Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Makna ‘ashâbiyyah
Salah satu teori yang cukup signifikan dari pemikiran Ibn Khaldun adalah
tentang ‘ashâbiyyah (solidaritas sosial). Ibn Khaldun menggunakan konsep
ashâbiyyah sebagai kunci utama pemahaman realitas politik. ‘ashâbiyyah, bagi
Ibn Khaldun, merupakan daya kreatif mendasar dan poros dari semua peristiwa
kekuatan politik. Dengan tegas Ibn Khaldun menyatakan bahwa “kedaulatan”
merupakan milik kelompok dengan ‘ashâbiyyah yang lebih kuat. Term
‘ashâbiyyah sendiri berhubungan dengan kata ‘ashaba yang berarti famili atau
keluarga. Dengan demikian, istilah ini kurang lebih berarti “membantu dan
memperkuat keluarga”. Menurut ‘Abd al-Raziq al-Makki, kata ashâbiyyah erat
kaitannya dengan kata ashâb yang berarti hubungan dan kata ‘ishâbah yang
berarti ikatan.1 Istilah yang sama juga berhubungan dengan kata ishâbah dan
‘ushbah, keduanya berarti kelompok (group).
Franz Rosenthal menerjemahkan ‘ashâbiyyah ini dengan group-feeling (rasa
kelompok). Charles Issawi menerjemahkannya sebagai “solidaritas sosial”. De
Slane dan F. Gabrieli menerjemahkannya dengan spirito di carpo atau spirito di
parte (semangat kelompok). Microsoft Encarta Library menerjemahkan kata ini
dengan social cohesiveness. Deliar Noer menerjemahkan term ini dengan rasa
golongan.2 Bagi Stowasser (1994:91), makna ‘ashâbiyyah setara dengan rasa
kelompok, solidaritas sosial, atau solidaritas kelompok. Sementara itu, Khemiri
menyejajarkan ashâbiyyah dengan patriotisme dan nasionalisme dalam arti luas.
Namun, pendapat Khemiri ini ditolak oleh Issawi3 dengan alasan bahwa
nasionalisme dalam konsep modern tidak cocok diterapkan untuk masyarakat
pengembara yang terutama dipikirkan oleh Ibn Khaldun. Selebihnya, pada masa
Ibn Khaldun belum terbentuk adanya konsep negara, dalam konteks modern, yang
ada adalah negara dalam arti al-daulah (dinasti). Dengan demikian, konsep
patriotisme dan nasionalisme, dalam artian cinta terhadap tanah air, belum ada
pada Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun mencoba menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan konsep
ashâbiyyah yang dikonstruksinya, “’Ashâbiyah ialah hendaknya seseorang
membela keluarganya dan mempertahankan semampu mungkin orang-orang yang
tergabung dalam ‘ashâbiyah, yaitu keluarga-keluarga orang tersebut”. Dengan
demikian, 'ashâbiyyah Ibn Khaldun tersebut semacam "Loyalitas kesukuan atau
semangat kesukuan yang membuat seseorang patuh pada sukunya dan
1 ‘Abd al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi ‘Inda Ibn Kahdun, Iskandariyah, Mu’assasah al-Tsaqâfah al-Jam’iiyah, halaman 55.
2 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mizan, 1997, halaman 71.
3 Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, Jakarta, Tintamas, 1967, halaman 13, catatan kaki nomor 11.
2 Dadan Rusmana
tidak dapat dipisahkan. 8 Hal ini karena Ibn Khaldun melihat bahwa pada
zamannya, serta zaman-zaman sebelumnya, terdapat hubungan erat antara al-
daulah dengan dinasti, sehingga kehidupan al-daulah banyak sedikitnya
bergantung kepada kehidupan dinasti. Mengecil dan membesarnya al-daulah
(negara) erat hubungannya dengan kuat atau lemahnya dinasti penyangganya.
Misalnya pada masa pemerintahan daulah Bani Abbasiyah, terdapat banyak
dinasti yang memegang tapuk pemerintahan, seperti dinasti Buwaih, dan dinasti
Ayyubiyyah. Tetapi perlu diingat bahwa menurut Ibn Khaldun, kuat dan
lemahnya dinasti ini antara lain terletak pada kuat atau lemahnya ikatan
‘ashâbiyyah.
Ibn Khaldun melihat adanya korelasi antara ashâbiyyah ini dengan
perkembangan sejarah dalam Islam (atau lebih tepatnya masyarakat muslim),
namun Ibn Khaldun melihat justeru ashâbiyyah lah yang lebih berperan dalam
dinamika sosial masyarakat dan politik pada zamannya di banding lainnya.
Berdasarkan observasi partisipatorisnya, Ibn Khaldun melihat bahwa masyarakat
dan daulah-daulah Muslim dibangun di atas ashâbiyyah ini, bukan oleh nilai-nilai
agama (Islam). Ibn Khaldun melihat bahwa nilai-nilai Islam ini tidak berfungsi
atau didisfungsikan oleh masyarakat Muslim pada zamannya. Jika benar bahwa
yang mengikat masyarakat Muslim pada saat itu, dan bukannya ashâbiyyah, maka
harusnya terjadi persatuan di antara semua masyarakat muslim dan tidak akan
terjadi konflik internal masyarakat Muslim. Ibn Khaldun hanya melihat bahwa
tata nilai Islam hanya bertahan pada masyarakat Muslim awal, dan itu pun tidak
terlepas dari sistem ashâbiyyah yang melatari masyarakat Muslim Arab dan
lainnya pada masa sejarah Islam awal.
Berdasarkan hal tersebut, Ibn Khaldun mengukuhkan peran ashâbiyyah dalam
fenomena sosial masyarakat pada zamannya. Ibn Khaldun, menjadikan konsep
‘ashâbiyyah sebagai daya kreatif mendasar dari semua peristiwa kekuatan politik,
dan menyatakan kedaulatan sebagai milik kelompok dengan ‘ashâbiyyah yang
lebih kuat. Bagi Ibn Khaldun, ‘ashâbiyyah merupakan alat perjuangan, alat
menyerang, dan alat bertahan. Sehingga tujuan ‘ashâbiyyah adalah pertahanan diri
dan agresi.9 Kekuatan agresif dan defensif diperoleh hanya karena ‘ashâbiyyah
(solidaritas sosial) yang berarti rasa kasih dan kesedian untuk berjuang dan mati
demi yang lain dalam kelompoknya. 10 Pendapat Ibn Khaldun ini disepakati oleh
Thaha Husein, bahwa ashâbiyyah merupakan ciri utama sebagai pengikat
kekuatan kekeluargaan dalam kalangan masyarakat Arab. Dalam rentetan sejarah
Arab, baik pra Islam maupun masa Islam, kecuali semala empat puluh tahun
permulaan Islam, banyak di antara pertikaian yang terjadi antar suku dan
kelompok, umumnya, disebabkan oleh ashâbiyyah ini.
Yves Lacoste mencoba menelisik alasan mengapa Ibn Khaldun mengambil
term ‘ashâbiyyah sebagai konsep dasar dalam memetakan sejarah perkembangan
manusia, khususnya masyarakat Muslim. Padahal menurut Lacoste, terdapat kata-
kata Arab lain yang dapat diambil Ibn Khaldun untuk menamai konsepnya, tapi
mengapa Ibn Khaldun malah mengambil kata tersebut? Pemilihan kata tersebut
oleh Ibn Khaldun, menurut Lacoste, karena ‘ashâbiyyah ini tidak hanya
8 Sathi’ al-Husri, Dirâsât ‘an Muqaddimah Ibn Khaldûn, halaman 12 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung,
11 Yves Lacoste,
12 Dikutip dari Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, halaman 142.
Solidaritas Sosial 5
'ashâbiyyah lebih dari sekedar kekuatan sosial. 'Ashâbiyyah yang kuat juga
menunjukkan watak yang baik dan kualitas kepemimpinan yang tinggi.
Apabila tingkat antara dua orang yang saling membantu tersebut mempunyai
kekeluargaan (kekerabatan) yang dekat, maka ikatan darah mereka akan
menghasilkan ashâbiyyah (solidaritas sosial) yang kuat (atau dalam arti
sesungguhnya). Sedangkan apabila kekeluargaan (kekerabatan) mereka jauh,
maka ashâbiyyah mereka bersifat lemah, tetapi sebagai gantinya timbullah
perasaan famili yang didasarkan kepada pengetahuan yang lebih luas mengenai
persaudaraan. Dalam konteks inilah, Ibn Khaldun kemudian mengutip hadits Nabi
Muhammad, “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk mengetahui siapa saudaramu
sedarah yang dekat.”
Ibn Khaldun menuliskan, "setiap wilayah dari suku-suku bangsa, meski
mereka satu ikatan berdasar garis keturunan mereka yang umum, mereka memiliki
‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah yang lain menurut garis keturunan yang khusus yang
sangat erat hubungannya dengan garis keturunan umum. Misalnya, satu keluarga
atau kerabat suatu keluarga atau saudara-saudara putera seorang ayah; mereka
tidak seperti putra-putra paman yang terdekat atau terjauh, karena mereka
mempunyai garis keturunan yang lebih dekat dan khusus. Mereka ini bersekutu
dengan ‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah lain pada garis keturunan umum."15
Ibn Khaldun melihat bahwa hubungan darah menjadi faktor utama dalam
kasus-kasus persekutuan atau perlindungan yang ada di istana-istana di Afrika
Utara, Andalusi, serta Mesir. Umumnya, orang yang dilindungi dan orang-orang
yang bersekutu dengan para bangsawan istana adalah mereka yang mempunyai
kepentingan yang sama dan juga sekaligus saudara sedarah. Pelindung dan orang
yang dilindungi saling bantu membantu karena khawatir akan mendapatkan
kehinaan apabila hak tetangga atau saudara sedarah atau kawan itu dilanggar dan
khawatir mendapat kehinaan apabila ia gagal dalam kewajibannya untuk
menolong atau membantu saudaranya. 16 Penghargaan terhadap ikatan darah
membuat orang bersikap kasih kepada famili dan saudara-sedarahnya, suatu
perasaan yang bersifat saling melindungi dari timpaan malapetaka dan kerusakan
atas diri sendiri. 17 Menurut Ibn Khaldun, ashâbiyyah yang dibangun dari ikatan
darah dapat berarti apabila disertai dengan kedekatan dan cara hidup yang sama.18
Selebihnya, ia melihat bahwa ashâbiyyah yang dibangun di atas dasar pertalian
darah ini sangat jelas kelihatannya pada masyarakat badw (desa) atau masyarakat
belum beradab. 19
‘Abd al-Razik al-Makki menyimpulkan bahwa menurut Ibn Khaldun terdapat
lima bentuk ashâbiyyah, yaitu 1), ashâbiyyah kekerabatan dan keturunan, yang
merupakan ashâbiyyah yang paling kuat; 2) ‘ashâbiyyah persekutuan yang terjadi
karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya semula ke garis keturunan
yang lain; 3) ashâbiyyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari
satu garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat kondisi-
kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian ini ‘ashâbiyyah timbul dari
persahabatan dan pergaulan yagn tumbuh dari ketergabungan seseorang pada garis
keturunan yagn baru; 4) ‘ashâbiyyah penggabungan, yaitu ‘ashâbiyyah yang
terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung
dengan kaum yang lain; dan 5) ‘ashâbiyyah perbudakan yang timbul dari
hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan para majikan mereka. 20
20 ‘Abd al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi ‘Inda Ibn Kahdun, halaman 151-159.
21 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 122.
22 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 332.
23 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 332.
24 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 55.
8 Dadan Rusmana
mereka yang dari kelas lebih tinggi ketika mereka kehilangan dukungan dari
kelompok sendiri. 25
Hubungan darah dan hubungan klien nampak sekali dalam keberadaan sebuah
dinasti. Keberadaan dinasti itu dibangun di atas hubungan darah, geneologis
(keturunan), persahabatan, dan hubungan akrab. Hal ini karena dinasti dibangun di
atas semua itu. Dengan demikian, Deliar Noer menyebutkan bahwa ‘ashâbiyyah
yang mendasari al-daulah (negara) yang dikonsepsi Ibn Khaldun berbeda dengan
ikatan nasionalisme atau kebangsaan dalam konsepsi modern. 26
3. Otoritas Pemimpin
‘ashâbiyyah pun dibangun di atas otoritas seorang pemimpin yang efisien di
antara pendukung dan pengikutnya yang tidak bertalian darah. Menurutnya,
apabila kontak yang erat dibangun dengan cara demikian, hasilnya pastilah rasa
kasih sayang dan kebersamaan. Di antara kedua belah pihak (pemimpin dan
pengikut) tumbuh dan berkembang kedekatan hubungan yang istimewa,
selanjutnya mempunyai pengaruh yang sama (dengan turunan biasa) dan
memperkuat hubungan erat itu. Meskipun misalnya tidak ada turunan biasa, buah
hasil keturunan itu tetap ada. 27
Bila hubungan antara pemimpin dan para pengikutnya dibangun di atas
‘ashâbiyyah ini, maka secara timbal balik para pengikut dapat memperoleh
“tempat” dan kemuliaan melalui para pemimpin; dan sebaliknya. Menurut Ibn
Khaldun, mereka mempunyai rasa persamaan kelompok yang mendorong
mobilitas yang utama dan benar. Para klien danpengikut, dengan mengambil
tempatnya yang khusus di dalam ‘ashâbiyyah (dari para pemimpinnya) sejauh
tertentu, berperan serta dalam turunan biasa di mana ‘ashâbiyyah tersebut
tergolong. Oleh karena itu, mereka mampu menciptakan kemuliaan dan
keutamaan bagi dirinya sendiri. 28
Dalam kaitan dengan kepemimpinan ini, Ibn Khaldun juga mengkategorikan
ashâbiyyah yang dibangun di atas hubungan kamu mawâli (para budak atau
pekerja) dengan majikannya. Ibn Khaldun menuliskan, “Bilamana suatu
kelompok ashâbiyyah mempekerjakan suatu kelompok yang bukan keturunan
mereka dan mengambil para budak dan kaum mawali sebagai budak, maka kedua
kelompok terakhir itu bergabung dengan mereka. Garis keturunan kaum masli dan
para penggabung itu pun termasuk dalam ashâbiyyah tersebut dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan sehingga seakan mereka merupakan keluarga
kelompok ashâbiyyah itu. Lebih jauh lagi mereka merupakan sebagian sistem
kekeluargaan ashâbiyyah itu seperti sabda Rasulullah saw, ‘Kaum mawali adalah
sebagian dari suatu kelompok…”29
Menurut Abu Zaid, orang-orang Berber dari Maroko keluar dari akidah Islam
telah dua belas kali dan agama tersebut tidak tertanam kuat hingga
berkuasanya gubernur Musa ibn Nushair malahan lebih kemudian lagi. Ini
menjelaskan apa yang kabarnya dituturkan 'Umar bahwa Afrika Utara
memecahbelah hati penduduknya. Dengan ini, ia bermaksud bahwa
banyaknya jumlah suku dan kelompok yang menyebabkan mereka tidak mau
tunduk dan menentang kepemimpinan. Pada waktu itu, Irak dan Syam dalam
keadaan lain.43
sistem kekepala-sukuan dan sang pemimpin dita’ati, namun dia tidak mempunyai
hak memaksa orang lain untuk menerima perintah-perintahnya. Al-Mulk berarti
superioritas dan kekuasaan memerintah dengan paksa. Apabila seorang pemimpin
mendapatkan jalan terbuka menuju superioritasnya, dia tentu memanfaatkannya
karena menyenangkan. Dia tidak dapat sepenuhnya mencapai tujuan kecuali
dengan bantuan ‘ashâbiyyah. Oleh karena itu, otoritas kerajaan (al-mulk)
merupakan sasaran yang dituju oleh ‘ashâbiyyah.
Dalam proses penegakkan kekuasaan (al-Mulk) tersebut, ‘ashâbiyyah dapat
diminimalkan fungsinya dan diseimbangkan dengan faktor lainnya, misalnya
hukum, ekonomi, pemberdayaan militer dan sipil, dan ilmu pengetahuan. Terlebih
apabila kemudian kekuasaan raja itu tampak lebih aman dan kurang terancam dari
sebleumnya, maka umumnya ashâbiyyah mulai dimbangi dengan faktor-faktor di
atas. Ibn Khaldun menuliskan bahwa “jiwa rakyat” umumnya diwarnai dengan
kebiasaan patuh dan berserah diri (submission atau nrimo) (I:287).47 Mereka tidak
dapat memikirakan apa pun kecuali berserah diri kepada sang penguasa.48 Mereka
secara tulus percaya pada sang penguasa dan para bawahannya.49
Semua faktor tersebut pada akhirnya harus diarahkan untuk mengukuhkan al-
mulk tersebut, bahkan apabila diperlukan al-mulk ditegakkan dengan kekuatan
“pedang”. Yang menjadi sebab, menurut Ibn Khaldun, adalah karena orang
merasa sukar untuk tunduk pada kekuasaan dinasti besar pada mulanya, kecuali
ditegakkan dengan paksa oleh kekuatan yang lebih superior. Mulanya, orang tidak
biasa dengan pemerintahan itu. Tetapi begitu 1) kepemimpinan terletak dengan
kuat pada anggota keluarga yang berwenang dalam dinasti bersangkutan untuk
menyelenggarakan kekuasaannya, dan 2) begitu kekuasaannya diwariskan turun-
temurun selama sejumlah generasi yang banyak dan melalui banyak dinasti
berturut-turut; keadaan semula terlupakan, dan para anggota keluarga tersebut
diakui sebagai pemimpin.
Bagai telah menjadi ketentuan dan kepercayaan yang kukuh bahwa orang
harus tunduk dan patuh kepada mereka. Orang akan berjuang untuk kepentingan
mereka, bagaikan berjuang untuk kepercayaan. Pada masa seperti itu diperlukan
banyak ‘ashâbiyyah untuk mempertahankan kekuasaan mereka. “Allah memberi
kekuasaan kepada siapa yang Ia kehendaki” (QS al-Baqarah: 247), kutip Ibn
Khaldun. Akan tetapi, meski dinasti tersebut tampak lebih aman karena kepatuhan
rakyat kepada penguasanya, dengan memudarnya ‘ashâbiyyah membuat substansi
menurun “seperti suhu badan yang kekurangan gizi, yang lambat laun akan
sampai pada saat yang telah ditakdirkan.”50
Menurut Ibn Khaldun, semangat ingin menyerang satu sama lainnya di
kalangan masyarakat, untuk waktu tertentu, dapat dicegah oleh penguasa-
penguasa dan negara, yang dapat menahan rakyatnya dari menyerang dan
menindas satu sama lain. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah dapat
memelihara rakyat itu dari penindasan, kecuali penindasan tersebut dilakukan
pemerintah sendiri. Penyerangan dari luar dapat ditahan dengan perantaraan
tembok-tembok besar dan benteng-benteng yang melindungi kota, dengan
Ashâbiyyah
Masyarakat Desa Masyarakat Kota
Elemen Lebih Banyak dibangun di Lebih banyak dibangun di
Dasar atas Pertalian darah, atas sistem pemerintahan,
kekeluargaan, dan kekerabatan kepentingan bersama, patron
klien.
Kualitas Sangat kuat karena dibangun Sangat rapuh terutama jika
Ashâbiyyah di atas pertalian darah karena sistem tidak berjalan, tidak
unsur ini bersifat permanen, lagi memiliki kepentingan
kecuali dalam beberapa bersama, dan pudarnya patron
pengecualian klien yang disebabkan banyak
faktor
Tujuan Solidaritas kelompok (suku) Tegaknya sebuah mulk
Ashâbiyyah untuk defensif dan ofensif
Pengokoh Kondisi alam yang berat Yang Sistem pemerintahan yang
‘ashâbiyyah mendorong rekatnya baik yang dapat
‘ashâbiyyah dan mengantarkan masyarakatnya
menumbuhkembangkan kerja pada kemajuan peradaban,
keras, keberanian, terutama dalam bidang ilmu
kesederhanaan, kejujuran pengetahuan, teknologi, dan
seni-budaya
Faktor yang Pemimpin otoriter (negatif), Kehidupan mewah, korupsi
melemahkan kekurangan kebutuhan pokok, egoisme, etos kerja yang
‘ashâbiyyah dan fanatisme buta. lemah,
Posisi Sangat berperan, terutama Sangat berperan dalam
Pemimpin untuk menjaga silsilah memelihara sistem
(pertalian darah), keturunan, pemerintahan dan hukum
dan kekerabatan, dan hukum yang disepakati dalam sistem
adat (umumnya hukum tertulis)
Kaitan Ashâbiyyah dapat menjadi Ashâbiyyah umumnya
Dengan penggerak agressi dan faktor dimiliki pada kelas
Militer utama untuk defensi yang aristokrasi. Jika terjadi
melibatkan semua warga serangan, maka tugas
dalam ikatan ashâbiyyah pertahanan hanya menjadi
tersebut. Serangan dapat tugas segelintir warga,
ditahan oleh kualitas warga, terutama tentara. Serangan
yang umumnya sekaligus dapat ditahan oleh benteng-
menjadi tentara. benteng dan tentara-tentara
bayaran.
52 Yves Lacoste,
53 Muhammad Mahmud Rabi, The Political Theory of Ibn Khaldun, halaman 165
54 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 112.
Solidaritas Sosial 17
dan kebaikan politik menyertainya. Ini berlaku bagi setiap diri penguasa dan juga
bangsa yang bersangkutan. Kehadiran ‘ashâbiyyah ditandai oleh, dan
menghendaki, perbuatan-perbuatan bijak dan shahîh. 62
Tetapi di sisi lain, ‘ashâbiyyah mengarah pada dominasi kelompok atas
kelompok yang lain. Kelompok masyarakat yang memiliki solidaritas sosial yang
tinggi akan mampu mengalahkan kelompok masyarakat yang memiliki solidaritas
sosial yang rendah. Umumnya, setiap kelompok menginginkan menjadi kelompok
penguasa, karena mereka akan mendapatkan kedudukan, superioritas ras, dan
harta yang melimpah. Kalau semuanya ini menjadi ukuran keberhasilan (gengsi)
bagi semua kelompok, maka jelas ia tidak akan diberikan secara sukarela, oleh
karena itulah muncul konflik, perebutan, dan peperangan. Semuanya itu menurut
Ibn Khaldun terjadi karena adanya solidaritas sosial yang dimiliki oleh setiap
kelompok, walaupun dengan kualitas dan kuantitas solidaritas yang berbeda. 63
Menurut Issawi, pendapat Ibn Khaldun mengenai ashâbiyyah yang dapat
berarti “kekuatan keluar” dalam bentuk agresi, dominasi, hegemoni, atau
penaklukan, telah mendahului pendapan Thomas Hobes, atau bahkan melebihi
pandangan Hobes.64 Walaupun demikian, menurut Ibn Khaldun, tidak semua
‘ashâbiyyah dapat mengarah pada penaklukan atau intervensi, terutama jika
kekuatan ‘ashâbiyyah yang dimiliki kabilah (suku) tersebut dalam keadaan lemah
atau kecil. Mereka bahkan berusaha untuk suku-suku lain untuk menggabungkan
diri atau mencari perlindungan kepada suku-suku yang memiliki ‘ashâbiyyah
yang lebih kuat. Dari sini bisa terjadi patronase sejajar (bila memiliki ‘ashâbiyyah
yang sama-sama kuat) atau patronase dominasi (jika yang satu lebih kuat dari
pada yang lain.
Bila ‘ashâbiyyah semakin kokoh, maka kekuatannya dapat mengarah kepada
penaklukan negara (al-daulah) atas negara yang lain. Kelompok yang paling
efektif dalam mencapai penaklukan adalah kelompok yang mempunyai ikatan
‘ashâbiyyah terkuat. Kelompok dengan ‘ashâbiyyah terkuat mengungguli
kelompok lain yang mempunyai ‘ashâbiyyah lebih lemah dan menggiring mereka
ke dalam cengkeraman kekuasaannya. Ibn Khaldun menuturkan bahwa apabila
suatu ‘ashâbiyyah menguasai yang lain, kedua ‘ashâbiyyah itu memasuki kontak
yang erat; dan ‘ashâbiyyah yang kalah memberi kekuatan tambahan pada
‘ashâbiyyah yang menang, sebagai akibatnya, memancangkan tujuan superioritas
dan sasaran dominasinya lebih tinggi dan lebih jauh dari sebelumnya.65
Menurut Ibn Khaldun, dalam penaklukan dan peperangan ‘ashâbiyyah lebih
penting dari kekuatan numerikal-kuantitatif, sekalipun hal itu tidak dapat
diabaikan sama sekali. Ibn Khaldun secara tegas menolak teori al-Tustûri yang
mengatakan bahwa kekuatan militer suatu dinasti66 atau kemenangan suatu
peperangan,67 bergantung kepada ukuran angkatan bersenjata atau jumlah ksatria
yang pemberani dan terkenal. Ibn Khaldun malah memandang kekuatan militer –
dan juga kemenangan—ditentukan oleh ‘ashâbiyyah itu. Dari hal-hal tersebut
dapat dikatakan bahwa dalam ‘ashâbiyyah terkandung fungsi militer, meski unsur
militeristik ini tidak cukup untuk membentuk ‘ashâbiyyah. Sebab dalam banyak
kasus ditemukan kesatuan-kesatuan militer yang tidak diwarnai ‘ashâbiyyah.
Ibn Khaldun menuliskan, "panggilan perang berlaku baik bagi keluarga
menurut garis keturunan umum maupun keluarga menurut garis keturunan khusus,
hanya saja penggilan pada garis keturunan khusus lebih kuat, karena hubungan
kekeluargaan yang lebih dekat. Yang menjadi pimpinan mereka adalah salah
seorang dari mereka dan tidak semuanya dapat menjadi pimpinan. Dengan
memandang bahwa kedudukan sebagai pimpinan diperoleh dengan kemenangan,
jelas ‘ashâbiyyah pimpinan itu harus lebih kuat daripada ‘ashâbiyyah-’ashâbiyyah
yang lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud."68
perbaikan yang signifikan dalam dinastinya. Qubbat al-Sahr dan Mesjid al-Aqsa di Jerussalem merupakan hasil kerjanya, melalui para
arsiteknya.
75 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 279.
76 Ibn Khaldun, al-Ibar, halaman 264.
77 Al-Mu’tashim (795/6-842) menggantikan al-Ma’mun. Ia dikenal sebagai khalifah yang memindahkan istana dari Baghdad ke
Samarra.
78 Wafat pada tahun 847 M.
79 Salah satu penguasa lokal yang cukup kuat di Afrika Utara adalah Bani Marin yang berpusat di Fez. Bani Marin merupakan
bagian dari Zenatah, yaitu salah satu suku utama Berber. Sebagian besar suku Berber menempati wilayah Aljajair dan Maroko. Mereka
memainkan peran penting dalam sejarah Muslim di Afrika Utara dan Spanyol pada abad ke-10 hingga abad ke-13.
22 Dadan Rusmana
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Allah, Yusri ‘Abd al-Ghani. 2004. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga
Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat. Jakarta: Rajawali Press.
Azmeh, Aziz al-. 1981. Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A. Study in
Orientalism. London: Third World Centre for Research and Publishing.
Azmeh, Aziz al-. Ibn Khaldun: En Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass
and Company.
Baali, Fuad. 1988. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological
Thought. New York: State University of New York Press.
belakang mereka. Nama ini merupakan nama kota subur yang berada di Siria Utara yang menjadi pusat militer pemerintahan Arab
Muslim awal. Namun kota ini kemudian hancur pada masa peperangan Abbasyiah dengan Byzantium pada abad ke-10 dan 11. Contoh
lain menurut Ibn Khaldun adalah penggunaan nama al-Awwasin di belakang orang-orang Arab. Al-Awwasin mulanya berarti “benteng-
benteng”, tetapi pada zaman Ummayyah al-Awwasin berarti “daerah perbatasan yang berbenteng dan terbentang dari Siria Utara
hingga pegunungan Taurus di Qinnasrin”. Pada zaman Harun al-Rasyid, al-Awwasin kemudian menjadi nama propinsi yang membujur
dari Tarsus ke Furat. Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 237.
Solidaritas Sosial 25
Baali, Fu’ad dan Ali Wardi. 2003. Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam.
Terjemahan oleh Mansuruddin dan Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan.
Faruqi, Ismail Raji al dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam.
Bandung: Mizan.
Issawi, Charles. 1967. Filsafat Islam Tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas.
Khaldun, Ibn. 1967. The Muqaddimah: Introduction to History. Terjemah oleh
Franz Rosenthal. 3 jilid. London: Routledge & Kegan Paul.
Khaldun, Ibn 1970. The Muqaddimah. Terjemah oleh Franz Rosenthal. Diedit
kembali oleh N.J. Dawood. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Khalidi, Tarif. 1985. Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the
Golden Age. Princeton, New Jersey: The Darwin Press.
Khudhairi, Zainab. 1995. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Terjemahan oleh Ahmad
Rofi'I Utsmani. Bandung: Pustaka. Cetakan ke-2.
Lacoste, Yves. 1984. Ibn Khaldun: The Birth of History and The Past of The
Third World. London:Verso
Lewis, Bernard. 1967. The Arab in History. New York: Harper & Row.
Mahdi, Muhsin. 1971. Ibn Khaldun's Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture. Chicago: The University
of Chicago Press.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 1996. Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur. Jakarta: Gema Insani Press.
Meuleman, Johan Hendrik. 1994. “Pemikiran Ibn Khaldun tentang Sejarah dan
Pengaruhnya terhadap kajian Keislaman”. Makalah.
Osman Raliby. 1962. Ibn Khaldun tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta:
Bulan Bintang.
Rabi’, Muhammad Mahmoud. 1967. The Political Theory of Ibn Khaldûn. Leiden:
E.J. Brill.
Schmidt, Nathaniel. 1930. Ibn Khaldun: Historian, Sociologist, and Philosopher.
New York: Columbia University Press.
Stowasser, Barbara Freyer. 1994. “Agama dan Perkembangan Politik Antara Ibn
Khaldun dan Machiavelli”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3 Volume
V, 1994, hlm. 88-97.
Suwito dan Fauzan (Ed). 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan.
Bandung: Angkasa.
Toynbee, A.J. 1954. A Study of History. 12 jilid. London: Oxford University
Press.
Wafi, Ali ‘Abd al-Wahid. 1985. Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta:
Grafiti Prees.
Yunus, Iyas Ba dan Farid Ahmad. 1997. Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer. Bandung: Mizan.