nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan perwujudan salah satu prasyarat yang
dibutuhkan (necessary), tetapi bukan berarti bahwa regulasi ini sudah mencukupi (sufficient)
bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Sehingga, banyak pihak mengkhawatirkan
bahwa desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah hanya akan menciptakan raja-
raja kecil dan memindahkan praktek KKN ke daerah, jika tidak ditempatkan dalam kerangka
demokratisasi. Dengan kata lain, otonomi daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan
kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat, apabila agenda demokratisasi diabaikan di
dalamnya.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan prinsip
Good Governance dalam pemerintahan lokal dan apa saja yg menjadi masalah dalam proses
penerapannya.
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaing mana
data diperoleh peneliti tidak secara langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik
lisan maupun tulis. Teknik pengumpulan data dengan cara melakukan studi kepustakaan dan
studi dokumenter yaitu pengumpulan data berdasarkan pada buku-buku literatur. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan
memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis,
kemudian ditarik kesimpulan.
Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip good governace dalam
pemerintahan lokal, penulis mengutip beberapa teori mengenai prinsip good governance,
antara lain: (1) partisipasi masyarakat, (2) supermasi hukun, (3) transparansi, (4)
kesetaraan, (5) daya tanggap, (6) wawasan kedepan, (7) akuntabilitas, (8) pengawasan, (9)
efisiensi dan efektifitas, serta (10) kompetensi dan profesionalisme. Namun, dari beberapa
prinsip good governance menurut para ahli tersebut, yang paling berpengaruh dalam
terciptanya pemerintahan yang baik khususnya di lingkup pemerintahan lokal hanya 3
prinsip. Ketiga prinsip tersebut saling berkesinambungan dan merupakan faktor pendukung
satu sama lain. Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai
“sebuah bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi. Oleh karena itu, dalam laporan seminar ini penulis hanya
akan membahas dan menganalisis secara mendalam ketiga prinsip tersebut.
Dari hasil analisis penulis dapat diketahui bahwa hanya partisipasi masyarakat-lah
yang dapat “menjaga” agar otonomi daerah ini dapat memberikan manfaat (benefits) yang
besar bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, tanpa adanya pemerintah lokal yang
transparan, akuntabel (bertanggunggugat), dan responsif terhadap keluhan atau masukan
masyarakatnya, sulit diharapkan sistem ini dapat berjalan. Sebaliknya, tanpa adanya
partisipasi dan kontrol publik, pemerintah juga sulit diharapkan dapat menjadi accountable
dengan sendirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga pilar good governance
tersebut saling berkaitan, bersifat mutualistik, dan saling mendukung.

Kata kunci : Prinsip Good Governance, Pemerintahan Lokal

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang lalu
memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah menyadari bahwa terpuruknya Indonesia dalam krisis ini disebabkan
oleh berbagai faktor, yang salah satunya adalah penyelenggaraan negara yang
buruk (poor governance) atau populer dengan sebutan KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme). Akses pada sumberdaya ekonomi yang tersedia hanya terbatas pada
segelintir komponen masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(sebelum krisis) pada kenyataannya hanya dinikmati sebagian kecil penduduk.
Mekanisme kontrol dan partisipasi publik untuk “menjaga” pembangunan
agar selalu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak lagi-lagi mengalami
distorsi. Pertama, lemahnya posisi lembaga legislatif terhadap eksekutif, baik “by
design” seperti posisi DPRD yang menjadi subordinasi dari kepala daerah,
maupun dalam implementasinya yang diwarnai dengan berbagai bentuk intervensi
kekuasaan eksekutif. Kedua, kesempatan masyarakat untuk mengorganisasikan
dirinya di luar “pakem” yang telah ditetapkan pemerintah membuat apa yang
dinamakan civil society tidak pernah sepenuhnya terbentuk. Ketiga, proses
pembangunan yang sentralistis dan top-down mengakibatkan partisipasi
masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan tidak dapat
berjalan. Seluruh kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum (law
enforcement) yang mengakibatkan berbagai upaya pemantauan dan pengawasan
yang dilakukan tidak berguna, sehingga sedikit banyak berkontribusi pada
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Semua ini menyadarkan kita akan pentingnya reorientasi terhadap tata
kehidupan bernegara (governance) untuk mewujudkan kehidupan yang
demokratis, yaitu yang menjamin berlakunya mekanisme check and balance,
distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan,
tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta struktur ekonomi
yang adil dan berorientasi kepada masyarakat luas.

4
Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan
kekuasaan di dalam suatu negara, termasuk (1) proses pemerintah dipilih,
dipantau, dan digantikan, (2) kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan
melaksanakan kebijakan secara efektif, dan (3) pengakuan masyarakat dan negara
terhadap berbagai institusi yang mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang
terakhir dapat dilakukan melalui tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan,
legitimasi, dan representasi Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat
keputusan dalam bidang tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu
pemerintah modern, namun yang terpenting adalah bagaimana melibatkan
persepsi rakyat tentang tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi
diperoleh karena masyarakat mengakui bahwa pemerintah telah menjalankan
peranannya dengan baik, atau kinerja dalam menjalankan kewenangan itu tinggi.
Representasi diartikan sebagai hak untuk mewakili pengambilan keputusan bagi
kepentingan golongan lain dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya.
Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana
pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting
lagi adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah
untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik (accountable). Karenanya,
seringkali tata pemerintahan yang baik dipandang sebagai “sebuah bangunan
dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu adalah transparansi, akuntabilitas,
dan partisipasi.
Selain bukan menjadi monopoli pemerintah, konsep good governance
tentunya tidak hanya perlu diaplikasikan di tingkat nasional, tetapi bahkan lebih
penting lagi adalah di tingkat lokal. Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan perwujudan salah satu prasyarat
yang dibutuhkan (necessary), tetapi bukan berarti bahwa regulasi ini sudah
mencukupi (sufficient) bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa desentralisasi kewenangan kepada
pemerintah daerah akan menciptakan raja-raja kecil dan memindahkan praktek
KKN ke daerah, jika tidak ditempatkan dalam kerangka demokratisasi. Dengan
kata lain, otonomi daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan
yang lebih baik bagi masyarakat, apabila agenda demokratisasi diabaikan di
dalamnya.

5
Untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya,
dibutuhkan pengembangan kelembagaan secara menyeluruh yang mencakup
beberapa aspek berikut: (a) proses pembangunan, yang meliputi formulasi
kebijakan (policy formulation), perencanaan (planning), penganggaran
(budgeting), dan penetapan peraturan (legislation); (b) peranan dan tanggung
jawab lembaga negara, pemerintah, dan masyarakat; (c) sistem organisasi, yang
meliputi lembaga pemerintah di berbagai sektor dan daerah, lembaga negara, dan
lembaga masyarakat; (d) insentif dalam pembangunan, yang mampu
meningkatkan inovasi masyarakat dalam pembangunan; (e) kerangka legal, yang
lebih memperhatikan kondisi masyarakat yang beranekaragam.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat
seminar dengan tema : “Penerapan Prinsip Good Governance dalam Pemerintahan
Lokal“.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis membuat rumusan masalah
ke dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan prinsip Good Governance dalam
pemerintahan lokal ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan
prinsip Good Governance dalam pemerintahan lokal dan apa saja yg menjadi
masalah dalam proses penerapannya.

D. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi. Data yang diperoleh peneliti tidak
secara langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulis.

2. Teknik Pengambilan Data


Dalam penulisan ini data sekunder dikumpulkan dengan cara melakukan studi
kepustakaan dan studi dokumen yaitu pengumpulan data yang berdasarkan pada

6
buku-buku literatur. Studi dokumenter atau studi kepustakaan merupakan suatu
teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-
dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah,
tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan,
ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.
Informasi yang dihimpun harus relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai),
dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang
sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan
dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah
dokumuen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap
dokumen-dokumen tersebut.

3. Teknik Analisis Data


Sesuai dengan tipe penulisan ini, maka data yang diperoleh akan dianalisis
secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai
data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis, kemudian ditarik
kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan cara berpikir
deduktif yaitu cara berpikir yang mendasar kepada hal-hal yang bersifat umum
dan kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

7
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Good Governance
Good governance adalah sebuah bentuk ideal mekanisme, praktik dan tata
cara pemerintah dalam mengatur dan memecahkan masalah-masalah publik.
Adapun beberapa pengertian lain mengenai Good Governance, antara lain :
 Suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
demokratis, dan efektif.
 Suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah,
dunia usaha swasta, dan masyarakat.
Good governace hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh
lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Negara
 menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil;
 membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
 menyediakan public service yang efektif dan accountable;
 menegakkan HAM;
 melindungi lingkungan hidup;
 mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
2. Sektor swasta:
 Menjalankan industri;
 Menciptakan lapangan kerja;
 Menyediakan insentif bagi karyawan;
 Meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
 Memelihara lingkungan hidup;
 Menaati peraturan;
 Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat;
 Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
3. Masyarakat madani:
 Manjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;

8
 Mempengaruhi kebijakan;
 Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah;
 Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
 Mengembangkan SDM;
 Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.

STAKEHOLDERS

STATE
Executive
Judiciary
Legislature
Public
service
Military
Police

CITIZENS
BUSINESS organized into:
Community-based
Small / medium / large organizations
enterprises Non-governmental
Multinational Corporations organizations
Financial institutions Professional Associations
Stock exchange Religious groups
Women’s groups
Media

Akan didapat beberapa manfaat apabila Good Governace diterapkan


secara baik, yakni antara lain:
1. Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi yang antara lain
ditunjukkan hal-hal berikut ini:
 Tidak adanya manipulasi pajak;
 Tidak adanya pungutan liar;
 Tidak adanya manipulasi tanah;
 Tidak adanya manipulasi kredit ;
 Tidak adanya penggelapan uang negara;
 Tidak adanya pemalsuan dokumen;

9
 Tidak adanya pembayaran fiktif;
 Proses pelelangan (tender) berjalan dengan fair;
 Tidak adanya penggelembungan nilai kontrak (mark-up);
 Tidak adanya uang komisi;
 Tidak adanya penundaan pembayaran kepada rekanan;
 Tidak adanya kelebihan pembayaran;
 Tidak adanya ketekoran biaya.
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang
bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel.
 Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping, fleksibel;
 Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antarlembaga di pusat
dan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih baik;
 Sistem administrasi pendukung dan kearsipan lebih efektif dan
efisien;
 Dokumen/arsip negara dapat diselamatkan, dilestarikan, dan
terpelihara.
3. Terhapusnya peraturan perUU-an dan tindakan yang bersifat diskriminatif
terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat.
 Kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha swasta
meningkat;
 SDM, prasarana dan fasilitas pelayanan menjadi lebih baik;
 Berkurangnya hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik;
 Prosedur dan mekanisme serta biaya yang diperlukan dalam
pelayanan publik lebih baku dan jelas;
 Penerapan sistem merit dalam pelayanan;
 Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan
publik;
 Penanganan pengaduan masyarakat lebih intensif.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik.

10
 Berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan
masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik
(seperti forum konsultasi publik).
5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan
perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
 Hukum menjadi landasan bertindak bagi aparatur pemerintahan
dan masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik.
 Kalangan dunia usaha swasta akan merasa lebih aman dan terjamin
ketika menanamkan modal dan menjalankan usahanya karena ada aturan
main (rule of the game) yang tegas, jelas, dan mudah dipahami oleh
masyarakat.
 Tidak akan ada kebingungan di kalangan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugasnya serta berkurangnya konflik antarpemerintah
daerah serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat


Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang
mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolak ukur kinerja suatu
pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat. Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
Penjelasan
Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil
mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu
yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat
dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan
umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk

11
lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan
partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan
pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan
isu sektoral.
Instrumen
Instrumen dasar partisipasi adalah peraturan yang menjamin hak untuk
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan
instrumen-instrumen pendukung adalah pedoman-pedoman pemerintahan
partisipatif yang mengakomodasi hak penyampaian pendapat dalam segala proses
perumusan kebijakan dan peraturan, proses penyusunan strategi pembangunan,
tata-ruang, program pembangunan, penganggaran, pengadaan dan pemantauan.

Indikator
 Adanya pemahaman penyelenggara negara tentang proses/metode
partisipatif
 Adanya pengambilan keputusan yang didasarkan atas konsensus bersama.
 Meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
 Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan
daerah
 Meningkatnya kuantitas dan kualitas masukan (kritik dan saran) untuk
pembangunan daerah dan terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi
lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan.
Perangkat pendukung indikator
 Pedoman pelaksanaan proses partisipatif;
 Forum konsultasi dan temu publik, termasuk forum stakeholders;
 Media massa nasional maupun media lokal sebagai sarana
penyaluran aspirasi masyarakat;
 Mekanisme/peraturan untuk mengakomodasi kepentingan yang
beragam.

2. Supremasi Hukum (Rule of Law)


Mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup

12
dalam masyarakat. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Penjelasan
Berdasarkan kewenangannya, pemerintah daerah harus mendukung
tegaknya supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan
perundang-undangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Di samping itu pemerintah daerah perlu
mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta
didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah daerah, DRPD
maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan
KKN.
Instrumen
Instrumen dasar penegakan hukum adalah peraturan perundang-undangan
yang ada, dengan komitmen politik terhadap penegakan hukum maupun
keterpaduan dari sistem yuridis (kepolisian, pengadilan dan kejaksaan), sedangkan
instrumen-instrumen pendukung adalah penyuluhan dan fasilitas ombudsman.
Indikator
 Adanya kepastian dan penegakan hukum
 Adanya penindakan terhadap setiap pelanggar hukum
 Adanya pemahaman mengenai pentingnya kepatuhan terhadap hukum dan
peraturan
 Berkurangnya praktek KKN dan pelanggaran hukum
 Meningkatnya (kecepatan dan kepastian) proses penegakan hukum
 Berlakunya nilai/norma di masyarakat (living law)
 Adanya kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sebagai pembela
kebenaran.
Perangkat pendukung indikator
 Peraturan perundang-undangan;
 Sistem yuridis yang terpadu/terintegrasi (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan);
 Reward and punishment yang jelas bagi aparat penegak hukum
(kepolisian,kehakiman, kejaksaan);

13
 Sistem pemantauan lembaga peradilan yang obyektif, independen,
dan mudah diakses publik (ombudsman);
 Sosialisasi mengenai kesadaran hukum.

3. Keterbukaan & Transparansi (Openness & Transparency)


Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat
melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh
informasi yang akurat dan memadai. Transparansi dibangun atas dasar informasi
yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu
dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Penjelasan
Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu
proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan
berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui
koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan
yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas
bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang
bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu
mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai
kepada masyarakat.
Instrumen
Instrumen dasar dari transparansi adalah peraturan yang menjamin hak
untuk mendapatkan informasi, sedangkan instrumen-instrumen pendukung adalah
fasilitas database dan sarana informasi dan komunikasi dan petunjuk
penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di penyelenggara
pemerintah, maupun prosedur pengaduan.
Indikator
 Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan
implementasi kebijakan publik

14
 Adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas diperoleh,
dan tepat waktu.
 Bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan
 Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan
 Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan
daerahnya
 Berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Perangkat pendukung indikator
 Peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi;
 Pusat/balai informasi;
 Website (e-government, e-procurement, dsb);
 Iklan layanan masyarakat;
 Media cetak;
 Papan pengumuman.

4. Komitmen pada Kesetaraan dan Pengurangan Kesenjangan (Commitment


to Reduce Inequality)
Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk
memperbaiki, mempertahankan, dan meningkatkan kesejahteraannya.
Penjelasan
Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar kepentingan pihak-
pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap
terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu
diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya
kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap
wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
Instrumen
Instrumen dasar kesetaraan adalah peraturan perundang-undangan yang
menjamin kesetaraan, dengan komitmen politik terhadap penegakan dan

15
perlindungan HAM, sedangkan instrumen-instrumen pendukung adalah
penyuluhan dan fasilitas ombudsman.
Indikator
 Adanya langkah-langkah atau kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan dasar bagi masyarakat yang kurang mampu (subsidi silang,
affirmative action, dsb);
 Tersedianya layanan-layanan/fasilitas-fasilitas khusus bagi masyarakat tidak
mampu;
 Adanya kesataraan dan keadilan gender;
 Adanya pemberdayaan kawasan tertinggal.
 Berkurangnya kasus diskriminasi, adanya kesetaraan jender, dan
meningkatnya pengisian jabatan sesuai ketentuan.
Perangkat pendukung indikator
 Peraturan-peraturan yang berpihak pada pemberdayaan gender, masyarakat
kurang mampu, dan kawasan tertinggal;
 Program-program pemberdayaan gender, masyarakat kurang mampu, dan
kawasan tertinggal.

5. Daya tanggap (Responsiveness)


Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap
aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Lembaga-lembaga dan seluruh proses
pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
Penjelasan
Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung
aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum
masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi
pelayan masyarakat, pemerintah daerah akan mengoptimalkan pendekatan
kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
Instrumen
Instrumen dasar adalah komitmen politik untuk menerima aspirasi dan
mengakomodasi kepentingan masyarakat, sedangkan instrumen-instrumen

16
pendukungnya adalah penyediaan fasilitas komunikasi, kotak saran dan layanan
hotline, prosedur dan fasilitas pengaduan dan prosedur banding pada pengadilan.
Indikator
 Tersedianya layanan pengaduan dengan prosedur yang mudah dipahami oleh
masyarakat
 Adanya tindak lanjut yang cepat dari laporan dan pengaduan.
 Meningkatnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah
 Tumbuhnya kesadaraan masyarakat
 Meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan
daerah
 Berkurangnya jumlah pengaduan.
Perangkat pendukung indikator
 Standar pelayanan publik;
 Prosedur dan layanan pengaduan, hotline;
 Fasilitas komunikasi.

6. Wawasan ke depan (Visionary)


Membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga
merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Para
pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas
tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa
saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu
mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya,
dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Penjelasan
Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah
pembangunan secara umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan
sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara
luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan transparan, dengan didukung
dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta
kalangan dunia usaha. Pemerintah daerah perlu proaktif mempromosikan

17
pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang
dapat digunakan oleh masyarakat
Instrumen
Instrumen dasarnya adalah komitmen politik pada masa depan Indonesia
secara umum dan masa depan dearah secara khusus, sedangkan instrumen-
instrumen pendukungnya adalah proses perencanaan partisipatif, peraturan-
peraturan yang memberikan kekuatan hukum pada visi, strategi dan rencana
pembangunan.
Indikator
 Adanya visi dan strategi yang jelas dan mapan dengan kekuatan hukum yang
sesuai
 Adanya dukungan dari pelaku dalam pelaksanaan visi dan strategi
 Adanya kesesuaian dan konsistensi antara perencanaan dan anggaran.
 Adanya kejelasan setiap tujuan kebijakan dan program;
Perangkat pendukung indikator:
 Peraturan/kebijakan yang memberikan kekuatan hukum pada visi dan strategi;
 Proses penentuan visi dan strategi secara partisipatif.

7. Akuntabilitas (Accountability)
Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Para pengambil keputusan
di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik
kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Penjelasan
Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa
mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk
mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan
apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
Instrumen
Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang
ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme
pertanggungjawan, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah

18
pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
Indikator
 Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan;
 Adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam
pelaksanaan kegiatan.
 Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah
 Tumbuhnya kesadaran masyarakat
 Meningkatnya keterwakilan berdasarkan pilihan dan kepentingan masyarakat
 Berkurangnya kasus-kasus KKN.
Perangkat pendukung indikator
 Mekanisme pertanggungjawaban;
 Laporan tahunan;
 Laporan pertanggungjawaban;
 Sistem pemantauan kinerja penyelenggara negara;
 Sistem pengawasan;
 Mekanisme reward and punishment.

8. Efesiensi & Efektifitas (Efficiency & Effectiveness)


Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai
kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya
yang ada seoptimal mungkin.
Penjelasan
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan
didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan
transparan. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum
harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan
efisiensi harus digunakan teknik manajemen modern untuk administrasi
kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai
tingkat keluruhan/desa.
Instrumen

19
Instrumen dasar dari efisiensi dan efektivitas adalah komitmen politik
sedangkan instrumen pendukungnya adalah struktur pemerintahan yang sesuai
kepentingan pelayanan masyarakat, adanya standar-standar dan indikator kinerja
untuk menilai efektivitas pelayanan, pembukuan keuangan yang memungkinkan
diketahuinya satuan biaya, dan adanya survei-survei kepuasaan konsumen.
Indikator
 Terlaksananya administrasi penyelenggaraan negara yang berkualitas dan
tepat sasaran dengan penggunaan sumberdaya yang optimal
 Adanya perbaikan berkelanjutan
 Berkurangnya tumpang tindih penyelenggaraan fungsi organisasi/unit kerja
 Meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat
 Berkurangnya penyimpangan pembelanjaan
 Berkurangnya biaya operasional pelayanan dan mendapatkan ISO pelayanan
 Dilakukannya swastanisasi dari pelayanan masyarakat
Perangkat pendukung indikator
 Standar dan indikator kinerja untuk menilai efisiensi dan efektivitas pelayanan
 Survei-survei kepuasan stakeholders.

9. Pengawasan (Controlling)
Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat
luas.
Penjelasan
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi
peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif
dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun
demikian tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil audit
perlu dipublikasikan kepada masyarakat.
Instrumen
Instrumen dasar dari pengawasan adalah peraturan perundangan-undangan
yang ada dengan disertai komitmen politik, sedangkan instrumen-instrumen
pendukungnya adalah sistem pengawasan dan fasilitas atau lembaga pengawasan
(ombudsman dan/atau watchdog).

20
Indikator
 Meningkatnya masukan dari masyarakat terhadap penyimpangan (kebocoran,
pemborosan, penyalahgunaan wewenang, dll.) melalui media massa
 Berkurangnya penyimpangan.

10. Profesionalisme & Kompetensi (Profesionalism & Competency)


Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar
mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang
terjangkau.
Penjelasan
Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif
memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme
penerimaan staf yang efektif, sistem pengembangan karir dan pengembangan staf
yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian staf yang wajar.
Instrumen
Instrumen dasar profesionalisme adalah komitmen politik sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah sistem pendidikan birokrat, maupun
penerimaan, penempatan, evaluasi dan pola karir pegawai yang baik, standar-
standar dan indikator kinerja, sistem penghargaan, sistem sanksi dan sistem
pembangunan sumber daya manusia.
Indikator
 Meningkatnya kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat
 Berkurangnya pengaduan masyarakat
 Berkurang KKN
 Mendapatkan ISO pelayanan
 Dilakukannya “fit and proper” test terhadap PNS
 Berkinerja tinggi
 Taat asas
 Kreatif dan inovatif
 Memiliki kualifikasi di bidangnya.
Perangkat pendukung indikator
 Standar kompetensi yang sesuai dengan fungsinya;
 Kode etik profesi;

21
 Sistem reward and punishment yang jelas;
 Sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM);
 Standar dan indikator kinerja.

B. Perwujudan “Tata Pemerintahan Lokal Yang Baik”


Konsep good governance tidak hanya perlu diaplikasikan di tingkat
nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan perwujudan salah satu prasyarat
yang dibutuhkan (necessary), tetapi bukan berarti bahwa regulasi ini sudah
mencukupi (sufficient) bagi terwujudnya tata pemerintahan yang baik.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa desentralisasi kewenangan kepada
pemerintah daerah akan menciptakan raja-raja kecil dan memindahkan praktek
KKN ke daerah, jika tidak ditempatkan dalam kerangka demokratisasi (lihat
misalnya "Otonomi Daerah Ciptakan Raja Kecil", KOMPAS, 19 Februari 2000). Dengan kata
lain, otonomi daerah belum tentu menjanjikan keadilan dan kesejahteraan yang
lebih baik bagi masyarakat, apabila agenda demokratisasi diabaikan di dalamnya.
Untuk mengaplikasikan pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya,
dibutuhkan pengembangan kelembagaan secara menyeluruh yang mencakup
beberapa aspek berikut:
 proses pembangunan, yang meliputi formulasi kebijakan (policy formulation),
perencanaan (planning), penganggaran (budgeting), dan penetapan peraturan
(legislation);
 peranan dan tanggung jawab lembaga negara, pemerintah, dan masyarakat;
 sistem organisasi, yang meliputi lembaga pemerintah di berbagai sektor dan
daerah, lembaga negara, dan lembaga masyarakat;
 insentif dalam pembangunan, yang mampu meningkatkan inovasi masyarakat
dalam pembangunan;
 kerangka legal, yang lebih memperhatikan kondisi masyarakat yang
beranekaragam.

Kelembagaan di Tingkat Desa

22
Di tingkat desa, UU nomor 22 tahun 1999 dapat dianggap sebagai
instrumen yang mendukung proses demokratisasi ini. Desa merupakan satuan
administratif dengan otonomi yang sangat luas. Kepala desa (sampai saat ini)
merupakan satu-satunya jabatan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Dan,
sebagai salah satu upaya untuk membatasi kekuasaan kepala desa, masa
jabatannya dibatasi hanya untuk 2 periode saja (maksimum 10 tahun).
Upaya instalasi nilai-nilai demokratis di tingkat desa ini juga dilakukan
melalui pembentukan Badan Perwakilan Desa (atau nama yang lain yang dipilih
masyarakat setempat) yang merupakan lembaga yang dipisahkan dari eksekutif
(pemerintah desa) dan merupakan perwakilan masyarakat yang dipilih langsung
oleh masyarakat desa.
Hubungan yang hierarkis antara desa dan kabupaten juga dihilangkan.
Aspek penting lain dari jiwa regulasi yang baru ini adalah hilangnya
penyeragaman yang menjiwai UU nomor 5 tahun 1974 dan nomor 5 tahun 1979.
Ruang bagi implementasi budaya lokal dalam pemerintahan desa kembali dibuka,
dengan bebasnya masyarakat desa untuk menentukan sendiri wewenang,
perangkat pemerintahan desa, dan penggunaan istilah. Implikasi lain dari UU
nomor 22/1999 dan UU nomor 25/1999– adalah lebih dekatnya masyarakat desa
dengan salah satu alat produksi terpenting, dana. Alokasi dana yang lebih besar di
tingkat kabupaten/kota akan meningkatkan kecepatan penyaluran dan ketepatan
penggunaan dana sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selama ini,
proses perencanaan dari bawah (bottom-up) tidak dapat berjalan dengan baik
antara lain diakibatkan oleh besarnya sumberdana yang masih dikelola oleh pusat.
Hasil-hasil perencanaan yang dirumuskan melalui Musyawarah
Pembangunan Desa (Musbangdes) implementasinya baru diterima masyarakat
paling tidak satu tahun sejak ia direncanakan. Belum lagi, proyek yang
dilaksanakan di suatu desa seringkali sangat jauh dari yang direncanakan
Musbangdes akibat aplikasi pendekatan sektoral selama ini.

Kelembagaan di Tingkat Kabupaten/Kota


Jiwa dari UU 22/1999 ini adalah perubahan titik pandang dari central-
governmentcentered looking menjadi local-government-centered looking. Setiap
wilayah bebas untuk menentukan kewenangannya sendiri, di luar beberapa hal
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan beberapa bidang lain yang wajib

23
diurusi oleh suatu wilayah. Wilayah yang lebih luas (misalnya propinsi)
mengambil “sisa” kewenangan yang tidak diambil oleh wilayah yang tercakup di
dalamnya (misalnya kabupaten/kota).
Untuk mencegah pemindahan budaya otoriter dan top-down dari pusat ke
daerah, UU 22/1999 ini juga dilengkapi dengan upaya demokratisasi lokal.
Pertama, lembaga legislatif lokal (DPRD Kabupaten/Kota dan Badan Perwakilan
Desa) merupakan lembaga kontrol dengan posisi sejajar dengan eksekutif. Kedua,
kewenangan DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah tanpa
persetujuan pusat, mengkaji pertanggungjawaban kepala daerah, dan
memberhentikan kepala daerah merupakan beberapa bentuk upaya pembentukan
loyalitas yang lebih pada rakyat daripada kepada pemerintah pusat. Ketiga, di
kawasan perkotaan diharapkan pemerintah daerah dapat memfasilitasi
pembentukan “forum perkotaan” sebagai wadah bagi pemda, masyarakat, dan
pihak swasta untuk berinteraksi dan bersinergi untuk kepentingan kotanya.
Khusus mengenai yang terakhir, pengalaman di banyak negara
menunjukkan bahwa parlemen lokal belum mencukupi untuk menjamin
teridentifikasinya kebutuhan masyarakat luas dan terwujudnya mekanisme kontrol
terhadap pemerintah, sehingga dibutuhkan adanya partisipasi langsung masyarakat
luas (voice mechanism) yang seringkali “dihubungkan” oleh masyarakat sipil
(civil society) terutama di tingkat lokal.

24
BAB III
PEMBAHASAN

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan


dijalankan mempunyai hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil
pembangunan.
Misalnya, penelitian Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton (1999)
menunjukkan bahwa kenaikan satu standar deviasi salah satu indikator pemerintahan
menyebabkan kenaikan antara 2,5 sampai 4 kali pendapatan per kapita (range yang
sama juga berlaku untuk penurunan angka kematian bayi), dan kenaikan tingkat
melek huruf huruf antara 15 sampai 25 persen. Beberapa penelitian lainnya juga
menunjukkan hubungan kausalitas positif antara efisiensi birokrasi dan menurunnya
tingkat korupsi dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Bagi Indonesia,
relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan
‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang
kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang
terkena krisis moneter 1997.
Definisi umum governance adalah tradisi dan institusi yang menjalankan
kekuasaan di dalam suatu negara, termasuk :
1. Proses pemerintah dipilih, dipantau, dan digantikan, misalnya Osborne dan
Gaebler, Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector, New York: Plume (1993) World Bank,
Governance and Development, Washington D.C. (1992). Amartya Zen,
Development as Freedom, New York:Alfred A. Knopf, Inc. (1999). Mereka
meneliti hubungan antara enam indikator pemerintahan agregat sebagai berikut:
 Proses politik, kebebasan dan hak-hak politik masyarakat (voice
and accountability);
 Tingkat ketidakstabilan pemerintah (political instability and
violence);
 Efektivitas pemerintah, yang juga mencakup kebebasan birokrasi
dari tekanan politik (government effectiveness)
 Kebijakan perdagangan dan bis nis yang eksesif dan “market
unfriendly” “regulatory burden);

25
 Bagaimana hukum ditegakkan (rule of law); dan
 Derajat korupsi (graft). Misalnya pada Asian Development Bank
(ADB), Good Governance and Anticorruption: The Road Forward for
Indoneisa, makalah yang disajikan pada pertemuan CGI VIII di Paris, Juli
1999.
2. Kapasitas pemerintah untuk memformulasikan dan melaksanakan
kebijakan secara efektif,
3. Pengakuan masyarakat dan negara terhadap berbagai institusi yang
mengatur interaksi antara mereka. Unsur yang terakhir dapat dilakukan melalui
tiga struktur komunikasi, yaitu kewenangan, legitimasi, dan representasi.
Kewenangan adalah hak pemerintah untuk membuat keputusan dalam bidang
tertentu. Walaupun ini merupakan hak dari suatu pemerintah modern, namun yang
terpenting adalah bagaimana melibatkan persepsi rakyat tentang tindakan yang
perlu dilakukan pemerintah. Legitimasi diperoleh karena masyarakat mengakui
bahwa pemerintah telah menjalankan peranannya dengan baik, atau kinerja dalam
menjalankan kewenangan itu tinggi. Representasi diartikan sebagai hak untuk
mewakili pengambilan keputusan bagi kepentingan golongan lain dalam kaitannya
dengan alokasi sumber daya.
Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana
pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi juga bagaimana
masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan
wewenang tersebut dengan baik (accountable).
Dalam beberapa wacana dan teori menyebutkan bahwa terdapat banyak
prinsip-prinsip yang mendasari terciptanya Good Governance (seperti yang sudah
dijelaskan di BAB II Tinjauan Teori), yakni antara lain seperti:
1. Partisipasi Masyarakat (Participation)
2. Supremasi Hukum (Rule of Law)
3. Keterbukaan & Transparansi (Openness & Transparency)
4. Komitmen pada Kesetaraan dan Pengurangan Kesenjangan (Commitment to
Reduce Inequality)
5. Daya tanggap (Responsiveness)
6. Wawasan ke depan (Visionary)
7. Akuntabilitas (Accountability)

26
8. Pengawasan (Controlling)
9. Efesiensi & Efektifitas (Efficiency & Effectiveness)
10. Profesionalisme & Kompetensi (Profesionalism & Competency)
Bahkan terdapat juga sumber lain (Dadang Solihin, 2006) yang menambahkan
beberapa prinsip tambahan yang mendasari dalam pelaksanaan Good Governance,
yaitu:
11. Demokrasi (Democracy)
12. Desentralisasi (Decentralization)
13. Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector &
Civil Society Partnership)
14. Komitmen pada Lingkungan Hidup(Commitment to Environmental
Protection)
15. Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market)
Namun, dari beberapa prinsip good governance menurut para ahli tersebut
diatas, yang paling penting dan paling berpengaruh dalam terciptanya pemerintahan
yang baik khususnya di lingkup pemerintahan lokal hanya 3 prinsip, yang mana
ketiga prinsip tersebut dapat dikatakan prinsip pokok yang menjadi tolak ukur yang
mendasari good governance dan juga sudah dapat mewakili seluruh prinsip-prinsip
lain yang disebutkan diatas. Oleh karena itu, dalam laporan seminar ini penulis hanya
akan membahas dan menganalisis secara mendalam ketiga prinsip tersebut.
Ketiga prinsip tersebut saling berkesinambungan dan merupakan faktor
pendukung satu sama lain. Karenanya, seringkali tata pemerintahan yang baik
dipandang sebagai “sebuah bangunan dengan 3 tiang”. Ketiga tiang penyangga itu
adalah transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

A. Transparansi
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan
terhadap setiap informasi terkait (seperti berbagai peraturan dan perundang-
undangan, serta kebijakan pemerintah) dengan biaya yang minimal. Informasi
sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia
dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang
bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus
informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat
dipantau.

27
Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab,
penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki
pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen
masyarakat untuk turut mengambil keputusan.
Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi
juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu
untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan
“terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.

Implementasi Transparansi
Seringkali kita terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal
penyebarluasan informasi ini, seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan
dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap kantor
kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dibaca oleh sebagian
besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi “paradigma
pemasaran”, yaitu bagaimana masyarakat menerima informasi dan
memahaminya.
Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini.
 Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program
pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya-upaya khusus untuk
mendorong keingintahuan mereka terhadap data/informasi ini. Untuk itu,
dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada
seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses
masyarakat terhadap informasi belaka.
 Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi
dan substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada
segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
awam sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah,
akademisi, dan anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan
media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai
sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar.

28
 Ketiga, seringkali berbagai unsur nonpemerintah (misalnya pers, lembaga
keagamaan, LSM) lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi daripada
dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai
komponen strategis ini menjadi sangat penting.

B. Akuntabilitas
Akuntabilitas atau accountability adalah kapasitas suatu instansi pemerintahan
untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam
melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara
periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumber
daya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi,
sampai pada pemantauan dan evaluasi. (Rochman, Meuthia Ganie, Good Governance dan
Tiga Struktur Komunikasi Rakyat dan Pemerintah, makalah yang disajikan pada Seminar “Good
Governance dan Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998)
Akuntabilitas merupakan kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan itu
dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik. Untuk itu,
akuntabilitas mensyaratkan kejelasan tentang siapa yang bertanggunggugat,
kepada siapa, dan apa yang dipertanggunggugatkan. Karenanya, akuntabilitas bisa
berarti pula penetapan sejumlah kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja
instansi pemerintah, serta mekanisme yang dapat mengontrol dan memastikan
tercapainya berbagai standar tersebut.
Berbeda dengan akuntabilitas dalam sektor swasta yang bersifat dual-
accountability structure (kepada pemegang saham dan konsumen), akuntabilitas
pada sektor public bersifat multiple-accountability structure. Ia dimintai
pertanggungjawaban oleh lebih banyak pihak yang mewakili pluralisme
masyarakat. Rincinya, kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat
dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD, organisasi
nonpemerintah, lembaga donor, dan komponen masyarakat lainnya. Semua itu
berarti pula, akuntabilitas internal (administratif) dan eksternal ini menjadi sama
pentingnya.
Akhirnya, akuntabilitas menuntut adanya kepastian hukum yang merupakan
resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui
publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif , konsisten, dan

29
tanpa pandang bulu di pihak lain. Kepastian hukum juga merupakan indikator
penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya
di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional.

Implementasi Akuntabilitas
 Pertama, perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu
program. Selama ini, disadari maupun tidak, kita seringkali berorientasi pada
indikator input seperti alokasi anggaran dan penyerapannya, dan melupakan
pencapaian (output) program tersebut. Untuk menjaga efektivitas suatu
pengeluaran, diperlukan pemantauan yang berdasarkan pada pencapaian target
berbagai indikator kinerja (performance indicators) yang ditetapkan
sebelumnya dan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu program secara
menyeluruh.
 Kedua, dibutuhkan adanya mekanisme pertanggungjawaban publik secara
reguler. Dalam pelaksanaan program-program pemerintah selama ini, praktis
pertanggungjawaban keuangan di akhir tahun anggaran merupakan satu-
satunya mekanisme yang berjalan. Untuk dapat memberikan masukan (feed-
back) di tengah perjalanan suatu program, diperlukan adanya mekanisme
pelaporan reguler (misalnya bulanan) yang disebarluaskan kepada masyarakat
luas. Selain itu, dibutuhkan adanya mekanisme verifikasi oleh pihak yang
independen atas laporan tersebut. Hanya dengan adanya mekanisme
pelaporan, pertanggungjawaban publik, dan verifikasi inilah tingkat keandalan
laporan pengelola program dapat ditingkatkan dan tingkat pencapaian suatu
program dapat terukur dengan mudah, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensinya.
 Ketiga, adalah diterapkannya mekanisme penanganan pengaduan dan
keluhan. Walaupun berbagai upaya tersebut di atas telah dilaksanakan,
tentunya masih ada kemungkinan terjadinya suatu masalah dan
penyelewengan yang timbul dalam pelaksanaan program ataupun pelayanan
publik. Untuk menanganinya, diperlukan suatu bagian khusus dalam pengelola
program atau instansi pelayanan masyarakat (misalnya air minum, listrik,
puskesmas, dan sebagainya) yang bertugas untuk menangani pengaduan
masyarakat yang masuk, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di
media massa. Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan berbagai lembaga

30
pemeriksa dan penyidik yang sudah ada (inspektorat, kepolisian, kejaksaan,
dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang berindikasi penyelewengan
dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti. Karakteristik yang terpenting
dalam mekanisme ini adalah perlunya kepastian bagi masyarakat bahwa
pengaduan mereka akan ditangani dalam jangka waktu tertentu dan si
pengadu berhak menerima laporan atas tindak lanjut pengaduannya itu.

C. Partisipasi
Partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai
peran masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat bukanlah sekedar penerima
manfaat (beneficiaries) atau objek belaka, melainkan agen pembangunan (subjek)
yang mempunyai porsi yang penting. Dengan prinsip “dari dan untuk rakyat”,
mereka harus memiliki akses pada pelbagai institusi yang mempromosikan
pembangunan. Karenanya, kualitas hubungan antara pemerintah dengan warga
yang dilayani dan dilindunginya menjadi penting di sini.
Hubungan yang pertama mewujud lewat proses suatu pemerintahan dipilih.
Pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif yang bebas dan jujur
merupakan kondisi inisial yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat (yang diwakili legislatif) dapat berlangsung
dengan baik.
Pola hubungan yang kedua adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan. Kehadiran tiga domain pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat sipil dalam proses ini amat penting untuk memastikan bahwa proses
“pembangunan” tersebut dapat memberikan manfaat yang terbesar atau
“kebebasan” (mengutip Amartya Zen) bagi masyarakatnya.
Pemerintah menciptakan lingkungan politik, ekonomi, dan hukum yang
kondusif. Sektor s wasta menciptakan kesempatan kerja yang implikasinya
meningkatkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Akan halnya
masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi
keagamaan, koperasi, serikat pekerja, dan sebagainya) memfasilitasi interaksi
sosial-politik untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas ekonomi, sosial, dan
politik.
Sementara itu, di tingkat praktis, partisipasi dibutuhkan untuk mendapatkan
informasi yang andal dari sumber pertama, serta untuk mengimplementasikan

31
pemantauan atas atas implementasi kebijakan pemerintah, yang akan
meningkatkan “rasa memiliki” dan kualitas implementasi kebijakan tersebut. Di
tingkatan yang berbeda, efektivitas suatu kebijakan dalam pembangunan
mensyaratkan adanya dukungan yang luas dan kerja sama dari semua pelaku
(stakeholders) yang terlibat dan memiliki kepentingan.

Implementasi Partisipasi Publik


Keterlibatan masyarakat diperlukan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan suatu program. Mekanisme kontrol dapat langsung
dilakukan tanpa perlu menunggu suatu kesalahan atau penyelewengan terjadi.
Selain itu, rasa memiliki masyarakat akan meningkat karena mereka terlibat dalam
setiap proses pengelolaan program; suatu perubahan peran masyarakat dari
“konsumen” (objek terakhir) semata menjadi bagian dari “produsen” (salah satu
pelaku utama). Satu hal yang penting untuk diperhatikan di sini adalah sifat
keterlibatan itu. Pelibatan masyarakat yang bersifat mobilisasi (tidak partisipatif)
dan tidak diikuti dengan pemberian wewenang tidak akan bermanfaat dalam
peningkatan kinerja suatu program. Pembangunan daerah harus dilakukan
bersama dengan masyarakat, bukan untuk masyarakat.
Dalam pengelolaan program-program JPS, mulai tahun anggaran 1999/2000
diperkenalkan Forum Lintas Pelaku (FLP) atau stakeholders’ forum yang
merupakan ruang publik tempat masyarakat dan pemerintah dapat berinteraksi,
berdiskusi, dan mencari pemecahan berbagai masalah yang dihadapi dalam
pelaksanaan berbagai program JPS di masing-masing kabupaten/kota. Dalam
implementasinya, masih cukup banyak masalah yang dihadapi. Di beberapa
wilayah, dominasi pemerintah daerah masih sangat tinggi dan FLP hanyalah
menjadi alat legitimasi (bahwa berbagai komponen masyarakat telah dilibatkan).
Situasi sebaliknya juga terjadi di banyak daerah; organisasi non-pemerintah
mendominasi FLP dan mengalienasi pemerintah daerah, sehingga FLP menjadi
forum pemantauan semata.
Walaupun demikian, diharapkan bahwa masing-masing FLP dapat
merumuskan fungsi, wewenang, dan mekanisme kerjanya, sesuai dengan
karakteristik masing-masing daerah. Di masa mendatang, FLP diharapkan dapat
berkelanjutan (sustainable) dan mampu bertransformasi menjadi sebuah ruang
publik ( public sphere) yang bukan hanya tertentu pada program-program JPS,

32
melainkan tempat seluruh unsur masyarakat dan pemerintah daerah dapat
berdialog, merumuskan visi, mengidentifikasi kebutuhan dan prioritas, serta
memecahkan berbagai masalah setempat (sebagai misal Forum Perkotaan atau
sejenisnya).

Hubungan antar Komponen Good Governance


Secara konseptual, hubungan antara ketiga komponen tata pemerintahan yang
baik itu mutualistik dan saling mendukung. Efektivitas dan efisiensi sumber daya
dalam mencapai tujuannya mensejahterakan bangsa menuntut tingkat akuntabilitas
penyelenggara negara (pemerintah) yang relatif tinggi. Tanpa adanya partisipasi
publik untuk mengamankan (safeguard) proses penyelenggaraan negara, sulit
diharapkan akuntabilitas dan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.
Di lain pihak, partisipasi publik tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif
tanpa adanya hak publik untuk mengakses informasi yang dimilik oleh pemerintah.
Sebaliknya, transparansi sendiri tidak mungkin tercipta jika pemerintah tidak
bertanggung gugat dan tidak ada jaminan hukum atas hak publik untuk mengakses
berbagai informasi tersebut. Jadi, ketiganya saling mengkait dan sulit untuk dapat
berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dari komponen lainnya.
Satu hal penting lainnya, untuk negara yang secara geografis luas dengan
jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang
demokratis di tingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara
pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup
yang kecil.

33
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk suatu negara yang secara geografis besar seperti Indonesia, otonomi
daerah merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak lagi untuk mewujudkan
kesejahteraan (atau kebebasan) masyarakat secara efektif. Namun demikian,
diperlukan adanya berbagai upaya agar desentralisasi ini tidaklah berimplikasi
pemindahan kekuasaan yang otoriter (disertai korupsi, kolusi, nepotisme - KKN)
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Untuk mencegah agar kekuasaan politik, ekonomi, sosial dan budaya tidak
dipegang oleh sekelompok elit daerah saja, maka dibutuhkan peranan media
massa, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat
pada umumnya untuk memantau proses pengambilan keputusan, mempedulikan
pekerjaan serta kinerja DPRD, menuntut adanya transparansi, dan meminta aparat
pemerintah daerah untuk dapat mempertanggungjawabkan amanat yang
diembannya. Penulis memandang bahwa hanya partisipasi masyarakat-lah yang
dapat “menjaga” agar otonomi daerah ini dapat memberikan manfaat (benefits)
yang besar bagi masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, tanpa adanya pemerintah lokal
yang transparan, akuntabel (bertanggunggugat), dan responsif terhadap
keluhan/masukan masyarakatnya, sulit diharapkan sistem ini dapat berjalan.
Sebaliknya, tanpa adanya partisipasi dan kontrol publik, pemerintah juga sulit
diharapkan dapat menjadi accountable dengan sendirinya.
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 telah membuka ruang bagi partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan daerah. Untuk mengisi ruang yang masih kosong
ini, diperlukan upaya bersama (pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas
sendiri) untuk memberdayakan masyarakat dalam arti yang luas. Dari
meningkatkan tingkat pengetahuan dan kepedulian komunitas (sebagai bagian dari
masyarakat) atas seluruh tahapan pembangunan; meningkatkan kapasitas
organisasi komunitas dan masyarakat; melibatkan komunitas dan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan; sehingga alokasi sumber daya yang adil dan
tingkat pelayanan publik yang baik dapat tercipta.

34
Dalam kaitan ini, otonomi daerah bukan merupakan tujuan, melainkan cara
demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsur
bangsa tanpa kecuali.

B. Saran
1. Untuk dapat mewujudkan Good Governance, maka :
 Membutuhkan komitmen kuat, daya tahan dan
waktu yang tidak singkat, diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta
implementasi nilai kepemerintahan yang baik pada seluruh stakeholder.
 Perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa
optimistik yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa
kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan
bangsa dan negara yang lebih baik.
2. Dengan memperhatikan berbagai kriteria yang
dikaitkan dengan pelaksanaan good governance dan telah ditetapkannya
berbagai kebijakan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global, regional,
nasional, dan lokal, yang perlu dilaksanakan adalah evaluasi dari berbagai
peraturan yang ada dengan disandingkannya dengan kriteria good governance
dan kebijakan pembangunan berkelanjutan.
3. Setiap perubahan sebagai tindak lanjut dari evaluasi
perlu melalui konsultasi publik seluas mungkin, baik dari sudut banyaknya
unsur yang dilibatkan maupun dari sudut jangkau daerah, sehingga perubahan
tersebut akan benar-benar dipahami. Selain daripada itu, sosialisasi setelah
menjadi peraturan sangat diperlukan untuk memantapkan penegakan
hukumnya. Dalam hubungan ini, peran media massa, baik cetak maupun
elektronik, sangatlah penting.
4. Pada kenyataannya program-program tata
pemerintahan yang baik sering terpisah dari program pemerintah lainnya.
Sudah waktunya tata pemerintahan yang baik ditempatkan pada struktur
pemerintahan secara utuh. Pencegahan dan promosi tata pemerintahan yang
baik harus terintegrasi dengan promosi program yang lain pada umumnya.
5. Mengingat luasnya dampak tata pemerintahan yang
baik terhadap kualitas hidup, disarankan agar para praktisi tata pemerintahan

35
yang baik menyosialisasikannya pada kelompok profesi lainnya agar ikut
berperan meningkatkan kualitas hidup melalui tindakan pencegahan dan
memotivasi masyarakat melakukan pemeliharaan tata pemerintahan yang baik
secara teratur sebagai kontribusi nyata bagi masyarakat Indonesia.

36
DAFTAR PUSTAKA

Hardjasoemantri, Koesnadi (Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM).


Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia. Makalah
untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, 15 Juli 2003.

Pohan, Max H. Makalah: Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local
Good Governance) dalam Era Otonomi Daerah. Sekayu, 29 September 2000.

Rochman, Meuthia Ganie. Good Governance dan Tiga Struktur Komunikasi Rakyat
dan Pemerintah. Makalah yang disajikan pada Seminar “Good Governance dan
Reformasi Hukum” di Jakarta, Agustus 1998.

Solihin, Dadang. Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pembangunan


Daerah. Disampaikan Drs. H. Dadang Solihin, MA pada kuliah umum Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi Kawula Indonesia (STIAKIN). Cirebon, 15 April 2006.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

"Otonomi Daerah Ciptakan Raja Kecil". KOMPAS, 19 Februari 2000.

www.dadangsolihin.com

http://www.goodgovernance.or.id/

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2052189-studi-kepustakaan/

37
SEMINAR
PENERAPAN PRINSIP GOOD
GOVERNANCE DALAM PEMERINTAHAN
LOKAL

Disusun Oleh :

Liana Styawindari (074674038)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PMP-KN

38
S1 ADMINISTRASI NEGARA
2010

39

Vous aimerez peut-être aussi