Vous êtes sur la page 1sur 5

Tak gampang bagi Agus

Pramono meraih sukses


sebagai pemilik Ayam Bakar
Mas Mono. Ia sempat berjualan
kacang dari satu warung ke
warung lain selama setahun.
Lelaki asal Madiun ini juga
pernah mencecap pekerjaan
office boy dan penjual
gorengan. Sampai akhirnya ia
nekat berjualan ayam bakar
tanpa bekal ilmu kuliner.

Lulus dari SMA di Kota


Madiun, Jawa Timur, pada
1994, Agus Pramono merantau
ke Jakarta. Setibanya di
Jakarta, Mono, panggilan akrab
Agus Pramono, tinggal dengan
kakak pertamanya di
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Saat itu, makan dan kebutuhan
hidup lain ditanggung si kakak
yang bekerja sebagai office
boy.

Karena tak ingin membebani


sang kakak, anak kelima dari
enam bersaudara ini lantas
mencari pekerjaan. "Saya jadi sales makanan ringan seperti kacang. Saya jual dari satu
warung ke warung lain," katanya. Pulang berdagang, Mono mengasuh anak kakaknya.

Setahun berjualan makanan, Mono mendapat tawaran kerja sebagai office boy (OB) di
sebuah perusahaan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak punya pilihan lain, ia pun
menerima tawaran itu. "Dalam hati saya malu sekali. Saya disekolahkan paling tinggi
dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang lain, tapi kok ya jadi OB dengan gaji
pas-pasan," tuturnya.

Selama menjadi OB, Mono tak pulang kampung. Sebab, ia tak punya cukup uang untuk
membeli tiket kereta. Bila banyak orang merayakan Lebaran di tengah keramaian, Mono
malah sibuk mencari uang sebagai penjaga rumah orang yang sedang pergi berlibur.

Pernah ia tidak menjenguk ayahnya yang sakit lantaran tak punya tabungan. "Dari bapak
saya sakit sampai meninggal di tahun 1998, saya tidak bisa ke Madiun. Itu tamparan
keras buat saya," katanya mengenang.
Tahun 2001 menjadi awal pijakan Mono merambah dunia usaha. Ia tinggalkan
pekerjaannya sebagai OB dan beralih menjadi penjual gorengan. Dia berani berdagang
walau tak punya keahlian apa pun tentang kuliner. "Saya cuma punya modal nekat,"
ujarnya.

Di kamar sewaan berukuran 2,5 meter x 3 meter di Menteng Dalam, tempat tinggal Mono
dan istrinya, bahan gorengan disiapkan. Bila bahan sudah siap, ia mendorong gerobak
gorengan tiap pagi.

Mono berjualan keliling sekolah-sekolah dan kompleks perumahan. Jika azan maghrib
telah berkumandang, ia dorong gerobak pulang dengan membawa Rp 15.000 di kantong.
Terkadang, bila ramai pembeli, ia bisa bawa pulang Rp 20.000.

Sering, Mono menyembunyikan sisa gorengan yang tak laku dijual saat pulang ke kamar
sewaan. "Sisa gorengan saya umpetin di bawah gerobak supaya tetangga tak melihat
gorengan saya tak laku," ungkap dia.

Mono sering berdagang gorengan di sekitar Universitas Sahid di Jalan Prof Dr Soepomo,
Tebet, Jakarta Selatan. Suatu hari, ketika ia tengah menunggu pembeli, Mono terpikir
berdagang ayam bakar. "Saat itu, jarang sekali orang jual ayam bakar. Ditambah lagi
masih ada lahan kosong di sekitar kampus Sahid," ujarnya.

Yakin terjun ke usaha ayam bakar, Mono pun mencari modal. Akhirnya, ia mendapatkan
modal Rp 500.000 untuk membeli bahan dan bumbu ayam bakar serta perlengkapan
memasak.

Awalnya, Mono menyajikan ayam bakar, tempe, tahu, dan cah kangkung. Ketika itu, ia
menjual seporsi nasi plus ayam bakar Rp 5.000. Rupanya banyak yang menyambangi
gerobak Ayam Bakar Kalasan miliknya, baik mahasiswa, pegawai kantoran, dan orang
yang lalu lalang di Jalan Soepomo.

Waktu itu, ia mengolah 80 ekor ayam per hari. Soal rasa, Mono belajar otodidak dari
saran dan kritik para pelanggan. "Ada yang bilang pakai bumbu ini, pakai kecap itu,
nasinya jangan nasi pera,” kata Mono. Ia pun mencoba menerima saran dan kritik
pembelinya itu hingga benar-benar menemukan rasa khas Ayam Bakar Kalasan.

Melihat pengunjung yang makin banyak, Mono pun memperluas lokasi usaha. Dengan
bantuan lima karyawan, ia mengubah konsep tempat makan, dengan menempatkan meja
dan kursi berpayung terpal.

Pada tahun 2004, gerai ayam bakar Mono kena gusur. Ia pun memindahkan gerainya ke
Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. "Waktu itu, Tebet sepi, tidak seramai sekarang. Belum
banyak usaha makanan juga," katanya.
Dari sinilah, Ayam Bakar Kalasan makin dikenal luas dan punya banyak penggemar.
Mono pun membuka cabang di banyak tempat hingga beromzet ratusan juta rupiah per
bulan

KOMPAS.com – Kisah perjalanan hidup A Pramono (34) mirip cerita sinetron. Belasan
tahun lalu, ketika pria kelahiran Madiun ini mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, ia
memulainya dengan menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta. Lalu ia beralih
menjadi pedagang ayam bakar di pinggir jalan. Ternyata sukses. Kini Pramono sudah
menjadi miliarder yang memiliki banyak usaha. Siapa yang tidak ngiler?

“Kalau cerita saya dibikin sinetron mungkin akan menarik,” kata pria pemilik usaha
Ayam Bakar Mas Mono ini ketika bercakap cakap dengan Warta Kota di salah satu
kedainya di Jalan Tebet Raya No 57, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Namun, ayah satu anak yang akrab dipanggil Mas Mono ini buru buru menambahkan
bahwa sukses bisa diraihnya setelah melewati proses yang cukup panjang. la meyakini,
dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang instan. Artinya, kalau ingin sukses mesti lewat
perjuangan.

“Orang tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu, ketika memulai usaha ini saya harus ke
pasar jam tiga dinihari. Jam empat subuh sudah menyalakan kompor, ketika kebanyakan
orang masih tidur,” ujar Pramono.

Awalnya, suami Nunung ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta
Selatan, persisnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari-kecuali hari
libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.

Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli
yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan
orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang.
Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain
yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil
memperlihatkan foto lamanya di laptop.

Pria yang menamatkan S3 (maksudnya tamat SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan
akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur
University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika
membawakan materi tentang wirausaha.

Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena
dia tahu akari sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan
dan saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat
kurus, sekarang tampak macho dan keren.

“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya
tabungan,sekarang tabungan banyak di bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya
yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.

Senang belajar

Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono


dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya
belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi
office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono
selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan
belajar komputer. Bukan bermain bermain game
seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan
menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan
gajinya juga akan lebih besar.

Pramono benar, karena kariernya terus meningkat


hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor.
Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus
tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-
citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih
membahagiakan orang-orang yang dicintai,
keluarga dan orangtuanya.

Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dart perusahaan


tersebut dan memulai usaha dengan berjualan
gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada
ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi
menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.
“Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal
berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.

Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia
mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk
membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka
lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong
gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut
harus dibersihkan dulu.

“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku,
karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir
lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak
kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.

Terlepas dart peristiwa itu, beberapa tahun kemudian usaha Ayam Bakar Mas Mono
berkembang pesat. Dia mempunyai 13 cabang dan dalam satu hari bisa menjual 1.000
ekor ayam. “Sampai sekarang saya merasa seperti mimpi. Kok bisa ya,” kata Pramono.

Vous aimerez peut-être aussi