Vous êtes sur la page 1sur 25

Solidaritas Sosial 1

SOLIDARITAS SOSIAL (‘ASHÂBIYYAH) DALAM


MASYARAKAT DAN NEGARA (AL-DAULAH) DALAM
PERSPEKTIF IBN KHALDUN
Oleh: Dadan Rusmana
dadan_rusmana@yahoo.com

A. Makna ‘ashâbiyyah
Salah satu teori yang cukup signifikan dari pemikiran Ibn Khaldun adalah
tentang ‘ashâbiyyah (solidaritas sosial). Ibn Khaldun menggunakan konsep
ashâbiyyah sebagai kunci utama pemahaman realitas politik. ‘ashâbiyyah, bagi
Ibn Khaldun, merupakan daya kreatif mendasar dan poros dari semua peristiwa
kekuatan politik. Dengan tegas Ibn Khaldun menyatakan bahwa “kedaulatan”
merupakan milik kelompok dengan ‘ashâbiyyah yang lebih kuat. Term
‘ashâbiyyah sendiri berhubungan dengan kata ‘ashaba yang berarti famili atau
keluarga. Dengan demikian, istilah ini kurang lebih berarti “membantu dan
memperkuat keluarga”. Menurut ‘Abd al-Raziq al-Makki, kata ashâbiyyah erat
kaitannya dengan kata ashâb yang berarti hubungan dan kata ‘ishâbah yang
berarti ikatan.1 Istilah yang sama juga berhubungan dengan kata ishâbah dan
‘ushbah, keduanya berarti kelompok (group).
Franz Rosenthal menerjemahkan ‘ashâbiyyah ini dengan group-feeling (rasa
kelompok). Charles Issawi menerjemahkannya sebagai “solidaritas sosial”. De
Slane dan F. Gabrieli menerjemahkannya dengan spirito di carpo atau spirito di
parte (semangat kelompok). Microsoft Encarta Library menerjemahkan kata ini
dengan social cohesiveness. Deliar Noer menerjemahkan term ini dengan rasa
golongan.2 Bagi Stowasser (1994:91), makna ‘ashâbiyyah setara dengan rasa
kelompok, solidaritas sosial, atau solidaritas kelompok. Sementara itu, Khemiri
menyejajarkan ashâbiyyah dengan patriotisme dan nasionalisme dalam arti luas.
Namun, pendapat Khemiri ini ditolak oleh Issawi3 dengan alasan bahwa
nasionalisme dalam konsep modern tidak cocok diterapkan untuk masyarakat
pengembara yang terutama dipikirkan oleh Ibn Khaldun. Selebihnya, pada masa
Ibn Khaldun belum terbentuk adanya konsep negara, dalam konteks modern, yang
ada adalah negara dalam arti al-daulah (dinasti). Dengan demikian, konsep
patriotisme dan nasionalisme, dalam artian cinta terhadap tanah air, belum ada
pada Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun mencoba menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan konsep
ashâbiyyah yang dikonstruksinya, “’Ashâbiyah ialah hendaknya seseorang
membela keluarganya dan mempertahankan semampu mungkin orang-orang yang
tergabung dalam ‘ashâbiyah, yaitu keluarga-keluarga orang tersebut”. Dengan
demikian, 'ashâbiyyah Ibn Khaldun tersebut semacam "Loyalitas kesukuan atau
semangat kesukuan yang membuat seseorang patuh pada sukunya dan

1 ‘Abd al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi ‘Inda Ibn Kahdun, Iskandariyah, Mu’assasah al-Tsaqâfah al-Jam’iiyah, halaman 55.
2 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mizan, 1997, halaman 71.
3 Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, Jakarta, Tintamas, 1967, halaman 13, catatan kaki nomor 11.
2 Dadan Rusmana

memandang dunia melalui sudut pandangnya." Menurut Zainab al-Khudhairi,


‘ashâbiyyah Ibn Khaldun seperti ini lebih tepat disamakan dengan solidaritas
kesukuan, karena ia memiliki ikatan dan karakteristik kesukuan serta tidak terlalu
menonjol ikatan sosialnya. Hal ini pun didukung oleh kenyataan bahwa Ibn
Khaldun mengidentikkan kualitas ‘ashâbiyyah tinggi dengan kesukuan yang
terjadi pada masyarakat desa (badw) [sebagaimana akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya].
Dengan demikian, syarat utama ‘ashâbiyyah, menurut Ibn Khaldun, adalah
kesukuan. ‘ashâbiyyah ada dalam berbagai kekuatan yang berbeda. Semakin kuat
‘ashâbiyyah ada dalam sebuah kelompok, maka di sana pasti muncul superioritas
dan kepemimpinan. “Rahasia keunggulan” ini merupakan salah satu fenomena
alam. Ia berlaku pada organisasi sosial dan solidaritas sosial seperti yang
dilakukannya dalam proses “bercampurnya segala sesuatu yang diciptakan
(makhlûq).4 Namun sayangnya, Ibn Khaldun tidak menjelaskan bagaimana
terjadinya “rahasia superiotas”, tetapi malah ia menjelaskan bagaimana proses itu
bekerja. Karena itu, “rahasia superioritas” itu tetap akhirnya tak terjelaskan,
sebab Ibn Khaldun menganggapnya sebagai hal yang tidak dapat dipahami seperti
halnya mekanisme kerja alam itu sendiri; atau ia tidak menjelaskan hal tersebut
karena istilah ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat pada saat itu.
Di dalam pemikiran Arnold Toynbee, konsep ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun
tersebut bagaikan "protoplasma psikis yang menjadi landasan semua sistem sosio-
politis."5 Definisi ini dapat menegaskan signifikansi ‘ashâbiyyah dalam pemikiran
Ibn Khaldun, tetapi tetap tidak dapat menjelaskan hakikat ‘ashâbiyyah itu sendiri.
Kaitan dengan hal ini, Yves Lacoste mengungkapkan bahwa ashâbiyyah Ibn
Khaldun merupakan konsepsi yang sangat kompleks dan seringkali para ahli
mengkajinya dari pengertian dan sudut pandang yang variatif, karenanya
menghasilkan interpretasi yang berbeda, mewakili perspektif tertentu, dan
terkadang tidak tuntas.6
Sebagian kelemahan kajian tentang ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun ini adalah
seringkali kajian tersebut tidak berhasil membuat rekonstruksi sejarah sosial-
budaya yang melatari pemikiran Ibn Khaldun. Padahal, pemikiran ‘ashâbiyyah
dari Ibn Khaldun ini muncul sebagai hasil pengamatannya tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi muncul dan berkembangnya daulah-daulah yang menjadi
objek kajiannya, terutama yang berada di daerah Maghrib, pada abad ke-14. Sathi
al-Husri berpandangan bahwa teori ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun merupakan teori
yang disusun berdasarkan pemikiran yang teliti, kritis, dan mendalam yang
mengkaji dan menganalisis berbagai peristiwa sosial dan berbagai fakta sejarah.
Teori tersebut sampai sejauh ini hampr mampu menunjukkan berbagai macam
hubungan sosial dalam bentuk ikatan sosial yang peling penting dalam
lingkungan-lingkungan geografis dan kurun sejarah pada masa itu.7
Ibn Khaldun, menurut Sathi al-Husri dan Deliar Noer merupakan anak
zamannya yang memormulasikan teori 'ashâbaiyyahnya berdasarkan kepada
sejarah umat manusia yang dikenalnya. Misalnya, dalam paparan mengenai
hubungan al-daulah dengan dinasti dijelaskan Ibn Khaldun, sebagai bagian yang
4 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 269.
5 Arnold Toynbee, A Study of History, volume III, Lonodn, Oxford University, 1958, halaman 241.
6 Yves Lacoste,
7 Sathi’ al-Husri, Dirâsât ‘an Muqaddimah Ibn Khaldûn, Kairo, Maktabah al-Khanji, 1961, halaman 351.352.
Solidaritas Sosial 3

tidak dapat dipisahkan. 8 Hal ini karena Ibn Khaldun melihat bahwa pada
zamannya, serta zaman-zaman sebelumnya, terdapat hubungan erat antara al-
daulah dengan dinasti, sehingga kehidupan al-daulah banyak sedikitnya
bergantung kepada kehidupan dinasti. Mengecil dan membesarnya al-daulah
(negara) erat hubungannya dengan kuat atau lemahnya dinasti penyangganya.
Misalnya pada masa pemerintahan daulah Bani Abbasiyah, terdapat banyak
dinasti yang memegang tapuk pemerintahan, seperti dinasti Buwaih, dan dinasti
Ayyubiyyah. Tetapi perlu diingat bahwa menurut Ibn Khaldun, kuat dan
lemahnya dinasti ini antara lain terletak pada kuat atau lemahnya ikatan
‘ashâbiyyah.
Ibn Khaldun melihat adanya korelasi antara ashâbiyyah ini dengan
perkembangan sejarah dalam Islam (atau lebih tepatnya masyarakat muslim),
namun Ibn Khaldun melihat justeru ashâbiyyah lah yang lebih berperan dalam
dinamika sosial masyarakat dan politik pada zamannya di banding lainnya.
Berdasarkan observasi partisipatorisnya, Ibn Khaldun melihat bahwa masyarakat
dan daulah-daulah Muslim dibangun di atas ashâbiyyah ini, bukan oleh nilai-nilai
agama (Islam). Ibn Khaldun melihat bahwa nilai-nilai Islam ini tidak berfungsi
atau didisfungsikan oleh masyarakat Muslim pada zamannya. Jika benar bahwa
yang mengikat masyarakat Muslim pada saat itu, dan bukannya ashâbiyyah, maka
harusnya terjadi persatuan di antara semua masyarakat muslim dan tidak akan
terjadi konflik internal masyarakat Muslim. Ibn Khaldun hanya melihat bahwa
tata nilai Islam hanya bertahan pada masyarakat Muslim awal, dan itu pun tidak
terlepas dari sistem ashâbiyyah yang melatari masyarakat Muslim Arab dan
lainnya pada masa sejarah Islam awal.
Berdasarkan hal tersebut, Ibn Khaldun mengukuhkan peran ashâbiyyah dalam
fenomena sosial masyarakat pada zamannya. Ibn Khaldun, menjadikan konsep
‘ashâbiyyah sebagai daya kreatif mendasar dari semua peristiwa kekuatan politik,
dan menyatakan kedaulatan sebagai milik kelompok dengan ‘ashâbiyyah yang
lebih kuat. Bagi Ibn Khaldun, ‘ashâbiyyah merupakan alat perjuangan, alat
menyerang, dan alat bertahan. Sehingga tujuan ‘ashâbiyyah adalah pertahanan diri
dan agresi.9 Kekuatan agresif dan defensif diperoleh hanya karena ‘ashâbiyyah
(solidaritas sosial) yang berarti rasa kasih dan kesedian untuk berjuang dan mati
demi yang lain dalam kelompoknya. 10 Pendapat Ibn Khaldun ini disepakati oleh
Thaha Husein, bahwa ashâbiyyah merupakan ciri utama sebagai pengikat
kekuatan kekeluargaan dalam kalangan masyarakat Arab. Dalam rentetan sejarah
Arab, baik pra Islam maupun masa Islam, kecuali semala empat puluh tahun
permulaan Islam, banyak di antara pertikaian yang terjadi antar suku dan
kelompok, umumnya, disebabkan oleh ashâbiyyah ini.
Yves Lacoste mencoba menelisik alasan mengapa Ibn Khaldun mengambil
term ‘ashâbiyyah sebagai konsep dasar dalam memetakan sejarah perkembangan
manusia, khususnya masyarakat Muslim. Padahal menurut Lacoste, terdapat kata-
kata Arab lain yang dapat diambil Ibn Khaldun untuk menamai konsepnya, tapi
mengapa Ibn Khaldun malah mengambil kata tersebut? Pemilihan kata tersebut
oleh Ibn Khaldun, menurut Lacoste, karena ‘ashâbiyyah ini tidak hanya
8 Sathi’ al-Husri, Dirâsât ‘an Muqaddimah Ibn Khaldûn, halaman 12 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung,

Mizan, 1997, halaman 71.


9 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 374 dan 381.
10 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 313.
4 Dadan Rusmana

mengisyaratkan perasaan atau perilaku psikologis saja, tetapi ia juga


mengisyaratkan suatu realitas yang sangat kompleks, yaitu realitas sosial dan
politik. Realitas ini sendiri mempunyai akibat-akibat politis yang sangat penting.11
Selain itu, kata tersebut telah dipahami dan berakar kuat di kalangan masyarakat
Arab dan lainnya pada saat itu, sehingga Ibn Khaldun meminjam kata tersebut
untuk menamai konsep dasar yang dikonstruksinya, dengan memberi makna baru
terhadap kata tersebut.
Dalam Muqaddimah terbitan Beirut tahun 1886 disebutkan bahwa
“‘ashâbiyyah ialah hendaknya seseorang membela keluarganya dan
mempertahankan semampu mungkin orang-orang yang tergabung dalam
‘ashâbiyyah, yaitu keluarga-keluarga orang tersebut dari aris ayahnya, sebab
mereka adalah para pembela orang-orang di atas mereka sampai ke pokoknya.
‘ashâbiyyah dalam pengertian yang demikian ini adalah terpuji. Sedangkan
‘ashâbiyyah yang tidak terpuji adalah seperti halnya dikemukakan dalam sebuah
hadits dalam al-Jami’ al-shâgir bahwa barang siapa yang menyeru pada
‘ashâbiyyah tidaklah termasuk golongan kami, barang siapa yang berperang
karena ‘ashâbiyyah tidaklah termasuk golongan kami, dan barang siapa mati
karena mendukung suatu ashâbiyyah tidaklah termasuk golongan kami. ‘Ashâiyah
seperti ini adalah solidaritas orang-orang terhadap orang-orang yang sesuku guna
melawan suku-suku lain tanpa landasan agama.12
Dengan demikian, secara terminologi ‘ashâbiyyah digunakan di Arab dalam
dua pengertian. Yang pertama berkonotasi positif dengan konsep persaudaraan
(brotherhood) dalam Islam. Inilah yang membuat masyarakat bekerjasama satu
sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengekang kepentingan pribadi (self-
interest) dan memenuhi kewajiban kepada sesama, dengan demikian persaudaraan
mendorong keselarasan sosial dan menjadi kekuatan penentu dalam kebangkitan
dan kemajuan suatu peradaban. Dalam pengertian persaudaraan, 'ashâbiyah dipuji
dan dianjurkan oleh Syari'ah. Pengertian lain ‘ashâbiyyah digunakan untuk
merujuk pada kesetiaan buta pada kelompok sendiri. Hal ini membawa kecintaan
pada kelompok sendiri tanpa memperdulikan benar salah, mendorong terjadinya
ketimpangan, kebencian dan konflik. Konotasi negatif ini tidak sesuai dengan
Syari'ah dan dikutuk oleh Rasulullah saw. Dua konotasi tersebut terdapat dalam
QS Ali Imrân (5):2 "Dan bertolong-tolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa,
dan janganlah bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan permusuhan." Ibnu
Khaldun menggunakan terminologi ‘ashâbiyyah dalam pengertian pertama.
Ibn Khaldun menggunakan term 'ashâbiyah tidaklah untuk kepentingan
pribadi; hal ini pun tidak berarti Ibn Khaldun mendewakan kesukuan
(chauvinistik) atau kekuasaan. Ketika ia mempersyaratkan 'ashâbiyyah dalam
gerakan dakwah para Nabi dan lainnya, hal ini pun tidak berarti ia
menyederhanakan persoalan hanya dengan mengatakan bahwa kekuatanlah yang
menghasilkan kebenaran. Menurutnya, áshâbiyyah umumnya bersifat nomadis
dan Ibn Khaldun mempelajarinya dalam konteks nomadisnya. Syeikh nomadis
yang mempunyai 'ashâbiyyah yang kuat umumnya adalah pemimpin yang baik.
Menurutnya, kekuatan pribadi dan kebenaaran biasanya berjalan seiring, karena

11 Yves Lacoste,
12 Dikutip dari Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, halaman 142.
Solidaritas Sosial 5

'ashâbiyyah lebih dari sekedar kekuatan sosial. 'Ashâbiyyah yang kuat juga
menunjukkan watak yang baik dan kualitas kepemimpinan yang tinggi.

B. Elemen-Elemen Dasar ‘ashâbiyyah


Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah kriteria atau elemen
dasar dari ‘ashâbiyyah ini menurut Ibn Khaldun? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, Ibn Khaldun membuat ilustrasi sebagai berikut:

Sesuatu yang muncul disebabkan karena pertalian darah memiliki kekuatan


mengikat pada kebanyakan manusia, yang membuat mereka ikut merasakan
setiap kesakitan yang menimpa kaumnya. Orang-orang membenci penindasan
terhadap kaumnya, dan dorongan untuk menolak tiap kesakitan yang mungkin
menimpa kaumnya itulah sesuai dengan kodratnya dan tertanam pada dirinya.
Apabila peringkat kekeluargaan antara dua orang yang bantu membantu itu
dekaat sekali maka jelaslah bahwa ikatan darahlah yang membawa
‘ashâbiyyah yang sesungguhnya. Bila peringkat kekeluargaan itu jauh, maka
ikatan darah itu sedikit lemah, tetapi sebagai gantinya timbullah perasaan
kekeluargaan yang didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang
persaudaraan. Sungguhpun demikian, setiap orang ingin membantu orang lain
karena kuaatir akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam
kewajibannya tehadap seseorang yang sudah diketahui umum ada hubungan
kekeluargaan dengan dia. Sahabat-sahabat yang dilindungi oleh, dan orang-
orang yang bersekutu dengan para pembesar dan bangsawan seringkai dalam
hubungan yang sama dengan dia sebagaia juga saudara sedarah. Pelindung dan
orang yang dilindungi bersedia bantu membantu karena perasaan hina yang
timbul, bilamana tetangga atau saudara sedarah atau kawan itu dilanggar. 13

Dari kutipan di atas, setidaknya, menurut Ibn Khaldun ‘ashâbiyyah meliputi


tidak hanya satu keluarga saja yang satu sama lainnya dihubungkan oleh tali
kekeluargaan, tapi ia juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya
persekutuan. Setidaknya, ashâbiyyah, menurut Ibn Khaldun, dapat dibangun di
atas 1) hubungan darah; 2) hubungan persahabatan atau klien dan persamaan
nasib; dan 3) otoritas pemimpin;.
1. Hubungan Pertalian Darah
Dari kesemuanya, menurut Ibn Khaldun, hubungan darah merupakan dasar
awal dari ‘ashâbiyyah. Lebih lanjut, ia berpendapat, “Ashâbiyyah (solidaritas
sosial) hanyalah didapati pada golongan-golongan yang dihubungkan oleh
pertalian darah atau pertalian lain yang mempunyai arti yang sama. Hal ini
disebabkan karena pertalian darah mempunyai daya ikat pada kebanyakan umat
manusia. Ashâbiyyah jenis ini merupakan hubungan yang lebih bersifat
emosional, daripada bersifat objektif. Ibn Khaldun mengingatkan bahwa pertalian
darah baru dapat menjadi elemen dasar ashâbiyyah apabila menghasilkan kerja
sama dan saling bantu membatu, terutama ketika menghadapi bahaya, mampu
merekatkan hati, dan menumbuhkembangkan kecintaan. 14

13 Ibn Khaldun, Muqaddimah, 112.


14 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 235.
6 Dadan Rusmana

Apabila tingkat antara dua orang yang saling membantu tersebut mempunyai
kekeluargaan (kekerabatan) yang dekat, maka ikatan darah mereka akan
menghasilkan ashâbiyyah (solidaritas sosial) yang kuat (atau dalam arti
sesungguhnya). Sedangkan apabila kekeluargaan (kekerabatan) mereka jauh,
maka ashâbiyyah mereka bersifat lemah, tetapi sebagai gantinya timbullah
perasaan famili yang didasarkan kepada pengetahuan yang lebih luas mengenai
persaudaraan. Dalam konteks inilah, Ibn Khaldun kemudian mengutip hadits Nabi
Muhammad, “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk mengetahui siapa saudaramu
sedarah yang dekat.”
Ibn Khaldun menuliskan, "setiap wilayah dari suku-suku bangsa, meski
mereka satu ikatan berdasar garis keturunan mereka yang umum, mereka memiliki
‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah yang lain menurut garis keturunan yang khusus yang
sangat erat hubungannya dengan garis keturunan umum. Misalnya, satu keluarga
atau kerabat suatu keluarga atau saudara-saudara putera seorang ayah; mereka
tidak seperti putra-putra paman yang terdekat atau terjauh, karena mereka
mempunyai garis keturunan yang lebih dekat dan khusus. Mereka ini bersekutu
dengan ‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah lain pada garis keturunan umum."15
Ibn Khaldun melihat bahwa hubungan darah menjadi faktor utama dalam
kasus-kasus persekutuan atau perlindungan yang ada di istana-istana di Afrika
Utara, Andalusi, serta Mesir. Umumnya, orang yang dilindungi dan orang-orang
yang bersekutu dengan para bangsawan istana adalah mereka yang mempunyai
kepentingan yang sama dan juga sekaligus saudara sedarah. Pelindung dan orang
yang dilindungi saling bantu membantu karena khawatir akan mendapatkan
kehinaan apabila hak tetangga atau saudara sedarah atau kawan itu dilanggar dan
khawatir mendapat kehinaan apabila ia gagal dalam kewajibannya untuk
menolong atau membantu saudaranya. 16 Penghargaan terhadap ikatan darah
membuat orang bersikap kasih kepada famili dan saudara-sedarahnya, suatu
perasaan yang bersifat saling melindungi dari timpaan malapetaka dan kerusakan
atas diri sendiri. 17 Menurut Ibn Khaldun, ashâbiyyah yang dibangun dari ikatan
darah dapat berarti apabila disertai dengan kedekatan dan cara hidup yang sama.18
Selebihnya, ia melihat bahwa ashâbiyyah yang dibangun di atas dasar pertalian
darah ini sangat jelas kelihatannya pada masyarakat badw (desa) atau masyarakat
belum beradab. 19
‘Abd al-Razik al-Makki menyimpulkan bahwa menurut Ibn Khaldun terdapat
lima bentuk ashâbiyyah, yaitu 1), ashâbiyyah kekerabatan dan keturunan, yang
merupakan ashâbiyyah yang paling kuat; 2) ‘ashâbiyyah persekutuan yang terjadi
karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya semula ke garis keturunan
yang lain; 3) ashâbiyyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari
satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat kondisi-
kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian ini ‘ashâbiyyah timbul dari
persahabatan dan pergaulan yagn tumbuh dari ketergabungan seseorang pada garis
keturunan yagn baru; 4) ‘ashâbiyyah penggabungan, yaitu ‘ashâbiyyah yang
terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung

15 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 114-115.


16 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 235.
17 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 264.
18 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 14.
19 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 236.
Solidaritas Sosial 7

dengan kaum yang lain; dan 5) ‘ashâbiyyah perbudakan yang timbul dari
hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan para majikan mereka. 20

2. Hubungan Kedekatan, Hidup Bersama, dan Patron Client (Patronase)


Ibn Khaldun berpendapat, "Kemudian sebuah suku, meski padanya terdapat
berbagai keluarga yang terpisah dan ‘ashâbiyyah yang bermacam-macam, niscaya
padanya terdapat suatu ‘ashâbiyyah yang paling tangguh dibanding dengan
‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah yang lainnya. ‘ashâbiyyah inilah yang menjadi
pemenang, ikatan, dan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan semua
‘ashâbiyyah yang ada dalam suku itu. ‘ashâbiyyah itu seakan-akan menjadi
‘ashâbiyyah yang besar, kalau tidak demikian niscaya akan membuat terjadinya
perselisihan dan pertengkaran.21
Ibn Khaldun melihat bahwa ‘ashâbiyyah juga dibangun di atas hubungan-
hubungan klien (client; patronage). Ibn Khaldun berpandangan bahwa hubungan-
hubungan klien (client), perlindungan, dan kontak-kontak dengan para budak
(mamlûk) atau berbagai persekutuan mempunyai efek yang sama, yaitu
membangun ‘ashâbiyyah. Sekalipun, ashâbiyah yang dibangun di atas pertalian
darah atau keturunan biasa (common descent) bersifat “kodrati” dan objektif
(dapat berlaku di semua masa dan tempat), tetapi ia juga bersifat emosionil.22
Sebabnya adalah ikatan golongan dapat dibentuk oleh faktor-faktor lain seperti
hidup bersama, perkawanan, asosiasi persahabatan, kekerabatan yang lama, dan
persahabatan hasil proses tumbuh-dewasa bersama, mempunyai orang tua angkat
yang sama, dan lain-lain. Apabila hubungan langsung antar-individu yang saling
membantu itu sangat erat, selanjutnya hubungan itu akan mengarah pada
persatuan, ikatan-ikatan yang kuat, dan tentunya melahirkan rasa solidaritas,
sekalipun tanpa adanya pemicu faktor eksternal. 23
Dengan demikian, turunan asing tidak menghalangi penggabungan seseorang
ke dalam ‘ashâbiyyah pemimpinnya. Sebaliknya, hal itu tidk sama dengan cara
seorang pemimpin yang mampu mempersatukan suatukelompok asing dan
memusatkan loyalitas mereka pada diri pemimpin itu. Apabila turunan aslinya
tidak lagi dikenal atau turunan asli tersebut telah “tanggal” dan sang pemimpin
telah “menumpang di atas kulit para pengikut baru itu dan, dengan demikian,
tampak menyatu dengan kulit mereka”. 24
Ibn Khaldun menyebutkan bahwa kepemimpinan biasanya jatuh pada anggota
keluarga ningrat dan keluarga yang dimuliakan yang memenuhi syarat untuk
jabatan-jabatan “sesepuh: dan pimpinan dalam suatu kota. Tetapi dalam kondisi
istimewa tertentu, seperti dalam keadaan vakum politik akibat perpecahan suatu
dinasti, ‘ashâbiyyah dapat berpusat pada individu dari kalangan “bawah” (kelas
sosial terendah) dan bukannya pada seorang anggota keluarga ningrat. Individu ini
mendapatkan ‘ashâbiyyah dan hubungan erat dengan khalayak karena nasib baik.
Dia kemudian mencapai keunggulan atas orang-orang yang lebih senior dan

20 ‘Abd al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi ‘Inda Ibn Kahdun, halaman 151-159.
21 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 122.
22 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 332.
23 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 332.
24 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 55.
8 Dadan Rusmana

mereka yang dari kelas lebih tinggi ketika mereka kehilangan dukungan dari
kelompok sendiri. 25
Hubungan darah dan hubungan klien nampak sekali dalam keberadaan sebuah
dinasti. Keberadaan dinasti itu dibangun di atas hubungan darah, geneologis
(keturunan), persahabatan, dan hubungan akrab. Hal ini karena dinasti dibangun di
atas semua itu. Dengan demikian, Deliar Noer menyebutkan bahwa ‘ashâbiyyah
yang mendasari al-daulah (negara) yang dikonsepsi Ibn Khaldun berbeda dengan
ikatan nasionalisme atau kebangsaan dalam konsepsi modern. 26

3. Otoritas Pemimpin
‘ashâbiyyah pun dibangun di atas otoritas seorang pemimpin yang efisien di
antara pendukung dan pengikutnya yang tidak bertalian darah. Menurutnya,
apabila kontak yang erat dibangun dengan cara demikian, hasilnya pastilah rasa
kasih sayang dan kebersamaan. Di antara kedua belah pihak (pemimpin dan
pengikut) tumbuh dan berkembang kedekatan hubungan yang istimewa,
selanjutnya mempunyai pengaruh yang sama (dengan turunan biasa) dan
memperkuat hubungan erat itu. Meskipun misalnya tidak ada turunan biasa, buah
hasil keturunan itu tetap ada. 27
Bila hubungan antara pemimpin dan para pengikutnya dibangun di atas
‘ashâbiyyah ini, maka secara timbal balik para pengikut dapat memperoleh
“tempat” dan kemuliaan melalui para pemimpin; dan sebaliknya. Menurut Ibn
Khaldun, mereka mempunyai rasa persamaan kelompok yang mendorong
mobilitas yang utama dan benar. Para klien danpengikut, dengan mengambil
tempatnya yang khusus di dalam ‘ashâbiyyah (dari para pemimpinnya) sejauh
tertentu, berperan serta dalam turunan biasa di mana ‘ashâbiyyah tersebut
tergolong. Oleh karena itu, mereka mampu menciptakan kemuliaan dan
keutamaan bagi dirinya sendiri. 28
Dalam kaitan dengan kepemimpinan ini, Ibn Khaldun juga mengkategorikan
ashâbiyyah yang dibangun di atas hubungan kamu mawâli (para budak atau
pekerja) dengan majikannya. Ibn Khaldun menuliskan, “Bilamana suatu
kelompok ashâbiyyah mempekerjakan suatu kelompok yang bukan keturunan
mereka dan mengambil para budak dan kaum mawali sebagai budak, maka kedua
kelompok terakhir itu bergabung dengan mereka. Garis keturunan kaum masli dan
para penggabung itu pun termasuk dalam ashâbiyyah tersebut dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan sehingga seakan mereka merupakan keluarga
kelompok ashâbiyyah itu. Lebih jauh lagi mereka merupakan sebagian sistem
kekeluargaan ashâbiyyah itu seperti sabda Rasulullah saw, ‘Kaum mawali adalah
sebagian dari suatu kelompok…”29

25 Ibn Khaldun, al-Ibar, Jilid II, halaman 305.


26 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, halaman 72.
27 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 374.
28 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 276/7.
29 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 118.
Solidaritas Sosial 9

C. Fase-Fase dan Kualitas ‘ashâbiyyah


‘ashâbiyyah ada dalam berbagai kekuatan yang berbeda. Semakin kuat
‘ashâbiyyah ada dalam sebuah kelompok, maka di sana pasti muncul superioritas
dan kepemimpinan. “Rahasia keunggulan” ini merupakan salah satu fenomena
alam. Ia berlaku pada organisasi sosial dan solidaritas sosial seperti yang
dilakukannya dalam proses “bercampurnya segala sesuatu yang diciptakan
(makhlûq). 30 Menurut Ibn Khaldun, manakala elemen-elemen digabung dalam
proporsi yang sepadan, maka percampuran pun berlangsung. Suatu elemen pasti
lebih unggul dari yang lainnya, dan ketika dia melaksanakan superioritasnya
terhadap yang lain terjadilah percampuran. Demikian juga, salah satu dari
berbagai ‘ashâbiyyah kesukuan yang berbeda haruslah lebih unggul dari yang
lainnya agar dapat menggiring mereka bersama, mempersatukan mereka, dan
menggalang mereka menjadi satu ‘ashâbiyyah. Semua kelompok yang berbeda-
beda itu kemudian berada di bawah pengaruh ‘ashâbiyyah yang lebih unggul.31
Namun sekali lagi, sayangnya, Ibn Khaldun tidak menjelaskan bagaimana
terjadinya “rahasia superiotas”, tetapi malah ia menjelaskan bagaimana proses itu
bekerja. Karena itu, “rahasia superioritas” itu tetap akhirnya tak terjelaskan,
sebab Ibn Khaldun menganggapnya sebagai hal yang tidak dapat dipahami seperti
halnya mekanisme kerja alam itu sendiri.
Dalam pandangan M.A. Lahbabi, ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun bersifat dialektis,
dalam artian ‘ashâbiyyah menemouh jalan dialektis dan dalam dirinya sendiri.
Sekalipun ‘ashâbiyyah tidak menggerakkan sejarah, maka minimal ia merupakan
kekuatan yang menggerakkan dialektika kontradiksi-kontradiksi. Karena
‘ashâbiyyah mampu menggerakkan banyak hal dari aktivitas manusia, termasuk
untuk membangun, mengukuhkan, mengembangkan, dan meruntuhkan al-daulah
(negara). Ia bermata ganda, dalam artian dapat menjadi penggerak positif, namun
ia dapat menjadi mesin penghancur dan pembunuh. Dengan gerak dialektis,
menurut Lahbabi, ‘ashâbiyyah menempuh tiga fase. Tahap pertama, fase
‘ashâbiyyah dalam tahap kehidupan sederhana dan primitif, yakni ‘ashâbiyyah
yang didasarkan pada persamaan. Tahap kedua, ‘ashâbiyyah yang berada pada
tahap tegaknya al-daulah, yakni ketika ‘ashâbiyyah mencapai puncak kulminasi
dan mulai memudar. Sedangkan, tahap ketiga, adalah ketika ‘ashâbiyyah telah
pudar sama sekali dan al-daulah memasuki masa kehancuran. Pada tahap ini,
‘ashâbiyyah berakhir dengan menghancurkan dirinya sendiri, pada saat yang sama
ia sedang menggali lobang bagi dirinya sendiri.32
Berdasarkan hasil pengamatannya, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa rata-rata
‘ashâbiyyah berlangsung selama empat generasi. Ia menyebutnya generasai
pertama sebagai “‘ashâbiyyah dari orang yang mengalami”, generasi kedua
sebagai “‘ashâbiyyah orang yang menjadi pengikut”, generasi ketiga sebagai
“‘ashâbiyyah dari penjaga tradisi” dan generasi keempat sebagai “ashabiyyah dari
penghilang tradisi”. Kualitas ‘ashâbiyyah dari keempat generasi tersebut memiliki
derajat yang berbeda, tetapi kualitasnya semakin menurun dari yang pertama
hingga yang terakhir.33

30 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 269n


31 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 336-337
32Dikutip dari Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, halaman 162.
33 Ismail Raji al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, 1998, halaman 346
10 Dadan Rusmana

Selebihnya, Ibn Khaldun tidak memaksudkan ‘ashâbiyyah sebagai gejala


umum dan bukan merupakan asas semua pemerintahan dan masyarakat. Dalam
beberapa bagian dalam Muqaddimah dan al-Ibar, disinggung beberapa kota (dan
atau negara) besar, seperti Irak dan Syam, namun tidak terdapat ‘ashâbiyyah di
antara para peduduknya. Dengan demikian, konsepsi bahwa setiap suku atau
bangsa memiliki ‘ashâbiyyah, setidaknya dalam konteks Ibn Khaldun, adalah
salah. Seringkali Ibn Khaldun mendiskusikan hal-hal yang bersifat umum, namun
ternyata ia sedang membicarakan konteks spesifik [lihat kembali pembahasan
mengenai "Konteks ke-Arab-an dalam Kajian Ibn Khaldun"].

1. ‘Ashâbiyyah pada Masyarakat Desa


Menurut Ibn Khaldun, ashâbiyyah yang diikat oleh pertaliah darah,
keturunan, dan kekerabatan lebih banyak tampak di kalangan masyarakat yang
belum beradab yang hidup di padang pasir, seperti pada kaum-kaum badwi.
Sebabnya ialah karena masyarakat desa lebih mampu menjaga garis keturunan,
dan karena kehidupan isolasi mereka. Selain itu, ashâbiyyah menjadi kuat
disebabkan karena kehidupan yang mereka jalani dan hadapi sangatlah berat dan
sulit, terutama karena wilayah geografis yang tidak menguntungkan dan serba
sulit. Kehidupan mereka bergantung pada hasil pertanian dan peternakan yang
terbatas, perkakas mereka sangat sederhana, dan lingkungan pun tidak terlalu
banyak memberikan keuntungan pada mereka.34
Padang pasir adalah tempat kediaman yang berat dan penuh dengan kelaparan,
tempat orang-orang tersebut menyesuaikan alam dan perilakunya dari satu
generasi ke generasi padang pasir atauhidup dengan bangsa-bangsa
pengembara dan ikut merasakan nasib mereka. Malahan bilamana salah
seorang dari bangsa pengembara itu melihat kemungkinan untuk mengubah
keadaan hidupnya pada corak kehidupan yang lain, niscaya ia tidak akan
segan-segan melakukannya. Sebagai akibat dari semua ini maka keturunan
orang-orang bangsa pengembara itu tidak dikuatirkan akan bercampur aduk
atau tidak lagi dapat dikenal, melainkan tetap murni dan dapat dikenal oleh
semua orang.35

‘Ashâbiyyah mulanya tumbuh subur dalam situasi yang ditandai dengan


kemiskinan, kebajikan, dan dedikasi. Ia terutama terdapat dalam kelompok-
kelompok pemuda yang kuat, tidak manja, pemberani, dan sehat jasmani dan
rohani. Mereka rela mengorbankan segalanya demi kebaikan orang banyak.
Mereka hidup dalam kesamaan derajat dan merdeka.36 Ashâbiyyah tahap ini
biasanya dimiliki oleh masyarakat (suku atau dinasti) kecil (marginal atau
tertindas) atau masyarakat pada tahap badw (sebagaimana telah dijelaskan di
atas). 37
Dalam situasi ini, ashâbiyyah dapat berfungsi secara efektif sebagai perekat
masyarakat yang memiliki kepentingan dan cara hidup yang sama, serta dapat
diarahkan untuk mencari solusi masalah bersama. Bila hal ini berhasil, maka

34 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 236.


35 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 113.
36 Ibn Khaldun, al-Ibar, jilid II, halaman 267.
37 Ibn Khaldun, al-Ibar, jilid II, halaman 267.
Solidaritas Sosial 11

masyarakat pemiliki ashâbiyyah yang kuat akan mampu mengkonsolidasikan


kekuatan secara internal dan eksternal. Dengan sifat ashâbiyyah yang dapat
“ekstrim ke luar”, masyarakat tersebut akan melakukan dominasi, hegemoni, atau
intervensi dan penaklukan terhadap masyarakat lain. Akhirnya masyarakat
tersebut akan menjadikan dirinya sebagai penguasa di atas yang lainnya atau
memasuki tahap ghazw. Bila sampai pada titik jenuh, mereka akan berhenti dan
mengkonsolidasikan ashâbiyyah kembali ke dalam. Di sinilah, masyarakat (suku
atau dinasti) yang dulunya kecil (marginal atau tertindas), kini menjadi penguasa
(pengendali atau satelit) dan memasuki tahap masyarakat menetap atau tahap
hadr.
Berdasarkan hasil pengamatannya, Ibn Khaldun menyebutkan bahwa
ashâbiyyah jenis ini tumbuh dengan kuat pada masyarakat nomaden
(pengembara), terutama pada saat itu merujuk pada masyarakat Arab, Afrika
Utara, dan Tartar (Mongol). Hal ini karena corak (cara) hidup orang-orangnya
yang khas dan kebutuhan mereka yang menyebabkan mereka saling membatu
secara terus menerus. Lebih-lebih kemiskinan padang pasir mereka berarti bahwa
“tidak ada sesuatu yang mengikat mereka kepada tanah kelahiran mereka,
sehingga semua negeri rupa-rupanya sama baiknya bagi mereka”. Ini semua,
ditambah lagi dengan keberanian, kejujuran, dan kepercayaan kepada diri sendiri
pada kaum nomaden, yang mendorong mereka untuk melakukan penaklukan
terhadap kerajaan-kerajaan besar yang tampaknya lebih kuat, namun rapuh dari
sudut solidaritas sosialnya (ashâbiyah).38
Sifat menyerang dan menguasai orang lain yang menjadi ciri khas manusia
dapat ditahan dengan kekuatan yang mengendalikannya. Suku-suku nomaden
yang umumnya memiliki solidaritas sosial yang kuat, dapat menahan diri untuk
tidak diserang maupun menyerang karena terdapat kekuatan yang dimililki oleh
setiap suku-suku nomaden tersebut. Kekuatan tersebut, umumnya berupa kepala-
kepala dan pemimpinan mereka, karena kehormatan dan penghargaan yang
diberikan oleh suku-suku pengembara itu kepada mereka. Serangan yang datang
dari luar umumnya dapat ditahan oleh pemuda-pemuda pemberani dari suku
tersebut yang diorganisir secara baik. Umumnya mereka dapat menahan dari luar
karena tingkat ashâbiyyah (solidaritas sosial) mereka yang utuh dan didasarkan
pada pertalian darah dan kekeluargaan.39
Dalam hal ini, pada beberapa kasus, menurut sebagian komentator Ibn
Khaldun, ketua kabilah (pemimpin suku) memainkan peranan penting sebagai
perekat ‘ashâbiyyah dari sukunya. Dengan demikian, dalam kasus seperti ini,
‘ashâbiyyah mengekspresikan kelas bangsawan (suku) atau struktur aristokrasi
masyarakat. Namun hal itu tidak bersifat umum, karena Ibn Khaldun menemukan
bahwa banyak masyarakat aristokratis yang tidak didasari atau diwarnai dengan
‘ashâbiyyah. Pada masyarakat paling biadab (sperti yang disaksikan Ibn Khaldun
ketika bertemu dengan Timur Lenk dan suku-suku pedalaman di Afrika Utara),
Ibn Khaldun menemukan ‘ashâbiyyah yang paling kuat dibanding suku-suku
lainnya di Masyriq dan di Maghrib. Tetapi karena kekasaran dan kekerasan yang
dimiliki oleh para anggotanya, para pemimpin juga seringkali khawatir dengan

38 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 14.


39 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 233.
12 Dadan Rusmana

perlawanan, pembelotan, dan pemberontakan mereka. Oleh karena itu, seringkali


para pemimpinnya mencukupkan diri pada kekuasaan mental para anggotanya.
Dalam kenyataannya, para kepala suku dapat bertahan pada kekuasaannya
berkat kekuatan para anggota sukunya. Karenanya, para kepala suku harus mampu
menundukkan anak buahnya, atau mengendalikannya, atau mengambil hati para
anggota sukunya. Semuanya itu dimaksudkan untuk menghindari kekerasan,
perlawanan, pembelotan, dan pemberontakan yang dilakukan para anggota suku
terhadap dirinya. Bila hal itu terjadi, maka kekuasaan kepala suku akan hilang,
digantikan dengan yang lain atau bahkan keutuhan solidaritas akan terancam,
memudar, atau bahkan hilang; akibatnya suku tersebut tidak akan mampu
mempertahankan diri dari serangan suku lainnya.
Karena faktor ‘ashâbiyyah seperti ini pulalah, menurut Ibn Khaldun, yang
membuat suku-suku di Afrika Utara sampai pada zamannya tetap saja tidak dapat
bersatu (atau disatukan), sekalipun sebagian besarnya telah memeluk agama
Islam.40 Dalam konteks inilah Ibn Khaldun menulis bab "Bangsa Arab adalah
suatu bangsa di antara kelompok manusia yang paling tidak cocok memiliki
kekuasaan politik", yakni merujuk kepada suku-suku Arab nomaden dan suku-
suku Berber Afrika Utara. Sebabnya, menurut Ibn Khaldun, mereka merupakan
suku pengembara, bergerak bebas di Padang Pasir, kasar jalan hidupnya, tidak
telalu bergantung pada orang lain, dan seringkali tidak mau tunduk pada
kekuasaan.
Sejak mulai ditaklukkan oleh Abi Sarh41 hingga Musa bin Nusair42, suku-suku
Berber di Afrika Utara memiliki ashâbiyyah (solidaritas) kesukuan yang kuat.
Dapat dikatakan bahwa konversi ke dalam Islam (Islamisasi) yang dilakukan
Muslim Arab melalui jalur politik dan budaya, tidak mampu memudarkan
solidaritas kesukuan suku-suku Berber. Bahkan ketika Islam menjadi kekuatan
politik dan budaya di Afrika Utara, mereka tetap mengedepankan fanatisme dan
solidaritas kesukuan mereka. Banyak pergolakan dan pemberontakan yang
dilakukan oleh mereka melawan pemerintah pusat, baik pada masa daulah
Ummayyah, Abbasiah, maupun setelahnya. Ibn Khaldun menuliskan,

Menurut Abu Zaid, orang-orang Berber dari Maroko keluar dari akidah Islam
telah dua belas kali dan agama tersebut tidak tertanam kuat hingga
berkuasanya gubernur Musa ibn Nushair malahan lebih kemudian lagi. Ini
menjelaskan apa yang kabarnya dituturkan 'Umar bahwa Afrika Utara
memecahbelah hati penduduknya. Dengan ini, ia bermaksud bahwa
banyaknya jumlah suku dan kelompok yang menyebabkan mereka tidak mau
tunduk dan menentang kepemimpinan. Pada waktu itu, Irak dan Syam dalam
keadaan lain.43

40 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 295.


41 Abdullah ibn Abi Sarh diangkat menjadi Gubernur Mesir pada tahun 645. Ia membantu mengamankan negeri itu dan
memimpin pasukan Muslim menaklukan Tripolitania dan Tunisia
42 Musa bin Nusair (640-717) meluaskan dan mengkonsolidasikan kekuasaan Islam di Afrika Utara, memulai dan

menyempurnakan penaklukan Spanyol.


43 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman. 143.
Solidaritas Sosial 13

2. ‘Ashâbiyyah pada Penduduk Kota


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa menjelang kedatangan Islam,
penduduk Irak dan Siria hidup dalam keadaan tetindas, pesimis, dan miskin,
karena berada dalam suasana konflik dan di bawah tekanan Persia dan Byzantium
(Roma). Mereka tidak memiliki faksi-faksi dan elemen suku-suku yang berbeda,
sehingga tidak memiliki solidaritas sosial (ashâbiyyah) “pertalian darah dan suku”
yang kuat. Oleh karena itu, ketika pasukan Muslim mampu mengalahkan pasukan
Persia dan Byzantium dari kedua daerah tersebut, penduduk kedua wilayah ini
dapat menerima pasukan Muslim tanpa perlawanan.
Lantas hal tersebut, menurut Ibn Khaldun, bukan berarti ketika Islam berkuasa
pada kedua wilayah ini tidak didasarkan pada ashâbiyyah. Tetap saja, faktor
terpenting yang mampu merekat dan memelihara kekuasaan dinasti Muslim Arab
di kedua wilayah ini, dan wilayah-wilayah lain, dalam waktu yang lama adalah
faktor ashâbiyyah. Hanya saja, ashâbiyyah yang bekerja tidak lagi dominan
didasarkan pada ashâbiyyah pertalian darah dan keturunan, melainkan pada
ashâbiyyah yang bertumpu pada “kharisma pemimpin”, kepentingan, dan agama.
Bagi Ibn Khaldun, ‘ashâbiyyah jenis ini hanya akan diperoleh oleh penduduk
menetap yang mempunyai al-mulk (kekuasaan). Selebihnya, ia memiliki daya ikat
yang sangat kuat untuk mengikat, mengatur, dan memaksa semua elemen yang
ada kepada negara (al-daulah) tersebut. Pada masyarakat nomaden, ‘ashâbiyyah
dapat tumbuh tetapi seringkali tidak tumbuh menciptakan sebuah al-mulk dan al-
daulah dalam bentuk dinasti. Ibn Khaldun menuliskan, “‘ashâbiyyah yang sangat
tinggi hanya diperoleh oleh masyarakat yang tinggal menetap dan yang
mempunyai kepemimpinan di antara suku. Seorang di antara mereka mesti
menjadi pemimpin karena superioritasnya (antara lain) dalam keturunan.”
Pada masyarakat ini, ashâbiyyah, umumnya, tidak terlalu banyak didasarkan
pada pertalian darah, tetapi diikat dengan elemen-elemen ashâbiyyah yang lain,
yaitu perkawinan, patronase, kepentingan bersama, dan faktor pemimpin (al-
daulah). 'Ashâbiyyah pada masyarakat kota ini dapat pula semacam "partai
politik" pada masa modern. Solidaritas seperti ini, memiliki daya ikat yang cukup
kuat di beberapa kota dan wilayah yang pernah dikunjungi Ibn Khaldun.44
Misalnya, Ibn Khaldun melihat bahwa ashâbiyyah bekerja efektif pada
masyarakat Mesir, misalnya, tetapi ashâbiyyah pula yang membuat kabilah-
kabilah di Maroko menjadi sulit diatur. Demikian pula, ashâbiyyah yang dibangun
oleh Bani Israel telah menyulitkan mereka untuk bercampur dengan orang-orang
Arab dan Palestina.45 Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun bahwa ashâbiyyah
dapat bersifat paradoks, yakni dapat membawa kemajuan jika ia berada pada jalur
yang benar, tetapi juga dapat mengarah pada hal negatif.
Dalam masyarakat menetap (hadr), tujuan akhir dari ‘ashâbiyyah adalah mulk
atau kekuasaan-wibawa. 46 Pada akhirnya al-mulk dapat mendesakkan kemauan
agar dita’ati, dan jika perlu al-mulk ditegakkan dengan kekerasan (peperangan).
Apabila sebuah al-daulah telah tegak dengan kukuh, maka ‘ashâbiyyah haruslah
diarahkan untuk menciptakan kekuasaan (al-mulk). Menurut Ibn Khaldun,
kekuasaan (al-mulk) lebih dari sekedar kepemimpinan. Kepemimpinan berarti

44 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 267.


45 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 15.
46 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 16.
14 Dadan Rusmana

sistem kekepala-sukuan dan sang pemimpin dita’ati, namun dia tidak mempunyai
hak memaksa orang lain untuk menerima perintah-perintahnya. Al-Mulk berarti
superioritas dan kekuasaan memerintah dengan paksa. Apabila seorang pemimpin
mendapatkan jalan terbuka menuju superioritasnya, dia tentu memanfaatkannya
karena menyenangkan. Dia tidak dapat sepenuhnya mencapai tujuan kecuali
dengan bantuan ‘ashâbiyyah. Oleh karena itu, otoritas kerajaan (al-mulk)
merupakan sasaran yang dituju oleh ‘ashâbiyyah.
Dalam proses penegakkan kekuasaan (al-Mulk) tersebut, ‘ashâbiyyah dapat
diminimalkan fungsinya dan diseimbangkan dengan faktor lainnya, misalnya
hukum, ekonomi, pemberdayaan militer dan sipil, dan ilmu pengetahuan. Terlebih
apabila kemudian kekuasaan raja itu tampak lebih aman dan kurang terancam dari
sebleumnya, maka umumnya ashâbiyyah mulai dimbangi dengan faktor-faktor di
atas. Ibn Khaldun menuliskan bahwa “jiwa rakyat” umumnya diwarnai dengan
kebiasaan patuh dan berserah diri (submission atau nrimo) (I:287).47 Mereka tidak
dapat memikirakan apa pun kecuali berserah diri kepada sang penguasa.48 Mereka
secara tulus percaya pada sang penguasa dan para bawahannya.49
Semua faktor tersebut pada akhirnya harus diarahkan untuk mengukuhkan al-
mulk tersebut, bahkan apabila diperlukan al-mulk ditegakkan dengan kekuatan
“pedang”. Yang menjadi sebab, menurut Ibn Khaldun, adalah karena orang
merasa sukar untuk tunduk pada kekuasaan dinasti besar pada mulanya, kecuali
ditegakkan dengan paksa oleh kekuatan yang lebih superior. Mulanya, orang tidak
biasa dengan pemerintahan itu. Tetapi begitu 1) kepemimpinan terletak dengan
kuat pada anggota keluarga yang berwenang dalam dinasti bersangkutan untuk
menyelenggarakan kekuasaannya, dan 2) begitu kekuasaannya diwariskan turun-
temurun selama sejumlah generasi yang banyak dan melalui banyak dinasti
berturut-turut; keadaan semula terlupakan, dan para anggota keluarga tersebut
diakui sebagai pemimpin.
Bagai telah menjadi ketentuan dan kepercayaan yang kukuh bahwa orang
harus tunduk dan patuh kepada mereka. Orang akan berjuang untuk kepentingan
mereka, bagaikan berjuang untuk kepercayaan. Pada masa seperti itu diperlukan
banyak ‘ashâbiyyah untuk mempertahankan kekuasaan mereka. “Allah memberi
kekuasaan kepada siapa yang Ia kehendaki” (QS al-Baqarah: 247), kutip Ibn
Khaldun. Akan tetapi, meski dinasti tersebut tampak lebih aman karena kepatuhan
rakyat kepada penguasanya, dengan memudarnya ‘ashâbiyyah membuat substansi
menurun “seperti suhu badan yang kekurangan gizi, yang lambat laun akan
sampai pada saat yang telah ditakdirkan.”50
Menurut Ibn Khaldun, semangat ingin menyerang satu sama lainnya di
kalangan masyarakat, untuk waktu tertentu, dapat dicegah oleh penguasa-
penguasa dan negara, yang dapat menahan rakyatnya dari menyerang dan
menindas satu sama lain. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah dapat
memelihara rakyat itu dari penindasan, kecuali penindasan tersebut dilakukan
pemerintah sendiri. Penyerangan dari luar dapat ditahan dengan perantaraan
tembok-tembok besar dan benteng-benteng yang melindungi kota, dengan

47 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 287.


48 Ibn Khaldun, al-Ibar, jilid II, halaman 121-122; Lihat pula Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 314ff.
49 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 318.
50 Ibn Khaldun, al-Ibar, jilid II, halaman 12-21.
Solidaritas Sosial 15

menambah jumlah personil keamanan, dan markas pertahanan negara dapat


mengatur pertahanan negara secara teratur dan untuk jangka waktu yang lama.51

Ashâbiyyah
Masyarakat Desa Masyarakat Kota
Elemen Lebih Banyak dibangun di Lebih banyak dibangun di
Dasar atas Pertalian darah, atas sistem pemerintahan,
kekeluargaan, dan kekerabatan kepentingan bersama, patron
klien.
Kualitas Sangat kuat karena dibangun Sangat rapuh terutama jika
Ashâbiyyah di atas pertalian darah karena sistem tidak berjalan, tidak
unsur ini bersifat permanen, lagi memiliki kepentingan
kecuali dalam beberapa bersama, dan pudarnya patron
pengecualian klien yang disebabkan banyak
faktor
Tujuan Solidaritas kelompok (suku) Tegaknya sebuah mulk
Ashâbiyyah untuk defensif dan ofensif
Pengokoh Kondisi alam yang berat Yang Sistem pemerintahan yang
‘ashâbiyyah mendorong rekatnya baik yang dapat
‘ashâbiyyah dan mengantarkan masyarakatnya
menumbuhkembangkan kerja pada kemajuan peradaban,
keras, keberanian, terutama dalam bidang ilmu
kesederhanaan, kejujuran pengetahuan, teknologi, dan
seni-budaya
Faktor yang Pemimpin otoriter (negatif), Kehidupan mewah, korupsi
melemahkan kekurangan kebutuhan pokok, egoisme, etos kerja yang
‘ashâbiyyah dan fanatisme buta. lemah,
Posisi Sangat berperan, terutama Sangat berperan dalam
Pemimpin untuk menjaga silsilah memelihara sistem
(pertalian darah), keturunan, pemerintahan dan hukum
dan kekerabatan, dan hukum yang disepakati dalam sistem
adat (umumnya hukum tertulis)
Kaitan Ashâbiyyah dapat menjadi Ashâbiyyah umumnya
Dengan penggerak agressi dan faktor dimiliki pada kelas
Militer utama untuk defensi yang aristokrasi. Jika terjadi
melibatkan semua warga serangan, maka tugas
dalam ikatan ashâbiyyah pertahanan hanya menjadi
tersebut. Serangan dapat tugas segelintir warga,
ditahan oleh kualitas warga, terutama tentara. Serangan
yang umumnya sekaligus dapat ditahan oleh benteng-
menjadi tentara. benteng dan tentara-tentara
bayaran.

51 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 233.


16 Dadan Rusmana

D. Fungsi Sosial dan Politis Ashâbiyyah


Kajian terhadap ‘ashâbiyyah merupakan kajian yang primer, karena ia
merupakan konsep kunci dari semua bangunan paradigma pemikiran Ibn Khaldun.
Ia merupakan landasan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan al-daulah
(negara). Ia juga merupakan penggerak dinamika sejarah dan masyarakat. Namun,
sebagaimana telah disebutkan bahwa Yves Lacoste memandang konsep
ashâbiyyah Ibn Khaldun merupakan konsepsi yang sangat kompleks dan
seringkali para ahli mengkajinya dari pengertian dan sudut pandang yang variatif.
Sebagian memandangnya dari perspektif politik, sementara yang lainnya memberi
makna sosial. Paparan di bawah ini berusaha mengambarkan kedua fungsi
‘ashâbiyyah tersebut dari sudut pandang yang cukup komprehensif. Fungsi itu
meyangkut, 1) fungsi sosial ‘ashâbiyyah dan 2) fungsi politis ‘ashâbiyyah.
1. Fungsi Sosial ‘ashâbiyyah
Ketika menyimpulkan tentang konsep ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun ini, Lacoste
secara sederhana membuat rumusan mengenai transformasi ‘ashâbiyyah ini
sebagai berikut, "‘ashâbiyyah merupakan struktur sosio-politik yang membuat
terjadinya perubahan dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat berkelas.
Pada permulaanya aristokrasi kesukuan didasarkan pada struktur sosio politik
yang berlandaskan persamaan. Setiap kali aristokrasi itu semakin kuat, ia akan
semakin tampak sebagai suatu kelas yang kepentingan-kepentingannya
bertentangan dengan kepentingan-kepentingan anggota suku lainnya, sehingga
goncanglah struktur-struktur kesukuan yang dasarnya dibangun di atas persamaan.
Kegoncangan ini sampai ke batas tertentu akan membuat terkukuhkannya kelas
atas yang khusus, sebab kelas ini mulai memiliki sarana-sarana produksi (baik
dalam bentuk lahan-lahan pertanian atau hewan-hewan ternak) dan memaksakan
kekuasaannya kepada pekerja yang mereka pilih. Namun kegoncangan ini, sampai
pada batas tertentu dapat dipandang progressif, sebab ia merupakan permulaan
peralihan menuju sistem produksi yang lebih efektif dan maju."52 Kesimpulan
Lacoste ini menunjukkan bagaimana signifikansi ‘ashâbiyyah dalam jalinan sosial
masyarakat.
Dalam kacamata Ibn Khaldun, ‘ashâiyyah merupakan landasan dari berbagai
perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Dalam
kacamata Ibn Khaldun, ‘ashâbiyyah memang merupakan suatu jalinan sosial yang
membuat "bangsa" bersatu padu, terlepas ‘ashâbiyyah tersebut muncul dari ikatan
kekeluargaan atau persekutuan. Dalam konteks sosial ini, menurut Muhammad
Mahmud Rabi, ‘ashâbiyyah mempunyai dua peran sosial. Pertama,ia
menumbuhkan solidaritas dan kekuatan dalam jiwa kelompoknya; dan kedua, ia
mempersatukan berbagai ‘ashâbiyyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu
kelompok manusia yang besar dan bersatu.53 Mengenai hal ini, Ibn Khaldun
menyebutkan sebagai berikut, "Silaturahmi merupakan sifat alamiah, dan hanya
sedikit orang saja yang tidak memiliki sifat tersebut. Dari hubungan silaturahmi
ini dapat menimbulkan seruan perang saudara kepada kaum kerabat dan sanak
keluarga, ketika mereka tertimpa penindasan atau kebinasaan."54

52 Yves Lacoste,
53 Muhammad Mahmud Rabi, The Political Theory of Ibn Khaldun, halaman 165
54 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 112.
Solidaritas Sosial 17

Selain itu, ‘ashâbiyyah dapat menggerakan manusia untuk mempertahankan


dan melindungi tempat tinggalnya. ‘ashâbiyyah juga merupakan latar setiap
aktivitas manusia, seperti nubuwwah (prophecy), pembangunan otoritas kerajaan,
atau propaganda untuk suatu tujuan tertentu. Tak satu pun dari kesemuanya itu
dapat dicapai tanpa perjuangan, sebab manusia mempunyai dorongan alamiah
untuk mempertahankan diri. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia tidak dapat
meninggalkan ‘ashâbiyyah. 55 Ibn Khaldun menegaskan, "Adapun manfaat garis
keturunan ialah hubungan batin yang membuat terjadinya silaturahmi yang
menimbulkan sikap saling tolong menolong."56
Dalam pengembangan kebudayaan, ‘ashâbiyyah sangat berperan seperti
disimpulkan oleh Muhammad Mahmud Rabi. Timbal balik antara ‘ashâbiyyah
dan kebudayaan, karena struktur, karakteristik, dan peran ‘ashâbiyyah dihasilkan
itu oleh kebudayaan masyarakat; dan sebaliknya ‘ashâbiyyah berpengaruh pada
kehidupan sendiri, yakni sebagai pemberi batas akhir sistem kehidupan tersebut
dan landasanpembentukan negara dan adanya masyarakat kota. Dalam masyarakat
desa dan primitif, ‘ashâbiyyah merupakan kekuatan pemersatu dan mampu
melindungi kelompok dan mempercepat kemenangan kelompok itu atas
‘ashâbiyyah-‘ashâbiyyah lainnya serta sebagai peredam pertentangan-
pertentangan dalam tubuh sendiri. Labih jauh lagi ‘ashâbiyyah selalu membuat
terjadinya perubahan yang mengakibatkan terwujudnya kehidupan yang lebih
baik, terutama menuju kehidupan berperadaban seperti dilaksanakan masyarakat
kota.57

2. Fungsi Politis ‘ashâbiyyah


Ibn Khaldun menuliskan, "Bahwa kemenangan atau malahan terhindarnya
kekalahan ada di pihak yang memiliki ‘ashâbiyyah yang lebih kuat dan yang
anggota-anggotanya lebih mampu berjuang dan bersedia mati demi kepentingan
bersama. Adapun kedudukan raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan
diingini orang. Kedudukan ini memberikan kepada pemegangnya segala kekayaan
duniawi, danjuga kepuasan lahir batin. Karena itu ia menjadi sasaran perebutan,
dan jarang sekali dilepaskan dengan sukarela kecuali di bawah paksaan. Perebutan
menimbulkan perjuangan dan peperangan dan runtuhnya singgasana-singgasana.
Semuanya itu tidak dapat terjadi kecuali dengan ‘ashâbiyyah."58 Dari kutipan ini
terlihat bahwa ‘ashâbiyyah ditempatkan oleh Ibn Khaldun sebagai salah faktor
menentukan dalam dinamika politik yang terjadi dalam sejarah perkembangan
manusia.
Menurut Ibn Khaldun, tujuan akhir dari solidaritas sosial, baik pada
masyarakat desa (badw) maupun masyarakat kota (hadhr) adalah kedaulatan (al-
daulah). Sebabnya, karena solidaritas itulah yang mampu menyatukan manusia
untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan
musuh. Setiap manyarakat memerlukan kekuatan yang mampu mengatur,
mencegah, dan memaksa mereka untuk taat pada aturan dan kepentingan bersama.
Kekuatan tersebut dimiliki oleh seorang pemimpin yang memiliki dukungan para

55 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 264.


56 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 112
57 Muhammad Mahmud Rabi, The Political Theory of Ibn Khaldun, halaman 52.
58 IbnKhaldun, Muqaddimah, halaman 122.
18 Dadan Rusmana

pembantunya dan masyarakatnya, karena diikat oleh solidaritas sosialnya.


Solidaritas seperti ini pada akhirnya akan melahirkan kedaulatan yakni kekuatan
yang melebihi kekuasaan seorang kepala suku. Kedaulatan adalah memerintah
dengan paksa melalui alat kekuasaan yang ada di tangan orang yang memerintah
itu. 59
Dengan demikian, ashâbiyyah merupakan faktor uatama berdirinya suatu
dinasti, kerajaan, atau negara (al-daulah). Menurut Ibn Khaldun, ‘ashâbiyyah
merupakan tali pengikat bagi pendukung-pendukung negara bersangkutan
sedemikian rupa sehingga apabila diperlukan mereka akan mempertahankan
negaranya itu dari ancaman dan gangguan dari musuh-musuh kekuasaan, baik
musuh internal maupun ekstenal. Hubungan antara ‘ashâbiyyah dengan al-daulah
bagaikan dua sisi mata uang, artinya apabila ‘ashâbiyyah tidak ada maka al-
daulah--ataupun lebih kecil dari itu seperti dinasti—tidak akan dapat berdiri atau
bertahan lama. 60 ‘ashâbiyyah Ibn Khaldun mempersyaratkan adanya hirarki yang
kuat dan memelukan seorang pemimpin yang mendapatkan dukungan luas dari
kelurga dan pembantu-pembantunya. Hirariki yang kuat mutlak adanya, terutama
apabila ia akan melakukan intervensi dan mendirikan negara (al-daulah) yang
lebih luas, dan menguasai serta mengatur berbagai ‘ashâbiyyah.
Dengan demikian, faktor utama yang merekatkan antara ‘ashâbiyyah dan al-
daulah adalah kepemimpinan (wazi atau al-imârah). Dari sinilah ‘ashâbiyyah
kemudian melahirkan kepemimpinan seseorang atas anggota yang lainnya.
Berdasarkan ashâbiyyah ini, sang pemimpin kemudian membangun struktur
kekepalasukuan dan akhirnya dinasti (kerajaan), baik melalui penghancuran
loyalitas kepada pihak lain maupun melalui ancaman kekuatan. Kerajaan atau
kekuasaan (al-mulk), dengan demikian, merupakan sasaran yang dikejar oleh
kekuatan ‘ashâbiyyah itu.61
Bagi Ibn Khaldun, kepemimpinan bukanlah merupakan kekuasaan "de jure",
tetapi merupakan kekuasaan "de facto" dan kepemimpinan diperoleh dengan
kemenangan, yakni dengan penggunaan kekuatan. Umumnya, kepemimpinan
terpusatkan pada salah atu cabang ‘ashâbiyyah yang paling kuat. Dalam bentuk
seperti ini, ‘ashâbiyyah merupakan suatu bentuk khusus organisasi politik dengan
puncaknya suatu aristokrasi kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi
yang bebas. Artinya, di antara para anggota ‘ashâbiyyah yang luas mempunyai
kedudukan yang sama, namun tidak demikian dengan hubungan mereka dengan
para pemegang kepemimpinan. Dari hal ini Lacoste menyebutkan bahwa dari
hasil penggambaran Ibn Khaldun tentang ‘ashâbiyyah ini, terdapat dua faktor
yang menjadi karakteristik lain ‘ashâbiyyah ini, yaitu aristokrasi dan demokrasi.
‘ashâbiyyah pun, menurut Ibn Khaldun, dapat dijadikan alat untuk
menyelesaikan konflik antara golongan, yaitu bila akhir konflik ini harus
diselesaikan dengan menggunakan kekerasan dan kekuatan. Hal ini karena,
Lanjutnya, ‘ashâbiyyah menyebabkan diperolehnya (dominasi) kekuasaan
terhadap kekuasaan yang lain, dan akhirnya pihak-pihak lain tunduk padanya.
Maka timbullah organisasi-organisasi sosial dan rasa superioritas terhadap orang
dan dinasti lain. Manakala ‘ashâbiyyah berjalan, maka segala kebajikan individual

59 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 252.


60 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 278.
61 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 284ff, 336-337, 414-416; dan Ibn Khaldun, al-Ibar, jilid II, halaman 119.
Solidaritas Sosial 19

dan kebaikan politik menyertainya. Ini berlaku bagi setiap diri penguasa dan juga
bangsa yang bersangkutan. Kehadiran ‘ashâbiyyah ditandai oleh, dan
menghendaki, perbuatan-perbuatan bijak dan shahîh. 62
Tetapi di sisi lain, ‘ashâbiyyah mengarah pada dominasi kelompok atas
kelompok yang lain. Kelompok masyarakat yang memiliki solidaritas sosial yang
tinggi akan mampu mengalahkan kelompok masyarakat yang memiliki solidaritas
sosial yang rendah. Umumnya, setiap kelompok menginginkan menjadi kelompok
penguasa, karena mereka akan mendapatkan kedudukan, superioritas ras, dan
harta yang melimpah. Kalau semuanya ini menjadi ukuran keberhasilan (gengsi)
bagi semua kelompok, maka jelas ia tidak akan diberikan secara sukarela, oleh
karena itulah muncul konflik, perebutan, dan peperangan. Semuanya itu menurut
Ibn Khaldun terjadi karena adanya solidaritas sosial yang dimiliki oleh setiap
kelompok, walaupun dengan kualitas dan kuantitas solidaritas yang berbeda. 63
Menurut Issawi, pendapat Ibn Khaldun mengenai ashâbiyyah yang dapat
berarti “kekuatan keluar” dalam bentuk agresi, dominasi, hegemoni, atau
penaklukan, telah mendahului pendapan Thomas Hobes, atau bahkan melebihi
pandangan Hobes.64 Walaupun demikian, menurut Ibn Khaldun, tidak semua
‘ashâbiyyah dapat mengarah pada penaklukan atau intervensi, terutama jika
kekuatan ‘ashâbiyyah yang dimiliki kabilah (suku) tersebut dalam keadaan lemah
atau kecil. Mereka bahkan berusaha untuk suku-suku lain untuk menggabungkan
diri atau mencari perlindungan kepada suku-suku yang memiliki ‘ashâbiyyah
yang lebih kuat. Dari sini bisa terjadi patronase sejajar (bila memiliki ‘ashâbiyyah
yang sama-sama kuat) atau patronase dominasi (jika yang satu lebih kuat dari
pada yang lain.
Bila ‘ashâbiyyah semakin kokoh, maka kekuatannya dapat mengarah kepada
penaklukan negara (al-daulah) atas negara yang lain. Kelompok yang paling
efektif dalam mencapai penaklukan adalah kelompok yang mempunyai ikatan
‘ashâbiyyah terkuat. Kelompok dengan ‘ashâbiyyah terkuat mengungguli
kelompok lain yang mempunyai ‘ashâbiyyah lebih lemah dan menggiring mereka
ke dalam cengkeraman kekuasaannya. Ibn Khaldun menuturkan bahwa apabila
suatu ‘ashâbiyyah menguasai yang lain, kedua ‘ashâbiyyah itu memasuki kontak
yang erat; dan ‘ashâbiyyah yang kalah memberi kekuatan tambahan pada
‘ashâbiyyah yang menang, sebagai akibatnya, memancangkan tujuan superioritas
dan sasaran dominasinya lebih tinggi dan lebih jauh dari sebelumnya.65
Menurut Ibn Khaldun, dalam penaklukan dan peperangan ‘ashâbiyyah lebih
penting dari kekuatan numerikal-kuantitatif, sekalipun hal itu tidak dapat
diabaikan sama sekali. Ibn Khaldun secara tegas menolak teori al-Tustûri yang
mengatakan bahwa kekuatan militer suatu dinasti66 atau kemenangan suatu
peperangan,67 bergantung kepada ukuran angkatan bersenjata atau jumlah ksatria
yang pemberani dan terkenal. Ibn Khaldun malah memandang kekuatan militer –
dan juga kemenangan—ditentukan oleh ‘ashâbiyyah itu. Dari hal-hal tersebut
dapat dikatakan bahwa dalam ‘ashâbiyyah terkandung fungsi militer, meski unsur

62 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 291.


63 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 278.
64 Charless Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman. 13.
65 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 285-286.
66 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 316-317.
67 Ibn Khaldun, Al-Ibar, jilid II, halaman 87.
20 Dadan Rusmana

militeristik ini tidak cukup untuk membentuk ‘ashâbiyyah. Sebab dalam banyak
kasus ditemukan kesatuan-kesatuan militer yang tidak diwarnai ‘ashâbiyyah.
Ibn Khaldun menuliskan, "panggilan perang berlaku baik bagi keluarga
menurut garis keturunan umum maupun keluarga menurut garis keturunan khusus,
hanya saja penggilan pada garis keturunan khusus lebih kuat, karena hubungan
kekeluargaan yang lebih dekat. Yang menjadi pimpinan mereka adalah salah
seorang dari mereka dan tidak semuanya dapat menjadi pimpinan. Dengan
memandang bahwa kedudukan sebagai pimpinan diperoleh dengan kemenangan,
jelas ‘ashâbiyyah pimpinan itu harus lebih kuat daripada ‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah
yang lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud."68

E. Pengabaian dan Pudarnya Ashâbiyyah


1. Apabila al-Daulah (Negara) Telah Tegak maka Penguasa dapat mengalihkan
‘ashâbiyyah Pertalian Darah ke elemen ‘ashâbiyyah lainnya
Ibn Khaldun secara konsisten berpendapat bahwa setiap dinasti (daulah) yang
mampu bertahan adalah daulah-daulah yang memiliki solidaritas sosial yang
kuat.69 Namun, menurut Ibn Khaldun, apabila sebua negara (al-daulah) telah
berdiri dengan kokoh, maka ia dapat meninggalkan ashâbiyyah “pertalian darah
dan kekeluargaan”.70 Hanya saja, ia harus mampu mencari dan memelihara
pengganti ashâbiyyah “pertalian darah dan kekeluargaan” itu sendiri. Apabila hal
ini tidak mampu diciptakan dan dipelihara, maka akan berakibat pada kehancuran
negara (daulah) itu sendiri. Ia dapat mengalihkan elemen solidaritas dari
“pertalian darah” kepada “kualitas pemimpin”, kepentingan, agama, atau
mengefektifkan elemen-elemen negara (institusi hukum, institusi Militer,
perdagangan, dan lain-lain).
Sebuah negara yang baru berdiri, umumnya memerlukan kepatuhan rakyat
dengan cara paksaan dan kekerasan. Sebabnya, rakyat belum terbiasa
(beradaptasi) dengan kekuasaan dari negara (al-daulah) baru tersebut. Akan
tetapi, apabila kedudukan raja telah ditegakkan dan diwarisi oleh keturunan demi
satu keturunan atau beberapa generasi, maka orang akan lupa terhadap asal-usul
dinasti tersebut. Generasi penerus mereka tidak mengetahui bagaimana dinasti itu
ditegakkan, mereka hanya tahu bahwa mereka telah dibesarkan di bawah
kekuasaan dinasti tertentu. Mereka mengetahui dan menyaksikan raja-raja
mereka, yang kekuatannya telah berdiri teguh dan utuh dan tidak lagi menjadi soal
yang dipertentangkan, serta tidak lagi merasa perlu mendasarkan pemerintahannya
itu kepada solidaritas sosial.71
Mereka hanya mengetahui bahwa harus tunduk kepada pimpinan, hampir-
hampir menyamai ketundukan mereka terhadap agama. Dalam tingkatan ini
orang-orang yang memerintah tidak lagi bergantung kepada kekuatan angkatan
bersenjata yang besar, sebab kekuasaan mereka telah diterima sebagai kehendak
Allah yang tidak dapat diubah atau ditentang. Sejak waktu itu, menurut Ibn
Khaldun, kekuasaan raja berpangkal kepada bawahan-bawahannya, orang-orang

68 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 114-115.


69 Ibn Khaldun, al-Ibar, Jilid II, halaman 264.
70 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 279.
71 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 278.
Solidaritas Sosial 21

yang mendapat perlindungan (patronage), dan mamlûk (hamba sahaya yang


dibesarkan diistana dan kemudian dimerdekan dan dipekerjakan di istana). Kalau
tidak kepada mereka, kekuasaan raja akan bergantung kepada barisan-barisan
bersenjata asing yang bekerja kepadanya. 72
Ibn Khaldun kemudian mengemukakan contoh mengenai hal ini.
Pemerintahan Heraklius, Anusyirwan73, ‘Abd al-Malik ibn Marwan74, dan Harun
al-Rasyid, merupakan contoh pemerintahan yang tidak menonjolkan ashâbiyyah
“pertalian darah dan keturunan”. Namun, menurutnya, mereka hanyalah pengganti
para pendahulunya dan berfungsi sebagai pemelihara masyarakat yang telah
terbina solidaritas sosialnya. Para Pengganti pemerintah sebelumnya yang
demikian tidaklah banyak mempengaruhi masyarakat, sebab mereka itu hampir
serupa satu sama lainnya. Karena kekuatan yang tetap bekerja di masyarakat
adalah solidaritas dan kekuasan, yang terus-menerus ada pada orang-orang yang
memerintah (silih berganti). Hanya saja, dengan contoh-contoh ini, Ibn Khaldun
ingin membuktikan adanya beberapa penguasa yang tidak terlalu menonjolkan
ashâbiyyah dalam menjalankan roda pemerintahannya. 75
Apabila solidaritas yang demikian itu lenyap dan diganti dengan solidaritas
lain yang bekerja di masyarakat, tetapi memiliki kualitas solidaritas yang lebih
rendah, maka seluruh kelas yang memerintah akan lenyap dan kekacauan yang
ditimbulkannya akan besar sekali. 76 Contoh dari hal ini, menurut Ibn Khaldun,
adalah kondisi Dinasti Abbasiah pada masa kekhalifahan al-Mu’tashim77 dan
anaknya (al-Watsiq)78. Pada masa keduanya, solidaritas sosial orang Arab telah
memudar. Kedua khalifah itu dikelilingi oleh para pegawai non-Arab, yang
sebagian besar berasal dari kalangan Persia, Dailami, Turki, Saljuk, dan mamlûk.
Khalifah al-Mu’tashim, pada mulanya, mampu mengokohkan kekuasaannya
dengan menggantikan ashâbiyyah “pertalian darah dan kekekuargaan” dan
kepentingan bersama. Namun lama kelamaan, orang-orang non-Arab ini mulai
menguasai berbagai pucuk pimpinan di berbagai wilayah yang dikuasai Dinasti
Abbasiah, kecuali Baghdad yang tetap dikuasai khalifah. Namun pada perjalanan
selanjutnya, keluarga Dailami mampu menguasai istana Baghdad, sekalipun tetap
menjadikan khalifah sebagai bonekanya. Dailami kemudian digantikan oleh bani
Saljuk. Kemudian Saljuk pun digantikan oleh bangsa Tatar, yang membunuh
khalifah dan menyapu bersih dinasti Abbasiah.
Keadaan yang sama, menurut Ibn Khaldun, terjadi pula pada dinasti
Ummayyah di Spanyol. Ketika solidaritas sosial orang-orang non-Arab semakin
melemah, maka penguasa-penguasa lokal (mulûk al-thawâif), baik di Spanyol
maupun di Afrika Utara,79 kemudian saling mengklaim sebagai penguasa

72 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 279.


73 Khosru I (541-579) terkenal dengan nama Anusyirwan (yang mendapat rahmat) adalah salah satu raja Sassani (Persia) yang
termasyhur sebagai penakluk, ahli negara dan pelindung penyiaran ilmu pengetahuan.
74 Abd al-Malik (memerintah 685-705) menyusun kekuatan dinasti Ummayyah, mulai panaklukan Transoxania dan membawa

perbaikan yang signifikan dalam dinastinya. Qubbat al-Sahr dan Mesjid al-Aqsa di Jerussalem merupakan hasil kerjanya, melalui para
arsiteknya.
75 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 279.
76 Ibn Khaldun, al-Ibar, halaman 264.
77 Al-Mu’tashim (795/6-842) menggantikan al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai khalifah yang memindahkan istana dari Baghdad ke

Samarra.
78 Wafat pada tahun 847 M.
79 Salah satu penguasa lokal yang cukup kuat di Afrika Utara adalah Bani Marin yang berpusat di Fez. Bani Marin merupakan

bagian dari Zenatah, yaitu salah satu suku utama Berber. Sebagian besar suku Berber menempati wilayah Aljajair dan Maroko. Mereka
memainkan peran penting dalam sejarah Muslim di Afrika Utara dan Spanyol pada abad ke-10 hingga abad ke-13.
22 Dadan Rusmana

tertinggi, mencontoh bangsa-bangsa asing di istana Abbasiah. Penguasa-penguasa


lokal ini kemudian dengan cara sendiri menciptakan gelar-gelar kedaulatan
sendiri-sendiri. Kekhalifahan Ummayyah di Spanyol hanya dipergunakan sebagai
simbol kekuasan boneka mereka, padahal yang real berkuasa adalah penguasa-
penguasa lokal ini. Akhirnya ketika kekuatan penguasa-penguasa lokal ini pun
kemudian melemah, maka hancur pulalah kekuasaan bani Ummayyah di Spanyol
hingga kini. 80

2. Pudarnya Ashâbiyyah dan Akibatnya


Ibn Khaldun menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan tenaga dan
kekuatan ‘ashâbiyyah memudar, yaitu 1) nafsu penguasa yang berambisi sebagai
penguasa tunggal dan menyimpangkan hukum demi kepentingan perintah-
pribadinya; 2) penyimpangan terhadap hukum-hukum yang dilakukan oleh semua
elemen yang ada di dalam negara tersebut; 3) sikap nrimo atau penurut yang
berlebihan dari para pengikutnya; konsekuensinya, penguasa mempunyai otoritas
mutlak, tidak terkontrol kebijakannya, dan rakyat dalam posisi paling rendah; 4)
daya tarik kekayaan, kemudahan, dan kemewahan (lihat penjelasan selanjutnya
dalam sub bab “dosa-dosa sejarah”).
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa semua kekuatan dan segala prestasi yang
dibangun di atas ashâbiyyah, bersifat politis, sosial, maupun kultural, hanyalah
sementara. Mereka tumbuh dan berkembang mencapai suatu titik jenuh dan batas
alamiah yang tidak lagi dapat dilampaui. Dari sana lantas timbul kemunduran dan
perpecahan. Hal ini berlaku pada ‘ashâbiyyah dan juga pada kekuasaan. Setelah
kekuasaan kerajaan yang absolut dicapai melalui ‘ashâbiyyah dan melalui agama,
sang penguasa lantas menghancurkan mereka yang turut menikmati kekuasaan
dengannya dan memanfaatkan tentara-tentara bayaran yang setia terhadapnya
sebagai individu dan bukan setia terhadap ashâbiyyah atau tujuan keagamaan.
Para pemimpin ‘ashâbiyyah yang mulanya hidup di desa dengan
kesederhanaannya mulai menikmati kehidupan kota. Ia mulai membagi-bagikan
wilayah dan kekuasaannya beserta kenikmatan hidupnya kepada kerabat-kerabat
dan pengikut-pengikutnya. Suatu saat dengan birokrasi yang diciptakannya, para
penguasa (aristokrat) ini mulai menjauh dan kehilangan kontak dengan para
anggota ‘ashâbiyyah; demikian pula sebaliknya. Bahkan tidak sedikit, para
penguasa yang menyingkirkan anggota ‘ashâbiyyah karena Para pemimpin
menganggap kelompok ‘ashâbiyyah-nya merupakan ancaman terhadap
kekuasaannya atau karena kerakuasan mereka untuk menikmati kekuasaannya
secara sendirian atau segelintir orang serta keinginan mewariskannya secara turun
temurun.
Ibn Khaldun menuliskan, "Oleh karena itu si pemimpin itu akan mengambil
langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan dan memotong sayap dan
melemahkan kekuatan ‘ashâbiyyah kelompok-kelompok lain, sehingga mereka
tidak akan mencoba menggugat kekuasan di pemimpin yang memerintah. Si
pemimpin yang memerintah itu akan memonopoli seluruh kekuasaan tanpa

80 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 279.


Solidaritas Sosial 23

meningalkan sedikitpun kekuasaan untuk orang lain dan menikmati sendiri


kebesaran yang diperoleh kekuasaan itu."81
Untuk itu, secara perlahan dan sistematis pemimpin tersebut menyingkirkan
teman-teman seperjuanggannya dengan berbagai cara, termasuk mendatangkan
tentara sewaan. Akhirnya ia dikelilingi oleh orang-orang baru yang terikat karena
keinginan materi dari penguasa tersebut. Ia dan orang-orang baru tersebut
berusaha mempertahankan kekuasaan selama mungkin, sambil menikmati
kelezatan hidup, termasuk dengan cara melanggar hukum yang dibuatnya atau
menindas rakyatnya (lihat kembali pembahasan tentang Kekusaan Sentralistik dan
Konsekuensinya).
Selain itu ancaman dapat datang dari para anggota ‘ashâbiyyah karena
masing-masing memandang mempunyai hak untuk menikmati kesuksesan
kelompoknya. Hal ini karena mereka memandang dirinya sebagai orang yang
paling berjasa mengantarkan si pemegang kekuasaan pada kekuasaannya.
Umumnya mereka meminta jabatan tinggi, terutama masuk pada pemimpin
birokrasi. Keterbatasan kursi kepemimpinan dibanding dengan jumlah yang
tersedia mengakibatkan hanya sebagian anggota ‘ashâbiyyah yang dapat diangkat
menjadi pemegang tapuk pimpinan, sedangkan yang lainnya tidak. Hal ini dapat
menyebabkan pudarnya ‘ashâbiyyah karena sebagian menganggap penguasa
tertinggi tidak bersikap adil terhadap mereka. Jika sikapnya konfrontatif, maka hal
tersebut dapat menyebabkan keluarnya ia dari ‘ashâbiyyah, atau berbuat makar
dan pemberontakan yang dapat menggoyahkan atau menggulingkan kekuasaan.
Ibn Khaldun menuliskan, “Segala hal yang menyertai kemewahan dan
ketenggelaman dalam kehidupan, mudah menghancur-leburkan ‘ashâbiyyah yang
sendirinya membuahkan keunggulan itu”.82 Menurut Ibn Khaldun, ketiadaan
‘ashâbiyyah, terutama pada masa udzur-nya sebuah dinasti, ditandai oleh, dan
menimbulkan, kemungkaran-kemungkaran dan perbuatan jahat.83 Di dalam
pembahasan “Di antara penghalang kewibawaan pemerintah ialah kemewahan
dan keterbuaian suku dalam kelezatan’, Ibn Khaldun menjelaskan mengenai
pudarnya ‘ashâbiyyah disebabkan perubahan kebiasaan kesukuan masyarakat desa
(badw) ke arah kebiasaan penduduk kota (hadhr), terutama menyangkut
perubahan kehidupan sederhana ke arah kehidupan mewah. Ibn Khaldun
menuliskan, “Sebabnya ialah bila masa suatu suku berhasil memperoleh suatu
kemenangan maka suku itu akan menikmati kelezatan sesuai dengan peringkat
kemenangannya. Suku tersebut akan menikmati kelezatan dan kesenangan
tersebut dengan orang-orang yang menikmati kelezatan dan kesenangan hidup. …
Bilamana negara dalam keadaan kuat, yakni ketika tiada seorang pun yang
berharap untuk mencampuri urusan negara dan persekutuan negara itu, niscaya
suku itu akan mengikuti pemerintahannya. Mereka akan merasa puas dengan
kelezatan yang dinikmatinya. Mereka tidak berangan-angan untuk merebut
kekuasaan pemerintahan. Cita-cita mereka adalah kelezatan hidup, pendapatan,
kemudahan penghidupan, ketenangan dan ketentraman di bawah naungan
negara… Akibat dari hilangnya kesederhanaan dan kejujuran seperti yang
diprkatekan pada mayarakat desa, maka lemahlah ashâbiyyah dan akhirnya

81 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 145.


82 Ibn Khaldun, Muqaddimah,286-7, 296-7, dan 317; Lihat pula Ibn Khaldun, al-Ibar, halaman 118-9.
83 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 292-293.
24 Dadan Rusmana

ashâbiyyah pun akan hancur. Hal-hal yang mendatangkan kemewahan dan


keterbuaian dalam kelezatan hidup akan menghancurkan citra ‘ashâbiyyah yang
mengantarkan pada kemewahan. 84
Ibn Khaldun melihat pula bahwa memudarnya bahkan hilangnya beberapa
suku Arab diakibatkan oleh pudarnya dan hilangnya ashâbiyyah. Beberapa suku
Arab yang mulanya hidup nomaden (mengembara) banyak yang memilih hidup
menetap dan berbaur dengan bangsa-bangsa lain. Mulanya mereka memelihara
garis keturunan (kabilah) secara kuat, seperti tersirat dalam perkatan Khalifah
Umar yang dikutip Ibn Khaldun, “Pelajarilah asal-usul keturunanmu dan
janganlah semacam orang Nabatea dari Mesopotamia, yang apaila ditanya tentang
asal-usulnya, ia menjawab ‘saya berasal dari desa anu dan anu’.” Maksudnya
bahwa inisiasi orang Arab terhadap bani atau kabilah pada mulanya sangat kuat.
Namun kemudian seiring perkembangan jaman banyak orang Arab yang menetap
dan berbaur dengan masyarakat lain serta menerapkan inisiasi berdasarkan
tempat, bukan keturunan. 85
Hal ini terjadi, menurut Ibn Khaldun, terutama ketika masa Islam awal,
sewaktu orang-orang Arab mulai dibedakan yang satu dengan yang lainnya
dengan nama daerah (tempat mereka tinggal). Lama kelamaan percampuran
antara orang Arab dan ‘ajam (non-Arab) semakin kuat, terutama terjadi di kota-
kota. Hal ini telah mengakibatkan semakin tidak jelasnya garis keturunan yang
dimiliki orang Arab, dan konsekuensinya mereka tidak memiliki ashâbiyyah
(solidaritas sosial) antar orang Arab, terutama yang satu kabilah. Lebih jauh, hal
ini kemudian menimbulkan kecendrungan mengenyampingkan nama-nama
kesukuan. Akhirnya suku-suku itu sendiri hilang dan lenyap, dan bersama itu
pulalah hilang dan lenyap sisa-sisa solidaritas kesukuan. 86

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd Allah, Yusri ‘Abd al-Ghani. 2004. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga
Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat. Jakarta: Rajawali Press.
Azmeh, Aziz al-. 1981. Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A. Study in
Orientalism. London: Third World Centre for Research and Publishing.
Azmeh, Aziz al-. Ibn Khaldun: En Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass
and Company.
Baali, Fuad. 1988. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological
Thought. New York: State University of New York Press.

84 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 122-123.


85 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 237.
86 Ibn Khaldun misalnya memberikan contoh betapa banyak orang Arab yang menggunakan nama Qinnasrin sebagai nama

belakang mereka. Nama ini merupakan nama kota subur yang berada di Siria Utara yang menjadi pusat militer pemerintahan Arab
Muslim awal. Namun kota ini kemudian hancur pada masa peperangan Abbasyiah dengan Byzantium pada abad ke-10 dan 11. Contoh
lain menurut Ibn Khaldun adalah penggunaan nama al-Awwasin di belakang orang-orang Arab. Al-Awwasin mulanya berarti “benteng-
benteng”, tetapi pada zaman Ummayyah al-Awwasin berarti “daerah perbatasan yang berbenteng dan terbentang dari Siria Utara
hingga pegunungan Taurus di Qinnasrin”. Pada zaman Harun al-Rasyid, al-Awwasin kemudian menjadi nama propinsi yang membujur
dari Tarsus ke Furat. Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 237.
Solidaritas Sosial 25

Baali, Fu’ad dan Ali Wardi. 2003. Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam.
Terjemahan oleh Mansuruddin dan Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan.
Faruqi, Ismail Raji al dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam.
Bandung: Mizan.
Issawi, Charles. 1967. Filsafat Islam Tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas.
Khaldun, Ibn. 1967. The Muqaddimah: Introduction to History. Terjemah oleh
Franz Rosenthal. 3 jilid. London: Routledge & Kegan Paul.
Khaldun, Ibn 1970. The Muqaddimah. Terjemah oleh Franz Rosenthal. Diedit
kembali oleh N.J. Dawood. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Khalidi, Tarif. 1985. Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the
Golden Age. Princeton, New Jersey: The Darwin Press.
Khudhairi, Zainab. 1995. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Terjemahan oleh Ahmad
Rofi'I Utsmani. Bandung: Pustaka. Cetakan ke-2.
Lacoste, Yves. 1984. Ibn Khaldun: The Birth of History and The Past of The
Third World. London:Verso
Lewis, Bernard. 1967. The Arab in History. New York: Harper & Row.
Mahdi, Muhsin. 1971. Ibn Khaldun's Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture. Chicago: The University
of Chicago Press.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 1996. Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur. Jakarta: Gema Insani Press.
Meuleman, Johan Hendrik. 1994. “Pemikiran Ibn Khaldun tentang Sejarah dan
Pengaruhnya terhadap kajian Keislaman”. Makalah.
Osman Raliby. 1962. Ibn Khaldun tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta:
Bulan Bintang.
Rabi’, Muhammad Mahmoud. 1967. The Political Theory of Ibn Khaldûn. Leiden:
E.J. Brill.
Schmidt, Nathaniel. 1930. Ibn Khaldun: Historian, Sociologist, and Philosopher.
New York: Columbia University Press.
Stowasser, Barbara Freyer. 1994. “Agama dan Perkembangan Politik Antara Ibn
Khaldun dan Machiavelli”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3 Volume
V, 1994, hlm. 88-97.
Suwito dan Fauzan (Ed). 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan.
Bandung: Angkasa.
Toynbee, A.J. 1954. A Study of History. 12 jilid. London: Oxford University
Press.
Wafi, Ali ‘Abd al-Wahid. 1985. Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta:
Grafiti Prees.
Yunus, Iyas Ba dan Farid Ahmad. 1997. Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer. Bandung: Mizan.

Vous aimerez peut-être aussi