Vous êtes sur la page 1sur 10

Judul Buku : Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam

Penulis : Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA


Penerjemah : Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc
Penerbit : Robbani Press
Cetakan Ke : 7
Tahun Terbit : Juni 2009
Tebal Buku : xix + 427 halaman

Tidak pernah ada peradaban yang berkembang tanpa dukungan struktural yang kokoh. Setiap
peradaban hampir selalu melalui tiga fase besar untuk berkembang. Pertama, fase perumusan
ideologi dan pemikiran; kedua, fase strukturalisasi; dan ketiga, fase perluasan (ekspansi).
Ideologi-ideologi besar semuanya mengalami tiga fase tersebut. Lihatlah Komunisme,
Kapitalisme Barat, dan tak boleh dilupakan: Zionisme Internasional.

Jika kebangunan (peradaban) Islam modern telah dimulai secara individu oleh para tokoh dan
pemikir seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Dr. Muh. Iqbal, Muh. Abduh, Muh. Rasyid
Ridha, dan seterusnya, maka rintisan pemikiran yang bersifat individual itu disambut secara lebih
tertata, diantaranya dua tokoh pemuka da'wah yang tidak bisa dilupakan jika berbicara tentang
kebangkitan Islam, yaitu Abul A'la Maududi dengan Jama'at Islaminya, dan asy-Syahid Hasan al
Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.

Dua pemuka inilah yang meletakkan dasar-dasar struktural gerakan kebangkitan Islam.
Keduanya memiliki gagasan dasar yang sama. Bahwa kejayaan Islam dan mengembalikan
Kekhilafahan Islam harus dimulai dari bawah, artinya persoalan aqidah yang kokoh, pemahaman
syariah yang menyeluruh, dan pembenahan akhlaq yang benar. Pembenahannya harus dimulai
dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negeri, dan barulah khilafah Islamiyah. Kedua tokoh
itu pun punya perbedaan sedikit. Maududi dengan Jama'at Islaminya banyak menunjukkan
figurisme Maududi dan lemah dalam kaderisasi. Maududi lebih banyak berceramah dan menulis
buku daripada 'mencetak' kader. Begitu pula pergerakannya yang terbatas di anak benua India-
Pakistan. Sedangkan pada Ikhwanul Muslimin, meski asy-Sahid Hassan al Banna adalah tokok
utama, tetapi tidak menyebabkan munculnya figurisme. Wibawa Ikhwanul Muslimin tidak
berkurang dengan meninggalnya Hassan al-Banna. Pergerakannya meluas ke hampir seluruh
dunia. Sekurang-kurangnya pengaruh pemikirannya. Beliau lebih 'mencetak' orang daripada
menulis buku. Dari para muridnya, muncullah pemikiran-pemikiran yang luar biasa. Bisa
diambil contoh, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hassan al-Hudaibi, Umar Tilmisani, Dr.
Yusuf Qordhowi, Musthafa Masyhur, Dr. Ali Juraishah, Syeikh Ahmad Qaththan, Dr. Musthafa
as-Siba'io, dan lain-lainnya. Hassan al Banna dalam usianya yang pendek yaitu 43 tahun,
memang terlalu singkat untuk sampai pada figurisme. Beliau seolah-olah hidup dan dilahirkan di
bumi ini untuk memulai dan meletakkan dasar-dasar pergerakan dan da'wah Islam yang asli yang
telah hilang di kalangan kaum Muslimin pada abad modern. Metode pergerakannya terus
dikembangkan oleh para muridnya tanpa rasa khawatir akan kehilangan originalitas itu sendiri.

Sementara itu, gelombang kebangkitan Islam terus bergerak dengan tantangan-tantangan yang
semakin berat. Fenomena kebangkitan Islam muncul di seluruh dunia. Palestina, tanah waqaf
Islam, dari sanalah semangat jihad ditiupkan sampai hari kiamat. Tiupan itu menumbuhkan
Gerakan Intifadhah, gerakan yang sulit ditumpas oleh Israel dibanding perlawanan negara-negara
Arab, Islamic Trend Movement di Tunisia, Front Keselamatan Islam di Aljazair, Ikhwanul
Muslimin di Jordan, dan perjuangan Mujahidin Afghanistan yang berjuang mengusir tentara
Sovyet. Kebangkitan Islam juga diwarnai dengan berbagai pusat-pusat studi Islam di Barat dan
penerbitan buku-buku Islam yang terus membanjir. Kenyataan ini tentu membangkitkan
optimisme, meski tidak menutup mata terhadap meningkatnya sekularisme dalam berbagai aspek
kehidupan.

Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia juga ditandai dengan beberapa hal yang menarik
dikaji. Di kota-kota besar, di kampus-kampus, di sebagian kelas menengah, mereka mulai
'belajar' Islam. Isu pembangunan yang dimulai tahun 70-an dan membawa dampak medernisasi
dan sekularisme membuat terjadinya arus balik pada tahun 80-an. Mungkin ekses pembangunan
yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi menyebabkan manusia kekeringan spiritual. Ini yang
menyebabkan munculnya berbagai kajian tentang Islam dengan berbagai modelnya. Fenomena
lain sebelum tahun 80-an, jika berbicara tentang Islam dan gerakannya maka orang akan
menoleh ke organisasi-organisasi Islam atau partai politik Islam seperti PPP, NU,
Muhammadiyah, HMI, PII, dan seterusnya. Seolah-olah yang punya Islam dan dakwahnya
hanyalah mereka. Gejala ini mulai mencair menjelang tahun 80-an. Memang nasib dakwah Islam
tidak bisa diserahkan hanya pada organisasi atau partai politik Islam. Di sisi lain muncul
kenyataan: organisasi-organisasi itu semakin kurang cekatan dalam merespons aspirasi-aspirasi
Islam. Dalam beberapa segi terjadi beberapa 'keletihan' (fatigue) karena kurangnya terobosan-
terobosan pemikiran yang strategis. Organisasi-organisasi itu mulai digugat oleh sebagian
pendukungnya karena semakin kabur dalam menentukan tujuan akhir yang hendak dicapai.
Bahkan di kalangan kampus, HMI kurang mendapatkan pasaran bagi mahasiswa yang mau aktif
dan mendalami Islam. Juga tidak menutup mata tentang gerak organisasi-organisasi tersebut
semakin terbatas. Oleh karenanya muncul kesadaran baru bahwa dakwah Islam bukanlah
monopoli ormas dan orpol Islam, tetapi menjadi kewajiban setiap individu Muslim. Apakah ia
bergabung atau tidak dalam organisasi tersebut sementara dakwah yang dilakukan secara bebas
dalam kelompok-kelompok kecil, yayasan-yayasan terasa lebih lincah. Kritik lain terhadap
ormas-orpol Islam itu antara lain: gaya kerja dan manajemen yang 'agak kebarat-baratan' yang
melonggarkan nilai-nilai agama yang mereka canangkan sendiri sebagai doktrin. Misalnya,
pemahamannya tentang demokrasi yang cenderung liberal.

Gejala ini memunculkan kecendurungan baru, munculnya isu 'jama'ah'. Terdapat dua
kecendurungan yang saling bertentangan. Satu pihak, mereka yang alergi dengan isu 'jama'ah'.
Biasanya mereka yang sudah mapan aktifitas dalam ormas-ormas Islam, atau karena kepentingan
politiknya sehingga menganggap isu 'jama'ah' itu adalah isu politik. Atau mereka yang sudah
merasa cukup dengan mengartikan bahwa perintah berjama'ah itu sudah dilaksanakan dengan
melalui ormas-ormas itu. Di pihak lain, mereka menganggap ormas-ormas itu 'bukanlah jama'ah'
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw., baik karena kelakuan, cara berfikir
anggota pendukungnya, ataupun karena mekanisme yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.

Gejala lain adalah munculnya fenomena sempalan. Sebab utamanya bisa diduga karena
tersumbatnya aspirasi utama kaum Muslimin. Aspirasi utama (mainstream) - karena halangan
politis dan birokratis - menyebab-kan aspirasi-aspirasi murni Islam tidak tertampung sehingga
muncullah gerakan sempalan, baik di bidang ideologi, pemikiran syari'ah, maupun pola-pola
pergerakan.

Melihat kecendurungan di atas, maka harus ada kajian secara mendalam dan dewasa. Dan, untuk
itulah buku ini ditulis.

Kandungan Buku
Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal
Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz
Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syari'at Islam
yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali
pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis.
Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi
yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan
dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa
adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah
menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya
(kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan
berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis
berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah
terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah,
berarti pada saat itulah sebuah Jama'atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya.
Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama'atul
Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian
kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.

Menurut al-Ustadz Husain jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul
Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)

Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang
benar (syahadatain)

Olehnya, dapatlah kita fahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini,
beliau mengajukan sebuah pertanyaan: "Adakah Jama'atul Muslimin di dunia sekarang ini?"
Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam
yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama'atul
Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum
muslimin.
Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq
ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian
pentingnya sehingga penulis menjadikanya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini
secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-
Islamiyah (Hukum-hukum Islam).

Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin,
mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam
merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan
hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di
beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis
rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspose oleh berbagai
surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh
kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini
terjadi?

Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum
Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way
of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu
menyisipkan bahasan yang diberi judul "Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam." Manakala
Islam dipahami secara syamil, niscaya penerpaan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum
pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian
pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi,
pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan
berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam.
Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk
mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam,
terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat
bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang
sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk
memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain
pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau
hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan
bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan
Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur'an:

Apakah kamu beriman kepada sebagaian al-kitab (Qur'an) dan ingkar terhadap sebagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada sisksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)

Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling


menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah
(kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara
utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara
jama'i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi
dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan
mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah
yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.

Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan


"langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama'ah". Setelah itu beliau membahas
"Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah" yang berisi enam karakteristik
pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-da’wah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-da’wah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jama’ah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)

Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas "Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim".
Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang
telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.

Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul "al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah
fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah" (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau
mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung
membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal
"Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah".

Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili


kecenderungan berbeda.

Pertama, Jama'ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir.


Jama'ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan
(ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.

Kedua, Jama'ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang
berorientasi pada seruan sufiyyah.

Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi
pada seruan Politik (as-siyasi).

Keempat, Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap


bahwa jama'ah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh).
Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek
sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan
dan Jihad). [Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama'atul
Muslimin]
RESUME BUKU MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
“Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam”
Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA

Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal
Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah
berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syari'at Islam yang menunjukkan betapa
pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat
Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi
syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political
will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh
umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah
menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan),
bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan
Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala
kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya
lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah
Jama'atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia
akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama'atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan
umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa
perlu untuk membicarakannya di sini.
Menurut al-Ustadz Husain jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1.Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2.Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3.Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4.Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)
Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1.Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2.Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3.Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4.Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5.Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar
(syahadatain)
Olehnya, dapatlah kita fahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau
mengajukan sebuah pertanyaan: "Adakah Jama'atul Muslimin di dunia sekarang ini?" Dan kemudian
beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak
satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama'atul Muslimin yang dicita-citakan oleh
setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila
Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya
sehingga penulis menjadikanya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan.
Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum
Islam).
Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai
persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan
yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan
tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang
memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong
tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspose oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu
pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta
keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?
Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam
tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau
minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang
diberi judul "Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam." Manakala Islam dipahami secara syamil,
niscaya penerpaan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan
ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di
bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua
akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,
al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk
mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam,
terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana
berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang
tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai
sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di
dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan,
tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di
tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur'an:
“Apakah kamu beriman kepada sebagaian al-kitab (Qur'an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia.
Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada sisksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat”.
(QS. Al-Baqarah : 85)
Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan).
Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas).
Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin
menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama'i (kolektif). Harus ada suatu upaya
‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin.
Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah
terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus
pembahasan penulis.
Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan "langkah
pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama'ah". Setelah itu beliau membahas "Rambu-rambu dari
sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah" yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara
lain:
Nasyr mabaadi’ ad-da’wah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
At-takwin ‘alaa ad-da’wah (Pembentukan Dakwah)
Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
Al-sirriyah fi binaa’al-jama’ah (sirriyah dalam membina jama’ah)
Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)
Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas "Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim". Dan yang
terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan
secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir. Bagian ke dua ini diawali dengan pembahasan mengenai
hukum Islam, karena berdirinya jama’atul muslimin erat kaitannya dengan hukum-hukum Islam
tersebut. Sejak da’wah Islam dibawah pimpinan Rasulullah saw mulai digelar di Makkah, turunlah
pengarahan-pengarahan Rabbani sesuai dengan keperluan jama’ah dan tuntutan tahapan yang dihadapi
oleh jama’ah. Dalam kaitannya dengan jama’ah Islam yang sedang berupaya menegakkan kembali
Jama’atul Muslimin dalam kehidupan umat Islam, pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawiyah telah
diturunkan secara sempurna. Sehingga setiap muslim dan jama’ah Islam dituntut melaksanakan seluruh
pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawi secara utuh. Hukum Islam dari segi hakikat dan caranya terbagi
dua, yakni substansi hukum dan cara pelaksanaan hukum. Kedua bagian hukum ini, dari segi pelakunya,
terbagi dua, yakni hukum-hukum yang khusus bagi Muslim sebagai individu dalam umat Islam, dan
hukum-hukum yang khusus bagi jama’ah sebagai jama’ah dari umat Islam. Jama’ah umat Islam adalah
kelompok atau golongan yang membawa da’wah untuk menegakkan Jama’atul Muslimin pada masa
ketiadaannya.
Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh-sempurna-dan saling menyempurnakan).
Oleh karena Muslim memiliki kemampuan sektoral dan terbatas, tidak mungkin Islam akan tegak secara
utuh manakala kaum Muslimin menerapkannya secara individual, namun harus diterapkan secara jama’i
(kolektif). Jika Jama’atul Muslimin kita nyatakan tidak ada di masa sekarang ini, maka harus diupayakan
jalan menuju terbentuknya Jama’atul Muslimin yaitu dengan adanya jama’ah dari sebagian umat Islam
(jama’atun minal Muslimin) yang mengupayakan perwujudannya.
Rasulullah saw sejak masa-masa pertama diturunkan wahyu Ilahi menyadari bahwa tugas mulia ini tidak
mungkin dapat dilakukan oleh satu orang manusia tetapi memerlukan suatu jama’ah yang kuat. Dalam
perjalanan kepada Rabb-nya, Nabi Ibrahim as mengumumkan hakikat yang merupakan syarat
kemenangan da’wah ini, yaitu menegakkan jama’ah yang akan membawa da’wah dan membelanya. Jika
jama’ah ini tidak tegak, maka tidak akan pernah kemenangan dagi da’wah. Hakikat ini pun telah
dipahami Rasulullah saw sejak awal masa da’wahnya. Dan hakikat ini pula yang harus dipahami oleh
setiap da’i Islam. Rasulullah saw mengungkapkan pentingnya jama’ah ini bagi keberhasilan da’wah, dan
menyatakan bahwa jama’ah inilah yang akan menentukan eksis atau tidaknya da’wah Islam. Jika telah
jelas hakikat ini dari Sirah Rasulullah saw dan kewajban ini pun telah dipahami oleh para da’i Islam,
maka setiap Muslim yang menyadari kewajiban da’wah Islam atas dirinya dan ingin bergerak untuk
da’wah ini, wajib menjadikan langkah pertamanya dalam kehidupan ini sebagaimana langkah Rasulullah,
yaitu mencari jama’ah, atau mewujudkannya, untuk membantunya melaksanakan kewajiban da’wah
yang amat berat tersebut.
Adapun rambu-rambu dari sirah Nabi falam menegakkan jama’ah berisi enam karakteristik pokok
sebuah jama’ah yaitu:
1.Menyebarkan prinsip-prinsip da’wah
Dalam tahapan ini Rasulullah menempuh dua jalan yakni dengan melakukan kontak pribadi, seperti
dilakukan Beliau kepada Khadijah ra dan Ali bin Abi Thalib. Dakwah Islam perlu menempuh jalan ini
dalam keadaan permulaan da’wah dan pada saat pemerintah yang berkuasa melarang para aktivis
da’wah melakukan aktivitas da’wah secara terang-terangan. Jalan selanjutnya yakni melakukan kontak
umum. Cara ini disebut tahapan da’wah secara terang-terangan.
2.Pembentukan da’wah
Pembentukan (takwin) da’wah ini merupakan tindak lanjut dari ramu pertama Sirah Rasulullah saw baik
dalam kontak pribadi maupun kontak jama’i. Sisi penataan dalampembinaan jama’ah kadang
berlangsung pada tahapan iitishal fardi (kontak priadi) pada rambu pertama, ayitu tahapan sirriyah, dan
kadang berlangsug pada tahapan ittishal jama’I (kontak umum) atau kadang berlangsung pada kedua
tahapan tersebut.
3.Konfrontasi bersenjata terhadap musuh da’wah
Karakter rambu pertama adalah membagi manusia menjadi dua bagian kelompok pertama, kelompok
yang menerima prinsip-prinsip da’wah, menjadi bagian dari rambu kedua, yaitu harus dibina dan
dibentuk denagn prinsip-prinsip da’wah, sedangkan kelompok kedua, yakni kelompok yang menentang
prinsip-prinsip da’wah menjadi bagian dari rambu ketiga, yaitu harus dihadapi dengan kekuatan senajta
agar mereka mau menyerah kepada kekuatan da’wah. Hal itu dilakukan setelah ditegakkan hujjah yang
nyata atas mereka pada rambu pertama, berupa penyebaran pikiran-pikiran dan ajaran-ajaran da’wah.
Fungsi rambu ketiga ini ialah mempertahankan kelompok yang masuk ke dalam takwin.
4.Sirriyah dalam kerja membina jama’ah
Faktor-faktor yang menajmin keberlangsungan proses pembinaan jama’ah meliputi tiga hal, yakni
sirriyah dalam gerak pembinaan jama’ah, bersabar atas segala kesulitan, dan menghindari konfrontasi
melawan kebatilan dalam dua tahapan awal yakni penyebaran dan takwin. Maksud sirriyah dalma kerja
membina jama’ah ialah membatasi pengetahuan program kerja pada lingkungan pimpinan. Setiap
individu dalam kerja sirri ini tidak boleh mengetahui tugas anggota lain, tetapi harus mengatahui tugas
pribadinya. Sirriyah merupakan “kotak” tempat menyimpan program amal jama’i dan “tirai” yang
menutupi dan melindungi program tersebut. Sirriyah adalah suatu prinsip yang sangat penting dan harus
dipegang teguh sepanjang gerakan pembinaan jama’ah, terutama pada tahap-tahap pertama, agar tidak
dipukul dalam usia bayi. Sirriyah hanya menyangkut aspek penataan (tanzhim) saja, bukan menyangkut
aspek pemikiran atau nilai-nilai Islam yang harus dikemukakan. Para da’i harus memperhatikan rambu
ini dan meng-utamakannya dalam gerak mereka. Karena ia merupakan “kunci” keamanan yang akan
melindung amal jama’i dari intaian mata-amta musuh yang mengawasinya.
5.Bersabar atas gangguan musuh
Di antara faktor terpenting yang dapat melindungi dtruktur jama’ah pada tahapan takwin ialah
kesabaran seluruh anggoa jama’ah dan keberhasilan merekan meredam emosi dalam menghadapi
setiapgangguan dan ejekan musuh. Berulang-ulangnya perintah bersabar pada ayat-ayat Makiyah,
menunjukkan pentingnya sifat ini dalam memelihara eksistensi jama’ah, terutama pada tahapan
takwiniyah.
6.Menghindari medan pertempuran
Kitman (perahasiaan) dan sabar belum cukup ntuk melindungi jama’ah dari gangguan, karena
perbedaan kemampuan manusia dalam menerapkan kedua hal tersebut. Juga karena sebagian besar
ajaran Islam pasti akan nampak pada par pelakunya dalam bentuk sikap dan perilaku. Karena itu,
pimpinan yang bijaksana segera membuat faktor yang lebih aman untuk melindungi jama’ah tersebut.
Denagn terpeliharanya eksistensi jama’ah maka akan tercapai kemenangan Islam dan tersebar ajaran-
ajarannya. Tetapi jika jama’ah ini hancur, akan menagkibatkan bekunya hukum-hukum Islam dan
terhapusnya ajaran-ajarannya. Menjauhi medan pertempuran dalam tahapan takwiniyah merupakan
upaya perlindungan bagi pelaksanaan ibadah kepada Allah.
Setelah penjelasan mengenai rambu-rambu jalan menuju terbentuknya Jama’atul Muslimin, berikut
dijelaskan tabiat jalan tersebut, yakni jalan ujian dan cobaan. Tabiat jalan ini telah banyak disimpulkan
menjadi dua kategori, yakni jalan kebaikan dan keburukan. Tujuan tabiat jalan ini adalah membentuk
manusia yang baik melalui perbuatan-perbuatannya, agar dengan demikian pergerakan manusia di atas
bumi ini pun menjadi baik. Roda pergerakan manusia di permukaan bumi ini tidak mungkin dapat
berjalan seperti yang diinginkan Allah kecuali jika diambil dan dipegang oleh tangan-tangan yang telah
digembleng dengan tarbiyah yang dikehendaki Allah, dan tidak mungkin dapat mengetahui ‘tangan-
tangan’ yang layak tersebut kecuali setelah melalui berbagai ujian saringan. Ujian-ujian itulah yang
disebut tabiat jalan. Dan tangan-tanagn yang layak itulah yang ditetapkan sebagai tujuan dari tabiat
jalan yang penuh berkah ini.
Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul "al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-
Da’wah al-Islamiyyah" (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus
dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang
ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal "Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah
Utsmaniyah". Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili
kecenderungan berbeda.
Pertama, Jama'ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama'ah ini
mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa
ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.
Kedua, Jama'ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada
seruan sufiyyah.
Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan
Politik (as-siyasi).
Keempat, Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jama'ah
ini mewakili gerakan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya
memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek
siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad).

Vous aimerez peut-être aussi