Vous êtes sur la page 1sur 43

Peter Kasenda

Pencarian Tuhan Sepanjang Zaman

Tidak ada orang yang benar-benar mempercayai


sesuatu kecuali dia mengetahui lebih dulu bahwa
hal itu dapat dipercayai
Santo Agustinus

Banyak pengamat tentang kehidupan beragama dewasa ini sepakat bahwa agama telah
tersingkir dari dunia modern . Tersingkirnya agama itu dirumuskan secara dramatis
sebagai Tuhan telah mati .. Atau dengan ungkapan yang lebih lunak sebagai trend dunia
atau trend yang tak terelakkan . Thomas Altiezer seorang teolog radikal mengatakan
dengan ungkapan yang konvensional dan lugas bahwa kita harus menyadari bahwa
kematian Allah merupakan kejadian historis , bahwa Allah telah wafat di dunia , dalam
sejarah dan keberadaan kita .

Herman Kahn dan Anthony Wiener dari Hudson Institute, telah mengadakan penelitian
yang menakjubkan tentang peristiwa-peristiwa pada babakan ketiga akhir ke-20 , dan
hanya mengadakan sedikit catatan tentang permasalahan agama . Dan dengan asumsi
bahwa kebudayaan pada abad ke-20 akan berlanjut ke pola sensate ( rasa-perasaan )
yang terus berkembang . Istilah sensate berasal dari sosiolog Harvard almarhum Pitrim
Sorokin , dan didefinisikan oleh Kahn dan Wiener sebagai empiris, duniawi, sekular,
humanistik, pragmatis, utilitarian, kontraktual, epikurian,hedonistis dan lain sebagai

Tersingkirnya agama menimbulkan berbagai gejolak (moods) dengan kemarahan


kenabian , kesedihan yang mendalam , rasa menang yang melegakan atau sebagai hal
biasa, sebagai fakta yang berkadar emosi ringan . Tetapi para juru bicara agama yang ada
( tradisional-religion ) telah mengadakan “perlawanan “ sejak zaman para dewa-dewi “,
para inteletual progresif yang menyambut hangat “hilangnya “ pengaruh agama, para
analis “murni “ yang hanya mencatat hal yang umum terjadi . Memang situasi kita
dewasa ini merupakan zaman di mana kesadaran tentang keilahian paling tidak dalam
bentuk klasiknya terdesak ke latar belakang kesadaran dan keprihatinan manusia .
( Berger , 1991 : 1 – 2 )

Manusia modern tidak pernah berpikir bahwa ia sesungguhnya adalah bagian dari alam
Sebaliknya , ia menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah dari alam Ia punya
akal, yakni sebuah kemampuan yang luar biasa , yang dimiliki oleh makhluk lain mana

1
2

pun juga di alam ini . Dengan akal ini manusia memberi bukti bahwa ia bisa membuat
banyak hal yang hebat di dalam hidupnya. Ia bahkan bisa menemukan hukum-hukum
alam dan kemudian dalam beberapa aspek bisa memanipulasinya . Oleh karena itu ,
manusia menjadi angkuh dan menganggap diri lebih dari alam , dan ia merasa punya hak
untuk menguasainya , dalam arti memakainya semata-mata untuk kepentingannya sendiri
.
Rasio adalah segala-galanya bagi manusia, meski rasio itu sendiri sangat terbatas.
Dengan kata lain , satu-satunya jalan yang benar untuk memahami realitas kehidupan dan
kedirian manusia hanyalah melalui rasio . Ada berbagai aspek lain yang sebenarnya juga
ada di dalam alam dan dalam diri manusia , tersisihkan oleh rasio manusia , bukan karena
mereka tidak eksis , melainkan karena rasio itu sendiri tidak mampu menjangkau mereka
Dengan demikian , manusia modern sebenarnya bisa dikatakan hidup tidak di dalam
kepenuhannya. Terlalu banyak hal yang terabaikan tang sebenarnya vital bagi keutuhan
diri manusia itu sendiri . .

Dalam kemodernan ini, Tuhan tidak lagi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tentang
koherensi dan arti dunia . Dalam kemodernan , tahta rasionalitas dan makna tidak lagi
menjadi milik Allah , melainkan milik akal manusia dan kehendaknya . Dengan
demikian, rasio dan kehendak manusia itulah yang menjadi titik fokus kesatuan dan arti .
Posisi Allah direbut oleh mereka . Karena kehendak Allah yang menyatukan itu ditolak
dengan alasan moral, rasional dan saintifik , maka fokus bagi kesatuan segala hal
bergeser kepada pikiran rasional menyatukan . Penggerseran posisi sentral Allah ini
menyebabkan terjadinya keterpecahan pengalaman manusia , entah itu dalam tataran
eksternal maupun dalam tataran internal . Fragmentasi ini pada gilirannya dapat berakhir
pada pengerusakan struktur kemanusian itu sendiri karena kesatuan dunia tidak lagi
menjadi konteks hidup bersama dalam kehidupan masyarakat manusia . Penggeseran
posisi sentral Allah ini pada dasarnya tidak akan memberi kebebasan dan martabat bagi
manusia , melainkan justru menempatkan kita dalam bentuk-bentuk perbudakan yang
baru, yang bahkan sering tidak kita sadari .

Dunia modern bertumpu pada sains. Sains menjelmakan dirinya dalam berbagai bentuk
kemajuan yang mewarnai kehidupan manusia modern dalam berbagai aspeknya . Namun,
kemajuan yang dibawa sanis ini bukan tanpa konsekuensi . Manusia modern harus
mengalami krisis hidup yang berat , bahkan karena terlalu beratnya , tidak dapat lagi
diimbangi oleh kemajuan posisi yang diraih oleh sains . Sains memang berhasil meraih
berbagai penemuan besar serta berhasil menghasilkan suatu sistem tekhnologi yang
mengagumkan . Namun segala kemajuan itu secara berangsur-angsur menghasilkan efek-
efek buruk yang tidak bisa dielakkan lagi , diantaranya : penghabisan sumber-sumber
material secara cepat dan berbagai bentuk polusi terhadap lingkungan serta mendorong
timbulnya perlombaan sistem persenjataan perang , yang pada akhirnya mengarah pada
perang nuklir yang dapat menghancurkan seluruh peradaban dan seluruh isi planet Inilah
salah satu dari berbagai dilemma yang dimunculkan oleh modernisme , dan manusia
modern harus menghadapinya dalam hidupnya . Dalam situasi krisis seperti ini tidak
heran bila manusia-manusia modern merasa terasing dari dunia dan dari dirinya sendiri .
Manusia –manusia modern kehilangan pegangan . Dengan kata lain , dunia modern
menjadi “ranah “ disorientasi bagi manusia yang hidup di dalamnya Sains mencapai
keterbatasannya dan tidak mampu lagi menjelaskan dan menjawab persoalan realitas
hidup . Sekarang orang mulai melirik kembali ke wilayah supranatural – wilayah realitas
yang selama ini dianaktirikan oleh modernisme dengan sainsnya , dan mencoba
menemukan di sana jawaban bagi misteri hidupnya .( Wora , 2006 : 55 – 59 )

Zaman post modern ditandai oleh adanya pergolakan sosial yang cepat . Namun , kita
tidak sekedar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post
industri abad ke-20 , tetapi juga dihadapkan pada seribu krisis kemanusian : mulai dari
krisis diri, alienasi atau keterasingan ,depresi , stress , keretakan insitusi keluarga , sampai
beragam penyakit psikologi lainnya Justru .jenis penyakit yang mengguncangkan diri kita
di tengah situasi krisis dewasa ini tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan
psikologis . Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah
situasi krisis, sarat terror, konflik dan kekerasan sampai tragedi pembunuhan yang
menghiasi keseharian hidup kita .

Situasi krisis agak serupa justru diiringi dengan meningkatnya ketidakpercayaan pada
insitusi agama formal.Barangkali, ekstremnya seperti dislogankan oleh futurolog John
Naisbit bersama istrinya , Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000, “ Spiritualis yes,
Organized Religion No !” Ada semacam penolakan terhadap agama formal – yang
memiliki gejala umum yang sama , yaitu ekslusif dan dogmatis – sambil menengok
kearah spiritualistas baru lintas agama .( Sukadi 2001 : 1 – 2 )

Kepercayaan akan Tuhan merupakan suatu faktor yang penting dalam hidup orang .
Tetapi mengapa orang percaya akan Tuhan ? Jawaban yang lazim diberikan oleh orang
yang beragama atas pertanyaan ini menunjuk kea rah sesuatu yang di luar mereka sendiri
Pertanyaan berujung pada jawaban mengenai keyakinan Kadangkala menimbulkan
pertanyaan,apakah keyakinan tentangTuhan sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawab
kan Kemudian orang mulai berpikir dan mencari pengetahuan ilmiah tentang Tuhan
Disadari pula tak mungkin pengetahuan ilmiah ini langsung memecahkan soal-soal yang
timbul pada bidang kepercayaan , oleh sebab percaya itu lain daripada mempunyai
pengetahuan ilmiah mengenai Tuhan . Pertanyaan-pertanyaan mengenai tentang Tuhan
berkisar pada satu pertanyaan pokok yakni : apakah Tuhan ada ?

Dalam menyelidiki tempat Tuhan dalam hidup manusia , ada yang mengikuti suatu
tradisi yang telah berlangsung sejak timbulnya filsafat pada zaman Yunani Kuno . Pada
abad itu orang mulai berpikir tentang hidup secara sistimatis , sehingga untuk pertama
kalinya kebenaran-kebenaran dan keyakinan-keyakinan yang mengarahkan hidup ditinjau
kembali secara kritis . Dalam berbuat demikian sarjana-sarjana yang pertama itu telah
sampai pada suatu pandangan yang diluar agama sendiri , pandangan filsafat Maksudnya
orang yang secara filsafat mempersoalkan kebenaran-keberanan dan keyakinan-
keyakinan tersebut . Melalui perjalanan waktu filsafat mendapat otonomi terhadap
pandangan hidup yang bersangkut paut dengan agama, sehingga menjadi sistim pikiran
tersendiri . Lagipula metode berpikirnya makin menghampiri metode-mdetode ilmu
pengetahuan . Akibatnya Tuhan menjadi soal sistim filsafat , yang harus dipecahkan
melalui metode ilmiah . Dalam situasi semacam ini memang tidak mengherankan ,
bahwa ada sarjana yang tidak berhasil melaksanakan jalan pikiran sampai pengakuan

3
4

adanya sesuatu yang tertinggi, yakni Tuhan. Filsuf modern mempunyai jawaban yang
berbeda mengenai ada tidaknya Tuhan .( Huijbers , 1982 : 9 – 15 )

Tiga Alam Pikiran

Sejarah umat manusia seperti sungguh terjadi dapat dibedakan lebih banyak tahap lagi,
tetapi yang kita utamakan di sini ialah skemanya , suatu yang menonjolkan sifat-sifat
pokok . Ada tahap mitis , ontologis dan fungsional dari sejarah kebudayaan manusia
Dunia mitis yang meliputi alam kebudayaan primitif ternyata masih tetap menarik sekali
bagi kita . Ingat saja akan lukisan-lukisan dalam gua-gua dari jaman purbakala dan akan
tari-tarian sementara suku di Afrika , bila mereka mau menangkis bahaya-bahaya : betapa
mempersonakan dan betapa ajaib semuanya itu bagi perasan kita.Buku-buku yang
dikarang oleh para antropolog dibaca banyak orang . Dan bila kita membaca tulisan-
tulisan itu , maka kentaralah lalu, bahwa istilah “ primitif” sebetulnya tidak tepat , karena
dunia yang diketemukan oleh para pembaca buku-buku tadi ternyata serba baru , kaya
akan cerita –cerita yang mengandung suatu filsafat yang dalam , gambaran-gambaran
yang ajaib dan adat istiadat yang beraneka warna .Yang di tampilkan di sini ialah
manusia-manusia yang langsung berhubungan dengan daya-daya alam yang serba
rahasia– suatu alam yang belum dikacaukan oleh teknik ,lalu lintas dan turisme , sungguh
semacam taman firdaus yang bagi kita manusia modern sudah hilang lenyap . Sekalipun
demikian , namun dunia penuh cerita-cerita mistis dan upacara-upacara magis itu terasa
dekat juga pada kita : kita masing-masing menemukan sesuatu dalam dunia itu yang tidak
asing lagi bagi kita..

Ada sikap rasionalis ( yang mendewakan rasio atau akal budi serta kemampuan alam
pikiran ilmiah ) yang memandang rendah terhadap kebudayaan mitis , seolah-olah alam
pikiran mitis itu primitif ,tidak ilmiah..Seorang peneliti yang mempelajari alam pikiran
mitis itu secara mendalam , yaitu sarjana Perancis yang bernama Levy Bruhl , pernah
memakai istilah “ mentalitas primitif “ yang belum sampai pada taraf pikiran kita yang
bersifat logis , maka dari itu alam pikiran itu disebut “ pra-logis “ . tetapi kemudian hari
sarjana tersebut menarik kembali pendapat tadi ; ia mengakui bahwa alam pikiran primitif
itu memang lain daripada alam pikiran kita , namun akhirnya , dalam setiap bahasa
manusia dan dalam semua pola sosial , entah modern atau primitif , kita temukan garis-
garis yang sama , susunan-susunan logis yang sama . Dan memang apa yang dinamakan
manusia primitif itu sering mengikuti jalan pikirran logis , serba logis dan caranya ia
menangani suatu persoalan praktis –tehnis tak kalah dengan pendekatan kita .

Dalam lingkup hidup mitologis tiada garis pemisah yang jelas antara manusia dan dunia ,
antara subyek dan obyek . Pernah dicatat bahwa sebetulnya manusia pada tahap itu belum
dapat di namakan subyek yang sepenuhnya , karena manusia masih merupakan wilayah
sebuah lingkaran terbuka , belum mempunyai eksistensi yang bulat . Manusia diresapi
oleh pengaruh-pengaruh dari sukunya dan dari alam raya Dalam tulisan-tulisan mengenai
gejala ini sering dipakai istilah “ ruang sosio-mistis “ , yaitu lingkup daya kekuatan yang
meliputi manusia dan yang ditentukan oleh pertalian dengan sukunya (sosio) dan oleh
sikapnya yang mitis . Baru dalam lingkup daya kekuatan tersebut manusia mencapai
identitasnya ,ia tidak mempunyai identitas dari dirinya sendiri , ia baru menjadi seorang
dalam ruang sosio-mitis itu.

Tidak mengherankan . bahwa garis pemisah yang jelas antara dunia batin dan dunia lahir
belum kelihatan pula . Orang primitif belum mempunyai pengertian modern mengenai
jiwanya sebagai sesuatu yang merupakan miliknya sendiri , dasar identitasnya sebagai
seorang manusia yang berpribadi . Bukan “jiwa “ itu lebih merupakan sesuatu yang
berpengaruh , yang berkuasa . Sebuah batu yang aneh bentuknya , sebuah topeng , sinar
bulan purnama, bahkan sesosok mayat dapat disebut “jiwa “ . Tetapi di sini jalan pikiran
praktis tidak absen juga . Dalam hidup sehari-hari orang-orang primitif dapat saja
membedakan antara sesuatu yang hidup dan sesuatu yang mati , sebuah benda misalnya
Tetapi dalam perjalanan manusia di dunia ini terdapat persilangan –persilangan , di mana
batas-batas antara dunia sini dan dunia sana menjadi kabur , lenyap . Itulah puncak-
puncak kehidupan manusia yang mengalami saat-saat itu secara harfiah di atas puncak –
puncak, bukit-bukit , tempat dia mempersembahkan sesajen-sesajen , menjalankan
upacara-upacara tertentu , menyeruhkan nama para dewa dan menampilkan mereka di
dunia ini. Dan yang diusahakan ialah memperoleh bagian dalam kesakitan atau jiwa
seseorang Jiwa atau sukma tersebut dapat diperoleh dengan upacara-upacara yang
melambangkan proses pertumbuhan , lewat upacara selamatan atau bahkan dengan
makan barang atau orang itu ( kanibalisme ritual ) . Kadang-kadang “jiwa” itu tinggal
dalam badan manusia , menurut anggapan sementara suku Eskimo tiap anggota badan
mempunyai jiwanya. Tetapi kadang-kadang jiwa itu tinggal di luar badan kita , misalnya
dalam pohon kehidupan , “Jiwa-jiwa “ juga dapat menghuni patung seseorang leluhur ,
seperti digambarkan pada patung leluhur dari kapur di Melanesia ( Van Peursen , 1976 :
34 – 45 )

Dunia mitis terutama ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya
dalam hidup alam raya . Manusia mencari semacam strategi guna menemukan hubungan
tepat antara manusia dan daya-daya kekuatan tersebut . Perbuatan-perbuatan praktis ,
seperti tata upacara diutamakan , tetapi pertimbangan-pertimbangan teoritis , seperti
dongeng-dongeng mengenai terjadinya dunia , memainkan peranan pula . Dalam alam
pikiran ontologis manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang
mengitarinya . Ia tak begitu terkurung lagi, kadang-kadang ia bertindak sebagai penonton
terhadap hidupnya sendiri , dengan demikian ia berusaha mempeoleh pengertian
mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakan alam dan manusia . Perbuatan-
perbuatan praktis , seperti pertukangan , teknik dan kesenian memainkan peranannya,
tetapi renungan-renungan teoritis mengenai alam yang nampak (fisika ) dan alam yang
tidak nampak ( metafisika ) mulai tampil ke muka .

Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari mitos ke logos . Namun tak
boleh dilupakan , bahwa dalam tahap ini manusia tidak hanya berpikir secara logis
melulu , atau dengan mempergunakan akal budi semata-mata . Emosi-emosi , harapan
sosial dan keyakinan agama tetap berpengaruh . Memang sekarang kita menyaksikan
lahirnya ilmu pengetahuan , atau secara lebih umum , semua ilmu mengenai Ada ,
mengenai segala sesuatu yang ada pada umumnya ( ontologi ) , seperti misalnya di
Yunani kuno dan dalam sistem-sistem filsafat di India. Tetapi di sini pun maksud utama

5
6

bukan pertama teoritis belaka . Filsafat dan ilmu pengetahuan pertama-tama ditujukan
kepada maksud praktis . Dan maksud praktis itu ialah pembebasan dan daya-daya
kekuatan yang menguasai mati dan hidup , kelahiran dan kebinasaan , perbuatan dan
nasib , dosa dan penderitaan . Terutama bila magi menguasai alam pikiran mitis , maka
pembebasan ini sangat nampak . Mantera-mantera rahasia menimbulkan sikap penuh
ketakutan , tipe seorang budak ; pengertian sebaliknya mengembalikan harga diri . Maka
dari itu dengan penuh kesadaran manusia mulai mengajukan pertanyaan mengenai makna
penderitaan , alam raya dan bahasa . Istilah Yunani tadi kita pakai , islah “logos “ dalam
bahasa Yunani kuno juga berarti “makna “ atau “arti “ . Memahami “logos “ sesuatu
perbuatan berarti mengerti , mengapa perbuatan itu harus dilakukan demikian , mengerti
hal ikhwal sekitar kita berarti mengenai apa yang terjadi , bahkan juga bila timbul
masalah-masalah sukar seperti mengenai dosa dan penderitaan . Mengenai memahami
sebab –musababnya , itu lalu terasa sebagai suatu pembebasan dan penebusan .

Dalam dunia ontologi bahwa manusia dan dunia merupakan lingkaran-lingkaran yang
saling mengambil jarak. Bila manusia ingin mengatakan apa sebetulnya sesuatu , maka
diperlukan ketelitian , pembatasan , pengkotakan . Manusia bertanya , dunia ini
sebetulnya apa ; ia bertanya mengenai hakekat barang-barang , hukum-hukum alam ,
sebab-musabab , bahkan mengenai Idea-Idea dan tentang Tuhan sendiri . Manusia
melukiskan dan membeberkan , ia mencari definisi-definisi dan dengan kepala dingin
menjadikan barang yang sedang diselidikinya sebagai obyek . Tetapi kalau ia mengambil
jarak terhadap dunia – baik yang kodrati maupun yang adikodrati , maka itu berarti ,
bahwa manusia sebagai subyek menempatkan diri dalam semacam lingkaran . Manusia
juga mulai bertanya , siapa atau apakah gerangan dia sendiri . Ia menemukan diri sebagai
subyek , ia menemukan identitasnya sendiri .

Dalam tahap ontologi manusia juga mulai menanyakan tentang “apa”nya para dewa itu .
Manusia tidak lagi terpukau oleh pengalaman yang menggetarkan , ialah “bahwa “ ada
sesuatu yang tak terungkapkan . Tidak, manusia mengambil jarak , tentu saja jarak yang
dijiwai oleh rasa hormat ,”tetapi maksudnya agar dengan lebih mudah dapat memberi
nama kepada para dewa dan mengisahkan hakekat kodrat mereka. Pada jaman Romawi
Kuno , kita jumpai macam-macam buku yang semuanya mempunyai judul yang sama,
yaitu : perihal kodrat para dewa . Dalam ilmu fisika yang mulai berkembang ingin
menyelidiki alam ; demikian pun mereka ingin tahu tentang “apa”nya para dewa yang
menghuni alam di atas kodrat kita . Hakekat kodrat para dewa itu disimpulkan lewat jalan
argumentasi ,.sambil memeras otak , dan ilmu ini pada jaman klasik pun dinamakan
“teologia “ . Tradisi ini diteruskan dalam jaman Kristen pula . Kecenderungan untuk
mempersoalkan “hakekat” atau “ apa “nya sesuatu ( problematic ontologism ) lalu
menimbulkan teori-teori teologis yang berbelit-belit . Istilah-istilah yang dipakai dengan
jelas menonjolkan “ apa”nya, seperti misalnya “kodrat “ ( dalam diri Kristus terdapat dua
kodrat ) dan “hakekat “ ( dalam Trinitas terdapat tiga Pribadi dalam satu hakekat ) .
Dalam filsafat Tuhan disebut Pengada tertinggi , yang meliputi segala sesatu , sebab
pertama , dasar dunia dst .

Banyak ahli pikir bahkan menegaskan bahwa pemikiran-pemikiran teologis itu


merupakan usaha-usaha untuk melihat dengan mata batin hakekat kodrat Tuhan sendiri
Dan ini bukan suatu urusan teoritis semata-mata . Memandang wajah Tuhan merupakan
salah satu bentuk kehidupan mistik yang memberi kebahagian , lewat pengertian manusia
yang terbatas itu dapat menyentuh cita-citanya yang abadi dan tak terbatas .

Bahwa filsafat mengenai Tuhan juga mempunyai segi-segi yang praktis . Dengan bertitik
pangkal pada Tuhan norma-norma dan nilai-nilai memperoleh tempatnya yang tetap ,
sehingga manusia lalu juga tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh , dengan lain
perkataan , dia memperoleh sebuah pedoman yang tetap . Dalam dunia mitis nilai-nilai
sebetulnya belum dapat dirumuskan dengan cermat walaupun dengan tidak disadarinya
sudah memainkan peranannya , misalnya dalam peraturan-peraturan mengenai ikatan
keluarga , penghormatan terhadap para leluhur dan sebagainya . Tetapi bila manusia
sadar akan individualitasnya sendiri , maka ia lalu juga mengadakan obyektifikasi
terhadap masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat tersebut . Ia
menyelidiki apa persis yang terkandung dalam nilai-nilai itu. Kadang-kadang nilai-nilai
itu disebut :Idea-idea “ ( Plato ) , kadang-kadang pikiran-pikiran Tuhan ( Agustinus )
atau hukum moral dalam diri manusia yang dapat ditemukan dengan mempergunakan
akal budi ( Kant ) . Semua teori-teori yang berbelit-belit itu dapat diringkas dengan istilah
“ filsafat nilai-nilai ( Van Peursen , 1976 : 45 – 74 ): .

Berbagai tahap dalam perkembangan kebudayaan menggambarkan bagimana manusia


mencari hubungan yang paling tepat terhadap daya-daya kekuatan sekitarnya . Dalam
semua sikap itu nampaklah sebagai aspek pertama dalam strategi serupa itu bagaimana
manusia ingin memperlihatkan daya-daya kekuatan sekitarnya atau menjadikan
semuanya itu sesuatu yang dapat dialami . Dalam alam pikiran mitis daya-daya kekuatan
gaib itu dijadikan sesuatu yang dapat diraba-raba , karena manusia dapat mengambil
bagian dalam kekuatan tersebut ( partisipasi ) , misalnya dalam tata upacara . korban ,
tarian-tarian dlsb . Dalam alam pikiran ontologis manusia menempatkan diri berhadapan
dengan dan kalau bisa lepas terhadap daya-daya tersebut , sehingga dia dapat melukiskan
dan membuat sebuah peta mengenainya ; dengan demikian dia memperlihatkan , bahwa
dia mengakui kekuatan tadi . Dalam alam fungsional daya-daya kekuatan tersebut baru
nampak , bila manusia dapat memperlihatkan , bahwa terdapat sebuah relasi langsung
antara dia sendiri dan dunia sekitarnya yang berkuasa itu. Ini semua berarti , bahwa logat
manusia berubah, bahwa dia menciptakan istilah-istilah baru Di sini manusia berusaha
untuk mewujudkan , bagaimana sesuatu mempunyai arti atau tidak mempunyai arti .Dan
pertanyaan mengenai arti segala sesuatu sekaligus bertautan dengan kenyataan yang kita
hadapi sebagai eksistensi kita sendiri .

Memahami arti dan makna sesuatu berarti , bahwa arti tersebut dapat dinyatakan dalam
praktek . Salah satu ucapan Karl Marx yang paling sering dikutip oleh para ahli filsafat
telah memberikan tafsiran masing-masing mengenai dunia ini, tetapi sekarang tiba
waktunya untuk merubah dunia . Dalam setiap tahap kebudayaan kekuasaan yang
mempengaruhi alam, kesuburan dan masyarakat menampakkan diri . Tetapi dalam tahap
fungsional penampakan tersebut selalu berhubungan dengan pengertian akan artinya dan
dengan keharusan untuk mempraktekkan arti itu. Lingkaran –lingkaran telah dibuka
lebar-lebar dan bila gejala tersebut dipandang dari sudut dunia sekitarnya , maka ini
berarti bahwa daya-daya kekuatan itu memperoleh arti , ada sangkut pautnya dengan

7
8

manusia , bila dipandang dari sudut manusia , maka manusia mengarahkan diri kepada
dunia sekitarnya , manusia diikut sertakan untuk makin mengisi arti dunia itu. Manusia
makin aktif nmencampuri perkembangan alam dan sejarah . Dulu alam itu dialami
sebagai sebuah kismet yang dihayati secara pasif , tetapi sekarang alam dan sejarah pun
dapat dipermak diberi bentuk yang baru , dapat dipengaruhi oleh manusia. Manusia ingin
merubah dunia .

Pertanyaan mengenai adanya Tuhan diketengahkan secara fungsional orang bertanya


bagaimana nama “Tuhan “ dapat dikongkritkan dalam hubungan sehari-hari Dalam alam
pikiran fungsinal manusia ingin menyelidiki dulu, bagaimana sebuah kata atau nama
berfungsi , arti sebuah kata sebelumnya tidak pasti . Arti itu baru menjadi jelas sesudah
beberapa waktu . Sambil berbuat kita belajar . Pendekatan secara fungsional terhadap
persoalan tentang Tuhan menuntut keterbukaan dari pihak manusia . Kata-kata yang
mendasari eksistensi kita baru dapat diberi arti sambil berjalan bersama dengan kata-kata
itu .

Pendekatan fungsional terhadap masalah mengenai adanya Tuhan kelihatan juga dalam
perkembangan mutakhir dalam religi dan teologi , Semula gambaran yang kita peroleh
kelihatan ruwet sekali : terdapat suatu aliran teologi yang menyiarkan bahwa “ Tuhan itu
mati “, kita dengar tentang bentuk doa malam yang bersifat politis , religi kaum hippies ,
religi ilmu jiwa di Jepang , pertentangan antara kaum “vertikalis “ ( Tuhan berada di atas
segala-galanya ) dan “ horizontalis “ ( Tuhan tak lain dari belas kasih terhadap sesama
manusia ) dan sebagainya . Tetapi keruwetan tersebut sedikit lenyap bila kita tidak
pertama-tama menanyakan tentang “apa”nya , melainkan tentang “bagaimana”nya Dalam
cara pendekatan ini unsur kemasyarakatan tampil dengan jelas, sekalipun perlu
diperhatikan pula, bahwa justru unsur kemasyarakatan tadi dapat menceraiberaikan para
peneliti . Kaum neomarxis misalnya tidak menolak kepercayaan akan Tuhan itu , tetapi
dengan caranya mereka berusaha memperlihatkan , bagaimana kepercayaan akan Tuhan
dapat memainkan fungsi yang positif di dalam hidup manusia dan masyarakat Perhatikan,
bahwa selama tahun-tahun terakhir ini justru dari fihak ahli-ahli pikir marxis diterbitkan
beberapa studi teologis yang baik sekali . Dalam gerakan pembaruan dari kalangan
Budha dan Islam ada usaha untuk menjadikan persoalan tentang adanya Tuhan lebih riil
ini dengan mengaitkannya dengan praktek masyarakat modern . Apa yang dinamakan
“religi-religi baru “ di Jepang bertitik tolak dari perkembangan mutakhir dalam bidang
psikologi dan ilmu sosial Demikian mereka mencari suatu bentuk modern bagi religi-
religi . Dalam ilmu teologi kristiani bukan dogmatik lagi yang dititikberatkan , melainkan
eksegese , tafsir Kitab Suci yang berusaha menampilkan kehadiran ilahi di dalam
hubungan hubungan manusiawi biasa . Tokoh Kristus tidak ditonjolkan lagi dalam
keagunganNya seperti dibuat oleh angkatan-angkatan dulu,melainkan sebagai tokoh
historis yang kongkrit yang menyatakan dalam hidupNya sendiri masalah-masalah besar
seperti dosa, harapan dan belas kasih terhadap sesama manusia . Dalam diri pribadiNya ,
seolah-olah dipentaskanNya sebuah drama, Kristus sendiri berperan sebagai pelaku
utama dan sutradara sekaligus sehingga dalam diri Kristus unsur Ilahi dan manusiawi
terpadu menjadi satu ( Van Peursen , 1976 : 92 – 108 )
Masalah Asas Religi

Para ahli antropologi , terutama yang berasal dari abad ke-19 dan ke-20 , sampai kira-kira
menjelang zaman Perang Dunia ke II , dalam hal membicarakan gejala religi sering
mengupas faham itu dengan memakai konsepsi tentang adanya berbagai macam bentuk
religi . Demikianlah menurut mereka ada (1) Fetishism , ialah bentuk religi yang
berdasarkan kepercayaan akan adanya jiwa dalam benda-benda tertentu ; dan yang terdiri
dari aktivitis-aktivitis keagamaan guna memuja benda-benda yang berjiwa itu ; (2)
Animism , ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan bahwa di alam sekeliling
tempat tinggal manusia diam berbagai macam roh , dan yang terdiri dari aktivitas-
aktivitas keagamaan guna memuja roh-roh tadi ; (3) Animatism bukan suatu bentuk religi,
melainkan suatu sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan
sekeliling manusia itu berjiwa dan bisa berpikir seperti manusia ; kepercayaan itu tidak
untuk mengakibatkan aktivitas-aktivitas keagamaan guna memuja benda-benda atau
tumbuh-tumbuhan tadi , tetapi animatisme bisa menjadi bisa menjadi unsur dalam religi-
religi lain ; (4) Prae-animism , ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada
kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa dan terdiri dari aktivitas-
aktivitas keagamaan yang berpedoman kepada kepercayaan tersebut . Kadang-kadang
religi ini juga disebut dynamism ; (5) Totemism , ialah bentuk religi yang ada dlam
masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unilineal ; dan
berdasarkan kepercayaan bahwa kelompok-kelompok unilineal tadi masing-masing
berasal dari dewa-dewa nenek moyang , yang satu dengan lain juga berhubungan
kekerabatan ; dan terdiri dari aktivitas-aktivitas keagamaan guna mempererat kesatuan
dalam kelompk unilineal tadi sendiri-sendiri , masing-masing dengan mempergunakan
lamaing sendiri-sendiri ( totem ) berupa sejenis binatang , tumbuh-tumbuhan , gejala
alam, atau benda yang melambangkan dewa-dewa nenek moyang ; (6) Polytheism , yaitu
bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu sistem yang luas dari dewa-
dewa , dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja dewa-dewa tadi ; (7) Monotheism ,
yaitu bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu dewa atau Tuhan ; dan
yang terdiri dari upacara-upcara guna memuja dewa atau Tuhan tadi dan (8) Mystic
adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap
meliputi segala hal dalam alam ; dan sistem keagaman ini terdiri dari upcara-upacara
yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan .( Kontjaraningrat , 1977 , 268 – 269 )

Dalam mengajukan teorinya tentang asal usul religi . Seorang arkeologi Inggris bernama
Edward B Tylor (1832 – 1917 ) mengajukan pendiriannya bahwa kesadaran manusia
akan adanya jiwa itu disebabkan karena dua hal yaitu (1) perbedaan yang tampak pada
manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati . Satu organisma pada satu saat
bergerak-gerak , artinya hidup , tetapi tak lama kemudian organisma itu juga tak bergerak
lagi , artinya mati . Maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang
menyebabkan gerak itu , yaitu jiwa dan (2) Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia
melihat dirinya di tempat-tempat lain bukan mimpinya manusia ia sedang tertidur ).Maka
manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur , dan suatu
bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain . Bagian lain itulah yang disebut
jiwa .

9
10

Situasi abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat
hidup langsung , lepas dari tumbuh jasmaninya . Pada waktu hidup , jiwa itu masih
tersangkut kepada tubuh jasmani , dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia
tidur atau pingsan . Karena pada saat-saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang ,
maka tubuh manusia berada dalam keadaan lemah . Tetapi Taylor berpendirian bahwa
walaupun sedang melayang , hubungan jiwa dan jasmani pada saat tidur atau pingsan
tetap ada. Hanya apabila manusia mati , jiwanya melayang terlepas , dan terputuslah
hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya . Hal itu jelas terlihat apabila
tubuh jasmani sudah hancur , berubah menjadi debu di dalam tanah , atau hilang berganti
menjadi debu di dalam api upacara pembakaran mayat. Jiwa yang telah merdeka terlepas
dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya . Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa
merdeka itu , yang oleh Tylor tidak disebut jiwa lagi, tetapi disebut makhluk
halus.Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan
adanya jiwa manusia keyakinan kepada makhluk-makhluk halus .

Pada tingkat tertua dalam evolusi religinya , manusia percaya bahwa makhluk-makhluk
halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya . Makhluk-makhluk halus
yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu , yang bertubuh halus sehingga tidak dapat
tertangkap oleh pancaindera manusia , yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat
diperbuat manusia , mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia ,
sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahannya , yang disertai berbagai
upacara berupa doa , sajian , atau korban . Religi serupa itulah yang disebut animisme .

Kemudian Taylor melanjutkan teorinya tentang asal-mula religi dengan suatu uraian
tentang evolusi religi, yang berdasarkan cara berpikir evolusionisme . Animisme yang
pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta
sekeliling tempat tinggal manusia , merupakan bentuk religi yang tertua . Pada tingkat
kedua dalam evolusi religi , manusia percaya bahwa gerak alam yang hidup itu juga
disebabkan adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu
Sungai-sungai yang mengalir dan terjun ke laut , gunung-gunung yang meletus , gempa
bumi , angin taufan , gerak matahari , tumbuhnya tumbuh-tumbuhan , pokoknya seluruh
gerak alam , disebabkan oleh makhluk halus yang menempati alam

Jiwa alam itu kemudian dipersonfikasi dan dianggap seperti makhluk-makhluk dengan
suatu pribadi dengan kemauan dan pikiran , yang disebut dewa-dewa alam . Pada tingkat
ketiga evolusi religi , bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat
manusia , timbul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam suatu
susunan kenegaraan , serupa dalam dunia makhluk manusia . Maka terdapat pula suatu
susunan pangkat dewa-dewa , mulai dari raja-raja dewa sebagai dewa tertinggi , sampai
pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya . Susunan serupa itu lambat laun
menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan
penjelmaan dari satu dewa saja , yaitu dewa yang tertinggi . Akibat dari keyakinan itu
adalah berkembangnya keyakinan kepada satu Tuhan dan timbulnya religi-religi yang
bersifat monoteisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia .

Andrew Lang ( 1844 – 1912 ) agak berbeda dengan kebanyakan orang Inggris pada
waktu itu , yang sering percaya akan adanya gejala-gejala gaib itu . Ia justru tidak
percaya dan selalu berusaha mencari keterangan rasional yang dapat menjelaskan gejala-
gejala gaib itu . Sebenarnya David Lang ingin mengecam Tylor , ia kemudian
menyatakan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja
lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional . Karena
itulah , katanya , gejala-gejala gaib itu bisa bekerja lebih kuat pada orang-orang bersahaja
yang kurang aktif hidup dalam pikirannya , dibandingkan dengan orang Eropa misalnya ,
yang lebih banyak tergantung dalam hidupnya kepada aktitivitas pikiran rasionalnya .
Kemampuan gaib pada manusia bersahaja jaman dahulu itulah yang menurut Lang
menyebabkan timbulnya konsep Jiwa , dan bukan analisa rasional yang menghubungkan
jiwa sebagai kekuatan penggerak hidup , dengan bayangan tentang diri manusia sendiri
yang tampak di dalam mimpi seperti yang diajukan dalam teori Tylor tentang timbulnya
konsep jiwa dalam alam pikiran manusia .

Dalam dongeng-dongeng mitologi itu Lang sering menemukan adanya tokoh Dewa yang
oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dianggap dewa tertinggi , pencipta seluruh
alam semesta beserta isinya , penjaga ketertiban alam dan kesusilaan . Keyakinan kepada
tokoh dewa seperti itu , menurut Lang terutama terdapat pada suku-suku bangsa yang
masih rendah sekali tingkat kebudayaannya , dan yang hidup dari berburu atau meramu
Misalnya, penduduk Pegunungan Tengah di Papua. Beberapa hal membuktikan bahwa
keyakinan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani atau Islam . Maka
berdasarkan hal itu Lang berkesimpulan bahwa keyakinan kepada dewa tertinggi dalam
religi suku-suku bangsa tersebut sudah sangat tua , dan mungkin merupakan bentuk religi
manusia yang tertua , yang kemudian terdesak ke belakang oleh keyakinan kepada
makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang , hantu , dan
lain-lain .

Teori tentang Firman Tuhan ini yang sebenarnya hanya suatu lanjutan dari teori Lang ,
dikembangkan oleh seseorang pastor Katolik bangsa Austria bernama Wilhelm Schmidt (
1868 – 1954 ) . Dalam kaitan itu keterangan Andrew Lang mengenai adanya keyakinan
kepada tokoh Dewa tertinggi dalam sistem religi dari suku-suku bangsa yang masih
rendah tingkat kebudayannya , sangat cocok dengan pandangan dasarnya sebagai pastor
agama Katolik . Demikian Schmidt mengembangkan teori bahwa religi itu berasal dari
Titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula muncul di
muka bumi . Oleh karena itulah adanya tanda-tanda dari suatu keyakinan kepada dewa
pencipta , jsutru pada bangsa-bangsa yang paling rendah tingkat kebudayaan ( yaitu yang
menurut Schmidt paling tua ), memperkuat angggapannya tentang adanya Titah Tuhan
Asli atau Uroffenbarung itu Dengan demikian keyakinan yang asli dan bersih kepada
Tuhan ( keyakinan Urmonotheismus ) itu malah ada pada bangsa-bangsa yang tua , yang
hidup dalam jaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah . Dalam jaman
kemudian , waktu kebudayaan manusia bertambah maju , keyakinan asli terhadap Tuhan
menjadi kabur , kebutuhan manusia makin banyak , maka keyakinan asli itu menjadi
makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh , dewa-dewa dan
sebagainya .Sisa-sisa Urmonostheismus merupakan keyakinan kepada satu tokoh Dewa
Tertinggi , tentu dapat ditemukan dalam religi-religi suku-suku bangsa di dunia yang bisa
dianggap sebagai sisa-sisa manusia dahulu . .

11
12

Teori bahwa bentuk religi yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan
adanya kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan menjadi sebab timbulnya gejala-
gejala yang tak dapat dilakukan manusia biasa dikembangkan oleh RR Marett Konsep
mana yang dideskripsikan oleh RH Codrington ( The Melanesians – 1891 ) itu kemudian
dipergunakan oleh Marett untuk mengembangkan suatu teori tentang apa yang
dianggapnya sebagai bentuk religi yang tertua . Ia mengecam teori Tylor mengenai
kesadaran manusia purba tentang jiwa sebaga pangkal religi . Menurut Marett , proses
berpikir yang mengasosiasikan suatu kekuatan yang menyebabkan bahwa makhluk yang
hidup itu dapat bergerak , dengan bayangan tentang dirinya sendiri yang dilihatnya dalam
mimpi , adalah terlalu abstrak bagi pikiran manusia purba , yang kemampuannya pasti
masih terbatas sekali . Sebagai lanjutan dari kecaman itu ia mengajukan teorinya sendiri
tentang asal mula religi manusia , yaitu bahwa pangkal religi adalah suatu “emosi “ atau
suatu “getaran jiwa “ yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan
gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa. Alam di mana hal-hal serta gejala-gejala
itu berasal, oleh manusia purba dianggap sebagai dunia di mana terdapat berbagai
kekuatan yang luar biasa . Artinya, kekuatan yang yang tak dapat diterangkan dengan
akal manusia biasa , dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan alamiah biasa , yaitu
kekuatan yang supernatural . Dalam bahasa Indonesia kekuatan yang luar biasa itu dapat
disebut “ kekuatan gaib “ atau “ kekuatan sakti “ , sedangkan dunia dari mana kekuatan-
kekuatan gaib itu berasal dapat disebut “ dunia gaib “ atau “ alam gaib “.

Dengan menunjuk kepada data etnografi tentang mana . Marett kemudian mengajukan
teori bahwa manusia purba dapat kagum akan hal-hal serta peristiwa-peristiwa yang gaib,
yang tak dapat diterangkannya dengan akalnya yang masih terbatas kemampuannya itu .
Dengan demikian , timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada dalam segala hal yang
sifatnya luar biasa, baik manusia yang luar biasa , binatang yang ;luar biasa , dan benda-
benda yang luar biasa . Keyakinan itu dan “ emosi keagamaan “ yang timbul karena
keyakinan itu, serta segala tingkah-laku upcara yang merupakan akibat selanjutnya
adalah bentuk tertua dari religi . Bentuk religi semacam itu oleh Marett malahan dianggap
lebih tua dari religi di mana manusia itu menyembah makhluk halus dan roh. Jadi artinya
lebih tua dari religi animisme . Itu sebabnya bentuk religi tertua yang diuraikan itu
disebutnya praenaimism .

Ada seorang pendeta bangsa Belanda bernama AC Kruyt ( 1869 – 1949 )


mengembangkan suatu teroi mengenai bentuk religi manusia primitif , yang berpusat
kepada suatu kekuatan gaib yang serupa dengan kekuatan mana dan kekuatan
supernatural yang dikonsepsikan oleh Codrington dan Marett terurai di atas . Kruyt juga
berkata bahwa manusia primitif itu pada umumnya yakin akan adanya suatu zat halus
yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di alam semesta ini . Zat
halus itu terutama ada dalam beberapa bagian tubuh manusia, binantang dan tumbuh-
tumbuhan , tetapi sering kali juga dalam benda. Zat halus itu oleh Kruyt disebut
zielestof .
Keyakinan kepada Zielestof seperti itu oleh Kruyt disebut animisme . Karena zielestof
dianggap ada dalam manusia, binatang , maupun tumbuh-tumbuhan , maka timbullah
keyakinan bahwa Zielestof itu juga dapat beralih dari satu medium ke medium lain ,
misalnya dari manusia ke binatang , atau sebaliknya . Dengan demikian timbullah
keyakinan terhadap perpindahan jiwa atau inkarnasi , yang juga merupakan bagian dari
sistem animisme .

Di samping keyakinan kepada zielestof , manusia kuno juga mempunyai keyakinan lain,
yaitu berbagai macam makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya.
Di antara berbagai makhluk halus ini ada banyak yang merupakan penjelamaan dari jiwa
Orang yang telah meninggal . Berbagai makhluk halus itu dianggap dapat menempati dua
macam tempat . Sebagian hidup dalam suatu negara makhluk halus , yang oleh berbagai
bangsa dianggap berada di sebuah pulau di seberang laut , atau di pucuk suatu gunung
yang tinggi , di dalam hutan rimba yang gelap di bawah bumi yang dapat dicapai melalui
sebuah lubang dalam tanah , atau melalui suatu gua dalam karang . Sebagian besar
makhluk halus tidak tinggal di negara makhluk halus , tetapi menempati alam semesta di
sekeliling tempat kediaman manusia , misalnya di dalam pohon yang besar , di dalam
suatu mata air , di suatu persimpangan , atau pada suatu pelangi . Makhluk-makhluk
halus itu mempunyai pengaruh penting pada kehidupan manusia , karena mereka
mempunyai kemauan sendiri, dapat bergembira apabila diperhatikan oleh manusia , tetapi
dapat pula marah apabila diabaikan . Bayangan manusia tentang wujud dari makhluk-
makhluk halus yang hidup menempati alam sekelilingnya itu adalah bermacam-macam .
Karena manusia biasanya membagi dunia makhluk halus ke dalam dua golongan , yakni
makhluk halus yang jahat dan yang baik , maka bayangan orang tentang wujud dari
berbagai makhluk halus itu dibagi pula ke dalam bentuk-bentuk yang mengerikan dan
yang menarik hati . Sistem keyakinan akan adanya makhluk-makhluk halus tersebut di
atas ini oleh Kruyt disebut spiritisme .

Mengenai hubungan antara animisme dan spiritisme , Kruyt mengembangkan sebuah


pemikiran yang mengandung unsur-unsur cara berpikir Evolusionnisme . Katanya :
Mula-mula , waktu manusia masih hidup dalam suatu masyarakat yang berifat
communistisch , maka religi manusia yang pokok adalah keyakinan akan adanya suatu zat
halus yang umum , yaitu zielestof . Tetapi kemudian , ketika individualisme berkembang ,
maka keyakinan kepada suatu zat halus yang umum , yaitu zielestof , mulai mengkhusus
kepada suatu zat halus dari individu-individu , sedangkan keyakinan kepada zat-zat halus
itu menjadi penting apabila individu yang mendukungnya telah meninggal , dan zat-zat
halus tadi itu sendiri-sendiri sebagai makhluk halus. Dengan evolusi dalam masyarakat
manusia dari kehidupan komunal ke kehidupan individu ini, ada juga evolusi dari sistem
religi animisme ke spiritisme.

Pada suku –suku bangsa di Indonesia , misalnya suku-suku bangsa penduduk


Pegunungan Sulawesi Tengah, kedua macam sistem religi itu hidup berdampingan
Walaupun unsur-unsur spiritisme itu sudah ada , namun unsur-unsur anismisme belum
hilang sama sekali , bahkan masih meliputi sebagian paling penting dalam kehidupan
keagamaan bangsa Indonesia . Di mana ada pengaruh agama-agama besar seperti Islam
dan Nasrani , maka pengaruh itu terutama akan merubah sistem spiritisme karena asas
spiritisme mengandung satu persamaan dengan asas dari agama-agama besar itu , yaitu
keyakinan akan kelangsungan hidup jiwa manusia sesudah tubuh jasmaninya meninggal .
( Kontjaraningrat , 1985 : 12 – 22 ) .

13
14

Manusia dan Religi

Tanda-tanda yang di dunia ini bagi manusia modern menunjuk kepada Yang Maha Lain
tidak dengan jelas menunjukkan Yang Lain sebagai Tuhan . Namun pada masa kini pun
banyak orang yang yang mengimani Tuhan dan menganut salah satu agama. Kalau begitu
timbul pertanyaan “ “ Apa sebabnya orang itu beriman dan beragama, meskipun
pengalaman religius entah tidak ada entah dianggap sebagai kurang mencukupi untuk
mendasari iman kepercayaan ? Apakah yang mendorong manusia untuk beragama , untuk
mengimani apa yang tidak dilihatnya ? Tentu saja pertanyaan ini harus juga diajukan dan
dijawab oleh filsafat dan teologi , tetapi jawaban yang mereka berikan itu tak terjangkau
bagi psikologi . Teologi, misalnya , menjawab bahwa rahmat Tuhanlah yang mendorong
orang untuk percaya . Motif teologis ini tentu di luar sudut pandangan ilmu jiwa sebagai
ilmu empiris . Maka yang kita tanyakan sekarang ialah motif-motif psikologis untuk
kelakuan beragama , bukan motif teologis atau filosofis .

Setiap kelakuan manusia , termasuk kelakuan beragama, merupakan buah hasil dari
hubungan dinamika timbal-balik antara tiga faktor . Ketiga-tiganya memainkan peranan
dalam melahirkan tindakan insani , walaupun dalam tindakan yang satu faktor yang satu
lebih berperan . Ketiga faktor yang dimaksud ialah sebuah gerak atau dorongan yang
secara spontan dan alamiah terjadi pada manusia ; ke-aku-an manusia sebagai inti-pusat
kepribadiannya dan situasi manusia atau lingkungan hidupnya.

Psikologi mengobservasi bahwa keadaan frustasi dapat menimbulkan perilaku


keagamaan . Orang yang mengalami frustasi , tak jarang mulai berkelakuan religius
Dengan jalan itu ia berusaha mengatasi frustasinya .Orang itu membelokkan arah
kebutuhan dan keinginannya . Kebutuhannya itu sebetulnya terarah kepada suatu obyek
duniawi , misalnya harta-benda , hormat , penghargaan , perlindungan , cinta . Tetapi
karena ia gagal memperoleh kepuasan yang sesuai dengan kebutuhannya itu , maka ia
mengarahkan keinginannya kepada Tuhan , lalu mengharapkan pemenuhan keinginan
dari Allah . Manusia harus mati . Kematian yang tak terelakkan itu mengisafkan manusia
dengan paling tajam akan ketidakberdayaannya Maut merupakan luka paling parah untuk
narsisme innsani Untukdapat menghadapi frustasi tersebar ini ,manusia bertindak religius
Agama diabdikan olehnya kepada tujuan ini mengatasi frustasi yang disebabkan oleh
maut .

Frustasi bukan satu-satunya motivasi psikologis yang dapat dikemukakan sebagai faktor
yang menimbulkan perilaku keagamaan . Ada kebutuhan manusia akan suatu instansi
yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam hidup moral dan sosial .
Agama dapat berfungsi sebagai instansi semacam itu . Agama dapat diabdikan kepada
tujuan yang bukan religius melainkan yang bersifat moral dan sosial . Ada orang yang
tidak beragama tapi bermoral tinggi . Nilai-nilai moral itu merupakan kenyataan-
kenyataan insani yang sedemikian otonomi sehingga tidak sedikit jumlah pemikir yang
memandangnya sebagai petunjuk yang paling kuat kearah adanya Allah .
Agama bisa berfungsi intelektual-kognitif . Kendati tidak dapat dikatakan begitu saja
bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama . Sebab untuk sebagian intelek manusia
bersifat rasional , dan sejauh ini keinginannya ialah menangkap dan menguasai apa yang
dikenalnya . Keinginan ini tidak dipenuhi oleh agama . Yang dikenal manusia dalam
agama , yaitu Yang Ilahi , justru tidak dapat dikuasai , tidak ditangkap atau dicengkram
olehnya Maka yang memenuhi keinginan intelek akan pengetahuan bukanlah pertama-
tama agama melainkan filsafat serta ilmu pengetahuan pada umumnya .

Di lain pihak dalam arti tertentu agama memang memberi jawaban atas kesukaran
intelektual-kognitif , sejauh kesukaran ini dlatarbelakangi dan diresapi oleh keinginan
eksistensial dan psikologis , yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi
dalam kehidupan , untuk dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-
tengah kejadian semesta alam Manusia perlu berorientasi pada peta kehidupan
Kebanyakan orang tidak dapat menerima bahwa hidupnya akhirnya tidak bertujuan ,
tidak berarti . Bahwa dirinya Cuma gejala sementara saja yang akan berlalu lagi . Bahwa
hidup manusia pada dasarbnya sia-sia dan absurd . Atas pertanyaan-pertanyan vital tadi
agama memberi jawaban dengan jebih jelas dan tegas dari filsafat atau ilmu pengetahuan

Ketakutan sebagai faktor psikologis yang dapat menimbulkan perilaku religius Ketakutan
tanpa obyek lebih membingungkan manusia ketimbang ketakutan yang mempunyai
obyek . Ia dapat bersifat patologis tapi dapat juga bersifat tanda kemanusian . Menurut
Martin Heidegger , perasaan takut yang mendalam itu merupakan sumber filsafat ,
sejauh perasaan ini membuat manusia mengalami jurang ketiadaan yang menganga bagi
orang yang menyadari kerapuhan serta kefanaannya sendiri .

Ketakutan ini menunjukkan kesadarannya bahwa dirinya Cuma makhluk kotingen saja ,
makhluk yang kebetulan , yang tidak harus ada, yang tidak mempunyai dasar untuk
hidupnya ini di dalam dirinya sendiri . Lagi pula diinsyafinya bahwa dia itu makhluk
berdosa, kesepian , lemah dan berkekurangan . Kesadaran-kesadaran ini membuat orang
peka terhadap dimensi transenden . Maka dengan demikian ketakutan mempersiapkan
manusia untuk menerima pewartaan agama sebagai kabar yang menggembirakan , yaitu
kabar pembebasan dan penyelamatan manusia dari keadaan dosa dan maut . Dalam
situasi keadaan eksistensial ini kepekaan manusia terhadap Yang Transeden itu lebih
besar daripada dalam situasi biasa dan sehari-hari . ( Dister , 1988 : 71 – 112 )

Religi dan Filsafat

Sejak dahulu kala filsafat atau hasrat akan kebijaksanaan dianggap mulai bertumbuh bila
manusia mulai bertanya-tanya disertai rasa kagum dan heran . Berfilsafat berarti
bertanya-tanya disertai rasa heran . Kita menjadi sadar akan hal itu bila kita membaca
buku karangan Aristoteles Metafisika . Ahli pikiran Yunani ini berusaha
menggambarkan asas-asas filsafat yang pokok . Manusia , berlainan dengan hewan ,
berpangkal pada pengalaman yang menghasilkan ketrampilan teknis dalam menangani
barang-barang , dalam pikirannya ia menelusuri kembali gejala-gejala yang diamatinya
Dan dalam segala kegiatan tersebut filsafat bertanya-tanya mengenai makna dan

15
16

sebabnya . Rasa heran merupakan perangsang bagi filsafat , demikian digarisbawahi


Aristoteles dalam renungan-renungannya. Kemampuan untuk mengadakan renungan
filsafat mengangkat manusia di atas martabat derajatnyta sendiri .

Pendapat yang sama kita dapati dalam tulisan-tulisan Plato . Dalam sebuah bagian
tersohor dalam dialog (wawancara ) Theatetos ia menampilkan Sokrates yang
menghubungkan rasa heran dengan fiilsafat . Utusan dewa dikaitkannya dengan rasa
heran , seperti di dalam sebuah tulisan lain, yaitu Simposium , ia menempatkan filsafat di
tengah-tengah jalur perhubungan antara para dewa dan manusia . Plato pun berpendapat ,
bahwa filsafat tidak melulu menuntut keahlian manusiawi saja . Dalam Theatetos orang
yang sedang berdialog dengan Sokrates menceritakan tentang pengalamannya ketika ia
mulai merasa heran : ia menjadi pening . Dan memang , dalam rasa heran yang
merupakan titik pangkal bagi filsafat , manusia bercermin pada perspektif yang menjadi
penting , yang terbuka baginya di tengah-tengah peristiwa-peristiwa biasa. Belenggu rasa
biasa dipatahkan oleh rasa heran itu .

Dengan demikian telah kita lihat , bahwa pengetahuan filsafat timbul dari pengalaman
sehari-hari dan dari pergaulan kita dengan orang-orang lain dan dengan barang-barang
Berfilsafat pada pokoknya terjadi di tengah-tengah kejadian-kejadian yang biasa dan
menurut hakekatnya selalu bertautan dengan permenungan sehari-hari . Itulah sebabnya
mengapa sebetulnya filsafat tidak ada awalnya . Permenungan filsafat telah kita jumpai
pada orang-orang Cina dan India yang hidup beribu-ribu tahun yang lalu , sedangkan di
dalam lingkungan kebudayaan Yunani permenungan serupa itu baru muncul sekitar abad
keenam SM sebagai sebuah kegiatan tersendiri yang dilakukan demi kegembiraan yang
dihasilkan oleh pengertian . Tetapi pada hekekatnya setiap pengalaman manusiwi
mengandung kemungkinan terbukanya dimensi filsafat . Sebaliknya setiap permasalahan
filsafat , betapapun abstrak atau umum , entah yang menyangkut manusia entah yang
bertalian dengan Ada pada umumnya , selalu berakar di dalam manusia yang bertanya-
tanya , yang berdiri di tengah-tengah arus pengalaman sehari-hari dan sejarah manusia .
Filsafat tidak mengenal apa yang disebut :” titik nol yang mutlak “ seperti dalam ilmu
alam ; ia tidak dimulai secara polos dengan membuka selembar halaman yang masih
kosong . Filsafat selalu berurusan dengan manusia yang sudah berangkat pada
perjalanannya . Karl Japers , seorang ahli filsafat eksistensialis kontemporer ,
merumuskan pendapat yang sama pada permulaan tentang Filsafat . Di dalam filsafat ,
demikian Japers , muncullah pertanyaan-pertanyaan hakiki : ada itu apa ? siapakah aku ?
Tetapi , demikian diteruskanya , dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa itu
manusia tak pernah berdiri pada awal perjalanannya : ia mempunyai latar belakang
sejarah , ia hidup ditengah-tengah sebuah gambaran dunia tertentu , dan dengan
demikian, filsuf atau manusia mengajukan pertanyaan tadi dari situasinya sendiri . Saya
berdiri di tengah-tengah awal dan akhir yang tak pernah dapat saya raih , dan saya
bertanya-tanya mengenai awal dan akhir itu . Situasi manusia tak pernah merupakan
sebuah bola tertutup dan itulah sebabnya filsafat yang berakar dalam situasi itu tak
kunjung selesai . Sama halnya ia tak kunjung mulai , bertitik tolak dari sebuah titik yang
mutlak . ( Van Peursen , 1980 : 1 – 4 )

Dalam lingkungan alam pikiran Hindu filsafat tidak mempunyai kedudukan otonom .
Memang , filsafat di sana dengan sangat mendalam menyelami dasar-dasar kenyataan dan
pengetahuan , tetapi ini semua berkisar pada kehausan akan penebusan dan pelepasan
Titik tolak segala pemikiran ialah : eksistensi itu sama dengan penderitaan . Tidak ada
pemikiran , bahwa eksistensi bercirikan kesalahan atau dosa. Hinduisme modern
berusaha menyusun satu sistem universal yang meliputi segala agama dan filsafat sebagai
pancaran-pancaran kebenaran tunggal . Tetapi justru universalisme itu ditentukan oleh
suatu cakrawala religius yang sangat khas. (Van Peursen , 1980 : 107 – 108 )

Macam-macam filsafat yang bersumber pada Budhisme telah menghasilkan telaah-telaah


yang mendalam dengan mempergunakan dialektika yang rumit dan tajam . Sistem-sistem
ini tidak berfungsi sebagai filsafat yang lepas dari agama, tetapi selalu berkisar pada
suatu cakrawala religius . Budhisme Mahayana menumbuhkan suatu filsafat yang
dialektis-monistis yang lebih memuaskan rasa ketimuran yang spekulatif . Baik dalam
Hinduisme maupun dalam Budhisme tidak dapat ditarik garis pemisah antara teologi dan
filsafat . Refleksi filsafat selalu menuju pada pelepasan di dalam perspektif yang telah
ditunjukkan oleh kitab-kitab suci atau ajaran sang Budha. Timur dan Barat kini makin
intensif saling berjumpa dan dalam keadaan ini sistem-sistem filsafat tadi sangat aktual,
justru karena sifatnya yang universal dan ,.khusus mengenai Hindusme , sinkretis. Selain
itu dalam aneka macam sistem itu terungkapkan apa yang dalam filsafat-filsafat besar di
dunia Barat pada suatu tahap lain juga dicatat : dalam satu agama, misalnya Hinduisme ,
kita berjumpa dengan eksponen-eksponen dari aneka macam aliran yang saling
bertentangan , dari materialism ke spiritualisme , dari realisme sampai ke idealisme , dari
antagonisme sampai ke dogmatisme , dan dari ateisme sampai ke teisme. Ini semua
mendorong seorang ahli pikir dari Barat untuk mengadakan kontak yang lebih intensif ini
dengan alam pikiran Timur , tetapi dalam kurikulum-kurikulum seperti sekarang berlaku
pada kebanyakan universitas di Eropa kontak yang lebih intensif itu sering sering tidak
mungkin . Alam pikiran Barat , khusus dalam filsafat eksistensi menekankan “atau-atau
“, sedangkan dalam alam pikiran Timur ia berjumpa dengan pola pemikiran “ baik-
maupun “ beserta suatu kecenderungan untuk memperpadukan berbagai aliran dalam satu
pandangan yang universal. Pertemuan antara Timur dan Barat juga berlangsung pada
tahap yang lebih hakiki dalam perjumpaan agama Kristen dan agama-agama Timur .
Pola-pola kemasyaratan modern juga merupakan dorongan untuk mengembangkan suatu
pola pemikiran yang lebih diarahkan kepada kehidupan sosial dan kepada pribadi
seseorang secara kongret . Perlu dicatat juga , bahwa di samping suatu pembaruan dalam
sistem-sistem lama kelihatan juga perhatian besar untuk materialisme dialektis ( karena
harapan sosialnya ) maupun untuk suatu pola pemikiran yang lebih bersifat eksistensial
( karena tantangan pribadinya ) ( Van Peursen , 1980 : 110 – 111 ).

Baik dulu maupun sekarang agama Kristen berpengaruh besar terhadap filsafat , entah
sebagai sumber filsafat kristiani entah sebagai suatu tantangan yang dibantah oleh sistem-
sistem filsafat . Dalam perkembangan sejarah dewasa ini kelihatan tapal-tapal batas baru .
Pada umumnya dapat dikatakan , bahwa refleksi filsafat dan religius , bila berhadapan
dengan agama Kristen , diajak menentukan sikap , lain daripada agama Hindu modern
yang bersifat sinkretis, sanggup merangkul segala macam sistem yang saling
bertentangan . Maka ada gunanya bila kita lebih dahulu memusatkan perhatian kita
kepada naskah yang merupakan jantung agama Kristen , yaitu serangkaian tulisan yang

17
18

terjadi dalam kurun waktu kurang lebih seribu tahun . Alkitab ( dalam bahasa Inggris the
Bible ; kitab Injil sebetulnya hanya merupakan sebagian dari Alkitab ). Bila kita
berusaha memahami untuk Alkitab itu berdasarkan teksnya sendiri , maka kentaralah ,
bahwa tulisan-tulisan ini tidak dapat dan tidak boleh dimengerti di dalam suatu kerangka
filsafat tertentu dan sebaliknya , bahwa Alkitab ini tidak mengandaikan salah satu sistem
filsafat tertentu , tetapi justru ingin membebaskan manusia dari sistem itu .

Alkitab menyajikan suatu perwartaan , bukan suatu sistem ilmu pengetahuan ataupun
filsafat. Setiap spekulasi tentang Tuhan dan setiap sistem yang berpretensi seolah-olah
dapat menerangkan seluruh dunia seisinya , selalu diancam pertanyaan Tuhan yang
mengandung suatu kritik yang menelanjangi alam pikiran itu sampai akar-akarnya . Data
wahyu Tuhan bagi seorang Kristen tidak dengan serta-merta dapat dijadikan bahan
spekulasi yang serba mendalam seperti yang terjadi dalam kalangan agama Hindu dan
Budha . Wahyu tidak dikaruniakan kepada manusia untuk dijadikan obyek filsafat .

Ciri khas agama Kristen mungkin dapat diutarakan sebagai berikut : manusia dan alam
pikirannya selalu dipermasalahkannya , seperti di taman firdaus manusia selalui ditanyai
oleh Tuhan . Inilah mungkin sebabnya mengapa dalam kalangan agama Karisten timbul
beberapa pertanyaan mengenai filsafat . Dalam kalangan agama-agama lainnya
pertanyaan tadi mungkin tak pernah akan dapat dijawab secara tuntas . Persoalan ini
sudah nampak , bila berhubungan dengan apa yang dikatakan di atas tadi , kita bertanya ,
apakah agama Krsiten lalu menolak setiap filsafat yang tidak berhaluan Kristen ?
Bagaimana sikap orang Kristen terhadap hasil-hasil positif yang dikembangkan oleh ilmu
pengetahuan ? Dan akhirnya , apakah di luar bidang teologi tak ada fungsi lagi bagi
filsafat , khususnya filsafat yang bercorak kristiani ?

Mengenai masalah tentang filsafat kristiani masih terdapat suatu pendirian bahwa setiap
filsafat merupakan buah hasil pikiran manusia , jadi bersifat dosa dan terpatah ; hanya
teologilah yang dapat disebut pemikiran kristiani . Tetapi terhadap pendirian ini dapat
diajukan keberatan yang sama , yaitu kurang radikal ! Dapatkah kita berteologi tanpa
adanya filsafat nonkristiani ? Bila para ahli teologi mempelajari filsafat eksistensi masa
kini , neopositivisme dan materialisme dialektis , mereka lalu menyadari kemungkinan-
kemungkinan menakjubkan yang terkandung dalam daya pikir manusia sendiri . Dan
secara “radikal “ lalu dapat dilihat keterbatasan dalam daya pikir manusia itu : bukankah
teologi ingin menjadi refleksi dengan bertitik pangkal pada sabda Tuhan yang mengejar
dan mencegat setiap pemikiran manusia . Mengadakan pertentangan dangkal antara
filsafat ( yang identik dengan pemikiran nonkristiani ) dan teologi sungguh tidak dapat
dipertahankan . Setiap sistem pemikiran teologis dihantui oleh filsafat yang disangka
sudah mati .

Bidang yang dijangkau oleh filsafat lebih luas lagi dan antara lain juga meliputi
keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan dan hubungan antara ilmu yang satu dan ilmu yang
lain . Dengan maksud itu filsafat berusaha untuk memandang kenyataan sendiri yang
dalam ilmu-ilmu seolah-olah hanya dapat diketahui lewat foto-foto . Bagi filsafat kristiani
cakrawala kenyataan itu ialah cakrawala kepercayaan . Baru dengan demikian awan-
awan yang disingkirkan sehingga kita memperoleh suatu pemandangan yang bebas
terhadap kenyataan . Berfilsafat ala Kristen tidak hanya berarti secara kritis meneliti
sejarah filsafat , melainkan juga berupa sistematis yang menjadikan filsafat sungguh-
sungguh filsafat .( Van Peursen , 1980 : 117 – 128 )

Ciri khas agama Islam ialah arahnya yang vertikal ; kemulian dan transendensi Tuhan
Yang Mahaesa merupakan pusatnya . Vertikalisme ini mempunyai tiga aspek , Pertama ,
agama Islam berfungsi sebagai semacam penunjuk jalan bagi semua agama lainnya ;
lebih daripada setiap agama lain Islam menurut tabiatnya menentang setiap usaha yang
mau menerangkan agama seolah-olah bertumbuh dari data alamiah , faktor-faktor sosial ,
kebutuhan psikis dan sebagainya . Dengan lain perkataan : setiap teori yang mau
menerangkan ketuhanan sebagai proyeksi daripada kebutuhan manusia , atau yang
menerangkan konsep ketuhanan secara sosiologis sebagai cermin pertentangan klas,
ditolak mentah-mentah oleh faham Islam . Kedua, bagi pemikiran Islam modern
vertikalisme tadi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal ini dapat
diserasikan dengan masalah-masalah horizontal di dalam masyarakat modern , seperti
misalnya organisasi sosial , kedudukan wanita, penyusunan kembali seluruh masyarakat ,
pengakuan terhadap hasil-hasil ilmu modern . Dan yang ketiga , kedua aspek tadi
berjumpa dalam ketegangan antara teologi dan filsafat , seperti kita saksikan dalam dunia
pemikiran Islam . Dalam filsafat Islam , lebih daripada dalam kalangan-kalangan agama-
agama lainnya , masalah mengenai hubungan antara agama dan filsafat menonjol dengan
hebatnya . Dari satu fihak ini menghambat perkembangan filsafat Islam sendiri . Dari lain
fihak , justru pada masa belakangan ini , menjadi makin jelaslah , bahwa masalah ini
penting sekali bagi agama Islam , yakni menentukan tempat filsafat itu , karena dengan
demikian sekaligus ditentukan tempat agama Islam sendiri di tengah-tengah dunia
modern ( Van Peursen , 1980 )

Bila kita membaca karya-karya ahli-ahli pikir Islam itu nampaklah ketegangan-
ketegangan antara teologi dan filsafat . Ketegangan kedua merupakan lanjutan dari
filsafat Aristoteles dan neo-platonisme dan terwujud dalam ketegangan antara aliran-
aliran yang lebih bersifat rasional dan aliran –aliran yang bersifat rasionalistis dan aliran
yang lebih condong kearah mistisme . Kadang-kadang ketegangan tadi tidak hanya
terwujud dalam ketegangan antara dua tokoh filsuf , melainkan di dalam sistem yang
sama pula . Selain itu terasa juga ketegangan antara aliran yang ingin menyampaikan
suatu filsafat abadi yang berlaku untuk segala jaman – bukankah isi Al-Quran pun
bersifat abadi, tanpa awal dan tanpa akhir ? – dan aliran yang ingin menyajikan suatu
filsafat modern – bukankah filsafat bertugas untuk membuat jembatan ke dunia modern ?

Secara singkat dapat dikatakan , bahwa dalam alam pikiran Islam arah vertikal lebih kuat
Dari satu fihak ini berarti , bahwa ketegangan antara agama dan filsafat lalu juga lebih
besar . Ahli-ahli pikir muslimin tidak mudah akan menempatkan manusia sebagai dasar
sistemnya , atau mencari alasan-alasan alamiah semata-mata . Tetapi sebagai reaksi
terhadap arah vertikal itu, kadang-kadang akan muncul filsuf-filsuf yang menganut
pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran ortodoks , seperti misalnya
penyangkalan terhadap hasil ciptaan dunia atau kurang menghargai gambaran-gambaran
yang dianut oleh umat beriman .

19
20

Banyak ahli pikir muslimin menegaskan , bahwa di dalam Islam bukanlah spekulasi ,
melainkan etika , bukanlah teori , melainkan perbuatan sosial , bukan pengertian ,
melainkan pemberian wujud kepada dunia , merupakan pusat perhatian bagi filsafat
dalam Islam . Dengan demikian filsafat bukan lagi tujuannya sendiri . Filsafat lalu
menjadi sarana komunikasi dan alat , agar manusia menjadi makin sadar akan tanggung
jawab di dalam masyarakat dunia dewasa ini . ( Van Peursen , 1980 : 130 – 139 )

Religi dan Yang Ilahi

Di pelbagai wilayah , ketuhanan dihayati bukan melalui sebuah ajaran eksplisit ( seperti
agama besar), melainkan dalam kenyataan setiap hari , dengan kepercayaan-kepercayaan,
mitos-mitos yang diceritakan , ritus-ritus , doa-doa , dan pelbagai kebiasaan lain . Agama
dalam arti ini merupakan dimensi yang meresapi semua bidang kehidupan . Dalam
penghayatan keagaman aseli itu seluruh alam diresapi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang
tidak kelihatan . Peristiwa-peristiwa alami , seperti banjir dan kekeringan , orang
kejatuhan pohon atau dimangsa binantang buas , apa pun yang menimpa manusia ,
mengungkapkan kekuatan-kekuatan tak kelihatan itu . Kekuatan-kekuatan itu ada yang
melindungi desa, ada juga yang mengancam . Kekuatan-kekuatan itu bisa bersifat roh-
roh yang berada di tempat-tempat tertentu , bisa terlokasi dalam suatu fetis , dan bisa ada
“ Tuhan ” personal di atas segala –galanya . . Melalui sesaji, ritus dan doa-doa , dengan
memperhatikan pelbagai pantangan , dan dengan mengatur seluruh cara hidup dalam
kesuaian dengan kepercayaan bersama , orang berusaha untuk hidup dengan aman
Keagaman aseli ini tidak merupakan bidang tersendiri dan terpisah dari bidang –bidang
kehidupan manusia lainnya . Realitas alami , sosial , dan adi-duniawi menyatu . Apa pun
yang dilakukan , misalnya bercocok tanam , atau mempersiapkan pesta perkawinan ,
sekaligus merupakan pekerjaan , pesta bersama , dan penghayatan alam gaib .

Yang khas bagi penghayatan ketuhanan asli ini adalah bahwa tidak ada perpisahan antara
lam dan Yang Ilahi . Alam sendiri bagi manusia dilihat sebagai gaib . Artinya , alam –
sawah, pohon , sumur, batu besar , harimau dst – tidak pernah dihayati hanya secara
indrawi belaka , melainkan selalu dan dengan sendirinya sebagai penuh makna dan
kekuatan adi-duniawi . Ketuhanan di sini di hayati sebagai realitas gaib yang meliputi
kehidupan sehari-hari , peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti
kelahiran , menjadi akil-balik dan kematian , pekerjaan di rumah dan di sawah , gejala-
gejala alam , tetapi juga ketentraman dalam masyarakat dihayati sebagai ungkapan
kekuatan gaib alam raya . Tak ada perpisahan antara gejala alami dan makna rohani-
religius , tidak perlu dibentangkan jembatan antara pengalaman sehari-hari dan alam
rohani-religius . Yang alami terjadi secara religius .

Kitab-kitab suci Hindu , kitab-kitab Veda dan Upanishad , membuka jalan ke pemikiran
folosofis mendalam di mana akhirnya segala –galanya dipahami sebagai satu . Dzat
paling mendasar adalah Brahman yang sebagai Atman atau Jiwa meresapi segala-galanya
Ada yang berpendapat bahwa yang sebenarnya ada hanyalah Brahman sebagai realitas
satu-satunya , sedangkan segala apa yang kelihatan , seluruh alam inderawi , inderawi,
adalah maya, tipuan belaka .
Namun dalam penghayatan yang lebih umum , Yang Satu mengungkapkan diri dalam
Trimurti , dengan tiga wajahnya – yang kemudian juga bisa menjadi tiga dewa – yaitu
Brahma, Wisnu , dan Siwa . Bagi rakyat biasa , ketuhanan ini terungkap dalam ribuan
dewa dan dewi yang sebagian kita kenal dengan kisah Ramayana dan Mahabharata
Dengan demikian , seluruh realitas terpenuhi oleh kehadiran dimensi adi-duniawi .Dewa–
dewi ini merupakan personfikasi ketuhanan yang satu , yang begitu abstrak . Melalui
dewa-dewi , ketuhanan menjadi kehadiran dalam lingkungan yang nyata . Lingkungan
alami kehidupan desa dan kota dihayati sebagai penuh dengan dewa-dewi , roh-roh dan
pelbagai kekuatan gaib . Dalam penghayatan ini pun tidak ada alam yang empiris
inderawi saja. Melainkan alam inderawi adalah alam penuh kekuatan gaib yang karena
itu terus-menerus ditanggapi masyarakat dengan pelbagai ritus dan cara , sesuai dengan
adat masing-masing . Dalam penghayatan ini pun alam adalah religius .

Penghayatan ketuhanan dalam Budhisme adalah menarik . Sang Buddha sendiri justru
tidak bicara tentang Tuhan dan dalam ajarannya dewa-dewi tidak memainkan peranan
penting . Apabila Sang Buddha diam tentang Tuhan , itu bukannya karena ia menolak
”ketuhanan” dan dewa-dewi . Melainkan yang ditegaskan olehNya adalah bahwa bukan
segala macam teori dan devosilah yang membebaskan manusia , melainkan kalau ia
mengambil sikap nyata yang membebaskannya dari roda keterikatan pada nafsu dan
keinginan-keinginan tak teratur . Sang Buddha seakan-akan mengatakan : Lakukan
pelepasan dari segala keinginan dengan menjadi baik , positif, dengan bertapa seperlunya
( tetapi bukan secara berlebihan dan fanatik karena itu justru akan merupakan pamrih
baru ) Meminjam cara melihat Karen Amstrong , Sang Budha dalam ajarannya
mengandaikan suatu ketuhanan yang lain dari segala benda dan penganda di lingkungan
kita .

Suatu tradisi yang meyakini sebuah peristiwa unik sebagai dasarnya :Allah , Yahweh ,
memanggil nenek-moyang mereka , Abraham . Penghayatan ini baru . Bukan lagi seluruh
suasana alami masyarakat sarat dengan unsur-unsur gaib yang selalu dipersonfikasikan
dalam dewa-dewi dan roh-roh tertentu . Melainkan Abraham merasa telah dipanggil
secara pribadi oleh Tuhan yang namanya Yahweh . Yahweh memilih Abraham dan
menyuruhnya pergi ke tempat lain di mana sebetulnya ada dewa-dewi lokal juga . Dan
Yahweh itu bertanggungjawab atas Abraham ..

Penghayatan yang sama akan dimiliki seluruh bangsa Israel . Bangsa itu merasa diantar
secara pribadi , “dengan tangan terentang“, oleh Yahweh ke luar dari negeri Mesir
Yahweh mengadakan perjanjian dengan bangsanya , menyertainya selama 40 tahun
dalam pengembaraannya di padang gurun dan akhirnya mengantarkannya ke dalam tanah
yang dijanjikan kepadanya . Yahweh kemudian memperhatikan , membimbing serta
bertanggung jawab atas bangsa itu secara personal .

Yahweh semula belum Tuhan satu-satunya . Tetapi dewa-dewi lain tidak berarti
dibanding denganNya . Yahweh , itulah yang baru , tidak lagi terikat pada tempat tertentu
Ia adalah Tuhan atas bangsa-bangsa dan atas sejarah . Ia mempunyai sebuah rencana
keselamatan dan akan melaksanakannya . Ia mengadakan hubungan personal dan dialogis

21
22

dengan bangsaNya . Ia menjaganya dengan cemburu . Dan sesudah bangsa Israel , atau
yang tinggal daripadanya, bangsa Yahudi , kehilangan kenisah di Yerusalem dan tanah
tanah fisik yang diberikan kepadanya , bangsa itu mulai menyadari bahwa Yahweh bukan
hanya satu-satunya Tuhan Israel , melainkan satu-satunya Allah . Yahweh adalah Allah
Yang Maha Esa . Bangsa Yahudi menjadi monoteis . Dewa-dewi bukan hanya tidak
berkuasa atas mereka , melainkan tidak ada . Tak ada dewa di samping Yahweh . Dari
kepercayaan bahwa hanya Yahwelah Tuhan Israel, umat Yahudi mulai percaya bahwa
Allah hanyalah satu , Yahweh . Penghayatan Yang Ilahi sebagai Ilahi sebagai Allah .
Yang Esa kemudian mendasari dua agama monoteis besar yang menyempal dari rumpun
Yahudi , agama Kristiani dan agama Islam . ( Suseno, 2006 : 27 – 38 )

Yesus adalah seorang putra agama Yahudi yang asli yang mewarisi hal yang terbaik dari
khazanah keagamaan yang hebat itu . Dengan demikian , belaiu mewarisi wawasan
Yahudi tentang Tuhan , yang mempunyai kemurahan hati tiada batasnya , yang seluruh
keberadaanNya adalah demi keselamatan manusia . Jika Yesus berbeda dengan
bangsanya , hal itu hanya karena ia lebih bersunguh-sungguh menghayati pandangan
mengenai Tuhan tersebut dan menghayatinya secara lebih langsung , dan bukannya
karena Ia percaya akan sesuatu yang sama sekali berbeda . Tuhan “membentuk Mesir “
dan telah membebaskan Israel dari penderitaannya , bahkan sebelum Israel menjadi
sebuah bangsa yang menerima hukum Tuhan itu . Rahmat Tuhan yang mengherankan
ini , selalu memberkahi umat Yahudi sepanjang sejarahnya . Walaupun berulang-ulang
kali umatNya murtad , kemurahan cinta Tuhan tidak pernah berubah dan cintanya tetap
mengalir tak putus-putusnya . Berkali-kali , seperti dikisahkan Yesus mengenai seseorang
gembala yang meninggalkan 99 dombanya yang lain untuk mencari seekor dombanya
yang tersesat , Yesus berusaha untuk menyadarkan orang akan cinta Tuhan yang mutlak
terhadap setiap putraNya . Satu-satunya cara untuk menerima cinta adalah dengan cara
menyatakan syukur yang mendalam dan sepenuh hati kita atas keajaiban rahmat Tuhan
tersebut .

Konsep penting adalah konsep Trinitas . Konsep ini mengajarkan bahwa walaupun Tuhan
itu Esa . Ia juga tiga Landasan ajaran ini terdapat dalam kitab Perjanjian Baru . Yesus
menjelaskan tentang adanya Tuhan . Tetapi beliau juga mengatakan : Tuhan dan Aku
adalah satu .” Di samping itu beliau juga menyebut adanya pihak ketiga dalam Tuhan
tersebut : “ Aku akan meminta kepada Bapak dan Ia akan memberimu seorang Penghibur
yang lain , yaitu Roh Kudus , sehingga Ia akan besertamu selama-lamanya …Roh Kudus
yang akan dikirim Bapak atas namaKu akan mengajar kamu berbagai hal.” Dalam tugas
terakhir yang diberikan kepada para Rasul , beliau meringkaskan ketiga pribadi Tuhan ini
dalam satu pernyataan saja “ Pergilah kamu ke seluruh muka bumi , dan baptislah mereka
atas nama Bapak, Putra , dan Roh Kudus .”Tidak ada ajaran Krsiten yang dipandang
orang agak kabur dari ajaran tentang Trinitas ini ,. Gereja sendiri mengakui bahwa ajaran
tersebut bersifat misteri , yaitu merupakan suatu kebenaran namun di luar jangkauan akal
untuk sepenuhnya yang memahaminya. ( Smith , 1985 : 362 – 390 )

Agama Islam sangat terkenal karena pengakuannya kepada keagungan dan kekuasaan
Tuhanya yang Esa , sehingga hal ini tidak memerlukan pembuktian lagi . Allah itu
Mahabesar , Mahakuasa , Tuhan dari seluruh jagat raya , Pencipta langit dan bumi ,
Penguasa hidup dan mati ,. Yang dalam tangannya terletak penguasaan serta kekuasaan
yang tidak terbantahkan .Orang luar sering salah memahami Allah dengan
menggambarkanNya sebagai kekuasaan yang menekan dan tidak mengenal ampun
Salah satu gambaran orang Barat yang khas mengenai Allah adalah sebagai “tiran yang
tidak mengenal belas ampun . Salah satu gambaran orang Barat yang khas mengenai
Allah adalah sebagai “ seorang tiran yang tidak mengenal belas kasihan yang
mempermainkan manusia ibarat pion di atas papan catur, dan melanjutkan
permaianannya itu tanpa memperdulikan korban dari buah catur itu sendiri “. Namun
kaum Muslimin melihat tidak melihatnya demikian . Ia yang merupakan Penguasa dari
seluruh jagad raya adalah juga : Yang Mahasuci , Yang Mahadamai , Yang Mahasetia,
Pemimpin para AbdiNya , Pelindung anak yatim piatu , Penunjuk Jalan bagi yang sesat ,
Penghibur bagi mereka yang mendapat musibah , Sahabat bagi mereka yang sedang
terampas haknya; dalam tanganNya terletak kebaikan , dan Ia adalah Tuhan Yang Maha
pemurah, Yang Mahapengampun, Yang mendengarkan, Yang Selalu Dekat , Yang
Pengasih . Yang Paling Baik Hati , yang cintanya kepada manusia lebih lembut dari cinta
induk burung kepada anak-anaknya .

Demikian dalamnya dan bersemangatnya perasan Al-Quran terhadap kekuasaan dan


kedaulatan Allah sehingga beberapa orang penafsir telah menyimpulkan bahwa hal itu
telah mengatasi kebebasan manusia . Tidak seorang Muslim pun akan membantah bahwa
dalam Islam memang ada masalah bagaimana mendamaikan kekuasan Tuhan yang
meliputi segala sesuatu itu dengan kehendak bebas dari manusia . Apa yang dibantahnya
adalah ,pertama , bahwa masalah itu lebih berat terdapat dalam agama Islam
dibandingkan dengan teologi maju lainnya , dan kedua, bahwa hal itu mengakibatkan
timbulnya perasaan menyerah kepada nasib di kalangan kaum Muslimin . Dalam analisis
terakhir manusia adalah tuan dari perbuatannya sendiri dan bertanggung jawab sepenuh-
penuhnya terhadap keputusan yang diambilnya . “ Siapa saja yang melakukan dosa , ia
sendirilah yang bertanggung jawab atas perbuatan itu .” ( Smith , 1985 : 271 – 274 )

Tuhan para filsuf

Banyak buah pikiran Barat sejak dulu sudah kita jumpai dalam filsafat Timur , biarpun
filsafat Yunani dalam banyak hal dipengaruhi oleh Timur Dekat dan Timur Jauh , ia juga
merupakan suatu titik permulaan baru . Di Yunanilah mulai suatu permenungan filsafat
yang tidak terikat oleh suatu agama tertentu dan dalam hubungan ini boleh dinamakan
radikal sekali. Dalam alam pikiran Yimur agamalah yang merupakan wadah bagi
permenungan-permenungan filsafat , tetapi di Barat filsafat sendiri menjadi
perkembangan bagi perkembangan konsep-konsep teologis .

Yang merupakan pusat bagi pemikiran Yunani, terutama pada permulaan ialah rasa heran
yang mempersoalkan segala-galanya : dunia , dirinya sendiri dan juga , tetapi lain
daripada di Timur , agama . Memang , juga dalam lingkungan agama Budha muncul
pertanyaan-pertanyaan mengenai agama yang ada , tetapi pertanyaan ini berpangkal pada
agama, dan baru dari sana menuju kepada suatu pendalaman filsafat . Lain di Yunani :
Sokrates dijatuhi hukuman mati karena dalam lubuk hati para hakim menyadari , bahwa

23
24

dalam pikiran Sokrates kewibawaan agama dipatahkan .

Ibni tidak berarti bahwa Sokrates maupun Plato tidak bersikap religius. Bahkan kritik
pedas yang dilontarkan Xenophanes (abad ke-6 SM ) terhadap bayangan-bayangan
manusiwi mengenai para dewa ( dewa-dewa orang Ethiopia berhidung pesek , dewa-
dewa orang Thracia berambut merah ; menurut Homerus para dewa pun mencuri ; lembu-
lembu membayangkan para dewa seperti lembu-lembu , dan seterusnya ) disertai sebuah
deskripsi religius mendalam mengenai zat ketuhanan yang esa dan yang meliputi segala-
galanya yang seluruhnya bersifat mata, pikiran dan seterusnya . Tetapi refleksi filsafat
mengenai Tuhan justru menerobos kerangka religius dan tidak terjadi di dalamnya .
Itulah sebabnya mengapa Xenophanes dapat menyisihkan unsur-unsur adikodrati
(supernatural ) dari gambaran tentang dunia ; gejala-gejala dalam angkasa yang kelihatan
ajaib diterangkannya lewat jalan alamiah ; ia menaruh perhatian besar terhadap penelitian
fosil-fosil ; kebudayaan dan kearifan tidak dipandangnya lagi sebagai sebuah karunia dari
atas , melainkan sebagai penemuan oleh manusia dalam perkembangannya sendiri .

Plato, yang dirangsang oleh Sokrates, berusaha untuk menyelami idea-idea dengan
bertitik pangkal pada pemikiran filsafat dan baru dari sana ia memperoleh suatu
pandangan baru terhadap alam ilahi menurut berbagai fungsinya : idea-idea , jiwa dunia ,
Demiourgos atau pembentukan dunia , bintang-bintang , dan sebagainya . Menurut
pandangan Plato sesuatu makin dekat pada lingkungan ilahi sejauh pikiran manusia
menemukan sifat-sifat ilahi di dalam barang itu . Itulah sebabnya mengapa dalam
karyanya yang terakhir yaitu Hukum-hukum ia dapat menyediakan tempat yang lebih
luas lagi bagi agama rakyat . Tetapi ini merupakan hasil refleksi filsafatnya .

Bagi semua ahli pikir ini berfilsafat tidak melulu berarti telaah dengan akal budi semata-
mata . Pengertian yang dibuka oleh filsafat berarti sesuatu penebusan dan pembebasan ,
khususnya pembebasan dari dosa dan kesalahan yang melekat pada eksistensi manusia .
Dalam sistem-sistem filsafat Yunani . khususnya dalam perkembangan mutakhirnya
dalam neo-platonisme , kesadaran tersebut nampak dengan jelas . Dalam hubungan ini
filsafat Stoa pantas disebut secara tersendiri . Di sini teologi bersatu padu dengan fisika
dalam teorinya tentang alam kebendaan ( termasuk juga alam rohani ) api pencipta
merupakan segalanya . Inilah nafas berapi ( pnuema ) yang disamakan dengan mahadewa
Zeus dan yang sekaligus merupakan akal dunia (logos ) dan nasib dunia ( eimarmene ) .
Di sini pun kita berjumpa dengan suatu hukum semesta yang bersifat etis , tetapi bukan
pertama-tama sebagai suatu cakrawala religius , seperti misalnya dharma dalam agama
Budha , melainkan sebagai suatu usaha untuk mengarahkan pikiran manusia terhadap
data-data yang diturunkan dalam tradisi agama . Penyorotan ini , sebagai suatu ungkapan
dari Logos ilahi atau Budi , lalu memperoleh sifat pembebasan , karena menghasilkan
sikap stoic , tidak diombang-ambingkan oleh hal ihwal kehidupan sehari-hari .

Jadi, Tuhan para filsuf pasti bukan hanya sebuah kontruksi pikiran sebagai hasil perasaan
otak kita . Juga kemudian hari , bila Leibniz dan Spinoza menempatkan ketuhanan
sebagai mahkota di atas bangunan sistem mereka , maka cara mereka berfilsafat tergetar
oleh keharuan religius dan terpukau oleh pengalaman mistik . Tetapi dalam pandangan
kedua filsuf tadi ketuhanan menurut hakekatnya terikat oleh kebenaran-kebenaran yang
abadi yang terkandung di dalamNya . Dengan tidak terikat oleh sesuatu agama atau
wahyu Leibiniz dan Spinoza meneruskan secara konsekwen arah pikiran mereka
sehingga tidak mungkin mereka sampai pada kesimpulan lain yang tidak masuk akal
mengenai kebertautan antara kebenaran logis dan Kodrat ilahi. Kadar religiositas diakui
tetapi di dalam cakrawala filsafat sebagai suatu ilmu keselamatan bagi manusia
seutuhnya . Jadi yang pokok bukan manusia yang bernalar dan menyusun sistem-sistem
filsafat , melainkan apakah teropong filsafatnya dapat dibidikan pada Tuhan . Dan ini
baru mulai berbobot bila buah pikirannya mulai meretak dan dilengkapi oleh pengalaman
dan pandangan mistik . Sungguh agunglah gambaran yang dipaparkan Hegel mengenai
ilahi yang mengembangkan diri lewat proses dialektika ( thesis,antithesis –synthesis ) .
Tetapi anak tangga tertinggi menurut Hegel dalam perkembangan diri ini tercapai dalam
filsafat , karena Budi ilahi itu baru menyadari Diri dalam refleksi akal budi manusia .

Dalam filsafat masa kini pandangan tadi dengan jelas diungkapkan oleh Karl Japers
ketika ia memperjuangkan iman kepercayaan yang berdasarkan filsafat . Menurut ahli
piker Jerman ini maka setipa filsafat menelaah sampai akar-akarnya pertanyaan-
pertanyaan hakiki dan dengan demikian ia melaksanakan kedaulatannya sendiri . Ini
tercapai bila manusia mulai menyadari Dia-yang meliputi segala-galanya sebagai
cakrawala yang membuka bagi manusia kesempatan agar dia secara rohani dapat
berpartisipasi dalam nilai-nilai . Kedaulatan itu juga dilaksanakan , bila manusia secara
vital menghayati dunianya dan sebagai akar segalanya itu, bila manusia secara vital
menghayati dunianya dan sebagai akar segalanya itu , bila ia secara eksistensial
menempatkan diri dalam kebertautan dengan alam transcendental ilahi . Iman
kepercayaan yang berkara dalam filsafat itu sekaligus bersifat religius , karena manusia
yang sedang berfilsafat itu mengalami , bahwa ia berada tidak karena dia sendiri ; justru
bila ia menyadari kebebasannya sedalam-dalamnya , maka dalam akar-akar eksistensinya
ia merasa tergantung dari Dia yang mengatasi segala-galanya . Itu sebabnya mengapa
Jaspers memuji Kitab Suci orang Kristen yang gambarannya tentang Tuhan jauh
mengatasi gambaran para filsuf . Tetapi dia Yesus merupakan salah seorang nabi yang
paling besar ; justru karena ia mengajak manusia untuk memandang dirinya sendiri .
Tetapi, demikian Japers , tak ada seorang manusia pun yang dapat disamakan dengan
Tuhan ; Tuhan tidak mewahyukan melulu lewat satu orang saja dan lewat semua nabi . Ia
berbicara dengan berbagai cara .

Iman kepercayaan berarti , bahwa di dalam bidang ini, manusia tetap berdaulat dan tidak
bertekuk lutut di hadapan satu Penguasa tertentu saja. Manusia akan berjaga jangan
sampai komunikasi atau kontak dengan sesama manusia tersumbat ; lewat suatu proses
dialektis ia makin menjelajahi kebenaran agar dengan demikian ia makin dapat menjadi
dirinya sendiri . Filsafat tetap akan mempertahankan kedaulatannya , karena itulah
merupakan frame of reference-nya yang terakhir , juga sambil menghargai para nabi
agama-agama besar .( Van Peursen , 1980 : 111 – 113 )

Deisme dan New Age

Pandangan khas mengenai Allah di masa Pencerahan disebut deisme (dari “dues “,

25
26

Allah ) Deisme terutama merajalela dalam filsafat Pencerahan Inggris . Yang dimaksud
adalah bahwa Allah tidak lagi dipahami sebagai dekat dengan manusia , yang
mengerjakan mukjizat –mukjizat dan mengambil tindakan dalam sejarah ( seperti dalam
sejarah bangsa Israel ) , yang terus-menerus memelihara alam semesta dan
memperhatikan setiap orang . Hasil-hasil ilmu alam memberi kesan bahwa proses-proses
di alam semesta berjalan menurut hukum alam , dengan sendirinya , tanpa perlu campur
tangan kekuatan adi-duniawi . Orang mermang masih percaya adanya Allah, tetapi Allah
itu sama sekali tidak kaitannya lagi dengan dunia . Ia tidak mencampuri urusan dunia .
Leibniz menjelaskan pandangan ini dengan perumpamaan jam dinding . Apa yang lebih
sempurna : Jam dinding yang terus-menerus perlu dicampuri dan dibetulkan , atau jam
dinding yang sudah dibangun sedemikian sempurna hingga berjalan dengan amat persis
tanpa perlu terus dipasang kembali ? Deisme mengandaikan harmonia praestabilisita ,
keselarasan yang sejak semula sudah dipastikan . Sesudah Allah menciptakan dunia , ia
tidak perlu memperhatikannya lagi : Ia sudah menyusun sebelumnya semua gerak
sehingga alam semesta untuk selamanya akan berjalan secara selaras . Maka tidak ada
campur tangan Allah dalam jalannya dunia , baik secara biasa maupun secara luar biasa .
Campur tangan itu menurut deisme tidak pantas diandalkan ,

Deisme membuka jalan untuk kemudian mencoret Tuhan sama sekali . Kalau Tuhan
hanya diperlukan pada permulaan dan kemudian dapat dilupakan , maka pada akhirnya
Tuhan juga dianggap tidak perlu di permulaan . Alam dianggap sebagai kenyataan yang
ada , kita tidak tahu kena apa, sudah . Jadi deisme dapat dianggap sebagai langkah
pertama kearah ateisme. Namun ada juga unsurnya yang benar . Tuhan memang jangan
dianggap pengisi lubang , lubang ketidaktahuan . Di mana untuk apa yang tidak dapat
kita jelaskan secara alami , kita mengatakan bahwa itulah tangan Tuhan . Tuhan tak
pernah sebagai salah satu penyebab di antara penyebab-penyebab lain di dunia . Tuhan
adalah dasar segala penyebaban , bukan salah satu unsur dalam sederetan penyebab
sebuah proses. Di lain pihak , penolakan deisme terhadap kemungkinan mukjizat tidak
berdasarkan argumentasi yang kuat . Apabila Allah pencipta dunia, tentu Ia tidak terikat
mutlak . Apabila Allah memang pencipta dunia , tentu Ia tidak terikat mutlak pada hukum
alam ciptaanNya, bisa saja bahwa Allah mau menyapa manusia secara personal dan
dialogal dan untuk itu . Ia memberi tanda kepadanya yang tampak sebagai campur tangan
dalam proses –proses alami : Apakah ini mau dilarang ?

Maka tidak mengherankan bahwa di abad ke-18 untuk pertama kalinya ateisme
sungguhan diajarkan oleh beberapa filosof secara terbuka . Sebagian dari kaum
ensiklopedi di Perancis ( yang menulis karya besar “ Enclopedie francais “ ) menganut
paham mekanisme artinya paham bahwa segala apa yang terjadi di dunia, termasuk pada
manusia , dapat seratus persen dijelaskan menurut hukum mekanika , sehingga tidak ada
ruang bagi tangan Tuhan . Dua filsof yang secara eksplisit menyangkal adanya Tuhan
adalah Lametrie (1709 -1751 ) dan Holbach ( 1723 – 1789 ). Adalah Lametrie yang
dalam bukunya “L”home machine “ menerapkan pandangan mekanistik pada manusia .
( Suseno, 2006 : 53 – 54 )

Dalam membicarakan Deisme ini, perlu juga tampaknya diungkap tentang satu
kecenderungan spiritual yang sejak tiga puluh tahun terakhir ini semarak dan berkembang
Banyak masyarakat , terutama di Barat , yang memperoleh manfaat dari gerakan tersebut
sehingga tertarik dan mempercayakan keyakinannya kepada gerakan tersebut . Gerakan
itu dikenal dengan nama New Age , yang muncul; secara spontanitas sebagai respons
terhadap berbagai kebutuhan masyarakat , tekanan-tekanan dan kekuatan-kekuatan yang
dirasakan ketika itu , yang merupakan dampak dari adanya hegemoni Barat . Dengan
kata lain, berdasarkan analisa yang berlaku ketika itu , kelahiran gerakan tersebut sebagai
reaksi keras terhadap pelembagaan dosa dari gerakan civilisasi Barat .

Kita tahu bahwa kebangkitan peradaban Barat kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan
lepas dari tuntutan ajaran-ajaran ( keagamaan ) Kristen – yang menjadi agama resmi saat
itu . Sebagai konsekwensinya gerakan New Age berpaling dari agama-agama Barat untuk
kemudian mengarahkan kepada agama-agama Timur, semisal Hinduisme , Budhisme ,
Zen, Taoisme, agama asli Amerika , dll. Namun demikian , karena agama-agama formal
tersebut juga cenderung tidak toleran terhadap keyakinan yang dipegang pemeluk agama
yang berbeda , maka gerakan New Age tidak terbatas hanya pada satu keyakinan saja . Ia
terkadang memasukkan dan mencampuradukan pemikiran-pemikiran yang luar biasa
cemerlang , semisal pemikiran-pemikiran esoteric – dalam pengertian luas - - sejak dari
astrologi ( ilmu pengetahuan ) sampai pada bagaimana caranya mengetahui tubuh halus
manusia .

Gerakan New Age juga merupakan reaksi keras terhadap dosa-dosa sains , yang telah
melahirkan teknologi ilmu pengetahuan modern ternyata telah melahirkan dehumanisasi
Sebagai misal yang terjadi pada proses pengobatan secara modern di rumah-rumah sakit
yang dijalan secara tidak humanis atas nama perawatan dan pengobatan . Karena itu ,
gerakan New Age berpaling dari cara pengobatan modern ala Barat dan mengarahkan
kepada pengobatan ala Timur semisal cara pengobatan akupuntur , charkas , pengobatan
secara ritual-tradisional dari agama asli Amerika serta dengan cara shamanisme .

Terakhir , gerakan New Aga juga merupakan reaksi terhadap dosa-dosa kapitalisme dan
imperialisme serta eksploitasi terhadap lingkungan dan masyarakat . Gerakan New Age
berpaling dan eksploitasi dan mengarahkan kepada perdamaian kepada toleransi , kepada
kesadaran ekologi dan kepada kesimbangan alam .

Dengan demikian, karakteristik gerakan New Age adalah terbuka terhadap gagasan-
gagasan baru dan cara-cara baru pemikiran . Ia tidak terpusat kepada salah satu ajaran
atau agama formal apa pun. Namun demikian , gerakan New Age tidak berarti tanpa
problem . Problem paling utama yang perlu diperhatikan , yaitu ketika gerakan tersebut
menolak sesuatu ajaran atau agama ( formal ) sebagai telah berdosa .lalu beralih kepada
sesuatu yang lain secara ekstrim , maka ada kemungkinan sesuatu yang baru dianutnya
itu sebenarnya memiliki dosa yang tidak berbeda dengan jaran atau kelompok yang
ditolaknya . Dan jika hal itu terjadi , maka sebenarnya gerakan New York tidak lain
adalah bentuk gerakan yang mengarah kepada kultus . ( Hidayat , 2003 : 169 – 170 )

Agnosticisme

27
28

Filsafat yang menyangkal kemungkinan untuk mengetahui sesuatu tentang Allah adalah
agnosticisme Di dunia barat agnosticisme ini muncul sejak perkembangan ilmu
pengetahuan , artinya bersamaan dengan timbulnya jaman modern . Tak heran pikiran-
pikiran agnosticisme muncul dalam kalangan orang yang sudah berjauhan dari agama,
tetapi anehnya sekarang ini sikap agnostiscisme itu mulai berkecamuk dalam kalangan
orang beragama juga . Di dunia timur telah terdapat suatu bentuk agnostiscisme itu mulai
berkecamuk dalam kalangan yang beragama juga . Di dunia timur telah terdapat suatu
bentuk agnosticisme dalam agama Budha . Seorang Budha hidup dalam misteri alam ,
akan tetapi diakuinya juga , bahwa tak mungkin mengungkapkan kebenaran tentangnya .

Agnosticisme modern pada orang yang tidak beragama, biasanya berpautan dengan suatu
aliran filsafat yang disebut empirisme atau positivisme . Alasan ini merupakan salah satu
warisan rasionalisme Descartes . Seperti bagi Descartes , bagi orang yang menganut
empirisme dan positivisme hanya berlaku sebagai benar apa yang terang secara abstrak
dan obyektif . Akan tetapi mereka sangka ideal ini hanya tercapai dalam ilmu-ilmu
pengetahuan positif . Ilmu-ilmu itu berkembang atas dasar prinsip bahwa hanya dapat
diketahui apa yang tidak melebihi pengalaman . Pengalaman itu dapat dipastikan isinya
melalui metode ilmiah saja . Akibatnya bukti-bukti tentang adanya Allah tidak diterima ,
dan kemungkinan adanya wahtu tentang Allah ditolak juga . Dengan ini telah timbul
agnosticisme modern yang pertama , yakni agnotiscisme yang berdasarkan filsafat
positivisme .

Seorang filsuf yang menonjol di antara penganut-penganut agnosticisme yang ini ialah
Betrand Russell . Kadang-kadang filsafatnya tentang Allah dikarakteristik sebagai suatu
ateisme . Tetapi sebenarnya Russel tidak pernah mau memihak orang , yang telah
mencapai kepastian tentang soal religi . Tentu saja Russel menyerang metafisika dan
teisme , tetapi hanya oleh karena pengalaman dan logika tidak mengizinkannya untuk
memastikan adanya Allah . Apa yang diserangnya secara tajam ialah agama Kristen ,
kadang-kadang sewajarnya , kadang-kadang kekurangan-kekurangan agama ditekannya
secara berlebih-lebihan .

Setiap kali orang yang menganut agnosticisme ini telah melepaskan sikap religius
semata-mata . Akan tetapi dapat terjadi juga , bahwa agnosticisme bersaman dengan
hidup religius yang sejati . Sikap yang terakhir ini dibela oleh Goodenough.
Diketengahnya, bahwa manusia harus tetap bersikap religius , oleh karena ilmu-ilmu
pengetahuan tidak berhasil untuk menjelaskan semuanya . Terkadang apa yang belum
jelas seharusnya manusia mengambil sikap mencari ( religion as search ) . Titik tolak
mencari itu adalah sikap scientisme , yang merupakan dasar aliran positivisme itu. Apa
yang tidak diperbolehkan ialah bertolak dari teori finalisme. Yakni teori bahwa segala hal
mempunyai suatu tujuan yang tertentu . Orang yang berpandangan demikian telah
mengandalkan bahwa terdapat sesuatu yang minta penjelasan . Dengan ini mereka telah
membuka pintu bagi Allah yang mengatur segala-galanya , dan dengan demikian telah
menipu diri sendiri juga . Dalam agama mencari itu orang tidak sampai pada kebenaran
lagi , melainkan pada semacam hipotesa , seperti dalam penyelidikan pada bidang ilmu-
ilmu pengetahuan positif . Maka dari itu dalam agnosticisme ini pada prinsipnya orang
tidak sampai pada Allah , dan tinggal dalam situasi mencari saja .
Pada abad ini sikap agnosticisme tidak asing lagi bagi kaum teolog juga . Bagi teolog-
teolog modern pikiran-pikiran tidak ada artinya , bila mereka tidak berakar sungguh-
sungguh dalam hidup orang . Itu berarti , bahwa selalu dituntut adanya suatu kontak riil
dengan hal sendiri , sehingga bukan hanya diketahui , melainkan juga dirasai apa yang
sesungguhnya muncul dalam hidup . . Akan tetapi dalam hal Allah pengalaman
pengalaman semacam itu sering kali tidak ada ; orang yang tidak bersikap modern tidak
merasa lagi adanya pengaruh Allah dalam hidup . Maka dari itu apa yang tinggal ialah
Allah yang tidak muncul dalam hidup, Allah yang menyembunyikan diri , kegelapan
Allah .

Teologi yang paling maju kearah suatu agnosticisme belaka ialah teologi Allah mati .
Aliran ini dipelopori beberapa teolog yang telah menjauhkan diri dari teisme yang
mutlak, dan mencari landasan baru bagi pemikiran-pemikiran tentang Allah . . Landasan
itu mereka temukan dalam perhatian yang lebih besar bagi dunia sebagai nilai penting
dalam hidup orang . Nama pelopor yang paling dikenal ialah Paul Tillih . Ia bertolak dari
pandangan dan suasana dunia modern , di mana perhatian akan hal-hal duniawi makin
bertambah . Akibatnya pandangan atas kehadiran Allah makin sempit , dan kurang
mengesankan orang . . Kata Tillich hal itu disebabkan pula oleh pengertian orang tentang
Allah . Menurut tanggapan orang Allah adalah seorang pribadi yang bersemayam di atas
dunia dan umat manusia . Jika Allah datang ke dunia ini . Ia datang sebagai seorang
pengunjung dari suatu alam yang lain , seolah Ia tiada hubungan dengan hidup kita .
Tetapi, demikian Tillich , Allah semacam itu tidak ada dan orang berhak untuk
menolaknya .

Tillich mencari tempat Allah dalam hidup , dan menurut pendapatnya Allah dapat
ditemukan dalam apa yang disebutnya “ ultimate concern “ manusia . Setiap orang
mempunyai suatu keprihatinan tentang keselamatan hidupnya, yang memang sering kali
dangkal , tetapi kadang-kadang dirasakan sebagai yang sungguh menggemparkan hidup .
Di sini hidup manusia mendapat suatu kedalaman yang mutlak , yang muncul sebagai
dasar atau akar hidup . Seyogyanya keprihatinan manusia atau dasar hidup ini disebut
Allah , oleh sebab Allah adalah yang mendasar dan mengarahkan hidup manusia .

Ternyata dalam teologi ini kata Allah berfungsi sebagai istilah yang tepat untuk
kekhawatiran yang terakhir , yang main peranan dalam hidup manusia . Sebagai demikian
tak diperbolehkan kata Allah itu diobyektivir , sehingga dimasukkan dalam dunia secara
obyektif . Bila Allah diobyektivir , maka barangkali Allah menjadi suatu kepalsuan dari
suatu pengalaman sejati, sehingga orang tidak mengenal Allah lagi. Oleh sebab itu tak
mungkin mengatakan bahwa Allah ada , atau bahwa Allah adalah Ada yang paling tinggi,
atau yang paling sempurna. Allah adalah Ada saja . Atau juga : Allah adalah dasar dari
yang ada . Kalau Allah merupakan suatu wujud tersendiri , maka Allah dipikirkan
sebagai sesuatu yang memang di bawah “ada “ seperti Zeus ( Dewa Tertinggi orang
Yunani ) adalah di bawah Moira ( alam, nasib ) . Disimpulkan , bahwa Allah tidak dapat
dipikirkan sebagai eksistensi , oleh karena eksistensi merupakan “ yang ada “ ; lagipula
bahwa terdapat pemisah-pemisahan sama sekali antara Allah dan manusia sebagai yang
tak terbatas dan yang yang terbatas . Jurang itu tidak dapat dilintasi melalui , pun melalui

29
30

idée-idee manusia lainnya .

Teologi Tillich ini dapat digolongkan dalam teologi metafisis , (sehingga berbeda dengan
teologi antropomor ) , oleh karena idée Allah yang digunakannya berlainan dengan idée
Allah yang dipinjam dari mistik dan pertemuan pribadi. Tillich tidak menolak istilah-
istilah manusiwi semata-mata , akan tetapi menurut pendapatnya artinya hanya dapat
simbolis saja. Demikian juga kata Bapak tidak digunakan dalam arti yang sungguh ,
melainkan sebagai metafor .

Teologi baru yang dirintis oleh generasi Tillich , dianggap kurang radikal oleh generasi
yang lebih muda . Generasi baru ini melangkah lebih jauh kearah agnosticisme dalam
suatu teologi yang diberi nama radical theology .Titik tolaknya teologi itu bukan hanya
lagi pentingnya dunia , melainkan juga pengakuan bahwa Allah tidak penting lagi . Harus
diterima bahwa bagi seorang modern Allah telah mati : maka dari itu hidup religius dan
teologi tidak berdasarkan lagi pada pengakuan Allah, melainkan pada keterlibatan
(engagement ) dengan dunia .

Teolog-teolog aliran baru ini sangat terkesan oleh situasi keagamaan dalam negara-
negara yang terpengaruh oleh sekularisasi . Menurut meereka dalam jaman modern ini
mundurtnya agama tak dapat dihindarkan . Sebabnya, pemunduran itu tidak dikarenakan
oleh penyalahgunaan nama Allah . demi kepentingan-kepentingan egosistis orang-orang
beragama. Sebab yang sebenarnya ialah berkurangnya rasa keagamaan , yang nyata
dalam rasa simbol . Pada jaman dulu tidak sulit bagi orang melihat seluruh dunia sebagai
pernyataan dari suatu misteri yang lebih dalam . Bagi mereka dunia ini adalah lebih
daripada sejumlah benda materil . Sesungguhnya benda-benda itu, yang ditangkap
dengan pengalaman biasa , tidak lain daripada selubung dari dunia dalam arti sebenarnya
Memang arti ini tidak didapati secara terang-terangan , tetapi dapat diraba dan dipercaya.
Maka rasa simbol itu memiliki kekuatan untuk membuka horizon-horison baru yang ada
hubungan dengan hidup rohani manusia . Harus diakui , demikian teolog-teolog tersebut ,
bahwa semuanya ini sudah tiada lagi . Waktu sekarang ini orang yang makin terpengaruh
oleh cara berpikir ilmiah, telah kehilangan rasa simbol , yang membawa orang lebih
lanjut daripada gejala alam dan hidup .

Sebenarnya agnosticisme tidak dapat diterima orang yang beragama monoteistis . Akan
tetapi juga dari fihak filsafat agnosticisme kurang memuaskan . Agnosticisme yang
berdasarkan sikap scientisme menganggap perasaan –perasaan religius sebagai khayalan
manusia saja , memang tidak dapat dipandang sebagai tafsiran yang tepat tentang
kehidupan manusia dalam segala dimensinya . Pun pula agnosticisme yang mengakui
sikap religius sebagai suatu sikap yang hakiki sehingga merupakan bagian integral
kehidupan manusia , tidak dapat dianggap sebagai tafsiran yang benar tentang kehidupan
manusia itu . Orang yang menganut agnosticisme religius ini merasa diri berhadapan
dengan suatu bayangan yang tidak mempunyai bentuk , yakni misteri hidup yang
impersonal . Jalan untuk menghubungi diri dengan misteri mahabesar itu itu ialah
tenggelam dalam misteri ini sedemikian rupa sehingga kepribadian manusia hilang dan
manusia menjadi bagian dari suatu samudera raya , yang tidak memiliki nama dan yang
tak dapat dihadapmukakan .
Kiranya untuk menafsirkan kehidupan religius manusia secara tepat perlu
mempertahankan manusia sebagai pribadi yang menghadapi misteri hidup atas tingkat
pribadi juga . Hanya di sini nampaklah penghargaan yang sungguh-sungguh terhadap
manusia dan martabatnya dan terhadap misteri yang mahabesar yang melebihi pribadi
manusia secara tak terbatas . Oleh karena itu hanya monoteisme yang mengakui Allah
sebagai Pribadi yang Mahatinggi dianggap sebagai tafsiran tepat misteri hidup yang
dialami manusia .

Namun keberan-kebenaran yang terdapat dalam aliran-aliran agnosticisme ini jangan


diabaikan juga . Bagi manusia Allah adalah tetap misteri . Kadang-kadang orang yang
mempelajari ajaran agama , memberikan kesan , bahwa mereka sudah tahu semuanya .
Namun sebenarnya hanya sedikit saja dimengerti dari misteri yang mahabesar itu . Orang
yang paling mengerti Allah bukan juga mereka yang mendapat pengertian rasioanl
tentangNya , melainkan orang yang menerima Allah sebagai misteri dalam hidup ,
sebagai misteri hidup sendiri . Tentang nama-nama yang dapat diberikan kepada msiteri
Allah itu . ( Huijbers , 1982 : 222 – 233 )

Tiadanya Tuhan

Cakrawala filsafat sendiri sudah bersifat religius ; artinya , cakrawala itu diungkapkan
dengan bertitik pangkal pada suatu posisi dasar religius , pada suatu pilihan pokok entah
mengenai sebuah Hukum Dunia entah terhadap seorang Tuhan yang berpribadi , entah
mengenai kebenaran pada umumnya atau mengenai Kenyataan yang menggemparkan ,
entah sambil mempertahankan kedaulatannya entah sambil menyerahkan diri kepada
sesuatu yang lain yang berdaulat . Tetapi bila manusia berfilsafat mengenai masalah-
masalah dasar kehidupannya ia juga dapat sampai pada suatu kesimpulan yang berlainan
sama sekali , yaitu pada penyangkalan terhadap agama dan religi .

Pada masa klasik Yunani kesimpulan serupa itu misalnya ditarik oleh mazhab Epikurus;
berlainan dengan mazhab Stoa yang mengajarkan suatu sikap moral yang keras , lepas
bebas terhadap dunia , maka Epikurisme menjunjung tinggi kesenian untuk hidup secara
santai sambil menikmari dunia ini . Filsafat ini melulu mengabdi kjepada kenikmatan
hidup ; aliran ini sampai pada kesimpulan tersebut dengan menerangkan segala kejadian
di dunia ini secara materialistis dan mekanistis . Segala campur tangan dari atas , dari
alam transeden , disangkal ; manusia tidak perlu takut akan dewa-dewa atau akan
nasibnya di akhirat ; para dewa hidup bahagia di sebuah ruang di sisi alam raya dan tidak
mencampuri urusan manusia .

Dalam abad modern gagasan-gagasan serupa itu kita jumpai kembali dalam materialisme,
tetapi adanya dewa-dewa atau Tuhan disangkal , karena itu tidak dianggap perlu untuk
menerangkan alam raya Tetapi aksen bergeser, bila salah satu sistem filsafat , justru
karena tidak hanya mau menyajikan sebuah teori melainkan suatu pandangan dunia yang
menyeluruh , hanya dapat ditegakkan bila memerangi ide ketuhanan secara keras . Dalam
kasus serupa itu kita dapat berbicara tentang hilangnya Tuhan : ada satu bidang yang

31
32

dipatoki dengan jelas . Dalam pandangan ini tiadanya Tuhan itu bukanlah sesuatu yang
tidak perlu dibuktikan lagi, bukanlah sebuah hipotesa yang tak perlu lagi ; uraiannya
seolah-olah diwarnai semangat yang mau mengenyahkan sesuatu yang mau tidak mau
menonjolkan diri . Dalam kalangan ahli-ahli pikir Kristen abad yang lalu terdapat
kecenderungan untuk menjunjung tinggi konsep ketuhanan yang berpangkal pada filsafat,
sedangkan atheisme radikal dinilai secara negatif sekali . Dewasa ini situasi justru
berbalik : konsep tentang Tuhan yang berakar dalam filsafat kini dinilai sebagai contoh
cara berpikir manusia secara otonom , sedangkan gagasan akan tiadanya Tuhan dinilai
dengan lebih positif. Alasannya : mereka yang dengan keras melawan ide akan adanya
Tuhan hanya dapat berbuat itu , bila yang dilawan itu tokh dikenal dalam hati sanubari –
kebencian hanya mungkin bila kita mengenal dia yang kita benci .

Contoh pertama mengenai aliran yang dengan keras menegaskan tiadanya Tuhan , kita
dapat dalam materialisme dialektik . Tuhan itu tak lain daripada sebuah penemuan
manusia ( ditelorkan dalam otak manusia ), demikian ditegaskan Lenin dan dalam sebuah
brosur dari Rusia ( terbitan tahun 1952 ) yang membahas moral dikatakan , bahwa
menerima adanya Tuhan menggugurkan moral yang sejati dan kemajuan susila . Konsep
ketuhanan harus dilawan , karena mengandung sebuah ideologi yang merintangi
kemajuan sosial .

Contoh kedua terdapat dalam positivisme dan aliran-aliran lain yang tak dapat dikonstatir
secara empiris . Ini berarti bahwa pernyataan “ Tuhan itu ada “ tidak ada arti teoritis apa
pun , maka bersifat nonsense . Pendapat ini tidak hanya bersifat agnotis , dikatakan antara
lain oleh Ayer , menurut agnosticisme kita tak dapat mengatakan , bahwa Tuhan itu ada ,
maupun bahwa Ia tidak ada . Seorang agnost hanya berkata : “ saya tidak tahu “, tetapi
positivisme mengecam tutur bahasa yang berbau ilusi , yang mengibuli manusia , yang
bersifat “nonsense “. . Pendapat ini oleh Wittegenstein diberi tekanan yang sedikit
berlainan : menurut ahli pikir tadi apa yang dapat dituturkan secara logis sama luas dan
sempit dengan dunia kenyataan . Tuhan tidak mewahyukan diri di dalam dunia . Tapal
batas dunia ini ( kenyataan yang dapat dikonstatir , yang dapat diungkapkan secara logis )
tak dapat dilintasi oleh manusia . Tetapi Wittegenstein juga menegaskan adanya suatu
dunia yang tak dapat diungkapkan . Dalam pandangan Wittegenstein Tuhan itu tidak ada,
karena Ia hanya dapat dijumpai bila kita berdiam diri .

Contoh ketiga nampak di tengah-tengah mereka yang berpikir-pikir tentang konsep


ketuhanan sedemikian lama , sampai Tuhan sendiri lenyap di belakang kaki langit . Yang
tinggal hanya pikiran manusia tentang Tuhan dan gambaran-gambaran manusiwi ; kotak-
kotak kosong yang berserakan di tempat perkemahan . Pandangan ini kita jumpai dalam
aliran yang memandang Tuhan hanya sebagai sebuah proyeksi dari pihak manusia . Pada
abad yang lalu teori ini diuraikan dengan panjang lebar oleh Feurbach : teologi
sebetulnya tak lain daripada antropologi , adanya Tuhan tak lain daripada cermin adanya
manusia. Kemudian hari pandangan ini muncul kembali dalam ilmu psikologi , antara
lain karena pengaruh Sigmund Freud yang menghubungkan konsep ketuhanan dengan
pengaruh gambaran si kanak-kanak mengenai orang tua dan para pendidiknya . Aneh
juga bahwa pengarang-pengarang modern , seperti Aldous Huxley dan Simon Vestdijk
mencari titik-titik pertemuan dengan alam pikiran Budhisme karena menurut pendapat
mereka Budhisme pun mendukung ide tentang proyeksi . Menurut pandangan Budhiisme
dewa-dewa pun tak lain daripada gambaran-gambaran manusiawi dan di belakang
gambaran itu tak ada lagi sesuatu yang dapat disebut Tuhan ; yang ada hanya kebahagian
yang terletak di sebelah sana segala sesuatu yang ada ( beyond all reality ) . Dengan
demikian teori proyeksi itu akhirnya tokh mencari kaki langit yang lebih luas daripada
patokan-patokan analisa psikologi dan teori-teori filsafat .

Contoh ketiga dan yang paling mengesankan kita temukan pada ahli –ahli pikr yang
menghayati lenyapnya Tuhan secara eksistensial . Demikian Friederich Nietzche (1844-
1900 ) berbicara tentang Tuhan sebagai sesuatu yang dibuat oleh manusia sebagai
ikhtisar segala kemalangan . Tuhan itu gambaran-gambaran manusia , ia mengancam
kehidupan manusia dan sebagai gambaran tentang Tuhan yang menderita dan disalibkan
merupakan kutukan bagi kita . Dalam tulisan-tulisannya lebih daripada dua puluh kali
kita jumpai ucapan-ucapan yang semuanya berkisar pada satu ungkapan : “ Tuhan itu
mati “Demikianlah dengan segala sentimennya Nietzche melukiskan kehidupan manusia
dewasa ini yang sepi daripada ketuhanan ( Gottlosigkeit ) di mana lenyapnya Tuhan
bukanlah sesuatu yang sudah gamblang .

Jean-Paul Satre pun dapat dikategori ini . Ia mengutip ucapan Nitzsche bahwa Tuhan itu
mati . Dalam karya filsafatnya ia memberikan suatu bukti bahwa Tuhan iti tidak ada ,
tetapi yang lebih menjadikan kita sesak ialah pandangannya yang berulang kali kembali
dan yang kurang lebih dapat diungkapkan sebagai berikut : mau tidak mau manusia
mengalami ide bahwa Tuhan itu ada sebagai sebuah obsesi (ide yang menghantuinya ),
tetapi andaikata Tuhan itu ada , maka manusia tidak ada. Jadi, demi kebahagian umat
manusia perlu diterangkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Seperti pada diri Japers , maka
juga dalam diri Satre nampak dorongan untuk berkomunikasi , tetapi di sini sebagai
cakrawala, tidak untuk menolak gambaran Kristen tentang Tuhan , melainkan untuk
menolak adanya Tuhan dalam bentuk apa pun juga .

Maka ditekankan bahwa Tuhan itu tidak ada, makin jelaslah , bahwa sistem filsafat itu
ada kecenderungan menjadi suaatu pandangan dunia ; berfilsafat lalu memperoleh sifat
religius . Ini sudah berlaku bagi filsafat Satre :sesama manusia dan usaha untuk
membenarkan eksistensinya sendiri ( yang harus diperoleh lewat sesama ) sudah
membeberkan suatu dimensi religius . Ini pasti berlaku juga bagi Nietzche yang memuja
Dionysos ( dewa Bacchus , dewa kemabukan ) sebagai lambang untuk menerima gairah
kehidupan ..

Juga positivisme dan materialisme dialektik berpendapat ; bahwa dalam filsafatnya


terkandung suatu kekuatan yang dapat membebaskan manusia . Neopositivisme ingin
menyembuhkan manusia dari khayalan metafisika dan berulang kali mengeaskan
khasiatnya yang dapat menyembuhkan manusia . Dalam karangan-karangan
Wittgenstein bahkan dipaparkan suatu alam msitis . Dalam semua aliran tersebut dapat
kita dengarkan nada-nada religius , biarpun tidak terwujud suatu kebaktian baru , yaitu
pemujaan terhadap Kemanusian , seperti dilakukan Comte , seorang tokoh positivisme ,
pada akhir hidupnya . Khususnya cita-cita materialisme dialektis menampilkan suatu
corak religius , karena memang ingin berperan sebagai suatu terapi , suatu obat , yakni

33
34

menelanjangi ideologi-ideologi , supaya dengan demikian terbukalah jalan untuk


mengharap-harap kedatangan negara sosialis yang menyelamatkan .( Van Peursen ,
1980 : 113 – 116 )

Tuhan dan Filsafat

Pertanyaan tentang Tuhan tidak datang dari udara kosong . Manusia sudah lama
menyembah Tuhan dalam pelbagai bentuk dan filsafat di mana pun tertarik untuk
memikirkan “Tuhan “ itu dari pelbagai sudut . Tetapi sekarang , di abad ke-21 , hal
“Tuhan “ lebih mendesak . Karena dalam 300 tahun terakhir terjadi suatu perkembangan
yang baru dalam sejarah umat manusia : Kepercayaan akan Tuhan bukan lagi barang
tentu . Dengan menyingsingnya “fajar budi “ , masa Pencerahan , di abad ke-17 dan ke-
18 , filsafat menjadi kritis terhadap agama . Sesudah itu , filsafat dan juga pelbagai
ilmuwan bahkan menolak adanya Tuhan . Dalam dalam abad ke-20 Filsafat Ketuhanan
sendiri seakan-akan menghilang dari wacana filsafat . Filsafat abad ke-20 memikirkan
manusia dan pengetahuannya , bahasa manusia , masyarakat dan hal budaya , tetapi tidak
banyak memikirkan Tuhan . Atau sekurang-kurangnya , Tuhan tidak lagi menjadi objek
utama diskursus filsafat . Apa sebabnya ?

Kenyataan itu kiranya akibat dua perkembangan ( yang tentu berkaitan secara dialektis ) .
Di satu pihak filsafat tidak meminati hal Tuhan lagi . Sesudah melalui tahap ateisme ,
banyak filsof secara diam-diam sepakat bahwa filsafat tidak dapat berbicara tentang
Tuhan . Kita akan membicarakan pandangan . Di situ sangat terasa pengaruh Immanuel
Kant (1724 – 1804 ) . Menurut Kant , Tuhan tidak menjadi objek pengetahuan manusia ,
jadi nalar tidak dapat mengetahui apa pun tentangnya ( meskipun Kant menyatakan
bahwa fakta kesadaran moral merupakan petunjuk akan adanya Tuhan ) . Lagi pula ,
ateisme pun sudah out of date ( kalau filsafat menyangkal bahwa kita dapat mengetahui
sesuatu tentang Tuhan , apalagi disangkal bahwa kita bisa tahu bahwa tidak ada Tuhan ;
jadi ateisme dengan sendirinya tidak dapat dibuktikan ). Karena itu para filsuf , serah
dengan kecenderungan umum dalam masyarakat modern, berpendapat bahwa hal Tuhan
adalah urusan kepercayaan masing-masing orang . Jadi ( sebagian besar ) filsafat
berpendapat bahwa filsafat tidak dapat bicara tentang Tuhan .

Di lain pihak , di antara orang beragama sendiri kelihatan ada kecenderungan semakin
kuat untuk menolak pemikiran rasional tentang Tuhan , atau sekurang-kurangnya
menganggap tidak bermanfaat . Di sudah yakin akan imannya , jadi akan adanya Tuhan ,
dan Iman itu bagaimana pun melampaui kemampuan penalaran manusia . Apalagi
penalaran manusia cenderung kritis dan tidak simpatik terhadap kepercayaan religius .
Maka buat apa pemikirkan Tuhan ? Kalau kita percaya pada Tuhan , kita yakin akan
Tuhan , dan kalau sudah yakin , untuk apa memikirkannya , apalagi secara filosofis , di
mana kita seakan-akan harus mengesampingkan keyakinan religius kita sendiri ? Sikap
yang menolak pemikiran rasional tentang Tuhan disebut fidesme . Fideisme menyatakan
bahwa nalar tidak bisa sampai pada Tuhan .

Sikap itu paling kuat di antara mereka yang berkecenderungan fundamentalis.


Fundamentalisme – yang pertama kali muncul sebagai reaksi di beberapa kalangan
Protestan di Amerika Serikat atas Darwinisme – berpegang pada arti harfiah dan ketidak-
sesatan seratus persen Kitab Suci . Kaum fundamentalis menyatakan bahwa mereka
mendasarkan keyakinan mereka semata-mata pada iman . Mereka menolak segala
pemikiran kritis tentang iman . Fundamentalisme yakin bahwa bagi orang yang beriman
tak mungkin ada keragu-raguan tentang imannya , maka ia menolak penalaran murni
manusia tentang Tuhan . Tetapi . juga banyak orang yang beriman , bahwa beberapa
teolog yang tidak fundamentalis , berpendapat bahwa iman kepercayaan dan keyakinan
agama adalah urusan individual Kalau orang menerimanya , itulah haknya , dan kalau ia
memang meragukannya , tak usah meributkan iman orang tidak ragu-ragu .

Tetapi justru dalam situasi di mana seakan-akan mereka yang memakai nalar menolak
Tuhan , atau lebih tepat , menganggap Tuhan hal yang tidak dapat diketahui , orang
percaya kepada Tuhan ditantang untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya akan
Tuhan secara rasional . Soalnya , bagi orang beriman percaya pada Tuhan bukan salah
satu kepercayaan subjektif seperti orang dapat percaya pada reinkarnasi , melainkan
sebuah kebenaran yang menjadi dasar seluruh kehidupannya dan menyeru untuk
disampaikan juga kepada orang lain . Jadi bukan semacam hobby religius . Wajarlah
kalau dituntut agar orang tidak asal percaya sesuatu , melainkan dapat
mempertanggungjawabkannya .

Iman dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam dua arti : Secara teologis dan
secara filosofis . Secara teologis iman dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk
bahwa apa yang diimani , serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu , adalah
sesuai dengan sumber iman itu . , adalah sesuai dengan sumber iman itu . Jadi teologi
berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan . Wahyu itulah sumber kebenaran . Karena
setiap agama mempunyai wahyu atau dasarnya sendiri , setiap agama mempunyai
teologinya sendiri juga . Pertanggungjawaban iman secara teologis terjadi dalam rangka
refleksi dan diskursus iman di dalam umat agama yang bersangkutan . Orang dari luar
tidak dapat masuk karena tidak mengakui wahyu agama itu sebagai sumber kebenaran .

Pertanggungjawaban filosofis iman adalah berbeda . Di situ yang mau ditunjukkan


rasionalisme iman itu . Dan itu dilakukan dengan memakai nalar . Nalar dapat memeriksa
suatu keyakinan atau ajaran agama dari beberapa sudut . Misalnya dari sudut konsistensi
logis : Apakah ada pertentangan di antara ajaran-ajaran agama itu . Lalu dari sudut
pengetahuan tentang dunia dan masyarakat : Misalnya apakah ajaran tentang penciptaan
dunia dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pengetahuan ilmu-ilmu alam tentang alam
raya , perkembangan hayat di bumi , dlsb . Dapat juga dari sudut pengalaman batin .
Filsafat Ketuhanan sebagai filsafat tidak mendasarkan diri pada ajaran atau wahyu agama
tertentu , melainkan bertanya apa yang secara nalar dapat dikatakan tentang iman itu .

Filsafat , tentu saja , tidak membicarakan seluruh iman-kepercayaan suatu agama ,


melainkan hanya intinya , keyakinan iman bahwa ada Allah . Soalnya kebanyakan unsur
dalam kepercayaan dan kehidupan suatu agama berdasarkan ajaran atau sumber agama
itu serta perkembangan dalam sejarah umat ybs . Filsafat Ketuhanan membatasi diri pada
pertanyaan paling dasar bagaimana kepercayaan bahwa Tuhan dapat dipertanggungjawab

35
36

kan secara rasional . ( Suseno, 2006 :19 – 22 )

Jalan menuju Tuhan

Ada kemungkinan kesadaran tentang Allah dipadamkan . Jika demikian halnya , maka
perlu kesadaran itu diperbaruhi melalui penghayatan diri sendiri sebagai keseluruhan
Demikianlah kebijaksanaan yang terkandung dalam meditasi bercorak timur . Dengan
menghayati hidup secara mendalam, manusia menempuh jalan satori , yakni jalan
penerangan yang menembus , jalan kearah Allah . Realisasi diri itu sebagai mahluk ilahi
dilaksanakan langkah demi langkah . Tujuannya ialah untuk makin melepaskan diri dari
identifikasi diri itu dengan aku , dan menemukan identifikasi dengan keseluruhan ,
dengan tracendensi , yakni dengan Allah sumber segala kesempurnaan dan cinta .

Durkheim berpendapat bahwa jalan ini belum biasa dalam dunia Barat , oleh sebab orang
tenggelam dalam aktivitas . Sedangkan orang Timur jauh lebih dekat pada jalan pikiran
inmi, terutama penganut Budhisme . Perlu diketahui juga , bahwa Durckhiem tidak
memandang “pengalaman besar “ itu sebagai pengganti agama , tetapi sebagai persiapan
akan penghayatan agama yang sejati dan mendalam . Di samping itu ia menyeruhkan
supaya orang membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman religius yang mendalam ,
dari pihak lain dititik-beratkan bahwa pada bidang ini orang dapat tersesat pula, dan
menipu diri dengan pengalaman-pengalaman yang pseudo-religius saja Pengalamam
religius yang sejati mempunyai sejumlah kriteria .

Realitas yang dihadapi harus ada realitas yang terakhir , realitas yang tak terbatas . Dalam
pengalaman religius realitas ini nampak sebagai apa yang mengesankan dan memanggil
kita atas taraf pikiran metafisis , artinya yang tak kelihatan dan tak terbatas menyatakan
diri melalui gejala-gejala hidup yang empiris dan terbatas . Realitas yang dihadapi harus
dapat dimengerto sebagai jawaban atas manusia sebagai eksistensi , yakni sebagai person
total. Maka tidak cukup manusia terkena pada bidang rohani saja , atau pada bidang
perasaan atau bidang kemauan . Apa yang sungguh ilahi menyangkut seluruh manusia ,
pada bidang intelektuil , affektif dan voluntaristis .

Pengalamam religius yang sejati harus intensif , harus termasuk pengalaman-pengalaman


yang terdalam mungkin dalam hidup . Inilah paling nampak pada nabi-nabi besar .
Pengalaman religius yang sejati mengajak orang untuk menjalankan hidup moril sesuai
dengan panggilan Allah . Maka pengalaman ini tidak bersifat teoritik saja, akan tetapi
mengungkapkan dirinya dalam perbuatan .

Menurut sosiologi , agama merupakan suatu bentuk hidup di mana hidup diberi artinya
dan arahnya secara keseluruhan . Secara lebih terperinci : dari satu pihak agama
mengandaikan adanya pengalaman kekurangan , penderitaan, kegagalan , kemelaratan
hidup ; dari pihak lain mengandaikan adanya pengalaman positif tentang kerinduan ,
harapan dan keyakinan bahwa akan ada penyembuhan dari kemeralatan ini, yakni
keselamatan bukanlah hasil usaha-usaha manusia sendiri . Dirasakan bahwa apa yang
datang sebagai keselamatan , itulah suatu anugerah , suatu rahmat yang diberikan kepada
kita , oleh Allah yang Mahakuasa , yang Mahabaik , yang memegang segala-galanya
dalam tanganNya dan merasa belas kasihan terhadap kita .

Kiranya, kata Zahrnt , makin banyakk orang dapat ikut serta dalam “sejarah keselamatan
“ ini, sebab telah mempunyai pengalaman-pengalaman yang memastikan kebenarannya .
Dalam hal ini sebaiknya diperhatikan pertama-tama pengalaman-pengalaman batas
hidup, seperti dosa, ketidakadilan , penyakit, kegagalan , penderitan dan kematianb,
lagipula kegembiraan hidup , kekuatan hidup yang meluap , kebahagian yang luar biasa
dlsb . Pokoknya : semua pengalaman di mana manusia menjadi insaf tentang seluruh
hidupnya dan keterbatasan diri di hadapan keseluruhan yang ada . Pertanyaan-pertanyaan
yang timbul berhubungan dengan pengalaman-pengalaman semacam ini , mempunyai
relevansi religius oleh sebab mereka menyatakan transcendensi hidup, lagipula relevansi
sosial , sebab kebanyakan pengalaman tadi terpautan dengan peristiwa-peristiwa hidup
yang lain berarti , yakni kelahiran, perkembangan , pernikahan , kematian .

Kekhawatiran tentang arti hidup ini membuka jalan , untuk mencari lebih lanjut : mana
arti hidup yang sungguh ; bagaimana kemanusian dapat berkembang “ Kekhawatiran
semacam ini bersifat religius pula, sebab mengenai keseluruhan hidup dan keselamatan
manusia . Dapatkah manusia tetap hidup ? Memang begitu, sebab manusia dapat
menghidupi segala tantangan , ia dapat percaya . Sebenarnya kepercayaan ini memang
ada , dan sangat kuat juga , sebab merupakan dasar dan syarat hidup . Lagipula dalam
kepercayaan itu terkandung keyakinan bahwa segala sesuatu akan diatasi , bukan berkat
usaha kita sendiri , melainkan karena sesuatu yang mempengaruhi kita . Pada dasarnya ,
hidup kita bukan prestasi , melainkan pengertian dan rahmat . Manusia bukan pemberi ,
melainkan penerima, yang menerima eksistensinya sebagai tugas untuk mengembangkan
nya .

Kepercayaan dasar yang merupakan inti hidup manusia, merupakan inti hidup beragama
pula. Tetapi dalam agama dipakai nama pribadi : Allah , untuk menafsirkan dasar hidup
tersebut . Mungkin pada permulaan arti hidup sebagai kepercayaan kurang jelas ; kurang
jelas pula bahwa inti kepercayaan adalah Allah . Akan tetapi cukuplah mengikuti garis
yang ditunjuk oleh hidup sendiri , supaya dalam proses hidup ini, lama-kelamaan hidup
mendapat arti anugerah Allah .Dari pertimbangan-pertimbangan semacam ini Zahrut
menyimpulkan , bahwa perlu orang lebih sering bicara tentang Allah sebagaimana
nampak dalam pengalaman . Teologi baru menjadi suatu cerita tentang Allah , yang hadir
dalam hidup .

Pemikiran teologis mencari apa yang dinamakan tanda-tanda trasendensi yang secara
empiris diberikan dalam situasi manusia . Ada model-model isyarat yang memungkinkan
terbentuknya tanda-tanda tertentu . Dengan tanda-tanda transendensi sebagai fenomena
yang dapat diketemukan di dalam ranah realitas kodrati kita tetapi yang muncul ke taraf
tertentu melalui realitas. Salah satu sifat dasar manusia yang sangat penting dalam
pemahaman perilaku religius manusia , adalah kecenderungannya akan keteraturan .

Keteraturan sejarah muncul dari sejarah keteraturan . Setiap masyarakat dibenani tugas

37
38

ini di bawah kondisi kongkrit, meenciptakan keteraturan yang akan memberi berkat fakta
dengan makna eksistensi dalam rangka tujuan-tujuan ilahi dan manusiwi . Sejumlah
masyarakat sejarah adalah keteraturan , suatu struktur makna yang melindungi yang
bertindak dihadapan chaos . Di dalam keteraturan ini kehidupan kelompok sama halnya
dengan kehidupan individual bergulat . Hilangnya keteraturan tertentu baik individu
maupun kelompok terancam oleh serangkaian teror fundamental , terror kekacauan ini
oleh Emile Durkheim disebut sebagai anomie atau kehidupan tanpa keteraturan
( Huijbers, 1982 : 254 – 256 )

Sepanjang sejarah manusia percaya bahwa keteraturan masyarakat yang diciptakan


dengan berbagai cara , berhubungan dengan keteraturan alam semesta yang
mendasarinya, suatu keteraturan ilahi yang mendukung dan membenarkan semua usaha
manusia dalam mewujudkannya . Tetapi ada unsur yang lebih dasariah yang harus
diperhatikan tentang pembenaran keteraturan yang diberikan sejarah . Hal ini merupakan
kepercayaan manusiwi sepenuhnya . Kepercayaan ini berkaitan dengan kepercayaan
dasar mengenai manusia tentang realitas . Hal, ini dialami bukan dalam dalam sejarah
masyarakat dan sejarah peradaban , tetapi juga dalam sejarah hidup setiap individu
Kecenderungan manusia akan keteraturan bertumpu pada suatu kepercayaan atau
keyakinan bahwa realitas itu teratur , seperti seharusnya ada. Tidak perlu mengatakan
tidak ada metode empiris yang digunakan untuk membuktikannya . Tetapi mungkinlah
untuk menghasilkan dari kepercayaan yang berakar dalam pengalaman , tindakan yang
mengatasi wilayah empiris . Suatu prosedur yang dinamakan argumentasi pesanan .
Dalam arti yang fundamental ini, setiap isyarat keteraturan merupakan suatu tanda
transedensi . ( Berger , 1992 : 67 – 68 )

Nama-nama Tuhan

Sejak awal sejarahnya manusia mempertanyakan makna hidupnya. Kata makna di sini
diartikan sebagai pendasaran , maksud , dan tujuan hidup . Manusia sebagai mahluk yang
sadar diri , tidak hanya mengalami hidupnya secara pasif , melainkan hendak menerobos
dengan pikirannya sampai pada realitas adi-inderawi yang yang ada di balik realitas yang
dialami dan yang mendasarinya . Ketermenungannya membawanya menghadap pada
yang tak terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga . Realitas adi-inderawi itu
dipandang sebagai “sesuatu “ , yaitu suatu zat atau daya gaib yang tak berpribadi
( misalnya Tao, Brahman ) , atau sebagai “ seseorang “ yang berpribadi ( misalnya
Yahweh , Allah , Tuhan )

Setiap manusia merasa kenal Tuhan sehingga karenanya manusia menyebut nama dan
sifat-sifatNya ketika berdoa atau ketika dalam situasi membahayakan . Sedangkan kata
Tuhan , God, Allah ataupun sebutan lain, semuanya itu tetap bersifat simbolik . Di sana
harus dibedakan antara “nama “ dan “ yang diberi nama “ , “symbol” dan “ the thing
symbolized “, “al-ism” dan al-musamma “, ,”sign” dan “ something signified.” “ prdeikat
“ dan “ substansi “ dan seterusnya . Dalam bahasa Tillich , God is symbol for God .
Meminjam ungkapan Abu Ja”far al Shadiq , kata Allah itu sendiri artinya Yang Dipuja .
Maka barangsiapa memuja Allah ( tanpa mengacu pada substansiNya ) , maka ia telah
kafir . Dan barangsiapa menuju Allah ( nama dan substansi-NYa sekaligus ) , maka ia
telah musyrik . Tetapi barang-siapa yang memuja Dzat yang diacu oleh kata Allah itu ,
barulah benar tauhidnya .

Dalam al-Qur”an Tuhan dihadirkan dengan nama Allah di samping juga nama-nama lain
Nama “Allah “ itu sendiri sering dinamakan ism al-jalala atau ism al-jam , yaitu nama
yang mencakup atau mewadahi semua nama-nama Tuhan yang mencakup atau mewadahi
semua nama-nama Tuhan yang lain . Dengan begitu , maka kata Allah mengacu pada
Tuhan dalam ke-Absolut-annya , suatu Dzat yang maha Akbar dan Gaib , yang hakikat
kualitas-Nya tidak mungkin didespkripsikan oleh penalaran manusia . Kata
“Allah”sendiri sudah dikenal jauh sebelum Islam datang di Arab . Namun “Allah “ dalam
pengertian orang Allah pra-Islam , berbeda dengan “Allah “ dalam Islam . Sebenarnya
Allah bagi orang Arab pra-Islam dikenal sebagai dewa yang mengairi bumi sehingga
menyuburkan pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta ternak . Sedangkan dalam
Islam .”Allah “ dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa , tempat berlindung segala yang
ada. Tidak beranak dan tidak diperanakan .Juga tidak ada satu apa pun yang
menyerupaiNya .

Allah sebagai Dzat Yang Absolut dan Maha Gaib , seperti kata Ibn al-Arabi ,
sesungguhnya tidak memerlukan nama . Dan jikapun Dzat Yang Absolut diberikan nama,
kata Lao-Tze, maka nama apapun tak ada yang tepat sebab jika yang Absolut bisa
didefinisikan maka ia tidak lagi absolut . Bukankah definisi berarti juga sebuah
pembatasan dan penciutan dari sebuah relaitas ? Karena Allah itu “ Serba-Maha “ , dan
sungguh tidak mudah , bahkan tidak mungkin , memberikan penjelasan secara mutlak
tentang Tuhan , maka filosof Yunani Kuno menyebutnya sebagai aktus purus , yaitu
substansi hidup yang suci yang keberadaan-Nya untuk tidak memerlukan siapa pun di
luar diri-Nya .

Dari sekian aliran filsafat maupun agama, adalah ajaran Budha yang paling konsisten
untuk tidak mau memberi predikat Tuhan secara positif sehingga Budha sering dipahami
sebagai paham atheisme , meskipun “atheisme “ Budha sangat berbeda dari pengertian
atheisme pada umumnya . . Lao –tze dan Sidharta Gautama tidak mau menyebut Tuhan
tidaklah berarti secara subtansial keduanya tidak mengakui melainkan justru ingin
melakukan tanzih , yaitu pensucian absolut pada Tuhan sehingga jika Tuhan itu diberi
label atau nama , hal itu berarti telah menutup rembulan dengan jari telunjuk . The Budha
tells us that God can only be named in vain , jelas Panikkar .Oleh karenanya , lanjut
Panikkar , diam adalah bahasa tertinggi , yang melewati bahasa ucapan dan bahasa
pikiran , untuk menyapa Tuhan agar terhindar dari sikap mereka-reka tentang Tuhan .

Mengapa Dia Yang Absolut secara partikular kemudian memilik banyak nama ? Dari
perspektif penalaran manusia , seperti kata Ibn al-Arabi, Tuhan dalam kesendirian-Nya
sesungguhnya tidak perlu nama . Tetapi karena Tuhan ingin dikenal dan ingin berdialog
dengan manusia , maka mahluk ciptan-Nya yang paling dibanggakan , maka persoalan
nama Tuhan lalu muncul . Oleh karenanya, mengingat manusia adalah mahluk historis,
maka nama-nama Tuhan juga muncul dan merupakan bagian dari agenda wacana sejarah
dan pemikiran agama. Oleh karenanya , mengingat mnausia lahir dan berkembang dalam

39
40

pluralitas pemahaman , penghayatan dan penaman Tuhan .( Hidayat , 2003 : 78 – 84 )

Penutup

Orang yang memikirkan Allah dan agama secara filsafat , mulai bertanya mengenai jalan-
jalan yang menghubungkan manusia dengan Allah .Tetapi bila mereka sungguh-sungguh
menaruh perhatian pada Allah dan hidup beragama, belumlah puas dengan pemeriksaaan
semacam itu ; mereka ingin menggali lebih dalam dengan bertanya “ siapakah Allah itu ?
Sejalan dengan perkembangan pikiran bertambah kesadaran pula, bahwa gambar Allah
yang bersifat teoritis merupakan jawaban atau pertanyaan-pertanyan akal budi saja
Padahal , apa yang dibutuhkan orang bukan pengetahuan teoritis tentang soal Allah dan
agama , melainkan pengetahuan yang mendorong untuk hidup beserta Allah , baik dalam
batin pribadi masing-masing maupun dalam hidup masyarakat bersama orang lain .

Pada akhir perjalananya sebuah filsafat ketuhanan yang mau menelusuri jejak-jejak
Tuhan sampai pada pengakuan bahwa nalar manusia menemukan batasnya . Akan tetapi
manusia tidak bisa bertanya terus . Juga mengenai Allah . Tetapi salah kalau manusia
mau dilarang berpikir tentang Allah dengan pertimbangan bahwa Allah terlalu tinggi
Allah tidak memberikan daya nalar kepada manusia untuk dikunci di garasi . Berhadapan
dengan Allah pun manussia tidak dapat , dan tidak perlu , mematikan pertanyaannya
Sangat wajarlah bahwa manusia sebagai makhluk rasional ingin mengerti tentang Tuhan.
Kita mencapai banyak pengertian . Kita juga melihat bahwa ada pengertian-pengertian
tentang Tuhan yang , meskipun tercapai dengan nalar , namun kiranya sulit diikuti oleh
orang yang tidak mudah percaya kepada Tuhan . Itu berarrti bahwa bernalar tentang
Tuhan justru bagi manusia yang percaya dapat memperkaya pengertian , dan dengan
demikian imannya . Salahlah kalau iman dan pengertian dilawankan . Fides quaerens
intellectum , iman mencari pengertian . Ada pertanyan-pertanyan di mana nalar sampai
batasnya .( Suseno, 2006 : 234 )

Terutama dalam dunia saintifiklah bahwa agama sering dianggap seperti suatu lompatan
ke dalam irrasionalitas . Karena itu, agama masih bisa menimbulkan kecurigaan ,
meskipun dia tetap menarik para ilmuwan . Gereja memberi perhatian besar sekali pada
fakta bahwa pada umumnya teisme bersifat rasional , dan bahwa pada khususnya
syahadatnya bisa dipertahankan atas dasar akal budi . Namun kepopuleran dikohtomi
antara agama dan akal budi , terutama pada para ahli sains , bukan semata-mata hasil dari
ketidaktahuan,melainkan juga karena pengaruh besar aliran filosofis yang menyangkal
dimensi spiritual manusia dan pelbagai trend teologis yang berusaha mendekreditkan
segala bentuk filsafat . Pendeknya , jika seseorang ilmuwan melihat agama hanya lewat
kaca-mata gerakan-gerakan anti-rasional , maka dia merasa bahwa lebih baik menolak
agama daripada mengorbankan akal-budinya

Mudah-mudahan para filsuf dan teolog tidak menolak begitu saja pertanyaan-pertanyaan
( yang kadang-kadang cukup naïf ) yang diajukan oleh para ahli sanis tentang makna ,
tentang Allah ataupun tentang iman . Penolakannya terlalu cepat bisa memperdalam
jurang antara akal budi dan iman dan mendukung lompatan ke dalam irrasionalitas
tersebut . Itu disadari betul dan dimanfaatkan oleh banyak sekte religius . Mereka
menyajikan jawaban-jawaban sederhana , bahkan simplistic tentang masalah-masalah
eksistensi yang sebenarnya kompleks . Jumlah besar ahli sains yang berpaling pada sekte-
sekte fuundamentalis selalu mengherankan . ( Leahy , 2006 : 67 – 69 ) .

Ahli agama juga menggunakan nalar untuk menjaga agar agama tidak ketinggalan zaman
Ibnu Sina ialah pemikir besar pertama yang coba menjawab tantangan pencarian nalar di
dalam doktrin-doktrin agama resmi yang sangat berpengaruh di masanya . Filsafatnya
dipengaruhi oleh Aristoteles , dan seperti Socrates , ia mendaku bisa membuktikan
dengan nalar adanya roh yang kekal. Dengan cara seripa, St Thomas Aquinas
menemukan nalar dalam agama .Ia berpendapat ( dan pendapatnya itu masih
dipertahankan oleh Gereja Katolik Roma ) bahwa beberapa kebenaran pokok agama
Kristen bisa dibuktikan dengan bantuan nalar , tanpa bantuan wahyu . Adanya Sang
Khalik Yang Mahakuasa dan Mahamurah . Tetapi Gereja Katolik pernah
menyampingkan nalar berhubungan dengan geosentris dan heliosentris . Galileo Galilei
yang mengikuti Nicolaus Copernicus terkena inkuisisi dipulihkan nama baiknya pada
tahun 1992 oleh Gereja Katolik Roma. ( Calne, 2004 : 204 – 253 )

Rasa keagamaan harus berkembang menjadi suatu keyakinan yang mampu bertahan
terhadap segala serangan kritik , tetapi tidak dengan menutup mata atau dengan
memanggil sensor serta melarang bacaan yang kritis maupun tafsiran yang ilmiah.
Keyakinan agama harus berkembang sesuai dengan perkembangan intelektual masing-
masing orang yang beriman dan sesuai dengan taraf pengetahuan abad ke 20 ini
Menyerah pada nasib dan takdir buta saja tidak dapat dipertanggungjawabkan
Gambaran Allah ini tidak masuk akal . Menahan agama pada taraf zaman dulu , melarang
diskusi ilmiah , takut akan dialog dengan hasil-hasil penyelidikan ilmiah adalah lebih
berbahaya bagi agama daripada menghadapi angin kencang ilmu-ilmu modern dengan
sikap kritis . Menghadapi krisis zaman ini dengan iman dewasa ini justru dapat sangat
menguntungkan bagi timbulnya penghayatan agama yang lebih segar , matang dan
mantap .

Bibilografi

Armstrong , Karen . 2001 . Sejarah Tuhan : Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
Oleh Orang-orang Yahudi , Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun . Bandiung :
Mizan .

41
42

Bicaille, Maurice 1984. Bibel , Qur-an dan Sains Modern . Jakarta : Bulan Bintang .

Berger,Peter L.1991 .Langit Suci . Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta : LP3ES

Berger,PeterL1992 Kabar Angin Dari Langit Makna Teologi dalam Masyarakat Modern
Jakarta : LP3ES .

Calne, Donald B. 200.Batas Nalar Rasionalitas & Perilaku Manusia .Jakarta :Kepustaka
an Populer Gramedia .

Coward , Harlod 1989 Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama.Yogyakarta .Kanisius

Dahler , Franz dan Julus Chandra . 1989. Asal dan Tujuan Manusia ( Teori Evolusi )
Yogyakarta : Kanisius .

Dister , Nico Syukur.1988 Pengalaman dan Motivasi Beragama . Pengantar Psikologi


Agama . Yogyakarta : Kanisisus .

Hendropuspito . 1990 . Sosislogi Agama . Yogyakarta : Kanisisus .

Hidayat ,Komaruddin dan Muhammad Wahyudi Nafis .2003 Agama Masa Depan .Pers
pektif Filsafat Perennial Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama .

Horgan , John .2005 .The End of Science – Senjakala Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Teraju

Huijbers, Th .1982 Manusia Mencai Allah .. Yogyakarta : Kanisius .

Koentjaranngrat .1985 Ritus Peralihan di Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka .

Leahy .Louis 1985 .Aliran-Aliran Besar Ateisme . Tinjauan Kritis . Yogyakarta :Kanisus.

Leahy, Louis. 2006. Jika Sains Mencari Makna. Yogyakarta : Kanisius.

Lepp,Ignace 1985 Ateisme Dewasa ini .Potret Kegagalan Manusia Modern .Yogyakarta :
Shalahuddin Press.

Nottingham, Elizabeth K .1985 Agama dan Masyarakat . Suatu Pengantar Sosoilogi


Agama. Jakarta : Rajawali Pers.

O”Dea , Thomas E .1985 Sosiologi Agama . Suatu Pengenal Awal . Jakarta : Rajawali
Pers.

Robertson, Roland (ed). 1988 Agama : Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis
Jakarta : Rajawali Pers.

Shah , Idries .1986 Meraba Gajah Dalam Gelap . Sebuah Upaya Dialog Islam – Kristen .
Jakarta : PT Pustaka Grafitipers.

Smith , Huston .1985 .Agama-Agama Manusia . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .

Subagya , Rachmat . 1979. Agama dan Alam Kerochanian Asli di Indonesia . Jakarta :
Yayasan Cipta Loka Cakra .

Sukidi . 2001.New Age .Wisata Spiritual Lintas Agama .Jakarta :PT Gramedia Pustaka
Utama.

Suseno, Frans Magnis . 2006 . Menalar Tuhan . Yogyakarta : Kanisisus.

Van Peursen , CA. 1976 . Strategi Kebudayaan . Yogyakarta : Kanisisus .

Van Peursen , CA .1980 . Orientasi Di Alam Filsafat . Jakarta : Gramedia

Van Peursen , CA .1983 . Tubuh – Jiwa – Roh . Jakarta : BPK Gunung Mulia .

Wora, Emanuel .2006 Perenialisme . Kristik atas Modernisme dan Postmodernisme .


Yogyakarta : Kanisius.

43

Vous aimerez peut-être aussi