Vous êtes sur la page 1sur 6

A.

ANESTETIKA SISTEMIK
Anestetika sistemik adalah senyawa yang dapat menekan aktivitas
fungsional sistem saraf pusat sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran,
menimbulkan efek analgesik dan relaksasi otot serta menurunkan aktivitas refleks.
Mekanisme kerja anestetika sistemik
Struktur kimia, sifat kimia fisika dan efek farmakologis golongan anestetika
sistemik sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa anestetika sistemik
menekan sistem saraf pusat secara tidak selektif dan aktivitasnya lebih ditentukan
oleh sifat kimia fisika dan bukan oleh interaksinya dengan reseptor khas. Dengan
kata lain anestetika sistemik ttermasuk golongan senyawa yang berstruktur khas.
Teori terjadinya efek anestesi sistemik dibagi dua, yaitu teori fisik dan teori
biokimia.
1. Teori Fisik
Pada teori ini efek anestesi dihasilkan oleh interksi fisik.
Teori fisik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teori lemak, teori ukuran molekul
dan teori klartat.
a. Teori Lemak
Overton dan Meyer (1899) memberikan tiga postulat yang berhubungan
dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak,
sebagai berikut :
1. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut dalam lemak
seperti hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narkotik
pada jaringan hidup, sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi
kedalam sel.
2. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak mengandung
lemak seperti sel saraf.
3. Efesiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi
lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air
jaringan.
Teori ini hanya mengemikakan afinitas suatu senyawa terhadap tempat
kerja saja dan tidak menunjukkan bagaimana mekanisme kerja
biologisnya. Teori ini juga tidak dapat menjelaskan mengapa suatu
senyawa yang mempunyai koefisien partisi lemak/air tinggi tidak selalu
menimbulkan efek anestesi.
b. Teori Ukuran Molekul
Wulf dan Featherstone (1957) mengemukakan teori anestesi sistemik yang
dikemukakan sebagai teori ukuran molekul.
Beberapa bahan anestesi yang tidak reaktif dapat menimbulkan efek
anestesi sistemik karena ada hubungan yang mendasar antara sifat molekul
dengan efek penekan sistem saraf pusat. Wulf dan Featherstone menduga
bahwa ada hubungan antara tetapan volume molekul suatu senyawa
dengan ada tidaknya kemampuan untuk menimbulkan anestesi.
Tetapan volume molekul dihitungg berdasarkan persamaan Van der Walls.
Volume molekul obat-obatan anestesi selalu lebih besar dari 4,4.
Contohnya xenon = 5,1 dan etilen = 5,7. Ruang lateral yang memisahkan
molekul-molekul lemak dn protein dalam jaringan otak, secara normal
ditempati oleh senyawa-senyawa yang mempunyai harga volume molekul
lebih kecil dari 4,4 contoh oksigen = 3,18 dan H 2O = 3,05. Wulf dan
Featherstone menduga bahwa obat-obat anestesi diatas dapat menduduki
ruang-ruang lateral, menyebabkan pemisahan lapisan-lapisan lemak dan
mengubah struktur molekul. Perubahan strutur menyebabkan penekanan
fungsi sel saraf sehingga terjadi efek anestesi.
c. Teori Klatrat
Pauling (1961) mengemukakan suatu teori anestesi yang penekanannya
tidak pada fasa lemak sistem saraf pusat tetapi pada fasa air, yang dikenal
dengan teori klartrat atau teori air.
Obat anestesi yang berupa gas atau larutan mudah menguap dan bersifat
inert seperti xenon dan kloroform, mempunyai potensiasi sama dan hanya
berbeda pada kemampuan untuk mencapai reseptor.
2. Teori biokimiia
Pada teori ini kerja anestesi dihasilkan oleh perubahan biokimia. Quastel (1963),
mencoba menjelaskan mekanisme kerja anestetika sistemik secara biokimia
dengan memperkenalkan teori penghambatan oksidasi. Pada percobaan in vitro
terlihat bahwa senyawa anestetika sistemik dapat menekan uptake okksigen di
otak dengan cara menghambat ossidasi koenzim NADH (nikotinamid-adenin-
dinukleotida) menjadi NAD+. Pencegahan proses oksidasi ini menimbulkan
penekanan siklus asam sitrat karena NAD+ terlibat dalam proses dekarboksilasi
oksidatif dalam siklus asam trikarboksilat (siklus krebs). Karena oksidasi NADH
juga dikontrol oleh proses fosforilasi ADP menjadi ATP, maka anestetika
sistemik juga menghambat proses fosforilasi oksidatif tersebut dan menurunkan
pembentukan ATP. Pengurangan uptake oksigen diatas menyebabkan penurunan
aktivitas sistem saraf pusat sehinggan terjadi anestesi.

Berdasarkan cara pemberiannya anestetika sistemik dibedakan menjadi 2


kelompok yaitu :
1. Anestetika Inhalasi
Anestetika inhalasi adalah senyawa yang dapat menimbulkan efek anestesi dan
diberikan secara inhalasi. Disebut pula anestetika yang mudah menguap karena
pada umumnya berupa gas atau cairan yang mudah menguap. Beberapa
diantaranya bersifat mudah meledak bila bercampur dengan gas atau udara lain.
Aktivitas dan keamanannya sangat bervariasi.
Keunntungan anestetika ihalasi dibandingkan dengan anestetika intravena :
a. Kedalam anestesi dapat diubah dengan cepat dengan mengubah kadar
obat.
b. Kemungkinan terjadinya depresi pernapasan setelah operasi kecil karena
obat dieleminasikan dengan cepat.
Anestetika inhalasi menimbulkan efek samping antara lain adalah delirium, mual,
takikardia (kecuali halotan), aritmia jantung, depresi pernapasan, oliguri yang
terpulihkan, kadang-kdang ada yang menimbulkan hepatotoksik, nefrotoksik dan
bersifat karsinogenik. Dalam sediaan pada umumnya oksigen sebagai pelarut.
Contoh anesteetika inhalasi yang berupa gas adalah :
Siklopropana, etilen, dan dinitrogen oksida.
Berdasrkan struktur kimianya anestetika inhalasi yang berupa cairan yang mudah
menguap dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu turunan eter ( dietileter, vinil
eter, enfluran, isofluran dan metoksifluran ) dan turunan hidrokarbon
terhalogenasi (kloroform, etilklorida, halotan dan tribrometanol.
2. Anestetika Intravena
Anesttika intravena adalah senyawa yang dapat menimbulkan anestesi dan
diberikan secara intravena. Senyawa ini menghilangkan kesadaran secara cepat
tetapi masa kerjanya juga singkat sehingga untk operasi yang memerlukan waktu
lama harus dikombinasikan dengan anestetika sistemik lainnya. Anestetika
intravena menimbuulkan efek samping seperti depresi pernapasan, aritmia
jantung, spasma pada bronki dan laring, hipotensi, mual dan rasa pusing sesudah
operasi.
Berdasarkan struktur kimianya anesterika intravena dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu:
a. Turunan Barbiturat
Masa kerjanya sangat pendek atau kurang dari setengah jam, pada
umumnya mennimbulkan efek anestesi sistemik. Contohnya : metoheksital
Na, tiametal Na dan tiopental Na.
b. Turunan Sikloheksanon
Contoh senyawa anestetika sistemik:
Dietileter (Eter, Aether Anestheticus) merupakan anestetika sistemik yang
cukup aman dan banyak digunakan dalam pembedahan. Waktu induksinya
lambat sehingga pada permulaan biasanya digunakan anestesi lain yang
awal kerjanya cepat, seperti vinileter atau nitrogen oksida. Kadar anestesi
10-20% secara inhalasi.
Ketamin HCl (Ketalar) adalah anestesi sistemik yang diberikan secara
intravena atau intramuskular. Awal kerjanya cepat, 0,5 menit setelah
pemberian intravena dan 3-4 menit setelah pemberian intramuskular.
Efeknya berakhir setelah 5-10 menit (I.V.) atau 12-25 menit (I.M.),
dengan waktu paro 2,5-4 jam. Efek samping ketamin lebih rendah
dibanding obat anestesi sistemik lain.
B. SEDATIFA DAN HIPNOTIKA
Sedatifa dan hipnotika adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat
sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas.
Sedafifa adalah senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan
terjadinya penurunan kepakaan terhadap rangsangan dari luar karena ada
penekanan sistem saraf pusat yang ringan. Dalam dosis besar, sedatifa berfungsi
sebagai hipnotika, yaitu dapat menyebabkan tidur pulas. Sedatifa digunakan
untuk menekan kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan
kronik yang disebabkan oleh penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang
efek anestesi sistemik. Sedatifa mengadakan potensiasi dengan obat analgesik
dan obat penekan sistem saraf pusat yang lain. Hipnotika digunakan untuk
pengobatann gangguan tidur seperti insomnia.
Efek samping yang umum golongan sedatif-hipnotika adalah mengantuk dan
perasaan tidak enak waktu bangun. Kelebihan dosis dapat menimbulkan koma
dan kematian karena terjadi depresi pusat medula yang vital di otak. Pengobatan
jangka panjang menyebabkan ketergantungan fisik.
Mekanisme Kerja
Secara umum golongan sedatifa-hipnotika bekerja dengan mempengaruhi fungsi
pengaktifan medula, ransangan pusat tidur dan menghambat pusat arousal.
Beberapa obat sedatifa hipnotika, seperti turunan alkohol, aldehida dan karbonat
adalah senyawa yanng berstruktur tidak khas, dan kerjanya dipengaruhi oleh sifat
kimia fisika.
Meskipun strukturnya berbeda, tetapi pada umumnya memiliki dua gambaran
umum yaitu :
a. Mempunyai gugus yang dapat melibatkan ikatan hidrogen
b. Mempunyai gugus yang dapat menurunkan tetapan dielektrik air
Identifikasi tetapan dielektrik dan struktur biopolimer dari air yang
mengelilinginya menyebabkan perubahan konformasi makromolekul dan hal ini
berhubungan dengan peran biologisnya. Struktur turunan barbiturat mirip dengan
timin, dapat berinterksi melalui ikatan hidrogen dengan gugus adenin dari banyak
makromolekul,, seperti FAD dan NADH yang terlibat dalam proses biokimia
penting.
Sedatifa hipnotika yang banyak digunakan secara luas seperti turunan barbiturat
merupakan senyawa yang berstruktur khas dan kerjanya dipengaruhi oleh
ikatannya dengan reseptor khas. Kerja sedatifa sebagai antikecemasan pada
tingkat molekul masih belum diketahui secara penuh, tetapi pada percobaan
diketahui bahwa sedatifa-hipnotika bekerja pada jalur ketokolamin.
Hubungan Struktur dan aktivitas
Dari penelitian Hansch dan kawan-kawan diketahui bahwa ada hubungan
parabolik antara perubahan struktur sedatifa-hipnitika, sifa lipofil (Log P) dan
aktivitas penekan sistem sarf pusat.Efek penekan sistem saraf pusat yang ideal
dicapai bila senyawa mempunyai nilai koefisien prtisi oktanol/air optimal = 100
atau log P = 2.
Oleh karena itu struktur sedatifa dan hipnotika pada umumnya mengandung
gugus-gugus sebagai berikut :
a. Gugus non ionik yang sangat polar dengan nilai (-) π besar. Contohnya gugus
alkohol mempunyai nilai π (-) 1,16 dengan gugus polar C-OH.
b. Gugus hidrokarbon (Alkil, aril) atau hidrokarbon terhalogenasi (haloalkil)
yang bersifat non polar, dengan nilai π berkisar antara (+) 1-3.
Bila a dan b digabungkan didapatkan nilai jumlah π (Log P) ± 2, sehingga
dihasilkan efek penekan sistem saraf pusat yang mendekati ideal.
Berdasarkan struktur kimianya sedatifa-hipnotika dibagi menjadi ;
1. Turunan Barbiturat
Turunan barbiturat merupakan sedatifa yang paling banyak digunakan secara
luas sebelum ditemukannya turunan benzodiazepin. Turunan barbiturat
bekerja sebagai penekan pada aksis serebrospinal dan menekan aktivitas
saraf, otot rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan barbiturat dapat
menghasilkkan derajat depresi yang berbeda yaitu sedasi, hipnotik atau
anestesi, tergantung pada struktur senyawa, dosis dan cara pemberian.
Mekanisme Kerja
Turunan barbiturat bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada sistem
pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membran
sel sehingga mengurangi rangsangan sel postsinaptik dan menyebabkan
deaktikvasi korteks serebral.

Vous aimerez peut-être aussi