Vous êtes sur la page 1sur 3

Senin (31/01) ; 04.00 AMTerbangun aku dari tidur malam yang tidak begitu nyenyak.

Ibu
ku batuk-batuk di ruang tamu yang tak jauh dari kamar tidurku. Batuk tidak berdahak
yang berulang-ulang dilakukannya. Batuk yang begitu menyesakkan dadanya dan sangat
membisingkan telingaku. Sebenarnya tak ingin aku mendengar suara yang menyita otak
dan menggelisahkan itu. Kapan suara kasar itu akan berhenti ku dengar? Menjadi tanya
sejenak dibenakku. Namun tetap saja tidak bisa aku elakkan suara itu. Belum lagi nafas
Ibu yang bersuara seperti ada peluit di tenggorokannya. Ya, Ibu ku mengidap penyakit
Asma sejak kurang lebih 6 bulan belakangan ini. Nafas di tenggorokkan yang terdengar
jelas bersamaan mengeluarkan oksigen dari hidung. Sulit baginya saat itu untuk menarik
ulur-nafasnya yg telah tersengal-sengal. Ntah kenapa setiap mendengar suara itu aku
ingin pergi jauh saja. Tak ingin mendengarkan itu semua dari Ibu. Tak sanggup. Namun
Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Bagaimanapun dia tetap Ibu yang sangat aku
sayang.
Terduduk Dia di kursi empuk ruang tamu dengan lampu padam. Benar-benar
menggangu sekali nafas Ibu yang tersengal-sengal itu. Disaat sulitnya Dia mengatur
nafas, aku dengar Dia menyebut, “Ya Allah.” Mungkin itu wujud rasa sakit yang Ia
tahankan di dada demi meminta bantuan dari Tuhan. 04.05 AM
5 menit aku tak tenang, badan ku gelisah, bolak-balik mengatur badan demi
mendapatkan PW (posisi wuenak), terkadang ingin menutup telinga dengan bantal,
namun tak bisa. Ingin tak ingin aku mendengar keluh hati yang keluar dari tarik-ulur
nafasnya. Selama lima menit pula Aku dan Ayahku mengabaikan namun menghiraukan
Ibu di puncak sakitnya selama ini.
Aku keluar dengan ragu dari kamar dengan rambut berantakan. Membuka pintu.
Segera ku jumpai sosok Ibu yang terduduk lemas di kursi. Menjatuhkan kepalanya
kesandaran kursi, duduk tegak dengan kedua tangan di atas lengan kursi, memejamkan
mata layaknya orang tidur yang mengigau dan tentu dengan nafas satu-satu. Sungguh tak
sanggup melihatnya. Ini ke-2 kalinya aku melihat tubuhnya begitu lemas dan
mengantarkannya ke Rumah Sakit terdekat sejak kurang lebih 6 tahun silam.
Aku sapa ibu dengan pertanyaan, “Kok ngeri kali, Ma, nafasnya?”. Tarik-ulur
nafasnya mewakili jawaban atas apa yang ku tanyakan. Begitu pula Ayahku. “Bawa ke
Rumah Sakit aja, yah!” usul yang di-iyakan Ayahku.
Ibu, Ayah dan Aku bersiap ala kadarnya. Cepat-cepat kami menuju Rumah Sakit
di pagi buta dengan menggunakan sepeda motor. Keadaan Ibu lebih lemas dari
sebelumnya. Di tambah udara dingin pagi yang membuat Ibu semakin sulit untuk
bernafas. Terdengarku Ia mengeluh kedinginan dengan volume suara yang begitu pelan.
Ku peluk Ibu dari belakang. Ku usap-usap kedua pahanya. Ku letakkan kepalaku di bahu
belakang ibu seperti Ia meletakkan kepalanya di bahu belakang Ayah. Tidak jauh
memang jarak RS dari rumahku, paling 500 m. Apalagi dengan menggunakan sepeda
motor tapi saat itu seperti gerakan slow-motion bagiku mungkin karena dihantui rasa
takut dan khawatir yang dalam.
04.20 AM
Tiba di UGD, RS PT. Inalum segera ku bopong Ibu ke ruang UGD sambil
menuggu perawat datang setelah seorang satpam membukakan pintu yang dikuncinya
dari dalam. Bener-bener kasian aku melihat Ibu. Tak tertahankan lagi air mata, namun tak
ku biarkan air bening itu menetes begitu saja. Tak mau keliatan cengeng di depan orang
tua. Tak sekalipun dimasa dewasaku ini.Terduduk aku di kursi yang memang telah ada
dari zaman tak enak itu. Kembali air itu mengepung bola mataku. Buram ku melihat TV
di ruang tunggu. Namun tetap saja tak kubiarkan menghiasi pipi keringku. Sementara Ibu
sedang ditangani oleh perawat yang baru saja datang dengan langkah cepatnya.
04.30 AM
Dengan bantuan selang oksigen Ibu bernafas sampai Ia dipindahkan ke IRI
(Instalasi Rawat Inap) di kamar kelas 3 No. 8. Selang oksigen yang di setel dengan batas
maksimum tak terasa baginya. Padahal betapa jelasnya suara oksigen yang keluar dari 2
lubang kecil yang di masukkan ke lubang hidung tersebut. Tak hanya itu saja, tangannya
dicucukkan jarum yang disatukan dengan selang kecil berwarna cream dan direkatkan
dengan pelekat berwarna cream bening. Kemudian disambungkan ke botol pastik berisi
cairan berwarna putih dengan kandungan vitamin lalu digantungkan ditiang infus.
Sungguh tak tenang. Pikiran terbang ntah kemana-mana. Segera ku tapis bila
pikiran yang tak ku inginkan muncul. Berdoa dalam hati kepada Sang Khalik agar Ibu
segera sehat. Berharap ini untuk terakhir kalinya. Berharap sehat selalu. Sempat juga ku
meminta kepada Tuhan untuk tukar posisi antara aku dan Ibu. Berharap keadaan
berpindah kepada ku. Biarlah aku yang merasakan sakit yang diderita Ibu.
08.23 AM
Setelah selesai memberi Ibu sarapan dan obat serta sudah beristirahat beberapa
jam, Dokter yang khusus menangani penyakit Asma Ibu pun datang untuk memeriksa
kondisinya sejauh ini. Di periksanya detak jantung Ibu dengan stetoskop yang
menggantung dilehernya. Ditanyanya sebab kambuhnya. “Semalam Ibu kena hujan dan
kecapeaan juga, Dok. Tadi malam nafasnya mulai sesak. Tapi nggak separah subuh tadi.”
Aku jawab pertanyaan yang sebenarnya ditujukan untuk Ibu. “Mmmm…. Ibu memang
nggak bisa dicuaca dingin dan lembab apalagi kecapean. Memang semalam satu harian
cuaca dingin dan hujan. Setelah ini Ibu ronsen ya. Nanti perawat yang akan
mengantarkan Ibu. Lekas sembuh ya, Bu. Dijaga ya, Dek, Ibunya.” Ku beri anggukan
kepala dan senyum tanda respect ku dengan Dokter itu.
09.00 AM
Perawat Laki-laki datang ke kamar Rawat Ibu untuk membawanya ke ruang
ronsen. Diaturnya posisi tempat tidur berukuran seperti spreangbad 3 kaki agar mudah
melewati pintu yang pas-pasan dengan tempat yang menjadi teman setia Ibu selama di
Rumah sakit serta mengganti tabung oksigen yang besar sementara dengan tabung
oksigen yang kecil. Menjadi barang yang paling dibutuhkan. Sedangkan infus dipisahkan
dari botolnya sampai kembali ketempatnya. Saking parahnya Asma yang menyerang
perempuan berumur 46 tahun itu tak sanggup untuk turun ke kursi roda. Tempat tidur
itulah yang membuatnya nyaman untuk beranjak ke ruang ronsen.
Tiba disana, perawat menyuruhku untuk membebaskan badan bagian atas dari
helaian benang baju. Hanya ditutupi dengan selimut rumah sakit. Karna yang dironsen
adalah bahu sampai punggung bagian belakang saja dengan menimpa papan berwarna
hitam pekat berukuran ‘mungkin’ 50x50 cm. Perawat pun pergi keluar selama aku
mengerjakan apa yang diperintahakannya. Siap itu, ku panggil perawat tadi untuk
melanjutkan pekerjaannya. Dengan hitungan detik saja ronsen telah selesai. Namun
belum bisa kami ketahui hasilnya seperti apa.
03. 25 PM
Alhamdulillah, keadaan Ibu sudah membaik. Bicara sudah jelas dan berinteraksi
dengan baik, mengatur dan bernafas dengan baik walaupun masih menggunakan bantuan
tabung oksigen.
***
Aku rawat Ibu dengan sepenuh hati selama 3 hari 2 malam. Dari dia makan,
minum, minum obat, menuntunnya ke toilet, lepas-pasang selang oksigen dari dan
kehidungnya, menggantikan pakaiannya, dll yang tak bsia di kerjakannya sendirian saat
itu. Ku temani dia 24 jam di Rumah sakit.
Rabu (02/02) ; 05.00 PM
Ibu sudah sehat seperti biasa. Dan check out dari Rumah sakit PT. Inalum.
-SELESAI-
*Aku selalu mendoakn yang terbaik buat Ibu dan keluarga. I Love My Family.

Vous aimerez peut-être aussi