Vous êtes sur la page 1sur 17

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu ditegaskan bahwa ada dua hal yang terikait hewan.
Pertama, masalah kenajisannya. Kedua, masalah kehalalannya untuk dimakan. Penjelasannya,
bahwa semua hewan yang ditetapkan kenajisannya, maka otomatis haram dimakan. Sebab
semua barang najis itu memang tidak boleh dimakan. Bahkan jangankan dimakan, disentuhpun
membatalkan wudhu. Namun tidak semua yang disebutkan haram dimakan itu pasti najis.
Racun itu haram dimakan, tetapi racun tidak najis.

Bahwa ada pendapat yang tidak menajiskan anjing, kita akui memang ada. Di antaranya adalah
kalangan mazhab Malik yang dipelopori oleh pendirinya, al-Imam Malik rahimahullah.

Kemungkinan kelompok yang Anda sebutkan itu mengacu -secara disadari atau tidak- kepada
apa yang disimpulkan oleh mazhab Malik sejak 1.400-an tahun yang lalu. Pendapat itu bukan
ijtihad kemarin sore.

Khusus dalam masalah kenajisan dan kehalalan hewan, mazhab ini boleh dibilang paling
eksentrik. Sebab selain tidak menajiskan anjing, mereka pun tidak menajiskan babi. Tentu saja
mereka punya segudang dalil dari Al-Quran dan As-sunnah yang rasanya sulit kita nafikan
begitu saja. Meski kita tetap berhak untuk tidak sepakat.

Maksudnya, pendapat itu bukan mengada-ada atau asal-asalan. Tetapi lahir dari hasil ijtihad
panjang para ulama sekaliber Imam Malik. Asal tahu saja, Imam Malik itu adalah guru Imam As-
Syafi’i. Beliau adalah imam ulama Madinah, kota yang dahulu Rasulullah SAW pernah tinggal
beserta dengan para shahabatnya.

Akan tetapi memang demikian dunia ilmu fiqih, meski pernah belajar kepada Imam Malik,
namun Imam Asy-Syafi’i tidak merasa harus mengekor kepada semua pendapat gurunya itu.
Dan kapasitas beliau sendiri memang sangat layak untuk berijtihad secara mutlak,
sebagaimana sang guru. Dan hal itu diakui sendiri oleh sang guru, bahkan sang gurujustru
sangat bangga punya anak didik yang bisa menjadi mujtahid mutlak serta mendirikan mazhab
sendiri. Di mana tidak semua pendapat gurunya itu ditelan mentah-mentah.

Mazhab As-Syafi’i sendiri justru 180 derajat berbeda pandangan dalam masalah anjing dan
babi. Buat mereka, anjing dan juga babi adalah hewan yang haram dimakan, sekaligus najis
berat . Yang najis bukan hanya moncongnya saja sebagaimana bunyi teks hadits, melainkan
semua bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila seekor anjing minum dari wadah
milik kalian, maka cucilah 7 kali. .

. ‫ع ل يه م ت فق‬, ‫وم س لم وألح مد‬: }.

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sucinya wadah kalian yang dimasuki
mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah.

Dalam pandangan mazhab ini, meski hadits Rasulullah SAW hanya menyebutkan najisnya wadah
air bila diminum anjing, namun kesimpulannya menjadi panjang.

Logika mereka demikian, kalau hadits menyebutkan bahwa wadah menjadi najis lantaran
anjing meminum airnya, berarti karena air itu tercampur dengan air liur anjing. Maka buat
mereka, najis dihasilkan oleh air liurnya. Jadi air liur anjing itu najis. Sementara air liur itu
sendiri dihasilkan dari dalam perut anjing. Berarti isi perut anjing itu juga najis. Dan secara
nalar, apapun yang keluar dari dalam perut atau tubuh anjing itu najis. Seperti air kencing,
kotoran bahkan termasuk keringatnya.

Nalar seperti ini kalau dipikir-pikir benar juga. Sebab kalau air yang tadinya suci lalu diminum
anjing bisa menjadi najis karena terkena air liur anjing, tidak logis kalau justru sumber
najisnya malah dikatakan tidak najis. Betul, kan?

Jadi meski hadits itu tidak mengatakan bahwa tubuh anjing itu najis, tetapi logika dan nalar
mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tubuh anjing itu seharusnya sumber kenajisan.

Adapun sanggahan teman Anda bahwa hadits ini bertentangan dengan ayat Al-Quran,
sebenarnya tidak demikian keadaannya. Hadits tentang najisnya anjing tidak bertentangan
dengan satu pun ayat di dalam Al-Quran. Sebab tidak satupun ayat Al-Quran yang menyebutkan
bahwa anjing itu tidak najis. Silahkan telusuri dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Naas, tidak
akan Anda temukan satu pun ayat yang bunyinya bahwa anjing itu tidak najis.

Jadi hadits dan ayat Quran tidak bertentangan, sehingga tidak perlu meninggalkan hadits
najisnya anjing. Bahkan Imam Malik sendiri pun tidak pernah menafikan hadits tentang
najisnya air yang diminum anjing itu.

Hanya bedanya antara pendapat beliau dengan pendapat As-Syafi’yah adalah bahwa yang najis
itu adalah air yang diminum anjing. Adapun anjingnya sendiiri tidak najis,sebab hadits itu
secara zahir tidak mengatakan bahwa anjing itu najis. Dan memang hadits itu sama sekali tidak
menyebut bahwa anjing itu najis, yang secara tegas disebut najis adalah wadah air yang
diminum anjing.

Logika Imam Malik inilah yang dikritisi oleh Asy-syafiiyah, yaitu mana mungkin airnya jadi najis
kalau sumbernya tidak najis. Itu saja.

Kesimpulan

Akan tetapi baik pendapat yang menajiskan atau yang tidak, keduanya lahir dari sebuah proses
ijtihad para begawan syariah kelas dunia. Kita boleh memilih mana yang menurut kita lebih
masuk akal atau yang lebih membuat kita tenteram. Tanpa harus menyalahkan atau mencaci
maki saudara kita yang kebetulan tidak sama pilihannya dengan pilihan kita.

Biarlah perbedaan pendapat ini menghiasi khazanah syariah Islam. Siapa tahu di balik
perbedaan pendapat ini Allah SWT memang berkenan memberikan hikmah yang tidak kita duga
sebelumnya. Sangat picik bila perbedaan pendapat ini malah disikapi dengan cara kekanak-
kanakan, seperti saling menyakiti, saling cela, saling hina, saling tuduh. Sungguh dahulu kedua
imam besar itu bermesraan dan saling menghormati, bahkan saling menyanjung. Lalu mengapa
kita yang tidak ada seujung kuku mereka, malah merasa diri paling benar sendiri sambil
menuding orang lain salah semua?

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

ANJING DAN AIR LIURNYA …??

Namun, bagaimana pula dengan anjing dan air liurnya?

Adakah semua ulama bersepakat akan kenajisannya seperti mana mazhab As-Syafi'i?

Jawapannya adalah; Anjing dan air liurnya termasuk di dalam perkara yang diperselisihkan
oleh para fuqaha mengenai kenajisannya. Dalam erti kata lain, para fuqaha tidak sepakat
mengatakan bahawa anjing itu najis secara mutlak. Bahkan, ada di kalangan mereka
mengatakan bahawa hanya air liurnya sahaja yang najis. Begitu juga ada yang berpendapat
bahawa ia najis secara mutlak samada air liur dan tubuhnya, dan tidak ketinggalan juga yang
mengatakan bahawa ia suci secara mutlak samada air liur dan tubuh badannya. (Zubdatul
Ahkam, Al-Qadhi Sirajuddin al-Hindi, m.s 36)

Perinciannya seperti berikut:

Mazhab Hanafi : Selagi mana ia masih hidup, ia adalah suci aini kecuali air liurnya saja
berdasarkan pendapat yang rajih di sisi mazhab mereka. Setelah mati, tubuh badannya
menjadi najis. Sekiranya ia jatuh ke dalam perigi dan masih hidup setelah diselamatkan
dalam keadaan mulutnya (termasuk air liur) tidak terkena air perigi tersebut, maka air
tersebut tetap suci dan bersih. (Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Syeikh Abdul Rahman Al-
Jaziri, m.s 12)

Mazhab Maliki, Daud dan Az-Zuhri : Ia suci secara mutlak samada air liur atau tubuh
badannya. Malah dagingnya halal untuk dimakan. Kalau teringin nak rasa dagingnya, cuba la
… hehe

Mazhab Syafi’i dan Hambali : Air liur dan tubuh badannya najis secara mutlak. Oleh itu,
barangsiapa yang menyentuh atau tersentuh dengan mana-mana bahagian dari tubuh
badannya, diwajibkan ke atasnya membasuh najis tersebut dengan tujuh kali basuhan
beserta tanah.

SANDARAN HUKUM & PANDANGAN ULAMA TERHADAPNYA

Tidak seperti babi, tiada satupun dalil yang disebutkan di dalam al-Quran mengenai hukum-
hakam yang berkaitan dengan anjing. Ia hanya disebutkan di dalam beberapa riwayat hadis
yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, itupun yang berkaitan dengan hukum jilatan anjing,
bukan kenajisannya. Antara hadis-hadis yang disebutkan adalah seperti berikut:

“Yang mensucikan bekas salah seorang kamu apabila ia dijilati anjing adalah dengan
membasuhnya sebanyak tujuh kali basuhan yang diawali dengan tanah” (Hadis riwayat
Muslim daripada Abu Hurairah RA (2/420/ 121))

Pandangan mazhab terhadap hadis ini:

Mazhab Hanafi : Menolak hadis ini kerana perawinya, Abu Hurairah RA menyanggahi apa
yang diriwayatkan di mana beliau hanya membasuh sebanyak 3 kali saja, bukan 7 kali. Di sisi
mazhab Hanafi, salah satu syarat penerimaan sesebuah hadis Ahad, para perawi hadis
tersebut mestilah tidak melakukan sesuatu yang bercanggah dengan apa yang beliau
riwayatkan. Ini adalah kerana, pengamalannya menunjukkan kepada nasyakhnya hadis
tersebut atau meninggalkannya kerana terdapat riwayat yang lain yang lebih kuat atau
makna hadis tersebut tidak memaksudkan seperti apa yang diriwayatkan padanya secara
zahir. (Al-Wajeez, Dr. Abdul Karim Zaidan, m.s 175)

Oleh itu, menurut mazhab Hanafi, seseorang yang dijilat anjing diwajibkan membasuh
sebanyak 3 kali basuhan sahaja.

Hadis ini hanya menerangkan tentang kenajisan mulut dan jilatan anjing semata-mata. Oleh
itu, tidak sah mengqiaskan kenajisan mulut dan jilatannya kepada seluruh badan. Justeru,
mulut dan air liurnya saja yang najis, bukan seluruh tubuh badannya. (Al-Fiqh Al-Islami, Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, (1/305))

Mazhab Maliki : Semua hadis-hadis yang menerangkan tentang perintah membasuh bekas
yang terkena jilatan anjing telah dimansukhkan oleh ayat 4 dari surah al-Maidah. Allah SWT
berfirman:
“Mereka bertanya kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah:
"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang
telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu
dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya”. (al-Maidah: 4)

Ayat ini diturunkan di saat-saat akhir sebelum kewafatan Rasulullah SAW. Lalu ia
memansukhkan semua hadis-hadis yang menerangkan tentang jilatan anjing tersebut.

Menurut mazhab Maliki, perintah di dalam hadis-hadis ini termasuk di dalam perkara
ketaatan (ta’abbudi), di mana di dalamnya terdapat hikmah yang ditentukan oleh Allah SWT
yang kita tidak ketahui rahsia di sebaliknya. Maka wajib kita beramal dengannya walaupun
kita tidak mengetahui hikmahnya. Dalam erti kata yang lain, pembasuhan sebanyak 7 kali itu
bukan disebabkan oleh kenajisan air liur atau tubuh badannya, tetapi sekadar perkara
ta’abbudi yang mesti diikuti perintahnya. (Al-Fiqh Al-Maliki Al-Muyassar, m.s 20 & Fiqh At-
Thaharah, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, m.s 20)

Mereka menegaskan lagi bahawa tidak wajib untuk membasuh dengan tanah, bahkan tidak
disunatkan kerana tidak semua riwayat yang menyebut mengenai kewajipannya. Malah
hadis-hadis yang menyebutkan mengenainya saling bercanggah di antara satu sama lain.
Justeru, kedudukannya menjadi dhaif berdasarkan kepada kaedah:

“Yang bercanggah wajib dicampakkan”

Oleh itu, yang dituntut hanya membasuh sebanyak 7 kali basuhan sahaja. (As-Syarhus Soghir
ma’a Hasyiah Sowi (1/85-86) dinaqal dari Fiqh At-Thaharah, m.s 49 & Nailur Authar, As-
Syaukani, (1/67))

Mazhab Syafi’i dan Hambali : Hadis ini menjadi dalil yang jelas yang menunjukkan kenajisan
jilatan anjing yang terkena bekas atau badan kita dan diwajibkan membasuh sebanyak tujuh
kali yang diawali (yg aula) dengan tanah di awal pembasuhannya. Mereka juga telah
mengqiaskan hadis ini dengan kenajisan seluruh tubuh badan anjing, bukan sekadar
jilatannya sahaja. Imam An-Nawawi menyebut di dalam Al-Minhaj:

“Yang disebut najis itu adalah: Setiap cecair yang memabukkan, anjing, babi dan apa-apa
yang lahir dari keduanya …” (Mughni Al-Muhtaj, Khatib Syarbini, (1/110))

Mereka mengukuhkan pendapat mereka dengan berdalilkan hadis seperti berikut:

“Bahawasanya Rasulullah SAW dijemput ke suatu rumah/perkampungan, lalu baginda


datang ke tempat itu. Kemudian baginda dijemput ke suatu rumah/perkampungan yang
lain pula tetapi baginda tidak menghadirinya. Maka baginda ditanya mengenai hal
demikian, lalu baginda bersabda: Sesungguhnya di dalam rumah/perkampungan kaum itu
terdapat anjing. Dan dikatakan baginya: Sesungguhnya di dalam rumah/perkampungan
kaum ini pula terdapat kucing. Kemudian baginda bersabda: Sesungguhnya kucing
bukanlah najis”. (Hadis riwayat Daruqutni dan Hakim)
Daripada hadis di atas, Khatib As-Syarbini menyebut

“Dapat memahami bahawa anjing adalah najis” (Mughni Al-Muhtaj, m.s 111)
Dengan itu, berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan, di sisi mazhab Syafi'i dan Hambali,
anjing adalah najis secara mutlak .. air liurnya atau tubuh badannya.

KESIMPULAN

Berdasarkan kepada pendapat-pendapat yang dikemukakan, terpulang kepada para


pembaca untuk memilih pendapat yang sesuai mengikut kesesuaian keadaan masing-
masing dengan tidak membungkus mana-mana pendapat yang tidak menjadi pilihannya.
Kesemua pendapat yang dikemukakan oleh para fuqaha ini adalah benar dan mereka
mendapat pahala di atas ijtihad yang mereka kemukakan. Islam itu mudah dan jangan
dipersulitkan. Sekiranya dalam hal yang disebutkan di atas merumitkan anda untuk
memegang pendapat mazhab kita As-Syafi'i, anda masih mempunyai beberapa pendapat
mazhab lain yang mungkin lebih sesuai yang dapat memberi keringan kepada kerumitan
yang anda hadapi.

Najis almukhtalafiha/yang berbeda pendapat :

1. Anjing. Pendapat mazhab Abu Hanafi, anjing tidak najis seluruhnya, karena ada hadist yang
memperbolehkan orang berburu dengan anjing yang hanya menangkap buruannya saja, buruannya menjadi
tidak najis, anjing juga dibolehkan menjadikannya penjaga kebun. Yang najis hanya mulut/air liurnya saja.
Berdasarkan hadist, Apabila bejana kalian di jilat oleh anjing hendaklah dicuci 7 kali salah satunya dengan
debu.

Menurut Imam Maliki, tidak najis sedikitpun dari anjing, krn tidak ada dalil di Al-
qur’an, kata Imam Maliki ttg pencucian 7 kali tidak menunjukkan najisnya anjing tp
menguji ketaatan seseorang.

Menurut Imam Syafi’i dan Hanafi, anjing dan babi sama-sama najis dan apa-apa
yang lahir dari keduanya adalah najis. Anjing dan babi hukumnya sama najisnya dan
termasuk najis berat. Itu waktu anjing memasukakn mulutnya ke gelas disuruh dicuci
7 kali, padahal yang paling mulia dari anggota tubuh adalah mulut, apa lagi anggota
tubuh yang lainnya. Rasulullah SAW dulu pernah di undang oleh seseorang didalam
sebuah kaum beliau datang, tapi diundang lagi sama satu orang lagi beliau tidak
datang. Lalu sahabat bertanya ttg hal tersebut, beliau SAW menjawab ‘aku datang
kesana karena di sana g ada anjingnya, sedangkan orang yang satunya di sana ada
anjingnya’, sahabat berkata tp di rumah itu ada kucing, kata Rasulullah SAW kucing
itu suci. Imam Syafii menafsirkan anjing adalah najis walau oun Rasul tidak
mengatakan najis, ttp melihat dari perbandingannya dengan kucing yang dikatakan
suci.

Pelajarannya adalah ketika kita diundang kita wajib datang, tp kalo ada maksiatnya
maka kita tidak perlu datang. Dan para ulama lebih menguatkan pendapat Imam
Syafii. Kalo mau ambil satu mazhab kita jangan mengambil yang mudah-mudahnya
saja, tapi harus mengambil keseluruhan mazhab.

Tetapi para ulama sepakat bahwa memelihara anjing dalam rumah tidak
mendatangkan malaikat Rahmat berdasarkan hadist dari Rasulullah SAW,
Memelihara anjing bisa menghilangkan rahmad, karena malaikat Jibril tidak mau
masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar2 makhluk hidup dan anjing.

1. Bangkai binatang air, spt ikan dll. Para ulama mengatakan binatang air bangkainya itu tidak najis,
berdasarkan hadist riwayat Abu Hurairah ra ketika ada seseorang datang kepada Rasulullah SAW mengatakan
ketika dia pergi ke laut, dia hanya memiliki air sedikit yang kalo dipakai wudhu dia tidak bisa minum kalo
dipakai minum dia tidak bisa wudhu, kata Rasulullah SAW air alut itu suci termasuk semua yang ada di
dalamnya. Para sahabat pernah berperang dan dalam perjalanan di tengah laut dalam keadaan lapar ada ikan
besar yang kami makan sebulan baru habis untuk satu pasukan Kecuali yang berbeda pendapat mengenai
anjing laut dan babi laut. Menurut mazhab Imam Maliki tidak najis, tetapi menurut jumhur ulama mengatakan
najis sesuai dengan namanya didaratan termasuk singa laut.

1. Binatang yang tidak ada darahnya adalah suci dan tidak najis, walaupun sebagian syafi’iah
mengatakan najis, namun ulama2 mengatakan suci. Kecuali berkenaan dengan belatung.. Menurut Imam
Syafii belatung semua najis baik yang ada di tempat suci seperti di buah maupun di tempat kotor, kecuali
yang tidak bisa dihindarkan. Menurut imam hambili, kalo tumbuhnya di tempat kotor maka najis tp kalo di
tempat suci maka dia tidak najis (spt, di apel).

1. Kodok. Menurut imam syafii hukumnya najis, menurut imam maliki tidak najis, tp lebih kuat dikatakan najis.
Termasuk juga jenis buaya. Mengharamkan makhluk2 yang menjijikkan, termasuk juga kecoa, cicek dll.

1. Binatang dikatakan bangkai apabila binatang yang mati apa bila dipotong tanpa syar’i (spt. Tanpa
menyebut nama Allah), menurut imam Syafii. Atau binatang yang dipotong dengan menggunakan tulang
walaupun dengan syar’i. Binatang yang tidak boleh dimakan walau dipotong dengan syar’i tetap menajdi najis

1. Tanduk, cula, gigi, taring, menurut hazhab imam hanafi termasuk suci karena tidak termasuk bangkai krn
tidak hidup. Tetapi kebanyakan jumhur ulama mengatakan najis, yaitu segala bagian binatang yang diambil
dalam keadaan mati. Menurut imam ahmaad hanbali Kecuali rambutnya, ttp dasar hadisnya dhoif jadi lebih
baik tidak diambil. Menurut malikiah rambutnya boleh ttp makruh. Kalo Imam Syafi’i semuanya tidak boleh,
yang merupakan pendapat yang lebih berhati-hati dan kuat.

1. Kotoran binatang yang dimakan dagingnya. Menurut Imam Maliki dan Imam Hambali suci, karena
aslinya suci. Ttp menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi najis spt kotoran sapi, kambing, burung dll. Dengan
dalil Rasulullah SAW dulu pernah menyuruh mencuci kotoran orang arab waktu buang air kecil di masjid, dan
Rasulullah SAW tidak pernah memisahkan antara kotoran manusia maupun kotoran binatang, semua kotoran
itu najis. Rasulullah SAW juga pernah melewati sebuah kuburan bersama Ibn Abbas, kata Rasulullah SAW aku
mendengar ada dua orang di dalam kuburan in sedang diadzab didalam kubur karena namimah dan yang satu
lagi tidak bersih dalam istinja. Pernah Rasulullah SAW waktu berjalan bersama Abdullah bin mas’ud, lalu
Rasulullah mau buang air kecil dan minta diambilkan batu, Abdullah bin Mas’ud mencari tiga batu dan
memberikanya kepada Rasulullah SAW lalu Rasulullah SAW mengambil dua batu dan membuang yang satu
lagi karena itu adalah kotoran unta dan merupakan najis.

1. Mani manusia dan mani binatang. Mani binatang menurut mazhab Imam Maliki dan hanafi najis, ttp
menurut imam hanbali, kalo binatang itu boleh dimakan maka suci maninya. Menurut imam syafii semua
binatang maninya suci kecuali babi dan anjing dan yang lahir dari padanya.
Berkenaan mani manusia, menurut Imam Maliki dan Imam Hanafi najis, sedang menurut Imam Syafi’i suci ttp
di anjurkan untuk dibersihkan, tetapi dengan syarat tidak bercampur dengan mazi.

Imam Syafie mengemukakan hujah berdasarkan dalil:

“Sucinya bejana di antara kamu iaitu apabila anjing menjilatnya adalah dengan dicuci tujuh kali
dan awalnya dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)

Ingin diingatkan kepada semua yang berada dalam forum


ini, hanya dalil ini sahaja yang memberitahu tentang
samak (cuci 7 kali dan awalnya dengan tanah). Tidak ada
dalil lain lagi mengenai samak ini. Siapa mendakwa ada
dalil menyuruh samak selepas menyentuh babi dia telah
berbohong atas nama Allah dan Rasul
Namun begitu, Imam Syafie menyamakan air liur anjing dengan kulit/bulunya sedangkan tidak ada
satu nas pun mengatakan perlu samak apabila dipegang dengan tangan. Cara menyamakan bulu
dengan jilatan adalah tertolak kerana dakwaan itu tidak berdalil mahupun dari dalil da'if.

Kemudia imam syafie membuat fatwa bahawa anjing ini adalah najis berat kerana perlu disamak.
Kemudian timbul isu babi. Dalam isu babi ini Imam Syafie tidak menggunakan sebarang dalil
mengenai babi perlu disamak tetapi membuat qias (perbandingan) bahawa babi lebih teruk dari
anjing kerana babi dijelaskan haram untuk dimakan di dalam Quran.

Firman Allah "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging haiwan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan
bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku."(Al-Maidah ayat 3)

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah

yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu rijs (kotor) atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah..."(Al-An'am 145)

Cara yang diqiaskan oleh Imam Syafie mengatakan bahawa babi juga perlu disamak kerana jelas
namanya di dalam Quran tentang pengharaman memakannya adalah tertolak. Ini kerana di dalam
ayat hanya mengatakan haram makan sahaja bukannya sentuh. Oleh kerana tidak ada satu dalil
pun mengatakan babi perlu disamak, maka jumhur ulama menolak pendapat Imam Syafie dalam
kes babi.

Bantahan terhadap cara qias Imam Syafie ini telah dibuat oleh banyak Ulama'. Merujuk kepada
ayat, bukan hanya babi sahaja yang disebut malah bangkai, ANAK PANAH,
mayat, darah mengalir juga disebut. Jika imam syafie mengatakan babi itu
najis dan perlu disamak, mengapa tidak disuruh samak setelah memegang
darah dan bangkai kerana ayat pengharaman makan babi juga memberitahu tentang bangkai
dan darah.

Oleh kerana tidak ada satu dalil pun sama


ada yang daif atau maudhu' sekali pun yang
mengatakan menyentuh babi memerlukan
samak, maka para fuqaha' menolaknya
kecuali aliran Syafi'iyyah
Antara hujah lain Imam Syafie ialah mengatakan maksud perkataan bahasa arab di dalam ayat al-

"rijs" adalah merujuk kepada najis. Namun ini dibangkang


an'am ayat 145 yang berbunyi

oleh ulama kerana "rijs" tidak semestinya bermaksud najis. Ia juga bermaksud keji
sebagaimana kejinya dadah tetapi ia tidak najis. Ini terbukti dapat diikuti dari ayat lain yang
memakai perkataan "rijs".

"Ia berkata: Sesungguhnya kamu sudah pasti ditimpa rijs (azab) dan kemarahan dari tuhanmu"
(Al-A'raf: 71)

"Dan Allah menimpakan rijs (kemurkaan) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan
akalnya" (Yunus: 100)

Berdasarkan huraian begitu jelas bahawa pendapat Syafie dengan menajiskan babi dan
mewajibkan samak adalah tertolak kerana pendapat itu tidak berdalil.

Mengenai air liur anjing juga Imam Nawawi berpendapat tanah juga boleh diganti dengan sabun
atau bahan kimia yang berupaya membersih. Ini kerana tanah itu hanyalah cadangan terbaik di
zaman Nabi. Jika kita pergi ke Yaman (Syafi'iyyah), mereka tidak mengenal erti samak namun
mereka hanya membasuh dengan sabun. Isu anjing ini menjadi khilaf di kalangan ulama.

Namun yang paling ingin ditekankan di sini, isu status menyentuh babi dan badan anjing adalah
mengikut jumhur tidak najis dan tidak perlu disamak kerana tidak ada 1 dalil pun menyuruh
demikian. Babi tidak menjadi pertikaian ulama kecuali Imam Syafi'e sahaja. Namun hujah Imam
Syafie ini ditolak dengan hujah dalil kerana Imam Syafie sendiri melarang kita bertaqlid (ikut
buta2) kepadanya. Kita menghormati Imam Syafie kerana kesarjanaannya tapi tidak semestinya
fatwanya tidak boleh dikritik kerana beliau bukan maksum.

"Dari Imam Abi Hanifah, Malik, as-Syafie dan Ahmad rahimahumullah mereka semua berkata: Tidak
dihalalkan bagi seseorang untuk memberi fatwa dengan kata-kata kami atau berpegang dengan
kata-kata kami selagi dia tidak mengetahui dari mana kami mengambil kata-kata tersebut".(Lihat:
Jld. 1. Hlm. 91. Abu 'Umar Yusuf bin Abdulbar an-Namri al-Qurtubi.)

"Berkata Imam as-Syafie: Setiap apa yang telah aku katakan, kemudian apa yang dari Rasulullah
sallallahu 'alaihi wa-sallam bertentangan dengan perkataanku sekalipun (perkataanku itu
dianggap) betul, maka hadith Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam mesti diutamakan, oleh itu
janganlah kamu bertaqlid dengan qaulku (kata-kataku)". (Lihat: ‫ال‬ (17) Ibn Qaiyyim al-
Jauzi.)

Imam as-Syafie berulang kali berwasiat tentang haramnya bertaqlid buta kerana bertaqlid akan
menyempitkan ilmu:

Amaran Imam Syafie: “Sesiapa bertaqlid kepada


seseorang dalam perkara mengharamkan atau
menghalalkan sesuatu sedangkan hadith sahih
bertentangan dengannya dan menegah bertaqlid kerana
diperintahkan beramal dengan sunnah, maka dia telah
mengambil orang yang ditaqlidkan sebagai tuhan selain
Allah „Ta‟ala”. (Lihat: (10/84).
AMARAN: MENGENAI KASUT KULIT BABI, TIDAK ADA SATU DALIL PUN MENGHARAMKANNYA. OLEH
KERANA IA TIDAK NAJIS DAN TIDAK PERLU DISAMAK, MAKA TIDAK MENJADI MASALAH
MEMANFAATKAN BANGKAINYA ATAU BANGKAI HAIWAN LAIN SEKALI PUN TIDAK DISEMBELIH.

“Rasulullah SAW mendapati bangkai kambing kepunyaan Maimunah, Rasulullah SAW berkata:
“sebaiknya kalian memanfaatkan kulitnya”. Mereka menjawab: “ini adalah bangkai kambing”.
Rasul berkata: “yang diharamkan adalah memakannya
(bukan memanfaatkannya)”. (HR. Bukhari-Muslim)
Ertinya: "Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan
kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan
dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, „Ini
halal dan ini haram,‟ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (An-Nahl 116)

Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil
Mursalin,
Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Seorang muslim tidak diperbolehkan untuk memelihara anjing, kecuali jika


anjing
tersebut digunakan untuk berburu atau pun menjadi anjing penjaga, dengan
syarat
anjing tersebut tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam rumah. Paling
tidak
ada 3 sebab utama yang perlu dipertimbangkan bila seseorang ingin
memelihara
anjing.

Rumah Yang Ada Anjingnya Tidak Dimasuki Malaikat

Rasulullah SAW melarang kita memasang gambar bernyawa di dalam rumah serta
dilarang memelihara anjing. Karena rumah yang ada gambar bernyawa dan
anjingnya, malaikat Rahman tidak akan masuk ke dalamnya. Sebaliknya, jin
dan
syetan sangat menyenangi tempat-tempat tersebut.

Dari Salim dari bapaknya dari Nabi SAW beliau bersabda: ?Barangsiapa yang
memelihara anjing selain anjing untu memburu atau anjing penjaga, maka
setiap
hari pahala orang tersebut akan dikurangi sebanyak 2 qiroth? (HR. Muslim
3/1201
No. 1574)

Dari Aisyah Ra ia berkata: Rasulullah SAW pernah berjanji dengan Jibril


bahwa
pada suatu waktu Jibril akan datang pada beliau, kemudian tibalah waktu
tersebut tetapi Jibril belum datang juga dan pada waktu itu beliau sedang
memegang tongkat lalu beliau melemparkannya, beliau pun berkata: Allah
tidak
akan menyalahi janji-Nya demikian pula utusan-Nya. Kemudian beliau melihat
ada
seekor anjing di bawah tempat tidur, beliau pun bertanya: ?Wahai Aisyah!
Kapan
anjing ini masuk ke sini? Aisyah menjawab: ?Demi Allah, aku tidak
mengetahuinya? kemudian Rasulullah SAW memerintahkan untuk mengeluarkan
anjing
tersebut. Tak lama kemudian Jibril pun datng, lalu Rasulullah SAW bertanya:
?Engkau berjanji padaku lalu aku menunggumu tapi engkau tidak datang?
Jibril
menjawab: ?Ada anjing di rumahmu yang menghalangiku, karena kami tidak akan
memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing ataupun gambar-gambar?(HR.
Muslim
3/1664 No. 2014)

Kedua hadis di atas dan hadis-hadis yang lainnya bisa dijadikan rujukan
perihal
larangan untuk memelihara anjing bagi seorang muslim kecuali anjing yang
digunakan untuk berburu dan anjing penjaga sebagimana dikemukakan di atas.

2. Anjing Tidak Boleh diperjual-belikan

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,?Ayahku membeli budak yang kerjanya
membekam. Ayahku kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepada
ayah
mengapa beliau melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah SAW melarang
untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan.
Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi
riba
serta melaknat pembuat gambar. (Hadis diriwayatkan Bukhori dalam shahihnya
no
2084 Bab Al-Buyu`)

3. Masalah Resiko Najis Anjing :

Para ulama berbeda pendapat tentang najisnya anjing dalam hukumnya. Secara
ringkas kami bisa kami sebutkan sebagai berikut :

a. Madzhab Hanafi

Mereka berpendapat bahwa anjing secara zatnya adalah mahluk yang suci.
Madzhab
Hanafi berpendapat yang najis hanya air liur di sekitar mulut dan hidungnya
dan
juga kotorannya.

b. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki lebih ringan lagi. Menurut mazhab ini yang merupakan najis
dari
anjing hanya kotorannya sebagaimana binatang lain.

c. Madzhab Syafi'i dan Hambali

Adapun Madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa anjing adalah binatang
najis secara keseluruhannya. Pendapat yang kuat adalah pendapat Madzhab
Hanafi,
sesuai dalil ayat dan hadits berikut:

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"


Katakanlah:
"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang
buas (anjing) yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu
mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah
dari
apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas
itu
(waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
cepat
hisab-Nya" (QS Al-Maa-idah 4)

Najisnya tergolong najis mughallazhah atau najis yang berat, karena itu
tidak
cukup mensucikannya hanya dengan air saja, tapi harus tujuh kali dan salah
satunya dengan tanah. Hal itu sesuai dengan petunjuk langsung dari
Rasulullah
SAW terhadap masalah najis anjing.
Sabda Rasulullah SAW :

"Pensucian bejana seorang diantara kalian, jika terkena hirupan anjing


adalah
dicuci tujuh kali salah satunya dengan tanah" (HR Muslim).

"Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda:" Jika anjing
menjilat
pada bejana seorang darimu maka buanglah (airnya) kemudian cucilah tujuh
kali"
(HR Muslim).

Hadits ini menguatkan pendapat Madzhab Hanafi bahwa yang najis hanya air
liur
di sekitar mulut dan hidung. Dan air yang kena jilatan anjing, maka menjadi
najis oleh karena itu Rasulullah saw. menyuruh membuangnya.

Namun bila anjing itu untuk berburu, maka ada keringanan untuk
memeliharanya.
Juga bila untuk menjaga rumah dari maling. Namun anjing itu tidak boleh
masuk
ke dalam rumah atau menjadi hewan yang dibiarkan keluar masuk rumah.
Apalagi
sampai tidur dengan anjing, karena pertimbangan masalah di atas.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Subyek: Najisnya anjing? Thu Dec 27, 2007 1:58 pm

Secara umum, sebenarnya para ulama berbeda pendapat tentang najisnya anjing.

Madzhab Hanafi berpendapat yang najis hanya air liur di sekitar mulut dan hidungnya, dan juga
kotorannya.

Madzhab Maliki lebih ringan lagi, yang najis dari anjing hanya kotorannya sebagaimana binatang
lain.
Adapun Madzhab Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa anjing adalah binatang najis secara
keseluruhannya.

Dengan dermikian jika Anda berpegang pada madzhab Hanafi dan Maliki maka selama tidak
menyentuh air liur dan kotorannya dan memegang bagian tubuh lainnya hal itu diperbolehkan dan
tidak najis. Namun, kalau ingin berhati-hati maka lebih baik mengambil mazhab Syafii dan
Hambali. Toh, tidak terlalu sulit membersihkan tangan atau bagian badan lain yang tersentuh
anjing sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.

edia melaporkan seorang lelaki Muslim membela 40 ekor anjing dari

pelbagai jenis baka. Dalam sebuah negara yang pengamalan agamanya tidak

terbuka seperti Malaysia, tindakannya itu mengundang pelbagai reaksi.

Sebenarnya, lelaki itu sudah lama mendedahkan aktivitinya di laman

blognya (www.mymki.com <http://www.mymki.com>) beberapa tahun yang lalu.

Walaupun pelbagai tohmahan dan kritikan dilemparkan oleh warga maya

kepada dirinya, lelaki itu tetap teguh pendirian untuk terus membela

anjing kesayangannya. (Kosmo 28 Mac 2010

<http://www.al-adib.net/wp-content/uploads/2010/04/Bela-Anjing.pdf>)

“Saya bermazhab Maliki.” Itu hujah pendek lelaki tersebut. Menurutnya,

mazhab Maliki membenarkan seorang Muslim membela anjing.

Artikel ini bukanlah bertujuan untuk membicarakan hukum memeluk anjing,

kenajisan anjing atau hukum membela anjing. Tetapi, artikel pendek ini

akan menjurus kepada apakah sandaran hujah kita dalam mengamalkan agama.

Bagaimanapun, untuk lebih adil, perbuatan lelaki itu memberikan kasih

sayang pada haiwan adalah satu akhlak yang terpuji.

Apabila kita menyemak teks fekah klasik, para sarjana Islam telah

membincangkan secara terperinci tentang hukum membela anjing. Semuanya


sepakat bahawa anjing tidak boleh dibela melainkan jika mempunyai tujuan

seperti untuk menjaga tanaman, memburu binatang, perlindungan, menjaga

rumah dan sebagainya. Kebenaran ini adalah kebenaran bersyarat. Anjing

itu mesti ada tugasannya, bukannya belaan untuk menjadi haiwan kesayangan.

Para sarjana Islam membuat formula ini berdasarkan hadis Nabi yang

sahih. Daripada Abdullah bin Umar bahawa Rasulullah bersabda:

‫م‬ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫وم ي‬ ‫عمله م‬ ‫يوم‬ ‫ي‬

Maksudnya: Sesiapa yang membela anjing kecuali anjing untuk mengawal

ternakan dan yang dilatih untuk memburu, maka pahala amalannya akan

dikurangkan pada setiap hari sebanyak dua qirat. (Dalam hadith yang

lain, satu qirat dinisbahkan sebesar gunung Uhud). /(al-Bukhari,

al-Jami’ al-Sahih al-Mukhtasar, Dar Ibn Kathir, Beirut, 1987, jil. 5,

hlm. 2088, no. hadith: 5165. Hadis ini juga dilaporkan dalam teks yang

berbeza dalam pelbagai rekod dan laporan.)/

Bagaimanapun, menurut /Mausu’ah al-Fiqhiyah/ (Ensiklopedia Fekah),

terdapat pandangan minoriti dalam Mazhab Maliki yang membenarkan

pembelaan tanpa sebarang fungsi. Sebaliknya, majoriti sarjana dalam

mazhab tersebut menegahnya melainkan untuk tujuan pemburuan, pertanian

dan penjagaan. Ini bermakna lelaki tersebut hanya sekadar menyebut

sahaja dirinya bermazhab Maliki, tanpa tahu perbincangan sebenar dalam

mazhab tersebut.
Persoalannya, bolehkah kita memilih pendapat minoriti yang bertentangan

secara jelas dengan autoriti hadis?

Jawapannya juga jelas, tidak boleh. Ini kerana kata-kata Rasulullah

s.a.w. adalah sumber yang lebih utama untuk diikuti. Pandangan sarjana

pula terikat dengan sumber tersebut. Sebarang pentafsiran atau kefahaman

tidak boleh bercanggah dengan mana-mana autoriti yang sahih. Ini

bermakna, pandangan minoriti dalam Mazhab Maliki yang membenarkan anjing

dibela tanpa syarat, bercanggah dengan hadis sahih yang dinyatakan di atas.

Pandangan sarjana dalam mana-mana mazhab tidak bersifat maksum

(terpelihara daripada kesalahan). Mereka boleh tersalah atau tidak

menepati kehendak teks. Apatah lagi jika pandangan itu adalah pandangan

yang bertentangan dengan kefahaman majoriti sarjana daripada mazhab itu

sendiri dan juga mazhab yang lain.

Secara prinsipnya, apabila berlaku pertembungan antara kata-kata Nabi

dengan pendapat seseorang sarjana, maka kata-kata Nabi itu perlu

diutamakan dan diguna pakai. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik

sendiri:

Maksud: “Semua kata-kata manusia boleh diterima dan ditolak, melainkan

kata-kata Nabi Muhammad s.a.w.” Ini adalah kaedah emas dalam beragama.

Malahan Imam al-Shafie juga berkata:


‫ول ي ي خ ل ف م ل حدي ث صح ذ‬ ‫و‬ ‫ول ي ف‬ ‫ل حئ‬

Maksud: “Sekiranya sesuatu hadis itu sahih dan bercanggah dengan

kata-kataku, maka campakkanlah kata-kataku ke dinding (tidak diambil).”

Ini bermakna apabila terdapat suatu pandangan para Imam yang bercanggah

dengan hadis yang sahih, mereka sendiri meminta kita meninggalkan

pandangan mereka.

Sehubungan itu, untuk lebih sejahtera dalam beragama, hendaklah kita

mengutamakan kata-kata Nabi s.a.w. lebih dari kata-kata sarjana. Ini

kerana Nabi adalah maksum. Sebaliknya kefahaman sarjana pula berpotensi

tidak menepati kehendak nas. Apabila berhujah, gunakanlah sandaran yang

berautoriti dari al-Quran dan al-Sunnah. Kemudian, barulah kita merujuk

kepada pandangan dan kefahaman para sarjana mazhab tentang teks tersebut.

Sekiranya kita tidak mengikut kaedah ini, akan ada golongan yang suka

mengikut pendapat yang pelik serta bertentangan dengan tuntutan dan

kefahaman ajaran Islam yang sebenar. Mereka akan berhujah, “ada tokoh

sarjana berpendapat sebegitu. Jadi, kami melakukannya.” Contohnya,

berkaitan isu tudung. Jika kaedah ini tidak digunakan, mereka akan

memetik beberapa pandangan sarjana Islam mutakhir yang mengharuskan

untuk menanggalkan tudung dalam keadaan dan tempat tertentu. Jika kita

membiarkan masyarakat memilih sesuatu pandangan untuk menghalalkan

sesuatu perkara, dan pandangan itu tiada sandaran al-Quran dan

al-Sunnah, maka agama ini akan terbuka kepada pelbagai tafsiran yang
akan merosakkan ajarannya.

Justeru, utamakanlah kata-kata Nabi s.a.w. sebelum kata-kata manusia

seluruhnya.

Vous aimerez peut-être aussi