Vous êtes sur la page 1sur 2

Minggu Pagi yang Indah

By Nature Morte

Aku terbangun menjelang adzan tubuh berkumandang. Bukan bangun


normal tentu saja karena hari itu matahari belum siap menyapaku seperti hari-
hari biasanya. Jauh dari utopia bangun indah, dengan senyuman gigi putih wajah
segar dengan blush on, seperti iklan tv. Kalau istilah penerbangan, inilah Hard
Waking! Terbangun tiba-tiba dengan sensasi aneh menjalari seluruh tubuhku.
Belum sempat aku bangkit, tubuhku menggigil gemetar seperti orang kesetanan.
Telingaku mendengungkan nada-nada sumbang dan sinar lampu memicu
ledakan hebat di belakang bola mataku. Oh migrain yang sempurna!

Istriku sudah tidak di sisiku, suara air keran memberi petunjuk bahwa
Adinda sedang mandi. Oh Migrain yang sempurna, betapa kau tau bahwa tidak
dengan dirimu kurencanakan untuk membatalkan janji. Ya, Adinda yang tiba dari
Jogja kemarin dini hari mengajakku olahraga pagi ini di Taman Cijantung. Cukup
alasan pembatalan yang soft saja sebenarnya, seperti:

“Adinda yang Abang cintai. Sungguh cantik nian Adinda pagi ni. Hmmm,
gimana kalo kite dak usah jalan-jalan pagi aja, abang kan mainkan gitar
mengiring Adinda bernyanyi, sambil lah kite berbincang berkawan sepiring
pisang goreng dan teh kopi. Gimana? Kite ni kan jarang ketemu, kerasa
romantis nian kalo pagi ni kita sambut mentari berdua saja, Abang
bersama Adinda tercinta, di kontrakan berantakan yang mirip sarang pelaut
ini. Setuju kan?”

“Abang, bangunlah. Sebentar lagi adzan.”

Oh migrain yang begitu setia. Inilah petaka dimulai. Perjalanan terasa


panjang ke kamar mandi melewati dapur yang tidak lagi kukenal. Seingatku tak
ada warna putih di dapurku, apalagi parfum pisang goreng kesukaanku ini. Hah,
ini bukan dapurku lagi! Di kamar mandi, kupaksakan guyurkan air dingin yang
membuat denyutan kepala bertambah dahsyat, dengungan di kupingku
sekarang dimeriahkan marching band dengan dentuman nada yang makin tidak
karuan. Oh, migrain tercinta! Betapa kau juga membuat sholat subuh berjamaah
dua rokaat dengan jawara idola surat pendek Al Kautsar dan Al Ikhlas menjadi
serasa berjam-jam. Begitu lega rasanya ambruk terbaring setelah berhasil
mengucapkan salam.

Itulah pentas pembuka lakon keluarga bahagia pagi ini.

Untuk acara utama, telah tersedia kicauan sang Adinda tercinta. “Aih,
Abang kenapa? Migrainnya kambuh ya?”. Pagi ini dengan setelan olahraga, Sang
Adinda merawatku yang terpejam mengharapkan redanya serangan migrain. Tak
perlu aku ceritakan detailnya, tapi hanya itulah nada cemas yang lembut dan
indah untuk mengantar orkestra yang pedas dan penuh semangat. Disela
dengingan dan dentuman dahsyat dikupingku, mengalir kata-kata tidak jelas dari
sang adinda tapi sepatah dua patah kata bisa ku tangkap, seperti rokok, kopi,
dan kebanyakan main PS.
Dan kau tau kawan, sungguh mengherankan bahwa sedikit sekali wanita
yang menjadi orator besar. Aku hanya mengingat Bunda Theresa saja yang
pidatonya terangkum dalam buku pidato-pidato yang mengguncang dunia.
Ketika Adinda yang begitu mencintaiku memberikan nasihat pagi ini, potensi
besar itu dapat jelas kulihat. Wanita bisa bercerita panjang lebar dan tinggi
tentang satu hal kecil saja. Dan mereka sanggup berkicau lama sekali sambung
menyambung dengan hal kecil tadi tanpa takut kehabisan emosi, kata dan tema.
Sungguh inspirasi dan kreatifitas yang luar biasa! Suatu saat kupikir akan
muncul pula teori evolusi bahwa organ yang berkaitan dengan berbicara pada
wanita akan berkembang pesat diiringi mereduksinya sistem indera
pendengaran.

Sembari berkicau itu pula, kopi hangatku riwayatnya berakhir tragis di


wastafel, dikudeta oleh segelas teh hangat manis. Rokokku tak lagi
disembunyikannya di balik tumpukan buku. Kini dia begitu jelas dihancurkan
dihamburkan di dalam tempat sampah. Bubur ikut berjaya mengejek gigi-gigiku
yang masih lengkap satu set ini. Oh Migrain yang baik hati, lihatlah! Habis sudah
semua kini. Dapurku sudah diduduki ketika aku tidur, sekarang kemerdekaan
hidupku terjepit pula dengan serangan ini. Dan ini gara-gara kau!

Migrain tercinta, inilah yang terjadi jika kau ikat wanita yang mencintaimu
dengan cincin termahal di dunia. Cincin yang akan kau bayar cicilannya seumur
hidupmu, cincin yang mengikatmu dengan dipersaksikan seluruh alam dan
malaikat, cincin yang dipasangkan dengan lantunan akad yang menggetarkan
Arsy. Dan pemilik cincin inilah yang semakin indah dimataku yang terpejam,
yang semakin merdu di telingaku yang penuh dengung dan dentum. Dia tidak
gemerlap seperti lampu kristal atau lembut menggoda rayuan putri keraton,
berkah yang sangat aku syukuri, apalagi ketika migrain tercinta ini menjenguk.

Migrain yang menutup mataku telah membuka mata yang lain. Terima
kasih telah datang, karena kau ini aku tak butuh membuka mata untuk melihat
kemilau berlian cinta Sang Adinda untukku. Sungguh berlian yang terlalu besar
untuk hanya menjadi hiasan mata cincin pernikahan yang ingin terus aku angsur
hingga akhir nafasku. Terima kasih pula kau beri alasan untuk bisa tidur lagi,
menyelamatkanku dari ungkapan cinta kasih saat ini, dan tanpa khawatir cinta
kasih yang mengalir dalam lantunan orkestra Sang Adinda tercinta
membangunkanku. Sungguh minggu pagi yang indah.

Vous aimerez peut-être aussi