Vous êtes sur la page 1sur 8

"Dok, tolong anak saya, Dok. Sejak tadi sore badannya demam. Panas.

Dan sekarang sudah


semakin tinggi. Ditambah kejang juga. Ada apa dengan anak saya, Dok? Tolong dia, Dok!" jerit
ibuku.
 
"Sepertinya anak ibu terkena gejala step. Harus cepat ditangani! Suster, tolong bawa pasien ini
ke ICU. Gejala step. Segera berikan pertolongan pertama!" perintah Pak Dokter sigap.
 
"Baik, Dok," kudengar beberapa orang suster menimpali.
 
"Ibu dan Bapak, mohon tunggu di luar. Saya dan tim akan mengupayakan yang terbaik untuk
kesembuhan anak Bapak dan Ibu," kata Pak Dokter coba menenangkan.
 
"Iya, Dok. Tolong sembuhkan anak saya." sahut ibuku lirih sambil menahan tangis diiringi kilau
tetesan air matanya.
 
Sementara ayahku, tak satu katapun terucap dari bibirnya. Hanya raut wajah yang begitu
rumit; seperti poligami tak harmonis antara ekspresi takut, sedih, dan harap. Meski tak
berucap sepatah katapun sejak sampai di rumah sakit, ayahkulah yang pertama kali punya
gagasan untuk membawaku ke sini.
 
Tempat ini begitu sepi. Tak kudengar lagi sedu-sedan tangis lirih ibuku. Hanya samar-samar
suara Pak Dokter bersama sejumlah orang yang sepertinya sedang sibuk menangani sesuatu.
Aku tak tau pasti itu apa. Sepertinya menyangkut nyawa seseorang.
 
Pandanganku gelap. Beberapa saat setelah mulai kejang tadi, pandanganku memburam. Dan
kini... semakin gelap. Suara mereka pun semakin lirih. Seperti menjauh. Sekelilingku semakin
gelap. Rasanya seperti menutup mata yang sedang terpejam. Hening. Kelam.
 
Ada apa ini?
 
Di mana aku?
 
Rasanya baru sesaat aku hidup di alam baru yang dijanjikan Tuhan padaku. Benar-benar
sesaat, aku bahkan belum bertemu dengan semua yang Tuhan ajarkan padaku. Dan kini,
sekelilingku kembali seperti saat aku masih di rahim dulu. Gelap.
 
Apa yang sebenarnya terjadi?
 
"Wahai hamba-Ku," sebuah seruan lantang memutus rangkaian tanyaku.
 
"Apakah kau sudah sadar?" aku kenal suara ini! Ini suaraNya. Suara Tuhanku tercinta!
 
Aku tersentak bangun. Di sekelilingku ternyata sudah bukan dunia monokromatis yang gelap
lagi. Aku tidak ingat persis di mana ini. Yang pasti di sini aku telah bersama dengan Tuhan dan
sejumlah orang yang tampak begitu khidmat, seperti sedang menunggu perintah. Aku tak
mengenal mereka tapi... dari kekhidmatan mereka, mereka tampak seperti malaikat.
 
"Apakah kau sudah sadar, wahai hambaKu?" tanyaNya kembali.
 
"Ah... Iya, Tuhanku," jawabku sedikit terbata-bata.
 
"Taukah kau mengapa kau ada di sini?"
 
"Ampuni hamba. Hamba tidak tau, Tuhanku. Engkaulah yang Mahatau atas segala sesuatu."
 
"Hmm... Aku membawamu ke sini karena waktumu telah hampir habis. Kau lupa?"
 
"Ee... Maafkan hamba, Tuhanku. Sepertinya kehidupan dunia telah membuat hamba lalai akan
sejumlah ilmu yang pernah Engkau ajarkan sebelum ini. Hamba mohon ampun. Jika memang
Engkau ingin hamba kembali..."
 
"Oo! Tunggu dulu! Bukan itu yang Kuinginkan sekarang, duhai hambaKu. Ada beberapa pilihan
yang ingin Kutawarkan padaMu... Dan janganlah berbesar hati dahulu! Kau bukan satu-
satunya yang mendapat tawaran ini," sela Tuhan dengan segala ilmuNya. Baru sesaat rasa
besar hati itu terbesit di benakku, Dia sudah langsung menampiknya. Tiada yang mampu
menandingiNya memang.
 
"Waktumu di dunia sebentar lagi habis. Namun, Aku ingin memberimu kesempatan kedua
sebelum ini semua benar-benar berakhir. Aku akan memberimu beberapa tawaran. Di tawaran
pertama ini, Aku ingin Kaupilih salah satu dari dua pilihan yang akan Kuberikan. Kau tidak
punya kesempatan menawar balik. Kau hanya perlu memilih SATU dari dua pilihan yang
Kutawarkan padamu. Kau siap?"
 
"Hamba siap, wahai Tuhanku," sahutku segera. Aku tak tau tawaran apa yang akan
diberikanNya padaku. Aku tak pernah menyangka ini akan terjadi. Apakah Tuhan pernah
memberitaukan tentang ini padaku sebelum Dia menurunkanku ke dunia? Ah, aku tak begitu
ingat.
 
Jika memang pernah, untuk apa Dia melakukan ini?
 
Bukankah Dia Mahatau?
 
Apa gunanya Dia menawariku padahal Dia pasti tau apa yang akan kupilih?
 
Jangankan pilihanku, apa-apa yang kupertanyakan dalam diamku sekarang pun pasti telah
diketahuiNya.
 
Mengapa Dia melakukan ini? Apakah alasanNya melakukan ini juga pernah diajarkanNya
kepadaku sebelum aku diturunkan ke dunia? Ah, lagi-lagi aku tak ingat.
 
Apapun yang Dia tawarkan, aku hanya bisa berharap semoga saja itu bukan pilihan yang berat.
 
"Pertama, kau boleh memilih kembali ke sisiKu sekarang. Kembali ke kampung halamanmu.
Surga. Jika kau memilih ini, kau akan tinggal di surga sebagai anak-anak yang nantinya akan
menyambut kedua orang tuamu ketika telah tiba waktu mereka untuk menyusulmu ke dalam
surga. Selama masa penantianmu kau akan bersenang-senang bersama anak-anak yang lain.
Hanya kegembiraan dan kebahagiaan. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada rasa lelah. Tidak ada
beban yang harus kautanggung sebagaimana beban yang ditanggung oleh para hambaKu
yang kini sedang menjalankan tugas mereka di dunia. Bagaimana menurutmu? Tawaran yang
indah, bukan?"
 
"Benar, wahai Tuhanku. Sungguh indah. Namun, bolehkah hamba bertanya tentang sesuatu?"
tanyaku penasaran.
 
"Oh, tentu. Hanya saja, karena kau tau bahwa Aku ini Mahatau, maka aku akan langsung
menjawabnya," jawab Tuhan dengan segala ilmuNya. Apa kubilang. Dia sudah tau apa yang
sedari tadi kupertanyakan dalam diamku.
 
"Jika ternyata orang tuamu masuk neraka karena gagal menjalankan misi mereka, maka kau
tak akan bisa berjumpa mereka. Kau justru akan menjadi pelayan bagi hamba-hambaKu yang
lain. Hamba-hambaKu yang layak mendapat kemuliaan atas perjuangan mereka selama di
dunia. Kau akan melayani mereka bersama anak-anak pelayan surga yang lainnya."
 
Ibuku. Ayahku. Aku semakin merindukan mereka setelah mendengar jawaban Tuhan barusan.
Ibu yang menangis karena begitu mendambakan kesembuhan untukku. Ayah yang susah-
payah menahan segala getir dalam dadanya agar akalnya tetap mampu mengupayakan
tindakan terbaik demi kesembuhanku. Aku tidak ingin berpisah dari mereka, apalagi
menyaksikan mereka masuk neraka. Tidak! Aku tidak sanggup. Bagaimana mungkin aku bisa
dengan tenang menunggu mereka di surga sedangkan mereka sendiri kepayahan menjalankan
tugas mereka di dunia. Bagaimana mungkin aku bisa memilih meninggalkan mereka di dunia
setelah segala perhatian, kasih sayang, cinta, kehangatan, dan keakraban yang mereka
curahkan selama masa-masa tak berdayaku di sana. Tidak adakah jalan bagiku untuk bisa
membantu mereka agar kami bisa memastikan jalan kami untuk masuk surga bersama-sama?
 
"Tentu saja ada, duhai hambaKu. Itulah mengapa Aku berikan pilihan kedua untukmu. Jika kau
tidak ingin kembali sekarang, kau bisa memilih untuk hidup seperti mereka di dunia. Hidupmu
mungkin akan jauh lebih pahit, sakit, dan sempit daripada di surga. Namun, jika kau berhasil
menjalankan tugasmu dengan baik, kau akan mampu menyelamatkan mereka dari jerat api
neraka. Kau akan mampu membantu mereka menggapai surga. Dengan begitu, tak hanya di
dunia, kau juga telah memastikan jalanmu untuk hidup bersama mereka di surga. Selain itu,
jika kau memilih kembali ke dunia, kau akan punya kesempatan untuk membantu lebih banyak
lagi manusia dalam menggapai surga. Kau akan bertemu dengan seorang bidadari yang akan
membantumu dalam menunaikan tugasmu di dunia. Bidadari itu akan kausebut sebagai istri.
Bersamanya, kau akan menjadi jalan bagi sejumlah manusia lain untuk hadir ke dunia. Mereka
akan kausebut sebagai anak. Tak hanya dapat menolong kedua orang tuamu menggapai
surga, kau juga harus menyelamatkan istri dan anak-anakmu dari api neraka. Dan perlu
Kuingatkan, dengan segala tugas lain yang harus kautunaikan selama di dunia serta Iblis dan
bala tentaranya yang tiada henti melancarkan serangan untuk menyesatkan kedua orang tua,
istri, anak-anak, dan bahkan dirimu sendiri, menyelamatkan mereka tidak akan pernah jadi hal
yang mudah. Apa kau sanggup?"
 
Aku tak tau harus menjawab apa. Apa yang kutakutkan kini terjadi. Ini benar-benar pilihan
yang berat.
 
Aku yang begitu lemah, akankah sanggup menunaikan tugas seberat ini?
 
Dengan bantuan apa dan siapa aku akan menunaikannya?
 
"Jika kau memilih yang pertama, kau akan kembali ke surga sekarang, menantikan kembalinya
orang tuamu ke surga... atau justru bersiap menyaksikan mereka masuk neraka. Jika kau
memilih yang kedua, kau akan kembali ke dunia, dengan segala tugas, tantangan dan, tentu
saja, sejumlah perbekalan dariKu. Saatnya kautentukan pilihanmu, wahai hambaKu. Tak ada
lagi pertanyaan, apalagi tawar-menawar. Tentukan pilihanmu!" tegas Tuhan.
 
Ini pilihan yang sungguh berat. Namun... mau bagaimana lagi. Setelah setiap pilihan, pasti ada
risiko, konsekuensi, dan imbalan yang pasti didapatkan. Oh, Tuhanku, inikah caramu untuk
mengajarkan pada hamba tentang mengapa setiap manusia nantinya akan diganjar sesuai
dengan pilihan dan perbuatannya selama di dunia?
 
Baiklah, Tuhan. Hamba akan menentukan pilihan hamba sekarang. Hamba memohon
pertolonganmu dalam menjalani segala pilihan yang hamba tetapkan.
 
"Hamba memilih yang kedua, wahai Tuhanku," jawabku lugas.
 
"Baik. Wahai para malaikat surga, kembalilah. Hambaku ini telah memilih untuk kembali ke
dunia." titahNya kepada sejumlah orang di sekitarku yang ternyata memang adalah malaikat.
 
"Karena kau telah memilih untuk kembali ke dunia, maka kini Aku akan memberimu tawaran
selanjutnya. Apakah kau siap?"
 
"Hamba siap, wahai Tuhanku," aku menjawab dengan tegas. Tak ada gunanya lagi keraguan
setelah pilihan berat yang barusan aku putuskan.
 
"Selama di dunia, kau tentunya butuh perbekalan. Kau akan mendapat perbekalan fisik sama
seperti manusia lainnya. Telinga, mata, organ tubuh, dan segala perbekalan jasadiah lainnya
akan kaudapatkan. Kau hanya perlu menjaganya agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya
dan, tentu saja, sesuai dengan apa yang Kutugaskan padamu. Namun, ada satu jenis
perbekalan lagi yang harus kaupilih. Perbekalan ini bernama akal. Kau harus memilih satu di
antara tiga tingkatan akal yang Kuberikan: idiot, awam, jenius.”

Tawaran ini sepertinya juga akan jadi pilihan yang berat. Aku harus menyiapkan mentalku.

“Jika kau memilih akal yang idiot, kau aman. Sebab, Aku tidak akan menghukum orang-orang
idiot sekiranya mereka berbuat dosa. Jika kau memilih hidup dan mati sebagai orang idiot,
maka kau hanya perlu menjalani satu ujian di Hari Penghakiman nanti. Sekarang Aku tak akan
memberitaumu ujian macam apa itu. Sebab, kau mungkin akan tau sendiri nanti. Dengan
menjadi idiot, kau akan terbebas dari risiko berbuat dosa. Namun di saat yang sama kau juga
telah kehilangan kesempatan untuk menolong kedua orang tua, istri, anak-anak, dan saudara-
saudaramu sesama manusia. Kau bahkan mungkin tidak akan bertemu dengan istrimu,
sehingga tidak akan memiliki anak. Sebab, orang idiot adalah manusia yang tidak mampu
diberi beban. Yang mereka jalani hanyalah kehidupan yang biasa hingga tiba waktunya
mereka mati. Baik buruknya amal mereka sama saja di mataKu.”

Aku kembali ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang yang aku cintai. Mana mungkin aku
akan memilih tingkatan akal yang ini.

“Jika kau memilih akal yang awam, kau akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Jenis
akal ini adalah yang terbanyak dipilih oleh para manusia. Artinya, sebagai orang awam kau
akan mudah berbaur di tengah-tengah manusia. Kau akan mudah dipahami oleh mereka
karena kebanyakan mereka juga sama sepertimu: awam. Dengan bekal akal yang awam, kau
punya kesempatan yang luas dalam memanfaatkannya atau justru merusaknya. Tajam-
tumpulnya akalmu akan sepenuhnya bergantung pada keras-lemahnya upayamu untuk terus
mengasahnya. Namun, berhati-hatilah. Sebab, dengan bekal akal yang awam, kau cenderung
akan jadi manusia pada umumnya dan, kau perlu tau, kebanyakan manusia itu sesat. Kau perlu
berusaha keras untuk tetap ingat padaKu dan pada tugas-tugasmu,” lanjut Tuhan begitu saja
seakan mengerti bahwa aku sudah mencoret pilihan pertama tadi dari daftar kemungkinan
keputusanku. Bukan “seakan” lagi, Dia memang mengerti apa yang kupikirkan.

Pilihan kedua ini cukup menarik. Setidaknya dengan pilihan kedua ini, aku bisa mewujudkan
keinginanku untuk membantu kedua orang tuaku kembali ke surga. Meskipun Dia
mengingatkanku bahwa aku akan jadi manusia pada umumnya yang mayoritasnya sesat,
namun aku yakin bahwa orang awam yang bisa membantuku untuk tetap mengingatNya juga
tidak sedikit. Aku tertarik dengan pilihan kedua ini. Namun, aku juga masih penasaran dengan
pilihan ketiga.

“Jika kau memilih akal yang jenius, kau harus bersiap untuk sebuah tanggung jawab akal yang
paling besar. Kau juga harus bersiap untuk terkucilkan dan hidup kesepian. Sebab, tak banyak
manusia yang memilih tingkatan ini. Karena orang jenius itu tidak umum, maka kebanyakan
manusia akan sulit memahamimu. Gagasan dan tindakanmu akan sering disalahartikan.
Banyak manusia bahkan akan menganggapmu gila, bodoh, idiot, dan sejenisnya akibat
sulitnya mereka memahami tingkatan akalmu yang luar biasa tinggi. Bukan sekedar itu. Tak
sedikit di antara mereka yang bahkan akan menjegal dan menjatuhkanmu dalam berbagai
hal.”

Pilihan yang tidak menarik! Penuh dengan kesulitan, pantas saja sedikit yang memilih ini…
Tapi, tunggu dulu. Tingkatan akal yang luar biasa tinggi?

“Ya, orang jenius memiliki tingkatan akal yang luar biasa tinggi. Mereka memahami banyak hal
yang tak diketahui manusia. Mereka menemukan banyak hal yang tersembunyi dari jangkauan
manusia. Mereka mempertanyakan banyak hal ditelan mentah-mentah oleh manusia. Mereka
menggugat banyak hal yang disepakati manusia. Mereka menjawab banyak hal yang
dibingungkan manusia. Mereka menjelaskan banyak hal yang dipusingkan manusia. Mereka
adalah orang-orang yang membekas di hati para manusia di sekitar mereka. Mereka adalah
pengubah dunia. Akan tetapi, kau harus jauh lebih berhati-hati dengan tingkatan akal ini
daripada akal yang awam. Banyak orang yang memilih tingkatan akal ini kemudian terjerumus
ke dalam jurang kesombongan: menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Mereka
terlalu bangga dengan akal jenius yang Kuberikan. Mereka lupa padaKu. Pada akhirnya,
mereka gagal menunaikan tugas mereka dan kembali padaKu dalam keadaan sesat; jauh lebih
sesat daripada orang awam yang paling sesat! Hanya sedikit orang jenius yang berhasil
menemukanKu kembali dalam penelusuran dan penggugatan mereka. Merekalah orang-orang
jenius yang benar-benar mempergunakan kejeniusan mereka secara utuh. Merekalah orang-
orang jenius yang tidak berhenti pada pengagungan akal, namun terus mendaki hingga
mencapai pengagungan Sang Pencipta Akal, yaitu Aku. Jika kau memilih untuk jadi orang
jenius, pastikan kau sanggup menjadi orang jenius macam mereka.”

Aku terperangah mendengar penjelasan Tuhan tentang tingkatan akal yang satu ini: jenius.
Aku bisa membayangkan betapa terbantunya aku dalam menunaikan tugas-tugasku jika aku
memiliki akal yang jenius. Akan tetapi, aku juga harus siap dengan konsekuensinya:
pengucilan, kesepian, cemoohan, penjegalan, penentangan, dan bahkan tipu muslihat dari
manusia yang lain.

Kekuatan akal yang besar mendatangkan tanggung jawab, risiko, dan imbalan yang besar
juga.

Kelemahan akal akan meringankan tanggung jawab dan menghindarkan risiko, tetapi juga
menghanguskan imbalan.

Jika aku memilih pilihan kedua, aku masih berkesempatan mewujudkan segala keinginanku.
Namun dengan begitu, sama saja aku menghindari risiko superbesar yang hanya dibebankan
kepada orang-orang jenius. Padahal di balik risiko yang besar, telah menanti ganjaran yang
besar.
Jika aku memilih pilihan ketiga, sama saja aku membahayakan diriku sendiri. Aku bisa jadi
lebih sesat daripada orang awam yang paling sesat. Risiko luar biasa tinggi. Tingkat kegagalan
juga tinggi. Namun di sisi lain, orang jenius bisa merasakan nikmatnya ilmu secara lebih
mendalam daripada orang awam. Dan aku tahu dari pengalamanku sebelum diturunkan ke
dunia, selama Tuhan mengajarkan ilmu padaku, tak ada yang kurasakan selain kepuasan dan
kebahagiaan yang tak terperikan kata. Aku rindu kesegaran ilmu yang dahulu Tuhan ajarkan
padaku. Aku ingin mendapatkannya lagi ketika di dunia, apapun risikonya.

“Tentukan pilihanmu sekarang, wahai hambaKu!” sapa Tuhan dengan lantang menyentak
dengung pertimbangan dalam batinku.

“Bekal akal macam apa yang ingin kaubawa bersamamu ke dunia? Idiot, awam, atau jenius?”

Satu lagi keputusan berat harus kubuat. Duhai Tuhanku, hamba mohon pertolongan dan
bimbinganmu dalam mengemban pilihan ini.

“Hamba dengan hormat memilih tingkatan akal jenius, duhai Tuhanku,” jawabku santun.

“Baiklah! Wahai malaikat rizki, benamkanlah ilmu dan kebijaksanaan tingkat tinggi ke dalam
benak hambaKu yang telah memilih untuk mengemban akal jenius ini!” titahNya lantang.

Tiba-tiba seorang malaikat melesat terbang ke angkasa. Selang beberapa saat, aku melihat
kilatan cahaya yang terang dari ujung angkasa… semakin terang, semakin kencang… semakin
terang, semakin…

AAAARRRRGGGHH!!

Kepala dan dadaku serasa dijejali dengan bebatuan besar yang begitu berat. Rasanya…

AAAARRRRGGGHH!! SAKIT SEKALI! BENAR-BENAR SA… SSSAAAA…


AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRGH!!

“Dok, bagaimana anak saya, Dok?”

“Alhamdulillah. Dia sudah melewati masa kritisnya. Sudah tidak kejang ataupun menggigiti
lidahnya lagi. Bapak dan Ibu silakan melihat kondisinya. Jangan lupa, mohon kenakan pakaian
steril terlebih dahulu sebelum masuk.”

“Alhamdulillah. Allahu Akbar! Ini karunia Allah untuk anak kita, Bu. Ayo kita lihat anak kita,
Bu!”

“Iya, Yah! Ayo!”


Ugh! Tetesan hangat dari mana ini?

Di mana aku?

“Nak…”

Ibu?

Ayah?

Ibu!

Ayah!

Maha Suci Engkau, Tuhan! Aku sudah di dunia!

“Alhamdulillah, Bu. Anak kita sudah bisa menangis seperti biasa lagi.”

“Iya, Pak. Alhamdulillah. Sayang, Ibu rindu kamu, Nak. Ibu tadi khawatir…”

Aku juga, Bu! Ayah! Aku rindu kalian!

Tuhan, terima kasih telah menurunkanku kembali ke dunia. Aku akan menunaikan tugasku dan
mewujudkan impianku. Dengan pertolonganMu, pasti!

Vous aimerez peut-être aussi