Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Tawaran ini sepertinya juga akan jadi pilihan yang berat. Aku harus menyiapkan mentalku.
“Jika kau memilih akal yang idiot, kau aman. Sebab, Aku tidak akan menghukum orang-orang
idiot sekiranya mereka berbuat dosa. Jika kau memilih hidup dan mati sebagai orang idiot,
maka kau hanya perlu menjalani satu ujian di Hari Penghakiman nanti. Sekarang Aku tak akan
memberitaumu ujian macam apa itu. Sebab, kau mungkin akan tau sendiri nanti. Dengan
menjadi idiot, kau akan terbebas dari risiko berbuat dosa. Namun di saat yang sama kau juga
telah kehilangan kesempatan untuk menolong kedua orang tua, istri, anak-anak, dan saudara-
saudaramu sesama manusia. Kau bahkan mungkin tidak akan bertemu dengan istrimu,
sehingga tidak akan memiliki anak. Sebab, orang idiot adalah manusia yang tidak mampu
diberi beban. Yang mereka jalani hanyalah kehidupan yang biasa hingga tiba waktunya
mereka mati. Baik buruknya amal mereka sama saja di mataKu.”
Aku kembali ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang yang aku cintai. Mana mungkin aku
akan memilih tingkatan akal yang ini.
“Jika kau memilih akal yang awam, kau akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Jenis
akal ini adalah yang terbanyak dipilih oleh para manusia. Artinya, sebagai orang awam kau
akan mudah berbaur di tengah-tengah manusia. Kau akan mudah dipahami oleh mereka
karena kebanyakan mereka juga sama sepertimu: awam. Dengan bekal akal yang awam, kau
punya kesempatan yang luas dalam memanfaatkannya atau justru merusaknya. Tajam-
tumpulnya akalmu akan sepenuhnya bergantung pada keras-lemahnya upayamu untuk terus
mengasahnya. Namun, berhati-hatilah. Sebab, dengan bekal akal yang awam, kau cenderung
akan jadi manusia pada umumnya dan, kau perlu tau, kebanyakan manusia itu sesat. Kau perlu
berusaha keras untuk tetap ingat padaKu dan pada tugas-tugasmu,” lanjut Tuhan begitu saja
seakan mengerti bahwa aku sudah mencoret pilihan pertama tadi dari daftar kemungkinan
keputusanku. Bukan “seakan” lagi, Dia memang mengerti apa yang kupikirkan.
Pilihan kedua ini cukup menarik. Setidaknya dengan pilihan kedua ini, aku bisa mewujudkan
keinginanku untuk membantu kedua orang tuaku kembali ke surga. Meskipun Dia
mengingatkanku bahwa aku akan jadi manusia pada umumnya yang mayoritasnya sesat,
namun aku yakin bahwa orang awam yang bisa membantuku untuk tetap mengingatNya juga
tidak sedikit. Aku tertarik dengan pilihan kedua ini. Namun, aku juga masih penasaran dengan
pilihan ketiga.
“Jika kau memilih akal yang jenius, kau harus bersiap untuk sebuah tanggung jawab akal yang
paling besar. Kau juga harus bersiap untuk terkucilkan dan hidup kesepian. Sebab, tak banyak
manusia yang memilih tingkatan ini. Karena orang jenius itu tidak umum, maka kebanyakan
manusia akan sulit memahamimu. Gagasan dan tindakanmu akan sering disalahartikan.
Banyak manusia bahkan akan menganggapmu gila, bodoh, idiot, dan sejenisnya akibat
sulitnya mereka memahami tingkatan akalmu yang luar biasa tinggi. Bukan sekedar itu. Tak
sedikit di antara mereka yang bahkan akan menjegal dan menjatuhkanmu dalam berbagai
hal.”
Pilihan yang tidak menarik! Penuh dengan kesulitan, pantas saja sedikit yang memilih ini…
Tapi, tunggu dulu. Tingkatan akal yang luar biasa tinggi?
“Ya, orang jenius memiliki tingkatan akal yang luar biasa tinggi. Mereka memahami banyak hal
yang tak diketahui manusia. Mereka menemukan banyak hal yang tersembunyi dari jangkauan
manusia. Mereka mempertanyakan banyak hal ditelan mentah-mentah oleh manusia. Mereka
menggugat banyak hal yang disepakati manusia. Mereka menjawab banyak hal yang
dibingungkan manusia. Mereka menjelaskan banyak hal yang dipusingkan manusia. Mereka
adalah orang-orang yang membekas di hati para manusia di sekitar mereka. Mereka adalah
pengubah dunia. Akan tetapi, kau harus jauh lebih berhati-hati dengan tingkatan akal ini
daripada akal yang awam. Banyak orang yang memilih tingkatan akal ini kemudian terjerumus
ke dalam jurang kesombongan: menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Mereka
terlalu bangga dengan akal jenius yang Kuberikan. Mereka lupa padaKu. Pada akhirnya,
mereka gagal menunaikan tugas mereka dan kembali padaKu dalam keadaan sesat; jauh lebih
sesat daripada orang awam yang paling sesat! Hanya sedikit orang jenius yang berhasil
menemukanKu kembali dalam penelusuran dan penggugatan mereka. Merekalah orang-orang
jenius yang benar-benar mempergunakan kejeniusan mereka secara utuh. Merekalah orang-
orang jenius yang tidak berhenti pada pengagungan akal, namun terus mendaki hingga
mencapai pengagungan Sang Pencipta Akal, yaitu Aku. Jika kau memilih untuk jadi orang
jenius, pastikan kau sanggup menjadi orang jenius macam mereka.”
Aku terperangah mendengar penjelasan Tuhan tentang tingkatan akal yang satu ini: jenius.
Aku bisa membayangkan betapa terbantunya aku dalam menunaikan tugas-tugasku jika aku
memiliki akal yang jenius. Akan tetapi, aku juga harus siap dengan konsekuensinya:
pengucilan, kesepian, cemoohan, penjegalan, penentangan, dan bahkan tipu muslihat dari
manusia yang lain.
Kekuatan akal yang besar mendatangkan tanggung jawab, risiko, dan imbalan yang besar
juga.
Kelemahan akal akan meringankan tanggung jawab dan menghindarkan risiko, tetapi juga
menghanguskan imbalan.
Jika aku memilih pilihan kedua, aku masih berkesempatan mewujudkan segala keinginanku.
Namun dengan begitu, sama saja aku menghindari risiko superbesar yang hanya dibebankan
kepada orang-orang jenius. Padahal di balik risiko yang besar, telah menanti ganjaran yang
besar.
Jika aku memilih pilihan ketiga, sama saja aku membahayakan diriku sendiri. Aku bisa jadi
lebih sesat daripada orang awam yang paling sesat. Risiko luar biasa tinggi. Tingkat kegagalan
juga tinggi. Namun di sisi lain, orang jenius bisa merasakan nikmatnya ilmu secara lebih
mendalam daripada orang awam. Dan aku tahu dari pengalamanku sebelum diturunkan ke
dunia, selama Tuhan mengajarkan ilmu padaku, tak ada yang kurasakan selain kepuasan dan
kebahagiaan yang tak terperikan kata. Aku rindu kesegaran ilmu yang dahulu Tuhan ajarkan
padaku. Aku ingin mendapatkannya lagi ketika di dunia, apapun risikonya.
“Tentukan pilihanmu sekarang, wahai hambaKu!” sapa Tuhan dengan lantang menyentak
dengung pertimbangan dalam batinku.
“Bekal akal macam apa yang ingin kaubawa bersamamu ke dunia? Idiot, awam, atau jenius?”
Satu lagi keputusan berat harus kubuat. Duhai Tuhanku, hamba mohon pertolongan dan
bimbinganmu dalam mengemban pilihan ini.
“Hamba dengan hormat memilih tingkatan akal jenius, duhai Tuhanku,” jawabku santun.
“Baiklah! Wahai malaikat rizki, benamkanlah ilmu dan kebijaksanaan tingkat tinggi ke dalam
benak hambaKu yang telah memilih untuk mengemban akal jenius ini!” titahNya lantang.
Tiba-tiba seorang malaikat melesat terbang ke angkasa. Selang beberapa saat, aku melihat
kilatan cahaya yang terang dari ujung angkasa… semakin terang, semakin kencang… semakin
terang, semakin…
AAAARRRRGGGHH!!
Kepala dan dadaku serasa dijejali dengan bebatuan besar yang begitu berat. Rasanya…
“Alhamdulillah. Dia sudah melewati masa kritisnya. Sudah tidak kejang ataupun menggigiti
lidahnya lagi. Bapak dan Ibu silakan melihat kondisinya. Jangan lupa, mohon kenakan pakaian
steril terlebih dahulu sebelum masuk.”
“Alhamdulillah. Allahu Akbar! Ini karunia Allah untuk anak kita, Bu. Ayo kita lihat anak kita,
Bu!”
Di mana aku?
“Nak…”
Ibu?
Ayah?
Ibu!
Ayah!
“Alhamdulillah, Bu. Anak kita sudah bisa menangis seperti biasa lagi.”
“Iya, Pak. Alhamdulillah. Sayang, Ibu rindu kamu, Nak. Ibu tadi khawatir…”
Tuhan, terima kasih telah menurunkanku kembali ke dunia. Aku akan menunaikan tugasku dan
mewujudkan impianku. Dengan pertolonganMu, pasti!