Vous êtes sur la page 1sur 19

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENGARUH HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT TERHADAP KELESTARIAN HUTAN DI HLU DAS POLEANG

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisisumberdayaalam
hayatiyang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam linkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999). Interaksi hutan dan
manusia tercipta sangat kuat, yakni manusia memanfaatkan hutan sesuai keinginannya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas sedangkan hutan menyediakan
sumberdaya alam dengan jumlah dan keanekaragaman yang terbatas. Untuk
memanfaatkan sumberdaya hutan tersebut, manusia menggunakan ilmu dan teknologi
yang senantiasa berkembang mengikuti tata nilai dan kecerdasan manusia.
Ditinjau dari kegiatan pembangunan kehutanan yang pada umumnya di artikan
sebagai upaya memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan bagi kesejahteraan
masyarakat secara berkelanjutan, komponen-komponen yang tercakup tidak hanya
meliputi bio-fisik dan kimia dari ekosistem tapi juga komponen sosial budaya masyarakat
yang merupakan bagian dari ekosistem tersebut. Interaksi antara ketiga komponen
tersebut dalam suatu kesatuan ekosistem akan menentukan dinamika perkembangan dan
kelangsungan ekonomi tersebut baik dari segi kemampuan maupun fungsinya dan
perikehidupan pembangunan.
Keberadaan hutan dengan berbagai manfaat yang dimilikinya memiliki korelasi
yang cukup kuat dengan evolusi dinamika kondisi sosial ekonomi masyarakat desa
sekitar hutan. Terjaminnya eksistensi potensi hutan sehingga dapat memberikan fungsi
secara optimal pada pemanfaatan hutan oleh masyarakat desa sekitar kawasan hutan.
Sumberdaya hutan memiliki kandungan kekayaan yang luar biasa, baik yang bersifat
tangible (kayu maupun non kayu), maupun yang intangible (keindahan alam, hasil air,
keragaman hayati) dapat memberikan kontribusi yang cukup dalam sistem perekonomian
masyarakat desa sekitar hutan, dalam hal ini pendapatan rumah tangga dan akan
berimplikasi pada kesejahteraan kehidupan sosial masyarakat desa sekitar hutan.
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan dengan kehidupan yang bersentuhan
langsung dengan hutan merasakan dampak keberadaan hutan secara langsung, baik dalam
arti positif maupun negatif. Maka sangat beralasan menempatkan masyarakat di dalam
dan sekitar hutan sebagai mitra utama pengelolaan hutan menuju hutan lestari.
Menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dengan maksud meningkatkan
kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan (dilingkungannya). Pengelolaan
hutan juga bertumpu pada pemberdayaan serta penguatan masyarakat lokal dan institusi
kehutanan.Jelas tradisi budaya masyarakat setempat tidak bisa diabaikan. Dan hal inilah
yang akan memperkaya pengelolaan hutan kita menjadi lebih bersentuhan dengan nilai-
nilai kearifan lokal.
Adanya kesalahan dalam aktivitas perubahan tataguna lahan yang dilaksanakan di
daerah hulu, akan memberikan dampak buruk baik di daerah hulu maupun di daerah hilir.
Perubahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian tanpa menerapkan metode konservasi
tanah dan air mengakibatkan berkurangnya daerah-daerah resapan air, sehingga dapat
meningkatkan erosi dan sedimentasi. Dan jika dibiarkan akanmemberikan dampak yang
lebih buruk seperti bahaya banjir pada musim hujan atau bahaya kekeringan pada musim
kemarau.
DAS Poleang merupakan salah satu DAS terbesar yang terdapat di Kabupaten
Bombana, memiliki luas kawasan 106.481 ha dengan panjang sungai utama sepanjang 84
km, namun kondisinya saat ini sudah mulai terdegradasi. Ancaman terbesar terjadinya
degradasi kawasan DAS Poleang adalah adanyaperambahan dan penebangan liar sebelum
penemuan tambang emas di Tahi Ite dan adanya pasca penemuan tambang emas
Bombana, dimana masyarakat pendulang emas telah merambah sebagian kawasan DAS
Poleang yang berdampak menurunnya kualitas air (debit sungai). Maka secara realistis,
kerusakan hutan yang terjadi di dalam kawasan DAS Poleang diluar faktor-faktor yang
bersifat alamiah, tampaknya tidak terlepas dari akibat campur tangan manusia.
Untuk kerusakan hutan di wilayah DAS adalah adanya kegiatan perambahan
kawasan oleh masyarakat (kegiatan perladangan, perluasan pemukiman dan perkebunan
swasta), penebangan liar, aktifitas penambangan dan bekas kegiatan HPH. Akibat yang
telah terjadi tersebut sudah mulai mempengaruhi lingkungan yang ada disekitar DAS
tersebut, misalnya pada musim hujan sering terjadi banjir di lahan masyarakat serta
peningkatan sedimentasi. Untuk meminimalisir kerusakan hutan di wilayah DAS, yang
lebih penting dilakukan adalah pemerintah harus mempunyai konsep kebijakan
pembangunan daerah yang tidak hanya berorientasi pada ekonomi tapi juga berlandaskan
pada aspek ekologi (lingkungan hidup) berbasis ekosistem DAS.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka untuk lebih memahami kondisi
kehidupan masyarakat desa sekitar hutan khususnya dihulu DAS,diperlukan studi tentang
sosial ekonomi masyarakat setempat dan pengaruhnya terhadap kelestarian kawasan
hutan. Untuk itu, dilakukan penelitian mengenai “Karakteristik Sosial Ekonomi
Masyarakat dan PengaruhnyaTerhadap Kelestarian Kawasan Hutan dihulu DAS
Poleang”.

Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah : “ Bagaimana faktor-faktor pengaruh hubungan sosial ekonomi masyarakat
terhadap kelestarian kawasan hutan di hulu DAS Poleang”.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor pengaruh hubungan


sosial ekonomi masyarakat terhadap kelestarian kawasan hutan dihulu DAS Poleang.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkompoten terhadap pengelolaan hutan di hulu
DAS Poleang.
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Hutan dan Manfaatnya

Hutan merupakan sumberdaya yang banyak dikelola oleh manusia untuk berbagai
pemenuhan hidupnya. Hutan diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia
baik di masa kini maupun di masa yang akan datang (Pranowo, 1986).
Pengertian hutan menurut Soetrisno (2000), hutan adalah suatu asosiasi tumbuhan
dimana pohon-pohon atau tumbuhan berkayu lainnya secara predominan menempati
wilayah yang luas dan keadaannya cukup rapat sedemikian sehingga mampu
menciptakan iklim yang berbeda dengan diluarnya. Untuk itu, hutan memiliki banyak
manfaat yang dimiliki baik itu bersifat positif maupun negatif.
Hutan memberikan pengaruh terhadap sumberdaya alam lain melalui tiga faktor
hubungan, yakni iklim, tanah, dan ketersediaan air di berbagai wilayah. Hutan dengan
berbagai bentuknya, pada hakekatnya selalu merupakan perpaduan dari lima unsur pokok
dalam pembentukannya, yaitu tanah, air, alam hayati, udara dan sinar matahari. Oleh
karena itu, tanpa adanya salah satu dari unsur-unsur tersebut, secara mutlak
mengakibatkan tidak adanya hutan. Sebaliknya, apabila hutan ditebang, pengaruh hutan
dan belukar terhadap iklim mikro amat terasa. Disamping itu, hutan juga berpengaruh
terhadap struktur tanah, erosi dan konservasi air di lereng-lereng. Oleh karena berbagai
hubungan timbal balik antara hutan dan kehidupan bumi, maka kelestarian hutan harus
dipertahankan sedemikian rupa sehingga bukan hanya hutan yang lestari, tetapi juga
seluruh kehidupan di bumi. Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting, termasuk
fungisi hidrologi yang bersifat lokal dan regional, dan fungsi pengaturan iklim,
khususnya pemanasan global dan sebagai sumberdaya alam hayati secara global
(Soemartowo, 1992).
Sumberdaya hutan memiliki kandungan kekayaan yang luar biasa, baik yang
bersifat tangible (kayu maupun non-kayu) maupun yang intangible (keindahan alam,
hasil air, keragaman hayati). Hironisnya sebagian besar masyarakat yang berada disekitar
hutan adalah miskin. Tidak ada penebang kayu atau pengumpul rotan yang hidup
berkecukupan. Hal ini terjadi Karena masyarakat hutan adalah masyarakat yang tidak
berdaya. Sayangnya, pencaharian sebagai pengumpul sumberdaya justru membuat
mereka semakin tidak berdaya, karena mereka hanya terbiasa menggantungkan
kemurahan alam. Kondisi ini yang membuat hidup mereka terus dan semakin
terbelakang.

Defenisi Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai merupakan total permukaan air yang dibatasi oleh suatu
batas air topografi dengan satu cara memberikan sumbangan terhadap debit sungai pada
suatu irisan melintang Seyhan (1990 dalam Salsilawati, 2006). Daerah aliran sungai
biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh
hal-hal berikut : merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih
tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lebih besar (15 %), bukan merupakan
daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah
hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut : merupakan daerah pemanfaatan,
kerapatan drainase lebih kecil merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai
dengan sangat kecil (kurang dari 8 %), pada beberapa tempat meruapakan daerah banjir
(genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Daerah aliran
sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda
tersebut di atas (Asdak, 2002).
DAS adalah suatu kawasan atau wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisahan
geografis berupa topografi dankeadaan geologi dengan wilayah lainnya, sehingga
membentuk suatu kesatuan wilayah tata air yang menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya menuju ke laut atau danau melalui satu
sungai utama (BPPP, 1996).

Konsep Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-


aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi
sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output,
sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja
DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan
(Isnugroho, 2002).
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu merupakan sebuah pendekatan
holistik dalam mengelola sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan
kehidupan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara berkesinambungan. Di
daerah perbukitan curah hujan yang jatuh akan mengalir dan berkumpul pada beberapa
parit, anak sungai yang kemudian menuju ke sebuah sungai. Keseluruhan daerah yang
menyediakan air bagi anak sungai ataupun sungai-sungai tersebut merupakan daerah
tangkapan air (Catchment area), dikenal sebagai daerah aliran sungai.
Sunaryo, dkk (2007) menjelaskan bahwa Pengelolaan sumber daya air secara
terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan antar sektor dan antar wilayah administrasi. Pengelolaan sumber daya air
berasas pada pendekatan yang menyeluruh pada satu daerah aliran sungai, utuh dari hulu
sampai hilir. Pengelolaan tersebut harus mengutamakan rasa keadilan dan kesetaraan
bagi setiap orang yang memanfaatkannya untuk mendapatkan akses yang memadai
terhadap sumberdaya air, sekaligus ikut menjaga kelestariannya.
Asdak (2002) menjelaskan bahwa secara garis besar ada tiga sasaran umum yang
ingin di capai dalam pengelolaan DAS yaitu : Pertama adalah rehabilitasi lahan terlantar
atau lahan yang masih produktif tetapi digarap dengancara yang tidak mengindahkan
prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Metode rehabiliasi lahan hutan biasanya
menggunakan prinsip – prinsip sebagai berikut :
a. Menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan
sumberdaya hutan atau lahan hutan
b. Memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang
tidak atau kurang ditumbuhi vegetasi.
c. Memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem
drainase pada jalan tersebut.
d. Menutup jalan-jalan hutan yang direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi
dengan saluran – saluran pembuangan air.
Sasaran kedua adalah perlindungan terhadap lahan-lahan yang umumnya sensitif
terhadap terjadinya erosi dan atau tanah longsor atau lahan-lahan yang diperkirakan
memerlukan tindkan rehabilitasi dikemudian hari.Dalam melaksanakan aktivitas
perlindungan daerah aliran sungai, pada tingkat lapangan, memerlukan pemahaman
tentang konsekuensi yang dapat ditimbulkan oleh adanya kegiatan perlidungan yang
diusulkan tersebut.Hal inilah yang menjadi dasar bagi keberhasilan usaha-usaha
pencegahan kerusakan DAS yang diusulkan.Sebagai contoh, perbaikan dan perlindungan
terhadap lahan disepanjang tepi sungai (riparian areas) tidak bisa dipisahkan dari usaha
peningkatan atau perbaikan kondisi DAS secara keseluruhan.Aktivitas yang paling nyata
dan menguntungkan daerah disepanjang tepi sungai adalah perlakuan atau kegiatan
(vegetasi dan atau mekanik) yang dilakukan di daerah hulu yang ditunjuk untuk
perbaikan atau perlindungan kondisi DAS, meningkatkan lama waktu aliran air (sungai)
dan pada saat bersamaan menurunkan debit puncak
Sasaran ketiga adalah peningkatan atau pengembangan sumberdaya air. Hal yang
terakhir ini dicapai dengan cara pengaturan satu atau lebih komponen penyususun
ekosistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-proses hidrologi
atau kualitas air.
Manik (2007) menjelaskan bahwa Dalam rangka memberikan gambaran
keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan
batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu :
1. DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain
dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.
2. DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana
pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
3. DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah.

Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan di Dalam Kawasan DAS

Secara umum faktor-faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia dapat di


uraikan sebagai berikut :

1. Ladang Berpindah
Perladangan dalam hutan sebenarnya sejak lama telah lama dilakukan oleh
masyarakat yang hidupnya di dalam hutan, mereka sering disebut masyarakat asli/primitif
atau tradisional yang terasing dari masyarakat lainya.Primitf atau tradisonal bukan berarti
mempunyai pikiran yang terbelakang, tetapi mereka justru menyatu dengan alam,
sehingga bila di kaji teori moderen mereka mempunyai suatu pengetahuan yang sangat
tinggi. Sebenarnya, perladangan berpindah tidak menjadi masalah bagi pelestarian hutan
karena perladangan berpindah tidak merusak lingkungan, sebagian besar tanah di
indonesia tentu sudah menjadi padang pasir sejak dulu karena perladangan berpindah
sudah dilakukan selama berabad-abad. Perpendekan rotasi perladangan dilihat dari
kesuburan sangat berakibat fatal karena humus menjadi hilang, mata air berkurang,
terjadi banjir dimusim hujan dan kekeringan di musim kemarau (Arief, 2001).
Menurut Kuper (dalam Nugraha, 2005) menjelaskan bahwa praktek pertanian
ladang mengalami distorsi konseptual yang berdampak sangat negatif terhadap eksistensi
dan kelangsungannya.Salah satu distorsi persepsi tentang praktek pertanian ladang
berpindah adalah stigma yang menyatakan bahwa praktek pertanian tradisional
merupakan salah satu sumber kerusakan hutan alam tropis.

2. Penebangan Liar (Illegal Logging)


Di daerah tropika basah, penebangan hutan tanpa pengelolaan lahan selanjutnya
mengakibatkan revegetasi sekunder yang cepat. Vegetasi sekunder ini pada umumnya
mempunyai ciri hidrologi yang sama dengan vegetasi hutan aslinya,hanya beberapa tahun
pertama evapotranspirasinya lebih rendahdari pada hutan aslinya. Oleh karena itu
eksplotasi hutan di daerah aliran sungai akan mengakibtkan peningkatan debit sungai
untuk sementara, tetapi efek ini akan akan cepat berakhir di banding dengan daerah iklim
sedang. Selanjutnya selama proses penebangan dan logging akan terjadi peningkatan
limpasan permukaan dan erosi (Arief, 2001).
Persoalan illegal logging kini sudah menjadi fenomena umum yang berlangsung
di mana-mana. Illegal logging bukan merupakan tindakan haram yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tetapi sudah menjadi pekerjaan keseharian. Fenomena illegal
logging kini bukan lagi merupakan masalah kehutanan saja, melainkan persoalan
multipihak yang dalam penyelesaiaanya pun membutuhkan banyak pihak terkait. Illegal
logging telah menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang sangat parah. Bahkan lebih
dari itu, penebangan haram ini telah melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara
terorganisir serta sistematis (Alikodra, dkk, 2008).

3. Penebangan Oleh Pemilik HPH


Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan
oleh pemerintah telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di indonesia.
Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan
Hasil Hutan (HPHH) atau konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu
mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa
negra, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkat
pendapatan asli daerah. Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH, HPHH dan
HTI juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat
eksploitasi yang tidak terkendali dan tidak terawasi secara konsisten selain menimbulkan
kerugian ekologi yang tidak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan sosial dan
budaya, termasuk pembatasan akses dan pengurusan hutan hak-hak masyarakat serta
munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan (Nurjaya, 2008).
Pengusahaan hutan (melalui Hak Pengusahaan Hutan) yang kurang bertanggung
jawab telah banyak menimbulkan kerusakan hutan.Hutan di tebang dan di babat habis
tanpa mempertimbangkan kemampuan regenarasinya secara alamiah atau upaya
melakukan reboisasi.Kerusakan tidak hanya terjadi di areal hutan, tetapi juga dalam
pengangkutannya. Pengangkutan kayu melalui daratan akan merusak jalan, sedangkan
yang melalui sungai akan mengganggu lalulintas angkutan dan mencemari sungai
(Manik, 2007).

4. Kegiatan Pertambangan
Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan
maupun pasca pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan
teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan
tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya
penambangan batubara dilakukan dengan sistem tambang terbuka, sistem dumping (suatu
cara penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah). Beberapa
permasalahan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan, antara lain masalah
tailing, hilangnya biodiversity akibat pembukaan lahan bagi kegiatan pertambangan,
adanya air asam tambang (Manik, 2007).

5. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan penyebab terbesar kerusakan hutan. Kebakaran
hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1997, membuat hampir 70%
hutan terbakar. Selain kebakaran hutan, penebangan liar juga merupakan penyebab
terbesar kerusakan hutan. Ketika penebangan liar marak terjadi, maka kerusakan hutan
akan bertambah. Penebangan liar akan merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan
sampai perdagangan kayu hutan dan tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu
menjadi rusak (Indriyanto, 2006).
Kebakaran diduga terjadi secara alami ataupun disengaja (untuk membuka hutan
menjadi perladangan). Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi
adanya endapan kayu arang. Namun belakangan diketahui, kebakaran hutan lebih
disebabkan oleh proses deforestasi yang sangat tinggi. Kerusakan akibat kebakaran hutan
cukup besar, meliputi kerusakan serius pada hutan, pencemaran udara, gangguan
kesehatan masyarakat, kematian, kerusakan harta benda dan pilihan sumber penghidupan,
dan lain-lain (Manik, 2007).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan tentu tidak berbeda dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat lainnya. Secara
umum dikatakan oleh Soejono (1994) dalam bukunya Teori Sosiologi Dinamika
Perubahan Sosial, mengatakan bahwa yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi
masyarakat adalah: umur, tingkat pendidikan, keterampilan, kesehatan, tingkat
pendapatannya, pengalaman, volume kegiatan dan jenis usahanya.
Secara teoritis hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan kondisi sosial
ekonomi masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Umur bagi seseorang akan sangat menentukan kemampuannya untuk melakukan
pekerjaannya, sehingga dengan tingkat umur yang relatif muda mempengaruhi
kemampuan mereka bekerja lebih lama, dengan semakin lamanya mereka bekerja
tentu out put yang mereka hasilkan lebih banyak dan sekaligus mempengaruhi tingkat
pendapatan mereka yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kondisi sosial
ekonomi mereka;
2. Tingkat pendidikan bagi seseorang turut menentukan kemampuannya untuk
menganalisis dan mempelajari peluang pasar bagi produk yang mereka hasilkan,
dengan memahami peluang pasar yang ada, bagi seseorang akan menentukan mutu,
jenis dan kuantitas produk yang sesuai dengan permintaan pasar dan dapat bersaing
dipasaran, dengan demikian produk yang mereka hasilkan cepat laku dipasaran. Hal
ini akan turut pula mempengaruhi tingkat pendapatan mereka. Di samping itu pula
tingkat pendidikan yang mereka miliki akan menentukan status sosial mereka di
masyarakat;
3. Keterampilan akan mempengaruhi kualitas produk yang mereka hasilkan, dengan
kualitas produk tersebut tentunya sangat mempengaruhi minat konsumen, hal ini akan
berdampak pula pada pemasaran produk mereka yang sekaligus dapat mempengaruhi
tingkat pendapatan mereka;
4. Kesehatan menentukan kemampuan fisik seseorang untuk bekerja guna untuk
meningkatkan pendapatan mereka;
5. Tingkat pendapatan sudah cukup jelas bagi kita bahwa jika pendapatan seseorang
relatif tinggi akan mempengaruhi semakin tingginya kemampuan mereka untuk
memenuhi kebutuhan mereka dan semakin tinggi pula kemampuan mereka memenuhi
kebutuhan konsumsinya;
6. Pengalaman akan turut pula menentukan kemampuan seseorang di bidang
pekerjaannya masing-masing, dengan semakin banyak pengalaman seorang individu
bekerja di bidang pekerjaannya tentu mempengaruhi kualitas produk yang mereka
hasilkan;
7. Volume kegiatan dan jenis usaha akan menentukan kondisi sosial ekonomi seseorang,
hal ini dapat dilihat dari segi besar kecilnya skala usaha yang mereka lakukan, tentu
bagi mereka yang memiliki skala usaha yang lebih besar akan mempengaruhi tingkat
pendapatan yang mereka hasilkan.
Kebijaksanaan pemerintah turut menentukan kondisi sosial ekonomi mereka, hal
ini ditinjau dari segi fasilitas yang disiapkan pemerintah, bantuan yang diberikan
pemerintah, pembinaan yang diberikan pemerintah yang kesemuanya itu baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi mereka.
Sedangkan faktor eksternal lainnya yakni masyarakat juga turut menentukan kondisi
sosial ekonomi mereka, karena mereka tidak dapat hidup sendiri, namun mereka hidup di
tengah-tengah masyarakat yang akan mengakui keberadaan mereka, memberikan
pertolongan kepada mereka baik yang berorientasi pada ekonomi maupun sosial.

Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap


Kelestarian Hutan

Pemanfaatan hutan yang dilakukan manusia memberi kontribusi yang tidak


sedikit bagi kerusakannya. Penanganan serius atas masyarakat sekitar hutan yang
hidupnya sangat tergantung pada apa yang disediakan oleh hutan haruslah dilakukan.
Perlu dicarikan pola hubungan yang harmonis antara masyarakat sekitar hutan dengan
lingkungan hutan sebagai tempat hidupnya. Pola hubungan saling ketergantungan antara
manusia dan hutan dalam suatu interaksi sistem kehidupan adalah keniscayaan. Hutan di
negeri ini mendapat beban demikian lama dan berat sebagai penggerak perekonomian
bangsa, dan kini telah sampai pada titik nadir berakumulasinya masalah sosial, ekonomi,
budaya dan ekologi.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh daya dukung
lingkungan sumberdaya alamnya. Pada daerah-daerah yang subur, tingkat kesejahteraan
masyarakatnya relatif tinggi, demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah yang kurang
subur, tingkat kesejahteraan masyarakatnya relatif rendah. Selanjutnya dikatakan pula
bahwa pemanfaatan hutan yang tidak memperhitungkan aspek pengrusakan lingkungan
terjadi akibat program pengelolaan hutan yang tidak baik dan mempengaruhi sistem
alami dan kualitas lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat dicegah sepanjang faktor
manusianya menyadari mengenai pentingnya keseimbangan lingkungan (Nurrochmat,
2005).
Menurut Purnomo (2003) bahwa Jika tekanan terhadap hutan terus terjadi, maka
hutan akan semakin berkurang dan bencana dampak ekologi akan berantai ke sektor-
sektor lain, dan pada gilirannya akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas.
Dengan menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dengan maksud
meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan di lingkungannya, Ia
membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan
mempercepat rehabilitasi hutan dengan menyatukan masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah.
Faktor-faktor sosial ekonomi memberi peranan penting dalam pemberdayaan
masyarakat kaitannya dalam akses sumberdaya hutan. Seperti salah satu hasil penelitian
Bulungan Research Forest oleh Levang, et.al. (2003 dalam Purwanto, 2007), yaitu
meskipun hutan berperanan besar dalam memenuhi hajat hidup bagi masyarakat Dayak
Punan, hilangnya hutan ternyata pada kasus tertentu tidak selalu berdampak pada
semakin miskinnya masyarakat Punan. Hal ini dapat terlihat oleh kontrasnya
perbandingan taraf hidup (bukan kesejahteraan/well-being) masyarakat yang hidup di
wilayah terpencil dihulu sungai (hutan belum terganggu) dengan masyarakat yang berada
di dekat Ibukota Kabupaten Malinau (hutan telah terbabat habis). Di wilayah hulu,
dimana sumberdaya hutan masih melimpah ruah, taraf hidup masyarakatnya sangat
rendah. Akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan sangat terbatas dengan kematian anak
yang berumur di bawah lima tahun yang sangat tinggi (35%). Sedangkan diwilayah hilir,
dimana sumberdaya hutan telah habis, justru taraf hidup masyarakat punan lebih baik,
karena lebih tingginya akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan, dan kematian balita
pun terhitung sangat rendah (6%).
Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa akses yang tinggi terhadap
sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat.
Kekurangberdayaan (miskinnya pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan
prasarana serta pasar) telah membuat mereka gagal mentransfer sumberdaya berharga
yang mereka miliki ke dalam nilai pasar. Tragisnya, apabila aksesbilitas ekonomi mereka
di suatu saat meningkat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberdaya alam yang
mereka miliki, karena pada saat itu berbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan
untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin
termarginalisasi.
Hutan akan tetap lestari sepanjang manusia memahami berdasar pemikiran dan
pengalamannya yang membuktikan bahwa hutan mampu memberikan manfaat secara
ekonomi bagi siapa saja yang berkaitan dengannya, secara terus menerus. Kata lain dari
manfaat ekonomi secara terus menerus adalah tercapainya kelestarian, sedangkan
kelestarian akan tercapai bila terjadi keseimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi
dengan penjagaan kondisi lingkungan yang memungkinkan hutan bertumbuh sebagai
penukar manfaat ekonomi yang dipetik.
METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2010 di
Kawasan Hutan Hulu DAS Poleang, Desa Karya Baru, Kecamatan Poleang Utara,
Kabupaten Bombana.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penilitian ini adalah terdiri dari alat berupa
ATM (alat tulis menulis), quisioner, alat perekam suara dan kemera digital. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah berupa peta kerja lapang Desa Karya Baru (peta
penggunaan lahan).

Variabel Penelitian

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari variabel sosial ekonomi
masyarakat tani hutan yang terdiri dari karakteristik internal dan eksternal masyarakat
tani hutan pengaruhnya terhadap kelestarian kawasan hutan dihulu DAS Poleang yaitu
sebagai berikut:
1. Karakteristik internal masyarakat tani hutan adalah karakteristik individual
masyarakat tani hutan sebagai salah satu faktor sosial ekonomi dalam memanfaatkan
kawasan hutan dihulu DAS Poleang, yang meliputi: umur,tingkat pendidikan,
pengalaman usaha tani, status sosial, sifat kosmopolit, dan tingkat kebutuhan.
2. Karakteristik eksternal masyarakat tani hutan adalah faktor-faktor yang berada di luar
dari masyarakat tani hutan yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dalam
pemanfaatan kawasan hutan dihulu DAS Poleang, yang meliputi: luas lahan, tingkat
pendapatan, kemudahan dalam pemasaran, tingkat tanggungan keluarga, dan jarak
lahan.
Pengolahan dan Analisis Data

Analisis dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan analisis


kualitatif deskriptif. Analisis data kuantitatif menggunakan cara tabulasi, yaitu data
primer dan data sekunder yang terkumpul di tabulasi kemudian diolah dan dianalisis
dengan analisis regresi linier berganda (multiple liniar regression). Regresi linier
berganda digunakan untuk mengestimasi nilai variabel tak bebas (dependent variabel)
yang memiliki lebih dari satu variabel bebas (independent variabel).
Untuk mengetahui sejauh mana dari faktor-faktor yang berhubungan dengan
keterkaitan antara pengaruh karakteristik sosial ekonomi masyarakat terhadap kelestarian
kawasan hutan dihulu DAS Poleang, maka dilakukan pendekatan dengan analisis regresi
linier berganda antara jumlah responden dengan faktor-faktor tersebut. Adapun
penjabaran rumus matematis untuk regresi linear berganda adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh faktor-faktor internal terhadap pengalaman usahatani dalam
kelestarian kawasan hutan

Yi = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5


Dengan ,
Yi = Pengalaman usahatani
bo = Konstanta.
b1, b2, …, bn = Koefisien regresi
X1 = Umur
X2 = Tingkat pendidikan
X3 = Status sosial
X4 = Sifat kosmopolit
X5 = Tingkat kebutuhan
2. Pengaruh faktor-faktor eksternal terhadap pendapatan dalam kelestarian
kawasan hutan

Yi = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 +


b10X10 + b11X11

Dengan ,
Yi = Pendapatan
bo = Konstanta.
b1, b2, …, bn = Koefisien regresi
X1 = Luas lahan
X2= Kemudahan dalam pemsaran
X3 = Tingkat tanggungan keluarga
X4 = Jarak lahan

Untuk menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel bebas (persepsi


responden, umur, tingkat pendidikan, status sosial, sifat kosmopolit, tingkat kebutuhan,
luas lahan, kemudahan dalam pemasaran, tingkat tanggungan keluarga, danjarak lahan)
terhadap variabel terikat (variasi jumlah pengalaman usahatani dan pendapatan), maka
perhitungan regresi dilakukan untuk mendapatkan nilai sebagai berikut :
1. Menghitung koefisien regresi masing-masing untuk b1, b2, b3, b4, b5.
2. Menghitung koefisien korelasi secara parsial (R) untuk melihat hubungan antara
variabel bebas (X1, X2, X3, X4,dan X5 dengan variabel terikat (Y).
3. Menghitung koefisien determinasi berganda (R2) untuk melihat berapa besar
pengaruh yang timbul oleh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat.
4. Menghitung uji t (t – test) untuk melihat hubungan antara variabel bebas secara
parsial terhadap variabel terikat pada  = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. Rais, S.H. Simon, dan S. Sinaga, N. 2008. Global Warming: Banjir dan
Tragedi Pembalakan Hutan. Penerbit Nuansa, Bandung.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta.

Arikunto, S. 1993. Metode Penarikan Sampel. CV. Rajawali. Jakarta.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB, Bogor.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Bombana Dalam Angka 2009. BPS. Jakarta.

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1996. Rekomendasi Teknologi Hasil


Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Krisis Daerah Istimewa
Yogyakarta. Departemen Pertanian. Yogyakarta.

Djajono, A. 2006. Perencanaan Ruang Kehutanan dan Masalahnya, Agro Indonesia.

Flamin, A. 2005. Analisis Sosiodemografi dan Psiokografi Wisatawan Terhadap Obyek


Daya Tarik Taman Wisata Alam Bantimurung. Sekolah Pascasarjana. UGM.
Yogyakarta.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Isnugroho.2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Suatu Wilayah. Penerbit


ANDI, Yogyakarta.

Manik, K.E. S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta.

Marwah, S. 2008. Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry Untuk Pembangunan


Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sultra. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
Bogor.

Nugraha, A. 2005. Rindu Ladang : Perspektif Perubahan Masyarakat Desa Hutan.


Wana Aksara, Banten.

Nur, Hafida. 2005. Motivasi Petani Dalam pengelolaan Kahuma di Areal Hutan Rakyat
(Kasus: Kecamatan Sawerigadi Kabupaten Muna). Tesis. Bogor: Program
Pascasarjana IPB.
Nurjaya, I N. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Antropologi
Hukum. Prestasi Pustaka, jakarta.

Nurrochmat, D.2005. Strategi Pemasaran Hasil Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Purnomo. 2003. Mengelola Hutan Berbasis Masyarakat. Sinar Harapan. Jakarta.

Purwanto, E. 2007. Nasionalisme Lingkungan: Pesan Konservasi dari Lambusango.


Debut Wahana Sinergi. Jogjakarta.

Pranowo, A. Handojo. 1986. Manusia dan Hutan. University Press. Jakarta.

Rafidin. 2004. Kontribusi Pendapatan di Luar Usaha tani Terhadap Total Pendapatan
Petani di Desa Kondongia Kecamatan Lohia Kabupaten Muna. Unhalu. Kendari.

Sajogyo. 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan.Lembaga Penelitian


Sosiologi Pedesaan (LPSP). IPB, Bogor.

Salsilawati. 2006. Identifikasi Karakteristik Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS)


Posalu Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Fakultas Pertanian.
Universitas Haluoleo. Kendari.

Seyhan, E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Slamet. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Darbara Publisher. Surakarta.

Soerkartawi. 1995. Analisis Usaha tani. Universitas Indonesia. Jakarta.

Soejono, S. 1994. Teori Sosiologi Dinamika Perubahan Sosial. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Soetrisno, K. 2000. Silvika. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.

Soemarwoto, O. 1992. Peranan Hutan Tropika Dalam Hidro-Orologi, Pemanasan


Global dan Keanekaragaman Hayati Dalam Melestarikan Hutan Tropika,
Permasalahan, Manfaat dan Kebijakannya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Suharjito,D,. L. Sundawati, Suyanto dan S. R Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan
Budaya Agroforestry.Bahan Ajar 5.ICRAF. Bogor.

Sunaryo, T.M., Walujo S.T., dan Harnanto, A. 2007. Pengelolaan Sumber Daya Air:
Konsep dan Penerapanya. Bayumedia. Malang.

Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta.

Sutjono. 1987. Teori Motivasi dan Aplikasinya.PT Rineka Cipta.Bandung.

Vous aimerez peut-être aussi