Vous êtes sur la page 1sur 2

Kasihan Semut

Sroot….sroot….Kulihat tetanggaku menyemprot bagian bawah tempat tabung gas kompor


berada dengan semprotan pembasmi serangga, sambil menghentak-hentakkan kakinya.

“Ada apa Mbak?” tanyaku penasaran.

“Semut Mbak. Gede-gede lagi. Heran, wong isinya tabung gas kok penuh semut.”

“Ada sisa makanan disitu mungkin,” sambungku.

“Wes tak cari kok. Resik! Malah mereka mbikin lobang semut disini.”

Aku jadi ingat, belakangan di rumahku juga mulai dihampiri semut. Suamiku yang saat itu
ingin minum, menemukan semut di gelasnya. Bahkan di dispenser kami iring-iringan semut sempat
terlihat . Duh, ingin rasanya kuganti peribahasa ada gula ada semut itu. Tapi apa ya? Habis, semut-
semut sekarang ada di tempa-tempat yang tidak ‘sewajar’ dulu.

Sore itu aku duduk di teras rumah sambil membaca buku. Kebetulan di dekat pintu ada
keranjang sampah. Iring-iringan semut tampak jelas dari dinding atas membentuk garis diagonal
lurus menuju keranjang sampah. Konsentrasi bacaanku terpecah. Kuperhatikan sampah itu yang
kebanyakan adalah bungkus jajan anakku., mulai dari permen, coklat hingga makan ringan. Ternyata
hanya segelintir semut disana. Aku semakin menfokuskan arah jalannya semut mulai dari diniding
atas hingga keranjang sampah. Ternyata, sebelum sampai ke tempat sampah, barisan semut terbagi
dua, yang satu ke keranjang sampah dan yang lain menuju lubang dekat tembok kusen pintuku.
Lama kuperhatikan mereka masuk ke lubang tersebut dan semakin lama semakin banyak. Sempat
aku berpikir untuk menyumpal lubang itu dengan kapur semut. Tapi mendadak aku kaget sendiri.
Mungkinkah di balik dinding rumahku penuh sarang semut? Mungkinkah mereka menggigiti semen,
pasir, dan batu bata rumahku? Mungkinkah suatu saat nanti rumahku runtuh digerogoti semut
beramai-ramai? Mengapa mereka memilih membuat sarang di dalam tembok? Duh, dimana sih Mut
rumahmu sebenarnya?

Untuk kedua kalinya mendadak aku teringat masa kecilku. Bersama teman-teman aku
sering bermain tanah membuat taman super mini atau membuat rumah-rumahan sambil
mengarang cerita. Kami menggunakan lidi sebagai pemerannya. Kami selalu mencari tanah yang
bersih, tidak berbatu dan tidak ada sarang semutnya. Ternyata, meski berbeda generasi, anakku pun
suka bermain tanah. Hanya saja, ia tidak bisa mendesign taman super mini atau rumah boneka lidi
karena tanah yang ia dapat hanya dari pot-pot tanaman depan rumah. Ia hanya mampu mencetak
tanah itu untuk membua kue-kue imajinasi.

Ya, rumah kami tidak memiliki halaman. Setelah teras, langsung pagar; hanya cukup untuk
parkir sepeda motor. Kami tinggal di gang kecil yang sudah dipaving. Pot-pot bunga kami letakkan di
depan pagar menutupi bagian atas got. Itupun sering kami ganti tanamannya karena tanahnya tidak
cukup banyak untuk membuat penghuninya berumur panjang. Kadang-kadang, bukan karena kami
ingin menanam di pot tapi karena ada program atau proyek kelurahan agar kami menang dalam
lomba ‘Bersih dan Hijau’.

Alhasil, bagi semut-semut yang tinggal di daerah padat nan sumpek yang semua lahannya
sudah dibuat perumahan dan tanahnya sudah disemen atau dipaving, kemana lagi mereka
berteduh? Andai Nabi Sulaiman masih hidup, pasti beliau tahu keluh kesah para semut. Tapi aku, tak
perlu mengerti bahasa semut untuk mengerti protes mereka!

Vous aimerez peut-être aussi