Vous êtes sur la page 1sur 8

Berkenaan dengan kebenaran seorang yang mendakwakan dirinya sebagai utusan Tuhan,

Allah swt telah menetapkan berbagai macam standar dan barometer bagi kebenarannya.
Tidak sedikit ayat-ayat Al Quran, sunnah, hadits dan kejadian alam yang menjadi saksi
dari berlakunya sunnatullah tersebut. Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak para
pembaca untuk bersama-sama merenungkan tuntunan yang terdapat di dalam kitab hadits
shahih Bukhari yang merupakan kesaksian dari seorang kaisar Romawi yang nashrani
berkenaan dengan sunnatullah tentang kebenaran seorang nabi yang telah berjalan sejak
dahulu.

Di dalam sahih Bukhari kitab bad-il wahyi, diceritakan sebuah hadits yang cukup panjang
yang diterima dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Abu Sufyan bin Harb menceritakan
kepadanya bahwa suatu hari Heraklius mengirimkan utusan kepadanya agar menghadap
bersama rombongan suku Quraisy yang saat itu sedang berada di Syam (Palestina) yang
sedang berdagang.Hal ini terjadi di masa Rasulullah saw sedang menantikan
kesadarannya dari kekeliruan i’tikadnya. Mereka lalu mendatangi Heraklius untuk
menghadiri majelisnya, di sana tampak beberapa pembesar Romawi. Mereka diundang
dan Heraklius pun mengundang beberapa penerjemah / juru bahasanya. Lalu Heraklius
mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang yang nasabnya (garis keturunannya)
paling dekat kepada Rasulullah saw yaitu Abu Sufyan berkenaan dengan keadaan
Rasulullah saw, ajarannya, dan para pengikutnya. Hal ini berkenaan dengan surat-surat
ajakan untuk masuk islam yang dikirimkam oleh nabi saw. kepada raja-raja yang saat itu
bertahta, yaitu di antaranya kepada Heraklius (kaisar Romawi) yang dibawa oleh Dihya
bin Khalifa, kepada Kisra (raja Persia) oleh Abdullah bin Hudhafa, kepada Najasyi oleh
‘Amr bin Umayya, kepada Muqauqis oleh Hatib bin Abi Balta’a, kepada penguasa Oman
oleh ‘Amr bin al ‘Ash, kepada penguasa Yamama oleh Salit bin ‘Amr, kepada raja
Bahrain oleh Al ‘Ala bin al Hadzrami, kepada Harith al Ghassani (raja perbatasan Syam)
oleh Syuja’ bin Wahb, kepada Harith al Himyari (raja Yaman) oleh Muhajir bin Umayya.

Sebelum bertanya kepada Abu Sufyan, Heraklius berkata : “katakanlah kepada sahabat-
sahabatnya itu bahwa aku ingin bertanya kepada Abu Sufyan tentang orang yang
mengaku menjadi nabi itu. Jika ia berkata dusta kepadaku maka saya minta supaya
sahabat-sahabatnya itu mendustakan apa yang dikatakan oleh Abu Sufyan ini.” Ketika
bercerita Abu Sufyan berkata bahwa seandainya ia tidak malu dan takut kalau sahabat-
sahabatnya akan menuduhnya sebagai pendusta, niscaya ia akan berkata dusta tentang
keadaan Muhammad. Lalu Heraklius melalui penterjemahnya mengajukan beberapa
pertanyaan kepada Abu Sufyan yang diamini oleh para sahabatnya. Diantara pertanyaan-
pertanyaan itu adalah tentang nasab nabi di kalangan mereka, tentang apa yang
disampaikan dan yang diperintahkan nabi kepada mereka, tentang para pengikutnya, dan
tentang kejujuran dan akhlaknya sebelum pendakwaannya.

Jawaban-jawaban yang disampaikan oleh Abu Sufyan terhadap pertanyaan-pertanyaan


yang diajukan Heraklius kepadanya, insyaallah akan saya sampaikan disini satu persatu.
Jawaban-jawaban ini merupakan hal-hal yang bisa dijadikan salah satu barometer tentang
kebenaran seorang yang mengaku dirinya sebagai utusan Tuhan, yang mana hal itu
merupakan sunnatullah yang senantiasa menyertai kedatangan seorang utusan Tuhan
sejak zaman dahulu kala sebagaimana disebutkan tadi di dalam QS 48 : 24 di atas.
Setelah Heraklius mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan keadaan Rasul
saw, ajarannya dan para pengikutnya kepada Abu Sufyan, yang lalu dijawab oleh Abu
Sufyan yang diamini oleh sahabat-sahabatnya yang menyertainya di majlis tersebut, lalu
Heraklius berkata kepada penterjemahnya sebagai berikut :

1. “Katakanlah kepada mereka, Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya, lalu kamu
mengatakan bahwa orang itu mempunyai keturunan yang baik yakni golongan
bangsawan di kalangan kamu semua. Demikianlah para rasul yang diutus diantara nasab
kaumnya.” Ini merupakan sunnah yang pertama, bahwa seorang rasul yang diutus di
tengah kaumnya selalu berasal dari golongan yang bernasab baik di antara mereka
(bangsawan). Rasulullah saw merupakan keturunan para pembesar Mekkah, cucu dari
Abdul Muthallib pemegang kunci ka’bah. Demikian pula rasul-rasul sebelum beliau
selalu berasal dari golongan ini.

2. “Aku bertanya kepadamu apakah ada seseorang yang mengatakan sebagaimana yang ia
katakan (yakni pengakuannya sebagai nabi dan pembaharuan rohani), lalu kamu
menjawab tidak ada. Oleh karena itu aku dapat mengatakan, andaikata ada seseorang
yang berkata sebagaimana yang dikatakannya (pengakuan sebagai nabi dan pembaharuan
rohani) sebelumnya, pasti aku menganggap bahwa orang itu meniru ucapannya.” Ini
sunnah yang kedua, bahwa seorang nabi yang benar bukanlah orang yang meniru-niru
ucapan seseorang sebelumnya. Maksudnya dia mendakwakan diri sebagai nabi karena
ikut-ikutan karena ada orang lain yang mendakwakan diri jadi nabi juga, sebagaimana
yang dilakukan oleh Musilamah al kadzdzab di masa Rasulullah saw. Selain itu
pembaharuan yang dibawanya pun akan dianggap asing oleh masyarakat pada saat itu,
dan apa yang dibawanya bukan hal yang populis di mata masyarakat saat itu. Bagaimana
ajaran Rasul saw tentang persamaan hak dan kedudukan antara sesama manusia
diperkenalkan kepada bangsa Arab khususnya saat itu, yang sedang tenggelam dalam
fanatisme kesukuan yang tinggi telah menyebabkan mata mereka terbelalak bagaikan
disambar petir di siang bolong. Seorang budak memiliki kedudukan yang sama dengan
tuannya di sisi Allah swt. yang membedakan hanya derajat ketakwaannya. Ini merupakan
ajaran yang ganjil bagi mereka.

3. “Aku bertanya kepadamu apakah di antara nenek moyangnya ada yang menjadi raja,
lalu kamu mengatakan tidak ada. Maka aku dapat mengatakan , andaikata di antara nenek
moyangnya ada yang menjadi raja, maka orang itu sedang mencari kembali kerajaan
nenek moyangnya.”

4. “Aku bertanya kepadamu, apakah kamu semua pernah menuduhnya berkata dusta
sebelum mengucapkan apa yang ia ucapkan (pengakuan sebagai nabi), lalu kamu
mengatakan bahwa ia tidak pernah berdusta. Kalau demikian, aku dapat mengatakan, jika
terhadap sesama manusia saja ia tidak pernah berkata dusta,sudah pasti ia tidak akan
berkata dusta atas nama Allah.” Inilah sunnah yang keempat, bahwa kejujuran seorang
nabi itu tidak pernah diragukan oleh seorang pun di antara kaumnya, karena ia tidak
pernah berdusta kepada manusia. Maka sangat tidak masuk akal bahwa seseorang yang
dikenal tidak pernah berdusta, lalu tiba-tiba mengatakan kedustaan atas nama Allah swt.
Muhammad saw, sebelum pendakwaan beliau sebagai nabi utusan Tuhan telah diberi
gelar al amin (yang terpercaya) oleh masyarakat Quraisy karena kejujuran beliau. Tapi
begitu beliau mendakwakan diri sebagai nabi, seluruh masyarakat yang telah
menggelarinya al amin serta merta mendustakan beliau. Demikianlah sunnatullah untuk
para nabi yang telah berjalan sejak dahulu.

5. “Aku bertanya kepadamu, apakah para pengikutnya itu tergolong orang-orang mulia
keturunan bangsawan atau berkedudukan tinggi, ataukah golongan orang lemah yakni
rakyat biasa, lalu kamu menjawab golongan orang-orang lemah saja yang mengikutinya.
Maka aku dapat mengatakan bahwa memang dari golongan kaum lemah itulah yang
menjadi pengikut para rasul terdahulu.” Kalau kita lihat dari fakta sejarah, bukanlah yang
pertama-tama menyambut seruan para rasul itu raja Namrudz, Firaun, Abu Jahal, Abu
Lahab, Kisra, Heraklius dan golongan bangsawan lainnya, akan tetapi Bilal yang seorang
budak, keluarga Yaser yang miskin, Abu Bakar yang bukan pemimpin Mekkah. Atau
Hadhrat Isa, bukanlah yang pertama menyambutnya itu adalah para rahib dan ulama
yahudi akan tetapi malah rakyat biasa. Demikianlah sunnah ini telah berulang dan akan
senantiasa berulang menyertai kedatangan seorang utusan Tuhan.

6. “Aku berkata kepadamu, apakah para pengikutnya itu makin bertambah ataukah
berkurang, lalu kamu menjawab bahwa mereka makin bertambah. Memang begitulah
halnya keimanan itu, sehingga ia menjadi sempurna.”

7. “Aku bertanya kepadamu, apakah ada seseorang yang murtad karena benci kepada
agamanya sesudah ia masuk ke dalamnya, lalu kamu mengatakan bahwa tidak ada yang
murtad. Memang demikian itulah keadaan keimanan ketika rasa gembiranya yakni
cahaya kebenarannya sudah bercampur menjadi satu di dalam hati.”

8. “Aku bertanya kepadamu, apakah ia pernah berkhianat lalu kamu mengatakan bahwa
ia tidak pernah berkhianat. Jadi demikian juga sekalian rasul bahwa mereka tidak pernah
berkhianat.”

9. “Aku bertanya kepadamu, apakah yang diperintahkannya kepadamu, lalu kamu


mengatakan bahwa ia menyuruh kamu semua untuk beribadat kepada Allah dan jangan
mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, juga ia melarang penyembahan berhala,
memerintahkan untuk mengerjakan shalat, berkata benar dan menahan diri dari perbuatan
yang tercela. Maka jikalau apa yang kamu katakan itu benar semuanya, niscaya ia akan
dapat memiliki tempat kedua kakiku ini (kerajaan Romawi). Dan aku yakin nabi itu akan
keluar/datang, namun aku tidak menyangka bahwa nabi itu adalah dari golonganmu
(bangsa Arab). Andaikata aku mengetahui bahwa aku harus tulus ikhlas kepadanya,
niscaya kuanggap agunglah untuk dapat bertemu dengan orang yang mengaku menjadi
nabi itu, juga andaikata aku sudah ada di sisinya, niscaya akan kubasuh telapak kakinya.”

Hadits ini terdapat di dalam sahih Bukhari, jilid pertama, kitab bad-il wahyi, hadits no.7,
daarul fikr, Beirut tahun 1994 M / 1414 H.

Demikianlah, Heraklius seorang kaisar Romawi yang nashrani telah memberikan


kesaksiannya bagaimana sunnatullah yang berkenaan dengan kebenaran seorang yang
mendakwakan diri sebagai utusan Tuhan yang telah berjalan sejak dahulu. Apa yang
pernah terjadi dan mengiringi perjalanan para nabi sebelum Muhammad saw, kini di
masa hidupnya terjadi kembali kepada seorang Muhammad yang datang dalam nama
Tuhan. Dan ia menjadi saksi atas hal itu, bahkan kini sejarah mencatat kesaksiannya itu
sebagai suatu sunnatullah yang tetap berjalan demikian sejak pertama kali ditetapkan
Tuhan hingga akhir dari dunia ini.

Kesaksian Heraklius sebagai barometer kebenaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as.

Pada tahun 1891, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. melalui ilham dari Allah swt
mengumumkan bahwa nabi Isa as. yang dulu pernah di utus kepada bani Israil dan yang
sedang ditunggu-tunggu kedatangannya yang kedua kali oleh umat Islam telah wafat
sebagaimana nabi-nabi yang lain telah wafat. Dan nabi Isa, yang dijanjikan
kedatangannya oleh Rasulullah saw di akhir zaman adalah beliau sendiri bukan nabi Isa
yang dulu.

Pendakwaan beliau ini telah mengundang reaksi yang sangat hebat dari para ulama dan
umat Islam, gelombang penentangan terhadap beliau meluas ke seantero negeri. Para
ulama di Hindustan khususnya, ramai-ramai mengeluarkan fatwa kafir, murtad dan keluar
dari Islam. Mereka yang dulu simpatik dan memuji beliau karena perjuangan dan
kegigihan beliau dalam membela dan mempertahankan ketinggian Islam dan kesucian
Hadhrat Muhammad saw, kini serta merta berdiri menentang beliau. Salah satunya yaitu
Maulwi Muhammad Husein Batalwi yang dahulu dalam majalahnya Isyaatussunnah
sangat memuji beliau as. kini dengan segenap kekuatan menentang beliau as.

Penentangan dan sikap bermusuhan ini tidak hanya ditujukan kepada beliau saja, akan
tetapi juga ditujukan kepada semua orang yang menerima pendakwaan dan beriman
kepada beliau as. dan tidak hanya terjadi di Hindustan saja akan tetapi telah meluas ke
seluruh dunia Islam. Kini setelah pendakwaan tersebut berlalu seratus tujuh belas tahun
dan para pengikut beliau telah tersebar di hampir dua ratus negara dengan jumlah kurang
lebih dua ratus juta jiwa, penentangan ini tetap saja berjalan. Bahkan di beberapa negara,
seperti Pakistan, Bangladesh termasuk Indonesia, penentangan ini telah melampaui batas-
batas prikemanusiaan.

Nah melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak saudara-saudara sekalian untuk
membuktikan kebenaran pendakwaan beliau as. yang mana sebagai timbangannya adalah
kesaksian Heraklius yang terdapat dalam hadits Bukhari yang telah diuraikan tadi. Yaitu
sunnatullah yang telah berlaku kepada para nabi-Nya dahulu termasuk Rasulullah
Muhammad saw, itu pula yang terjadi kepada beliau as. Sembilan poin kesaksian
Heraklius tadi, tidak ada satu pun yang tidak sesuai dengan fakta yang ada dan terjadi
kepada Hadhrat Mirza Ghulam ahmad as dan para pengikutnya. Berikut ini akan saya
sajikan fakta-fakta berkenaan dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. ajarannya dan
para pengikutnya.

1. Menurut keasksian Heraklius yang pertama, bahwa sejak dahulu seorang nabi selalu
berasal dari kalangan yang baik, yakni golongan bangsawan di antara kaumnya. Di dalam
buku riwayat hidup Mirza Ghulam Ahmad, di sana dijelaskan bagaimana silsilah beliau
as. Disebutkan bahwa ayah beliau bernama Mirza Ghulam Murtazha, merupakan
keturunan Haji Barlas, raja (gubernur) kawasan Qesh,yang merupakan paman Amir
Tughlak Temur. Bahkan salah seorang kakek buyut beliau yang bernama Mirza Hadi
Beg, oleh pemerintah pusat Delhi diangkat sebagai Qadhi (Hakim) untuk daerah
sekelilingnya. Dari catatan sejarah ini diketahui bagaimana kedudukan beliau di antara
kaumnya. Meski demikian, sejak kecil beliau sangat zuhud dan tidak menyenangi
kemewahan. Beliau hidup dalam kesederhanaan dan senantiasa menyibukkan diri dalam
pengkhidmatan kepada Tuhan.

2. Pada masa beliau as. pemahaman dan keyakinan hampir seluruh umat Islam dan para
ulamanya berkenaan dengan nabi Isa as. adalah bahwa beliau masih hidup di langit dan
sesaat menjelang hari kiamat akan turun kembali untuk membunuh dajjal. Satu keyakinan
yang sangat membantu misi para misionaris kristen yang sedang giat-giatnya dalam
bertablig dan yang telah menina bobokan kaum muslimin dalam pengharapan akan
kedatangannya kembali. Tidak ada seorang ulama pun saat itu yang sanggup menjawab
tantangan dari para misionaris keristen. Dengan ilham dan wahyu dari Allah swt, beliau
menyampaikan bahwa Isa Israili telah wafat dan beliau sendirilah orang yang telah
dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah saw dalam hadits. Beliau membuktikan hal ini
berdasarkan ayat-ayat Al quran, hadits, dan perkataan para ulama salafushshalih. Beliau
diutus untuk memimpin umat Islam memerangi dajjal dan ajarannya yang sedang
merajalela. Beliau as. mengajak umat Islam yang sedang larut dalam kecintaan kepada
dunia, untuk berkorban baik harta maupun nyawa untuk memperjuangkan Islam dan
memenangkannya atas sekalian agama. Umat Islam yang sedang tenggelam dalam
penghambaan kepada materi, kecintaan yang berlebihan kepada dunia dan perasaan takut
kepada maut, begitu kaget ketika mendengar seruan beliau as. untuk banyak berkorban,
zuhud, hidup sederhana, lebih mengutamakan agama dari pada dunia dan bersungguh-
sungguh dalam penghambaan kepada Allah serta tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Bagi mereka saat itu, seruan ini sangat ganjil.

Demikianlah sebelum beliau as. mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih
Mau’ud, tidak ada seorang pun yang pernah menyatakan hal itu di tengah-tengah beliau,
dan tidak ada seorang pun yang menyerukan untuk menghidupkan kembali agama dan
menegakkan syariat yang saat itu sudah mereka campakkan ke belakang punggung
mereka. Jika pun ada yang pernah mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi atau nabi,
tetapi semuanya tidak ada yang datang dengan dukungan Tuhan dan tentara-Nya yang
tidak terbatas. Dan pendakwaannya tidak pernah bisa bertahan lama, karena saat ini
hanya jamaat beliau as. saja yang telah berdiri lebih dari seratus tahun yang dari hari ke
hari semakin mendapatkan kemajuan dan kemenangan meskipun penentangan tetap saja
dilakukan.

3. Beliau mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud as. bukanlah karena
beliau menginginkan kerajaan atau kehidupan dunia, tapi semata-mata karena perintah
Allah swt. Tujuan dari diutusnya beliau adalah yuhyiddiina wayuqiimusysyari’ah yakni
menghidupkan kembali agama dan menegakkan syari’at. Memang betul beliau adalah
keturunan bangsawan, tapi sama sekali sangat tidak peduli dengan statusnya itu malah
beliau senantiasa menyibukkan diri dalam pengkhidmatan kepada agama. Jadi
demikianlah para nabi yang datang dari Allah, tak pernah seorang pun yang
mengharapkan dunia meski pada akhirnya dunia itu sendiri akan bersimpuh di bawah
telapak kakinya.

4. Sunnah yang ke empat menurut kesaksian Heraklius adalah bahwa orang yang
mendakwakan nabi itu, tidak pernah punya catatan yang buruk dengan kejujuran. Dia
orang yang dikenal sangat jujur dan tidak pernah sekalipun berkata dusta kepada sesama
manusia, apalagi kepada Tuhan. Dari sejak kecil hingga sebelum pendakwaannya, orang-
orang di sekitar Hadhrat Ahmad as. sangat mengenal ketinggian akhlak beliau. Bukan
saja kaum muslimin, tapi juga orang-orang Hindu, Kristen dan Sikh yang hidup di
sekeliling beliau. Bahkan bukan hanya di Qadian saja, tetapi juga ke kota-kota lainnya di
sekitar Qadian. Hanya saja, sebagaimana sunnah para nabi bahwa setelah pendakwaannya
orang-orang yang dahulu menyanjung dan membanggakannya serta merta mendustakan,
memperolok-oloknya, dan menentangnya.

5. Sunnah kelima yaitu bahwa para pengikut pertama dari seorang nabi yang benar adalah
oarng-orang lemah, rakyat biasa dan jarang sekali dari golongan bangsawan dan alim
ulamanya. Demikian pula para pengikut Hadhrat Ahmad as. adalah orang-orang lemah
dan rakyat biasa. Suatu kali penulis pernah ditanya oleh seorang teman, kalau Mirza
Ghulam Ahmad itu benar kenapa para kiayi dan ulama umat ini tidak beriman malah
menentangnya. Saat itu penulis jawab, bahwa yang pertama-tama beriman kepada
Rasulullah saw juga dulu bukanlah Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan para pemuka
Quraisy yang lainnya. Akan tetapi Bilal, keluarga Yasir, Ali bin Abi Thalib, dan Abu
Bakar yang meski orang terpandang tapi tidak memiliki peranan yang besar di kalangan
mereka. Kalau standar kebenaran itu adalah selalu diikuti oleh orang-orang besar, lalu
bagaimana dengan fakta tadi? Yang ada justru sebaliknya, bahkan dengan mengikuti
kebenaran itu akan menjadikan orang yang tadinya biasa saja menjadi luar biasa, yang
dianggap hina menjadi mulia, dan dengan menolak dan mengingkarinya menjadikan
orang yang tadinya mulia menjadi hina.

6. Sunnah yang ke enam yaitu bahwa pengikut para nabi itu akan senantiasa bertambah
banyak, semakin besar dan hebat penentangan maka akan semakin besar pula jumlah para
pengikutnya. Ketika pada tanggal 23 maret 1888, beliau pertama kali menerima baiat
sebanyak 40 orang di Ludhiana, maka lihatlah saat ini ketika telah berjalan lebih dari
seratus tahun berapa jumlah anggota jemaat Ilahi ini. Tidak kurang dari dua ratus juta
jiwa yang tersebar di lebih dari 180 negara. Padahal dari waktu ke waktu gelombang
penentangan tidak pernah surut, berbagai macam makar, fitnah dan kekejaman selalu
mereka timpakan kepada jemaat ini. Inilah salah satu fakta tidak terbantahkan akan
kebenaran Hadhrat Ahmad as, apa yang berlaku kepada rasul-rasul terdahulu maka kini
berlaku pula kepada beliau dan para pengikutnya.

7. Sunnah yang ke tujuh yaitu, para pengikut nabi yang benar yang keimanannya telah
merasuk ke dalam relung kalbunya maka tidak akan ada yang murtad atau kembali
kepada pengingkarannya. Nah jika saat ini ada keberatan bahwa banyak di antara anggota
jemaatnya yang keluar dari Ahmadiyah, yang melepaskan keimanannya maka hendaknya
hal itu diselidiki terlebih dahulu. Mereka pasti orang yang keimanannya tidak sampai ke
dalam hatinya, tapi tersangkut di tenggorokkannya. Dan bagi yang kondisinya seperti itu,
tidak bisa dijadikan standar atas perkara (sunnah ke tujuh) itu. Lihatlah sejak masa Nabi
saw. orang-orang seperti itu akhirnya mereka kembali kepada keadaannya semula, dan
saat ini entah sudah berapa juta kaum muslimin yang meninggalkan agamanya. Jadi yang
dimaksud oleh Heraklius adalah mereka yang memiliki keimanan yang hakiki, yang
tertancap di dalam hatinya.

8. Sunnah yang ke delapan, bahwa seorang nabi yang benar itu tidak pernah berkhianat.
Baik itu sebelum pendakwaannya maupun setelah pendakwaannya. Sejarah telah
mencatat bahwa Hadhrat Ahmad as. memiliki akhlak yang sangat tinggi, mulia dan
terpuji yang tidak hanya di akui oleh umat Islam saja tapi juga oleh umat-umat agama
lain, yang sangat mustahil padanya terdapat sifat pengkhianat.

9. Setiap nabi yang datang dari Allah swt, senantiasa memerintahkan untuk beribadah
kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, menyuruh
kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan munkar. Demikianlah yang diperintahkan
Hadhrat Ahmad as. kepada para pengikutnya, ini salah satunya bisa dibaca di sepuluh
syarat-syarat bai’at. Tidak ada satu kata pun dari beliau yang berisi penentangan dan
pengingkaran terhadap syariat Muhammad saw, bahkan beliau membawa kembali ruhnya
itu dari bintang tsurayya ke dalam dada umat Islam.

Di akhir hadits, Heraklius berkata bahwa dia yakin nabi itu (Muhammad saw) akan
datang tapi dia sedikit pun tidak menyangka bahwa dia akan datang dari tengah-tengah
bangsa Arab. Demikianlah para ulama dan kaum muslimin sejak dulu meyakini, bahwa
Imam Mahdi dan Isa (Masih Mau’ud) akan datang, tapi mereka tidak pernah menyangka
bahwa dia akan datang dari Qadian dan wujudnya adalah Mirza Ghulam Ahmad as.
sehingga hal ini memberatkan mereka untuk beriman dan tetap dalam pendirian mereka
meskipun seribu satu dalil dan bukti telah nyata di depan mereka. Semoga saja Allah
memberikan taufik dan petunjuk-Nya kepada mereka yang di dalam hatinya ada fitrat
yang baik dan hatinya takut kepada Allah. Dan semoga kesaksian Heraklius ini akan
semakin menambah kokohnya keimanan di dalam hati setiap Ahmadi, dan semakin
memudahkan sampainya taufiq dan hidayah Allah kepada mereka yang masih meragukan
atau menolak pendakwaannya.

by Rahmat Hidayat

Referensi :

1. Al Quran dengan terjemah dan tafsir singkat jilid 1, JAI Thn 1997
2. Al Quran dengan terjemah dan tafsir singkat jilid 3, JAI Thn 2002
3. Shahih Bukhari jld 1, daar al fikr, Beirut Thn 1994 / 1414 H
4. Terjemahan hadits Shahih Bukhari jld 1,2 dan 3, Victory Agency, Kuala
Lumpur, Cet kedua thn 1993
5. Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husein Haekal, Litera Antar Nusa,
Jakarta, Cet. Ke 22, thn 1998
6. Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad,
JAI thn 1995
7. Analisa Khatamunnabiyyin, Muhammad Sadiq H.A, JAI thn 1996
8. Masalah Kenabian, M.Ahmad Nuruddin, JAI thn 1999.

Vous aimerez peut-être aussi