Vous êtes sur la page 1sur 10

TUGAS KELOMPOK

EUTHANANSIA

ANGGOYA KELOMPOK:
AGUNG BUDI C
BANGKIT S
EKO BAGUS
PRIYO BHEKTI N
SEVY
WELLA

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 1
Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang
dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian.Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan
belum berhasil menguaknya.Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu
diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah
merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk
mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna
menghentikan penderitaannya?Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah
euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan
perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.

Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk
dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam
menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini
menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri
hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih
mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi
hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.

Sebagai dampak  dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok),
kecuali manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum, sosial,
budaya, & aspek lainnya.Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup & mati.
Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya,
berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.Kadang
upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung
kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara
klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan
bantuan berbagai alat medis.

Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.
Permasalahan penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh
dokter maupun keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau
dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi,
sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis
tersebut merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Sampai saat ini, euthanasia masih
menimbulkan pro & kontra di masyarakat.

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 2
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan
penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita.
Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan
memperbaiki resiko hidupnya.Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa
euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.Menurut PP
no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani yang
diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut
jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di 
Indonesia.

Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya
kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya
terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup.Para ahli sependapat jika definisi hidup
adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang
utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas
lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang
utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.

Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi


hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan
bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula
dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP
tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”

Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”

Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas
tahun.”

Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”

Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 3
Dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam
bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua masalah
yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter
& tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita
penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali
menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon
dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut
euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada
gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter
tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis
dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan
medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

Hubungan hukum  dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314,
1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian.
Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan
kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya
dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, &
bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek
atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan
pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk
mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari
penderitaan karena penyakitnya.

Pembahasan
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati.Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat
diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.Menurut Philo (50-
20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi
dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana,
masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau
membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah
melakukan kejahatan?

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 4
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan bunuh diri
dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan yang
dilarang & diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi.Amos
Shapira berpendapat bahwa dengan  konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai tindakan
yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya ‘hak untuk mati’.Dilihat dari segi
agama Samawi, euthanasia & bunuh diri merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah
kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan
yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.

Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas
tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak
atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh
siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1. Berpindahnya  ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
& keluarganya.

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali
di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.

B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian
infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.

C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 5
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat
sebagai berikut:

- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit
jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan
fisik & jiwa yang tidak menunjang.

- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan
untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.

- Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin
individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan,
tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.Sampai saat ini,
kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa
membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan
dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat,
euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah
memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-
Amerika Serikat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat
diobati, misalnya kanker.

- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu
kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi
dengan pemberian morfin.

- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang
merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat
tidaknya dilaksanakan euthanasia.

Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.Indonesia sebagai
negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak
mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu
“daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai
perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan
untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 6
Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu
pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien
itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat
menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin
hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa
dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI
no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan
di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang


Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI
sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih
memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338,
340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP
sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”,
karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan
berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344
KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan
yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

Aspek Hak Azasi Manusia

Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya.
Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan
tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 7
layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala
penderitaan yang hebat.

Aspek Ilmu Pengetahuan

Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk


mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah
seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di
samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya
keuangan.

Aspek Agama

Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga
tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak
jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas
dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya.

Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, &
putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi
penyakitnya? Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia
tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda
proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan
kehendak Tuhan.

Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif.
Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat
publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas
merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip
itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau
jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 8
Contoh kasus euthanansia

Kasus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama
ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990
saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan
gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi,
tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh
ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian
dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak
menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998
suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat
bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun
orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh
langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri
dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas
perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan
boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna
menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan
pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini
langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden
George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah
independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim
terdahulu.

Kasus rumah sakit Boramae - Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun,
telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien.
Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak
perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter
yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak
dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat
menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan
bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama
24 jam saja.

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page 9
Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi
nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula adanya
‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia diperbolehkan
untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang.
Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-
mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu
masyarakat tertentu.

Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di
Indonesia yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai
ke pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan karena:

- Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga sulit
untuk pengusutan lebih lanjut.

- Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena masyarakat
Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.

- Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, & kalaupun
ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai pencegah
kematian seorang pasien secara teknis.

Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk
dipenuhi unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka
dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan. Namun dalam hal euthanasia hendaknya
tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-
macam.Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal &
tidak mungkin lagi diobati.Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah
terjadi di Belanda misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan. Bahkan pada
beberapa kasus nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap dilarang.
Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan tetapi
perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk menerapkannya
atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut.Agar pasal 344 KUHP dapat
diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius constituendum’ hukum pidana,
bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar kenyataan yang yang terjadi &
disesuaikan perkembangan di bidang medis.
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia / Page
10

Vous aimerez peut-être aussi