Vous êtes sur la page 1sur 58

ZIARAH BUDAYA KOTA TANGERANG

MENUJU MASYARAKAT BERPERADABAN AKHLAKUL KARIMAH

Oleh: Wahidin Halim


Wali Kota Tangerang

Isi Buku

Tentang Penulis

Isi Buku

BAB SATU
Jejak Sejarah Tangerang
Asal Usul China Benteng
Kampung Teluk Naga
China Benteng
Tragedi China Benteng
Bangunan Bersejarah
Bendungan Pintu Sepuluh
Jaringan Drainase
Kelenteng Boen San Bio
Asal Mula Kata Kelenteng
Situs Bersejarah
Kelenteng Boen Tek Bio
Rumah Tua Kapitan Tionghoa

BAB DUA
Asal Usul Budaya Lokal
Gambang Kromong
Peh Chun
Tari Cokek
Tamu Terhormat
Dinamis dan Erotis
Tradisi Perkawinan Chiou Thaou
Makan 12 Mankuk
Taburan Beras Kuning
Musik Tanjidor

BAB TIGA
Jatidiri Masyarakat Kota Tangerang
Kota Tangerang Berubah
Kota Seribu Pabrik
Peluang Investasi
Pengembangan Industri
Mewujudkan Visi
Menjalankan Misi
A. Pemulihan Ekonomi
B. Peningkatan Pelayanan Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial
Potensi Urban Heritage Tourism
Perda Cagar Budaya
Landmark Kota

BAB EMPAT
Pembangunan Peradaban

Daftar Pustaka
BAB SATU

Jejak Sejarah Tangerang

AWAL mula berdirinya bebrapa kerajaan dan kota besar di bumi ini umumnya
diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaries. Demikian
halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Romus, kakak
beradik yang dibesarkan oleh seekor srigala. Demikian juga juga diceritakan
tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan keturunan dewi matahari, yang
sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang.
Tetapi tidak jika kita berbicara sejarah Tangerang, yang tidak bisa
dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah
peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan
Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam
jangka waktu lama; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam
masyarakat Tangerang.
Sungai Cisadane membujur dari selatan didaerah pegunungan ke utara di
daerah pesisir. Sungai ini amat berperan penting dalam kehidupan masyarakat di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini. Yang berubah
hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman kerajaan Tarumanegara (abad ke-15)
hinggga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19), sungai ini berperan
sebagai sarana lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan
daerah pesisir.
Disamping itu, sungai Cisadane juga menjadi sumber penghidupan
manusia yang bermukim di sepanjang DAS ini. Antara lain untuk mengairi areal
persawahan dan perikanan di daerah dataran rendah bagian utara Tangerang.
Dengan peran yang pertama itu, hasil bumi dari daerah pedalaman (lada,
beras, kayu, dan lain-lain) dapat dipasarkan ke daerah pesisir dan luar daerah
Tangerang. Sebaliknya, keperluan hidup penduduk pedalaman seperti garam,
kain, gerabah, dan lain-lain, dapat didatangkan daerah pesisir dan luar daerah
Tangerang. Sementara, peranan kedua dapat meningkakan produksi pertanian,
terutama produksi beras, selain untuk mencegah bahaya banjir.
Sejatinya, pada awal abad ke-16, zaman kerajaan Sunda, Tangerang
tampil sebagai kota pelabuahn bersama-sama Banten dan Sunda Calapa
sebagaimana tertulis dalam Summa Oriental karangan Tome Pires, orang
Portugis yang memuat laporan kunjungan dari 1512-1515. Dokumen tersebut
menurut A. Heuken SJ, ahli sejarah Jakarta, adalah dokumen tertua yang
menyebut nama ini. Sunda Calapa atau Chia liu-pa (menurut Ma Huan, muslim
China yang menulis laporan pelayaran armada Laksamana Zeng-Ho, yang
kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad ke XV) adlah nama
pelabuhan tertua di Jakarta.
Yang berbeda diantara ketiga pelabuhan di Tangerang, Banten dan
Jakarta itu hanyalah tingkatan kualitas dan kuantitas kegiatannya. (sunda)
Calapa menjadi pelabuhan paling sibuk ketika itu lantaran lokasinya paling dekat
dan dapat berhubungan langsung melalui jlan darat dan jalan air (Sungai
Ciliwung) dengan Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan Sunda.
Selain itu, (Sunda) Calapa menjadi pusat kota pelabuhan Kerajaan Sunda.
Dibawahnya adalah kota pelabuhan Banten yang merupakan kota
pelabuhan paling barat Pulau Jawa. Posisi Banten juga sangat strategis, setelah
Malaka diduduki oleh Portugis pada 1511 lantaran Selat Sunda dan pesisir barat
Sumatera menjadi jalur utama perdagangan.
Sedangkan Pelabuhan Tangerang termasuk pelabuhan yang sepi hingga
menempati peringkat paling bawah kesibukannya, karena lokasinya berada
diantara dan berdekatan dengan Banten dan (Sunda) Calapa. Lokasi ketiga kota
pelabuhan berada disekitar muara sungai, yaitu Sungai Cibanten bagi kota
pelabuhan Banten, Sungai Cisadane bagi kota pelabuhan Tangerang, dan
Sungai Ciliwung bagi kota pelabuhan Calapa.
Selanjutnya, sejak pertengahan abad ke-16 Banten dan Calapa (berubah
menjadi Jayakarta sejak berada di bawah kuasa Islam pada 1527)
mengembangkan diri menjadi pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan.
Didukung oleh Cirebon dan Demak, Banten meningkat pesat sebagai pusat
penyebaran agama Islam, pemerintahan, dan perniagaan laut (maritim) di Tatar
Sunda bagian barat dan Sumatera bagian selatan. Puncak keemasan
Kesultanan Banten berlangsung sekira pertengahan abad ke-17, pada masa
pemerintahan Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkhadir (1596-1651) dan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sedangkan, Jayakarta yang semula berperan sebagai penutup hubungan
Pakuan Pajajaran ke dunia luar dan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan
Banten, setelah jatuh ke dalam kekuasaan kompeni Belanda pada 1619 dan
namanya diganti dengan Batavia, berhasil mengembangkan diri. Mula-mula
Batavia berperan sebagai pusat kedudukan dan pusat perdagangan Kompeni
(VOC) di Nusantara, kemudian sejak tahun 1800 menjadi pusat pemerintahan
dan perdagangan internasional pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Semenjak dasawarsa kedua 1600-an antara Banten dan Batavia
berlangsung persaingan perdagangan yang keras. Di satu pihak, Kompeni
Belanda mendesakkan keinginan untuk melakukan monopoli perdagangan
diwilayah Kesultanan Banten. Namun di pihak lain, Sultan Banten sendiri
mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan Negara. Saking
kerasnya persaingan itu, alhasil berkembang menjadi konflik politik dan akhirnya
knflik senjata. Mula-mula pada 1652, berbentuk konflik senjata secara tertutup,
namun kemudian pad 1659 berbentuk perang terbuka.
Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang menjadi daerah
pertahanan sekaligus medan pertempuran serta rebutan antara Banten dan
Batavia. Dalam perkembangan berikutnya, pihak Banten membangun benteng
pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane dan pihak kompeni Belanda
membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai Cisadane. Itulah
sebabnya, dulu daerah ini dikenal dengan nama Benteng, baru muncul nama
Tangerang.
Dengan mengerahkan serdadu Kompeni secara besar-besaran, terutama
serdadu sewaan yang berasal dari kalangan orang Nusantara sendiri, dan taktik
adu-domba (devide et impera), secara bertahap wilayah Kesultanan Banten jatuh
ketangan kekuasaan Kompeni Belanda. Mula-mula pada 1569, daerah sebelah
timur Sungai Cisadane jatuh ke tangan Kompeni, kemudian tanah di sepanjang
Sungai Cisadane sejak dari daerah hulu sampai ke muara dan daerah sebelah
selatan Sungai Cisadane sampai ke Laut Kidul (Samudra Hindia) ditetapkan
masuk ke wilayah Batavia (1684).
Akhirnya pada 1809, Kesultanan Banten dihapuskan serta seluruh
wilayahnya dimasukkan ke wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu,
berakhirlah kedudukan Tangerang sebagai daeah tapal batas antara Banten dan
Jakarta, karena seluruhnya berada dibawah kuasa pemerintah Kolonial Hindia
Belanda.
Perubahan pemegang kekuasaan atas daerah Tangerang memberikan
jalan bagi perubahan status daerah itu. Semula berstatus sebagai daerah
rebutan antara Banten dan Batavia, Tangerang kemudian menjadi daerah
partikelir di bawah Batavia. Sepetak demi sepetak tanah di Tangerang dikuasai
oleh pihak partikelir secara perseorangan dan perusahaan.
Muncullah sejumlah tuan tanah di daerah ini yang umumnya terdiri dari
orang Belanda dan orang China. Disamping menguasai tanah garapan dan
lingkungannya, mereka juga mneguasai penduduk yang bermukim di lahan itu.
Penduduk setempat berkewajiban menggarap tanah milik tuan tanah dengan
upah kecil, padahal mereka pun harus membayar berbagai pajak dan pungutan
lainnya.
Karena itu, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara tingkat
kesejahteraan tuan tanah dan tingkat kesejahteraan penduduk pribumi. Selain
itu, tuan tanah lebih berkuasa daripada pejabat pemerintahan pribumi. Tuan
tanah dilindungi dan dibantu oleh sejumlah mandor yang bertindak sebagai
jawara dan berstatus sebagai pegawai tuan tanah. Keberadaan dan fungsi
jawara dalam masyarakat Tangerang masa itu menjadi gejala umum dan ciri
khas lingkungan tanah partikelir. Situasi dan kondisi demikian membentuk
struktur dan karakter masyarakat tersendiri dilingkungan tanah partikelir.
Pendidikan sekolah hampir tak tersentu oleh bagian terbesar penduduk
pribumi. Mereka mengutamakan pendidikan informal dari guru agama Islam
secara individual, atau pesantren-pesantren secara kelembagaan. Peran dan
kedudukan orang keturunan China dan jawara dalam masyarakat Tangerang
demikian berpengaruh besar terhadap suasana dan peristiwa selama revolusi
kemerdekaan pada tahun 1945-1949.
Pada masa itu orang-orang keturunan China di daerah ini pernah
menjadi sasaran amuk rakyat sebagai tindak balas dendam, dan amarah
terhadap mereka karena dicurigai membantu pihak kolonial. Pernah pula
dibentuk pemerintahan mandiri oleh kalangan jawara yang berjiwa merah
dan bersikap kiri. Pemerintahan ini tak mengakui Republik Indonesia.
Mereka mendirikan negara di dalam negara.
Pada mulanya, penduduk Tangerang boleh dibilang hanya beretnis dan
berbudaya Sunda. Mereka terdiri atas penduduk asli setempat, serta
pendatang dari Banter., Bogor dan Priangan. Kemudian sejak 1526, datang
penduduk baru dari wilayah pesisir Kesultanan Demak dan Cirebon yang
beretnis dan berbudaya Jawa, seiring dengan proses Islamisasi dan
perluasan wilayah kekuasaan kedua kesultanan itu. Mereka menempati
daerah pesisir Tangerang sebelah barat.
Keragaman etnis penduduk Batavia sebagai dampak kebijakan Kompeni
Belanda di bidang kependudukan di Kota Batavia melahirkan ragam etnis
dan budaya Melayu Betawi. Dinamakan demikian, karena mereka berbicara
dalam bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sosialnya dan bertempat
tinggal di daerah Betawi, sebutan orang pribumi bagi Kota Batavia.
Penduduk etnis dan budaya Betawi ini menyebar ke daerah sekeliling Kota
Betawi, termasuk daerah Tangerang. Mereka menempati daerah pesisir
sebelah timur dan daerah pedalaman timur Tangerang.
Kebijakan Kompeni tersebut melahirkan pula keturunan orang China
dalam jumlah banyak di Kota Batavia yang menyebar ke daerah
Tangerang, sebagai dampak dari pemberontakan orang-orang China di
Kota Batavia pada 1740 dan lahirnya status tanah partikelir. Keturunan
orang China ini tersebar di daerah tanah partikelir, terutama di daerah
pesisir Tangerang sebelah timur.
Selanjutnya, kebudayaan mereka berasimilasi dengan kebudayaan
Melayu Betawi. Dari pertemuan itu lahirlah jenis-jenis budaya yang
bercirikan Melayu Betawi dan China yang kini populer disebut budaya
Betawi, seperti teater lenong, tari topeng, dan lain-lain.
Dengan perkembangan penduduk seperti itu, peta penduduk dan
budaya di Tangerang terbilang unik. Daerah Tangerang Utara bagian timur
berpenduduk etnis Betawi dan China serta berbudaya Melayu Betawi.
Daerah Tangerang Timur bagian selatan berpenduduk dan berbudaya
Betawi. Daerah Tangerang Selatan berpenduduk dan berbudaya Sunda.
Sedang daerah Tangerang Utara sebelah barat berpenduduk dan
berbudaya Jawa.
Dalam konteks keseluruhan pemerintahan di wilayah Tatar Sunda,
kedudukan Tangerang mengalami beberapa kali perubahan dalam tingkat
dan struktur pemerintahan. Sebagaimana telah dikemukakan, pada awal
abad ke-16 Tangerang berstatus sebagai salah satu kota pelabuhan dalam
lingkungan Kerajaan Sunda. Pada masa itu kota pelabuhan berada di
bawah kuasa seorang syahbandar yang bertanggung jawab langsung
kepada raja Sunda.
Ketika Tangerang berada di bawah kuasa Kesultanan Banten sejak
1526, sistem pemerintahannya berbentuk kemaulanaan dan pusat
pemerintahannya berada di daerah pedalaman, yaitu di sekitar Tigaraksa
sekarang. Tatkala sebagian daerah ini jatuh ke tangan Kompeni (sejak
1659), demi keamanan pemerintahan di daerah ini dipimpin oleh seorang
komandan militer Belanda.
Namun, ketika seluruh daerah ini berada di bawah kuasa Kompeni
Belanda dan stabilitas keamanannya telah tercapai sejak 1682,
pemerintahan di daerah ini berbentuk kabupaten (regentschap) yang
dipimpin oleh seorang bupati yang berasal dari kalangan penduduk
pribumi.
Pada 1809 terjadi perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh
di Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels (1808-1811). Tingkat dan struktur pemerintahan di daerah
Tangerang berubah lagi. Kini Tangerang berada di bawah wilayah
administrasi pemerintahan De stad Batavia, de Ommelanden, en
Jacatrasche Preanger Regentschappen (Kota Batavia dan sekitarnya
serta wilayah Jakarta-Priangan) yang kemudian disebut Keresidenan
Batavia.
Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah perintah
seorang Asisten Residen yang selalu dipegang oleh orang Belanda.
Selanjutnya sejak tahun 1860-an, daerah ini berstatus afdeling yang
disebut Afdeling Tangerang yang tetap dipimpin oleh Asisten Residen.
Daerah Afdeling Tangerang dibagi atas tiga distrik, yaitu Tangerang
Timur, Tangerang Selatan, dan Tangerang Utara yang selanjutnya (sejak
1880-an) masing-masing disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan
Distrik Mauk; lalu ditambah dengan Distrik Curug.
Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut
demang, kemudian berubah jadi wedana. Tingkat dan struktur
pemerintahan demikian di Tangerang berlangsung hingga akhir
kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda (1942).
Pada zaman Jepang (1942-1945), Tangerang yang bertetangga
dengan ibu kota pemerintah pusat Jakarta dipandang sebagai daerah
strategis. Dengan demikian, tingkat dan struktur pemerintahannya
dinaikkan jadi kabupaten, dan didirikanlah lembaga pendidikan militer
(Seinendojo).
Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu
Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya
dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan
R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama. R Atik Suardi adalah
aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang
pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional
masyarakat Sunda. Ia pernah menjabat sebagai pembantu R. Pandu
Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mendapat
sambutan hangat dari para pemimpin dan masyarakat Tangerang.
Wujudnya terdiri atas dua bentuk.Pertama, menegakkan kemerdekaan
dengan cara membentuk pemerintahan daerah di Tangerang yang me-
nunjang Proklamasi Kemerdekaan RI, mulai dari tingkat kabupaten ke
bawah.
Kedua, mempertahankan kemerdekaan dengan cara menentang dan
melawan pihak asing dan antek-anteknya yang berusaha untuk menjajah
kembali dan pihak yang mau mendirikan negara sendiri yang tidak
mengakui keberadaan Republik Indonesia. Terjadilah revolusi
kemerdekaan! Akhirnya, kedaulatan Republik Indonesia bisa ditegakkan di
Tangerang.
Kedudukan Kabupaten Tangerang dikukuhkan kembali pada awal masa
Republik Indonesia (19 Agustus 1945) dan berlaku terus hingga kini.
Kabupaten ini jadi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Sesuai dengan semangat dan tuntutan otonomi daerah serta
perkembangan Kota Tangerang yang meningkat pesat, status
pemerintahan di Kota Tangerang sendiri ditingkatkan. Tadinya kota itu
adalah kota kecamatan, lalu jadi kota administratif. Kota Tangerang yang
memiliki luas wilavah 17.729,794 hektar dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang.
Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten 'I'angerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan
demikian, di Tangerang terdapat dua jenis pemerintahan daerah yang
setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Sementara itu,
dengan berdirinya Provinsi Banten (sejak 1999), Kabupaten Tangerang dan
Kota Tangerang pun jadi bagian dari wilayah Provinsi Banten.

Asal-usul China Benteng

Sejak abad lima belas dengan perahu


Jung mereka arungi lautan ganas
larikan diri dari bencana dan malapetaka
tinggalkan negeri leluhur
mencari tanah harapan di Nan Yang
Perkampungan nelayan di Teluk Naga
seorang encek pembuat arak
mengubur kesendiriannya
bersama seorang pendamping setia
gadis pribumi lugu sederhana
Kikuk seperti ayam dan itik
yang satu pakai sumpit
yang satu doyan sambel
dengan bahasa isyarat
berlayar biduk antar bangsa
beranak pinak dalarn kembara
Dari generasi ke generasi
warna kulit makin menyatu
jadilah generasi persatuan:
`China Benteng'
teladan pembauran
Sungai Cisadane jadi saksi

perjalanan hidup kedua anak bangsa

bersama melawan penjajah Belanda

bergotong royong

terjalin persaudaraan sejati


seperti Cisadane terus mengalir
dari abad ke ke abad
menuju tanah air-Indonesia

Tangerang, 1996

SAJAK karya Wilson Tjandinegara berjudul "Balada Seorang Lelaki di


Nan Yang" ini, bercerita soal asal-usul kedatangan bangsa China di
Tangerang. Dalam pencariannya terhadap riwayat identitas diri, Wilson
Tjandinegara vang lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa miskin di
Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, 20 Desember 1946, menuangkan tipikal
pembauran alami yang terjadi di sebuah tempat di daerah Tangerang yang
kemudian terkenal dengan "China Benteng."
Tentang riwayat nenek moyang tersebut, Leo Suryadinata (1999)
mengatakan bahwa: "Sebelum terjadi imigrasi massal etnik Tionghoa ke
Asia Tenggara. khususnya ke Indonesia dan Malaysia, masyarakat
Tionghoa di kedua kawasan itu sangat kecil. Pada umumnya, anggotanya
telah berbaur ke dalam masyarakat setempat. Pada masa itu, transportasi
sulit. Orang Tionghoa, dilarang oleh kerajaan Tiongkok untuk meninggalkan
negaranya. Mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya juga tidak
membawa keluarganya".
Jadi, wajar jika mereka akhirnya mengawini wanita setempat. Umumnya
wanita Islam nominal dan tinggal menetap di tempat itu. Karena jumlahnya
yang kecil, orang Tionghoa ini bertendensi yang berintegrasi dengan
masyarakat lokal. Keturunan mereka akhirnya tidak lagi menguasai bahasa
Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu-lingua franca dalam
Nusantara untuk berkomunikasi (setelah 1928, bahasa Melayu dinamakan
bahasa Indonesia).
Orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara pada masa Dinasti
Tang (618-907). Ketika itu, mereka mengirim ekspedisi militernya ke daerah
China Selatan. Sejak itu, banyak sekali orang-orang Hoakiau/Hokkian yang
berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di Provinsi Fukien
(Fujian) dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan
Makao di Provinsi Kwangtung (Guangdong) terus menetap di perantauan
dan tak kembali lagi ke kampung halamannya.
Pada masa Dinasti Sung (907-1127) mulai banyak pedagang-pedagang
China yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang
dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah, kain sutra yang
halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa
pulang hasil bumi Indonesia.
Dalam sejarah China Kuno, dikatakan orang-orang China mulai
merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang.
Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang, yang pada waktu itu
merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka
datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah.Banyak dari mereka
yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti
daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten (Tangerang) dan Jakarta. Orang
China datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya,
termasuk unsur agamanya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi
bagian dari kebudayaan Indonesia.
Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan
Cornelis Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang
karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang
harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten,
orang-orang Belanda dan kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai
koloni-koloni Tionghoa di kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara
seperti di Hoi An, Patani, Phnom Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi
An terdapat empatlima ribu orang Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600
terdapat 3.000 orang Tionghoa.
Ketika pada 1611, Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal
VOC Pieter Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten,
ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa ke-
percayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng
Kong adalah seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh dan
mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia sangat dihormati dan
dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten.
Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin
membeli hasil bumi dari Banten harus melakukan negosiasi harga dan
lain-lainnya dengan Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura,
pasukan VOC yang sudah terdesak dan terkurung di kota Semarang
berhasil diusir dari Jawa Tengah dan besar kemungkinan dari seluruh
pulau Jawa.
VOC yang akhirnya berhasil memadamkan pemberontakan tersebut
mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani.
Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-
pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe,
Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya.
Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan
Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini
kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi
bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah Timur Sungai
Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.

China Benteng
TIDAK seperti China peranakan pada umumnya yang berkulit putih
meletak, kebanyakan China peranakan di Tangerang berkulit gelap.
Tengoklah Ong Gian (47). Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja
sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok
kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan
perkawinan.
Nenek moyangnya adalah China Hokkian yang datang ke Tangerang
dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan
perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.
China Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang
China berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan
atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin,
meski sudah jarang yang jago kungfu, wushu atau ilmu bela diri ala China
lainnya. Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang,
sebagian besar China Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan.
Bahkan, ada juga pengayuh becak.
Sejarah China Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan
Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai
dan merupakan permukiman pertama masyarakat China di sana. Struktur
tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang.
Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir,
Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang
tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pechinan.
Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang China dipindahkan ke
kawasan Pasar Baru, Tangerang dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-
daerah lainnya. Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi
(sistem barter) barang orang-orang China yang datang lewat sungai dengan
penduduk lokal.
Mengenai asal-usul kata China Benteng, menurut sinolog dari Universitas
Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng
Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-
sekarang sudah rata dengan tanah terletak di tepi Sungai Cisadane, di
pusat Kota Tangerang.
Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang China Tangerang yang kurang
mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah
sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di
sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah "China Benteng".
Pada 1740, terjadi pemberontakan orang China menyusul keputusan
Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang China yang
dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di per-
kebunan-perkebunan milik VOC.
Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke
perkampungan-perkampungan China di Batavia (Jakarta). Sedikitnya
10.000 orang tewas, dan sejak itu hanyak orang China mengungsi untuk
mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong,
Cisoka, I.egok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.
Itulah sebabnya, banyak orang China yang tinggal di pedesaan di
pelosok Tangerang di luar kawasan peChinan di Pasar Lama dan Pasar
Baru. Meski demikian, menurut pemerhati budaya China Indonesia, David
Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap
disebut sebagai China Benteng.
Sebagai kawasan permukiman China, di Pasar Lama dibangun
kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan
bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1689, di Pasar
Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala). Kedua kelenteng itulah
saksi sejarah bahwa orang-orang China sudah berdiam di Tangerang lebih
dari tiga abad silam. Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain
ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain
menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di
Kotamadya Tangerang adalah orang China Benteng. Angka statistik April
2002 ini tidaklah mengherankan, karena Pasar Lama masuk dalam wilayah
Sukasari. Menurut Sherly, kehidupan masyarakat China Benteng memang
keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka
bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.
Yang unik dari masyarakat China Benteng adalah bahwa mereka sudah
berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal.
Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi
berbahasa China. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran
bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat China
Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup
kesehariannya juga banyak yang petani miskin.
Logat China Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat,
"Mau ke mana", misalnya, kata "na" diucapkan lebih panjang sehingga
terdengar "mau kemanaaaa".
Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong
yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat China Benteng.
Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta
perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan
budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.
Meski demikian, masyarakat China Benteng masih mempertahankan
dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan
tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah
satunya tampak pada keberadaan "Meja Abu" di setiap rumah orang
China Benteng.
Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain, Cap Go
Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Peh Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan),
dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan). Demikian pula panggilan
encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada
orang yang lebih tua. Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga
China Benteng pada saat bertemu dengan orang lain.
Yang khas dari masyarakat China Benteng adalah pakaian pengantin
yang merupakan campuran budaya China dan Betawi. Pakaian pengantin
laki-laki, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari
topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi China-
Betawi yang tampak pada kembang goyang.
Secara ekonomi, masyarakat tradisional China Benteng hidup pas-
pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.
Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03
RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus
bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian,
petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang
kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.
Fenomena China Benteng, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya
kebudayaan China dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan
China Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang China
memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka
bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang
ekonomi.
David Kwa, seperti juga Wilson Tjandinegara, lebih melihat fenomena
China Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang
terjadi secara alamiah. Masyarakat China Benteng hampir tidak pernah
mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin,
persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh
orang-orang yang punya kepentingan politik.
Realitas China Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan
ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis China sesungguhnya sama
dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya
dari Betawi, melihat realitas China Benteng sebagai wajah lain Indonesia.
Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.
Tragedi China Benteng
HITAM putih wajah China Benteng itu juga menyisakan kisah
pilu. Sekitar Juni 1946, terjadi kerusuhan di Tangerang yang menimpa
etnis tersebut. Sedikitnya ada lima desa, yakni Rajeg, Gandu, Balaraja,
Cikupa, dan Mauk, yang dilaporkan membara. Perkampungan China di
wilayah itu diobrak-abrik massa. Puing-puing berserakan di sana-sini.
Tragedi itu disulut sebuah kabar santer ada tentara Nica beretnis
Tionghoa yang menurunkan bendera merahputih dan menggantinya
dengan bendera Belanda. Seperti bensin menyambar api, kabar ini kontan
meluas dan memicu kemarahan. Apalagi, ketika itu masih zaman perang
kemerdekaan. Republik yang belum genap setahun, harus menghadapi
agresi tentara Belanda. Dan ada ketegangan sosial: di wilayah itu, ada
sejumlah tuan tanah Tionghoa yang berhadapan dengan penduduk.
Puncaknya, tersiar kabar, seorang Nica Tionghoa membakar rumah
w arga pribumi. Ini sebab-sebab menimbulken rajat Indonesier poenja
goesar, hingga timboellah itoe tragedi Tangerang, tulis Rosihan Anwar
dalam Harian Merdeka, 13 Juni 1946.
Pada bulan Mei 1946, sebanyak 636 orang Tionghoa, termasuk 136
orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah
menjadi korban pembunuhan. Sekitar 1.268 rumah etnis Tionghoa habis
dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang pengungsi
di Jakarta yang datang dari daerah tersebut.
Laskar Rakyat yang marah lalu menangkapi para lelaki keturunan China.
Mereka digiring ke Penjara Mauk. Tanggal 3 Juni 1946, penjara yang
berukuran 15 x 15 m itu dipenuhi sekitar 600 lelaki China dari seantero
Tangerang. Mereka, banyak di antaranya petani miskin, disekap dengan
perlakuan yang memprihatinkan. "Malam tida ada lampoe. Orang kentjing
dan boewang aer deket soemoer. hingga tempat di sakiternya penoeh
kotoran, dan joestroe soemoer itoe poenja aer diboeat minoem,
minoemnja dengen bereboetan", tutur seorang korban penyekapan yang
diwawancarai Star Weekly, koran mingguan yang dikelola wartawan
keturunan Tionghoa.
Kabar mengenaskan ini segera menyebar ke Jakarta. Kaum keturunan
China tergedor hatinya. Senin, 10 Juni, sekitar 40 pemuda Tionghoa yang
tergabung dalam Poh An Tui bergerak ke Tangerang menolong para
Hoakiau yang terancam jiwanya. Mereka dibekali senjata api dan dibagi dua
kelompok. Yang pertama datang ke Mauk dan membebaskan tawanan.
Kelompok lain menyaksikan reruntuhan sejumlah desa yang banyak dihuni
etnis China. Tercatat, sekitar 2 . 0 0 0 warga keturunan diungsikan ke
Jakarta. Ada yang dinaikkan truk dan sebagian besar berjalan kaki.
Dari rombongan pengungsi inilah diperoleh kabar tak sedap: terjadi
penyerangan seksual atas perempuan etnis China. Tidak ada data statistik
yang jelas, hanya dikatakan bahwa tidak sedikit perempuan Tionghoa yang
diperkosa.
Ihwal kekerasan seksual itu akhirnya tak terungkap jelas. Hanya saja,
sebuah advertensi yang dimuat Star Weekly, 9 Juni 1946, menyerukan hari
berkabung untuk ratusan atawa ribuan Hoakian -disebut China Benteng
yang tewas di Tangerang. Bisa jadi, iklan itu dilebih-lebihkan. Tapi, tak satu
pun sumber yang menyebut dengan pasti berapa jumlah korban
sesungguhnya, termasuk korban penyerangan seksual.
Tak lama setelah tragedi itu meledak, pemerintah mulai turun tangan.
Menteri Penerangan M. Natsir meninjau lokasi kerusuhan bersama
beberapa wartawan. Namun, fakta otentik peristiwa itu tetap gelap.
Menurut Rosihan Anwar, tak ada perkosaan, hanya rumah-rumah mereka
yang dibakar. Pengikut Poh An Tui yang pro Nica dibunuhi rakyat.
Bangunan Bersejarah
IBARAT pepatah, `lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya',
begitu juga dengan sejarah berdirinya sebuah kota. Dia bisa ditelusuri dari
perjuangan masyarakatnya, kondisi bangunan tua dan masih banyak saksi
bisu lainnya. Semua itu bisa menceritakan perjalanan panjang masa lalu
sebuah kota, terutama ketika memasuki masa jaya.
Keberadaan bangunan tua memberikan sumbangan yang besar
terhadap kebudayaan kota tempat bangunan tersebut berdiri. Seperti
dijelaskan di muka, Kota Tangerang memiliki sejumlah bangunan tua yang
menyebar di pelbagai sudut kota. Sebagian besar gedung itu masih
difungsikan hingga kini, walau ada yang dibiarkan kuyu, berlumut tak
terurus.
Gedung-gedung tua itu menjadi nafas masa lalu yang terus berhembus
hingga sekarang. Denyut modernisasi kota seakan tidak berpengaruh
terhadap keberadaan bangunan-bangunan tua itu. Semuanya tetap berdiri
tegak, di tengah "peradaban baru” yang ada di sekitarnya. Di antara
bangunan-bangunan tua tersebut yang dapat disebutkan di sini adalah
sebagai berikut:

Bendungan Pintu Sepuluh


TAK jauh dari lokasi Masjid Pintu 1000, terdapat Bendungan Pasar Baru
Irigasi Cisadane. Bendungan ini lebih dikenal "Pintu Air Sepuluh". Sesuai
namanya bendung ini memiliki 10 pintu air, masing-masing selebar 10
meter.
Pemerintah Belanda membangunnya selama enam tahun, sejak 1925
hingga 1931, dengan mendatangkan para pekerja dari Cirebon. Bendungan
ini bertujuan untuk mengatur aliran sungai Cisadane hingga membuat
Tangerang menjadi kawasan pertanian yang subur. Dari bendung ini, air
didistribusikan untuk irigasi dan sumber air baku bagi kawasan Tangerang.
Sebagian besar dialirkan ke muara Sungai Cisadane di Tanjung Burung
(Teluk Naga) menuju ke Laut Jawa. Bangunan sepanjang 110 meter ini
membentang di Kali Cisadane tepatnya di daerah Pasar Baru.
Bendung ini sekarang dikelola oleh Balai Pengelola Sumber Daya Air
(BPSDA) Cisadane-Ciujung, Kota Tangerang. Dari sini pula, para petugas
BPSDA menjaga ketinggian air untuk mencegah banjir. Batas ketinggian air
normal di bendungan ini adalah 12,5 meter. Ketika terjadi banjir bandang
yang melanda Kota Tangerang pada 1981, ketinggian air di Pintu Air
Sepuluh ini mencapai 14 meter, kendati seluruh pintunya sudah dibuka.
Sedangkan di musim kemarau, ketinggian air bisa mencapai 11 meter.
Kalau sudah begini, akibatnya, lebih dari 12.000 pelanggan Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah ini bisa terancam krisis air bersih.
Pernah suatu ketika, Bendungan Pintu Air Sepuluh itu diketahui jebol di
sembilan titik bendung. Kerusakan ini, karena kurangnya perawatan.
Selain sampah yang menumpuk dan menutupi bagian bendungan yang
jebol, juga dikarenakan besi-besi yang menopang bendungan tersebut
kondisinya juga sudah dipenuhi karat.
Jebolnya sembilan bendungan yang menjadi tempat penampungan air
baku PDAM Kota Tangerang itu, menyebabkan turunnya debit air Sungai
Cisadane. Ambang batas normal debit air Sungai Cisadane tak bisa
dipertahankan pada posisi 12,5 meter. Debit sungai yang membelah kota
dan menjadi tumpuan hidup jutaan jiwa itu susut hingga 11,20 meter. Itu
berarti, debit air Sungai Cisadane menyusut sekitar 1,3 meter dari kondisi
normal.
Puluhan ribu pelanggan PDAM memang sangat menggantungkan
hidupnya pada air Sungai Cisadane. Tak bisa dibayangkan, apa jadinya
bila ketersediaan air yang menjadi bahan baku PDAM habis terbuang
akibat kebocoran itu. Jebolnya sembilan titik bendung itu juga mengganggu
kebutuhan air pelanggan PDAM Tirta Kerta Raharja (TKR) milik Kabupaten
Tangerang. Bahkan, kegiatan dan operasional di sekitar Bandara
Soekarno-Hatta juga bisa terkendala dengan menurunnya persediaan air
bersih.
Turunnya debit air Sungai Cisadane, selain bakal mempengaruhi
layanan terhadap pelanggan PDAM juga mempengaruhi produksi pertanian
di wilayah pantura Tangerang. Akibat turunnya debit air, sekitar 900 hektare
areal persawahan di tujuh kecamatan di Kabupaten Tangerang terancam
puso.
Untuk mengatur turun naik seluruh pintu air yang terbuat dari besi itu,
dipakai lima mesin penggerak merek HEEMAF buatan Belanda masing-
masing berkapasitas 6.000 watt. Mesin yang seumur dengan usia
bendungan itu sekarang masih terawat baik berkat tangan terampil petugas
di sana. Mereka harus rajin meng-ganti oli mesin setiap 500 jam dan roda
giginya harus senan-tiasa dilumasi gemuk.

Jaringan drainase
SISTEM jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi dua, yaitu
sistem drainase makro/drainase alam, yaitu sungai dan anak-anak sungai
yang berfungsi sebagai badan air penerima. Sistem drainase mikro meliputi
saluran primer, sekunder, dan tersier dengan total panjang saluran sekitar
192.763 meter.
Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi Sungai Cisadane dan
empat buah sungai kecil yang melintasi wilayah kota sebagai badan air
penerima dari sistem drainase alam kota yaitu: Kali Sabi yang mengalir
mulai dari Jatiuwung. Selain itu, ada kali Angke di kawasan Ciledug, Sungai
Cicarap di Pasar Kamis dan Kota Bumi, Sungai Cantiga di Ciputat, dan
Pesanggrahan di Pondok Aren.
Kelima sungai tersebut mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas
dengan muara ke sebelah Utara dan berakhir di Laut Jawa. Selain sungai
yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut, terdapat juga Situ
Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 120 hektar.
Melihat kondisi topografi Kota Tangerang yang berada pada
ketinggian 0-30 m di atas permukaan laut, kemiringan lahan antara 0-3
derajat yang relatif datar, berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir.
Apalagi curah hujan yang cukup tinggi antara 15000-2.000 millimeter per
tahun serta 52 persen dari panjang saluran drainase sekunder dan tersier
kondisinya buruk. Maka dapat disimpulkan bahwa Kota Tangerang
mempunyai potensi genangan.
Banjir memang masalah utama di Kota Tangerang dengan luas
genangan sekitar 180,5 hektar tersebar di 49 lokasi pada kawasan
permukiman dan jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu masalah
mengingat genangan menimbulkan rusaknva alam dan mengganggu
kualitas lingkungan permukiman. Beberapa wilayah tergenang sampai 72-
120 jam dengan tinggi mencapai 1,5 m dan wilaah lain berkisar antara 3-48
jam dengan tinggi genangan 0,3-1 m.
Secara umum permasalahan genangan di Kota Tangerang antara
lain disebabkan oleh faktor alamiah saluran itu sendiri karena adanya
penggerusan dan terbawanva material saluran oleh aliran sehingga terjadi
pendangkalan dan sedimentasi yang mengakibatkan terjadinya
penyempitan kapasitas dimensi saluran.
Selama 20 tahun terakhir, endapan lumpur di Sungai Cisadane saja
mencapai lima hingga enam meter. Padahal, kedalamannya diperkirakan
hanya tujuh meter. Endapan lumpur itu lebih banyak di tepiannya. Di
tengahnya. Diperkirakan masih mencapai kedalaman tujuh meter.
Endapan seperti ini terjadi sepanjang enam kilo meter sungai
cisadane yang melintasi kota Tangerang, hingga Pintu Air Sepuluh.
Pemerintah Provinsi Banten teiah mengangeluarkandana Rp 9 juta untuk
rehabilitasi daerah aliran Sungai Cisadane. Selain pengerukan, dana
tersebut juga digunakan untuk penguatan tebing-tebing sungai dengan
batu.
Pengerukan, memang belum bisa dilakukan secara maksimal. Tak
kurang sekira 40 ribu meter kubik endapan lumpur yang harus dikeruk.
Penguatan tebing dilakukan pada tebing sungai sepanjang ;ac meter.
Kelenteng Boen San Bio

TEMPAT ibadah kelenteng sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun


sang lalu. Tempat ibadah ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis
Tionghoa, yaitu Budha, Khonghucu, dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya
tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut.
Dengan kata lain, dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan
bersamaan.
Gabungan ketiga agama tersebut dikenal dengan nama Tridharma.
Campuran ketiga agama tersebut dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan
latar belakang orang China di Asia Tenggara. Para leluhur mereka datang
dari China Selatan dimana ketiga agama itu diterima sebagai satu
kepercayaan.
Kepercayaan suatu agama dieksistensikan dalarn suatu upacara suci
yang melibatkan masyarakat (umat). Untuk itu diperlukan sebuah tempat
atau bangunan suci untuk melaksanakan upacara tersebut. Setiap
masyarakat beragama didunia memiliki tempat peribadatan khusus untuk
melaksanakan upacara keagamaan mereka. Islam memiliki masjid, Katholik
dan Kristen gereja, Hindu dengan puranya dan Buddha dengan vihara.
Vihara secara harfiah berarti tempat persir.ggahan, merupakan tempat
tinggal atau kediaman para bhikkhu (biksu), terutama untuk berteduh dan
berlatih meditasi. Dalam bahasa Indonesia karena lafal pengucapan, vihara
berubah menjadi biara.
Dalam pengertian agama Buddha, vihara dipakai untuk merujuk tiga
kediaman yaitu: Kediaman Dewa (Dhiba-Vihara), Kediaman Luhur (Brahma-
Vihara) dan Kediaman Mulia (Ariya-Vihara). Jadi, pada dasarnya antara
vihara dan kelenteng sebenarnya tak ada bedanya, karena dipakai secara
bersama-sama sebagai sarana beribadat bagi ketiga agama etnis Tionghoa
(Buddha, Kkonghucu, dan Tao) tersebut.

Asal mula kata Kelenteng

BANYAK yang berasumsi, bahwa kata kelenteng merupakan adaptasi


dari bahasa asing. Tetapi, ternyata ini merupakan kata asli Indonesia, dan
sejatinya kata kelenteng hanya dapat ditemui di Indonesia. Ditilik dari
kebiasaan orang Indonesia yang sering memberi nama kepada suatu benda
atau mahluk hidup berdasarkan bunyi-bunyian yang ditimbulkan seperti
Kodok Ngorek, Burung Pipit, Tokek maka demikian pula halnya dengan
kelenteng.

Ketika di kelenteng diadakan upacara keagamaan, sering digunakan


genta yang apabila dipukul akar. berbunyi `klinting' sedang genta besar
berbunvi `klenteng'. Maka bunyi-bunyian seperti itu yang keluar dari tempat
ibadat orang China dijadikan dasar acuan untuk merujuk tempat tersebut
(Moertiko ha1.97)

Versi lain menurut `Kronik 'I'ionghoa di Batavia', disebutkan bahwa


sekitar tahun 1650, Letnan Tionghoa, Guo Xun-guan mendirikan sebuah
tempat ibadah untuk menghormati Guan Yin di Glodok. Guan Yin adalah
Dewi welas asih Buddha yang lazim dikenal sebagai Kwan Im.
Pada abad ke-17 waktu umat kristen Jepang dianiaya, patung Dewi
Kvsan Im menggantikan patung Bunda Maria untuk menyesatkan mata-mata
polisi Jepang. Tempat ibadah di Glodok itu dise-but Guan Yin Ting atau
tempat ibadah Dewi Guam Yin (Kwan Im). Kata Tionghoa YinTing ini disebut
dalam kata Indonesia menjadi Klenteng, yang kini menjadi lazim bagi semua
tempat ibadah Tionghoa di Indonesia (Heuken hal.181).
Seorang sarjana arsitektur yaitu Evelin Lip menyatakan bahwa
masyarakat China yang ingin mendirikan sebuah bangunan suci biasanya
akan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di China. Aturan-aturan tersebut
adalah bahwa suatu bangunan suci biasanva didirikan di atas podium,
dikelilingi oleh pagar keliling, mempunyai keletakan simetris, mempunyai
atap dengan arsitektur China, sistem stnikturnya terdiri dari tiang clan balok
serta motif dekoratif untuk memperindah bangunan.
Satu hal lagi yang tidak dapat dilupakan masyarakat China dalam
pencarian lokasi adalah berpedoman pada Hong Sui (Feng Sui). Dengan
berpedoman pada Feng Sui ini diharapkan bisa memberikan
keberuntungan pada penghuninya. Selain itu juga Lip mengatakan,
kelenteng-kelenteng di China Utara berukuran lebih besar dan hiasannya
sangat sedikit dibandingkan dengan yang ada di China Selatan dimana
kelentengnya mempunyai banyak hiasan.
Bumbungan atapnya dihiasi dengan motif naga, burung phoenix, ikan,
mutiara atau pagoda dan ujung bumbungannya melengkung ke atas. Ciri
arsitektural seperti inilah yang dibawa ke Singapura dan Malaysia oleh para
perantau dan pedagang dari China.

Situs bersejarah

KELENTENG, lantaran usia bangunannya vang kebanyakan sudah tua,


kini menjadi situs bersejarah atau bangunan yang seharusnya dilindungi. Di
Jalan Pasar Baru, Kota Tangerang itulah terdapat Vihara Nimmala yang
dulunya bernama Kelenteng Boen San Bio (Kebajikan Setinggi Gunung).
Selain Kelenteng Boen San Bio, di Tangerang masih terdapat dua kelenteng
tua lainnya yaitu Kelenteng Boen Tek Bio di kawasan Pasar Lama dan
Kelenteng Boen Hay Bio di Serpong, Tangerang.
Kelenteng Boen San Bio dibangun pada 1689 oleh Oey Giok Koen,
seorang tuan tanah yang pernah berkuasa di kawasan Pasar Baru. Kini
vihara ini amat terkenal dengan l0 rekor prestasi yang berhasil diraihnya dari
Museum Rekor Indonesia (MURI). Antara lain, lampion terbanyak, hio
terbesar seberat 4,8 ton terbuat dari batu giok dan vihara yang memiliki 17
Kiem Sin (patung dewa-dewa) dari batu onyx.
Di pintu masuk indera penglihatan kita suuah disergap oleh berbagai
detail seperti warna khas Tiongkok merah menyala dipadu dengan kuning
dan motif bunga pada gapura pintu masuk, deretan ratusan lampion merah
bertuliskan kertas kuning nama-nama keluarga penyumbang lampion dan
tulisan motto unik kelenteng ini yaitu "the temple never sleep".
Di pojok sebelah kiri, terlihat rumah minyak berwarna merah menyala
yang menyediakan berbotol-botol minyak sumbangan dari donatur untuk
digunakan umat bersembahyang. Setelah memasuki koridor terlihat ruang-
ruang peribadatan di setiap sudutnya lengkap dengan meja altar dan
patting-patting dewra. Tak kurang terdapat 16 tempat peribadatan yang
diisi dengan patungpatung dewa dalam kepercayaan China Khonghucu
(Kong Fu Tse).
Menjelang perayaan Imlek, suasana di kelenteng ini biasanya sangatlah
meriah. Lilin-lilin merah setinggi sekitar 1 meter yang bisa menyala tanpa
henti selama sebulan lebih dinyalakan. Selain altar utama, di kiri dan kanan
kelenteng ini, terdapat tempat pemujaan yang dibagi berdasarkan
permintaan.
Tentu saat memasuki kelenteng, harum dupa wangi dan asap yang bisa
membuat mata perih langsung menyergap. Seperti halnya kelenteng lain,
akan dijumpai pula patung-patung para dewa dan dewi, tak terkecuali
patung Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih yang diagungkan masyarakat
Tionghoa) setinggi tiga meter di halaman belakang.
Kelenteng dengan pelindung Khongco Hok Pek Tjeng Sin atau
Dewa Bumi ini menyimpan banyak artifak bersejarah seperti bagian
kepala dan ekor berwarna biru dan kuning dari perahu Peh Cun yang
berbentuk naga dari tahun 1940 yang disimpan dalam sebuah gazebo
di halaman belakang.

Kelenteng Boen Tek Bio

BERBICARA tentang Kelenteng Boen Tek Bio (Padumuttara) tidak


terlepas dari sejarah Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa
di Tangerang. Boen Tek Bio adalah kelenteng tertua yang dibangun
pada 1684 di kawasan permukiman China, di Pasar Lama. Kelenteng ini
juga diketahui merupakan bangunan paling tua di Tangerang sebagai
saksi sejarah bahwa orang-orang China sudah berdiam di Tangerang
lebih dari tiga abad silam.
Para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-
royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang
diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat
Ibadah). Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali
yaitu berupa tiang bambu dan beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah
perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin
banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang
bisa dilihat sekarang.
Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi
Kwan Im di sebelah kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat
untuk dewa-dewa lain. Berbeda dengan kebanyakan kelenteng yang ada
di Indonesia maupun yang ada di negeri Tiongkok, Kelenteng Boen Tek
Bio mempunyai satu tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan
tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong.
Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut kalendar
China, di dalam Kota Tangerang berlangsung arak-arakan joli Ka Lam
Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini
dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang
berhasil menyedot ribuan pengunjung. Pesta ini terakhir kali diadakan
tahun 1976.

Rumah Tua Kapitan Tionghoa

RUMAH tua ini sudah berusia lebih kurang 400 tahun. Konon rumah
berhantu itu bekas rumah tuan tanah, seorang Kapten Tionghoa (Kapitein
der Chineezen) di zaman Belanda.
Pangkat kapten dan letnan diberikan Kompeni (pemerintah Belanda)
kala itu hanya kepada seseorang dari keluarga terkaya di daerah
tertentu dengan kewenangan mengatur secara administratif daerah
tersebut. Tugasnya kira-kira sepadan dengan lurah sekarang.
Di PeChinan, pengaturan daerah secara admistratif dilakukan oleh
sebuah Dewan Tionghoa (Kong Koan) yang beranggotakan kapitein dan
letnan. Sejak 1837 dewan ini diketuai seorang mayor yang dibantu
kapitein dan letnan. Hanya tiga kota besar yaitu Batavia, Semarang, dan
Surabaya yang memiliki Mayor Tionghoa dan mengetuai Kong Koan.
Kong Koan berwenang menyelesaikan perkara kecil di antara orang
Tionghoa tapi atas nama pemerintah Hindia Belanda dan menyerahkan
perkara besar kepada pemerintah.
PeChinan atau kawasan Pasar Lama merupakan salah satu kampung
tua di Tangerang. Sejak November 1740, penguasa VOC menetapkan
kawasan Pasar Lama sebagai tempat tinggal para pemukim asal China.
Maksudnya, agar penguasa Belanda mudah melakukan pengawasan
terhadap mereka. Di perkampungan ini ditempatkan seorang Kapitein China
yang diserahi tugas mengawasi masyarakatnya. Pada masa itu, para Mayor
dan Kapitein China digambarkan hidup seperti raja-raja Mandarin.
Adalah Souw Siauw Keng yang ditunjuk Kompeni menjadi Luitenant der
Chineezen di Tangerang pada 1884. Keluarga Souw, sangat terkenal di
masanya sebagai kakak beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng
(1849-1917). Souw Siauw Tjong dikenal orang terkaya di Batavia dan
memiliki tanah luas di Paroeng Koeda, Kedawoeng Oost (Wetan), dan
Ketapang, Tangerang, Banten.
la juga dikenang berjiwa sosial juga rendah hati terhadap masyarakat
sekitar, sehingga memerintahkan untuk mendirikan sekolah bagi anak
bumiputera di tanah miliknya, menyantuni orang miskin, dan menyumbang
makanan dan bahan bangunan ketika kebakaran terjadi. Souw Siauw Tjong
pula yang menjadi donatur pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang
pada 1875 dan Kelenteng Kim Tek Ie Batavia pada 1890. Dia menolak
kedudukan Luitenant der Chineezen yang ditawarkan Kompeni. Meski
begitu, pada Mei 1877 dia dianugerahinya gelar Luitenant Titulair (Letnan
Kehormatan).
Belum bisa dipastikan apakah Souw Siauw Keng pernah menghuni
rumah tersebut. Yang jelas, rumah ini sekarang tidak dihuni oleh keturunan
sang kapiten tetapi dihuni oleh empat keluarga pegawai perkebunan. Rumah
ini cukup terkenal di kalangan pembuat film, bahkan sempat dipakai syuting
film Drakula Mantu yang dibintangi Tan Tjeng Bok dan Benyamin S. juga
film Si Pitung.
Rumah masih menyimpan beberapa detail menarik seperti plang atap
dengan ukiran khas China, pintu besar dari kayu dan patung binatang batu
yang uniknya berisi batu bulat sebesar kepalan tangan dalam mulutnya yang
hanya bercelah sekitar 5 cm.

BAB DUA

Asal-usul Budaya Lokal

SEPERTI juga Jakarta dan Banten, Tangerang pernah menjadi sebuah


tempat dimana berbagai suku dan bangsa hidup berdampingan dengan
damai. Rakyat di ketiga kota pelabuhan itu sejak tempo dulu merupakan
konglomerasi dari sejumlah komunitas etnik yang memiliki keyakinan yang
berbeda-beda, seperti China, Arab, Melayu, Eropa dan orang setempat
sendiri.
Dengan kata lain, masyarakat di sana adalah sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi multikulturalisme. Ini tak ubahnya dengan kehidupan
masyarakat Betawi di, Jakarta tempo doeloe. Secara biologis, mereka yang
mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran
aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan
bangsa di masa lalu.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi
sebenarnva terhitung "pendatang baru" di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir
dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di
Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan
Melayu. Antropolog Universitas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA
menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar dua abad lalu, antara tahun
1816-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta
vang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus, yang dikategorisasikan berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnva. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun
1615 dan 1673, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak
ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Pada 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang.
Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747
orang Tionghoa, 1.339 oran; Jawa dan moor (India), 981 orang Bali dan 611
orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang
budak (49%) dari bermacam-macam suku dan bangsa.
Namun, pada 1930, kategori orang Betawi vang sebelumnya tidak,
pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun
tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan,
kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu
juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering
menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang
Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok
etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas,
yakni Hindia Belanda, baru muncul pada 1923, saat Moh. Husni Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru
pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah
golongan, yakni golongan orang Betawi.
Pada 1961, suku Betawi mencakup kurang lebih 22.9 persen dari antara
2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke
pinggiran, bahkan ramairamai menyingkir ke daerah satelit Jakarta, seperti
Bekasi, Cileungsi, Depok, Cibinong, Citayam, hingga ke Tangerang.
Walaupun sebetulnya, suku Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur
dari Jakarta, namun karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia dan hingga kini terus berlangsung, maka melalui proses panjang
itu pulalah suku Betawi hadir di bumi Nusantara.
Di Jakarta dan sekitarnya berangsur-angsur terjadi pembauran antar
suku bangsa, bahkan antar bangsa, dan lambat laun keturunannya masing-
masing kehilangan ciri-ciri budaya asalnya. Akhirnya semua unsur itu luluh
lebur menjadi sebuah kelompok etnis baru yang kemudian Betawi etnis baru
yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat Betawi.
Muncullah beragam dialek dan subdialek Betawi sebagai cerminan dari
pelbagai akulturasi kebudayaan Betawi secara umum. Hal itu merupakan
hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dialek Betawi
bukan cuma satu, hanya ape, kenape, lu-gue, dan gak ade saja, yang
masuk Subdialek Tengah itu. Selain subdialek itu, masih ada subdialek
lain, yaitu subdialek Pinggir, yang juga disebut Betawi Ora. Ini terlihat
dalam kata apah, ngapah serta luh-guah dan ora ada pisan. Ora dari
bahasa Jawa berarti gak (tidak).
Akan halnya dengan asal-usul kebudayaan di Tangerang, tentu saja tak
bisa dilepaskan dengan kebudayaan Betawi secara umum. Pasalnya,
penduduk pendatang asal Betawi kemudian kawin mawin dan beranak
pinak dengan penduduk setempat asal China, Sunda, Jawa, Melayu dan
lainnya. Karena itu, etnis dan budaya penduduk daerah ini kian beragam.
Kondisi tersebut kian memperkokoh Tangerang sebagai daerah pertemuan
berbagai etnis dan budaya, termasuk kebudayaan Betawi.
Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-
ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah
dibedakan dengan kelompok etnis lain. Namun bila dikaji lagi sering
tampak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi
tidaklah mustahil bila bentuk kesenian Betawi itu sering menunjukkan
persamaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain.
Kesenian Betawi seperti Gambang Kromong yang berasal dari seni
musik China, juga akrab di telinga masyarakat Tangerang, Depok dan
Bekasi. Begitu pula kesenian Tanjidor yang berlatar-belakang ke-Belanda-
an. Tetapi musik khas, seperti Keroncong Tugu dengan latar belakang
Portugis, tidak dikenal di Tangerang karena tidak ada akar Portugis di sana.
Bagi masyarakat Betawi sendiri, di mana pun mereka tinggal, segala
yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budayanya
dirasakan sebagai miliknva sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan
dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaan itu.
Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu unsur
kebudayaan yang paling kuat mengungkapkan ciri-ciri kebetawiannya,
terutama pada seni pertunjukkannya.
Berbeda dengan kesenian kraton vang merupakan hasil karya para
seniman di lingkungan istana dengan penuh pengabdian terhadap seni,
kesenian Betawi justru tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat secara
spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh karena itu, kesenian
Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat.
Tampaknya, budayawan Umar Kayam benar ketika ia mengatakan
bahwa sebelum Banten muncul sebagai imperium yang jaya. Sunda Kelapa
dan Jayakarta sudah lebih dulu merupakan permukiman besar yang dihuni
berbagai etnik dan ras, termasuk China dan Arab. Mereka berbaur,
bergesekan, berdialog dan suatu proses pembangunan sosok budaya yang
kemudian disebut Budaya Betawi.

Gambang Kromong
CONTOH pembauran yang harmonis antara unsur pribumi dengan
unsur China dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes
gambang kromong, yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat
seperti gambang, keromong, kemor, kecrek, gendang, kempul, slukat, gong
enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi
berupa alat musik gesek China yakni kongahyan, tehyan, dan skong.
Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan
saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu China
yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan,
Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental.
Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-
kong, seorang pemimpin golongan China.
Dia hidup pada pertengahan abad ke-18 di Jakarta dan dikenal sebagai
penggemar musik. Atas prakarsanyalah, terjadi penggabungan alat-alat
musik yang biasa terdapat dalam gamelan pelog slendro dengan yang dari
Tiongkok. Pada masa itu, orkes gambang kromong hanya dimiliki oleh
babah-babah peranakan China.
Seperti ditulis oleh salah seorang pakar budaya Betawi, Ridwan Saidi,
dalam buku “Profil Orang Betawi”, dijelaskan bahwa Gambang Kromong
adalah jenis musik tradisi Betawi yang mempunyai pengemar tidak saja di
daerah Jakarta, tetapi juga berkembang subur di daerah pesisir, mulai dari
Tangerang hingga Bekasi.
Gambang Kromong digemari masyarakat terutama dari etnik Betawi,
karena selain bisa dinikmati sebagai sebuah sajian musik, juga seni tradisi
yang berkembang di wilayah Tangerang sampai Tambun ini, juga lazim
dipergunakan untuk mengiringi goyang para penari. Syair dari lagu-lagu
Gambang Kromong inipun mencerminkan sinkretisme Melayu-China,
seperti pengaruh alat musik Tehyan atau semacam biola China yang
biasanya terdengar dominan sepanjang lagu, sementara musikalitas
gambang sendiri, membersitkan suatu keakraban yang bernuansa Betawi
Purba. Selain "Jali-jali dan "Sirih Kuning", lagu-lagu lain seperti,"Gelatik
Nguk-nguk", "Surilang Enjot-enjotan", "Cente Alanis Dipatok Burung" dan
lain-lain, banyak mengandung kata yang tidak jelas artinya. Seperti asal
kata, nguk-nguk, surilang atau jali-jali, sangat sulit ditelusuri dari mana
kata-kata itu berasal.
Secara historis, kesemua lagu itu memang memiliki perjalanan panjang
dan menjadi bagian tak terpisahkan dari peta seni rakyat Betawi. Dari
cengkok melodinya, lagu-lagu tersebut jelas terpengaruh notasi lagu
bergaya China.
Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi
tari pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan
sebagainya, di samping untuk mengiringi teater lenong. Teater rakyat
Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat,
dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul,
komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang berkembang pada awal abad ke-
20.

Peh Chun
Nonton Peh Cun di Ka1i Tangerang
Sane-sini aeh rame bukan kepalang
Bang Mamat dan Mpok Mide ampe lupe pulang...
LANTUNAN suara Ida Royani yang diiringi Orkes Gambang Kromong
Naga Mustika barusan, mungkin akrab bagi pendengarnya di tahun 70-an.
Ketika itu sejumlah radio swasta kerap memutar lagu berjudul "Nonton Peh
Cun" ini atas permintaan pendengar.
Repertoire lagu berirama gambang kromong seperti ini, sekarang tak
pernah lagi diperdengarkan dalam ruang publik kita. Boleh jadi, lantaran
kalah pamor dengan genre musik masa kini. Makanya, di kalangan orang
Betawi sendiri paling banter hanya orang yang lebih tua yang dapat
menceritakan nostalgia meriah pesta Peh Chun seperti yang digambarkan
dalam syair lagu gambang kromong tadi.
Pesta Peh Chun adalah untuk memperingati l00 hari tahun baru China
(Imlek). Tahun Baru Imlek atau yang disebut Sin Tjia oleh masyarakat
keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula dari ungkapan rasa
gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk menyambut
musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di
sawah.
Kendati di rayakan oleh masyarakat Tionghoa, namun karena begitu
meriah pesta Peh Chun ini, maka bagi masyarakat Betawi merupakan
hiburan tersendiri. Bagi anak muda Betawi pada zamannya, Peh Chun
menjelma menjadi ajang mencari jodoh. Tua-muda, lelaki dan perempuan,
tak mau ketinggalan menonton "karnaval" di Kali Ciliwung itu.
Peh Chun digelar dari pagi hingga malam, dimeriahkan dengan pesta
perahu di sungai yang dihiasi lampu warna-warni dan orkes gambang
kromong. Saking meriahnya itu pesta Peh Chum, digambarkan dalam lagu
gambang kromong tadi. Bang Mamat dan mpok Mide (figur pasangan muda
Betawi) sampai lupa pulang.
Sedangkan di Tangerang, di samping acara Gotong Toapekong, sejak
tahun 1911 para umat Kelenteng Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta
Peh Chun (Petjun) yang diadakan, di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap
perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim
kemarau ketika air sungai jernih dan tenang. Sayang, acara Peh Chun
tersebut dan apa pun kesenian asal China sempat dilarang oleh pemerintah
untuk dipertunjukkan di mana-mana setelah meletusnya peristiwa G-30
S/PKI.
Baru setelah zaman reformasi, Peh Chun digelar kembali melalui Festival
Cisadane. Pada festival ini digelar kegiatan lomba perahu Naga dan atraksi
kesenian khas daerah seperti tarian barongsay, liong, debus dan atraksi
kesenian khas daerah lainnya. Dalam kegiatan tersebut selain dapat
menyaksikan berbagai atraksi hiburan, pengunjung juga dapat berbelanja
berbagai barang kerajinan dan suvenir yang merupakan hasil kerajinan
rakyat dan juga hasil produksi industri di Kota Tangerang. Di masa yang
akan datang, Festival Perahu Naga yang selama ini diselenggarakan di
belakang pertokoan Robinson, akan dipindahkan ke daerah Kali Pasir yang
banyak terdapat bangunan-bangunan kuno bergaya arsitektur tradisional
China. Pemerintah Daerah Kota Tangerang telah siap dengan Rencana
Terinci Ruang Kota (RTRK) pengembangan Kali Pasir sebagai daerah
wisata budaya.

Tari Cokek
TARI cokek adalah tarian khas Tangerang, yang diwarnai budaya etnik
China. Tarian ini diiringi orkes gambang kromong ala Betawi dengan penari
mengenakan kebaya yang disebut cokek. Tarian Cokek mirip sintren dari
Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah.
Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penari, yang dianggap tabu
oleh sebagian masyarakat lantaran dalam peragaannya, pria dan wanita
menari berpasangan dalam posisi berdempet-dempetan. Cokek sendiri
merupakan tradisi lokal masyarakat Betawi dan China Benteng, yaitu
kelompok etnis China yang nyaris dipinggirkan, dan kini banyak bermukim di
Tangerang.
Menurut Ninuk Kleden Probonegoro, seorang peneliti dari LIPI, banyak
versi tentang awal kelahiran seni rakyat ini. Versi pertama, cerita dimulai
pada masa tuan-tuan tanah menguasai Betawi sekitar abad ke-19,
khususnya di daerah yang saat ini dikenal dengan nama Kota atau Beos. Di
sana banyak tinggal tuan tanah kaya. Setiap malam Minggu, mereka biasa
mengadakan pesta.
Para tuan tanah ini biasanya juga banyak memiliki pembantu yang mahir
bermain musik dan menari. Umumnya pesta para tuan tanah ini dimeriahkan
oleh musik dari rombongan Gambang Kromong. Saat itulah para pembantu
tuan tanah yang terdiri dari gadis-gadis muda itu, melayani tamu-tamu lelaki
untuk menari. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai penari Cokek.
Versi kedua, Cokek berasal dari Teluk Naga di Tangerang. Menutut versi
ini, pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama
Tan Sio Kek. Seperti biasa tuan tanah kaya lainnya, Tan Sio Kek juga
mempunyai sebuah kelompok musik.Pada suatu hari, datang tiga orang
bercocing, yaitu rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan
China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Tehiyan, Su
Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain
musik.
Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat
musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan
bersama-sama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan
tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang
dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong.
Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu,
kemudian disebut sebagai Cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek.
Seperti halnya Nie Hukong, Tan Sio Kek lebih dapat menikmati tarian dan
nyanyian para cokek, yaitu para penyanyi cokek merangkap penari pribumi
yang biasa diberi nama bunga-bunga harum di Tiongkok, seperti Bwee Hoa,
Han Siauw, Hoa, Han Siauw dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, walau kelompok Gambang Kromong bila
mendapat undangan pentas mendapatkan honor atau bayaran, namun para
Cokek, atau penari perempuan itu, tidak dibayar, tetapi mencari bayaran
sendiri dari para lelaki yang mengajak mereka menari atau ngibing.
bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang
kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan
tusuk konde bergoyang-goyang.

Tamu Terhormat
SEBAGAI pembukaan pada tari Cokek ialah wawayangan. Penari
Cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti
irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah
gerakan kaki.
Setelah itu penari Cokek menari bersama dengan mengalungkan
selendang pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat.
Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah
mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan
pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula
pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup
leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas.
Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana
panjang dari bahan semacam sutera berwarna. Ada yang berwarna merah
menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di
ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna
yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan
kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin kebelakang.
Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak
begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang.

Dinamis dan Erotis


SUARA tiga alat musik gesek asal daratan China, khongahyan,
tehiyan, dan su khong, cukup menyayat menusuk gendang telinga. Namun
tiga alat gesek khas China itu, seakan memberikan harmonisasi komposisi
gambang kromong saat mengiringi tarian onde-onde hasil pengembangan
tari Cokek.
Ketiga alat gesek akan terdengar semakin memekik manakala pukulan
kendang dan kecrek dimainkan dalam tempo cepat. Distorsi yang
dihasilkan justru semakin membuat ritme tarian empat penari Cokek, mem-
perlihatkan goyangan pinggulnya mengikuti irama. Mereka seakan tidak
mengenal lelah terus melenggang ditingkahi musik gambang kromong
menciptakan irama penuh keriangan. Posisi tubuh penari yang terkadang
tegak dan terkadang membungkuk, menampilkan kesan erotis. Demikian
pula saat pinggul digoyang, hanya sesekali berputar selebihnya me-
lenggang.
Tarian onde-onde tidak hanya memperlihatkan sisi erotis, tetapi juga
dinamisasi gerak. Semisal di sela selancar serta matuk, juga diselingi
gerakan nguk-nguk (loncat) yang dilakukan secara bersama-sama. Ada-
kalanya tarian ditingkahi gerakan tangan dan kepala, mengikuti entakan
suara gendang dan kecrek saat tempo nada cepat. Namun gerakan sang
penari dapat berubah tiba-tiba manakala te hi ang, su khong, dan khong a
yan, mendominasi musik pengiring.
Dalam gerakan, antara onde-onde yang belakangan. Dimasukkan
dalam khasanah tarian Betawi dengan jaipongan yang juga masuk
khasanah tarian Jawa Barat, merupakan bentuk tarian pengembangan
dari tarian tradisional. Tarian onde-onde merupakan pengembangan tarian
cokek, sedangkan jaipongan pengembangan dari ketuk tilu.
Cokek ini termasuk dalam genre tari rakyat, yaitu tari yang hidup dan
berkembang di kalangan rakyat jelata. Genre tari ini terlahir dan dihidupkan
oleh komunitas etnik. Secara fungsi untuk upacara dan hiburan, tariannya
dapat dibilang sederhana. Dalam penyajiannya jarak antara penonton dan
pemain begitu lentur, dengan kata lain tidak ada jarak estetis, serta seluruh
penonton terlibat langsung dalam pertunjukkannya.
Selain Cokek dari Tangerang, yang termasuk genre tari rakyat antara
lain: sisingaan, doger kontrak dari Subang, ketuk tilu, benjang dari
Bandung, ronggeng gunung, badud, ronggeng kaler dari Ciamis, ronggeng
uyeg dari Sukabumi, angklung sered dari Tasikmalaya, angklung gubrag
dari Bogor, angklung Baduy dari Kabupaten Lebak, topeng banjet dan
bajidoran dari Karawang.

Tradisi Perkawinan Chiou-Thaou


ACARA pernikahan chio-thou diselenggarakan dalam tradisi kuno
masyarakat China Benteng. Tradisi per-kawinan chio-thau juga dilakukan
oleh warga Tionghoa di Padang dan sekitarnya. Chiou-thau adalah istilah
umum bagi suatu upacara pernikahan yang unik dan langka.
Secara harfiah, chiou-thau berarti "mendandani rambut" - sebuah ritual
pelintasan (rite of passage) yang harus dilaksanakan sebagai pemurnian
dan inisiasi memasuki masa dewasa. Upacara ini sangat sakral dan hanya
boleh dilakukan sekali seumur hidup sesaat menjelang pernikahan.
Seorang duda atau janda yang menikah lagi tidak diperkenankan
rnelakukan ritual ini untuk kedua kalinya. Dalam tafsir lain, mereka yang
belum menjalani chiou-thau dianggap masih anak-anak.
Menurut David Kwa, ahli sejarah Tionghoa yang menjadi konsultan
acara ini, di masa lalu pasangan yang tidak menjalani chiou-thau dianggap
akan melahirkan anak-anak haram. Begitu tingginya makna upacara
mendandani rambut.
Pukul enam pagi, ritual ini sudah dimulai di rumah mempelai
perempuan. Dengan upacara sederhana yang berlangsung polos - artinya,
dengan bahasa sehari-hari dan berlangsung sangat wajar, termasuk
kesalahan-kesalahan karena dilakukan tanpa general rehearsal - orang tua
mempelai melakukan sembahyang di depan rumah, dan menyerahkan anak
gadis mereka kepada jururias untuk didandani.
Juru riasnya pun tampil sangat sederhana. Musik tradisional pat tim
(artinya, delapan instrumen) yang terdiri atas instrumen gesek, tiup, dan
perkusi mengiringi acara ini. Bunyi instrumen tiupnya sangat mirip dengan
bagpipe dari Irlandia yang mendayu-dayu.
Pengantin yang cantik keluar dari kamar dengan baju dan celana satin
putih dan rambut tergerai. Ia didudukkan di kursi rias. Secara simbolis
rambutnya disisir oleh adik pengantin. Kemudian rambut itu "disubal" dengan
cemara (rambut palsu) dan digulung menjadi bola rambut di atas kepala
pengantin. Di atas bola rambut itu kemudian ditusukkan 25 tusuk konde
bermotif floral dan burung hong (phoenix). Burung hong adalah ratu semua
unggas. Karena pengantin selalu dianggap sebagai raja sehari, maka
pengantin perempuan memakai lambang ratu (burung hong), sedangkan
pengantin laki-laki memakai lambang raja (naga).
Setelah selesai merias rambut, jubah atau baju luar untuk pengantin
dikenakan. Jubah ini berwarna hijau dan merah dengan sulaman dan
ornamen hias dari logam warna perak bermotif kura-kura, bunga, kupu-kupu,
ikan, kepiting, rusa, buket bunga, dan sebagainya. Wajah pengantin juga
ditutup dengan kerudung dari kain transparan berwarna hijau.
Makan 12 mangkuk
ACARA selanjutnya adalah bersantap dengan 12 jenis lauk yang
masing-masing diletakkan dalam mangkuk porselin. Pengantin wanita
didampingi dua orang saudara laki-laki yang belum menikah dan
sebaiknya dari shio naga dan macan.
Makanan dalam 12 mangkuk itu melambangkan kesinambungan rezeki
dalam tiap-tiap bulan selama setahun. Rasa masakan juga berbeda-beda:
asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih, berlemak - untuk menyiapkan
pengantin bahwa tidak selamanya mereka menghadapi kondisi
menyenangkan sepanjang usia pernikahan mereka.
Setelah rangkaian acara mendandani rambut di rumah pengantin
perempuan selesai, sang jururias diantar ke rumah pengantin laki-laki untuk
melakukan ritual yang sama. Di masa lalu kaum laki-laki juga memakai
rambut panjang yang dikuncir. Tetapi, karena di masa sekarang pengantin
laki-laki kebanyakan berambut pendek, maka upacara penyisiran menjadi
lebih mudah dan singkat. Apalagi karena tidak diperlukan berbagai tusuk
konde.
Sebelumnya, sambil menunggu kedatangan sang jururias, para tamu di
rumah pengantin laki-iaki dijamu dengan berbagai jenis kue tradisional yang
masing-masing mempunyai makna simbolis. Misalnya, harus ada kue pepe,
yaitu kue lapis dari tepung beras yang mengharap agar pasangan pengantin
bisa lengket terus sampai kakek nenek.
Kue lapis legit sebagai pengharapan akan rezeki yang berlapis-lapis. Kue
mangkok yang mekar melambangkan rezeki dan cinta yang terus mekar.
Kue ku berbentuk kura-kura sebagai lambang panjang umur. Ada lagi ketan
tetel yang dicocol dengan serundeng ebi, dan apem cukit yang dicocol
dengan kinca duren. Kue tradisional lainnya termasuk lapis legit, roti
bakso, manisan kolang-kaling, bika ambon, kue bugis, dan kue pisang.
Setelah pengantin laki-laki mengenakan jubahnya dan memakai topi
yang berbentuk caping petani, para sanak keluarga memberi hadiah
berupa uang yang diharapkan akan menjadi modal awal dalam menempuh
bahtera keluarga. Setelah acara saweran ini, dilakukan juga upacara
makan 12 mangkuk.
Taburan Beras Kuning

PENGANTIN laki-laki kemudian pergi menjemput pengantin


perempuan di rumahnya. Di masa lalu, ini dilakukan dengan naik tandu.
Tetapi, sekarang dilakukan dengan naik mobil. Kedatangan kedua
mempelai di rumah pengantin laki-laki disambut dengan gemuruh bunyi
petasan. Tradisi ini tampaknya ditiru dalam tradisi pengantin Betawi.
Anehnya, ada juga acara tabur beras kuning dan uang logam yang
sangat mirip dengan acara pernikahan di berbagai adat Nusantara. Ini
sekaligus menunjukkan masuknya adat Sunda ke dalam tradisi chiou-thau.
Para tamu, khususnya mereka yang masih muda, berebut memperoleh
uang logam yang ditaburkan. Ini dipercaya sebagai lambang rezeki.
Kedua mempelai langsung digiring masuk ke kamar pengantin. Di
belakang pintu tertutup itu kabarnya mereka melakukan upacara makan
onde-onde. Pengantin laki-laki harus mencabut satu kembang goyang dari
sanggul pengantin perempuan. Sebaliknya pengantin perempuan membuka
kancing baju paling atas dari pengantin laki-laki. Masa' seh cuma makan
onde-onde? Ah, nggak usah dibahas lah apa yang sebetulnya terjadi di
dalam sana.
Setelah keluar dari kamar pengantin, dilakukan acara teh pai. Orang
tua dan sanak saudara memberi sekadar uang pelita sebagai hadiah
kepada pengantin. Berlainan dengan angpau yang biasanya dimasukkan
ke dalam amplop berwarna merah, uang pelita ini dimasukkan dalam
amplop putih bergaris merah.
Kepada setiap pasangan orang tua dan kerabat yang akan memberi
amplop, pengantin perempuan terlebih dulu menyuguhkan teh dalam
mangkuk kepada yang, memberi amplop. Sesudah menerima amplop,
pasangan pengantin melakukan pai atau kowtow (menghormat dengan
kedua tangan saling digenggam dan digoyang-goyangkan di depan leher)
sebagai ucapan terima kasih. Bukanlah ini sangat mirip dengan acara "jual
dawet” dalam tatacara perkawinan Jawa?
Tentu saja harus ada acara makan-makan dalam setiap rangkaian
upacara pernikahan. Salah satu hidangan istimewa khas Tangerang adalah
bakso Lohwa. Biasanya bakso ini harus dibuat dari daging babi. Tetapi,
karena banyak tamu yang beragama Islam, daging baksonya dibuat dari
campuran ayam, sapi, dan udang. Kaldu beningnya sungguh lezat. Versi
asli bakso Lohwa ini justru daging yang dicincang kasar agar terasa ketika
digigit.
Hidangan lain yang tampak di meja adalah capcay, sambal godok, ayam
goreng bumbu kuning, pare isi daging, kuah kecap, pindang bandeng,
rujak penganten, dan bihun goreng. Pindang bandeng, seperti pernah
saya kemukakan sebelumnya, tidak hanya populer di Tangerang,
melainkan juga di Jakarta.
Bumbunya adalah bawang merah, cabe, kunyit, jahe, lengkuas, daun
salam, asam jawa. Uniknya, semua bumbu ini hanya dibakar - tidak diulek
- dan kemudian direbus dalam kuah bandeng. Ditambah kecap, tentu saja.
Orang Tangerang sangat bangga dengan produk kecal lokal merek SH.
"Kagak aci kalau bukan kecap SH," kata si jurumasak. Jangan lupa,
pindang bandeng harus dimakan dengan emping goreng khas Banten
yang wajib diguyur dengan kuahnya. Nyam nyam-nyam!!!
Semua makanan yang dihidangkan bukan dari perusahaan jasaboga
(catering), melainkan semacam potluck dari para kerabat dan tetangga,
sehingga betul-betul merupakan home cooking. Pindang bandeng dari
keluarga A, bihun goreng dari keluarga B, dan seterusnya.
Musik Tanjidor

PENGARUH Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat
Betawi, tampak jelas pada orkes Tanjidor, yang biasa menggunakan
klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang
sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan oleh grup-
grup Tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya
penguasa kolonial tempo doeloe.
Dengan alat-alat setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi
perhelatan atau arak-arakan pengantin. Membawakan lagu-lagu barat
berirama 'mars' dan [Waltz] yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena
telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari
generasi ke generasi.
Orkes Tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah
seorang Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki
sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup,
digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling China dan penabuh tambur
Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.
Karena biasa dimainkan oleh budak-budak, orkes demikian itu dahulu
disebut Slaven-orkes. Dewasa ini tanjidor sering ditampilkan untuk
menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan.
Di Tangerang, dalam setiap perayaan Cap Go Meh ini orang-orang
kaya merayakannya dengan menanggap musik Tanjidor atau gambang
kromong lengkap dengan penarinya di muka halaman rumahnya. Tanjidor
juga kerap dimainkan di dalam Kelenteng Boen San Bio, di Pasar Baru.
Sebagian lainnya mengadakan pentas keliling kesenian musik Tanjidor
atau gambang kromong lengkap dengan beberapa orang penarinya.
Rombongan musik keliling ini berada dalam lingkaran tambang.
Orang-orang yang tertarik boleh masuk ke dalam lingkaran tambang untuk
turut berjoget sambil keliling mengikuti rombongan musik tersebut. Rom-
bongan ini berjalan mengikuti arah tambang ditarik, sehingga kalau ada
dua kelompok atau lebih berada dalam satu lingkaran tambang mereka bisa
saling tarik-menarik ujung tambang untuk mengarahkan jalannya
rombongan.
Kalau sudah tarik-menarik, maka kelompok yang mendapat dukungan
besar lebih unggul, karena dengan kekuatan tenaga banyak orang mereka
bisa memimpin jalannya rombongan. Sedangkan yang kalah tidak menjadi
marah, melainkan ikut arus. Tetapi, pada saat lain arah rombongan bisa
berubah lagi karena dorongan orang banyak.
Arak-arakan musik ini bukan hanya satu rombongan saja, tetapi beberapa
rombongan sekaligus turun keliling di jalan-jalan, sehingga kalau bertemu di
tengah jalan mereka saling bertabrakan. Tetapi ini pun tidak menimbulkan
keributan, karena mereka sama-sama tertawa lepas.
Berbagai seni pertunjukan tradisional telah berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya
pesona tersendiri pada wajah Kota Tangerang. Untuk dapat menikmati dan
menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri.

BAB TIGA

Jatidiri Masyarakat

Kota Tangerang

FENOMENA Tangerang sebagai wilayah yang memiliki latar belakang


budaya, dan industri-industri besar serta tempat wisata, mengundang
dunia untuk menengok dan menggali potensi-potensi Tangerang yang
tumbuh subur, untuk diberdayakan. seperti ini. Ditunjang dengan letak
geografis Tangerang sebagai penyangga kota Jakarta. dimana arus roda
ekonomi Jakarta memiliki imbas terhadap kota Tangerang.
Tentunya, kondisi di atas, perlu diantisipasi dan diberdayakan agar
tidak terjadi penyimpangan potensi alam dan penerapan teknologi tepat
guna. Artinya setiap derap perubahan, terjadi dalam masyarakat
Tangerang, harus disandarkan pada upaya-upaya rasional. Upaya
rasionalisasi dibutuhkan sebagai cara untuk melihat perubahan yang
terjadi di masyarakat dengan fakta-fakta dan potensi-potensi yang ada.
Satu potensi tentang perlunya pemberdayaan manusia sebagai sumber
dasar kemajuan pembangunan.
Manusia seperti yang dipaparkan Frederich Taylor dalam bukunya
The Principles as Scientific, adalah "mesin" yang sangat istimewa, yang
mempunyai mekanismemekanisme internal yang dapat diadaptasikan
dengan kebutuhan-kebutuhan industri modern. Antonio Gramsci memeras
gagasan Taylorisme dalam tiga pandangan dasar. Pertama, bahwa dalam
proses produksi pekerja harus terbatas pada tugas-tugas tertentu. kedua,
pekerja harus mengembangkan sikap-sikap otomatis mekanis sebagai
sarana produksi. ketiga, ditekankan insentif-insentif individual untuk
menghancurkan semangat solidaritas kaum buruh.
Pandangan Taylor bisa saja diadopsi dalam keranda kehidupan
masyarakat Tangerang, di mana manusia adalah mesin yang sangat
istimewa, yang mempunyai mekanisme internal dan dapat diadaptasikan
dengan kebutuhan industri-industri yang tumbuh subur di kota Tangerang.
Tentu saja sebagai dampak menjamurnya industri di Kota Tangerang, dan
kelak jika terjadi pasar bebas, dampak yang paling nyata adalah pasar lokal
akan dibanjiri oleh produk-produk global yang memiliki kualitas yang lebih
bail, dengan harga yang cukup bersaing. Untuk itu, bagi Kota Tangerang,
kondisi ini menjadi tantangan yang signifikan, yang harus dihadapi dengan
mempersiapkan Langkah-langkah antisipatif melalui penguatan
kelembagaan ekonomi lokal yang siap bersaing ke kancah pasar global.
Dari sinilah upaya pemberian otonomi daerah merupakan langkah
maju agar berbagai prinsip dan kebijakan daerah mampu dikembangkan
secara mandiri. Arbi Sanit, seorang pengamat politik melihat pemberian
otonomi daerah merupakan suatu keharusan untuk melakukan terobosan
pelaksanaan prinsip dan kebijaksanaan otonomi harus segera direalisasi.
Tentu, otonomi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD),
agar mampu mengelola arus pemerintahan dengan bertumpu pada
kekuatan "sumber daya" yang ada.
Selama ini, gambaran indikator administrasi daerah menunjukkan
kelambanan pertumbuhan daerah, seperti PAD se-Indonesia yang hanya
berkisar sebesar 35 persen, pertumbuhan rata-rata PAD hanya sebesar
21,01 persen dalam tahun 1988-1991, dan besaran PAD terhadap PRDB
Dati II yang hanya di antara 0,23-072 persen di tahun 1990. Bahkan
dipahami pula, kemerosotan kontribusi PAD terhadap APBD tahun
1994/1945 dari 27,75 persen menjadi 17,01 persen.
Semuanya itu berpangkal kepada perkembangan peran administratif
daerah, sebagaimana diperlihatkan oleh pertumbuhan dinas daerah 5-7
buah di tahun 1994/ 1995 menjadi 23-25 buah, tahun 1995/1996, sehingga
harus diimbangi oleh peningkatan belanja rutin dari 42,71 persen tahun
1994/1995 menjadi 75,71 persen dalam tahun 1995/1996.

Menggali Potensi Tangerang


Tangerang bagi sebagian orang adalah tempat sandaran hidup. Kota
industri ini menawarkan banyak hal tentang berbagai ragam kehidupan. Di
Kota Tangerang ini, lalu lalang manusia, setiap hari berburu `mangsa'
kehidupan. Tentu saja ini berkait erat dengan satu adagium bahwa kota
adalah pusat perubahan. Proses perubahan, tentu saja, tidak selalu
berlangsung secara normal seperti yang direncanakan. Gejala-gejala yang
tidak direncanakan, sebagai satu gejala yang abnormal atau gejala
patologis yang lahir karena unsur-unsur masyarakat tidak lagi berfungsi
sebagaimana mestinya, sehingga timbulah ketimpangan sosial.
Selain persoalan ketimpangan sosial, seperti urbanisasi, kemiskinan,
disorganisasi keluarga, kejahatan, dan lumpuhnya lembaga-lembaga sosial
masyarakat, Kota Tangerang juga menghadapi pada berbagai ragam
persoalan perkotaan yang berkaitan dengan prasarana dan sarana kota,
sebagai akibat pertumbuhan kota yang pesat melampaui daya dukung kota
itu sendiri. Mencari solusi atas masalah-masalah Kota Tangerang, baik
yang berakar pada masalah-masalah sosial, atau persoalan yang berpijak
pada prasarana dan sarana kota, juga perlu ada kesadaran perihal
pemahaman dan identifikasi terhadap masalah-masalah yang ada secara
tepat dan menyeluruh. Untuk itu, perlu dikaji secara cermat, realitas
kehidupan kota dalam berbagai perspektifnya dan akar potensi Kota
Tangerang, yang bisa membuat Kota Tangerang berjalan pada rel
pembangunan.

Seperti diketahui bersama, krisis yang melanda Indonesia sejak medio


1997, membawa vibrasi negatif ke dunia perekonomian nasional umumnya,
dan perekonomian regional khususnya. Krisis ini menyebabkan terjadinya
perubahan dari nilai tambah sektor-sektor yang ada di wilayah nasional
juga di wilayah daerah.

Dari basil perhitungan dengan menggunakan analisis Location Question


(LQ) dan Shift Share, dapat diperoleh beberapa kesimpulan mengenai
perekonomian Kota Tangerang. Sebelum melihat dampak analisis LQ, perlu
dijabarkan lebih dulu makna yang terkandung dalam analisis LQ itu.
LQ merupakan teknik untuk menentukan kapasitas ekspor
perekonomian daerah dan derajat self sufficency suatu sektor. Dalam
teknik ini kegiatan ekonomi suatu daerah dibagi menjadi dua golongan,
yakni:

a. Industri basic yaitu kegiatan ekonomi atau industri yang melayani di


daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan.
b. Industri non basic/ industri lokal, yaitu kegiatan ekonomi atau industri
yang melayani pasar di daerah itu sendiri.

Sektor self sufficient, jika nilai LQ dari sebuah sektor = 1, maka sektor
tersebut berproduksi pada level yang sama dengan permintaan dari dalam
daerah tersebut. Dalam kondisi seperti itu, sektor tersebut dapat dikate-
gorisasikan menjadi self sufficient sector.
Secara umum terdapat tiga sektor keunggulan Tangerang, yaitu sektor
industri manufaktur nonmigas, Sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta
sektor transportasi dan komunikasi. Tangerang memiliki keunggulan untuk
sektor ini jika dibandingkan. dengan daerah lain, seperti Banten dan
Jabodetabek yang ditunjukkan oleh nilai LQ>1. Tetapi dari data-data bebe-
rapa tahun belakangan, keunggulan tersebut cenderung tidak terlalu stabil
meskipun masih dalam batasan yang wajar (lihat tabel 1).
Interaksi Tangerang dengan daerah yang lebih besar relatif tinggi,
sehingga Tangerang relatif bergantung terhadap hasil interaksi itu. Hasil
analisis shift share memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian Tangerang
sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian nasional dan regional (nilai
national effect dan regional effect besar), terutama bagi sektor-sektor
unggulan seperti sektor industri manufaktur nonmigas, sektor perdagangan,
hotel dan restoran, serta sektor transportasi dan komunikasi. Meskipun
Tangerang relatif bergantung pada wilayah sekitarnya, secara bertahap mulai
meningkatkan keunggulannya pada sektor-sektor tertentu (nilai regional
effect besar).

Tabel 1
Sektor Basis Kota Tangerang Berdasarkan Hasil Analaisis LQ

LQ terhadap Nasional
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 B/NB
Industri Pengolahan 2.06 2.04 2.02 B
Listrik, gas, dan Air Bersih 1.05 1.04 1.04 B
Perdagangan, Hotel dan 1.59 1.61 1.62 B
Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi 1.59 1.64 1.55 B

LQ terhadap Propinsi Banten

Lapangan Usaha 2000 2001 2002 B/NB


Industri Pengolahan 1.077 1.076 1.076 B
Perdagangan, Hotel dan 1.464 1.446 1.446 B
Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi 1.521 1.514 1.513 B

LQ terhadap Bodetabek
Lapangan Usaha 2000 2001 2002 B/NB
Pertanian, Peternakan, Perikanan, 1.09 1.05 1.09 B
Kehutanan
Industri Pengolahan 2.01 2.06 2.09 B
Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.05 1.07 1.07 B
Pengangkutan dan Komunikasi 1.25 1.27 1.24 B

B/NB
Sumber : Hasil Analisis PDRB
B = Sektor Bersih
NB = Sektor Non Basis

KOTA Tangerang telah berubah. Perubahan di wilayah Kota Tangerang


ini bersamaan dengan arus modernisasi yang semakin menampakkan
jatidirinya di berbagai sudut-sudut kota Tangerang Mall, restoran, bank-
bank, pabrik-pabrik besar adalah salah satu sumbu yang bisa dijadikan
indikator, proses modernisasi itu.
Ada seloroh begini, kalau dulu Tangerang dikenal sebagai tempat "Jin
buang anak", kini dengan pelbagai perubahan yang menakjubkan di
Tangerang, para jin itu malah "buang dolar" . Apa iya di dunia perewangan
itu para jin juga menggunakan dolar? Ya, namanya juga seloroh ini sekadar
gambaran saking pesatnya perkembangan kota, sampai-sampai para jin
pun `ikut tergiur' menanamkan dolarnya di ranah Tangerang.
Akselerasi pembangunan di Tangerang mulai menggelinding, seiring
dengan konsep pembangunan megapolitan yang diusulkan oleh Gubernur
DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977). Dengan konsep megapolitan itu,
perencanaan pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta (Bogor,
Tangerang, Bekasi, dan Depok) mesti dipadukan agar dapat saling
menunjang. Hal ini mendorong lahirnya Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun
1976, yang menetapkan daerah Tangerang sebagai bagian dari w -ilayah
pengembangan Jabotabek yang dipersiapkan untuk mengurangi ledakan
penduduk DKI.
Kota Tangerang yang lahir melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1993, kini pertumbuhannya begitu pesat. Pesatnya pertumbuhan Kota
Tangerang karena Wilayahnya yang berbatasan langsung dengan DKI
Jakarta, yang senantiasa terkait langsung dengan dinamika, pembangunan
nasional. Banyak warga yang bekerja di Jakarta kemudian memilih domisili
di Kota Tangerang. Mereka itu kerap disebut komuter - memakai Tangerang
sebagai tempat istirahat tidur malam, sementara segala macam kegiatan
ekonomi di pagi hingga petang harinya banyak dihabiskan di Jakarta.
Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, Kota
Tangerang memiliki keuntungan dan sekaligus kerugian. Keuntungannya,
kota itu bisa nebeng nama besar ibu kota negara. Para warganya bisa
memanfaatkan fasilitas publik sebuah metropolitan. Apalagi ditunjang
dengan mudahnya aksebilitas ke kota Jakarta dan kota-kota penting di
Banten dan Jawa Barat melalui ruas jalan tol, hingga memberikan
kemudahan untuk saling berinteraksi antarkota.
Ditambah lagi, dengan tersedianya Bandara Internasional Soekarno-
Hatta, maka aksebilitas kota semakin terbuka dengan kota-kota di seluruh
Indonesia bahkan mancanegara. Hal itu kian meningkatkan mobilitas
penduduk, bahkan migrasi penduduk. Ke dalam daerah Tangerang, terutama
daerah perkotaannya, masuklah banyak penduduk baru yang berasal dari
luar, baik dari kawasan lain di Pulau Jawa maupun dari luar Jawa, ataupun
orang asing. Karena itu, etnis dan budaya penduduk daerah ini kian
beragam. Kondisi tersebut kian memperkokoh Tangerang sebagai daerah
pertemuan berbagai etnis dan budaya.
Namun, kerugian berdekatan dengan sebuah ibu kota juga ada.
Secara khusus, kerugian ini sangat dirasakan oleh pemerintah daerah.
Banyak warga Kota Tangerang, yang tinggal di daerah perbatasan dengan
Jakarta, enggan mengakui berdomisili di daerah Kota Tangerang. Kita hanya
berharap dalam kondisi keragaman etnis dan budaya itu, Tangerang menjadi
daerah yang penduduknya hidup rukun, damai, sejahtera, dan tak tercerabut
dari akar budayanya. Dampak lain yang menonjol di
Tangerang dari pelaksanaan program pembangunan megapolitan ini, adalah
berubahnya segala bidang kehidupan masyarakat setempat. Semula,
penduduknya hanya mengandalkan kegiatan bidang pertanian untuk
menopang hidup. Seiring dengan perkembangan selanjutnya, mereka mulai
mengerjakan berbagai bidang kegiatan ekonomi, terutama bidang industri,
perdagangan, dan jasa yang tentu mengubah pola dan orientasi hidup
masyarakat. Sebagai daerah penyangga ibu kota, wilayah ini memang
dipersiapkan untuk kegiatan perdagangan dan industri, pengembangan
pusat-pusat permukiman untuk menjaga keserasian pembangunan dengan
DKI Jakarta. Bahkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1989, Tangerang harus mengalokasikan 3.000 hektar lahannya untuk
industri. Kota
Tangerang memiliki luas wilayah 17.729,746 hektar. Pertumbuhan fisik kota
menunjukkan besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 12.331 hektar
(68% dari seluruh kota) sehingga sisanya strategis untuk dikonsolidasikan ke
dalam wilayah terbangun kota.
Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian kota
Tangerang, sebagian besar terdapat di wilayah Kecamatan Jatiuwung,
Batuceper, Kecamatan Tangerang dan sebagian kecil di Kecamatan
Cipondoh. Berdasarkan pendataan yang
dilakukan oleh Kantor Penanaman Modal dan Perizinan (KPMP) Kota
Tangerang, terdapat 52 perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang
tersebar di seluruh wilayah Kota Tangerang. Total investasi yang
ditanamkan oleh perusahaan-perusahaan PMA tersebut mencapai nilai Rp.
1,3 triliun. Sedangkan perusahaan PMDN di wilayah Kota Tangerang
tercatat 91 perusahaan, dengan nilai investasi keseluruhan mencapai Rp 2,8
triliun. Adapun jumlah tenaga kerja lokal (TKL) yang dapat
diserap oleh perusahaan PMA itu mencapai 52.357 orang. Sedangkan
tenaga kerja asing (TKA) pada perusahaan PMA itu mencapai 465 orang.
Juga data dari KPMP Kota Tangerang menyebutkan, 91 perusahaan PMDN
yang tersebar di seluruh wilayah Kota Tangerang mempekerjakan 59.162
TKL dan selain masih mempekerjakan TKA sebanyak 473 orang.

Tabel 1. Negara Asal PMA

Negara Asal Jumlah


Perusahaan
Jepang 10
Taiwan 10
Hongkong 7
Korea Selatan 5
Singapura 2
Inggris 1
Malaysia 1
Amerika 1
Serikat
Konsorsium 3
Tabel 2. Negara Asal PMA
Sumber: Kota Tangerang Dalam Angka, 2002

Tabel 3. Jenis Produksi Perusahaan PMDN


Jenis Produk Jumlah
Perusahaan
Kertas 2
Perangkat mobil 1
Alat Kesehatan 7
Tepung/Pengolahan 10
Makanan
Kulit imitasi 5
Industri pembuatan 10
drum
Industri ubin 1
Industri 1
peralatan/gelas/hiasan
Angkutan umum/taksi 3
Sepatu/sepatu 1
olahraga
Pakaian jadi 3
Kain 1
jadi/Tekstil/Pencelupa
n
Makanan ringan 3
Kimia dan olahan zat 1
kimia
Furnitur/Mebel/Olahan 3
kayu
Peralatan karet dan 1
logam
Sumber: Kota Tangerang Dalam Angka, 2002

Kota Seribu Pabrik


Sejak Desember 2000 lalu, Kota Tangerang yang sebelumnya hanya
terdiri dari enam kecamatan, telah ditetapkan menjadi 13 kecamatan.
Memang, pada mulanya agak merepotkan. Misalnya, warga yang tinggal di
Kelurahan Karang Mulya, harus menghapus nama Kecamatan Ciledug dan
menggantinya dengan Kecamatan Karang Tengah.
Begitu pula warga yang bermukim di Kelurahan Karang Sari; mereka
harus menutup nama Kecamatan Batuceper dan menggantinya dengan
Kecamatan Neglasari. Atau mereka yang rumahnya di Kelurahan Cimone,
harus mengganti nama Kecamatan Tangerang dan menggantinya dengan
Kecamatan Karawaci.
Dengan penduduknya yang 1,5 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan
penduduk rata-rata 3,94 persen per tahun, Kota Tangerang sesungguhnya
merupakan daerah tingkat dua yang cukup kaya. Nilai total kegiatan
ekonomi daerah ini tahun 1998 apabila dibagi dengan jumlah penduduk-
nya (PDRB per kapita) hampir mencapai Rp 10 juta, jauh lebih tinggi
daripada produk domestik bruto (PDB) per kapita nasional yang Rp 4
jutaan. Dari mana
kekayaan Kota Tangerang diperoleh? Setengah dari total kegiatan
ekonomi kota untuk tahun 1999 yang nilainya mencapai Rp 15 triliun,
ternyata diperoleh dari kegiatan ekonomi di sektor industri pengolahan.
Sekitar 15 persen industri sedang dan besar di Kota Tangerang ini
terkonsentrasi di Kecamatan Jatiuwung.
Berbagai jenis pabrik, mulai dari industri makanan dan minuman, tekstil
dan pakaian jadi, kimia hingga industri logam dan barang dari logam, sudah
beroperasi di kecamatan itu. Tidak heran, kecamatan yang berbatasan
langsung dengan sebelah timur Kabupaten Tangerang itu, harus
dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yaitu Jatiuwung sendiri, Cibodas, dan
Periuk.
Selain di Jatiuwung, beberapa industri besar seperti PT Argo Pantes
dan PT Indofood berlokasi di Kecamatan Tangerang, tepatnya di
Kelurahan Cikokol. Sisanya berada di Kecamatan Batuceper, dan
sebagian kecil Kecamatan Cipondoh. Kegiatan industri tersebut mayoritas
berlokasi di koridor Jalan Daan Mogot - Batuceper. Sedangkan sebagian
lagi berlokasi di koridor Sungai Cisadane - Jalan Imam Bonjol - Jalan M.H.
Thamrin.
Jumlah industri besar/sedang di Kota Tangerang pada tahun 2001
adalah sebanyak 619 unit, dengan rincian 314 perusahaan industri besar,
dan 305 perusahaan industri sedang. Sebagian besar perusahaan industri
besar/sedang tersebut bergerak di sektor industri kimia, produk kimia,
minyak, batubara, dan produk dari plastik (155 perusahaan atau 25%).
Sebanyak 142 perusahaan atau 22,94 persen perusahaan industri
besar/sedang bergerak di sektor industri barang dari logam, mesin dan
perlengkapannya. Sedangkan 125 perusahaan atau 20,19 persen
perusahaan industri besar/sedang bergerak di sektor industri tekstil,
pakaian dan kulit.
Untuk menggerakkan roda perekonomian di kota yang dijuluki sebagai
"Kota Seribu Pabrik" ini, tentu tidak cukup dari sektor industri besar saja.
Masyarakat kebanyakan yang rentan ekonominya harus pula (diberdayakan
melalui sektor usaha industri kecil (home industry). Ini pula lantaran sektor
industri kecil bakal menjadi penopang sektor industri besar.
Hingga 2001, sebagian besar rumah tangga di Kota Tangerang
bergerak di sektor ekonomi industri/kerajinan (120.476 rumah tangga atau
33,96%). Usaha kecil yang dijalankan masyarakat menghasilkan berbagai
produk, di antaranya bola sepak, sandal dan sepatu dengan memanfaatkan
bahan baku sisa industri. Hal ini tentunya mempunyai dampak yang positif,
karena limbah yang dihasilkan. oleh industri besar dapat dimanfaatkan
untuk menjadi barang produksi dan juga menjadi sumber penghasilan
masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah.
Sektor ini tidak hanya memanfaatkan limbah industri, namun sampah
yang merupakan limbah yang dihasilkan rumah tangga dapat pula
dimanfaatkan dengan melalui proses pemisahan sampah organik untuk
dijadikan pupuk melalui proses composing. Pengolahan sampah organik
untuk dijadikan kompos tentunya sangat membantu untuk mengurangi
timbunan volume sampah yang dihasilkan masyarakat. Selain itu
pengolahan sampah yang berwawasan lingkungan membantu pemerintah
dalam masalah penanganan dan penanggulangan sampah, juga dapat
menunjang pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Peluang Investasi
DENGAN pemahaman terhadap potensi dan kendala yang dimiliki
Kota Tangerang, maka pemerintah kota ini merumuskan strategi
pengembangan wilayah yang paling menguntungkan untuk diterapkan di
masa mendatang, yakni dengan mengutamakan kegiatan unggulan
berupa: pengembangan industri, perdagangan, keuangan dan perbankan,
serta pemukiman.
Sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 13 Tahun 1976,
keempat sektor kegiatan tersebut telah tumbuh sangat pesat di Kota
Tangerang. Pertumbuhan keempat sektor kegiatan tersebut semakin
pesat dengan adanya ruas jalan tol Jakarta - Tangerang - Merak dan
gerbang perhubungan udara Indonesia Bandara Internasional Soekarno-
Hatta. Keempat sektor kegiatan tersebut menjadi sumber mata
pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Kota Tangerang.

Pengembangan Industri
PENGEMBANGAN Industri di Kota Tangerang sebagai akibat dari
keterbatasan lahan peruntukan di Wilayah DKI Jakarta. Pengembangan
industri itu telah dimulai sejak tahun 1976 hingga saat ini. Fenomena
pengembangan industri tersebut dapat dilihat di sepanjang Jalan Daan
Mogot di Kecamatan Batuceper, sepanjang aliran Sungai Cisadane dan
belahan kota di Kecamatan Tangerang, kawasan industri di Kecamatan
Jatiuwung, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Cipondoh. Pertumbuhan
industri di daerah-daerah tersebut sangat pesat hingga saat ini menjadi
kekuatan ekonomi bagi Kota Tangerang.
Menurut data dari Kantor Penanaman Modal dan Perijinan (KPMP),
tercatat 1.407 unit usaha industri yang ada di Kota Tangerang yang
mempekerjakan 149.827 tenaga kerja lokal dan 356 tenaga kerja asing.
Investasi yang ditanamkan dalam seluruh kegiatan industri tersebut
mencapai RP 3.716.781.817.979,00.
Kegiatan industri yang telah berkembang di atas lahan seluas
1.367,1 hektar tersebut masih memiliki peluang untuk dikembangkan lagi di
masa yang akan datang. Ribuan hektar lahan di Kawasan Industri
Jatiuwung serta zona industri di Kecamatan Tangerang dan Batuceper
terbuka bagi pengembangan oleh investor swasta nasional dan
internasional.
Selain itu dengan adanya rencana perluasan Bandara Internasional
Soekarno-Hatta hingga tahun 2020 dan penerapan otonomi daerah, maka
investasi dan peluang untuk perluasan jaringan distribusi produk ke berbagai
sasaran pasar akan semakin mudah dan terbuka.

Tabel 4 Wilayah Investasi

Kecamatan Peruntukan Wilayah Investasi

Ciledug Wilayah berbatasan dengan Jakarta


Barat dan Jakarta Selatan, kegiatan
Larangan dominan permukiman dengan jumlah
penduduk yang sangat padat.
Karang
Tengah
Cipondoh
Pengembangan kawasan permukiman
untuk memenuhl kebutuhan di masa
Pinang yang akan dating.
Tangerang Pusat Kota Tangerang (perdagangan
dan bisnis) dengan kepadatan penduduk
tinggi
Karawaci

Jatiuwung
Pengembangan kegiatan industri,
Cibodas menjadi daya tarik bagi migrasi pekerja
industri
Periuk
Batuceper
Wilayah berbatasan dengan Jakarta
Neglasari Barat, akses baik, menjadi wilayah
perluasan kegiatan industri dan
Benda perumahan dari Jakarta.

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2002


Mewujudkan Visi
UNTUK mewujudkan visi kebijakan pengembangan Kota Tangerang
sebagai kota industri dan perdagangan yang modern, mau tak mau
Pemerintah Kota Tangerang harus mengarahkan kota ini menjadi lebih
mandiri, yaitu dapat membiayai rumah tangga sendiri, dengan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dibutuhkan untuk pembiayaan
pembangunan mengingat terbatasnya bantuan dari pemerintah yang lebih
tinggi seperti tingkat pusat dan propinsi.
Selain itu, dengan semakin besarnya semangat desentralisasi dari
pemerintah pusat, maka pengambilan keputusan yang lebih besar di tingkat
kota harus didukung oleh efisiensi birokrasi dan pelayanan. Begitupun
dengan potensi penduduk kota yang besar, merupakan aset kota yang harus
diberdayakan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan masyarakat kota sendiri.
Perubahan iklim politik juga menyebabkan munculnya perubahan
mendasar pada kebijakan pembangunan. serta adanya paradigma baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Beberapa
paradigma baru yang muncul sejalan perkembangan kondisi ekonomi, politik
dan sosial itu di antaranya: demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan,
pemerintahan, yang amanah, yang menghendaki pemerintahan dikelola
secara bersih dan bertanggung jawab, transparan dan berlandaskan hukum.
Visi "Kota Tangerang Menuju Kota Industri, Perdagangan dan Permukiman
yang Ramah Lingkungan dalam Masyarakat yang Berakhlak Mulia," telah
mengalami proses yang panjang dan telahan yang mendalam dari berbagai
pihak terkait (stakeholders). Visi ini merupakan suatu cara pandang ke
masa depan yang mengilhami setiap tindakan pemerintah Kota Tangerang
dan memotivasi secara positif untuk mencapai kondisi yang diinginkan di
masa mendatang.
Penetapan visi tersebut didasarkan kepada beberapa pengertian,
yaitu untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, seluruh lapisan
masyarakat Kota Tangerang harus bersatu dan bekerja keras urituk
meningkatkan kesejahteraan. Kota Tangerang sudah selayaknya
berupaya untuk menjadi kota industri dan perdagangan yang terkemuka,
karena potensi daerah sebagai kawasan perkotaan menunjukkan
dominasi dari kegiatan industri dan perdagangan.
Visi ini memberi implikasi terhadap kemampuan untuk bersaing sebagai
kota termaju dan memiliki keunggulan-keunggulan dalam aspek lain seperti
pendidikan, industri, lembaga penelitian dan pengembangan. Rumusan visi
tersebut didorong oleh adanya kegiatan ekonomi strategis seperti industri,
perdagangan, jasa, perbankan, dan keuangan. Letak Kota Tangerang
secara geografis yang berbatasan dengan DKI Jakarta sebagai ibukota
negara, sangat menguntungkan. Keuntungan tersebut ditunjang oleh
keunggulan sektor perdagangan dan jasa serta keberadaan Kabupaten
Tangerang yang memiliki potensi sebagai daerah produktif (baik sektor
primer maupun sekunder). Selain itu Kota Tangerang berada dalam jalur
lintas penerbangan internasional.
Berbagai potensi tersebut menjadi pendorong yang kuat untuk
menempatkan Kota Tangerang sebagai kota yang paling unggul di Propinsi
Banten sekaligus sebagai mitra DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang.
Dukungan aksebilitas yang baik, ketersediaan sarana dan
prasarana,kemudahan berinvestasi, serta kondisi lingkungan yang kondusif
menjadikan Kota Tangerang memiliki prospek yang cerah dan menjanjikan
sebagai lokasi pengembangan berbagai kegiatan perekonomian perkotaan.

Menjalankan Misi
MISI adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenangan
dan tanggung jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi
dan situasi yang diinginkan pada akhir kurun waktu tertentu yang
menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai sebagai prasyarat
terwujudnya visi.
Dari rumusan visi di atas, dapat diuraikan visi yang diemban Kota
Tangerang adalah sebagai berikut;
Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota;
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanam public;
Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan Mewujudkan
pembangunan yang ramah lingkungan.

Nilai inti budaya Pemkot Tangerang merupakan nilai-nilai yang harus dianut
dan diterapkan dalam sikap dan perilaku seluruh jajaran aparat Pemkot Ta-
ngerang, dalam menjalankan semua kegiatan, dalam menjalankan
hubungan dengan stakeholder Kota Tangerang, baik dalam pelayanan
kepada masyarakat (publik), maupun pelayanan kepada dunia usaha. Nilai
inti budaya tersebut adalah:
1. Inovasi (innovation)
2. Kebersamaan (unity)
3. Keberlanjutan (sustainability)
4. Profesionalisme (profesionalisme)
5. Akhlak Mulia (akhlakul karimah)

Pemkot Tangerang telah menyusun suatu rencana yang sistematis


melalui program-program berskala prioritas dalam rangka mencari solusi
masalah-masalah yang relevan. Program-program prioritas tersebut
mencakup pemulihan ekonomi, peningkatan pelayanan dasar, memperluas
cakupan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kota.
Selain itu, meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
dan mengoptimalkan kinerja aparatur dalam menciptakan ketentraman dan
ketertiban yang lebih konsisten. Seluruh proses dan tahap-tahap kegiatan
akan dirancang untuk sebanyak mungkin melibatkan stakeholder dengan
pendekatan partisipatif agar dukungan terhadap pelaksanaan setiap
program menjadi lebih luas.

A. Pemulihan Ekonomi
Pemulihan ekonomi Kota Tangerang bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri, terkait dengan pemulihan ekonomi nasional. Akan tetapi dalam
skala lokal pemulihan ekonomi dapat dilakukan melalui program prioritas
sebagai berikut :
1. Pembangunan kegiatan industri di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper
dan pembangunan Center Business District (CBD) Tangerang;
2. Pengembangan industri kecil/rumah tangga dengan prioritas pada
upaya pengembangan dan perluasan ekonomi rakyat;
3. Perluasan jaringan pemasaran untuk industri kecil yang berorientasi
pada pasar domestic dan ekspor;
4. Penciptaan kemudahan prosedur perizinan dan pemberian insentif;
5. Peningkatan kemampuan dan keterampilan wirausaha masyarakat
yang berbasis koperasi, dan meningkatkan kemampuan tenaga kerja
secara optimal.

B. Peningkatan Pelayanan Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial


Pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial
adalah pelayanan dasar yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota
Tangerang dengan sungguh-sungguh sebagai suatu pelayanan langsung
kepada masyarakat. Dalam penyelengaraan pelayanan dasar tersebut,
Pemerintah Kota akan mengoptimalkan peran serta masyarakat.

Secara umum kebijakan bidang pendidikan ditujukan untuk


menghasilkan SDM yang tidak hanya pandai secara akademik, namun juga
harus mempunyai kualitas pada pasar kerja. Pendidikan lebih ditujukan
untuk mencetak manusia dewasa yang mandiri dari kehidupan ber-
masyarakat yang bertanggungjawab dan tahu akan kelebihan serta
kekurangan dirinya.
Sehingga menjadi pribadi-pribadi yang penuh perhatian dan peduli
terhadap sesama. Untuk mencapai tujuan itu ada beberapa persoalan yang
perlu diperhatikan dalam membangun bidang pendidikan. Yaitu (1) kualitas
pendidikan, dimana di dalamnya termasuk kualitas kurikulum, kualitas guru,
dan kualitas manajemen pendidikan. (2) kesetaraan dan aksebilitas untuk
memperoleh pelayanan pendidikan baik sarana maupun prasarana.
Peningkatan pelayanan mencakup program prioritas sebagai berikut:
1. Belum meratanya kesempatan memperoleh pendidikan tingkat dasar,
terutama untuk menjangkau masyarakat kurang mampu;
2. Masih tingginya angka putus sekolah, buta huruf ;
3. Masih rendahnya partisipasi sekolah di tingkat SLTP, SMA dan MA;
4. Belum sesuai mutu dan muatan kurikulum dan kebutuhan dasar
tenaga kerja yang tercermin dari banyaknya lulusan yang tidak
memiliki keterampilan yang dibutuhkan;
5. Pendidikan luar sekolah masih kurang dapat perhatian dari
pemerintah;
6. Masih rendahnya pelayanan pendidikan dan belum adanya standar
pelayanan minimal yang sesuai dengan kondisi Kota Tangerang;
7. Kurang memadainya kualitas guru;
8. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru;
9. Sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah dan kualitas masih
dirasakan kurang, terutama di pinggiran Kota Tangerang;
10. Manajemen berbasis sekolah belum terlaksana dengan baik, dan ini
mencerminkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam dunia
pendidikan;
11. Alokasi anggaran untuk pendidikan masih dirasakan belum memadai
untuk kebutuhan meningkatkan kualitas SDM Kota Tangerang.

Potensi Urban Heritage Tourism


KOTA Tangerang sejatinya memiliki potensi untnk dikembangkan
menjadi kota wisata budaya.Sebut misalnya bangunan bersejarah yang
masih terjaga kelestariannya, seperti Bendungan "Pintu Sepuluh" atau biasa
disebut Bendung Sengego di Sungai Cisadane, Vihara Nimmala atau
Kelenteng Boen San Bio, Rumah Tua Kapiten Tionghoa dan sebagainya.
Demikian pula budaya lokal yang dipengaruhi oleh etnik Tionghoa
seperti Peh-Cun (balap perahu naga) di Kali Cisadane, tari Cokek, tradisi
chio-thaou, musik Tanjidor dan lain-lain. Keadaan ini sangat menguntungkan
bagi Kota Tangerang sebagai kota industri dan perdagangan yang modern.
Tak berlebihan kiranya Kota Tangerang disebut sebagai kota warisan
budaya yang memiliki daya tarik tinggi.
Sayangnya, di kota yang pada Senin, 2 8 Februari 2005 sudah
berulang tahun ke-12 ini, semangat dari berbagai pihak, untuk menjadikan
Kota Tangerang sebagai tempat wisata budaya, kurang mendapat respon
yang memadai. Tentu saja, upaya untuk Kota Tangerang sebagai tempat
wisata budaya, tidak hanya datang dari Pemkot saja. Komponen lain di
masyarakat juga harus terlibat. Di kota ini, masyarakat pada umumnya
hanya jalan-jalan di pasar, toko, dan mal mencari makanan enak yang
sesuai dengan selera masing-masing, lalu pulang.
Memang jika hendak menyusuri sejarah perjuangan tokoh lokal di kota
ini, belum ada lembaga yang setiap saat siap menerangkan. Peninggalan
sejarah perjuangan nyaris tak berbekas, kecuali taman makam pahlawan
yang hanya dikunjungi setahun sekali tiap Agustus. Sisa-sisa bangunan
peninggalan pada zaman kolonial Belanda memang belum dibenahi secara
optimal dan perlu pembenahan tersendiri, khususnya di tepi sebelah barat
Sungai Cisadane. Juga belum ada rekonstruksi sejarah dan upaya
pemeliharaan bangunan-bangunan yang masih tersisa, mulai dari tepian
Sungai Cisadane di Karawaci hingga Kedaung.
Padahal, kalau semua pihak terlibat dan memiliki niat memajukan
kota Tangerang sebagai kota wisata budaya dengan baik dan dirangkai
cerita sejarahnya serta didokumentasikan, situs-situs bersejarah itu bisa
menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Tangerang. Dan pada gilirannya,
pemerintah kota akan memiliki pendapatan dari sektor ini.
Di pelbagai kota-kota besar di seluruh
penjuru dunia, konsep pariwisata Urban Heritage Tourism akhir-akhir ini
banyak dikembangkan. Urban Heritage Tourism adalah sebuah konsep
pariwisata yang sebenarnya sederhana dengan memanfaatkan lingkungan
binaan maupun alam yang dimiliki oleh sebuah kota, yang memiliki nilai
historis tersendiri.
Para penikmat dan pemerhatinya diajak untuk mengapresiasi serta
menginterpretasi objek-objek yang diamati. Dengan demikian, selain
berfungsi sebagai sarana pendidikan dan rekreasi masyarakat, aktivitas ini
sekaligus pula sebagai sarana pelestari dari kekayaan kota itu sendiri.
Objek yang diamati pada urban heritage tourism bisa bermacam-macam,
baik benda (mati atau hidup) maupun juga aktivitas.
Umumnya, benda-benda seperti situs, monumen, serta bangunan-
bangunan bcrsejarah memiliki posisi yang penting dalam wisata jenis ini.
Kota-kota yang berusia tua melebihi ratusan tahun memiliki banyak
bangunan yang merupakan saksi bisu dari perkembangan lingkungannya,
potret dari kejadian-kejadian masa lampau yang pernah terjadi di
sekelilingnya. Bangunan-bangunan tersebut kemudian menjadi bukti
sejarah yang konkret, yang mendukung buku-buku sejarah yang ditulis
bertahun-tahun kemudian.
Setiap manusia memiliki kerinduan untuk menikmati dan mempelajari
asal usul serta apa yang pernah terjadi pada masa lampau. Selain itu,
tanggung jawab semua pihak untuk ikut menjaga objektivitas sejarah
dengan meneruskannya kepada generasi-generasi selanjutnya. Hal itulah
yang kemudian dikerjakan oleh para pengelola urban heritage tourism,
yang bukan hanya berjuang mempertahankan eksistensi sebuah perjalanan
budaya, namun juga menghasilkan profit dari proses tersebut.
Selama ini, disadari ataupun tidak, Kota Tangerang memiliki potensi
yang cukup besar untuk pengembangan urban heritage tourism. Sebagai
kota yang dihuni oleh penduduk multi etnis, Tangerang banyak
meninggalkan bangunan-bangunan dengan nilai historis yang kental. Hal
tersebut merupakan modal yang sangat besar bagi konsep urban heritage
tourism.
Pemerintah Kota Tangerang dan komponen masyarakat Kota
Tangerang, seharusnya mencermati soal ini secara serius dan optimal.
Sebab pangsa pasar wisatawan yang menggemari segmen ini, terutama
wisatawan mancanegara cukup tinggi. Sejak tahun 1992 bangunan--
bangunan bersejarah dilindungi dengan adanya U.U. Nomor 5/1992
tentang Benda-benda Cagar Budaya.
Selain memacu akselerasi pembangunan, warga masyarakat Kota
Tangerang harus mampu menjaga lestari kearifan budaya lokal, ketika
sebagian besar kota di Indonesia sangat tertinggal dalam sistem
pengelolaan dan persepsi terhadap warisan peninggalan budaya
masyarakat, baik yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat
mata (intangible).
Memang, bangunan-bangunan kuno tersebut membutuhkan ongkos
pemeliharaan yang tinggi, yang tentu saja jika dari pertimbangan finansial
semata akan tampak kurang efisien. Akibatnya, jika tidak dirobohkan,
pemilik bangunan lebih memilih untuk menelantarkannya. Hal yang tentu
saja merugikan bagi generasi muda, yang tidak mendapatkan kesempatan
menikmati keragaman budaya kotanya, sekaligus menikmati sejarah
perkembangannya.
Jauh sebelum urban heritage tourism bergulir, Singapura merupakan
salah satu pelopornya di kawasan Asia Tenggara. Ketika Singapura pun
mengalami economic boom pada 1970-an, bangunan-bangunan kolonial
yang banyak menghiasi kota digantikan dengan bangunan bergaya
internasional yang "dingin" dan tercerabut dari akar budaya. Ketika krisis
ekonomi melanda pada akhir dekade tersebut, ditandai dengan anjloknya
harga minyak bumi, bergulirlah wacana pengembangan kepariwisataan
yang berpijak pada heritage sebagai dasarnya.
Singapore Heritage Society mengadakan studi mengenai
pengembangan pariwisata Singapura dengan menggandeng institusi
terkenal seperti Harvard University dan Massachussetts Institute of
Technology. Akhirnya, pada tahun 1984, disepakatilah pengembangan
konsep heritage tourism berupa renovasi, restorasi, dan rekonstruksi dari
kawasan-kawasan bersejarah negeri pulau tersebut.
Kawasan yang ditetapkan ke dalam projek berupa Singapore River,
Chinatown, Kampung Glam, dan Little kiam. Untuk meningkatkan apresiasi
terhadap kebudayaan asli daerah, Singapura pun membangun beberapa
theme park dengan konsep yang mirip seperti TMII milik kita. Kesadaran itu
memang datang terlambat, tetapi toh hasilnya tereguk juga dan ternyata
cukup mencengangkan.

Selain mendapatkan keuntungan dari segi pelestarian budaya dan


sejarah, Singapura mendapatkan lonjakan wisatawan yang cukup tajam
di tengah muramnya pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara masa itu. Kini
kunjungan turis mancanegara ke Singapura kembali ke angka normal
karena suguhan yang bervariasi. Mulai dari yang berwajah kuno sampai
yang berpenampilan modern. Bahkan, untuk menikmati malam tahun
baru di hotel "Raffles" misalnya, kamar harus di-booking satu semester
sebelumnya!
Kembali lagi ke Tangerang, sebenarnya berkaca dari pengalaman
Singapura tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan. Bangunan-
bangunan kuno bercorak indah di Tangerang dapat diberi sentuhan dan
fungsi baru yang lebih komersial. Dengan demikian, biaya pemeliharaan
yang tinggi dapat tertutup.
Jika pun terpaksa, dalam kasus-kasus ketika dimensi bangunan
bersejarah tersebut tidak dapat lagi menampung fungsi baru yang menuntut
luasan yang jauh lebih besar, penghancuran seharusnya merupakan pilihan
yang dihindari. Arsitek besar Paul Rudolph yang merancang Wisma
Dharmala di Jakarta menawarkan teorinya tentang "Bangunan Latar
Depan" dan "Bangunan Latar Belakang".
Bangunan-bangunan bergaya internasional yang multiselular dan
universal dengan ciri perwajahan yang cenderung sama, seperti pusat-
pusat perbelanjaan bernuansa superblok yang tumbuh bagaikan jamur di
musim hujan, diletakkan di latar belakang. Sementara itu, bangunan-
bangunan yang bernuansa khusus, seperti dalam kasus ini bangunan-
bangunan historis, diletakan di latar depan.
Dengan demikian, minimal fasade bangunan tidak hilang sehingga
dapat tetap berfungsi sebagai saksi sejarah dengan semangat zamannya
masing-masing. Dengan konsep ini, kekayaan budaya kota dapat tetap
lestari sementara keuntungan finansial dapat tetap diperoleh.

Perda Cagar Budaya


DI era otonomi daerah, upaya perlindungan dan pelestarian benda-
benda cagar budaya dalam banyak hal sudah diserahkan kepada masing-
masing daerah. Mau tidak mau Kota Tangerang harus segera mengambil
inisiatif untuk merumuskan langkah dan payung hukum bagi upaya
perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya yang dimiliki,
yakni dalam bentuk peraturan daerah (perda).
Pengaturan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan hukum,
baik bagi pemerintah maupun masyarakat, dalam melakukan aktivitasnya
masing-masing dalam kaitannya dengan benda-benda cagar budaya.
Dalam hubungan ini, pemerintah Kota Tangerang mendorong kalangan
masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran pengelolaan dan pelestarian
warisan budaya (heritage) tadi.
Jangan pernah mengulangi kekeliruan Singapura, karena membongkar
bangunan-bangunan kuno untuk memberi tempat bagi gedung baru yang
serba modern dan berteknologi canggih. Jika selama ini gedung-gedung
tua dan legendaris itu masih utuh, itu lebih disebabkan belum ada investor
yang berminat membangun gedung baru di situ. Bukan karena alasan
konservasi.
Ke depan diharapkan agar warisan budaya ini mampu memberikan
topangan kesejahteraan bagi pemerintah daerah, bukan cuma pada sisi
budaya, tetapi juga sisi ekonomi, wisata, dan sistem sosial yang
terpelihara. Kalau tidak, kekayaan warisan budaya masyarakat bakal kian
memudar, kian jauh dari konteks kehidupan riil, dan akhirnya terbengkalai.

Landmark Kota
DENGAN mayoritas penduduknya beragama Islam, tak heran jika
masjid dan mushala adalah sarana ibadah yang paling banyak jumlahnya
di Kota Tangerang. Pada 2001 di Kota Tangerang terdapat 392 masjid
dan 1.088 surau/langgar. Sedangkan sarana peribadatan lainnya yang
terdapat di sana adalah 7 gereja Katholik dan 34 gereja Protestan. Bagi
umat Hindu, Kota Tangerang menyediakan 8 pura sebagai tempat
beribadah. Selain itu terdapat pula 15 vihara, salah satunya adalah
Kelenteng Boen Tek Bio.
Sebagaimana kota-kota lain di seluruh Indonesia, Kota Tangerang
juga memiliki masjid kebanggaan. Bangunan Masjid Agung Tangerang
mudah dikenali dengan lima buah kubah biru azure dan empat buah
minaret menjulang seperti masjid-masjid di Turki. Masjid megah nan indah
itu adalah Masjid Raya Al Azhom yang dibangun di atas lahan seluas
2,25 hektar dengan dana pembangunan sebesar RP 28,3 miliar. Dana itu
bersumber dari APBD, mobilisasi umat, bantuan dari Pemerintah Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten. Luas bangunan Masjid mencapai 5.775
meter persegi, terdiri dari lantai bawah 4.845,08 meter persegi dan lantai
atas 909,92 meter persegi. Masjid yang kini rnenjadi landmark bagi Kota
Tangerang ini dapat menampung sebanyak 15.ooo jamaah.
Rancangan bangunan Masjid Raya A1 Azhom yang memiliki esensi dan
referensi dari Al-Qur'an dan Sunah Rasul serta seni Islam (Arabesque),
mencerminkan hakikat tauhidah, serta kaitan dunia dan akhirat yang
ditandai dengan unsur-unsur garis lurus dan lengkung. Perpaduan antara
suasana tradisional dengan suasana modern ditandai dengan banyaknya
tiang di sekeliling masjid, sedangkan pada interiornya dengan ruang
tengahnya yang luas, bebas tiang dengan konstruksi teknologi tinggi pada
kubahnya.
Bentuk masjid yang universal dengan kesan representatif dan megah,
dengan gaya arsitektur Timur Tengah akan menjadi ciri baru bagi kawasan
pusat-pusat kota baru di Tangerang dan memperindah arsitektur kota.
Suasana keserasian dengan alam tropis yang dicirikan dengan atap miring
pada oversteknya, sehingga kesejukan udara nuansa alam tropis akan
terasa.
Masjid Raya Kota Tangerang ini yang pertama menerapkan konsep
atap berbentuk susun (konfigurasi) lima kubah bertumpuk dan kompak
untuk bangunan masjid. Semua rancangan masjid itu bukan berarti tanpa
makna-makna filosofi. Di antaranya, lima kubah mencerminkan kewajiban
sholat lima waktu, empat unit tiang menara mencerminkan empat tiang
ilmu, yaitu ilmu bahasa Arab, syariah, sejarah dan filsafat. Sedangkan tiga
bagian tinggi menara mencerminkan Iman, Islam dan Ikhsan. Menara yang
masing-masing setinggi 30 meter mencerminkan jumlah 30 juz Al-Qur'an
dan enam meter tinggi kuncup menara mencerminkan enam rukun iman.
Sedangkan fasilitas yang melengkapi bangunan masjid tersebut terdiri
dari ruang wudhu, mihrab dan persiapan, ruang sholat, ruang pengkajian,
perpustakaan, ruang kantor dan peralatan serta halaman masjid. Dengan
adanya berbagai fasilitas tersebut, diharapkan Masjid Raya selain
berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah salat, juga sebagai pusat
penyiaran, pengkajian dan informasi agama Islam serta pusat kegiatan
sosial umat Islam.
Selain Masjid Raya A1 Azhom, terdapat jembatan penyeberangan
dengan visi sebagai landmark Kota Tangerang. Dibangunnya jembatan
penyeberangan di ruas Jalan MH.Thamrin, Kota Tangerang ini sebagai
pintu gerbang (Welcome Gate) Kota Tangerang dan arah Jakarta dan
Serpong.
Jembatan Pelengkung ini membentang sepanjang 65 meter dan lebar
3-5 meter. Bahan bakunya adalah pipa baja berstruktur melengkung
seberat lebih kurang 32 ton yang menelan biaya RP 3 miliar.
Desain jembatan yang unik dan khas, akan menjadi landmark Kota
Tangerang, oleh sebab itu perencanaan jembatan yang memiliki dua tiang
yang melengkung, menyerupai gading gajah membentuk busur, telah
menjadi simbol, bahwa inilah Kota Tangerang.
Pemilihan elemen baja dan bentuk futuristik akan memberikan kesan
lebih kuat terhadap visi Kota Tangerang sebagai kota industri dan
perdagangan yang modern. Aspek keamanan, ketertiban, keindahan dan
kenyamanan bagi pengguna jembatan baik pengendara kendaraan
bermotor maupun pejalan kaki menjadi hal yang sangat penting. Sehingga
landscaping di sekitar lokasi jembatan, terutama di tempat naik/turun,
pengaturan lalu-lintas, pemeliharaan jembatan, merupakan kriteria tak
terlepaskan dari perencanaan jembatan.Pembangunan Berperadaban Bagi
tiap-tiap umat (Yahudi, Kristiani dan Islam) telah kami berikan aturan dan
jalan. Sekiranya Allah menghendaki, Dia bias menjadikan kamu satu umat
saja.Namun (Dia tidak melakukan itu karena) Dia hendak menguji kamu
terhadap karunia-Nya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat
kebaikan.
(Al-qur’an, Surat Al-Ma’idah;48)
Seruan Alquran tentang perlunya berlomba-lomba dalam kebajikan,
harus dipahami pada kebaikan universal (al-khayr, al-ma’ruf). Namun
menurut Abdulaziz Sachedina, Professor Kajian Agama di University of
Virginia dan Peneliti pada Center for Strategic and International Studies,
yang belum jelas, apakah Alquran mengakui keragaman pemahaman
kultural dan historis mengenai apa yang baik itu.
Karena anjuran dalam surat Al-Ma'idah ditujukan kepada semua
umat agama, maka kita harus konsisten untuk berpendapat, bahwa
kebaikan dalam ayat ini berlaku untuk seluruh tradisi agama. Tapi
penafsiran semacam itu tidak diterima secara luas oleh ulama etika
Islam.
Perbedaan tafsir itu dari kalangan ulama, misalnya datang dari Ibn
Katsir. Dalam kitab bertajuk Tafsir misalnya, ia menganggap khayrat itu
pada kepatuhan kepada Tuhan dengan cara mematuhi hukum-Nya yang
dibawakan Muhammad, dimana wahyu yang diturunkan kepadanya telah
membatalkan hukum-hukum sebelumnya. Sementara Sayid Quthb dalam
Fi zhilal al-Quran, melihat upaya membuktikan bahwa hanya ada satu
syariat yang mendominasi agama lain, dianggap oleh Abdulaziz
Sachedina sebagai kajian yang amat dangkal. Di sisi lain mufasir Syiah,
Thabathaba'i dalam al-Mizan, menganggap al-khayrat sebagai al-ahkam
(peraturan atau hukum) Dan sebagai al-takalif (kewajiban moral religius).
Masih dalam bahasan Abdulaziz, para teolog muslim juga berselisih
mengenai adanya moralitas universal. Terjadi perdebatan, apakah
moralitas universal itu seluruhya dikondisikan oleh konvensi-konvensi
sosial kultural atau bersumber dari satu standar rasionalitas universal
berdarkan fitrah manusia. Wahyu Islam memberikan satu bahasa moral
yang kompleks, berbicara tentang umat manusia yang, di satu sisi, sama-
sama memiliki nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan universal sebagai
makhluk yang sederajat dalam martabat dan kesadaran nurani. Tetapi di
sisi lain, berada dalam persaudaraan khusus sebagai anggota dari
komunitas dan bangsa tertentu.
Apapun seruan berlomba-lomba dalam kebaikan memang memiliki
pesan universal. Kebaikan dan kebajikan bisa menyebar ke segala arah
dan penjuru tanpa harus dilihat latar belakang agama dan golongan. Dan
KTT Tsunami adalah representasi dari kebajikan universal itu. Secara
sederhana contoh kebajikan universal misalnya, ketika mayat-mayat
berserakan di tanah Aceh, kita tidak perlu bertanya, apakah yang kita
tolong seiman, segolongan atau sealiran politik. Kita menolong tanpa
harus ada batasan-batasan itu.
Contoh lain, ketika ada saudara kita tertabrak di jalan, tentu kita tidak
perlu bertanya lagi, agamamu apa, partaimu apa dan dari etnis mana? Jika
identitas yang ditanyakan terlebih dahulu, khawatir saudara kita yang
terkapar tak bisa tertolong. Lihat saja, para donatur dari berbagai kalangan
dan penjuru dunia para buruh, artis, birokrat dan seluruh komponen
masyarakat ikut membantu tanpa harus melihat siapa yang dibantu. Intinya
cuma satu, ada musibah semua harus terlibat.
Dalam konteks inilah, setiap pribadi, setiap komponen masyarakat,
yang tumbuh dan berkembang di wilayah Kota Tangerang, memiliki
kewajiban untuk berlombalomba dalam kebajikan, memberdayakan Kota
Tangerang ke wilayah yang lebih beradab. Kewajiban mernbangun kota
yang beradab ini, sebagai upaya untuk menciptakan iklim masyarakat
madani, masyarakat sipil yang memiliki kewibawaan, yang di dalamnya
tumbuh nilai-nilai moral dan nilai-nilai kebajikan yang tinggi.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengedepankan partisipasi
publik, mengedepankan prosedur-prosedur demokrasi, dan masyarakat yang
menjunjung tinggi etos kerja serta memahami peran masing-masing dalam
masyarakat. Masyarakat madani juga mencoba menyuguhkan berbagai
jawaban untuk menyeimbangkan sarana dan tujuan dalam mencapai tatanan
sosial ideal.
Maka jika kita sepakat, bahwa pembangunan Kota Tangerang
berorientasi pada masyarakat madani, mau tak mau, semua komponen yang
ada harus melihat arah pembangunan itu berpijak kepentingan masyarakat
secara keseluruhan, bukan kepentingan yang bertumpu pada pribadi-pribadi
atau kelompok-kelompok.
Dan semua jembatan untuk semua komponen itu, adalah tunggal
akhlakul karimah. Visi akhlakul karimah, tentu saja menuntut semua
komponen masyarakat terlibat dan bukan saja komponen birokrasi.
Sementara ini ada beberapa asumsi, bahwa visi akhlakul karimah harus
dijalankan oleh komponen birokrasi saja, dan warga masyarakat yang
berada di jalur birokrasi pemerintah, tidak dikenai kewajiban memikul visi
akhlakul karimah.
Asumsi ini sepintas berada dalam jalur yang benar. Tapi sejatinya,
pribadi-pribadi yang berada di lingkungan birokrasi, juga sebagai bagian
pribadi-pribadi yang tumbuh di masyarakat. Hanya berapa persen, para
aparat birokrasi secara formal bekerja dalam ukuran jam. Selebihnya
pribadi-pribadi tersebut adalah bagian dari anggota masyarakat biasa.
Contoh seperti ini juga bisa diberlakukan pada anak didik kita. Usai mata
pelajaran di sekolah, anak-anak akan menjadi warga masyarakat, yang
harus bersosialisasi dan berkomunikasi dengan alam lingkungan yang riil.
Untuk itu,visi akhlakul karimah bisa dicapai secara gradual, pelan-pelan
dan tidak mungkin dicapai secara revolusioner. Visi akhlakul karimah adalah
vsi yang akan dilekatkan di masyarakat, yang memiliki aneka ragam karakter
dan budaya. Atas dasar keanekaragaman itulah, visi tersebut bisa dijalankan
secara gradual dan tidak serta merta menuntut perbaikan secara cepat.
Hal lain, visi akhlakul karimah, secara substantif bukan hanya miliki
warga muslim saja, meski penamaan akhlakul karimah diambil dari teks-teks
Quran. Penamaan akhlakul karimah hanya sebagai cara komunikasi ke
ruang-ruang publik, agar mudah diserap dan mudah diingat. Yang pasti visi
akhlakul karimah juga melihat perbedaan agama, perbedaan ras, suku dan
perbedaan berpendapat yang bermuara bagi terwujudnya masyarakat
madani.
Pikiran ini mengacu pada satu hal, bahwa membangun sebuah
pemerintahan yang bersih, berkeadilan, dipenuhi unsur pemerataan di
segala bidang, tidaklah semudah membalik telapak tangan kita. Membangun
sebuah pemerintah dibutuhkan berbagai perangkat, tidak sekadar pada level
wacana, tapi pada wilayah yang lebih kongkrit, kerja nyata.
Sebuah pemerintah yang bersih, berkeadilan, sejahtera di segala bidang,
sering kali dipahami sebagai
“SETIAP pribadi, setiap komponen masyarakat, yang
tumbuh dan berkembang di wilayah Kota Tangerang,
memiliki kewajiban untuk memberdayakan Kota Tangerang
ke wilayah yang lebih beradab. Kewajiban membangun
kota yang beradab ini, sebagai upaya untuk menciptakan
iklim masyarakat madani, masyarakat sipil yang memiliki
kewibawaan, yang di dalamnya tumbuh nilai-nilai moral dan
nilai-nilai kebajikan yang tinggi.”

pemerintah yang demokratis. Pemahaman sebagian di antara kita, bahwa


pemerinthan demokratis, adalah pemerintahan yang didalamnya dipenuhi
unsur-unsur tersebut. Tapi sebenarnya hakikat pemerintahan demokratis
bukan terletak pada terciptanya keadilan, kemakmuran dan proses
transparansi. Jika demokrasi mengandalkan keadilan, kemakmuran dan
proses transparansi, Singapura adalah contoh kongkrit dari pemerintah
demokratis.
Hanya saja, hakikat demokrasi terletak pada proscdur demokrasi,
bukan sekadar unsur-unsur demokrasi seperti keadilan, kemakmuran dan
transparansi saja. Jika keadilan, kemakmuran dan transparansi jadi ikon
demokrasi, Singapura akan menjadi contoh nyata bagi negara demokratis.
Tapi yang terjadi di Singapura, prosedur-prosedur demokrasi tidak berjalan
semestinya. Aspirasi-aspirasi publik tidak, begitu mudah disalurkan dan
media massa tidak memiliki kebebasan berpendapat. Rakyat dibingkai
dengan aturan-aturan pemerintah tanpa harus melibatkan aspirasi publik.
Artinya prosedur demokrasi tidak, berjalan semestinya, meski keadilan,
kemakmuran dan transparansi terlihat di berbagai sudut Singapura.
Fenomena ini, mempertegas, bahwa demokrasi harus dipahami secara
lebih riil, subtil, dan pemahaman yang lebih luas. Demokrasi memang
membutuhkan peran serta semua pihak, tapi demokrasi juga membutuhkan
prosedur-prosedur. Tanpa adanya prosedur demokrasi tidak bisa berjalan
seperti yang kita harapkan. Inilah mungkin yang perlu digaris bawahi dari
pandangan yang dikembangkan Emmy Hafild ketika menjadi pembicara di
Unis, Tangerang, Sabtu (7/5/2005).
Emmy hanya melihat pada persoalan keterlibatan semua warga
masyarakat, terutama rakyat miskin dalam proses pembangunan
pemerintahan. Tapi ia lupa, pelibatan warga masyarakat membutuhkan
prosedur, yang mau tak mau, harus dipahami secara benar. Dalam konteks
inilah, saya ingin melihat perlunya keterlibatan pasar, warga masyarakat
dan negara dalam proses pembanguan pemerintahan. Jika pasar dalam
pengertian realitas sosial ekonomi politik, kondusif, secara otomatis, warga
akan mendapatkan keuntungan dalam proses kelangsungan kehidupan
sehari-hari. Dan posisi negara, dalam konteks ini, hanya jadi fasilitator
antara kebutuhan pasar dan warga masyarakat.
Pemerintah Kota Tangerang, dalam konteks ini, adalah
fasilitator antara kebutuhan pasar dan warga masyarakat. Kota Tangerang,
yang didalamnya tumbuh beragam kultur, seperti Kota Tangerang,
memaksa berbagai komponen publik untuk lebih fokus menggarap dan
merawat infrastruktur kota, agar kota wilayah yang dihuni memiliki pijakan
dasar dalam mengakses warganya dan seluruh elemen terkait yang ada
didalamnya.Komponen yang memiliki peranan penting dalam
mengakselerasi kebijakan publik itu, adalah komponen eksekutif atau
aparatur negara dan komponen legislatif, anggota DPR, dalam hal ini
DPRD.Dua komponen ini , mau tak mau, harus mampu memberi kontribusi
yang positif bagi perkembangan dan pertumbuhan warga. Tanpa kontribusi
yang positif, dua komponen penyangga itu, hanya menjadi bagian dari
masyarakat, bukan core atau inti dari jantung kehidupan Kota Tangerang.
Padahal tanpa keterlibatan aktif dari eksekutif dan legislatif, kehidupan di
suatu daerah, seperti wilayah mati, tak bertuan: menjalani ritus kehidupan
sehari-hari tanpa roh. Untuk itu, cara yang
paling efektif menghidupkan kerja sama eksekutif dan legislatif, adalah
penggalangan kebijakan-kebijakan publik yang strategis, yang memiliki
kontribusi besar bagi kehidupan warganya.
Semua penggalangan kerja sama itu, muaranya adalah kepentingan
kehidupan warga. Kerja sama harus dititik beratkan pada kepentingan
warga. Kerja sama yang dibangun harus menutup peluang untuk
kepentingan eksekutif dan legislatif, berupa bagi-bagi kue daerah. Kerja
sama juga tidak, berdasarkan kepentingan partai atau kelompok yang ada di
belakang para legislatif dan eksekutif. Pikiran ini didasarkan dari
hakikat komponen eksekutif dan legislatif. Dua komponen tersebut, secara
legal formal memang memiliki pos-pos strategis Dan pos-pos kekuasaan
yang cukup memadai. Tapi substansi dari pekerjaan mereka, adalah
melayani warga. Warga adalah tuannya, majikannya maka setiap pekerjaan
yang dikerjakan harus memenuhi standar-standar pelayanan yang baik,
terukur dan terarah. Perbedaannya yang mencolok dari pelayan warga yang
satu ini, adalah pada seragam yang dikenakan tapi di balik baju seragam itu
mereka herhak dan wajib, melayani majikannya, warga masyarakat dengan
baik dan benar. Tanpa pelayanan yang baik, warga berhak
melakukan komplain, atau protes. Protes ini berkaitan dengan pembayaran
warga yang dipungut dari berbagai bidang untuk kebutuhan roda
pemerintahan Kota Tangerang. Kebutuhan para eksekutif dan legislatif, baik
mobil dinas dan seragam yang dikenakan, dipungut dari uang warga melalui
berbagai sumbangan dan pungutan yang ada. Inilah subtansi dari kerja
sama eksekutif dan legislatif, yakni kebutuhan dan kepentingan warga Kota
Tangerang Kerja sama antara eksekutif dan legislatif, yang bermuara pada
kepentingan warga, haruslah didukung komponen lain, seperti Lembaga
Swadaya Masvarakat (LSM) dan komponen warga lainnya, seperti
organisasi-organisasi keagamaan serta berbagai paguyuban yang ada di
Kota Tangerang. Kehadiran LSM dan
komponen warga lainnya, bertujuan untuk menjadi pengimbang keberadaan
eksekutif dan legislatif, yang sering kali berjalan tanpa kontrol dan arah.
Perjalanan tanpa kontrol dan arah ini sering dikerjakan, karena tidak adanya
sarana pengimbang yang berjalan efektif untuk mengakselerasi kebijakan-
kebijakan publik. Dari konteks inilah, sendi-sendi masyarakat madani, bisa
diwujudkan.

---

Vous aimerez peut-être aussi