Vous êtes sur la page 1sur 10

Asal-usul Tarekat Sufi Dan Peranannya

Abdul Hadi W. M.

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan
10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab,
Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali
murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif
mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di
antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu
Said al-Khayr.

Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan
spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di
samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya
fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori
tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di
antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah
mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup
kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf
(tersingkapnya penglihatan hati).

Arti Tariqa /Tarekat

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan
kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul
disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal)
berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’
Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui
bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada
jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam
melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat
ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali),
Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk
pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang
lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku
kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri.
Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka
segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin
kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan
salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf,
yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri
sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang
merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan
diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak
ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa)
menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan
kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon
pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad.
Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan
kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di
antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani
kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima
layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling
tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam
perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka. Penamaan
Sufi Penamaan sufi tidak ditemukan secara pasti dari kata apa asalnya. Ada perbedaan-
perbedaan pendapat asal kata sufi ataupun tasawuf. Ibnu Taimiyah meneyebutkan
sebagian perbedaan-perbedaan ang ada sebagai berikut;

Dikatakan bahwa lafadz sufi itu dinisbatkan kepada ahli shofwah . Ini tidak benar krn
kalau demikian maka pasti disebut shofiy.

Adapula yg berpendapat sufi itu dinisbatkan kepada shof depan dihadapan Allah SWT.
Ini pun salah krn namanya jadi shofiy juga. Konon ada yg menisbatkan sufi kepada
Shufah bin Basyar bin Thanjah satu kabilah dari bangsa Arab mereka bertetangga dgn
Makkah dari zaman dahulu kala. Dinisbatkan orang-orang ahli ibadah kepada mereka. Ini
walaupun sesuai utk penisbatan dari segi lafadz yaitu tepat jadi “shufi” namanya namun
penisbatan itu lemah juga. Karena mereka itu tidak terkenal dan tidak populer bagi
kebanyakan ahli ibadah. Dan seandainya ahli ibadah itu dinisbatkan kepada mereka maka
pastilah penisbatan itu sudah ada pada zaman sahabat an tabi`in serta para pengikut
mereka yg pertama. Dan lagi umumnyaorang-orang yg berbicara mengenai nama sufi itu
tidak mengetahui kabilah ini dan tidak suka kalau dinisbatkan kepada kabilah yg ada
dizaman jahiliyah dan tidak ada dizaman Islam.

Dan dikatakan - ini terkenal- bahwa sufi itu dinisbatkan kepada pakaian as-shuf/ bulu
domba/ wool.

Asal kata sufi dari pakaian shuf ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah krn kenyataan yg ada
pada masa Ibnu Taimiyah adl mereka memakai pakaian kasar sebagai pengakuan utk
zuhud dan menampakkan kesederhanaan dan kemelaratan hidup disamping menahan diri
dari berhubungan dan meminta-minta padaorang dan mencegah diri dari air dingin dan
makan daging. Demikian pula mereka meninggalkan nikah. Sehingga perbuatan mereka
tidak sesuai dgn zuhud yg disyari`atkan.

Nabi SAW telah mengingkari orang yg ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT dgn
mencegah diri dari makan daging atau nikah. Seperti hadts yg telah datang dalam kitab
Shahihain dari Annas bin Malik ia berkata “Ada satu kelompok sahabat yg datang
kerumah Nabi SAW utk menayakan kepada istri-istri beliau tentang ibadah beliau.
Setelah mereka diberitahu tentang keadaan ibadah beliau seolah-olah mereka
menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama
lain lalu mereka bertanya dimana posisi kita dibandingkan dgn Rasulullah SAW padahal
Allah SWT telah mengampuni dosa beliau baik yg teredahulu maupun yg akan datang ?”
Lalu salah seorang dari mereka berkata ” Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak
akan berbuka.” Yang kedua mengatakan ” Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan
kawin selamanya.” Lalu Rasulullah SAW datang kepada mereka sembari bersabda ”
Kamukah yg telah berkata begini dan begitu tadi ? Ketahuilah Demi Allah SWT
akulahorang yg paling takut kepada Allah SWT diantara kalian dan yg pailng bertaqwa
kepadaNya tetapi aku berpuasa dan berbuka sholat dan tidur dan kawin dgn perempuan.
Maka barangsiapa yg membenci sunnahku bukanlah ia dari golonganku.” . Ibnu
Taimiyah dalam menguatkan shuf sebagai sebab penamaan sufi adl krn mereka terkenal
dgn pakaian shuf . Itu hanyalah menyebutkan gejala mereka pada masa itu dan
sebelumnya yaitu pakaian shuf utk menampakkan zuhud. Tetapi ada pendapat lain
tentang penamaan itu menunjukkan sebagian pembicaraan mereka yaitu pembicaraan yg
kembali kepada pemkiran-pemikiran kuno seperti yg disebutkan oleh Al-Biruni Abu-
Rahyan yg menisbatkan tasawub kepada kata ” Shofia ” Yunani yaitu hikmah mengingat
krn saling dekatnya pendapat-pendapat antara pendapatorang-orang sufi dgn para filosof
Yunani kuno.

Tasawuf itu adl kasus yg lbh berbahaya ketimbang sekedar pakaian kasar bahkan
merupakan pemikiran -pemikiran buatan para filosof yg masuk ikut campur dalam islam
padahal sebenarnya jauh dari islam tetapi disampuli dgn cover yg menimbulkan
mengelabuan bahwa tasawub itu termasuk dalam islam.

SEJARAH DAN FITNAH TASAWUF Orang-orang sufi pada periode pertama


menetapkan utk merujuk kembali pada Al-quran dan As-sunah namun demikian iblis
memperdayai mereka krn ilmu mereka yg sedikit sekali.

Ibnul Jauzi yg terkenal dgn bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh Al-Junaid berkata
“Madzhab kami ini terikat dgn dasar Al Kitab dan As Sunnah.” Dia juga berkata”Kami
tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu tetapi dari rasa lapar
meninggalkan dunia meninggalkan kebiasaan sehari-hari dan hal-hal yg dinggap baik.
Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah dgn Allah SWT dan dasarnya adl
memisahkan diri dari dunia.”

Komentar Ibnul Jauzijika seperti ini yg dikatakan para syaikh mereka maka dari syaikh-
syaikh yg lain muncul banyak kesalahan. Karena mereka menjauhkan diri ilmu
Jika memang begitu keadaannya lanjut Ibnul Jauzi maka mereka harus disanggah krn
tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar maka
kita tetap harus waspada terhadap perkataan yg keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan suatu kasus Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata tentang diri Sary As-
Saqathy “Dia seorang syaikh yg dikenal suka menjamu makanan.” Kemudian ada yg
mengabarinya bahwa dia berkata “Tatkala Allah menciptakan huruf-huruf maka huruf
ba` sujud kepada-Nya” maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata” Jauhilah dia!”

A. Kapan Awal Munculnya Tasawuf Tentang kapan awal munculnya tasawuf Ibnul Jauzi
mengemukakan yg pasti istilah sufi muncul sebelum tahun 200 H. Ketika pertama kali
muncul banyakorang yg membicarakannya dgn berbagai ungkapan. Alhasil tasawuf
dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-
akhlak yg hina lalu membawanya ke akhlak yg baik hingga mendatangkan pujian didunia
dan pahala diakhirat. Begitulah yg terjadi pada diriorang-orang yg pertama kali
memunculkannya. Lalu datang talbis iblis terhadap mereka dalam berbagai hal. Lalu iblis
memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiap kali lewat satu
kurun waktu maka ketamakan iblis utk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi.
Begitu seterusnya hingga mereka yg datang belakangan telah berada dalam talbis iblis.

Talbis iblis yg pertama kali terhadap mereka adl menghalangi mereka mencari ilmu. Ia
menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adl amal. Ketika pelita ilmu yg ada
didekat mereka dipadamkan mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan. Diantara
mereka ada yg diperdaya iblis bahwa maksud yg harus digapai adl meninggalkan dunia
secara total. Mereka pun menolak hal-hal yg mendatangkan kemaslahatan bagi badan
mereka menyerupakan harta dgn kalajengking mereka berlebih-lebihan dalam
membenani diri bahkan diantara mereka ada yg sama sekali tidak mau menelentangkan
badannya terlebih lagi tidur.

Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yg tidak benar dan
diantara mereka ada yg krn minimnya ilmu lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits
maudhu` sementara dia tidak mengetahuinya.

B. Syaria`t Dianggap Ilmu Lahir Sehingga Aqidahnya Rusak Kemudian datang suatu
golongan yg lbh banyak bicara tentang rasa lapar kemiskinan bisikan-bisikan hati dan hal
lain-lain yg yg melintas didalam sanubari lalu mereka membukukan hal-hal itu seperti yg
dialakukan Al-Harits Al-Muhasibi . Adapula golongan lain yg mengikuti jalan tasawuf
menyendiri dgn ciri-ciri tertentu seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan suka
mendengarkan syair-syair memukul rebana tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan
dalam maslah taharah dan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi
krn para syaikh menciptakan topik-topik tertentu berkata menurut pandangannya dan
sepakat utk menjauhkan diri dari ulama.

Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu tetapi mereka menamakannya ilmu batin
dan mereka menyebut ilmu syariat sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yg mendera
perut mereka pun membuat khayalan-khayalan yg muskil mereka menganggap rasa lapar
itu sebagai suatu keni’matan dan kebenaran. Mereka membayangkan sosok yg bagus
rupanya yg menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada diantara kufur dan bid`ah.

Kemudian muncul beberapa golongan lain yg mempunyai jalan sendiri-sendiri dan


akhirnya aqidah mereka menjadi rusak. Diantara mereka ada yg berpendapat tentang
adanya inkarnasi/ hulul yaitu Allah menyusup kedalam diri makhluk dan ada yg
menyatakan Allah menyatu dgn makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dgn
berbagai macam bid`ah sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka.

C. Perintis Tasawuf Tak Diketahui Pasti Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-
Fikrus Sufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan tidak diketahui secara tepat siapa yg
pertama kali menjadi sufi dikalangan ummat Islam. Imam Syafi`i ketika memasuki kota
mesir menyatakan “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara disana kaum zindiq telah
mengadakan sesuatu yg baru yg mereka namakan assama` .”

Kaum zindiq yg dimaksud Imam Syafi`i adl orang-orang sufi. Dan assama` yg dimaksud
adl nyanyian-nyanyian yg mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi Imam Syafi`i
masuk ke Mesir tahun 199 H. Perkataan Imam Syafi`I ini mengisyaratkan bahwa masalah
nyanyian merupakan masalah baru. Sedaangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal
sebelum itu. Alasannya Imam Syafi`i sering berbicara tentang mereka diantaranya beliau
menyatakan “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari maka siang sebelum
Dhuhur ia menjadi orang yg dungu.” Dia juga pernah berkata.” Tidaklah seseorang
menekuni tasawuf selama 40 hari lalu akalnya kembali normal selamanya.”

Semua ini menurut Abdurrahman Abdl Khaliq menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya
abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yg diakalangan ulama Islam dikenal dgn
sebutan Zanadiqoh dan terkadang dgn sebutan mutashawwifah . Imam Ahmad hidup
sezaman dgn Imam Syafi`i dan pada mulanya berguru kepada Iamam Syafi`i. Perkataan
Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yg berada dalam
lingkaran tasawuf banyak dikutip orang. Diantaranya ketika seseorang datang kepadanya
sambil meminta fatwa tentang perkataan Al-Harits Al Muhasibi .Lalu Imam Ahmad bin
Hanbal berkata “Aku nasihatkan kepadamu janganlah duduk bersama mereka.” .

Imam Ahmad memberi nasehat seperti itu krn beliau telash melihat Majlis Al-Harits Al-
Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis_menurut mereka_untuk
mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yg jahat.

Perlu kita cermati kini ada kalangan-kalangan muda yg mengadakan daurah/ penataran
atau halaqah/ pengajian lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri atau
mengadakan apa yg mereka sebut renungan dan mereka mengangis tersedu-sedu bahkan
ada yg meraung-raung.Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah
SAW ? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu ?

D. Abad Ketiga Hijriyah Sufi Mulai Berani Semua Tokohnya dari Parsi tampaknya Imam
Ahmad bin Hanbal r.a mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah.
Namun sebelum abad ketiga berakhir tasawuf telah muncul dalam hakekat yg sebenarnya
kemudian tersebar luas ditengah-tengah umat dan kaum sufi telah berani mengatakan
sesuatu yg sebelumnya mereka sembunyikan. Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak
awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan kita akan mengetahui
bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari
Parsi tidak ada yg berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya dari segi aqidah dan hukum pada akhir abad
ketiga Hijriyah yaitu tatkala Husein bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan
keyakinannya didepan penguasa yakni dia menyatakan bahwa Allah SWT menyatu dgn
dirinya sehingga para ulama yg semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan
harus dibunuh.

Pada tahun 309 H./922 M.ekskusi terhadap Husein bin Manshur Al Hallaj dilaksanakan.
Meskipun demikian sufisme tetap menyebar dinegri Parsi bahkan kemudian berkembang
di Irak.

E. Abad Keempat Mulai Muncul Thariqat/ Tarekat Tersebarnya sufisme didukung oleh
Abu Said Al-Muhani. Ia mendirikan tempat -tempat penginapan yg dikelola secara
khusus dan selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti
itu diikuti oleh para tokoh sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah
berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah kemudian secara cepat tersebar di
Irak Mesir dan Maghrib .

Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf masing-masing-masing-


masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW kemudian mendirikan tempat
thariqat sufiyah Ar-Rifa`i ; diMesir muncul Al-Bada-wi yg tidak diketahui siapa ibunya
siapa bapaknya dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali yg muncul diMesir.
Dari thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.

F. Abad ke-VI VIIdan VIII Puncak Fitnah Sufi Pada abad keenam ketujuh dan kedelapan
Hijriyah fitnah sufisme mencapai puncaknya. Kaum sufi mendirikan kelompok-
kelompok khusus kemudian diberbagai tempat dibangun kubah-kubah diatas kubur an.
Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathimiyah di Mesir dan setelah perluasan
kekuasaan kewilayah-wilayah dunia Islam. Lalu kuburan-kuburan palsu muncul seperti
kuburan Husain bin Ali r.a di Mesir dan kuburan sayyidina Zainab. Setelah itu mereka
mengadakan peringatan Maulud Nabi SAW mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan
khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilah-kan Al-Hakim Bi-Amrillah Al-
Fathimi Al-Abidi.

Propaganda yg dialakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari Maghrib


mereka menggantikan kekuasaan Abbasiyah yg Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil
menggerakkkan kelompok-kelompok sufi utk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan
kebatinan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib
diwilayah-wilayah Islam.
Pada Abad kesembilan kesepuluh dan kesebelas Hijriyah telah muncul berpuluh-puluh
thariqat sufiyah kemudian Aqidah dan Syariat sufi tersebar ditengah-tengah umat.
Keadaan yg merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.

G. Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya memerangi Sufi Sesungguhnya kebangkitan Islam


sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awakl abad kedelapan Hijriyah yaitu
tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul Hakim Ibnu Taimiyah memerangi seluruh
aqidah yg menyimpang melalui pena dan lsannya diantara yg diperangi adl aqidah kaum
sufi.

Setelah itu perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti Ibnul Qoyyim
Ibnu Katsir Al Hafizh Adz Dzahabi dan Ibnu Abdil-Hadi.

Meskipun mendapat serangan tasawuf dan aqidah-aqidah batil terus mengakar hingga
berhasil menguasai umat. Namun pada abad ke-12 H. Allah SWT mempersiapkan Imam
Muhammad bin Abdul Wahab utk umat Islam. Ia memepelajari buku-buku Syaikh Ibnu
Taimiyah kemudian bangkit dan memberantas kebatilan. Dengan sebab upaya beliau
Allah SWT merealisasikan kemunculan Kebangkitan Islam baru.

Da`wah Muhammad bin Abdul Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlkis diseluruh
penjuru dunia Islam. Namun daulah sufisme tetap memiliki kekuatan diberbagai wilayah
dunia Islam dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yg
dimaksudkan adl kuburan-kuburan syaikh-syaikh atau guru-guru sesat dan aqidah-aqidah
yg rusak dan batil.

Oleh Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

sumber file al_islam.chm

Kanqah

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki
banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di
negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim,
tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M
banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka
berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan
wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga
di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan
pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama.
Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari
pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain
berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah
tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi.
Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).

Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat
tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada
masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga
berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat
ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang
mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang
terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama,
dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula
ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali
dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.

Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan
zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi
kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang
memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para
anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut
futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).

Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada
zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir.
Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka,
serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh
seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.

Peranan

Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan
kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh
seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya
dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib)
dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan
agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat,
fana dan baqa`, serta faqir.

Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau
jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan
rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks.
Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:

1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.


2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.

Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda.


Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan
latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan
sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).

Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya
merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara.
Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan
yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah
pristirahatan dan pertemuan informal.

Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai
negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan
organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi
semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah
penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di
antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak
bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah,
Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah,
Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.

Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas
Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran
agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan
Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof,
ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara
Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini
dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain
itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana
dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.

Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara
ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka
memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang
bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para
pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan
pemimpin tarekat serta para pengikutnya.

Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya
mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit
pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan
keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan
kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa
Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan
dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri
dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.

Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai
ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-
Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain
sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab
(arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan,
geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka
menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera
agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu,
kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H.
John, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961;
(3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian
Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History
of Sufism in India, 1978. AH WM)

Vous aimerez peut-être aussi