Vous êtes sur la page 1sur 4

Abdul Aziz Sachedina

Al-Quran dan Kebebasan Beragama


Pemikiran Abdul Aziz Sachedina
Abdul Aziz Sachedina adalah seorang guru besar Studi Agama di Universitas
Virgina peneliti senior pada center for strategis and International studies di
Washington DC. Salah satunya adalah karyanya Islam Roots of Demokratic Plurasim
yang elah diterjemahkan oleh penerbit serambi 2004 dengan judul “beda tapi setara”
dalam arti sebagai akar-akar plurasim dan demokrasi dari islam, tentunya hal ini akan
menunjukan bagaimana umat islam memanifestasikan ayat-ayat atau teks keagamaannya
yakni al-quran yang berbicara tentang plurasim.
Istilah ini muncul dari barat, hal itu bias dipahami mengapa sebagian kaum
muslimin tidak setuju dengan adanya ini. Namun yang perlu dipahami adalah ketika kita
memakai istilah pluralism, maka terdapat beragam makna. Salah satunya adalah
“relativisme kebenaran agama” (Nisbiyah al-Haqiqah al-Diniyah) demikian apa yang
telah dikatan oleh Abdul Aziz Sachedina.
Secara pribadi Abdul Aziz sendiri tidak setuju dengan pemaknaan itu, baginya
pluralism adalah “pondasi kehidupan bagi agama-agama”. Kita bisa melayak ayat-ayat
al-quran yang mendukung lpluralism ini sebagai satu rahasia dari lautan rahsia Allah.
Salah satunya Jika Tuhanmu Menghendaki Maka Kalian Akan Dijadikan Umat Satu,
ternyata Allah tidak berkehendak untuk menyatukan umat manusia. Dengan demikian
keragaman agama disini yang disinyalir ayat tadi merupakan rahasia dan kehendak
Allah. Dan pluralisme sebagai dasar kehidupan semua agama mengajak kita membuka
dan memahami rahsia Allah itu. Keragaman agama sebagai rahasia Allah meliputi juga
agama-agama lain yang biasa disebut “Agama-agama Ibrahim”.
Dalam penilaiannya tentang pluralisme Abdul Aziz kadang bersandar pada ulama
lain seperti Rasyid Ridho, Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya dalam satu artikelnya
berjudul is Islamic revelation an abrogation of judaco-christian revelation? Islamic self
identification, menyatakan: Rasyid Ridho tidak mensyaratkan imam kepada kenabian
Muhammad bagi kaum yahudi dan nasrani yang berkeinginan untuk diselamtkan dank
arena itu, ini secara implicit menetapkan validitas kitab yahudi dan nasrani.
Namun dalam hal ini Adian Husaini menilai bahwa sachedina tidak cermat dan tidak
lengkap dalam mengutip Tafsir al-Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal
dalam tafsir al-Manar jilid VI yang membahas tentang keselamatan ahlul kitab (yahudi
dan nasrani) disebutkan bahwa Qs 2:62 (orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani
dan orang-orang Shabiin[1], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[2], hari
Kemudian dan beramal saleh[3], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati).

dan 5:69 (Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani,
siapa saja[4] (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati).
adalah membicarakan keselamatan ahlul kitab yang kepada mereka dakwah nabi
Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi ahli kitab yang dakwah Islam sampai
kepada mereka (sesuai rincian Qs 3:199) Rasyid Ridho menetapkan lima sayarat
keselamatan, dua diantaranya adalah:
1. Beriman kepada Allah dengan iman yang benar
2. Beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw
Al-Manar juga menyebutkan bahwa kaum yahudi dan nasrani tidak bisa disebut ahlul al-
Fathrah, yang berhaq memperoleh keselamatan dan tidak ada alas an untuk membebaskan
mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang
benar.
Dalam pendapatnya mengenai teks keagamaan yakni al-quran dimana berbicara
dalam konteks agama yahudi dan nasrani, al-Quran menyebut mereka sebagai ahli kitab,
pemeluk agama yang memiliki wahyu. Meskipun al-Quran juga mengakui mereka
“memalsukan kitab sucinya” nama al-Quran tetap menyebut nama mereka sebagai ahli
kitab yang wajib diterima keberadaannya dan dihormati. Diayat lain dalam surat Yunus:
99 dan jika tuhanmu menghendaki, pastilah semua manusia di muka bumi ini akan
beriman. Lalu apakah kamu (wahai Muhammad) ingin memaksakan manusia untuk
beriman ? adalah tidak masuk nalar al-quran jika membenci dan memaksa seseorang
untuk beriman.
Secara khusus ayat ini ditunjukan kepada Rasulullah Saw, karena beliau tidak di
bebani oleh Allah untuk bertanggung jawab agar seluruh manusia masuk Islam. Dalam
ayat lain juga di sebutkan laa ikraaha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama) prinsip-
prinsiip tadi menunjukan bahwa Allah tidak menginginkan pemaksaan dalam
beragama. Pandangan dan sikap menginginkan semua umat manusia beriman
berislam bertentangan dengan kemauan Allah yang menginginkan keberagaman
agama
Sehingga bagi Sachedina kita harus membedakan antara “kebenaran agama”
(al-haqiqah al-diniyah) dengan “fanatisme agama” (al-Ta’asub al-dini). Seorang
pemeluk agama sah-sah saja menyakini kebenaran agamanya. Namun ketika keyakinan
itu bergumpaldengan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain, itulah fanatisme
agama. Pluralisme agama membenci kebencian dan memusuhi permusuhan atas dasar
perbedaan agama. Tapi fanatisme agama malah menganjurkannya, dua hal yang berbeda
bukan? Al-quran mengakui pluralisme sebagai dasar relasi social umat manusia bersama
nilai-nilai lain seperti keadilan dan kesetaraan. Nilai-nilai tidak hanya menjadi haq dasar
umat muslim saja, namun juga seluruh umat agama lain.
Dan mengenai skularisme sachedina membagi kedalam dua hal:
1. Skularisme ekstrim yakni yang memusuhi agama dan mengingkari eksistensi
Tuhan
2. Skularisme dalam arti pengakuan terhadap haq dan prinsip sipil (sifah
madaniyah).
Dengan demikian ia lebih setuju dengan istilah sekularitas disbanding sekularisme
dalam sebuah Negara. Contohlah dalam pemaksaan kewajiban shalat, puasa, hijab dan
lain-lain. Negara tidak memiliki haq sama sekali atas keimanan, keyakinan dan ibadah
manusia. Bahkan Rasulullah sendiri tidak pernah memasuki kawasan ini untuk
memaksakan ibadah, dalam al-quran disebutkan fadzakkir innama anta mudzakkir
(berilah peringatan karena kamu (wahai Muhammad) hanya (memiliki haq) untuk
mengingatkan, kamu sekali-kali bukan untuk menguasai). Jadi masalah keyakinan dan
keimanan merupakan kawasan individu dan Tuhannya saja.
Dan hal demokrasi dan kebebasan menurutnya tidak akan bisa tanpa ada
keduanya. Karena system demokrasi merupakan manifestasi dari kebebasan manusia
untuk menyampaikan pendapat, memiliki keyakinan, dan berkumpul tanpa merugikan
orang lain. Kebebasan dalam lingkup aturan, konstitusi dan kedamaian. Ini adalah makna
dan syarat kebebasan, karena Islam tidak mengakui kebebasan mutlak.
Dalam mentafsirkan al-quran bagi Sachediana perlu adanya tiga pendekatan dasar
yakni:
a. Pendekatan tradisional, yaitu mencari asbabun nuzul teks
b. Pendekatan teologis, yakni menjelaskan sudut-sudut pandang teologis yang
dianut oleh berbagai madzhab teologi
c. Pendekatan mistis, yakni menafsirkan dengan menggunakan alegorisasi luas
terhadap bahasa al-quran supaya bisa menangkap makna batiniah sebuah
teks.

[1] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang
menyembah bintang atau dewa-dewa.
[2] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah
termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka
mendapat pahala dari Allah.
[3] ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama islam, baik yang berhubungan dengan agama
atau tidak.
[4] orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah
termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka
mendapat pahala dari Allah.

Vous aimerez peut-être aussi