Vous êtes sur la page 1sur 4

AIDS di Mimika, Papua, Mengabaikan Perilaku Seksual Penduduk Lokal

Oleh Syaiful W. Harahap*

“Seluruh Distrik di Mimika Tertular AIDS.” Ini judul berita di TEMPO Interaktif
(15/10-2010). Disebutkan: “Seluruh distrik (12 distrik) di Kabupaten Mimika,
Papua, sudah tertular HIV/AIDS. Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik
Jila, penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.”

Di saat informasi yang akurat tentang HIV dan AIDS tetap saja ada yang tidak
memahaminya secara komprehensif. Buktinya, dalam berita ini disebutkan ‘virus
yang mematikan’. Yang menyebabakan kematian pada Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) bukan virus (HIV) atau kondisi (AIDS), tapi penyakit-penyakit yang ada
pada Odha setelah masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV), disebut
infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll.

Judul berita ini pun sensasional dan tidak akurat. Yang terinfeksi bukan distrik (daerah),
tapi penduduk. Yang menular pun bukan AIDS, tapi HIV. Dengan kasus kumulatif
HIV/AIDS sampai Juni 2010 sebanyak 2.302 merupakan dilema bagi Mimika karena
jumlah ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya, epidemi
HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya
sebagai kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Kambing Hitam

Ada pula pernyataan: “Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila,
penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.” Ini mengesankan virus
‘merambah’ ke kampung terpencil. Padahal, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di
kampung terpencil di bawa oleh penduduk lokal atau pendatang. Penduduk lokal
yang tertular HIV di luar kampung (daerah) akan menjadi mata rantai penyebaran
HIV di kampungnya. Sedangkan pendatang yang mengidap HIV akan menularkan
HIV kepada penduduk setempat melalui hubungan seksual di dalam atau di luar
nikah.

Kesan yang muncul adalah penduduk kampung terpencil itu menjadi korban karena HIV
‘menyerang’ mereka. Ini yang keliru sehingga mendorong penyangkalan dari
penduduk. Padahal, perilaku seksual sebagian penduduk yang mendorong
penyebaran HIV di kampung terpencil itu.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Mimika, Reynold Ubra, mengatakan:


“ .... prevalensi warga asli Papua dari tujuh suku di Mimika (Amungme, Kamoro,
Mee, Nduga, Damal) lebih besar dibanding kelompok warga lainnya (termasuk
pendatang).” Prevalensi adalah perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-
negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula.

Disebutkan oleh Reynold: “Kalau dari seribu warga pendatang teridentifikasi dua
orang positif HIV, dari kelompok tujuh suku asli Mimika ada 21 warga yang positif
HIV.” Apakah angka prevelansi ini diperoleh dari survailans tes HIV? Ada
kemungkinan angka ini diperoleh dari klinik VCT atau rumah sakit yaitu kasus orang
per orang yang datang untuk tes HIV atau berobat. Bisa saja terjadi kasus infeksi
HIV di kalangan penduduk asli lebih awal daripada di kalangan pendatang. Kondisi
ini membuat infeksi HIV di kalangan penduduk asli sudah mencapai masa AIDS
yang memaksa mereka berobat.

Disebutkan pula: “KPA Mimika pada Jumat siang mengumpulkan seluruh pengusaha
panti pijat, bar, dan kelompok-kelompok pekerja seks komersil di Mimika, untuk
memaparkan berbagai program pengendalian HIV/AIDS di Mimika.” Lagi-lagi hal ini
mengabaikan fakta empiris tentang penyebaran HIV di Mimika.

Pertama, ada kemungkinan HIV ditularkan oleh penduduk lokal kepada pemijat, cewek
bar atau pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di Mimika. Kalau ini yang terjadi
maka ada penduduk lokal, terutama laki-laki, yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi.
Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada PSK dan penduduk,
khususnya pasangan seks mereka, seperti istri atau selingkuhan.

Kedua, ada kemungkinan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika sudah
mengidap HIV ketika mereka tiba di Mimika. Artinya, mereka tertular HIV di luar
Mimika. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Mimika berisiko tinggi tertular
HIV jika mereka melakukan hubungan seks dengan pemijat, cewek bar atau PSK yang
beroperasi di Mimika tanpa kondom. Laki-laki yang tertular pun kemudian menjadi mata
rantai penyebaran HIV pula.

Tampaknya, dua kemungkinan di atas diabaikan oleh KPA Mimika. Mereka justru
menjadikan (pengelola) industri hiburan dan lokalisasi sebagai ’kambing hitam’. Gajala
umum yang terjadi di Indonesia adalah pemaksaan terhadap pemijat, cewek bar atau PSK
agar meminta laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama yang diatur
dalam peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Tapi, penggagas dan yang
mensahkan perda itu tidak menyadari bahwa pemijat, cewek bar atau PSK berada di
genggaman germo atau mucikari. Laki-laki memanfaatkan germo atau mucikari untuk
memaksa pemijat, cewek bar atau PSK meladeni mereka tanpa kondom. Celakanya,
dalam perda-perda AIDS tsb. tidak ada mekanisme yang konkret untuk menegakkan
aturan kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ’hidung belang’.

Penyangkalan

Reynold mengatakan: ”Kelompok suku asli di Mimika mempunyai kecenderungan


tertular HIV lebih tinggi karena populasi warga tujuh suku di Mimika paling besar
dibanding kelompok suku lainnya. Populasi risiko tujuh suku tertinggi, bisa sampai
delapan persen karena pembandingnya masyarakat tujuh suku.” Ini tidak akurat karena
kecenderungan tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena jumlah populasi, tapi
karena perilaku seksual orang per orang. Pada populasi yang kecil pun kalau banyak
penduduknya yang melakukan perilaku berisiko maka kemungkinan jumlah yang tertular
HIV pun kian besar.

Disebutkan pula: “Sebenarnya menurut laporan pasif, sejak 2003 sudah ada indikasi
HIV/AIDS sudah menyebar ke distrik-distrik. Tetapi dengan kunjungan lapangan pada
2008 kita sudah memastikan HIV di distrik-distrik ini sudah ada.” Selama ini terjadi
penyangkalan di berbagai daerah dan pada berbagai kalangan masyarakat. Bahkan,
pemerintah sendiri dengan tegas menyangkal HIV/AIDS ada di Indonesia pada awal
epidemi.

Kalau saja pemerintah menanggulangi epidemi HIV sejak kasus HIV/AIDS terdeteksi di
Indonesia maka penyebaran HIV dapat ditekan. Tapi, yang terjadi justru penyangkalan.
Kondisinya kian runyam karena fakta medis HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakat
sehingga banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV
yang akurat. Pejabat-pejbat di Tanah Papua selalu mendengung-dengungkan moral dan
agama sebagai ’benteng’ pertahanan terhadap penularan HIV. Bahkan, bupati dan
gubernur mengajak ’tobat massal’ untuk mencegah HIV.

’Tobat massal’, pengakuan dosa, dll. tidak akan merubah keadaan karena hal itu tidak
bisa mencegah penyebaran HIV. Soalnya, banyak penduduk yang tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda dan keluhan kesehatan yang khas
AIDS sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV).

HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV dan AIDS bisa diuji di laboratorium dengan
teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara
medis. Tapi, karena informasi tentang HIV/AIDS selama ini dibumbui dengan norma,
moral dan agama maka fakta tentang HIV/AIDS pun sirna. Yang muncul hanya mitos
(anggapan yang salah) sehingga membuat banyak orang tidak mengetahui cara-cara
penularan dan pencegahan HIV yang realistis.

Wakil Bupati Mimika, Abdul Muis, mengatakan: ” .... kasus HIV/AIDS di seluruh
wilayah Mimika ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Ini tanggung jawab
Pemda Mimika. Angka 2000-an kasus HIV/Aids di seluruh wilayah Mimika ini sangat
mengejutkan. Kami akan mengambil langkah-langkah untuk menekan laju penyebaran
HIV/Aids di Mimika.” Sayang, dalam berita tidak disebutkan langkah-langkah konkret
yang akan dijalankan Pemkab Mimika untuk menekan laju penyebaran HIV.

Bom Waktu

Kasus kumulatif akan lebih mengejutkan kalau ada mekanisme yang bisa mendeteksi
penduduk yang sudah tertular HIV. Misalnya, melalui survailans tes HIV rutin pada
kalangan tertentu di masyarakat, seperti tes HIV bagi perempuan hamil, polisi, pegawai,
karyawan, mahasiswa, penderita TB dan IMS (infeksi menualar seksual, seperti GO,
sifilis, hepatitis B, dll.). Cara ini sudah lama dilakukan di beberapa negara tetangga
sehingga kasus yang terdeteksi mendekati angka yang sebenarnya di masyarakat.
Lagi pula kian banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka sebanyak itu pula mata
rantai penyebaran HIV diputuskan. Ini akan menekan laju penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk.

Kepala Dinas Kesehatan Mimika, Eren Meokhbun, mengatakan: ’ .... pihaknya akan
menggiatkan program kerja KPA di tingkat distrik, untuk menekan HIV/AIDS di distrik
hingga ke kampung-kampung terpencil.” Lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang cara yang
akan dilakukan untuk menekan penyebaran HIV.

Penyebaran HIV di Tanah Papua didorong oleh perilaku seksual penduduk, khususnya
laki-laki, maka sasaran penanggulangan adalah laki-laki penduduk lokal bukan pemijat,
cewek bar, dan PSK. Tapi, karena ada penyangkalan maka dicarilah ’kambing hitam’
yang dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV.

Selama sasaran penanggulangan hanya kepada pemijat, cewek bar dan PSK maka selama
itu pula laki-laki asli Mimika akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal
antar penduduk.

Kalau saja dalam perda-perda AIDS yang ada di Tanah Papua (tercatat ada delapan
daerah yang sudah memiliki perda AIDS) dicantumkan pasal yang bisa memutus mata
rantai penyebaran HIV maka kasus HIV/AIDS bisa ditekan. Pasal itu berbunyi: ”Setiap
penduduk wajib memamai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di
luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokalisasi
pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek
kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.),
serta pelaku kawin cerai.”

Tapi, karena kemunafikan dijadikan tameng maka yang muncul selalu berbau moralistis
yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV secara faktual. Yang
ditonjolkan hanya iman dan taqwa, ketahanan keluarga, hidup bersih, dll. yang tidak ada
kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Dengan 2.858 kasus AIDS yang terdeteksi di Tanah Papua yang menempatkan Papua
pada peringkat keempat maka penyebaran HIV pun kian besar karena masih banyak
penduduk yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Kasus-kasus HIV dan AIDS
yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan
datang.

Apakah pemerintah daerah di Tanah Papua menunggu AIDS meledak dahulu baru
melakukan penanggulangan dengan cara-cara yang konkret? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Vous aimerez peut-être aussi