Vous êtes sur la page 1sur 4

Tujuan Parindra ialah Indonesia Raya dan untuk mencapai

tujuan tersebut dilakukan usaha-usaha sebagai berikut.


a. Memperkokoh semangat persatuan kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasar
demokratis dan nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik bidang ekonomi maupun
sosial.
Pada saat berdirinya Parindra telah memiliki 53 cabang dengan 2.425 orang
anggota, dan pada tahun 1936 naik menjadi 57 cabang dengan 3.425 orang
anggota. Dalam kongresnya yang pertama di Jakarta pada tanggal 14-18 Mei
1937, Parindra mengambil sikap moderat ("luwes") tidak bersikap kooperatif
dan juga nonkooperatif. Sikap moderat dinilai sangat fleksibel dan lebih
menguntungkan, dengan situasi dan kondisi serta kepentingan bangsa. Dengan
sikap moderat, Parindra dapat mendudukan wakilnya di dalam Volkrsraad, yaitu
Muh. Husni Tamrin. Usaha Parindra lebih banyak dicurahkan dalam pembangunan
terutama di bidang ekonomi dan sosial, antara lain sebagai berikut:
a. mendirikan poliklinik-poliklinik;
b. mendirikan Rukun Tani untuk membantu dan memajukan kaum tani;
c. membentuk sarekat-sarekat kerja;
d. menganjurkan swadesi dalam bidang ekonomi, ditempuh dengan
mendirikan bank-bank yang berpusat pada Bank Nasional Indonesia di
Surabaya.
e. Membentuk Rukun Pelayaran Indonesii (Rupelin) untuk membantu dan
memajukan pelayaran bangsa Indonesia.
f. Mendirikan organisasi pemuda berbentuk kepanduan dengan nama Surya
Wirawan.
Akibat kegagalan Petisi Sutardjo, Parindra kemudian mengambil prakarsa
untuk menggalang persatuan politik menunju pembentukan badan konsentrasi
nasional, yang disebut Gabungan Politik Indonsia (GAPI).
Parindra 1935 (Dulu Boedi Oetomo)
Partai Indonesia Raya atau Parindra adalah suatu partai politik yang berdasarkan nasionalisme
Indonesia dan menyatakan tujuannya adalah Indonesia Mulia dan Sempurna yang meliputi
kemerdekaan, kesejahteraan dan kebahagiaan.. Parindra menganut azas cooperatie alias bekerja
sama dengan pemerintah Hindia Belanda dengan cara duduk di dalam dewan-dewan untuk waktu
yang tertentu.
Sejarah
Pada pertengahan tahun 1930an, pemerintah kolonial Belanda melakukan kegiatan-kegiatan
polisional untuk melemahkan pergerakan kebangsaan yang bertujuan untuk mencapai Indonesia
Merdeka. Pada saat itu Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal de Jonge.
Demikianlah kemudian pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Soekarno pada bulan Februari
1934 ke Ende di Pulau Flores, Hatta dan Sjahrir ke Boven Digul di awal tahun 1935 serta
menjatuhkan hukuman “vergaderverbod” (larangan berkumpul) bagi aktivis PNI Baru dan
Partindo.
Namun demikian secara umum peraturan larangan berkumpul yang dikeluarkan tidak ditujukan
bagi pergerakan kebangsaan yang menggunakan azas kooperatif dengan penguasa Hindia
Belanda. Sehingga demikian organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Persatuan Bangsa
Indonesia dan lainnya tidak terkena dampak larangan ini.
Dr. Soetomo, salah seorang pendiri Budi Utomo, pada akhir tahun 1935 di kota Solo, Jawa
Tengah berusaha untuk menggabungkan antara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), Serikat
Selebes, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Budi Utomo, dan lainnya, sebagai tanda berakhirnya
fase kedaerahan dalam pergerakan kebangsaan, menjadi Partai Indonesia Raya atau Parindra.
PBI sendiri merupakan klub studi yang didirikan Dr. Soetomo pada tahun 1930 di Surabaya,
Jawa Timur.
Parindra resmi berdiri dengan ketua Dr. Sutomo dan wakilnya RMA Wurjaningrat pada 26
Desember 1935. Pusat partai ada di Surabaya.
Kegitan
Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat
pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun
perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank
Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat
kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini mendapat semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada saat itu, van Starkenborg, yang menggantikan de Jonge pada tahun 1936. Gubernur
Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan de Jonge, menjadi
beambtenstaat(negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-
organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya
menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada bulan Mei
1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak
19.500 orang.
Ketika Dr. Soetomo meninggal pada bulan Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra
digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad.
Sebelum menjadi ketua Parindra, Moehammad Hoesni Thamrin telah mengadakan kontak-
kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di panggung
politik Volksraad.
Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia
Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Soekarno. Maka pada tanggal 9
Februari 1941, rumah Moehammad Hoesni Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda
Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria, selang dua hari kemudian Muhammad Husni
Thamrin menghembuskan nafas yang terakhir. Penyebab kematiannya masih merupakan teka-
teki hingga saat ini.
Salah satu bukti kedekatan Parindra dengan Jepang yaitu ketika Thamrin meninggal dunia, para
anggota Parindra memberikan penghormatan dengan mengangkat tangan kanannya. Bukti lain
adalah pembentukan gerakan pemuda yang disebut Surya Wirawan (Matahari Gagah Berani),
yang disinyalir nama ini bertendensi dengan negara Jepang.
Dengan demikian Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerjasama dengan pemerintahan
Hindia Belanda di awal berdirinya, akan tetapi dicurigai di akhir kekuasaan Hindia Belanda di
Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan Rukun Tani, menyusun serikat
pekerja perkapalan dengan mendirikan Rukun Pelayaran Indonesia (Rupelin), menyusun
perekonomian dengan menganjurkan Swadeshi (menolong diri sendiri), mendirikan Bank
Nasional Indonesia di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat
kabar dan majalah.

Kegiatan Parindra ini mendapat semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada saat itu, van Starkenborg, yang menggantikan de Jonge pada tahun 1936. Gubernur
Jenderal van Starkenborg memodifikasi politiestaat peninggalan de Jonge, menjadi
beambtenstaat(negara pegawai) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-
organisasi yang kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938, anggotanya
menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur. Pada bulan Mei
1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan memiliki anggota sebanyak
19.500 orang.

Ketika Dr. Soetomo meninggal pada bulan Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra
digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota Volksraad.
Sebelum menjadi ketua Parindra, Moehammad Hoesni Thamrin telah mengadakan kontak-
kontak dagang dengan Jepang sehingga ia memainkan kartu Jepang ketika ia berada di
panggung politik Volksraad.

Karena aktivitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia
Belanda menganggap Thamrin lebih berbahaya daripada Soekarno. Maka pada tanggal 9
Februari 1941, rumah Moehammad Hoesni Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda
Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria, selang dua hari kemudian Muhammad Husni
Thamrin menghembuskan nafas yang terakhir.

Salah satu bukti kedekatan Parindra dengan Jepang yaitu ketika Thamrin meninggal dunia, para
anggota Parindra memberikan penghormatan dengan mengangkat tangan kanannya. Bukti lain
adalah pembentukan gerakan pemuda yang disebut Surya Wirawan (Matahari Gagah Berani),
yang disinyalir nama ini bertendensi dengan negara Jepang.

Dengan demikian Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerjasama dengan pemerintahan
Hindia Belanda di awal berdirinya, akan tetapi dicurigai di akhir kekuasaan Hindia Belanda di
Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang bermain mata dengan Jepang untuk memperoleh
kemerdekaan.

Vous aimerez peut-être aussi