Vous êtes sur la page 1sur 8

Sungguhpun ada prospek bagi ASEAN didalam mewujudkan Security Community, namun

berbagai kendala tentu saja jelas ada:

 Secara mendasar sejak awal pembentukan ASEAN jauh berbeda dengan Uni Eropa
dalam tingkat heterogenitas yang dihadapi. 10 negara Asia Tenggara mempunyai
berbagai keragaman baik dibidang budaya, ras, agama dan dipengaruhi oleh aneka
kekuatan serta berbeda tingkat pertumbuhan ekonomi, dan beragam pandangan politik
dan ideologi.  Apalagi rakyat Asia Tenggara  belum terbiasa menjadi satu.  Sejarah Asia
Tenggara hampir selalu terpecah-pecah dan diperburuk oleh kepentingan asing di
kawasan. Penduduk ASEAN sangat majemuk, baik dari segi etnis, bahasa, maupun
agama. Dalam sebuah negara Indonesia, misalnya, terdapat begitu banyak kelompok etnis
dan sub-etnisnya, yang juga hidup dengan bahasa lokal dan kebudayaannya masing-
masing. Berbeda dengan kondisi di Uni Eropa, yang dalam setiap negara paling tidak
terdapat satu atau tidak lebih dari empat kelompok etnis asli sehingga juga tidak terdapat
banyak bahasa yang digunakan penduduknya dalam sebuah negara atau pun antar negara.
Dengan begitu, pembentukan negara bangsa Nation State anggota Uni Eropa tidak sesulit
pembentukan negara bangsa di negara anggota ASEAN, mengingat tidak sulit untuk
mencari bahasa komunikasi (Lingua franca) yang bisa digunakan dalam kegiatan
organisasi regional mereka. Anggota Uni Eropa bisa dipersatukan oleh bahasa Inggris
dan Latin karena mandala Eropa pernah dikuasai Romawi. Sementara, ASEAN belum
bisa menerima kehadiran Bahasa Melayu sebagai Lingua franca,  sebab pengaruh bahasa
ini tidak mencakup seluruh wilayah Asia Tenggara. Bahasa resmi yang dipakai dalam
pertemuan-pertemuan ASEAN adalah bahasa Inggris, sedangkan Kamboja dan Laos,
misalnya, hampir tidak mampu berbahasa Inggris. Bahasa asing yang mereka kuasai
adalah Perancis.

 Penyebaran agama yang homogen yang terjadi di Eropa juga tidak dialami di Asia
Tenggara. Secara realistis, agama Kristen telah mempertemukan anggota Uni Eropa
dalam bahasa dan budaya, sedangkan di ASEAN di luar agama Hindu dan Budha yang
telah lebih dulu ada, masih ada agama Kristen dan Islam. Bisa dikatakan ASEAN adalah
satu-satunya organisasi regional yang bersifat Multisivilisasional (Huntington, 1996 :
230-232). Heterogenitas yang tinggi tidak hanya berimplikasi pada susahnya menyatukan
anggota ASEAN, namun juga lemahnya masing-masing negara anggota dalam
menyelesaikan agenda domestiknya. Tidak mungkin suatu negara dapat menyepakati
sebuah keputusan internasional, jika semua unsur dalam negerinya belum memiliki
persamaan persepsi dan kepentingan. Heterogenitas kultur juga berdampak pada sulitnya
membuat keputusan yang efektif dan mengikat dalam setiap aktivitas ASEAN dimasa
lalu. Kultur Hinduisme, Budhisme, dan Islam yang mengakar kuat di kawasan Asia
Tenggara memiliki pengaruh atas disepakatinya musyawarah mufakat dan konsensus
sebagai ASEAN way dalam setiap penyelesaian masalah di kawasan. Hal ini membuat
absennya akuntabilitas dan sanksi terhadap negara anggota, yang dikemudian hari
ternyata tidak mematuhi keputusan yang telah dihasilkan secara mengikat. Situasi yang
berbeda tanpa di Uni Eropa, yang selalu jelas keputusannya, dan mengikat, karena selalu
dilakukan lewat cara pemungutan suara (voting). Di masa depan pengambilan keputusan
dengan mekanisme pemungutan suara (voting) harus diintroduksi dalam berbagai
kegiatan atau pertemuan ASEAN (Sukma, 2006 : 53). Bila sebuah keputusan yang
penting didasarkan pada mekanisme voting, apalagi dalam situasi darurat (Emergency),
hal ini jelas lebih menciptakan good organization governance, terutama untuk
menumbuhkan akuntabilitas anggotanya. Disini, negara-negara anggota ASEAN harus
memiliki semangat penghargaan atas HAM dan  keniscayaan pada demokrasi. Mereka
tidak boleh ragu, apalagi menilai bahwa demokrasi adalah sumber masalah baru, yang
akan diciptakan disintegrasi dan instabilitas di tingkat domestik dan kawasan. Mereka
justru harus berpandangan sebaliknya, bahwa sikap anti demokrasi merupakan kendala
bagi terwujudnya ASEAN Security Community (ASC). Menurut Amitav Acharya, di
Eropa budaya politik demokrasi terkait erat dengan munculnya kecenderungan akan
interdependensi ekonomi yang membantu negara-negara yang tergabung dalam Uni
Eropa untuk menciptakan masyarakat yang berkeamanan.  Sebaliknya ASEAN tidak
mempunyai latar belakang kondisi budaya politik seperti itu. (Acharya, 2001 : 195).
Bahkan pada kenyataannya, banyak kalangan menilai sebagian besar negara-negara
anggota ASEAN tidak demokratis sama sekali, karena mereka rata-rata mempunyai
catatan buruk dibidang HAM akibat masih kuatnya prinsip non interference dianut
negara anggotanya (Hofmann, 2006 : 58). Jelas bahwa yang dikatakan sebagai sebuah
Security Community adalah ketika didalam komunitas keamanan tersebut mampu
memberikan ruang yang lebih besar bagi nilai-nilai demokrasi. Jika ASEAN ingin tetap
konsisten dengan komitmennya mencapai komunitas keamanan pada 2015, maka
pemerintah dari masing-masing negara anggota jelas harus menghapuskan bentuk suksesi
kepemimpinan regional secara inkonstitusional seperti kudeta oleh junta militer dengan
menggulingkan kekuasaan legal seorang presiden atau Perdana Menteri dengan cara-cara
yang dapat menimbulkan aksi kekerasan dan instabilitas nasional, seperti di Thailand.
Komunitas Keamanan ASEAN nantinya juga telah harus menghilangkan pergantian
kepemimpinan dengan cara-cara tidak demokratis. Melihat rencana aksi komunitas
keamanan ASEAN, jelas struktur politik kawasan ASEAN  diarahkan untuk semakin 
maju,  terbuka, dan demokratis.  Langkah pembangunan politik melintasi isu-isu sensitif
yang menyangkut demokrasi layaknya di negara maju,  penyelenggaraan pemilu yang
bebas, pemberantasan korupsi, pemeirntah yang bersih, penegakan dan supermasi hukum,
promosi pengembangan HAM  hendaknya tidak menjadi retorika politik. Bangunan
ASEAN adalah rumah besar yang menggelindingkan ASEAN shared-common value
baru, yang menjunjung tinggi bahasa global dunia, demokrasi di bawah pemeirntah yang
baik. Elemen kemanusiaan sudah pasti harus mendapat porsi yang lebih besar didalam
konsep komunitas keamanan ASEAN, dengan lebih menciptakan situasi kondusif dalam
hal kebebasan berpartisipasi dan menegakkan hak-hak asasi manusia agar masyarakat
ASEAN bisa melindungi dirinya sendiri.  Memang termasuk tanggung jawab pemerintah
memberi perlindungan pada rakyatnya tetapi perangkat terbaik dalam human security itu
adalah masyarakat itu sendiri. Itu memang tidak akan tercapai tanpa kebebasan politik,
partisipasi, dan pemenuhan hak individu. Semua harus bersifat bottom up, bukan top
down. Referensi model keamanan yang berkisar pada prinsip non interfence yang
mendasari ASEAN Way dewasa ini ditantang oleh suatu model keamanan yang sangat
luas (comprehensive security) dan bersifat non konvensional, yaitu model keamanan
manusia (human security) dan upaya untuk melibatkan masyarakat luas dalam kegiatan
ASEAN. Model ini mengetengahkan kesejahteraan perorangan yang harus dijamin oleh
negara. Ia berpusat pada keamanan atau ketidakamanan manusia sebagaimana ia terkait
dengan negara atau tatanan internasional. Masalah keamanan manusia ini memunculkan
perdebatan tentang intervensi dan non intervensi dalam masalah dalam negeri negara
anggota ASEAN. Kasus Myanmar dan Kamboja merupakan tantangan pertama bagi
kebijakan non intervensi dalam masalah dalam negeri negara anggota ASEAN. (Kraft,
2006 : 26-28). Masalah Myanmar bisa membuat ASEAN dinilai negatif karena ASEAN
akan dianggap mendukung sebuah rezim yang tidak menghormati HAM (Perwita, 2006 :
154), sehingga muncul kesan walaupun pembentukan ASEAN didasarkan pada ikatan
biografis, kesejarahan dan budaya di Asia Tenggara, pada kenyataannya pendorong
utama regionalisme ASEAN lebih banyak ditentukan oleh keinginan untuk menjamin
regime survival. Sampai munculnya ASEAN Charter 2007, semua negara anggota
ASEAN masih menganggap bahwa prinsip non intervensi sangat penting bagi hubungan
antar bangsa. Oleh karena itu, bila penghargaan atas HAM dan Demokrasi dapat dipatuhi
oleh negara-negara anggota ASEAN sebagai bagian dari pemahaman baru keamanan non
konvensional yaitu human security, maka bisa dikatakan bahwa ASEAN bukanlah
melulu Asosiasi pemerintahan, politisi dan birokrat semata, melainkan juga akan menjadi
komunitas yang lebih luas dengan merangkul kalangan masyarakat sampai tingkat paling
bawah, karena selama ini ada anggapan bahwa ASEAN dianggap belum mampu
menciptakan mekanisme partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam memberikan
kontribusi yang lebih bermakna sepanjang perjalanan organisasi regional ini selama lebih
dari 4 dasawarsa.

Di Eropa, berbagai perbedaan masa lalu yang menjadi sumber konflik semakin teratasi dan
melenyap. Sebaliknya, di Asia Tenggara, masalah-masalah warisan kolonialisme bermunculan
dan berdampak pada stabilitas dalam negara dan antar negara, seperti di Timor-Timur
(Indonesia), di Mindano (Filipina), dan Pathani (Thailand). Warisan kolonialisme yang belum
selesai juga telah mengakibatkan sulitnya penyelesaian masalah perbatasan antar negara anggota
ASEAN. Antara Indonesia-Malaysia, misalnya, setelah selesai masalah Sipadan-Ligitan, masalah
baru muncul dan berpotensi dan menganggu hubungan bilateral, misalnya, soal kepemilikan
pulau Ambalat. Ini belum termasuk persoalan dari garis perbatasan darat di sepanjang Pulau
Kalimantan. Demikian pula, Indonesia menghadapi masalah perbatasan dengan Singapura dalam
soal garis perbatasan laut di sekitar Riau, dan dengan Filipina dalam status pulau-pulau di Utara
Sulawesi, yang secara sepihak telah di klaim dalam konstitusi Filipina sebagai miliknya.
Kolonialisme selain meninggalkan konflik domestik, yaitu konflik etnik dan agama dalam negara
anggota ASEAN, juga sangat rawan menimbulkan sengketa antar negara, yaitu sengketa
perbatasan. Kasus ambalat sempat berkembang ke arah yang mengkhawatirkan. Hal ini terjadi
karena negara-negara ASEAN yang terlibat dalam konflik selama ini selalu berusaha menyimpan
masalah yang ada dan tidak berupaya menyelesaikannya secara tuntas di dalam forum ASEAN
(Acharya, 2001 : 6). Ini bisa terjadi akibat masih lemahnya mekanisme resolusi konflik dalam
ASEAN, sehingga selalu saja penyelesaian konflik perbatasan antar negara anggotannya
diserahkan pada mediasi pihak asing, yang hasilnya belum tentu memuaskan semua pihak yang
bersengketa. Belum lagi ditambah kasus Myanmar dan penahanan Aung San Suu Kyi, yang telah
menghasilkan respon yang berbeda dari anggota ASEAN. Respon yang bersikap keras dari
Malaysia, Filipina, dan Singapura sempat mengarah pada wacana pemberian sanksi pada
Myanmar, sekalipun mekanisme semacam itu belum pernah di atur. Dimasa depan, perlu
dipikirkan pemberian sanksi kepada negara-negara anggota ASEAN yang dianggap tidak
mematuhi perjanjian yang telah disepakati. ASEAN bisa dinilai sebagai sebuah organisasi yang
mendukung sebuah rezim yang tidak menghormati HAM dan Demokrasi, karena tujuan ASEAN
lebih banyak ditentukan oleh keinginan untuk menjamin kelangsungan hidup rezim non-
demokratis. Hal ini diperparah ketika ASEAN justru menerima Myanmar menjadi anggota pada
tahun 1997. Sebaliknya, jika ada kewajiban dan sanksi dan demokratisasi menjadi keharusan
bagi setiap negara anggota, maka setiap anggota yang tidak menjalankan dapat dikenakan sanksi,
mulai dari yang ringan yang berat. Sanksi itu bisa berupa pengucilan atau harus menarik diri dari
keanggotaan (Sukma, 2006 : 53).

Prinsip non-interfence dan state soverignty adalah sumber dari persoalan tersebut diatas. Diakui
bahwa prinsip non intervensi dan integritas kedaulatan  nasional terhadap urusan domestik
negara-negara anggota ASEAN merupakan prinsip yang paling kontroversial dalam tubuh
ASEAN, dan oleh karenanya menjadikan perkembangan ASEAN sebagai organisasi regional
menjadi agak terhambat. Seharusnya apabila terdapat isu-isu yang mempengaruhi hubungan
bilateral, regional dan ekstra regional, maka “prinsip non-interfence dapat diabaikan”,
walaupun prinsip tersebut telah melekat dalam tubuh ASEAN sejak awal pembentukannya
(Pitsuwan, 2006 : 11). Masalah state sovereignty (kedaulatan nasional) yang menghambat
perkembangan ASEAN, tidak hanya terkait dengan persoalan batas wilayah, tetapi juga masih
beratnya negara anggota untuk dapat menerima pemberlakuan atas azas supranasional dalam
pengambilan keputusan di ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa, didalam ASEAN perbedaan-
perbedaan identitas nasional semakin menguat dan menyulitkan proses integrasi. Padahal, untuk
dapat terciptanya ASC, setiap negara anggota harus bersedia menanggalkan sebagian kedaulatan
nasional dan menukarkannya dengan kedaulatan bersama atau supranasional. Dengan demikian,
akan mudah bagi ASEAN untuk mengambil keputusan kolektif secara efektif. Tidak seperti
selama ini, setiap keputusan dalam resolusi yang dihasilkan diserahkan atau tergantung kepada
masing-masing anggotanya untuk menjalankannya, tanpa kewajiban untuk menaatinya dan
sanksi yang diberikan, jika terjadi pelanggaran. ASEAN sering terperangkap di antara retorika
dan realita. Selama lebih dari 40 tahun usia ASEAN, organisasi ini sudah banyak berbicara
tentang kerjasama, tetapi ketika betul-betul di butuhkan malah tidak terjadi. Dibalik semua sopan
santun tentang solidaritas dan kerjasama, semua persoalan yang dapat menegangkan daya santai
kelompok regional ini dan prinsip tidak saling mencampuri urusan dalam negeri jelas harus
dikaji ulang. Norma dan prinsip ASEAN yang masih berlaku, yaitu memendam konflik dengan
senyum di padang golf sementara suasana di sekitarnya diselimuti oleh masalah kawasan lintas
batas yang tak kunjung padam karena mekanismenya tidak efektif dan efisien. Apa yang disebut
sebagai satu Asia Tenggara (One Southeast Asia) tetaplah merupakan kumpulan dari banyak
pusat pengambilan keputusan dengan mekanismenya masing-masing. Minimnya kepedulian
rakyat ASEAN akan organisasi ASEAN jelas merupakan kelemahan lain dari ASEAN yang
dapat menghambat akselerasinya dalam menuju integrasi komunitas ASEAN 2015. Dibenak
mereka ASEAN hanya berupa akronim organisasi di wilayah Asia Tenggara. ASEAN bukanlah
identitas mereka. Konsep We Feeling yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata
bukanlah apa-apa bagi mereka.  Amitav Acharya yang seorang konstruktivist dan banyak
diilhami oleh pemikiran Karl Dutsch menyatakan bahwa membentuk suatu komunitas dalam
bidang apapun, maka We Feeling itu harus sudah ada. Tetapi jika kita lihat pada komunitas yang
ada di ASEAN, bahwa We Feeling itu tidak ada sama sekali, apalagi jika disangkut pautkan
dengan budaya dari masing-masing negara. We Feeling itu hanya akan ada ketika memang
terjadi ancaman yang dianggap hal berbahaya secara bersama-sama. Identitas sebagai satu
ASEAN saja tidak dimiliki oleh masyarakat setiap negara anggota, karena didalam internal
negara-negara itu sendiri masih terjadi konflik antar ras, budaya suku. Bagaimana mungkin
mengakui bahwa kita sebagai suatu identitas regional bersama, jika didalam negeri saja identitas
nasional masih menjadi masalah. Tradisi ASEAN yang telah berhasil melayani para anggotanya
selama lebih dari 40 tahun dalam mengambil keputusan bersama yang berdasarkan musyawarah
untuk mencapai mufakat mungkin akan menghadapi tantangan besar dimasa depan. Pemerintah
negara anggota ASEAN makin lama akan makin sering mendengarkan keluhan dan tuntutan dari
rakyat negaranya sendiri dan rakyat negara anggota lainnya. Jika ada mekanisme untuk
menyalurkan keluhan dan tuntutan tersebut maka slogan satu Asia Tenggara akan benar-benar
memiliki makna. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa masalah besar yang dihadapi ASEAN
selama ini adalah lemahnya implementasi dari berbagai prakarsa dan program yang telah
disepakati bersama, baik di tingkat para pemimpin ASEAN maupun di tingkat pertemuan
menteri-menteri ASEAN. Negara-negara ASEAN memang pandai didalam merumuskan
program-program kerjasama, mengadakan seminar, konferensi, workshop, lokakarya, atau
meeting (rapat), tetapi senantiasa lemah dalam pelaksanaannya. Hal ini diakui dalam laporan
eminent persons groups (EPG) on the ASEAN Charter (Desember 2006) dan menjadi landasan
bagi usulan untuk memperkuat kelembagaan ASEAN, termasuk peran dari sekretaris Jenderal
ASEAN. Selain memperkuat peran Sekretariat ASEAN, kegiatan pemantauan (Monitoring)
diusulkan untuk melibatkan pihak-pihak non pemerintah agar dapat dibuat penilaian yang
obyektif dan dapat dikembangkan mekanisme yang dapat mendorong proses pelaksanaan
kesepakatan oleh masing-masing negara ASEAN (Soesastro, 2007 : 321). Disini pemimpin
negara-negara ASEAN harus segera mengesampingkan basa basi khas ASEAN dan muncul
dengan langkah-langkah nyata untuk mengatasi masalah yang melintasi garis batas kedaulatan
negara.

Pengembangan mekanisme yang terkait dengan masalah kelembagaan ASEAN ini merupakan
tantangan terbesar bagi ASEAN. Sejauh ini negara-negara anggota ASEAN selalu enggan untuk
mengembangkan kelembagaan ASEAN. Sebagai akibatnya, kerja sama ASEAN kini melibatkan
beberapa ratus pertemuan dalam setahun dan bahkan mungkin secara riil hanya terjadi dalam
pertemuan-pertemuan itu. Lemahnya kelembagaan ASEAN adalah akibat dari kekhawatiran
negara-negara ASEAN mengenai pengaruh pengembangan kelembagaan regional terhadap
kedaulatan nasional mereka. Tetapi keinginan untuk mempertahankan kedaulatan nasional
secara absolut sebenarnya bertentangan dengan kesepakatan untuk memperdalam integrasi
ASEAN dan  mewujudkan ASEAN Security Community (ASC). Menurut hemat penulis, untuk
bisa menjalankan rencana aksi ASC yang lain terutama di bidang Political Development dan
Conflict Resolution jelas mutlak diperlukan ‘reintepretasi’ dan ‘revitalisasi’ atas prinsip non-
interference dan state sovereignty.

Daftar Pustaka

http://oseafas.wordpress.com/2010/06/25/plan-of-aaction-asean-security-community-prospek-
kendala/

Vous aimerez peut-être aussi