Vous êtes sur la page 1sur 12

“SINOPSIS ARAB MELAYU”

JUDUL :
1. TUANKU TAMBUSAI
2. LANCANG KUNING
3. MESJID PENYENGAT
4. KERAJAAN SIAK
5. CANDI MUARA TAKUS

DI BUAT OLEH :
REZKY APRILIYA WIRDASMI

TAHUN PELAJARAN :
2010/2011
“TUANKU TAMBUSAI”
Agama islam telah berkembang di sepanjang sungai Rokan. Di Kerajaan dalam
urusan agama di lakukan oleh seorang Wali yang di sebut dengan Wali Syara’.
Pemerintahan duli yang di pertuan ke 10 di pegang oleh Imam Maulana Kali yang berasal
dari Rembah, dan juga seorang ulama yang bijaksana serta pandai bergaul. Dia sangat
disenangi dan disegani masyarakat dan beliau mendapatkan istri di Tambusai ini.

Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Saleh.
Imam Maulana Kali mendidik anaknya dengan pendidikan agama yang penuh disiplin.
Apabila Imam Kali menghadiri kerapatan negeri, Muhammad Saleh selalu dibawa,
sehingga Muhammad Saleh mendapatkan pendidikan dan keberanian.

Muhammad Saleh di sekolahkan ayahnya ke Bonjol, karena disana banyak ulama-


ulama besar yaitu Hj.Miskin, Hj.Sumanik, dll. Mereka baru pulang dari Mekkah dan
mereka mengadakan pembaharuan di Minang Kabau. Golongan ini di sebut Kaum Padri.
Mereka mendapat tindakan dari Kaum Adat dan akhirnya menimbulkan peperangan
antara Kaum Adat dengan Kaum Padri.

Muhammad Saleh dipindahkan ke Rao, karena Bonjol tidak tenang. Disanalah beliau
memperdalam hukum agama. Muhammad Saleh menyebarkan agama di tanah Karo,
Muhammad Saleh dipanggil pulang ke Tambusai karena Kerajaan Tambusai memerlukan
seorang ulama. Muhammad Saleh tinggal di Tambusai sampai ayahnya meninggal.
Setelah ayahnya meninggal beliau berangkat kembali ke Minang Kabau.

Pada tahun 1833 terjadi peperangan antara Belanda dengan Kaum Padri, peperangan
ini terjadi karena Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda untuk memerangi Kaum
Padri. Dalam peperangan ini Muhammad Saleh dapat mengalahkan Belanda bersama
gurunya. Dengan keberanian itu Muhammad Saleh diberi gelar “Tuanku Tambusai”.

Setiap terjadi peperangan Tuanku Tambusai selalu menang, atas kekalahan ini,
Belanda selalu menawarkan perundingan damai dengan Tuanku Tambusai, tawaran ini
ditolak Tuanku Tambusai, karena beliau tahu bahwa itu hanya tipu muslihat semata.

Untuk menangkis serangan Belanda Tuanku Tambusai mendirikan benteng tujuh


lapis dengan tembok yang kuat dan disekelilingnya dibuat parit dalam serta setiap lapis
diberi pintu gerbang tersendiri serta dipagar dengan aur berduri sehingga benteng ini
diberi nama “Benteng Aur Berduri”.
Tahun 1837 terjadi pertempuran yang sangat sengit antara pasukan Tuanku Tambusai
dengan Belanda, dalam peperangan ini kembali kemenangan dipihak Tuanku Tambusai,
tetapi ia kehilangan seorang Panglima bernama Jamudil Alam, beliau adalah seorang
anglima perang pasukan Tuanku Tambusai, dalam peperangan ini tentara Belanda merasa
terpukul sehingga Belanda merasa dendam dan berjanji akan mengadakan balasan.

Tahun 1838 Belanda mengadakan penyerangan kembali. Serangan ini adalah


serangan balasan, sehingga serangan ini dapat merebut benteng Padri dan serangan
dilanjutkan ke benteng (Portibi). Dalam serangan ini banyak pasukan Tuanku Tambusai
yang gugur dan membuat tuanku tambusai mundur. Pasukan Belanda terus mengadakan
penyerangan dan bantuan terus berdatangan dari Padang, sehingga serangan membuat
Tuanku Tambusai terus mundur ke benteng lapis berikutnya.

Melihat keadaan ini dengan tiba-tiba Tuanku Tambusai mengadakan serangan yang
menggila terhadap pasukan Belanda dan serangan ini membuat tentara Belanda cerai-
berai, tetapi dalam waktu yang tidak lama dapat disatukan kembali oleh Michel selaku
pimpinan tentara Belanda dan tentara Belanda terus mengadakan serangan sehingga
korban berjatuhan dikedua belah pihak. Akhirnya benteng baling-baling dapat direbut
Belanda dan gudang-gudang dikuasainya.

Setelah benteng baling-baling dikuasai Belanda, Tuanku Tambusai telah lebih dahulu
memasuki benteng Aur Berduri untuk menysun dan mengatur perlawanan terhadap
serangan Belanda. Pada serangan pertama Belanda tidak berhasil memasuki benteng Aur
Berduri karena benteng tersebut sangat rapi dan kuat. Untuk menembus benteng tersebut
Belanda menyerakan uang logam ke pagar dengan maksud agar rakyat mencari uang
tersebut dan akhirnya akan membuat Aur Berduri yang memagar benteng tersebut rusak
oleh rakyat mencari uang yang diserakan Belanda.

Setelah mempelajari keadaan Aur Berduri, barulah Belanda menyerang benteng Aur
Berduri secara besar-besaran. Dengan senjata yang lengkap dan pasukan yang banyak
Aur Berduri dapat direbut pasukan Belanda, walaupun sudah dipertahankan dengan
kekuatan yang ada.

Dan membuat pasukan Tambusai sampai bercerai-berai dan Tuanku Tambusai untuk
menyelamatkan keluarga dan dirinya terpaksa meninggalkan daerah kelahirannya ke
Malaka (Malaysia) dan menetap di negeri Sembilan sampai hayatnya.

“LANCANG KUNING”
Lancang adalah sebutan perahu dengan ukuran yang berbeda-beda, karena ada yang
kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang adalah alat perhubungan air pada masa
lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal dengan Lancang Kuning yang merupakan
suatu lambang kebesaran daerah Riau karena itu Lancang Kuning ditetapkan menjadi
lambang dan nyanyi daerah Riau.

Adapun cerita Lancang Kuning adalah berasal dari sebuah Kerajaan yang terdapat di
Bukit Batu, wilayah kabupaten Bengkalis, Kerajaan ini diperintah oleh raja yang bernama
Datuk Laksamana Perkasa Alam serta dibantu dua orang panglima yaitu Panglima Umar
dan Panglima Hasan, Panglima Umar adalah seorang panglima yang dipercayai Datuk
Laksamana Perkasa untuk menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalan dalam Kerajaan.
Umpamanya jika terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat diselesaikan dengan
baik.

Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksamana Perkasa untuk
menyampaikan hasrat hati yaitu untuk mempersunting Zubaidah, seorang gadis negeri
itu. Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksamana, dengan persetujuan
Datuk Laksamana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan diadakan pesta dan
keramaian besar-besaran.

Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Panglima Umar dengan


Zubaidah menimbulkan rasa tidak senang bagi Panglima Hasan, timbulnya dendam. Hal
ini timbul dikarenakan rupanya Panglima Hasan juga simpati dan mencintai Zubaidah itu.
Rupanya apa yang diinginkannya itu telah didahului Panglima Umar.

Untuk melepaskan rasa sakit hati Panglima Hasan mencari akal bagaimana agar
Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya Panglima Hasan menyuruh
Bomo menyampaikan kepada Datuk Laksamana bahwa dia bermimpi agar Datuk
Laksamana membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari Lanun.
Apa yang disampaikan Pawang Bomo diterima oleh Datuk Laksamana, sehingga
Lancang Kuning dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai
tersebar berita bahwa Bathin Sanggoro telah melarang para nelayan Bukit Batu untuk
menjaring ikan di Tanjung Jati.

Dengan adanya berita ini Datuk Laksamana memerintahkan agar Panglima Umar
berangkat dan menemui Bathin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima Umar untuk
berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan melahirkan, tapi
karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan, demi kerajaan yang
tercinta.
Setelah berlayar beberapa hari sampailah Panglima Umar kepada Bathin Sanggoro
dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar cerita itu Bathin
Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah malarang nelayan Bukit Batu
menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar cerita Bathin Sanggoro Panglima Umar
termenung dan berfikir, apakah gerangan yang terjadi dibalik peristiwa ini ? melihat
keadaan ini lalu Bathin Sanggoro menganjurkan agar berita ini diselidiki dari mana asal
muasalnya, dan diselidiki sewaktu perjalanan pulang.

Rupanya apa yang disampaikan Bathin Sanggoro dituruti Panglima Umar, sewaktu
perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling, guna mencari siapa yang membuat berita
ini, sehingga tidak dirasakannya bahwa perjalanannya sudah satu bulan.

Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu Lancang Kuning akan
diluncurkan ke laut. Di bali-bali telah banyak pemuka kerajaan dan penduduk negeri
untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan
rakyat dipertunjukkan. Semua penduduk negeri bergembira terkecuali Zubaidah, karena
suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali
dan karena itu ia tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang Kuning ke laut pada
malam itu.

Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan Pawang Domo


memberikan kepada Datuk Laksamana. Acara peluncuran dimulai dengan tepung tawar
pada dinidng Lancang Kuning, kemudian dilanjutkan Panglima Hasan dan pemuka
masyarakat lainnya. Selesai tepung tawar dilanjutkan dengan pengasapan dan barulah
semua yang hadir diperintahkan supaya berdiri disamping Lancang Kuning dan semua
bunyi-bunyian dibunyikan dan semua yang telah memegang Lancang Kuning
mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut tidak bergerak sedikitpun
hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga sudah ditambah, namun Lancang
Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yang hadir merasa heran dan bertanya-tanya. Muka
Pawang Domo merah padam.

Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk Laksamana dan berkata : ampun
Tuanku yang mulia ! rupanya Lancang Kuning tidak bisa diluncurkan jika...jika apa Wak
Domo ? kata Datuk Laksamana, katakanlah ! jika Lancang Kuning ingin juga
diluncurkan harus ada korban. Korban berapa kerbau diperlukan Wak Domo ? tuanku
yang mulia, bukan kerbau. Wak Domo menghampiri Datuk Laksamana dan membisikkan
bahwa korban yang diperlukan adalah perempuan hamil sulung-Datuk Laksamana
tertunduk dan termenung serta berkata kepada Pawang Domo-bahwa tidak mungkin itu
dilakukan, maka Datuk Laksamana memerintahkan agar peluncuran Lancang Kuning
diundurkan saja.

Setelah sebagian orang pulang, Panglima Hasan pergi ke rumah Zubaidah dan
didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejut dengan kedatangan
Panglima Hasan sambil berkata : Mengapa lagi kau kesini Panglima Hasan ? berkata
Panglima Hasan : Zubaidah apa lagi yang kau tunggu Zubaidah ? suamimu tidak akan
kembali lagi, karena itu biar aku yang menjadi ayah anakmu itu ! apa katamu Panglima
pengkhianat ? biar saja mati dari pada bersuamikan kamu ! Apa ? jawab Panglima Hasan,
jika kamu masih menolak permintaanku, kamu akan saya jadikan galangan Lancang
Kuning yang akan diluncurkan ke laut.

Karena Zubaidah tetap menolak permintaan Panglima Hasan, maka Zubaidah ditarik
dan matanya ditutup dengan dibantu oleh pengawalnya, setelah sampai di Lancang
Kuning yang akan diluncurkan, Panglima Hasan mendorongkan tubuh Zubaidah ke
bawah Lancang Kuning dan ketika itu juga Panglima Hasan memerintahkan serpali
Lancang Kuning didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa orang saja Lancang
Kuning itu meluncur dengan mulus.

Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging Zubaidah
berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan lebat petir dan angin kencang serta
bertepatan waktu itu Panglima Umar merapat ke pelabuhan Bukti Batu.

Setelah perahu ditambatkan dipelabuhan Panglima Umar langsung ke rumah untuk


melihat istri dan anaknya yang telah ditinggalkan selama sebulan, tapi setelah sampai di
rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah tetapi tidak ada jawaban. Hati
Panglima sudah mulai gelisah, maka dia berangkat ke pelabuhan. Ditengah jalan ia
berpapasan dengan Panglima Hasan, langusung Panglima Umar bertanya kepadanya,
dimana gerangan istriku, Panglima Hasan menceritakan, istrinya Zubaidah telah
dijadikan gelangan Lancang Kuning oleh Datuk Laksamana.

Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima Umar langsung pergi ke tempat
peluncuran Lancang Kuning, didapatinya darah berserakan alangkah sedih hati Panglima
Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah yang ada di tanah itu serta diusapkan
kemukanya serta berkata bahwa dia akan membalas atas kematian istrinya itu kepada
Datuk Laksamana Perkasa. Dengan tidak berpikir panjang langsung menuju ke rumah
Datuk Laksamana, tetapi baru saja ia berjalan dilihatnya Datuk Laksamana berjalan ke
arahnya.
Setelah mereka bertemu Umar langsung menyerang Datuk Laksamana dengan
pedang yang panjang ke perut Datuk Laksamana, tanpa ada pembicaraan sedikit pun,
akhirnya Datuk Laksamana mati ditangan Panglima Umar, ketika itu juga datanglah
Pawang Domo serta menceritakan segala kejadian yang sebenarnya, bahwa yang
menjadikan Zubaidah untuk gelangan Lancang Kuning adalah Panglima Hasan, tanpa
mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima Hasan.

Dari kejauhan Panglima Umar melihat Panglima Hasan sudah bersiap-siap untuk
melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum sempat melepaskan talinya Panglima
Umar telah sampai, dengan pedangnya terhunus sambil berkata : Nah..........malam
ini...........engkau atau aku...........akan mati. Dengan disaksikan penduduk mereka
berkelahi di atas Lancang Kuning. Dan akhirnya Panglima hHasan dapat ditikam
Panglima Umar dan mayatnya jatuh ke laut.

Waktu itulah Panglima Umar melihat ke pantai dan berkata kepada orang yang ada di
pantai bahwa ia telah membunuh Datuk Laksamana karena perbuatan Panglima Hasan
dan Panglima Hasan pun sudah mati ditangannya, karena itu ia akan pergi dengan
Lancang Kuning untuk selama lamanya, dan ketika sampai di Tanjung Jati datanglah
ombak besar dan angin topan sehingga Lancang Kuning tersebut karam dan ia bersama
Lancang Kuning terkubur dalam laut Tanjung Jati serta segala kejayaan Kerajaan Negeri
Bukit Batu berangsur-angsur mundur dan akhirnya tinggal setumpuk rumah saja lagi.

“MESJID PENYENGAT”
Penyengat adalah nama sebutan pulau kecil yang terletak tidak jauh dari pula Bintan
kepulauan Riau. Nama lengkapnya adalah Pulau Penyengat Indra Sakti. Pulau ini telah
meninggalkan sejarah besar yaitu peninggalan Kerajaan Melayu yang terletak di Tanjung
Onggat.

Sebagai pusat Kerajaan Melayu, disini masih terdapat peninggalan sejarah,


diantaranya adalah sebuah Mesjid yang masih berdiri dengan megah, karena tetap dijaga
dan sudah beberapa kali mendapat perbaikan, Mesjid Penyengat mulai dibangun tanggal
1318 H atau 1803 M oleh Raja Abdul Rahman. Mesjid yang ada sekarang ini adalah
mesjid sebagai pengganti mesjid yang dibangun Sultan Muhammad Syah yang dibongkar
karena dipindahkan untuk memperindah kota serta pembangunannya diganti dengan
beton.
Selesai shalat Idul Fitri, Raja Abdul Rahman mengumumkan kepada seluruh
rakyatnya bahwa mesjid yang ada akan dipindahkan ketempat lain. Karena itu seluruh
rakyat harus ikut bergotong royong untuk pembangunan mesjid tersebut. Sultan Abdul
Rahman adalah seorang raja yang soleh dan taat serta disayangi rakyatnya, maka apa saja
yang diperintahkan raja itu akan dilaksanakan oleh seluruh rakyatnya dengan senang hati.
Setiap gotong royong mengerjakan mesjid tersebut ribuan penduduk yang hadir. Mereka
datang dari seluruh penjuru kerajaan. Dan mereka yang datang itu bukan untuk bekerja
sama, tetapi mereka juga datang memberikan sumbangan bahan makanan, sehingga tak
terkira akan banyaknya. Ada yang membawa sayur, ayam, itik, kerbau yang semua ini
dipergunakan untuk orang bekerja. Menurut cerita karena terlampau banyaknya telur
yang disumbangkan penduduk, maka telur itu dicampur dengan semen sebagai adukan,
karena itulah warna adukan semen tersebut berwarna kekuning-kuningan.

Selama pengerjaan mesjid itu hampir setiap hari Raja dan Panglima serta
pengawalnya datang melihat, bahkan beliau ikut pula bekerja bersama-sama rakyatnya.
Dia tidak segan-segan memegang alat dan mengaduk semen dan apabila waktu shalat tiba
Baginda memperingatkan agar pekerjaan dihentikan dahulu, semua yang bekerja harus
mengerjakan shalat. Tak seorang pun yang dibolehkan bekerja.

Setelah mesjid tersebut selesai dibangun, maka di beri nama “Mesjid Raya
Penyengat”, Mesjid Raya Penyengat termasuk mesjid yang tertua di daerah Riau dan
ukurannya adalah : 19,40 m dan lebar 19,20 m, pada bangunan Mesjid Penyengat
terdapat bagian-bagian tertentu mempunyai makna tertentu atau sebagai simbol,
diantaranya :

1. Empat buah tiang besar terdapat dalam ruangan mesjid merupakan simbol empat
orang sahabat nabi, yaitu : Abu Bakar Siddiq, Umar Bin khatab, Usman Bin
Affan, dan Ali Bin Abi Thalib.
2. Kubah yang berjumlah 13 mengandung makna tentang rukun shalat tiga belas.
3. Kubah yang 13 ditambah 4 buah menara menjadi 17 melambangkan arti jumlah
rakaat shalat fardhu adalah 17 rakaat dalam sehari semalam.

Banyak lagi cerita khas dari Mesjid Penyengat ini.

“KERAJAAN SIAK”
Siak Sri Indrapura adalah sebuah kota bekas pusat kerajaan Siak, yang terletak ditepi
sungai Siak, kerajaan Siak berdiri tahun 1833. Ada pun sejarah berdirinya kerajaan
adalah berawal dari timbulnya keretakan dalam Kerajaan Johor Malaka. Keretakan
berakhir dengan terbunuhnya Sultan Mahmud Syah oleh Datuk Bendahara Tuan Jiyab.
Dalam pemberontakan hanya yang selamat Encik Apung istri Mahmud Syah yang sedang
hamil tua

Encik Apung dapat diselamatkan oleh ayahnya Datuk Laksamana dengan melalui
pintu belakang istana, disamping itu dapat diselamatkan peti kerajaan yang berisi barang-
barang pusaka kerajaan seperti mahkota dan simbol-simbol kerajaan. Setelah selamat dari
kejaran musuh, Encik Apung dibawa ke muara dan di sinilah Encik Apung melahirkan
seorang anak laki-laki dan diberi nama Raja Kecik atau Raja Kecil.

Ketika Tuan Habib melantik dirinya sebagai Sultan Johor tidak semua pihak
mendukungnya, terutama karena beliau keturunan Raja Malaka dan juga beliau
mengangkat kalangan keluarganya dalam jabatan penting kerajaan, dalam hal ini Tuan
Habib menangkap orang-orang yang tidak disenanginya serta membunuhnya. Rupanya
tindakan ini menambah orang-orang tidak senang kepadanya.

Untuk menghilangkan rasa cemas dari Tuan Habib, maka Datuk Laksamana
menyerahkan Raja Kecil kepada Nakhud Malim yang berasal dari Pegeroyong, sekaligus
menyerahkan mahkota dan kebesaran kerajaan kepadanya, maksud Datuk Laksamana
adalah agar Raja Kecil diserahkan kepada raja Pegeroyong yang bernama Yamtuan Sakti
Umar, Raja Kecil waktu itu baru 5 tahun.

Setelah sampai di Pegeroyong, Raja Kecil diserahkan oleh Nakhud Malim, dan
selama berada di Pegeroyong, Raja Kecil dididik oleh raja Pegeroyong dengan ilmu
agama serta dibekali ilmu bela diri dengan harapan sampai waktunya nanti ia dapat
kembali menuntut haknya atas tahta Kerajaan Johor.

Setelah umur 10 tahun Raja Kecil telah menjadi seorang pemuda tampan dan tampak
dewasa, maka ia meminta izin untuk pergi berkelana ke daerah Kerajaan Palembang
melalui sungai Batang Hari. Di Kerajaan Palembang, Raja Kecil bekerja sebagai
penjawat tepak dan pada waktu itulah beliau dengan Sultan Palembang untuk meminang
anak putri Tuan Habib yang membunuh ayahnya, setelah sampai di Johor tak seorang pun
yang mengetahui bahwa tukang tepak adalah pewaris Kerajaan Johor.

Rupanya pinangan Sultan Palembang ditolak Tuan Habib, dan mereka kembali ke
Palembang dan Raja Kecil kembali ke Pegeroyong melalui pedalaman dan singgah di
Laos. Di negeri ini Raja Kecil kawin dengan Putri Pati Batu Kucing, dari perkawinan ini
Raja Kecil mendapat seorang anak yang bernama Raja Rebing Al-awwal yang kelak
menjadi Raja Siak Sri Indrapura keempat.

Dua tahun lamanya Raja Kecil meninggalakan Pegeroyong, dan sekembalinya Raja
Kecil ke Pegeroyong diceritakannya semua pengalamannya oleh Raja Kecil kepada Raja
Pegeroyong Yamtuan Sakti, Raja Pegeroyong pun menceritakan pula silsilah keturunan
Raja Kecil dengan Kaol Uji, apakah benar Raja Kecil keturunan Raja. Selesai Kaol Uji
barulah semua pusaka keajaan diserahkan kepada Raja Kecil.

Rupanya Raja Kecil memang keturunan Raja Mahmud karena itu ia lolos kaol uji,
maka Raja Kecil sudah diperbolehkan untuk merebut haknya yaitu Kerajaan Johor.

Raja Kecil benar-benar telah siap untuk merebut Kerajaan Johor dari tangan Tuan
Habib. Dengan di bantu oleh Lima puluh ; dan dibekali pedang pusaka sapu Rajab serta
stempel pegeroyong berangkat melalui sungai Siak. Dalam perjalanan mereka membeli
kapal dan menambah kekuatan bagi yang ingin bargabung.

Dengan persiapan yang cukup lengkap pada bulan maret 1818 Raja Kecil berangkat
dari Bengkalis ke Malaka untuk merebut Johor dari Tuan Habib. Dengan semangat tinggi
dan penuh satria, Kerajaan Johor dapat direbut Raja Kecil dan Tuan Habib dapat
diampuni Raja Kecil, dan setelah Raja Kecil menjadi Sultan Johor Raya menikahi anak
Tuan Habib yang telah diampuninya. Pada mulanya Raja Kecil akan menikahi Tengku
Tengah tetapi karena melihat adiknya bernama Tengku Pamrih lebih cantik dari Tengku
Tengah maka ia memilih Tengku Pamrih menjadi istrinya.

Karena sakit hati, Tengku Tengah menyusun kekuatan dan akhirnya menimbulkan
pemberontakan dan terjadi peperangan untuk menggulingkan Raja Kecil, maka atas usul
Tengku Pamrih, dari pada menimbulkan korban jiwa lebih baik meninggalkan Johor
menuju, atas usul istrinya Raja Kecil dan keluarga serta pasukannya meninggalkan Johor
menuju Bintan. Disinilah Raja Kecil mendirikan kerajaan baru, tetapi kerajaan ini terus
mendapat serangan dari Johor, maka Raja Kecil memindahkan kerajaan ke Bengkalis tapi
karena ini kurang strategis maka Raja Kecil memindahkan kembali kerajaan ke Buatan
ditepi sungai Siak sekarang, dan kerajaan baru ini diberi nama “Siak Sri Indrapura”.

Setelah Raja Kecil menjadi Sultan Siak pertama, diberi gelar Sultan “Abdul Jalal
Rahmat Syah“ memerintah selama 23 tahun (1723-1746) dan setelah beliau mangkat
digantikan putranya bernama Raja Buang Asmara dengan gelar Sultan Muhammad Abdul
Jalal Jalaludin Syah. Pada masa sultan ke-2 inilah pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke
Mampor dan disanalah dibangun Istana Sultan Siak. Ada pun pembangunan istana
tersebut adalah pada tahun 1889 pada masa Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalal Siap
Aladin.

Kerajaan Siak adalah kerajaan yang besar baik dalam wilayah maupun dalam
melawan penjajah menuju Indonesia merdeka.

“CANDI MUARA TAKUS”


Diperkirakan sekitar tahun 600-700 di Sumatra telah berdiri 3 buah kerajaan, yaitu :
Sriwijaya, Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang salah satu dari kerajaan tersebut di
Muara Takus, hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah, yaitu : terdapatnya
sebuah Candi. Candi tersebut bernama Candi Muara Takus. Namun sejarah tidak ada
memberikan secara rinci tentang kerajaan ini, yang jelas Muara Takus merupakan suatu
desa terletak di kecamatan 13 Koto Kampar, kabupaten Kampar provinsi Riau dan
disanalah terdapat sebuah Candi sebagai pusat kerajaan dahulu kala.

Candi Muara Takus merupakan fakta sejarah bahwa di Muara Takus pernah berdiri
sebuah kerajaan besar. Menurut sejarah pada mulanya kerajaan tersebut terletak di Koto
Pulau, tetapi karena sungainya dangkal tidak dapat dilayari maka pusat kerajaan
dipindahkan ke muara sungai Kampar.

Menurut penelitian para ahli sejarah bahwa ditengah-tengah pusat kerajaan tersebut
terdapat kompleks berukuran 74x74 meter dan dikelilingi pagar beton. Di dalam
kompleks inilah dibangun candi yang berjumlah tujuh buah, tetapi karena sudah dimakan
zaman, candi-candi tersebut sudah hancur, kecuali yang tinggal hanya satu buah lagi,
itupun menurut cerita, yang tampak itu stupanya, sedangkan dasarnya sudah tertimbun
tanah.

Diantara ke tujuh candi yang masih dikenal namanya yaitu Candi Tua, Candi
Mahligai Stupa, Candi Bungsu dan Candi Palangka. Diantara keempat candi ini yang
terbesar adalah Candi Stupa, dengan tinggi 65,21 meter. Mahligai Stupa terletak di atas
pondasi bersisi 27 dan berhiasan berwarna kuning.

Selain dari kompleks terdapat pula sisa pagar tembok sepanjang 2x1,5 kilometer.
Sebagai peninggalan sejarah maka merupakan objek wisata dan perlu dilestarikan.

“SELESAI”

Vous aimerez peut-être aussi