Vous êtes sur la page 1sur 13

Semiotika Media |1

Representasi Konsep
Hiburan Anak Masyarakat Urban;
Kajian Semiotika Dalam Sarana Hiburan Odong-odong
Oleh
Ai Nurhidayat
208000032

A. Pendahuluan

Tulisan ini lahir karena dorongan penulis dalam mengamati fenomena sekitar. Fenomena
yang terjadi adalah lingkungan masyarakat urban, yaitu sebuah masyarakat heterogen yang
terdiri dari berbagai percampuran individu-individu dan memiliki kultur yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan itu kemudian menjadi persemaian budaya baru, budaya masyarakat urban.

Masyarakat Urban memiliki konsep hiburannya yang khas diantaranya fenomena Odong-
odong sebagai sarana hiburan yang menembus batas antar komplek di wilayak perkotaan.
Tulisan ini berupaya melihat, menafsirkan, sekaligus menebak makna-makna yang berada
dibalik gerobak Odong-odong. Judul yang sederhana ini mewakili keterangan soal makna
representasi, tanda, dan makna di balik tanda keberadaan Odong-odong sebagai bagian dari
hiburan masyarakat urban.

Bacaan gaya hidup masyarakat urban dimulai dengan sudut pandang yang sederhana.
Pembacaan ini dilakukan memang pada jenis hiburan yang lebih khusus lagi berkaitan erat
dengan anak berusia 1-3 tahun. Walau begitu, sisi ini berkait erat dengan masyarakat urban
secara keseluruhan, soal orang tua yang mengasuh, soal operator, dan anggota masyarakat
tertentu yang mengalami kehadiran Odong-odong.

Kajian semiotika saya gunakan yang menjadi semacam pisau analisa pengungkapan konsep
hiburan alternatif masyarakat urban. Sebuah kajian yang dilafalkan beberapa penggagasnya
yaitu Sausur, Eco, dan lain-lain membawa saya terhadap bacaan yang lebih dekat dan mikro.

Supaya fokus, pisau ini sengaja digunakan dalam kacamata semiotika pos-strukturalis.
Sebuah anggapan bahwa tidak ada struktur yang menguasai semuanya. Struktur dalam perspektif
satu ini dikatakan terbatas. Pada proses penafsiran tanda penulis tidak terbatas pada struktur
tertentu. mengikuti pola penolakan metanarasi posmodernisme. Odong-odong dibaca sebagai
tanda dan jika dilihat dari logika postmodern yang menganggap "penulis sudah mati" dan pada
Semiotika Media |2

gilirannya “pembaca yang menghidupkan makna”, yaitu makna yang ada dalam Odong-odong
itu sendiri.

Adalah Umberto Eco yang memperkenalkan aberrant decoding, sebuah pemahaman bahwa
code yang dipakai oleh pembaca untuk menafsirkan tanda bisa berbeda dengan code yang
dipakai penulis untuk menyandi pesan. Karena itu, dalam melihat Odong-odong, masyarakat-
khususnya masyarakat urban- memiliki cara pandang berbeda dalam memaknai Odong-odong.
Apakah jenis mainan itu hanya sebatas produk atau justru bagian dari elemen budaya yang lebih
luas? Pertanyaan itu menarik pemahaman terkait Odong-odong dibaca dari sudut pandang
budaya jelas akan lebih kaya. Tetapi penulis lebih senang melihatnya dari sudut pandang kajian
semiotika. Sebuah kajian yang lebih rileks dalam memahami tanda.

Penulis juga mencoba mempertalikan fenomena ini dengan perspektif psikoanalisa-nya


Lacan. Pandangan Lacan yang masuk kedalam pos-struktur itu menekankan adanya hasrat
tersembunyi dalam teks. Ada hasrat tersembunyi di balik Odong-odong. Dalam Hal ini Lacan
mengilustrasikan konflik alamiah di antara dua hubungan: antara nilai historis (historical value)
yaitu Odong-odong dari segi asal-mula keberadaannya, dan logika simbolik (structural value)
yaitu Odong-odong sebagai bagian dari simbol yang memuat berbagai tanda sekaligus makna.

B. Soal Representasi

C.S. Peirce, seorang pakar semiotika Amerika mengemukakan teori segitiga makna atau
triangle meaning, yaitu tanda, objek, dan interpretant.

Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia
merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol
sebagai tanda yang diperoleh dari kesepakatan, Ikon sebagai perwakilan fisik dan Indeks sebagai
tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat.

Acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan
tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Semiotika Media |3

Dalam mengungkap realitas, Tanda, Objek dan Interpretant menjadi sangat penting. Realitas
yang ada belum tentu bisa ditangkap dengan baik tanpa ada refleksi dari realitas. Refleksi
merupakan upaya „bercermin‟, yang nantinya akan muncul realitas yang ditampilkan media
sebagai realitas kedua, dengan realitas sebenarnya yang disebut realitas pertama.

Sebagaimana dalam cermin, media (sebagai instrument penyampai pesan) berperan sebagai
reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat,
tidak kurang dan tidak lebih. Realitas pertama yang dengan sangat mudah ditangkap melalui
indra. Dalam bahasa Michel Foucault sebagai Heterotopia. Tidak hanya berupa cermin,
heterotopia dapat berwujud berbagai benda. Mungkin di setiap tempat, dalam setiap budaya dan
di dalam setiap peradaban, selalu ada tempat yang real dimana kita dapat melihat suatu
kenyataan secara simultan direfleksikan, dihadirkan, dipertarungkan dan diputarbalikkan, itulah
heterotopia. Heterotopia dibangun oleh masyarakat dan merupakan hal yang sangat nyata,
layaknya cermin yang juga merupakan entitas fisik yang nyata.

Jika pembacaan atas makna berhenti pada tingkatan refleksi, tentu sebuah tanda dan
objeknya belum masuk dalam pembacaan semiotika, yaitu pembacaan yang bukan hanya sekedar
tentang apa yang ditampilkan dari segi fisik. Realitas yang tampil di media harus dibaca juga
sebagai hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan
karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang
terlibat dalam media.

Pada gilirannya peran pemaknaan oleh „pembaca‟ menjadi hal penting karena pembacalah
yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es
itu dapat ditemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-
bagian yang tak terlihat itu disebut sebagai upaya „memaknai‟.

Bagi Jean Baudrillard, dunia dewasa ini tidak mengenal lagi pembacaan seperti halnya
dengan konsep cermin, yang ada hanyalah layar dan jaringan. Periode produksi dan konsumsi
telah membanjiri masyarakat. Dalam memknai media, manusia abad kontemporer hidup dalam
komunikasi yang saling bersilang. Seiring dengan lenyapnya ruang privat, ruang publik tidak lagi
menjadi tontonan dan ruang privat tidak lagi menjadi rahasia. Inilah masa kerancuan antara
ruang public dan ruang privat. Kehidupan yang paling intim, sekarang menjadi penopang hidup
virtual media. (Munir, 2008: 141)i
Semiotika Media |4

Representasi sebagai upaya memaknai dalam pengertian Baudrillard, termasuk di dalamnya


terdapat ruang-ruang virtual membentuk apa yang selanjutnya disebut bahasa. Bahasa beroperasi
sebagai simbol yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan
oleh pelakunya, atau dalam istilah yang dipakai Stuart Hall untuk menyatakan hal ini, fungsi
bahasa adalah sebagai tanda. Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan)
konsep-konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang
„membaca‟, men-decode atau menginterpretasikan maknanya.ii

Ferdinand de Saussure, menyatakan bahasa sebagai sistem tanda yang mengekspresikan


gagasan-gagasan:

Language is a system of signs that express ideas, and is therefore comparable to a


system of writing, the alphabet of deaf – mutes, symbolic rites, polite formulas,
military signals, etc. but is the most important of all these systems.iii

C. Masyarakt Urban

Masyarakat urban adalah masyarakat yang hidup di daerah perkotaan. Walaupun modal
kepemilikan yang bersifat kebendaan, rumah tinggal misalnya, berada di pinggiran kota, akan
tetapi bila kegiatan utamanya berorientasi dan dilaksanakan di pusat kota maka dapat
digolongkan sebagai masyarakat urban. Masyarakat urban juga identik dengan para pendatang.
Umumnya sebagai pekerja di wilayah perkotaan.

Menurut Mark Gottdiener and Leslie Budd, Ruang perkotaan sangat dibedakan oleh dimensi
kuantitatif dan kualitatif kondisi perumahan, seperti ukuran, lokasi, tingkat penyisihan pelayanan
dasar dan aksesibilitas. Aksesibilitas untuk perumahan yang layak merupakan isu penting bagi
masyarakat miskin perkotaan.iv

Ketika industrialisasi kapitalis mengubah kota-kota di abad ke 19, orang mulai berbicara
tentang 'modernisme', yaitu artikulasi teknologi, demokrasi, arsitektur, konsumerisme, dan
kehidupan kota. Salah satu aspek adalah transformasi sosial masyarakat yang telah bermigrasi
dari daerah pedesaan untuk menempati daerah pemukiman padat dan mengasumsikan bahwa
peringkat dari kelas pekerja.v

Selain itu, modernism termasuk didalamnya 'budaya tinggi', yang terdiri dari seni, opera,
drama, menulis dan bahkan masakan dan fashion, dimana semuanya terpusat di beberapa kota-
Semiotika Media |5

kota besar, yang dimulai pertamkali di Eropa Barat, seperti Paris dan Wina, kemudian berlaku di
New York, Berlin, Moskow, St Petersburg, London dan Mexico City. Sekarang, hampir seluruh
kota, termasuk Jakarta masuk dalam kategori itu.

Dari penjelasan itu, terlihat bagaimana suasana perkotaan atau suasana urban tak jauh dari
perkembangan modernisme. Di luar itu, perkembangan modernisme acap kali diikuti oleh gaya
hidup posmodernisme, sebuah cara pandang yang mendahulukan pemaknaan realitas bukan pada
keumuman.

Masyarakat urban memiliki setidaknya dua corak, yaitu masyarakat menengah ke atas (high
class) dan masyarakat menengah ke bawah (middle class). Mereka yang berada pada level
masyarakat menengah kebawah umumnya berada pada daerah perumahan padat di pinggir kota.
Dan yang menengah ke atas berada pada garis atau wilayah istimewa perkotaan. Untuk itu,
dalam upaya mempermudah meneliti kehidupan urban, perlu kiranya penulis menentukan
masyarakat urban yang akan diteliti tanda, dan symbol penandaannya adalah masyarakat
menengah ke bawah.

Dinamika masyarakat urban model ini menjadi sangat mayoritas, khususnya di Jakarta.
Masyarakat urban ditandai dengan persilangan budaya yang tidak terpola. Bahkan dalam setiap
komplek (baca, areal perumahan) terdapat ke –khasan tertentu. Jika dilihat dari sudut pandang
budaya, hal ini merupakan aset besar yang dimiliki masyarakat urban.

Aksesibilitas yang dimiliki, dan informasi yang berlimpah menjadi penopang dinamika
modernisme sekaligus posmodernisme. Hal ini terlihat dari jenis pakaian baik itu pada kalangan
muda ataupun tua. Kedua hal tersebut dari sudut pandang kapitalisme menjadi sasaran empuk
atau target pasar yang amat besar.

Membaca gaya hidup masyarakat urban bisa dengan melihat tanda-tanda yang mewujud di
dalamnya. Tanda yang mewujud itu adalah jenis permainan pada anak-anak. Jika pada
masyarakat di wilayah Abepura, permainan bola anak-anak menjadi ciri tertentu karena keadaan
dan kesempatan untuk menghadirkan lapangan hijau bagi masyarakat di Abepura sangat
memungkinkan. Maka dalam masyarakat urban Jakarta, tanda-tanda atau ciri kolektif yang
menjadi representasi hiburan adalah Odong-odong.
Semiotika Media |6

Dilihat dari semiotikanya Umberto Eco, tanda-tanda itu punya makna dari pembuatnya,
sekaligus juga punya makna dari orang yang membacanya. Si pembuat tanda bisa jadi nantinya
akan mengalami perbedaan makna dengan yang membaca tanda-tanda. Hubungan diantara
keduanya bisa jadi oposisional reading atau negosiasional reading. Dalam oposisional reading
kehadiran Odong-odong bisa saja mengganggu ketenangan masyarakat, pembacaan itu sah-sah
saja karena memang tidak ada keteraturan yang mesti soal pembacaan akan tanda. Odong-odong
merupakan bagian dati tanda sekaligus symbol yang juga mewujud dalam masyarakat urban.

Berbeda dengan oposisional reading pada elemen yang kedua, negosiasional reading
masyarakat juga membutuhkan hiburan walaupun terkadang terganggu oleh kehadiran Odong-
odong. Hasil perbenturan pembacaan terhadap Odong-odong kemudian akan menjadi semacam
hasil akhir negosiasi antara si operator Odong-odong dengan masyarakat yang terdamaikan
mengingat ada kemungkinan terjadi pro dan kontra. Munculah kemudian apa yang kita kenal
sebagai budaya massa, sebuah budaya yang muncul di tengah-tengah masyarakat luas bahkan
menjadi identitas masyarakat tersebut.

Budaya massa dikenal juga dengan istilah pop culture atau budaya adiluhung. Selama
Odong-odong masih dipakai orang, berarti alat hiburan itu masih disukai dan menjadi
representasi selera (taste) masyarakat dan tidak ada persoalan norak – tidak norak kecuali
persoalan budaya adiluhung itu sendiri.

D. Odong-odong, Alternatif Hiburan Anak

Asal mula

Odong-odong adalah semacam permainan untuk anak-anak yang didesain sedemikian rupa,
dengan sistem kayuh, seperti becak. Sang pengemudi berada dibelakang, kemudian dipasang
empat mainan mobil-mobilan yang digerakkan dengan cara dikayuh. Definisi Odong-odong ,
tidak ditemukan dalam kamus bahasa Indonesia. kata persamaan dalam kalimat bahasa Inggris
hanya game atau timezone. Istilah itu pun hanya merujuk pada game di area mall atau di tempat
bermain khusus games.

Dari segi tampilan bentuk Odong-odong, dimungkinkan muncul berkat peniruan atas mainan
di tamezone atau di tempat komedi putar. Walau begitu, pernah ada mainan tradisional Indonesia
Semiotika Media |7

yang hampir mirip konsepnya, yaitu kuda-kudaan. Hanya jenis mainan yang notabene berasal
dari kayu itu tidak disewakan. Odong-odong erat kaitannya dengan permainan yang disewakan.

Dari sudut pandang bahasa, Odong-odong berasal dari bahasa lisan masyrakat urban Jakarta.
Penyebaran bahasa ini dari mulut kemulut dan muncul setelah jenis permainan Odong-odong itu
sendiri muncul. Perluasan area bisnis Odong-odong ikut juga menyebarkan istilah ini. Terlebih
dalam sebuah tayangan televise, Odong-odong pernah menjadi topik pembicaraan tanpa ada
sumber tertentu darimana asal kata Odong-odong.vi

Makna lain Odong-odong menunjukan padanan kata asal-asalan, biasa-biasa, murah,


murahan. Sebagian percakapan di kaskus mengartikan Odong-odong sebagai “jalan di tempat”
atau tidak kemana-mana, muter ditempat. Istilah ini kerap berkembang seperti yang penulis
dapati langsung di daerah Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Ini menunjukan, ada makna
tersendiri soal Odong-odong. Selain permainan, terdapat makna tertentu. Apakah makna itu
muncul sebelum Odong-odong yang berarti permainan, atau Odong-odong sebagai nama
permainan lalu digunakan istilah itu untuk menunjukan hal remeh? Perlu ada penelitian lebih
lanjut soal ini. Sebelum kesana, analasi semiotic bisa dipakai untuk “memaknai” istilah Odong-
odong.

Ada berbagai macam Odong-odong, mulai dari yang berbentuk kuda-kudaan atau komidi
putar yang digerakkan dengan ontelan kaki sang operator, sampai kereta dua-tiga gerbong yang
digerakkan dengan mesin bermotor. Untuk membuatnya lebih menarik perhatian, dipasanglah
peranti pemutar musik dan pengeras suara untuk melantunkan lagu anak-anak.

Tipe dudukan atau tempat duduk pengguna pada Odong-odong umumnya menggunakan
replika hewan-hewan seperti kuda, bebek, kelinci, jerapah dan replika lain. Selain itu, replika
kendaraan seperti motor. Dari bentuk umum gerobak, terdapat bentuk komidi putar, kendaraan
yang mirip dengan lokomotif kereta, bajay, atau mobil. Semuanya tergantung pembuat Odong-
odong yang dalam hal ini memiliki Odong-odong sewaan untuk selanjutnya dioperasikan oleh
operator. Biasanya operator adalah kaum urban.

Odong-odong cukup identik dengan instrument-instrumen seperti musik anak-anak, gerakan


berayun, warna-warni, tarif murah dan ketagihan, kadang-kadang tangisan.
Semiotika Media |8

E. Konsep Ruang dalam Masyarakat Urban; ruang Virtual

Apa yang terjadi dengan media sampai saat ini membawa pemaknaan terhadap fenomena
komunikasi. Kehadiran media baru (new media) serta penggabungan fungsi media (media
convergence) semakin memudahkan manusia dalam berkomunikasi dengan siapapun di belahan
dunia yang tanpa memerlukan waktu yang panjang, bahkan hampir sama. Fenomena komunikasi
ini menggeser konsep ruang (space) yang semula berupa fisik menjadi non fisik atau maya.
Ruang yang lebih sering disebut virtual yang memungkinkan terjadinya ruang-ruang baru di
dalam ruang.

Ruang virtual itu membuka kesempatan bagi siapa saja, apa saja untuk menempatinya dan
tidak akan pernah mudah dibatasi. Foucault dalam “The Other Space” (1967) mengatakan bahwa
manusia tidak hidup di dalam sebuah ruang yang homogen. Manusia (sekarang) hidup dalam
ruang heterogen yang memiliki seperangkat hubungan antara penanda yang satu dengan penanda
yang lain dan saling merefleksikan.vii

Odong-odong sebagai praktik sosial masyarakat urban menjadi objek yang menarik dalam
melihat alam virtual semacam ini. Odong-odong memang bukan bagian dari internet yang
menawarkan berbagai akses sebebas-bebasnya dalam menawarkan “pintu kemana saja”. Odong-
odong persis hanya sebuah tempat bermain yang walau demikian tidak luput dari keluasan
makna dan ketersinggungan virtual.

Bagi anak usia 1-3 tahun, pengguna utama Odong-odong, syarat akan ruang-ruang yang luas.
Ruangan virtual yang bisa mengantarkan perasaannya pada “alam lain” yang didiptakan diantara
goyangan tempat duduk, komposisi warna-warni, dendangan musik dan simulasi kuda, jerapah,
kodok, motor, bajay, kereta dan lain bentuk.

Area virtual semacam itu, tentu saja tidak sekedar dipahami sebagai “alat”, melainkan mantra
penyihir yang menyediakan “ruang lain” saat menaikinya. Kendaraan yang begitu dipakai,
membuat rasa asyik.

Bagi masyarakat urban, memanfaatkan sarana Odong-odong menjadi pengganti permainan


“tepuk nyamuk”, “uncal-uncalan”, “kuda-kudaan” atau “boneka-bonekaan” yang tidak
memakan banyak ruang (dalam arti tempat). Kendala utama tentu saja, karena keterbatasan ruang
Semiotika Media |9

mengingat area perkotaan tidak menyediakan banyak tempat untuk sarana bermain umum.
Adapun yang sudah dilengkapi fasilitas bermain, perlu ada biaya (cost) yang harus dikeluarkan.
Bagi kalangan urban yang notabene pekerja, mengeluarkan banyak ongkos atau biaya sangat
diperhitungkan. Tetapi dengan harga yang murah, dengan vasilitas ruang virtual versi Odong-
odong, konsep ruang masyarakat urban pun bertambah dan menjadi pilihan hiburan anak
alternatif.

F. Analasisa Semiotika
Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O‟Connor bahkan
menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-
menerus. Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang
budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam
lingkungan kebudayaannya.viii

Pemaknaan terhadap Odong-odong menjadi begitu penting dalam memahami masyarakat.


Representasi modernism yang Nampak pada permianian Odong-odong menguatkan dugaan
keakraban antara masyarakat urban dengan modernism. Begitu pula dengan transaksi, atau
pertukaran jasa dengan ongkos yang begitu murah menjadi bagian dati tanda yang membimbing
interpreter dalam melihat hiburan itu sebagai representasi kesederhanaan, lebih tepatnya ketidak
mampuan bagi masyarakat dalam menggunakan sarana hiburan yang lebih mahal. Walaupun bisa
jadi tidak seluruhnya demikian, representasi itu dimaknai berbeda juga sangat bergantung pada
subjek.

Tetapi ada area yang jelas dimana Odong-odong selain menjadi sarana hiburan alternatif juga
menjadi semacam representasi budaya dimana Odong-odong tumbuh dan bersemi. Tentu saja,
budaya yang dipahami adalah budaya yang syarat komunikasi mengingat hakikat dari memaknai
adalah membaca tanda.

Dalam kajian semiotika, C.S Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu
dimensi sintaktik, semantik dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya.

Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun
kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya.
Semantik adalah studi mengenai hubungan antara tanda dan signifikasi atau maknanya. Dalam
S e m i o t i k a M e d i a | 10

konteks semiotika struktural, semantik dianggap sebagai bagian dari semiotika. Pragmatik adalah
studi mengenai hubungan antara tanda dan penggunanya, khususnya yang berkaitan dengan
penggunaan tanda secara konkrit dalam berbagai peristiwa serta efek atau dampaknya terhadap
pengguna. Ia berkaitan dengan nilai, maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab
pertanyaan: untuk apa dan kenapa, serta pertanyaan mengenai pertukaran (exchange) dan nilai
utilitas tanda bagi pengguna.ix

Merujuk pada dimensi sintaktik, Odong-odong dapat dijelaskan sesuai definisi (terdahulu)
yang keterkaitannya dengan warna-warna cerah, alunan musik anak-anak, goyangan atau
gerakan, dan bentuk rupa kendaraan atau semacam dudukan berbentuk simulasi kuda, jerapah,
kodok, motor, bajay, kereta dan lain bentuk. Lebih lanjut, soal waktu beroperasi dari pagi hingga
sore hari memanfaatkan waktu senggang para ibu rumah tangga dan waktu bermain anak.

Sekiranya akan muncul beberapa pertanyaan soal, kenapa alunan music yang digunakan
music anak-anak bernada pop? Tidak rock, gamelan, jazz, atau music perkusi? Beberapa
operator Odong-odong pernah saya tanyai dan mereka menjawab seadanya. Menurut mereka,
music anak seperti itu membangkitkan keceriaan.

Dimensi Semantis bisa kita gunakan untuk hal yang terakhir kita sebut tadi sebagai bagian
dari penjelasannya. Harmonisasi antara warna, instrument music, hingga jenis goyangan
membentuk nuansa sendiri, yaitu nuansa modern.

Jika hiburan di tempat lain, seperti kampong halaman yang masih jauh dari perkotaan,
permainan kuda-kudaan nyaris hanya melahirkan nuansa perkampungan, nuansa tradisional.
Lain hal dengan Odong-odong, perpaduan yang bisa dilihat dari segi semantik tadi ternyata
membawa nuansa modern. Pesan-pesan pop culture, kental. Apakah ini hanya menjadi angin
lalu?

Pertanyaan lain soal warna yang digunakan Odong-odong beserta gambar yang membentuk
pola simulasi dari hewan-hewan hingga kendaraan modern apakah itu hanya dimaknai sebagai
perkembangan modernism yang bertabur warna yang umum ditengah ekspektasi modernisme,
misalnya unsure arsitekturnya. Tidak adakah kaitan lain?

Mungkin bisa dijawab dengan sudut lain, melalui dimensi pragmatik. Odong-odong menjadi
representasi masyarakat urban menengah ke bawah. Jika dilirik dari jenis musiknya yang
S e m i o t i k a M e d i a | 11

cenderung pop, bisa digambarkan budaya masyarakat pada wilayah yang terkena promosi
Odong-odong sebagai masyarakat pop dekat dengan unure modernitas yang menjadi cirri utama
kalangan perkotaan.

Warna-warna yang dipakai, melambangkan upaya maksimal pembuat hiburan odong-odong


untuk menarik simpati masyarakat ditengah serbuan “daya tarik” iklan-iklan terutama di televisi.
Dengan menarik anak-anak atau orang tua untuk menggunakan jasa Odong-odong jelas menjadi
pertanda keberhasilan promosi Odong-odong.

Fakta lain soal hiburan alternative ini adalah ia menjadi pengalih perhatian anak-anak atau
baby sitter manakala orang tua sedang disibukan dengan urusan lain. Urusan yang berkaitan
dengan hajatan misalnya. Tak salah, di tempat hajatan, tukang Odong-odong selalu muncul.
Fenomena itu merupakan representasi yang menggambarkan fungsi hiburan anak dalam
masyarakat urban.

Simulakra

Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra, didalamnya citra atau penanda
suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Manusia postmodern hidup dalam dunia yang
penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat
ditiru. Pada jaman kontemporer nilai guna komoditas dan imperatif produksi digantikan oleh
model, kode, simulacra, tontonan, dan hiperrealisme “simulasi”. Sarana hiburan Odong-odonga
merupakan simulacra, sebuah bentuk tiruan dari berbagai hewan dan kendaraan. Simulasi itu
meiliki nilai komoditas tertentu.

Pada masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam permainan citra, simulacra
semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, “realitas” eksternal. Manusia abad kontemporer
hidup dalam dunia simulacra yang didalamnya citra atau penanda suatu peristiwa telah
menggantikan pengalaman, dan pengetahuan langsung rujukan atau petandanya. Semesta post-
Modern cenderung membuat semuanya menjadi simulacrum. Manusia post-modern hidup dalam
dunia yang penuh dengan simulasi, tidaka ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli
yang dapat ditiru. Dunia abad kontemporer bukan lagi dunia yang “nyata” versus dunia “tiruan”
tetapi sebuah dunia yang ditandai dengan kenyataan: “yang ada “ hanya simulasi. (Munir, 2008:
141)x
S e m i o t i k a M e d i a | 12

G. Penutup
Pembacaan terskhir tentan gsarana hiburan Odong-odong adalah kaitannya dengan
globalisasi dan masyarakat kapitalis. Diakui atau tidak, Odong-odong lahir dan berkembang
ditengah globalisasi dan kapitalisasi. Ketika kalangan masyarakat urban yang berstatus
menengah ke bawah tidak sanggup menjangkau permainan mewah yang ditawarkan di mal-mal
atau di Timezoen, odong-odong sanggung memupus lara. Dengan tarif yang lumayan murah dan
embel-embel budaya yang terkadang tidak disadari penggunanya.

Melihat dengan bebas soal keberadaan Odong-odong, dilihat dari sisi ekonomi politik, ini
bisa jadi cerminan betapa bahwa masyarakat urban di Ibukota masih banyak yang berada dalam
garis minimal pendapatan sehingga bisa jadi tidak menggunakan Odong-odong bukan karena
pilihan, tetapi karena paksaan akibat ketidak sanggupan menggunakan produk globalisasi yang
mahal.

Musik yang didendangkan merupakan konten dimana Odong-odong secara utuh menjadi alat
sosialisasi musik pop. Kondisi ini menambah nilai yang melekat pada budaya yang menjadi
latarnya. Odong-odong sebagai sebuah permainan juga alat penyeimbang bagi msyarakat
kapitalistis.

Pada akhir tulisan ini, perlu kiranya kajian semacam ini menjadi sorotan, terlebih yang dikaji
adalah yang sebetulnya remeh, tetapi “hadir”. Bentuknya tak begitu besar tetapi mampu
“mewujud” terutama dalam merepresentasikan konsep hiburan anak pada Masyarakat Urban.
S e m i o t i k a M e d i a | 13

Referensi

i
http://dz4ki.blogspot.com/2010/10/mengkaji-pandangan-baudrillard-mengenai.html
ii
Stuart Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices, Sage
Publications, London, 1997, hal.5.
iii
Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1982,
hal. 16.
iv
Mark Gottdiener and Leslie, BuddPostmodern and Modern Urbanism, SAGE Publications,
London, 2005 hal. 57.
v
…………hal.121.
vi
http://rodahidupodongodong.blogspot.com/

viii
Alan O.Connor: “Culture and Communication”, dalam John Downing, Ali Mohammadi &
Annabele Srebery-Mohammadi (Eds.), Questioning The Media: A Critical Introdustion, Sage
Publication, Newbury Park, California, 1990, hal. 29.
ix
http://www.scribd.com/doc/27940948/rangkuman-semiotika
x
http://dz4ki.blogspot.com/2010/10/mengkaji-pandangan-baudrillard-mengenai.html

Vous aimerez peut-être aussi