Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Historisitas Aswaja
1. Aswaja dalam Geo-sospol (Genealogi Sosial Politik) Global
Perjalanan Aswaja dalam kurun waktu sejarah peradaban masyarakat Muslim tidak
selamanya mulus. Meskipun dirinya hadir sebagai pemahaman ke-Islam-an yang
dianggap paling sesuai dengan ajaran dan tuntunan Nabi serta para sahabat.
Secara singkat, kita akan melihatnya dalam tabel berikut;
No Masa Periode Momen Sejarah
01 SADRUL ISLAM Rasulullah Awal munculnya Islam. Diturunkannya al-Qur’an. Nabi
Peletak fondasi Aswaja (maana wa as habi) hadis sekaligus cerminan Aswaja untuk kali
pertama.
Abu Bakar
Di dalam wilayah kekuasaannya, Abu Bakar berhasil menyatukan umat Islam, setelah
menumpas gerakan Nabi palsu dan kaum murtad. Dalam hubungan ke luar, penyerangan
terhadap basis-basis penting Romawi dan Persia dimulai.
Umar Bin Khattab Tata Pemerintahan di Madinah dibakukan berdasarkan asas syura –
Persia berhasil ditaklukkan – Romawi diusir dari tanah arab – terjadi pengkotakan antara
Arab dan non-Arab – wilayah Islam mencapai Cina dan Afrika Utara.
Utsman bin Affan
Al-quran dikodifikasi dalam mushaf Utsmani – embrio perpecahan mulai tampak –
pemerintahan labil karena gejolak politik dan isu KKN – Armada maritim dibangun
Ali bin Abi Thalib
Perang Jamal – Pemberontakan Mua’wiyah – arbitrase Shiffin memecah belah umat
menjadi tiga kelompok besar: Syi’ah, Khawarij, Murjiah – Abdullah bin Umar
mengkonsolidir gerakan awal Aswaja yang tidak memihak kepada pihak manapun dan
lebih memusatkan perhatian pada penyelamatan sunnah – Akhir dari sistem Syura.
02
Kemajuan Islam Bani Umayyah
Meneruskan Kekhalifahan sebagai lembaga politik. Abdullah bin Umar berkoalisi dengan
penguasa bani umayah. Kembalinya pemerintahan klan atau dinasti – Islam mencapai
Andalusia dan Asia tengah – madzhab-madzhab teologis bermunculan; terutama
Qadariyah, Jabariyah, Murjiah moderat, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah –
Aswaja belum terkonsep secara baku (Abu Hanifah: sebagai pendiri teologi Asy’ariyah).
Embrio munculnya mazhab-mazhab.
Bani Abbasiyah
Mu’tazilah menjadi ideology Negara – Mihnah dilancarkan terhadap beberapa Imam
Aswaja, termasuk Ahmad bin Hanbal – Fiqih dan Ushul Fiqih Aswaja disistematisasi
oleh al-Syafi’ie, teologi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi, Sufi oleh al-Junaid dan Al-
Ghazali – Terjadi pertarungan antara doktrin aswaja dengan kalangan filosof dan tasawuf
falsafi – Kemajuan ilmu pengetahuan sebagai wujud dari dialektika pemikiran –
pembakuan mazhab-mazhab oleh para pengikutnya-Perang salib dimulai – Kehancuaran
Baghdad oleh Mongol menjadi awal menyebarnya umat beraliran Aswaja sampai ke
wilayah Nusantara.
Umayyah Spanyol
Aswaja menjadi madzhab dominan – kemajuan ilmu pengetahuan menjadi awal
kebangkitan Eropa – Aswaja berdialektika dengan filsafat dalam pemikiran Ibnu Rusyd
dan Ibnu ‘Arabi. Aswaja Runtuh spanyol ikut Eropa
03
Kemunduran Islam Turki Utsmani
Aswaja menjadi ideology negara dan sudah dianggap mapan – kesinambungan pemikiran
hanya terbatas pada syarah dan hasyiyah terhadap mazhab yang dipegangi pengikutnya –
ilmu keIslaman mengkrcut menjadi 3 yaitu fiqih, teologi, tasawuf- sedangkan yang lainya
hanya penopang seperti, ilmu bahasa, hadits & ulum alqur’an. Romawi berhasil
diruntuhkan – perang salib berakhir dengan kemenangan umat Islam – kekuatan Syi’ah
(Safawi) berhasil dilumpuhkan – Mughal berdiri kokoh di India.
Kolonialisme Eropa
Masuknya paham sekularisme – pusat peradaban mulai berpindah ke Eropa – Aswaja
menjadi basis perlawanan terhadap imperialisme – kekuatan-kekuatan umat Islam
kembali terkonsolidir.
04
Kebangkitan
Islam Akhir Turki Utsmani
Lahirnya Turki muda yang membawa misi restrukturisasi dan reinterpretasi Aswaja –
gerakan Wahabi lahir di Arabia – kekuatan Syi’ah terkonsolidir di Afrika utara –
Gagasan pan-Islamisme dicetuskan oleh al-Afghani – Abduh memperkenalkan neo-
Mu’tazilah – al-Ikhwan al-Muslimun muncul di Mesir sebagai perlawanan terhadap Barat
– Berakhirnya sistem kekhalifahan dan digantikan oleh nasionalisme (nation-state) –
Aswaja tidak lagi menjadi ideology Negara.
Pasca PD II Aswaja sebagai madzhab ke-Islam-an paling dominan – diikuti usaha-usaha
kontekstualisasi aswaja di negara-negara Muslim – lahirnya negara Muslim Pakistan
yang berhaluan aswaja – kekuatan Syi’ah menguasai Iran – lahirnya OKI namun hanya
bersifat simbolik belaka.
Catatan ringan :
Sebagaimana dicatat oleh para sejarawan muslim paling awal, bahwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan pada tahun 35 H, yang kemudian diikuti dengan
pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh mayoritas kaum muslimin, ternyata menimbulkan
protes keras dari Mu’awiyah Ibn Abu Sufyan, salah seorang gubernur Damaskus yang
terhitung masih kerabat Utsman. Protes kedua dilancarkan oleh “trio”, Aisyah, Thalhah
dan Zubair. Mereka menuduh Ali adalah orang yang paling bertanggungjawab atas
tumpahnya darah Ustman. Gerakan oposisi dua kelompok di atas pada gilirannya pecah
menjadi perang terbuka. Yang pertama pecah dalam perang siffin, sedangkan yang kedua
meledak dalam perang jamal.
Dalam perang siffin, pasukan Mu’awiyah dalam kondisi terjepit. Dan, guna
menghindarkan diri dari kekalahan, mereka lantas mengajukan usulan agar pertempuran
dihentikan dan diselesaikan melalui jalur arbitrase (perundingan). Strategi ini ternyata
sangat menguntungkan posisi Mu’awiyah dan cukup efektif untuk memecah konsentrasi
pasukan Ali. Terbukti pasukan Ali kemudian terbagi menjadi dua kelompok, disatu pihak
setuju untuk menerima arbitrase (Syiah), sementara dipihak lainnya menolak dan
menginginkan agar pertempuran dilanjutkan sampai diketahui yang menang dan yang
kalah (Khawarij). Apalagi ketika diketahui bahwa dalam arbitrase pihak Ali yang
diwakili oleh Abu Musa Al-’Asy’ari secara “politis” kalah dalam berdiplomasi melawan
kubu Mu’awiyah yang diwakili oleh Amru bin ‘Ash, semakin mengeraskan tekad
kelompok yang kontra perundingan untuk keluar dari barisan Ali.
Berdasarkan deskripsi historis tersebut dalam periode ini telah muncul partai; Ali (Syiah),
Mu’awiyah dan Khawarij. Munculnya sekte-sekte keagamaan yang lebih bernuansa
politis tersebut, akhirnya melahirkan trauma yang mendalam bagi sebagian umat Muslim.
Sikap trauma tersebut kemudian menjurus pada kenetralan, khususnya bagi warga
Madinah-yang dipelopori Abdullah bin Umar. Mereka mendalami al-qur’an dan
memperhatikan serta mempertahankan tradisi (al-Sunnah) penduduk madinah. Sehingga
dalam hal ijtihad agama kaum netralis ini bersatu dengan Syiah yang terkenal sangat hati-
hati dalam menjaga Sunnah. Namun dalam hal politik kaum netralis melakukan oposisi
diantara muawiyah dan syiah.
Namun kaum netralis ini ternyata dalam perjalannya bergabung dengan Umayyah,
meskipun juga sering melakukan oposisi dengan rezim damaskus. Pada tahap inilah –
proses penyatuan golongan al-jamah (pendukung muawiyah) dengan al-sunnah (netralis
madinah) – yang kelak akan melahirkan golongan yang dinamakan Aswaja. Karena
persoalan inilah sehingga syiah keluar dari kaum netralis sebagai komitmen mereka
untuk tetep berpegang teguh terhadap Sunnah dan melakukan gerakan oposisi yang
melakukan perlawanan terhadap rezim Damaskus dan menganggap oportunis terhadap
kaum netralis.
Persoalan semakin kabur manakala mencari identitas aswaja itu melalui wilayah teologi.
Dilihat dari aspek teologi paham aswaja dikonotasikan dengan Asy’ari dan Maturidi.
Sedangkan teologi mu’tazilah dan yang lainnya dipandang sebagai di luar paham aswaja.
Lebih jauh lagi, jika suatu identitas diukur berdasarkan sejauh mana konsistensi mereka
dalam memegang sendi-sendi fiqhiyah, maka sulit sekali untuk mengatakan teologi
mu’tazilah bukan teologi Aswaja. Mengapa? Tidak sulit untuk memberikan argumen
bahwa kebanyakan tokoh mu’tazilah adalah pengikut setia dari salah satu mazhab fiqih,
yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Semisal Abu Jabar yang dalam fiqhnya
mengikuti Syafi’i. Data ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa para penguasa Abbasiyah
mayoritas saat itu juga mengikuti salah satu mazhab fiqh aswaja.
Asy’ari sendiri pada mulanya adalah kader mu’tazilah, karena kekecewaannya terhadap
posisi mu’tazilah yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan saat itu serta
dipandang telah menjadi kelompok akademisi teolog yang mengasingkan diri dari
tekanan dan ketegangan waktu, juga cenderung elitis. Pikiran-pikiran Yunani yang
dipergunakan sudah meyimpang jauh dari agama masyarakat awam, sehingga sulit
diterima masyarakat awam.
Ketegangan pemikiran atau lebih tepatnya dialektika pemikiran jelas tidak mungkin
dihindari. Namun sejarah mencatat bahwa ketegangan yang lebih menjurus pada
pertentangan justu terjadi antara ahlul hadis (dipelopori Hambali dilanjutkan oleh Ibnu
Taimiyah selanjutnya oleh Abdul Wahab) dan ahli teolog (mu’tazilah, Asy’ariyah dan
maturidiyah). Bertolak dari argumen ini ada kemungkinan bahwa paham aswaja teutama
dalam lapangan teologi terjadi polarisasi. Di satu sisi mincul; pemikran yang cenderung
rasionalis, seperti mu’tazilah. Namun pada saat yang sama muncul pemikiran yang ingin
menyapu bersih kecendrungan rasionalistik. Kelompok kedua sering dikonotasikan
dengan teologi Asy’ari. Apapun pertentangan yang muncul, kenyataan menunjukkan
bahwa kelompok moderatlah yang lolos seleksi. Akhirnya kelompok rasional terpaksa
minggir sebelum kemudian redup dan muncul lagi di era Muhammad Abduh (neo-
mu’tazilah).
Kemudian teologi Asy’ari ini dikembangkan oleh filusuf sekaligus sufistik al-Ghazali
yang cenderung kurang rasional dan tidak terlalu monolok terhadap hadis dengan
sikapnya yang sufi yang cenderung menggunakan rasa dalam menyikapi dialektika
keagamaan. Dan dari tangan hujjatul muslimin inilah paham-paham tersebut menyebar ke
se antero dunia sampai sekarang.
Berdasarkan historis sederhana ini dapat tarik sebuah kesimpulan, bahwa secara garis
besar pasca terjadinya perang siffin umat muslim terpecah sehingga masing-masing
membuat madzhab yang pada akhirnya mazhab-mazhab ini dikembangkan,
diformulasikan dan dibakukan oleh para kader madzhab. Dengan pembakuan-pembakuan
tersebutlah, selanjutnya konsep Islam disandarkan. Adapun formulasi itu dibagi menjadi
tiga yaitu teologi, fiqih dan tasawuf. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain dianggap turunannya
sehingga dalam wilayah metodologi selalu mengakar dan bisa dikembalikan kepada
ketiga ilmu tersebut terutama pada teologi.
2. Aswaja dalam Sejarah Nusantara (Ke-Indonesia-an)
Ada kesinambungan antara alur GeoSosPol Aswaja dengan sejarah Islam di nusantara.
Memang banyak perdebatan tentang awal kedatangan Islam di Indonesia, ada yang
berpendapat abad ke-8, ke-11, dan ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam
di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal: pertama, Kesultanan Pasai di Aceh yang
berdiri sekitar abad ke-13, dan kedua, Wali Sanga di Jawa yang mulai hadir pada akhir
abad ke-15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun, dalam perkembangan Islam
selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah Wali Sanga yang dakwah Islamnya tidak
hanya terbatas di wilayah Jawa saja tetapi menggurita ke seluruh pelosok nusantara.
Yang penting untuk dicatat pula, semua sejarahwan sepakat bahwa Wali Sanga-lah yang
dengan cukup brilian mengkontekskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia
sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia, yang sampai saat ini menjadi basis bagi
golongan tradisionalis, termasuk PMII.
Sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh Syaikh K.H. M.
Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau terhadap mazhab-mazhab yang telah
diformulasikan pada zaman Abbasiyah. Yaitu; “Dalam ilmu aqidah/teologi mengikuti
salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam syari’ah/fiqh
mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris
Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua
Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.”
Catatan Akhir :
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja sebagia manhajul fikr
dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis
yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba menggabungkan dari berbagai
metodologi-ulama pada zaman sekarang dan sebelumnya. Dengan melacak akar
historisnya, karena sejarah adalah sistem yang membangun masa kini dan yang akan
datang. Metodologi yang dimaksud disini adalah menjadikan al-Qur’an, hadits dan
metodologi-ulama baik dari Timur maupun barat sebagai kerangka Epistemologi dan
Aksiologi bagi kader PMII dalam menafsirkan dan mentransformasikan realitas.
Sehingga epistemologi ini tampak abstrak karena terdapat berbagai varian metodologi
yang kesemuanya masih dalam Lingkup Aswaja dan sulit ditemukan benang merahnya.
Bahkan sampai sekarang, metodologi tersebut belum ditemukan. Hal ini berbeda ketika
Aswaja sebagai manhaj mazhab, disini metolodogi sangat jelas yakni berdasarkan
metodologi yang disusun oleh para Imam Mazhab (Qonun Asasi) semisal kaidah uul fiqh
dan Qiyasnya Syafi;I, istihsanya maliki, masalaha mursalah, dll. Sedangkan
paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski dalam perjalanannya dianggap tidak
relevan.
Maka menjadi tugas kita bersamalah untuk membuat satu tawaran alternatif metodologi
baru bagi ruh perjuangan PMII yang mampu mengkombinasikan antara barat dan timur
yang sesuai dengan konteks Masyarakat Indonesia pada khusunya dan Umat muslim pada
umumnya. Yang pada gilirannya Para kader PMII khusunya di Jogjakarta tidak
kebingungan dalam hal metodologi baik dalam menafsirkan teks maupun membaca
realitas dengan komitmen sosial yang tinggi. Wallahu a’lam wi al-shawab.