Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Isi Buku
Tentang Penulis
Isi Buku
BAB SATU
Jejak Sejarah Tangerang
Asal Usul China Benteng
Kampung Teluk Naga
China Benteng
Tragedi China Benteng
Bangunan Bersejarah
Bendungan Pintu Sepuluh
Jaringan Drainase
Kelenteng Boen San Bio
Asal Mula Kata Kelenteng
Situs Bersejarah
Kelenteng Boen Tek Bio
Rumah Tua Kapitan Tionghoa
BAB DUA
Asal Usul Budaya Lokal
Gambang Kromong
Peh Chun
Tari Cokek
Tamu Terhormat
Dinamis dan Erotis
Tradisi Perkawinan Chiou Thaou
Makan 12 Mankuk
Taburan Beras Kuning
Musik Tanjidor
BAB TIGA
Jatidiri Masyarakat Kota Tangerang
Kota Tangerang Berubah
Kota Seribu Pabrik
Peluang Investasi
Pengembangan Industri
Mewujudkan Visi
Menjalankan Misi
A. Pemulihan Ekonomi
B. Peningkatan Pelayanan Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial
Potensi Urban Heritage Tourism
Perda Cagar Budaya
Landmark Kota
BAB EMPAT
Pembangunan Peradaban
Daftar Pustaka
BAB SATU
AWAL mula berdirinya bebrapa kerajaan dan kota besar di bumi ini umumnya
diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaries. Demikian
halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Romus, kakak
beradik yang dibesarkan oleh seekor srigala. Demikian juga juga diceritakan
tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan keturunan dewi matahari, yang
sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang.
Tetapi tidak jika kita berbicara sejarah Tangerang, yang tidak bisa
dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah
peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan
Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam
jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam
masyarakat Tangerang.
Sungai Cisadane membujur dari selatan didaerah pegunungan ke utara di
daerah pesisir. Sungai ini amat berperan penting dalam kehidupan masyarakat di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini. Yang berubah
hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman kerajaan Tarumanegara (abad ke-15)
hinggga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19), sungai ini berperan
sebagai sarana lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan
daerah pesisir.
Disamping itu, sungai Cisadane juga menjadi sumber penghidupan
manusia yang bermukim di sepanjang DAS ini. Antara lain untuk mengairi areal
persawahan dan perikanan di daerah dataran rendah bagian utara Tangerang.
Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada,
beras, kayu, dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah
Tangerang. Sebaliknya, keperluan hidup penduduk pedalaman seperti garam,
kain, gerabah, dan lain-lain, dapat didatangkan daerah pesisir dan luar daerah
Tangerang. Sementara, peranan kedua dapat meningkakan produksi pertanian,
terutama produksi beras, selain untuk mencegah bahaya banjir.
Sejatinya, pada awal abad ke-16, zaman kerajaan Sunda, Tangerang
tampil sebagai kota pelabuahn bersama-sama Banten dan Sunda Calapa
sebagaimana tertulis dalam Summa Oriental karangan Tome Pires, orang
Portugis yang memuat laporan kunjungan dari 1512-1515. Dokumen tersebut
menurut A. Heuken SJ, ahli sejarah Jakarta, adalah dokumen tertua yang
menyebut nama ini. Sunda Calapa atau Chia liu-pa (menurut Ma Huan, muslim
China yang menulis laporan pelayaran armada Laksamana Zeng-Ho, yang
kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad ke XV) adlah nama
pelabuhan tertua di Jakarta.
Yang berbeda diantara ketiga pelabuhan di Tangerang, Banten dan
Jakarta itu hanyalah tingkatan kualitas dan kuantitas kegiatannya. (sunda)
Calapa menjadi pelabuhan paling sibuk ketika itu lantaran lokasinya paling dekat
dan dapat berhubungan langsung melalui jlan darat dan jalan air (Sungai
Ciliwung) dengan Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan Sunda.
Selain itu, (Sunda) Calapa menjadi pusat kota pelabuhan Kerajaan Sunda.
Dibawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan kota
pelabuhan paling barat Pulau Jawa. Posisi Banten juga sangat strategis, setelah
Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511 lantaran Selat Sunda dan pesisir barat
Sumatera menjadi jalur utama perdagangan.
Sedangkan Pelabuhan Tangerang termasuk pelabuhan yang sepi hingga
menempati peringkat paling bawah kesibukannya, karena lokasinya berada
diantara dan berdekatan dengan Banten dan (Sunda) Calapa. Lokasi ketiga kota
pelabuhan berada disekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota
pelabuhan Banten, Sungai Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan
Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan Calapa.
Selanjutnya, sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Calapa (berubah
menjadi Jayakarta sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527)
mengembangkan diri menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan.
Didukung oleh Cirebon dan Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat
penyebaran agama Islam, pemerintahan, dan perniagaan laut (maritim) di Tatar
Sunda bagian barat dan Sumatera bagian selatan. Puncak keemasan
Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada masa
pemerintahan Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkhadir (1596-1651) dan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sedangkan, Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan
Pakuan Pajajaran ke dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan
Banten, setelah jatuh ke dalam kekuasaan kompeni Belanda pada 1619 dan
namanya diganti dengan Batavia, berhasil mengembangkan diri. Mula-mula
Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat perdagangan Kompeni
(VOC) di Nusantara, kemudian sejak tahun 1800 menjadi pusat pemerintahan
dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Semenjak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia
berlangsung persaingan perdagangan yang keras. Di satu pihak, Kompeni
Belanda mendesakkan keinginan untuk melakukan monopoli perdagangan
diwilayah Kesultanan Banten. Namun di pihak lain, Sultan Banten sendiri
mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan Negara. Saking
kerasnya persaingan itu, alhasil berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya
knflik senjata. Mula-mula pada 1652, berbentuk konflik senjata secara tertutup,
namun kemudian pad 1659 berbentuk perang terbuka.
Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang menjadi daerah
pertahanan sekaligus medan pertempuran serta rebutan antara Banten dan
Batavia. Dalam perkembangan berikutnya, pihak Banten membangun benteng
pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak kompeni Belanda
membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah
sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru muncul nama
Tangerang.
Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama
serdadu sewaan yang berasal dari kalangan orang Nusantara sendiri, dan taktik
adu-domba (devide et impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh
ketangan kekuasaan Kompeni Belanda. Mula-mula pada 1569, daerah sebelah
timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan Kompeni, kemudian tanah di sepanjang
Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai ke muara dan daerah sebelah
selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra Hindia) ditetapkan
masuk ke wilayah Batavia (1684).
Akhirnya pada 1809, Kesultanan Banten dihapuskan serta seluruh
wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu,
berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daeah tapal batas antara Banten dan
Jakarta, karena seluruhnya berada dibawah kuasa pemerintah Kolonial Hindia
Belanda.
Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan
jalan bagi perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah
rebutan antara Banten dan Batavia, Tangerang kemudian menjadi daerah
partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi sepetak tanah di Tangerang dikuasai
oleh pihak partikelir secara perseorangan dan perusahaan.
Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari
orang Belanda dan orang China. Disamping menguasai tanah garapan dan
lingkungannya, mereka juga mneguasai penduduk yang bermukim di lahan itu.
Penduduk setempat berkewajiban menggarap tanah milik tuan tanah dengan
upah kecil, padahal mereka pun harus membayar berbagai pajak dan pungutan
lainnya.
Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat
kesejahteraan tuan tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain
itu, tuan tanah lebih berkuasa daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan
tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah mandor yang bertindak sebagai
jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah. Keberadaan dan fungsi
jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala umum dan ciri
khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian membentuk
struktur dan karakter masyarakat tersendiri dilingkungan tanah partikelir.
Pendidikan sekolah hampir tak tersentu oleh bagian terbesar penduduk
pribumi. Mereka mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam
secara individual, atau pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan
kedudukan orang keturunan China dan jawara dalam masyarakat Tangerang
demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan peristiwa selama revolusi
kemerdekaan pada tahun 1945-1949.
Pada masa itu orang-orang keturunan China di daerah ini pernah
menjadi sasaran amuk rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah
terhadap mereka karena dicurigai membantu pihak kolonial. Pernah pula
dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan jawara yang berjiwa merah
dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik Indonesia.
Mereka mendirikan negara di dalam negara.
Pada mulanya, penduduk Tangerang boleh dibilang hanya beretnis dan
berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta
pendatang dari Banter., Bogor dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang
penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang
beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan
perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati
daerah pesisir Tangerang sebelah barat.
Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni
Belanda di bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis
dan budaya Melayu Betawi. Dinamakan demikian, karena mereka berbicara
dalam bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sosialnya dan bertempat
tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi bagi Kota Batavia.
Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling Kota
Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir
sebelah timur dan daerah pedalaman timur Tangerang.
Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang China
dalam jumlah banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah
Tangerang, sebagai dampak dari pemberontakan orang-orang China di
Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah partikelir. Keturunan
orang China ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah
pesisir Tangerang sebelah timur.
Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan
Melayu Betawi. Dari pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang
bercirikan Melayu Betawi dan China yang kini populer disebut budaya
Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain.
Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan
budaya di Tangerang terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur
berpenduduk etnis Betawi dan China serta berbudaya Melayu Betawi.
Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya
Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda.
Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan
berbudaya Jawa.
Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda,
kedudukan Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat
dan struktur pemerintahan. Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal
abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai salah satu kota pelabuhan dalam
lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota pelabuhan berada di
bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung
kepada raja Sunda.
Ketika Tangerang berada di bawah kuasa Kesultanan Banten sejak
1526, sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat
pemerintahannya berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa
sekarang. Tatkala sebagian daerah ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak
1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini dipimpin oleh seorang
komandan militer Belanda.
Namun, ketika seluruh daerah ini berada di bawah kuasa Kompeni
Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai sejak 1682,
pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang
dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk
pribumi.
Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh
di Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels (1808-1811). Tingkat dan struktur pemerintahan di daerah
Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah wilayah
administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en
Jacatrasche Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya
serta wilayah Jakarta-Priangan) yang kemudian disebut Keresidenan
Batavia.
Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah
seorang Asisten Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda.
Selanjutnya sejak tahun 1860-an, daerah ini berstatus afdeling yang
disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh Asisten Residen.
Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang
Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak
1880-an) masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan
Distrik Mauk; lalu ditambah dengan Distrik Curug.
Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut
demang, kemudian berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur
pemerintahan demikian di Tangerang berlangsung hingga akhir
kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).
Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga
dengan ibu kota pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah
strategis. Dengan demikian, tingkat dan struktur pemerintahannya
dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga pendidikan militer
(Seinendojo).
Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu
Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya
dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan
R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R Atik Suardi adalah
aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang
pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional
masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu R. Pandu
Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat
sambutan hangat dari para pemimpin dan masyarakat Tangerang.
Wujudnya terdiri atas dua bentuk.Pertama, menegakkan kemerdekaan
dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang yang me-
nunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke
bawah.
Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan
melawan pihak asing dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah
kembali dan pihak yang mau mendirikan negara sendiri yang tidak
mengakui keberadaan Republik Indonesia. Terjadilah revolusi
kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa ditegakkan di
Tangerang.
Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa
Republik Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini.
Kabupaten ini jadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta
perkembangan Kota Tangerang yang meningkat pesat, status
pemerintahan di Kota Tangerang sendiri ditingkatkan. Tadinya kota itu
adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif. Kota Tangerang yang
memiliki luas wilavah 17.729,794 hektar dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang.
Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten 'I'angerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan
demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang
setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sementara itu,
dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.
bergotong royong
Tangerang, 1996
China Benteng
TIDAK seperti China peranakan pada umumnya yang berkulit putih
meletak, kebanyakan China peranakan di Tangerang berkulit gelap.
Tengoklah Ong Gian (47). Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja
sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok
kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan
perkawinan.
Nenek moyangnya adalah China Hokkian yang datang ke Tangerang
dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan
perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.
China Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang
China berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan
atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin,
meski sudah jarang yang jago kungfu, wushu atau ilmu bela diri ala China
lainnya. Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang,
sebagian besar China Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan.
Bahkan, ada juga pengayuh becak.
Sejarah China Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan
Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai
dan merupakan permukiman pertama masyarakat China di sana. Struktur
tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang.
Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir,
Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang
tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pechinan.
Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang China dipindahkan ke
kawasan Pasar Baru, Tangerang dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-
daerah lainnya. Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi
(sistem barter) barang orang-orang China yang datang lewat sungai dengan
penduduk lokal.
Mengenai asal-usul kata China Benteng, menurut sinolog dari Universitas
Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng
Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-
sekarang sudah rata dengan tanah terletak di tepi Sungai Cisadane, di
pusat Kota Tangerang.
Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang China Tangerang yang kurang
mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah
sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di
sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "China Benteng".
Pada 1740, terjadi pemberontakan orang China menyusul keputusan
Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang China yang
dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di per-
kebunan-perkebunan milik VOC.
Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke
perkampungan-perkampungan China di Batavia (Jakarta). Sedikitnya
10.000 orang tewas, dan sejak itu hanyak orang China mengungsi untuk
mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong,
Cisoka, I.egok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.
Itulah sebabnya, banyak orang China yang tinggal di pedesaan di
pelosok Tangerang di luar kawasan peChinan di Pasar Lama dan Pasar
Baru. Meski demikian, menurut pemerhati budaya China Indonesia, David
Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap
disebut sebagai China Benteng.
Sebagai kawasan permukiman China, di Pasar Lama dibangun
kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan
bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1689, di Pasar
Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala). Kedua kelenteng itulah
saksi sejarah bahwa orang-orang China sudah berdiam di Tangerang lebih
dari tiga abad silam. Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain
ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain
menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di
Kotamadya Tangerang adalah orang China Benteng. Angka statistik April
2002 ini tidaklah mengherankan, karena Pasar Lama masuk dalam wilayah
Sukasari. Menurut Sherly, kehidupan masyarakat China Benteng memang
keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka
bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.
Yang unik dari masyarakat China Benteng adalah bahwa mereka sudah
berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal.
Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi
berbahasa China. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran
bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat China
Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup
kesehariannya juga banyak yang petani miskin.
Logat China Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat,
"Mau ke mana", misalnya, kata "na" diucapkan lebih panjang sehingga
terdengar "mau kemanaaaa".
Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong
yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat China Benteng.
Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta
perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan
budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.
Meski demikian, masyarakat China Benteng masih mempertahankan
dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan
tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah
satunya tampak pada keberadaan "Meja Abu" di setiap rumah orang
China Benteng.
Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain, Cap Go
Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Peh Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan),
dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan). Demikian pula panggilan
encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada
orang yang lebih tua. Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga
China Benteng pada saat bertemu dengan orang lain.
Yang khas dari masyarakat China Benteng adalah pakaian pengantin
yang merupakan campuran budaya China dan Betawi. Pakaian pengantin
laki-laki, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari
topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi China-
Betawi yang tampak pada kembang goyang.
Secara ekonomi, masyarakat tradisional China Benteng hidup pas-
pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.
Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03
RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus
bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian,
petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang
kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.
Fenomena China Benteng, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya
kebudayaan China dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan
China Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang China
memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka
bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang
ekonomi.
David Kwa, seperti juga Wilson Tjandinegara, lebih melihat fenomena
China Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang
terjadi secara alamiah. Masyarakat China Benteng hampir tidak pernah
mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin,
persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh
orang-orang yang punya kepentingan politik.
Realitas China Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan
ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis China sesungguhnya sama
dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya
dari Betawi, melihat realitas China Benteng sebagai wajah lain Indonesia.
Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.
Tragedi China Benteng
HITAM putih wajah China Benteng itu juga menyisakan kisah
pilu. Sekitar Juni 1946, terjadi kerusuhan di Tangerang yang menimpa
etnis tersebut. Sedikitnya ada lima desa, yakni Rajeg, Gandu, Balaraja,
Cikupa, dan Mauk, yang dilaporkan membara. Perkampungan China di
wilayah itu diobrak-abrik massa. Puing-puing berserakan di sana-sini.
Tragedi itu disulut sebuah kabar santer ada tentara Nica beretnis
Tionghoa yang menurunkan bendera merahputih dan menggantinya
dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan
meluas dan memicu kemarahan. Apalagi, ketika itu masih zaman perang
kemerdekaan. Republik yang belum genap setahun, harus menghadapi
agresi tentara Belanda. Dan ada ketegangan sosial: di wilayah itu, ada
sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk.
Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah
w arga pribumi. Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja
goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang, tulis Rosihan Anwar
dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Pada bulan Mei 1946, sebanyak 636 orang Tionghoa, termasuk 136
orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah
menjadi korban pembunuhan. Sekitar 1.268 rumah etnis Tionghoa habis
dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang pengungsi
di Jakarta yang datang dari daerah tersebut.
Laskar Rakyat yang marah lalu menangkapi para lelaki keturunan China.
Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang
berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki China dari seantero
Tangerang. Mereka, banyak di antaranya petani miskin, disekap dengan
perlakuan yang memprihatinkan. "Malam tida ada lampoe. Orang kentjing
dan boewang aer deket soemoer. hingga tempat di sakiternya penoeh
kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem,
minoemnja dengen bereboetan", tutur seorang korban penyekapan yang
diwawancarai Star Weekly, koran mingguan yang dikelola wartawan
keturunan Tionghoa.
Kabar mengenaskan ini segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan
China tergedor hatinya. Senin, 10 Juni, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang
tergabung dalam Poh An Tui bergerak ke Tangerang menolong para
Hoakiau yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua
kelompok. Yang pertama datang ke Mauk dan membebaskan tawanan.
Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni
etnis China. Tercatat, sekitar 2 . 0 0 0 warga keturunan diungsikan ke
Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Dari rombongan pengungsi inilah diperoleh kabar tak sedap: terjadi
penyerangan seksual atas perempuan etnis China. Tidak ada data statistik
yang jelas, hanya dikatakan bahwa tidak sedikit perempuan Tionghoa yang
diperkosa.
Ihwal kekerasan seksual itu akhirnya tak terungkap jelas. Hanya saja,
sebuah advertensi yang dimuat Star Weekly, 9 Juni 1946, menyerukan hari
berkabung untuk ratusan atawa ribuan Hoakian -disebut China Benteng
yang tewas di Tangerang. Bisa jadi, iklan itu dilebih-lebihkan. Tapi, tak satu
pun sumber yang menyebut dengan pasti berapa jumlah korban
sesungguhnya, termasuk korban penyerangan seksual.
Tak lama setelah tragedi itu meledak, pemerintah mulai turun tangan.
Menteri Penerangan M. Natsir meninjau lokasi kerusuhan bersama
beberapa wartawan. Namun, fakta otentik peristiwa itu tetap gelap.
Menurut Rosihan Anwar, tak ada perkosaan, hanya rumah-rumah mereka
yang dibakar. Pengikut Poh An Tui yang pro Nica dibunuhi rakyat.
Bangunan Bersejarah
IBARAT pepatah, `lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya',
begitu juga dengan sejarah berdirinya sebuah kota. Dia bisa ditelusuri dari
perjuangan masyarakatnya, kondisi bangunan tua dan masih banyak saksi
bisu lainnya. Semua itu bisa menceritakan perjalanan panjang masa lalu
sebuah kota, terutama ketika memasuki masa jaya.
Keberadaan bangunan tua memberikan sumbangan yang besar
terhadap kebudayaan kota tempat bangunan tersebut berdiri. Seperti
dijelaskan di muka, Kota Tangerang memiliki sejumlah bangunan tua yang
menyebar di pelbagai sudut kota. Sebagian besar gedung itu masih
difungsikan hingga kini, walau ada yang dibiarkan kuyu, berlumut tak
terurus.
Gedung-gedung tua itu menjadi nafas masa lalu yang terus berhembus
hingga sekarang. Denyut modernisasi kota seakan tidak berpengaruh
terhadap keberadaan bangunan-bangunan tua itu. Semuanya tetap berdiri
tegak, di tengah "peradaban baru” yang ada di sekitarnya. Di antara
bangunan-bangunan tua tersebut yang dapat disebutkan di sini adalah
sebagai berikut:
Jaringan drainase
SISTEM jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi dua, yaitu
sistem drainase makro/drainase alam, yaitu sungai dan anak-anak sungai
yang berfungsi sebagai badan air penerima. Sistem drainase mikro meliputi
saluran primer, sekunder, dan tersier dengan total panjang saluran sekitar
192.763 meter.
Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi Sungai Cisadane dan
empat buah sungai kecil yang melintasi wilayah kota sebagai badan air
penerima dari sistem drainase alam kota yaitu: Kali Sabi yang mengalir
mulai dari Jatiuwung. Selain itu, ada kali Angke di kawasan Ciledug, Sungai
Cicarap di Pasar Kamis dan Kota Bumi, Sungai Cantiga di Ciputat, dan
Pesanggrahan di Pondok Aren.
Kelima sungai tersebut mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas
dengan muara ke sebelah Utara dan berakhir di Laut Jawa. Selain sungai
yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut, terdapat juga Situ
Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 120 hektar.
Melihat kondisi topografi Kota Tangerang yang berada pada
ketinggian 0-30 m di atas permukaan laut, kemiringan lahan antara 0-3
derajat yang relatif datar, berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir.
Apalagi curah hujan yang cukup tinggi antara 15000-2.000 millimeter per
tahun serta 52 persen dari panjang saluran drainase sekunder dan tersier
kondisinya buruk. Maka dapat disimpulkan bahwa Kota Tangerang
mempunyai potensi genangan.
Banjir memang masalah utama di Kota Tangerang dengan luas
genangan sekitar 180,5 hektar tersebar di 49 lokasi pada kawasan
permukiman dan jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu masalah
mengingat genangan menimbulkan rusaknva alam dan mengganggu
kualitas lingkungan permukiman. Beberapa wilayah tergenang sampai 72-
120 jam dengan tinggi mencapai 1,5 m dan wilaah lain berkisar antara 3-48
jam dengan tinggi genangan 0,3-1 m.
Secara umum permasalahan genangan di Kota Tangerang antara
lain disebabkan oleh faktor alamiah saluran itu sendiri karena adanya
penggerusan dan terbawanva material saluran oleh aliran sehingga terjadi
pendangkalan dan sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya
penyempitan kapasitas dimensi saluran.
Selama 20 tahun terakhir, endapan lumpur di Sungai Cisadane saja
mencapai lima hingga enam meter. Padahal, kedalamannya diperkirakan
hanya tujuh meter. Endapan lumpur itu lebih banyak di tepiannya. Di
tengahnya. Diperkirakan masih mencapai kedalaman tujuh meter.
Endapan seperti ini terjadi sepanjang enam kilo meter sungai
cisadane yang melintasi kota Tangerang, hingga Pintu Air Sepuluh.
Pemerintah Provinsi Banten teiah mengangeluarkandana Rp 9 juta untuk
rehabilitasi daerah aliran Sungai Cisadane. Selain pengerukan, dana
tersebut juga digunakan untuk penguatan tebing-tebing sungai dengan
batu.
Pengerukan, memang belum bisa dilakukan secara maksimal. Tak
kurang sekira 40 ribu meter kubik endapan lumpur yang harus dikeruk.
Penguatan tebing dilakukan pada tebing sungai sepanjang ;ac meter.
Kelenteng Boen San Bio
Situs bersejarah
RUMAH tua ini sudah berusia lebih kurang 400 tahun. Konon rumah
berhantu itu bekas rumah tuan tanah, seorang Kapten Tionghoa (Kapitein
der Chineezen) di zaman Belanda.
Pangkat kapten dan letnan diberikan Kompeni (pemerintah Belanda)
kala itu hanya kepada seseorang dari keluarga terkaya di daerah
tertentu dengan kewenangan mengatur secara administratif daerah
tersebut. Tugasnya kira-kira sepadan dengan lurah sekarang.
Di PeChinan, pengaturan daerah secara admistratif dilakukan oleh
sebuah Dewan Tionghoa (Kong Koan) yang beranggotakan kapitein dan
letnan. Sejak 1837 dewan ini diketuai seorang mayor yang dibantu
kapitein dan letnan. Hanya tiga kota besar yaitu Batavia, Semarang, dan
Surabaya yang memiliki Mayor Tionghoa dan mengetuai Kong Koan.
Kong Koan berwenang menyelesaikan perkara kecil di antara orang
Tionghoa tapi atas nama pemerintah Hindia Belanda dan menyerahkan
perkara besar kepada pemerintah.
PeChinan atau kawasan Pasar Lama merupakan salah satu kampung
tua di Tangerang. Sejak November 1740, penguasa VOC menetapkan
kawasan Pasar Lama sebagai tempat tinggal para pemukim asal China.
Maksudnya, agar penguasa Belanda mudah melakukan pengawasan
terhadap mereka. Di perkampungan ini ditempatkan seorang Kapitein China
yang diserahi tugas mengawasi masyarakatnya. Pada masa itu, para Mayor
dan Kapitein China digambarkan hidup seperti raja-raja Mandarin.
Adalah Souw Siauw Keng yang ditunjuk Kompeni menjadi Luitenant der
Chineezen di Tangerang pada 1884. Keluarga Souw, sangat terkenal di
masanya sebagai kakak beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng
(1849-1917). Souw Siauw Tjong dikenal orang terkaya di Batavia dan
memiliki tanah luas di Paroeng Koeda, Kedawoeng Oost (Wetan), dan
Ketapang, Tangerang, Banten.
la juga dikenang berjiwa sosial juga rendah hati terhadap masyarakat
sekitar, sehingga memerintahkan untuk mendirikan sekolah bagi anak
bumiputera di tanah miliknya, menyantuni orang miskin, dan menyumbang
makanan dan bahan bangunan ketika kebakaran terjadi. Souw Siauw Tjong
pula yang menjadi donatur pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang
pada 1875 dan Kelenteng Kim Tek Ie Batavia pada 1890. Dia menolak
kedudukan Luitenant der Chineezen yang ditawarkan Kompeni. Meski
begitu, pada Mei 1877 dia dianugerahinya gelar Luitenant Titulair (Letnan
Kehormatan).
Belum bisa dipastikan apakah Souw Siauw Keng pernah menghuni
rumah tersebut. Yang jelas, rumah ini sekarang tidak dihuni oleh keturunan
sang kapiten tetapi dihuni oleh empat keluarga pegawai perkebunan. Rumah
ini cukup terkenal di kalangan pembuat film, bahkan sempat dipakai syuting
film Drakula Mantu yang dibintangi Tan Tjeng Bok dan Benyamin S. juga
film Si Pitung.
Rumah masih menyimpan beberapa detail menarik seperti plang atap
dengan ukiran khas China, pintu besar dari kayu dan patung binatang batu
yang uniknya berisi batu bulat sebesar kepalan tangan dalam mulutnya yang
hanya bercelah sekitar 5 cm.
BAB DUA
Gambang Kromong
CONTOH pembauran yang harmonis antara unsur pribumi dengan
unsur China dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes
gambang kromong, yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat
seperti gambang, keromong, kemor, kecrek, gendang, kempul, slukat, gong
enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi
berupa alat musik gesek China yakni kongahyan, tehyan, dan skong.
Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan
saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu China
yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan,
Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental.
Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-
kong, seorang pemimpin golongan China.
Dia hidup pada pertengahan abad ke-18 di Jakarta dan dikenal sebagai
penggemar musik. Atas prakarsanyalah, terjadi penggabungan alat-alat
musik yang biasa terdapat dalam gamelan pelog slendro dengan yang dari
Tiongkok. Pada masa itu, orkes gambang kromong hanya dimiliki oleh
babah-babah peranakan China.
Seperti ditulis oleh salah seorang pakar budaya Betawi, Ridwan Saidi,
dalam buku “Profil Orang Betawi”, dijelaskan bahwa Gambang Kromong
adalah jenis musik tradisi Betawi yang mempunyai pengemar tidak saja di
daerah Jakarta, tetapi juga berkembang subur di daerah pesisir, mulai dari
Tangerang hingga Bekasi.
Gambang Kromong digemari masyarakat terutama dari etnik Betawi,
karena selain bisa dinikmati sebagai sebuah sajian musik, juga seni tradisi
yang berkembang di wilayah Tangerang sampai Tambun ini, juga lazim
dipergunakan untuk mengiringi goyang para penari. Syair dari lagu-lagu
Gambang Kromong inipun mencerminkan sinkretisme Melayu-China,
seperti pengaruh alat musik Tehyan atau semacam biola China yang
biasanya terdengar dominan sepanjang lagu, sementara musikalitas
gambang sendiri, membersitkan suatu keakraban yang bernuansa Betawi
Purba. Selain "Jali-jali dan "Sirih Kuning", lagu-lagu lain seperti,"Gelatik
Nguk-nguk", "Surilang Enjot-enjotan", "Cente Alanis Dipatok Burung" dan
lain-lain, banyak mengandung kata yang tidak jelas artinya. Seperti asal
kata, nguk-nguk, surilang atau jali-jali, sangat sulit ditelusuri dari mana
kata-kata itu berasal.
Secara historis, kesemua lagu itu memang memiliki perjalanan panjang
dan menjadi bagian tak terpisahkan dari peta seni rakyat Betawi. Dari
cengkok melodinya, lagu-lagu tersebut jelas terpengaruh notasi lagu
bergaya China.
Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi
tari pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan
sebagainya, di samping untuk mengiringi teater lenong. Teater rakyat
Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat,
dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul,
komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang berkembang pada awal abad ke-
20.
Peh Chun
Nonton Peh Cun di Ka1i Tangerang
Sane-sini aeh rame bukan kepalang
Bang Mamat dan Mpok Mide ampe lupe pulang...
LANTUNAN suara Ida Royani yang diiringi Orkes Gambang Kromong
Naga Mustika barusan, mungkin akrab bagi pendengarnya di tahun 70-an.
Ketika itu sejumlah radio swasta kerap memutar lagu berjudul "Nonton Peh
Cun" ini atas permintaan pendengar.
Repertoire lagu berirama gambang kromong seperti ini, sekarang tak
pernah lagi diperdengarkan dalam ruang publik kita. Boleh jadi, lantaran
kalah pamor dengan genre musik masa kini. Makanya, di kalangan orang
Betawi sendiri paling banter hanya orang yang lebih tua yang dapat
menceritakan nostalgia meriah pesta Peh Chun seperti yang digambarkan
dalam syair lagu gambang kromong tadi.
Pesta Peh Chun adalah untuk memperingati l00 hari tahun baru China
(Imlek). Tahun Baru Imlek atau yang disebut Sin Tjia oleh masyarakat
keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula dari ungkapan rasa
gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk menyambut
musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di
sawah.
Kendati di rayakan oleh masyarakat Tionghoa, namun karena begitu
meriah pesta Peh Chun ini, maka bagi masyarakat Betawi merupakan
hiburan tersendiri. Bagi anak muda Betawi pada zamannya, Peh Chun
menjelma menjadi ajang mencari jodoh. Tua-muda, lelaki dan perempuan,
tak mau ketinggalan menonton "karnaval" di Kali Ciliwung itu.
Peh Chun digelar dari pagi hingga malam, dimeriahkan dengan pesta
perahu di sungai yang dihiasi lampu warna-warni dan orkes gambang
kromong. Saking meriahnya itu pesta Peh Chum, digambarkan dalam lagu
gambang kromong tadi. Bang Mamat dan mpok Mide (figur pasangan muda
Betawi) sampai lupa pulang.
Sedangkan di Tangerang, di samping acara Gotong Toapekong, sejak
tahun 1911 para umat Kelenteng Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta
Peh Chun (Petjun) yang diadakan, di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap
perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim
kemarau ketika air sungai jernih dan tenang. Sayang, acara Peh Chun
tersebut dan apa pun kesenian asal China sempat dilarang oleh pemerintah
untuk dipertunjukkan di mana-mana setelah meletusnya peristiwa G-30
S/PKI.
Baru setelah zaman reformasi, Peh Chun digelar kembali melalui Festival
Cisadane. Pada festival ini digelar kegiatan lomba perahu Naga dan atraksi
kesenian khas daerah seperti tarian barongsay, liong, debus dan atraksi
kesenian khas daerah lainnya. Dalam kegiatan tersebut selain dapat
menyaksikan berbagai atraksi hiburan, pengunjung juga dapat berbelanja
berbagai barang kerajinan dan suvenir yang merupakan hasil kerajinan
rakyat dan juga hasil produksi industri di Kota Tangerang. Di masa yang
akan datang, Festival Perahu Naga yang selama ini diselenggarakan di
belakang pertokoan Robinson, akan dipindahkan ke daerah Kali Pasir yang
banyak terdapat bangunan-bangunan kuno bergaya arsitektur tradisional
China. Pemerintah Daerah Kota Tangerang telah siap dengan Rencana
Terinci Ruang Kota (RTRK) pengembangan Kali Pasir sebagai daerah
wisata budaya.
Tari Cokek
TARI cokek adalah tarian khas Tangerang, yang diwarnai budaya etnik
China. Tarian ini diiringi orkes gambang kromong ala Betawi dengan penari
mengenakan kebaya yang disebut cokek. Tarian Cokek mirip sintren dari
Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah.
Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penari, yang dianggap tabu
oleh sebagian masyarakat lantaran dalam peragaannya, pria dan wanita
menari berpasangan dalam posisi berdempet-dempetan. Cokek sendiri
merupakan tradisi lokal masyarakat Betawi dan China Benteng, yaitu
kelompok etnis China yang nyaris dipinggirkan, dan kini banyak bermukim di
Tangerang.
Menurut Ninuk Kleden Probonegoro, seorang peneliti dari LIPI, banyak
versi tentang awal kelahiran seni rakyat ini. Versi pertama, cerita dimulai
pada masa tuan-tuan tanah menguasai Betawi sekitar abad ke-19,
khususnya di daerah yang saat ini dikenal dengan nama Kota atau Beos. Di
sana banyak tinggal tuan tanah kaya. Setiap malam Minggu, mereka biasa
mengadakan pesta.
Para tuan tanah ini biasanya juga banyak memiliki pembantu yang mahir
bermain musik dan menari. Umumnya pesta para tuan tanah ini dimeriahkan
oleh musik dari rombongan Gambang Kromong. Saat itulah para pembantu
tuan tanah yang terdiri dari gadis-gadis muda itu, melayani tamu-tamu lelaki
untuk menari. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai penari Cokek.
Versi kedua, Cokek berasal dari Teluk Naga di Tangerang. Menutut versi
ini, pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama
Tan Sio Kek. Seperti biasa tuan tanah kaya lainnya, Tan Sio Kek juga
mempunyai sebuah kelompok musik.Pada suatu hari, datang tiga orang
bercocing, yaitu rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan
China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Tehiyan, Su
Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain
musik.
Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat
musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan
bersama-sama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan
tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang
dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong.
Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu,
kemudian disebut sebagai Cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek.
Seperti halnya Nie Hukong, Tan Sio Kek lebih dapat menikmati tarian dan
nyanyian para cokek, yaitu para penyanyi cokek merangkap penari pribumi
yang biasa diberi nama bunga-bunga harum di Tiongkok, seperti Bwee Hoa,
Han Siauw, Hoa, Han Siauw dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, walau kelompok Gambang Kromong bila
mendapat undangan pentas mendapatkan honor atau bayaran, namun para
Cokek, atau penari perempuan itu, tidak dibayar, tetapi mencari bayaran
sendiri dari para lelaki yang mengajak mereka menari atau ngibing.
bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang
kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan
tusuk konde bergoyang-goyang.
Tamu Terhormat
SEBAGAI pembukaan pada tari Cokek ialah wawayangan. Penari
Cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti
irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah
gerakan kaki.
Setelah itu penari Cokek menari bersama dengan mengalungkan
selendang pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat.
Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah
mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan
pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula
pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup
leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas.
Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana
panjang dari bahan semacam sutera berwarna. Ada yang berwarna merah
menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di
ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna
yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan
kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin kebelakang.
Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak
begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.
PENGARUH Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat
Betawi, tampak jelas pada orkes Tanjidor, yang biasa menggunakan
klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang
sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan oleh grup-
grup Tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya
penguasa kolonial tempo doeloe.
Dengan alat-alat setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi
perhelatan atau arak-arakan pengantin. Membawakan lagu-lagu barat
berirama 'mars' dan [Waltz] yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena
telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari
generasi ke generasi.
Orkes Tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah
seorang Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki
sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup,
digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling China dan penabuh tambur
Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.
Karena biasa dimainkan oleh budak-budak, orkes demikian itu dahulu
disebut Slaven-orkes. Dewasa ini tanjidor sering ditampilkan untuk
menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan.
Di Tangerang, dalam setiap perayaan Cap Go Meh ini orang-orang
kaya merayakannya dengan menanggap musik Tanjidor atau gambang
kromong lengkap dengan penarinya di muka halaman rumahnya. Tanjidor
juga kerap dimainkan di dalam Kelenteng Boen San Bio, di Pasar Baru.
Sebagian lainnya mengadakan pentas keliling kesenian musik Tanjidor
atau gambang kromong lengkap dengan beberapa orang penarinya.
Rombongan musik keliling ini berada dalam lingkaran tambang.
Orang-orang yang tertarik boleh masuk ke dalam lingkaran tambang untuk
turut berjoget sambil keliling mengikuti rombongan musik tersebut. Rom-
bongan ini berjalan mengikuti arah tambang ditarik, sehingga kalau ada
dua kelompok atau lebih berada dalam satu lingkaran tambang mereka bisa
saling tarik-menarik ujung tambang untuk mengarahkan jalannya
rombongan.
Kalau sudah tarik-menarik, maka kelompok yang mendapat dukungan
besar lebih unggul, karena dengan kekuatan tenaga banyak orang mereka
bisa memimpin jalannya rombongan. Sedangkan yang kalah tidak menjadi
marah, melainkan ikut arus. Tetapi, pada saat lain arah rombongan bisa
berubah lagi karena dorongan orang banyak.
Arak-arakan musik ini bukan hanya satu rombongan saja, tetapi beberapa
rombongan sekaligus turun keliling di jalan-jalan, sehingga kalau bertemu di
tengah jalan mereka saling bertabrakan. Tetapi ini pun tidak menimbulkan
keributan, karena mereka sama-sama tertawa lepas.
Berbagai seni pertunjukan tradisional telah berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya
pesona tersendiri pada wajah Kota Tangerang. Untuk dapat menikmati dan
menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri.
BAB TIGA
Jatidiri Masyarakat
Kota Tangerang
Sektor self sufficient, jika nilai LQ dari sebuah sektor = 1, maka sektor
tersebut berproduksi pada level yang sama dengan permintaan dari dalam
daerah tersebut. Dalam kondisi seperti itu, sektor tersebut dapat dikate-
gorisasikan menjadi self sufficient sector.
Secara umum terdapat tiga sektor keunggulan Tangerang, yaitu sektor
industri manufaktur nonmigas, Sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta
sektor transportasi dan komunikasi. Tangerang memiliki keunggulan untuk
sektor ini jika dibandingkan. dengan daerah lain, seperti Banten dan
Jabodetabek yang ditunjukkan oleh nilai LQ>1. Tetapi dari data-data bebe-
rapa tahun belakangan, keunggulan tersebut cenderung tidak terlalu stabil
meskipun masih dalam batasan yang wajar (lihat tabel 1).
Interaksi Tangerang dengan daerah yang lebih besar relatif tinggi,
sehingga Tangerang relatif bergantung terhadap hasil interaksi itu. Hasil
analisis shift share memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian Tangerang
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian nasional dan regional (nilai
national effect dan regional effect besar), terutama bagi sektor-sektor
unggulan seperti sektor industri manufaktur nonmigas, sektor perdagangan,
hotel dan restoran, serta sektor transportasi dan komunikasi. Meskipun
Tangerang relatif bergantung pada wilayah sekitarnya, secara bertahap mulai
meningkatkan keunggulannya pada sektor-sektor tertentu (nilai regional
effect besar).
Tabel 1
Sektor Basis Kota Tangerang Berdasarkan Hasil Analaisis LQ
LQ terhadap Nasional
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 B/NB
Industri Pengolahan 2.06 2.04 2.02 B
Listrik, gas, dan Air Bersih 1.05 1.04 1.04 B
Perdagangan, Hotel dan 1.59 1.61 1.62 B
Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi 1.59 1.64 1.55 B
LQ terhadap Bodetabek
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 B/NB
Pertanian, Peternakan, Perikanan, 1.09 1.05 1.09 B
Kehutanan
Industri Pengolahan 2.01 2.06 2.09 B
Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.05 1.07 1.07 B
Pengangkutan dan Komunikasi 1.25 1.27 1.24 B
B/NB
Sumber : Hasil Analisis PDRB
B = Sektor Bersih
NB = Sektor Non Basis
Peluang Investasi
DENGAN pemahaman terhadap potensi dan kendala yang dimiliki
Kota Tangerang, maka pemerintah kota ini merumuskan strategi
pengembangan wilayah yang paling menguntungkan untuk diterapkan di
masa mendatang, yakni dengan mengutamakan kegiatan unggulan
berupa: pengembangan industri, perdagangan, keuangan dan perbankan,
serta pemukiman.
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 13 Tahun 1976,
keempat sektor kegiatan tersebut telah tumbuh sangat pesat di Kota
Tangerang. Pertumbuhan keempat sektor kegiatan tersebut semakin
pesat dengan adanya ruas jalan tol Jakarta - Tangerang - Merak dan
gerbang perhubungan udara Indonesia Bandara Internasional Soekarno-
Hatta. Keempat sektor kegiatan tersebut menjadi sumber mata
pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Kota Tangerang.
Pengembangan Industri
PENGEMBANGAN Industri di Kota Tangerang sebagai akibat dari
keterbatasan lahan peruntukan di Wilayah DKI Jakarta. Pengembangan
industri itu telah dimulai sejak tahun 1976 hingga saat ini. Fenomena
pengembangan industri tersebut dapat dilihat di sepanjang Jalan Daan
Mogot di Kecamatan Batuceper, sepanjang aliran Sungai Cisadane dan
belahan kota di Kecamatan Tangerang, kawasan industri di Kecamatan
Jatiuwung, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Cipondoh. Pertumbuhan
industri di daerah-daerah tersebut sangat pesat hingga saat ini menjadi
kekuatan ekonomi bagi Kota Tangerang.
Menurut data dari Kantor Penanaman Modal dan Perijinan (KPMP),
tercatat 1.407 unit usaha industri yang ada di Kota Tangerang yang
mempekerjakan 149.827 tenaga kerja lokal dan 356 tenaga kerja asing.
Investasi yang ditanamkan dalam seluruh kegiatan industri tersebut
mencapai RP 3.716.781.817.979,00.
Kegiatan industri yang telah berkembang di atas lahan seluas
1.367,1 hektar tersebut masih memiliki peluang untuk dikembangkan lagi di
masa yang akan datang. Ribuan hektar lahan di Kawasan Industri
Jatiuwung serta zona industri di Kecamatan Tangerang dan Batuceper
terbuka bagi pengembangan oleh investor swasta nasional dan
internasional.
Selain itu dengan adanya rencana perluasan Bandara Internasional
Soekarno-Hatta hingga tahun 2020 dan penerapan otonomi daerah, maka
investasi dan peluang untuk perluasan jaringan distribusi produk ke berbagai
sasaran pasar akan semakin mudah dan terbuka.
Jatiuwung
Pengembangan kegiatan industri,
Cibodas menjadi daya tarik bagi migrasi pekerja
industri
Periuk
Batuceper
Wilayah berbatasan dengan Jakarta
Neglasari Barat, akses baik, menjadi wilayah
perluasan kegiatan industri dan
Benda perumahan dari Jakarta.
Menjalankan Misi
MISI adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenangan
dan tanggung jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi
dan situasi yang diinginkan pada akhir kurun waktu tertentu yang
menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai sebagai prasyarat
terwujudnya visi.
Dari rumusan visi di atas, dapat diuraikan visi yang diemban Kota
Tangerang adalah sebagai berikut;
Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota;
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanam public;
Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan Mewujudkan
pembangunan yang ramah lingkungan.
Nilai inti budaya Pemkot Tangerang merupakan nilai-nilai yang harus dianut
dan diterapkan dalam sikap dan perilaku seluruh jajaran aparat Pemkot Ta-
ngerang, dalam menjalankan semua kegiatan, dalam menjalankan
hubungan dengan stakeholder Kota Tangerang, baik dalam pelayanan
kepada masyarakat (publik), maupun pelayanan kepada dunia usaha. Nilai
inti budaya tersebut adalah:
1. Inovasi (innovation)
2. Kebersamaan (unity)
3. Keberlanjutan (sustainability)
4. Profesionalisme (profesionalisme)
5. Akhlak Mulia (akhlakul karimah)
A. Pemulihan Ekonomi
Pemulihan ekonomi Kota Tangerang bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, terkait dengan pemulihan ekonomi nasional. Akan tetapi dalam
skala lokal pemulihan ekonomi dapat dilakukan melalui program prioritas
sebagai berikut :
1. Pembangunan kegiatan industri di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper
dan pembangunan Center Business District (CBD) Tangerang;
2. Pengembangan industri kecil/rumah tangga dengan prioritas pada
upaya pengembangan dan perluasan ekonomi rakyat;
3. Perluasan jaringan pemasaran untuk industri kecil yang berorientasi
pada pasar domestic dan ekspor;
4. Penciptaan kemudahan prosedur perizinan dan pemberian insentif;
5. Peningkatan kemampuan dan keterampilan wirausaha masyarakat
yang berbasis koperasi, dan meningkatkan kemampuan tenaga kerja
secara optimal.
Landmark Kota
DENGAN mayoritas penduduknya beragama Islam, tak heran jika
masjid dan mushala adalah sarana ibadah yang paling banyak jumlahnya
di Kota Tangerang. Pada 2001 di Kota Tangerang terdapat 392 masjid
dan 1.088 surau/langgar. Sedangkan sarana peribadatan lainnya yang
terdapat di sana adalah 7 gereja Katholik dan 34 gereja Protestan. Bagi
umat Hindu, Kota Tangerang menyediakan 8 pura sebagai tempat
beribadah. Selain itu terdapat pula 15 vihara, salah satunya adalah
Kelenteng Boen Tek Bio.
Sebagaimana kota-kota lain di seluruh Indonesia, Kota Tangerang
juga memiliki masjid kebanggaan. Bangunan Masjid Agung Tangerang
mudah dikenali dengan lima buah kubah biru azure dan empat buah
minaret menjulang seperti masjid-masjid di Turki. Masjid megah nan indah
itu adalah Masjid Raya Al Azhom yang dibangun di atas lahan seluas
2,25 hektar dengan dana pembangunan sebesar RP 28,3 miliar. Dana itu
bersumber dari APBD, mobilisasi umat, bantuan dari Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten. Luas bangunan Masjid mencapai 5.775
meter persegi, terdiri dari lantai bawah 4.845,08 meter persegi dan lantai
atas 909,92 meter persegi. Masjid yang kini rnenjadi landmark bagi Kota
Tangerang ini dapat menampung sebanyak 15.ooo jamaah.
Rancangan bangunan Masjid Raya A1 Azhom yang memiliki esensi dan
referensi dari Al-Qur'an dan Sunah Rasul serta seni Islam (Arabesque),
mencerminkan hakikat tauhidah, serta kaitan dunia dan akhirat yang
ditandai dengan unsur-unsur garis lurus dan lengkung. Perpaduan antara
suasana tradisional dengan suasana modern ditandai dengan banyaknya
tiang di sekeliling masjid, sedangkan pada interiornya dengan ruang
tengahnya yang luas, bebas tiang dengan konstruksi teknologi tinggi pada
kubahnya.
Bentuk masjid yang universal dengan kesan representatif dan megah,
dengan gaya arsitektur Timur Tengah akan menjadi ciri baru bagi kawasan
pusat-pusat kota baru di Tangerang dan memperindah arsitektur kota.
Suasana keserasian dengan alam tropis yang dicirikan dengan atap miring
pada oversteknya, sehingga kesejukan udara nuansa alam tropis akan
terasa.
Masjid Raya Kota Tangerang ini yang pertama menerapkan konsep
atap berbentuk susun (konfigurasi) lima kubah bertumpuk dan kompak
untuk bangunan masjid. Semua rancangan masjid itu bukan berarti tanpa
makna-makna filosofi. Di antaranya, lima kubah mencerminkan kewajiban
sholat lima waktu, empat unit tiang menara mencerminkan empat tiang
ilmu, yaitu ilmu bahasa Arab, syariah, sejarah dan filsafat. Sedangkan tiga
bagian tinggi menara mencerminkan Iman, Islam dan Ikhsan. Menara yang
masing-masing setinggi 30 meter mencerminkan jumlah 30 juz Al-Qur'an
dan enam meter tinggi kuncup menara mencerminkan enam rukun iman.
Sedangkan fasilitas yang melengkapi bangunan masjid tersebut terdiri
dari ruang wudhu, mihrab dan persiapan, ruang sholat, ruang pengkajian,
perpustakaan, ruang kantor dan peralatan serta halaman masjid. Dengan
adanya berbagai fasilitas tersebut, diharapkan Masjid Raya selain
berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah salat, juga sebagai pusat
penyiaran, pengkajian dan informasi agama Islam serta pusat kegiatan
sosial umat Islam.
Selain Masjid Raya A1 Azhom, terdapat jembatan penyeberangan
dengan visi sebagai landmark Kota Tangerang. Dibangunnya jembatan
penyeberangan di ruas Jalan MH.Thamrin, Kota Tangerang ini sebagai
pintu gerbang (Welcome Gate) Kota Tangerang dan arah Jakarta dan
Serpong.
Jembatan Pelengkung ini membentang sepanjang 65 meter dan lebar
3-5 meter. Bahan bakunya adalah pipa baja berstruktur melengkung
seberat lebih kurang 32 ton yang menelan biaya RP 3 miliar.
Desain jembatan yang unik dan khas, akan menjadi landmark Kota
Tangerang, oleh sebab itu perencanaan jembatan yang memiliki dua tiang
yang melengkung, menyerupai gading gajah membentuk busur, telah
menjadi simbol, bahwa inilah Kota Tangerang.
Pemilihan elemen baja dan bentuk futuristik akan memberikan kesan
lebih kuat terhadap visi Kota Tangerang sebagai kota industri dan
perdagangan yang modern. Aspek keamanan, ketertiban, keindahan dan
kenyamanan bagi pengguna jembatan baik pengendara kendaraan
bermotor maupun pejalan kaki menjadi hal yang sangat penting. Sehingga
landscaping di sekitar lokasi jembatan, terutama di tempat naik/turun,
pengaturan lalu-lintas, pemeliharaan jembatan, merupakan kriteria tak
terlepaskan dari perencanaan jembatan.Pembangunan Berperadaban Bagi
tiap-tiap umat (Yahudi, Kristiani dan Islam) telah kami berikan aturan dan
jalan. Sekiranya Allah menghendaki, Dia bias menjadikan kamu satu umat
saja.Namun (Dia tidak melakukan itu karena) Dia hendak menguji kamu
terhadap karunia-Nya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat
kebaikan.
(Al-qur’an, Surat Al-Ma’idah;48)
Seruan Alquran tentang perlunya berlomba-lomba dalam kebajikan,
harus dipahami pada kebaikan universal (al-khayr, al-ma’ruf). Namun
menurut Abdulaziz Sachedina, Professor Kajian Agama di University of
Virginia dan Peneliti pada Center for Strategic and International Studies,
yang belum jelas, apakah Alquran mengakui keragaman pemahaman
kultural dan historis mengenai apa yang baik itu.
Karena anjuran dalam surat Al-Ma'idah ditujukan kepada semua
umat agama, maka kita harus konsisten untuk berpendapat, bahwa
kebaikan dalam ayat ini berlaku untuk seluruh tradisi agama. Tapi
penafsiran semacam itu tidak diterima secara luas oleh ulama etika
Islam.
Perbedaan tafsir itu dari kalangan ulama, misalnya datang dari Ibn
Katsir. Dalam kitab bertajuk Tafsir misalnya, ia menganggap khayrat itu
pada kepatuhan kepada Tuhan dengan cara mematuhi hukum-Nya yang
dibawakan Muhammad, dimana wahyu yang diturunkan kepadanya telah
membatalkan hukum-hukum sebelumnya. Sementara Sayid Quthb dalam
Fi zhilal al-Quran, melihat upaya membuktikan bahwa hanya ada satu
syariat yang mendominasi agama lain, dianggap oleh Abdulaziz
Sachedina sebagai kajian yang amat dangkal. Di sisi lain mufasir Syiah,
Thabathaba'i dalam al-Mizan, menganggap al-khayrat sebagai al-ahkam
(peraturan atau hukum) Dan sebagai al-takalif (kewajiban moral religius).
Masih dalam bahasan Abdulaziz, para teolog muslim juga berselisih
mengenai adanya moralitas universal. Terjadi perdebatan, apakah
moralitas universal itu seluruhya dikondisikan oleh konvensi-konvensi
sosial kultural atau bersumber dari satu standar rasionalitas universal
berdarkan fitrah manusia. Wahyu Islam memberikan satu bahasa moral
yang kompleks, berbicara tentang umat manusia yang, di satu sisi, sama-
sama memiliki nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan universal sebagai
makhluk yang sederajat dalam martabat dan kesadaran nurani. Tetapi di
sisi lain, berada dalam persaudaraan khusus sebagai anggota dari
komunitas dan bangsa tertentu.
Apapun seruan berlomba-lomba dalam kebaikan memang memiliki
pesan universal. Kebaikan dan kebajikan bisa menyebar ke segala arah
dan penjuru tanpa harus dilihat latar belakang agama dan golongan. Dan
KTT Tsunami adalah representasi dari kebajikan universal itu. Secara
sederhana contoh kebajikan universal misalnya, ketika mayat-mayat
berserakan di tanah Aceh, kita tidak perlu bertanya, apakah yang kita
tolong seiman, segolongan atau sealiran politik. Kita menolong tanpa
harus ada batasan-batasan itu.
Contoh lain, ketika ada saudara kita tertabrak di jalan, tentu kita tidak
perlu bertanya lagi, agamamu apa, partaimu apa dan dari etnis mana? Jika
identitas yang ditanyakan terlebih dahulu, khawatir saudara kita yang
terkapar tak bisa tertolong. Lihat saja, para donatur dari berbagai kalangan
dan penjuru dunia para buruh, artis, birokrat dan seluruh komponen
masyarakat ikut membantu tanpa harus melihat siapa yang dibantu. Intinya
cuma satu, ada musibah semua harus terlibat.
Dalam konteks inilah, setiap pribadi, setiap komponen masyarakat,
yang tumbuh dan berkembang di wilayah Kota Tangerang, memiliki
kewajiban untuk berlombalomba dalam kebajikan, memberdayakan Kota
Tangerang ke wilayah yang lebih beradab. Kewajiban mernbangun kota
yang beradab ini, sebagai upaya untuk menciptakan iklim masyarakat
madani, masyarakat sipil yang memiliki kewibawaan, yang di dalamnya
tumbuh nilai-nilai moral dan nilai-nilai kebajikan yang tinggi.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengedepankan partisipasi
publik, mengedepankan prosedur-prosedur demokrasi, dan masyarakat yang
menjunjung tinggi etos kerja serta memahami peran masing-masing dalam
masyarakat. Masyarakat madani juga mencoba menyuguhkan berbagai
jawaban untuk menyeimbangkan sarana dan tujuan dalam mencapai tatanan
sosial ideal.
Maka jika kita sepakat, bahwa pembangunan Kota Tangerang
berorientasi pada masyarakat madani, mau tak mau, semua komponen yang
ada harus melihat arah pembangunan itu berpijak kepentingan masyarakat
secara keseluruhan, bukan kepentingan yang bertumpu pada pribadi-pribadi
atau kelompok-kelompok.
Dan semua jembatan untuk semua komponen itu, adalah tunggal
akhlakul karimah. Visi akhlakul karimah, tentu saja menuntut semua
komponen masyarakat terlibat dan bukan saja komponen birokrasi.
Sementara ini ada beberapa asumsi, bahwa visi akhlakul karimah harus
dijalankan oleh komponen birokrasi saja, dan warga masyarakat yang
berada di jalur birokrasi pemerintah, tidak dikenai kewajiban memikul visi
akhlakul karimah.
Asumsi ini sepintas berada dalam jalur yang benar. Tapi sejatinya,
pribadi-pribadi yang berada di lingkungan birokrasi, juga sebagai bagian
pribadi-pribadi yang tumbuh di masyarakat. Hanya berapa persen, para
aparat birokrasi secara formal bekerja dalam ukuran jam. Selebihnya
pribadi-pribadi tersebut adalah bagian dari anggota masyarakat biasa.
Contoh seperti ini juga bisa diberlakukan pada anak didik kita. Usai mata
pelajaran di sekolah, anak-anak akan menjadi warga masyarakat, yang
harus bersosialisasi dan berkomunikasi dengan alam lingkungan yang riil.
Untuk itu,visi akhlakul karimah bisa dicapai secara gradual, pelan-pelan
dan tidak mungkin dicapai secara revolusioner. Visi akhlakul karimah adalah
vsi yang akan dilekatkan di masyarakat, yang memiliki aneka ragam karakter
dan budaya. Atas dasar keanekaragaman itulah, visi tersebut bisa dijalankan
secara gradual dan tidak serta merta menuntut perbaikan secara cepat.
Hal lain, visi akhlakul karimah, secara substantif bukan hanya miliki
warga muslim saja, meski penamaan akhlakul karimah diambil dari teks-teks
Quran. Penamaan akhlakul karimah hanya sebagai cara komunikasi ke
ruang-ruang publik, agar mudah diserap dan mudah diingat. Yang pasti visi
akhlakul karimah juga melihat perbedaan agama, perbedaan ras, suku dan
perbedaan berpendapat yang bermuara bagi terwujudnya masyarakat
madani.
Pikiran ini mengacu pada satu hal, bahwa membangun sebuah
pemerintahan yang bersih, berkeadilan, dipenuhi unsur pemerataan di
segala bidang, tidaklah semudah membalik telapak tangan kita. Membangun
sebuah pemerintah dibutuhkan berbagai perangkat, tidak sekadar pada level
wacana, tapi pada wilayah yang lebih kongkrit, kerja nyata.
Sebuah pemerintah yang bersih, berkeadilan, sejahtera di segala bidang,
sering kali dipahami sebagai
“SETIAP pribadi, setiap komponen masyarakat, yang
tumbuh dan berkembang di wilayah Kota Tangerang,
memiliki kewajiban untuk memberdayakan Kota Tangerang
ke wilayah yang lebih beradab. Kewajiban membangun
kota yang beradab ini, sebagai upaya untuk menciptakan
iklim masyarakat madani, masyarakat sipil yang memiliki
kewibawaan, yang di dalamnya tumbuh nilai-nilai moral dan
nilai-nilai kebajikan yang tinggi.”
---