Vous êtes sur la page 1sur 4

TUGAS

AKHLAH TASAWUF

Dosen pengampuh:
BAMBANG Sr, M. Ag

Di Susun Oleh:
JUNIARTI SUMI SURYATI
1091109734

Semester/Kelas: III/A
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN : TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONTIANAK
2009/2010
PEMBAHASAN
TASAWUF IRFANI

A. RABI’AH AL-ADAWIYAH

1. Biogarafi Singkat Rabi’ah Al-‘Adawiyah


Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang sufi perempuan yang dapat menghias lembaran
sejarah sufi dalam abad kedua Hijriah. Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-
Adawiyah Al-bashriyah al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99
H/717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada tahun
185 H/ 801 M. ia dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah
sebabnya, orang tuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia
masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan
dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan Al-
Qaisiyah atau Al-‘Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras namun kemudian disebabkan
karena tuannya melihat cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan menerangi
diseluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah ia dimerdekakan tuannya, Rabi’ah pergi menyendiri kepadang pasir dan memilih
hidup sebagai Zahid dan menjalani kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah, dan
menurut riwayat dari Imam Sya’rani bahwa pada suatu ketika ada orang yang menyebut-
nyebut siksa neraka dihadapan Rabi’ah, mendengar ucapan itu, ia pingsan. Pingsan yang
dimaksud disini adalah pingsan dalam keadaan istighfar, memohon ampunan Tuhan dan
setelah ia siuman dari pingsannya ia berkata : “Saya mesti meminta ampun lagi dengan cara
memohon ampun yang pertama”.
Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan iabadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan manjauhi hidup duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain
kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah, menurutnya, sebelum bertobat
pernah menjalani kehidupan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak
mendapatkan jalan lain, kecuali dengan penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam
kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah
intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tadik mungkin iman dan kecintaan
Rabi’ah kepada Allah begitu ekstrimnya, kecuali bila ia pernah sedemikian jauh menjalani
dan mencintai kehidupan duniawinya.

2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah


Ajaran tasawuf yang dibawanya itu dikenalnya dengan istilah Al-Mahabbah. Paham ini
merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan Zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al-
Bashri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi Zuhud karena cinta.
Canta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan. Ia betul-betul hidup
dalam keadaan Zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari
ketika teman-temannya ingin memberi rumah kepadanya, ia mengatakan : “Aku takut kalau-
kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”.
Kepada seoramg pengunjung ia memberi nasihat : “Memandang dunia sebagai suatu yang
hina dan tak berharga, adalah lebih baik bagimu”. Segala lamaran cinta pada dirinya, juga
ditolak, karena kesenangan duniawi itu akan menghilangkan perhatian pada akhirat.
Rabi’ah Al-Adawiyah, dalam perkembangan mistisisme dalam islam tercatat sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya
merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-‘Adawiyah
tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang
disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah
menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api
neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau
berburuk sangka kepada Kami”. Diantara sya’ir cinta Rabi’ah yang paling mashyur adalah:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu.
Cinta karena diri-Mu
adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya”.
Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub Al-hawa dan
hub anta ahl lahu, perhatikan tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam
Qut Al-Qulub sebagaimana dijalaskan Badawi memberikan panefsiran bahwa makna hub Al-
hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah.
Adapun yang dimaksud adalah nikmat-nikmat material, tidak spiritual, karenanya hub di sini
bersifat hub indrawi. Walaupun demikian, hub Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak
berubah-ubah, tedak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat.
Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik
nikmat itu btersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong
kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak
mengharapkan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena
perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut,
“mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada
Allah karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan cinta kepada-Nya adalah
karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta
yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan
nikmat keindahan Tuhan. Hal ini seperti disebabkan dalam hadist qudsi, “Bagi hamba-
hamba-Ku yang telah Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga,
dan tidak terbesit dikalbu manusia”.
Cinta Rabi’ah kepada Allah begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya,
sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam sya’irnya:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar terbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu .
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada Allah tidak selalu tulus ikhlas, Rabi’ah selalu
mengatakan:
“Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka,
tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh gejala ini.
Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati,
sebab pecinta selalu cinta dan bakti pada yang dicintai”.
Dalam kesempatan bermunjat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan,
“Wahai Tuhanku, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu,
hingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu.
Ya Tuhan, bintang dilangit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana
telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada
dihadirat-Mu”.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata,
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalku Engkau terima hingga aku merasa bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih.
Demi kemahakuasaan-Mu, ini lah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku
pada-Mu telah memenuhi hatiku”.

Vous aimerez peut-être aussi