Vous êtes sur la page 1sur 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


“Pancasila sebagai Etika Politik” adalah pokok bahasan yang sungguh penting
untuk diketahui, karena Pancasila adalah dasar filasafat negara, ideologi negara dan
pandangan hidup bangsa. Etika Politik dibuat oleh manusia demi kepentigan manusia,
maka dari itu tujuannya harus demi kepentingan manusia seluruhnya, dalam hal ini
seluruh manusia Indonesia. Jadi sebagai perbuatan dan tindakan politik, etika Politik
Pancasila tidak boleh mengkhianati pribadi manusia Indonesia, apalagi mengkhianati
sila-sila Pacasila. Bertentangan dengan itu bukan lagi etika namanya.
Kita ketahui sekarang bahwa berbuat dan bertindak di bidang politik sesuai
dengan etika Politik Pancasila itu sungguh tidak mudah. Itu adalah bawaan dari
egoisme manusia yang enggan memperhatikan kepentingan dan melayani
orang/kelompok lain. Maka dari itu sebagai langkah awal perlu kita internalisasikan
ke dalam hati kita masing-masing bahwa “keselamatan dan kebahagiaan
bermasyarakat, bangsa dan negaraku adalah keselamatan dan kebahagiaanku, dan
sebaliknya keselamatan dan kebahagiaanku adalah keselamatan dan kebahagiaan
masyarakat, bangsa dan negaraku juga”.
Berperilaku, bertindak dan berbuat di bidang politik yang dapat dinilai buruk
itu mudah sekali, tetapi yang dapat dinilai baik itu memang tidak mudah. Maka dari
itu seluruh warga bangsa Indonesia perlu berlatih dan membiasakan diri kepada yang
baik itu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian Filsafat dan Etika itu?
2. Apakah yang dimaksud dengan Etika Politik?
3. Apakah yang dimaksud dengan Filsafat Politik Pancasila dan Etika
Politik Pancasila?

1
4. Bagaimanakah rumus kunci dalam menyelenggarakan etika politik
Pancasila?
5. Apa sajakah upaya yang dapat dilakukan untuk ber-Etika Politik
Pancasila?

1.3 Tujuan
1. Memahami pengertian Filsafat dan Etika
2. Memahami hakikat Etika Politik
3. Memahami perbedaan dan hubungan antara Filsafat Politik Pancasila
dan Etika Politik Pancasila
4. Memahami rumus kunci dalam menyelenggarakan etika politik
Pancasila
5. Memahami upaya yang dapat dilakukan untuk ber-Etika Politik
Pancasila

1.4 Metode Penulisan


Pada makalah ini penulis menggunakan metode deskripsi untuk
menggambarkan masalah. Adapun azas teknik pengumpulan data yang dilakukan
penulis adalah dengan penelitian kepustakaan atau library research yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan
lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyegaran Kembali Pegertian Filsafat dan Etika

Etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat, maka perlu diadakan
penyegaran kembali pengertian filsafat. Dalam buku yang berjudul “Filsafat Pancasila
Secara Ilmiah dan Aplikatif” filsafat mempunyai beberapa makna, antara lain:
a. Philosophy is an attempt to understand the world we live in
b. Philosophy is an inquiry into the nature of live and existence
c. Philosophy provides us with rational view of the world, so it is free inquiry of
reason, it gives a rational view of the world.
d. Philosophy is an interpretation of live, its value and meaning. So philosophy
is a reasonable common-sense, reasonable belies or intuitive knowledge
(knowledge that comes to us directly)

Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari masalah perilaku atau


perbuatan manusia untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Studi filosofik atas
manusia sebagai sebuah keutuhan menimbulkan cabang filsafat yang dinamakan
filsafat manusia atau philoshopical anthropology. Manusia jika ditinjau dari filosofik
aspek kognitif/rasionalitas menimbulkan cabang filsafat epistemology dan logika.
Secara emosionalitas yaitu estetika; dan apabila ditinjau dari aspek konasi atau
kemauan dinamakan etika.
Persoalan etika adalah persoalan kemauan manusia. Orang sanggup berbuat
baik atau tidak itu erat kaitanya dengan masalah kemauan. Sebaliknya orang yang
kemauannya lemah cenderung untuk tidak melakukan hal-hal atau perbuatan-
perbuatan yang baik. Melakukan hal yang baik itu memerlukan perjuangan, maka dari
itu tanpa adanya kemauan untuk berjuang, seorang manusia tidak akan melakukan
sesuatu yang baik di tinjau dari segi kemanusiaan. Bersamaan dengan itu berhadapan

3
dengan hal-hal atau perbuatan yang jahat orang memerlukan kemauan untuk
mengendalikan diri, agar manusia tidak terlanjur terjerumus melakukan hal-hal atau
perbuatan yang jahat. Jadi sebenarnya melakukan perbuatan atau hal-hal yang jahat
bagi orang yang tidak pernah terdidik atau terarah secara moral sungguh mudah
untuk dilakukan, karena tidak memerlukan kemauan untuk memperjuangkannya.
Maka ada kata “barang yang buruk mudah berkembangnya tetapi sesuatu yang baik
sulit untuk mewujudkannya”. Maksudnya bahwa untuk mewujudkan sesuatu yang
baik itu lebih sulit dari pada sesuatu yang jelek atau jahat.
Demikian perbuatan baik atau buruk itu meliputi seluruh perbuatan manusia.
Perbuatan manusia terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, terhadap benda-
benda di sekitar baik yang anorganis, vegetatip, maupun animal di tinjau dari segi
baik atau buruknya.

2.2 Pengertian Etika Politik

Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku
atau perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik dan buruknya. Filsafat
politik adalah seperangkat keyakinan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dibela dan di perjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme, fascisme,
demokrasi. Filsafat tersebut erat dengan nama-nama pendahulu-pendahulunya seperti
komunisme oleh Karl marx/fascisme oleh Mussolini dan demokrasi oleh Thomas
Jefferson.
Kiranya tidak mencampuradukkan filsafat politik dengan sistem ekonomi
yang tumbuh bersama antara keduanya, demokrasi adalah filsafat politik sedangkan
kapitalisme adalah sistem ekonomi, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang di
dalamnya terdapat kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, dan perangsang
bagi hasil kerja selanjutnya terletak pada kauntungan yang di peroleh si pengusaha.
Komunisme sebagai suatu filsafat perlu di bedakan dengan komunisme
sebagai suatu sistem ekonomi, yang tepatnya sosialisme, komunisme adalah suatu
filsafat politik yang di barengi sistem ekonomi sosialiame. Sebagai suatu sistem
ekonomi, komunisme menolak kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi dan

4
meletakan perangsang bagi hasil kerja selanjutnya semata-mata pada kesejahteraan
yang semakin meningkat bagi semua orang, keuntungan sebagai suatu motifnya perlu
di tolak bila mana hanya berarti keuntungan pribadi, yang berarti pemupukan
kekayaan oleh orang seorang bagi dirinya sendiri semata-mata.
Fascisme sebagai suatu filsafat perlu di bedakan dengan sistem ekonomi
korporasi. Sistem ekonomi korporasi adalah suatu bentuk kapitalisme dimana Negara
mengatur segala pekerjaan menggantikan serikat buruh dan serikat majikan yang
saling bertentangan. Sistem ekonomi korporasi diawasi secara ketat oleh dewan fascis
tertinggi. Singkatnya Negara korporasi adalah suatu kapitalisme dengan bentuk
pemerintahan diktator.
Jadi etika politik adalah suatu cabang dari filsafat politik. Oleh karena itu baik
buruknya perbuatan atau perilaku politik yang dinilai dalam rangka etika politik,
penilaian berdasarkan filsafat politik.

2.3 Filsafat Politik Pancasila dan Etika Politik Pancasila

Filsafat politik pancasila ialah seperangkat keyakinan bermasyarakat,


berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya,
yaitu manusia-manusia Pancasila yang menyelenggarakan dan memperjuangkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Negara
Indonesia, filsafat politiknya adalah Filsafat Politik Pancasila. Pancasila adalah
filsafat politik masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Perbandingan antara filsafat politik Komunisme, Demokrasi, dan Fascisme,
sebagai berikut :
1. Filsafat politik komunisme : Memandang individu manusia hanya sekedar
nomor dalam keseluruhan hidup bersama sebagai masyarakat yang menegara,
kedudukan individu tidaklah penting dan yang penting adlaah kehidupan
bersama yang menegara.

2. Filsafat politik demokrasi : Memandang individu manusia teramat penting,


sedangkan kehidupan bersama yang merupakan masyarakat yang menegara
adanya sebagai akibat dari perjanjian kemasyarakatan bersama untuk hidup

5
menegara demi kepentingan individu-individu yang menjadi warganya,
sehingga individu adalah nomor satu pentingnya sedangkan masyarakat yang
menegara adalah penting yang nomor dua.

3. Filsafat politik fascisme : Memandang manusia hanya sebagai unsur dari


kebersamaan masyarakat manusia yang berwujud negara, sedangkan negara
yang mengatur dan menentukan segalanya (sebagai subjek) dan induvidu
bukanlah subjek melainkan hanya objek, maka filsafat politik pancasila
berkeyakinan bahwa manusia adalah subjek dan objek sekaligus.

Negara kita adalah negara demokrasi Pancasila. Suatu negara demokrasi


dimana manusia sebagai individu dan manusia sebagai mahluk sosial sama
pentingnya. Warga negara adalah mahluk sosial sekaligus.

Etika Politik Pancasila adalah cabang dari filsafat politik Pancasila yang
menilai baik dan buruknya perbuatan atau perilaku politik berdasarkan Filsafat Politik
Pancasila. Filsafat Politik Pancasila ialah seperangkat keyakinan di dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Pancasila adalah dasar filsafat negara menjadi pusat dasar dan inti dari
Pembukaan UUD 1945. Pancasila dengan fungsi teoritisnya menemukan kebenaran
yang sedalam-dalamnya dan dengan fungsi praktisnya menjadi pedoman di dalam
mengambil kebijakan dan melangkah dengan melalui empat pokok-pokok pikiran
Pembukaan UUD 1945 yag merupakan Reschtsidee (cita-cita hukum) dan merupakan
Geistlichen Hintergrund (suasana kebatinan) Undang-Undang Dasar menjelma
kedalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar.
Fungsi Pancasila dasar filsafat negara sebagai ideologi negara, yaitu cita-cita
negara yang menjadi basis bagi sistem teori dan praktek penyelenggaraan negara.
Filsafat politik Pancasila adalah filsafat politik negara Pancasila, yang memfungsikan
Pancasila sebagai dasar filsafatnya dan sebagai ideologinya. Etika politik Pancasila
menilai baik-buruknya perilaku politik dan tindakan-tindakan atau perbuatan politik

6
dari sudut pandang Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan sebagai ideologi
negara Republik Indonesia.

Masalah-masalah politik dapat digolongkan menjadi :

1. Sistem pemerintahan negara

2. Hak-hak dasar warga negara

3. Hubungan pemerintah negara dengan warga negara

4. Hubungan negara dengan dunia Internasional

5. Dan lain-lain

Perilaku politik, perbuatan politik, dan tindakan-tindakan politik pemerintah


negara, alat-alat kekuasaan negara dan rakyat negara serta masyarakat dalam lingkup
negara itulah yang harus kita soroti atau kita nilai dari segi etika politik. Tujuannya
untuk mengetahui apakah semuanya itu dapat dipulangkan kembali atau
dipertanggung jawabkan dari segi Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan sebagai
ideology negara ataukah tidak. Kalau dapat berarti memenuhi tuntutan etika politik
Pancasila dan kalau tidak dapat berarti sebaliknya dan harus diluruskan agar dapat
memnuhi tuntutan etika politik Pancasila.

Biasanya orang minta diberi contoh tentang perilaku politik, perbuatan politik,
dan tindakan-tindakan politik seperti itu. Contoh-contoh untuk ini sebaiknya
diperoleh melalui jalan diskusi.

2.4 Pelanggaran- pelanggaran Etika Politik

Dewasa ini marak terjadi pelanggaran etika politik di Indonesia, bahkan sejak
pemerintahan Orde Lama pun hal ini sudah mewarnai kancah politik di negeri kita

7
ini. Dalam hal ini peran etika politik pancasila sangat dibutuhkan, karena etika politik
pancasila mampu mendeteksi adanya gejala- gejala awal dari pelanggaran terhadap
filsafat politik pancasila. Etika politik juga mampu mengubah paradigma politik:
 Dari “Politik yang sering dilihat sebagai sebuah pertarungan kekuatan dan
kepentingan.Kecenderungannya adalah untuk mencapai tujuan dengan
menghalalkan segalacara, sehingga tujuan politik yang menghasilkan
kesejahteraan rakyat itu hanya sebatas mimpi. Dunia politik juga dapat
merubah kawan menjadi lawan,dan sebaliknya, musuh menjadi teman untuk
kepentingan individu dan golongan.Bahkan, rakyat pun bisa menjadi sasaran
permainan politik, martabat bangsadigadaikan, dan harga diri dipertaruhkan.”

 Menjadi “Secara etimologi, politik adalah strategi. Ia dapat dimaknai sebagai


sebuah penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan
daya pikirnya dalam upaya proses perubahan. Secara terminologi, politik
berarti memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan,
kemiskinan, dan kebodohan. Maka, pada tataran substansi, politik tentu tidak
kejam, ia juga tidak berisi permusuhan, apalagi penghancuran manusia. Politik
mengenal etika, justru peduli terhadap kaum minoritas, kaum tertindas, dan
berbicara atas kepentingan kolektif (masyarakat) secara jujur dan sungguh-
sungguh.

Berikut akan dipaparkan suatu gambaran atau contoh pelanggaran-


pelanggaran etika politik yang mungkin terjadi:
a. Pelanggaran etika politik yang paling besar adalah perbuatan yang bertujuan
meniadakan atau mengganti Pancasila dengan ideologi negara yang lain. Ini
berarti pembubaran negara Pancasila yang setiap 1 Oktober selalu kita
peringati mulai berdirinya.

b. Menghilangkan cita- cita hukum (Rechsidee),yang menguasai dasar hukum


negara kita, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

c. Secara sengaja menafsirkan secara keliru pasal- pasal aturan perundangan


sehingga bertentangan dengan Pancasila, dan melaksanakannya sejalan

8
dengan kekeliruannya yang disengaja tersebut sehingga bertentangan dengan
maksud dan jiwa Pancasila.

d. Pelanggaran dalam tata pergaulan dalam rangka aktifitas politik di dalam


Negara Pancasila.

e. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social. Budaya politik yang


cendrung antagonis, pada akhirnya sering membenarkan kekerasan sebagai
panglima digjaya. Ketamakan dan kehausannya berwujud dalamsikap korupsi
sehingga terjadi pengabaian kemiskinan, kesenjangan sosial, dan feodalisme
kekuasaan yang mengangkangi hukum, dan pengabaian pada sejarah
kekerasan di masa lalu dengan mengubur ingatan sosial.

f. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama


dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga
memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.

g. Korupsi

Hal ini telah menjadi permasalahan yang pelik di Indonesia. Bahkan sejak
masa Orde Lama pun, korupsi telah mewarnai dunia politik di negara kita.
Apalagi sekarang, korupsi semakin tumbuh subur saja.

 Orde Lama
Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960
 Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal
seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan
Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan
Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel.
 Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan
pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas
intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang
menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer.
Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu

9
setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh
dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut
mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap
(kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur
Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.
 Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara
tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
 Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di
Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal
berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH
Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan
perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa
Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.
Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan
korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.
 Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan
korupsi paling subur.
 Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga
terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen
Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas
Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima
Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya.
Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot
Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di
Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak
pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Orde Baru
Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971
 Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-
bisnis strategis.

10
Reformasi
Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001
 Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh
beberapa institusi:
1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
3. Kepolisian
4. Kejaksaan
5. BPKP
6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa
(mis: ICW)
h. Mengkonotasikan politik sebagai dunianya laki-laki. Padahal sesungguhnya
politik bicara strategi, kepedulian, dan keadilan. Politik juga memberi hak atas
pilihan pribadi perempuan sebagai manusia yang mandiri, yang suaranya pun
menjadi sesuatu yang penting untuk di dengar.

Mengingat tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan,


ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan, maka
banyak strategi yang harus dilakukan:
 Pertama, meretas etika politik itu sedini mungkin melalui lingkungan
keluarga: membiasakan pola relasi yang seimbang antara dua jenis manusia,
menghargai keberagaman, dan perbedaan pendapat, terutama sejak anak-anak
masih kecil.
 Kedua, memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah
hingga dusun, lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan
etika politik di dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai,
baikAD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya.
 Ketiga, memperkuat komunitas di tingkat akar rumput, terutama
perempuan agar melek politik, serta adanya peraturan yang tegas dan dijamin
dalam hukum (berupa sangsi) yang ketat terhadap proses-proses pengambilan
kebijakan yang tidakmenyertakan perempuan di setiap institusi.

11
 Keempat, perlu memotivasi perempuan untuk bersedia mengambil
peran dalam kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi
kader politik perempuan, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan
keadilan bersama, perempuan dan laki-laki.
 Kelima, yang lebih signifikan adalah, membangun proses penyadaran
akan pentingnya etika politik dalam setiap lapisan masyarakat.
 Terakhir, ingatan sosial terhadap kekerasan di masa lalu membutuhkan
pertanggungjawaban sebagai wujud dari sebuah etika politik, karena itu, perlu
tindakan kongkrit seluruh instansi, terutama pemerintah dalam menyikapi
situasi ini yang juga melibatkan komponen perempuan di dalamnya.

2.5 Rumusan Kunci Etika Politik Pancasila

Dilihat dari rumus rangkaian kesatuan sila-sila Pancasila, maka masalah etika
dalam hal ini etika politik Pancasila, paling dekat dengan sila kedua. Maka dari itu
rumus rangkaian kesatuannya dengan keempat sila yang lain adalah sebagai berikut:
Etika politik Pancasila ialah perilaku atau perbuatan politik yang sesuai
dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang bersila ketiga, bersila
keempat, bersila kelima, dan bersila kesatu.

Seperti yang kita ketahui, masalah etika adalah masalah nilai; sedangkan
postulat tentang nilai Ilmu Filsafat Pancasila adalah hakikat manusia Pancasila. Maka
dari itu rumus dari rangkaian kesatuan sila-sila dalam Pancasila yang berkenaan
dengan etika Politik Pancasila dimulai dari sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab.

Untuk menjabarkan rumus kunci tersebut ke dalam deskripsi yang cukup jelas
mengenai etika politik Pancasila harus disesuaikan dengan keperluannya. Yakni
setiap sila pancasila harus dijabarkan ke dalam pengertian-pengertiannya dari yang
umum ke yang semakin khusus-konkrit, dan bersamaan dengan itu tidak boleh

12
dilupakan bahwa setiap pengertian jabaran sila-sila Pancasila secara otomatis
dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.

Contoh kasusnya adalah “bagaimana berkampanye sesuai dengan etika


Pancasila?”, maka jawabannya ada bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya:

• Berkampanyelah secara tidak bertentangan dengan nilai-nilai


kemanusiaan, misalnya jangan menggangu keamanan orang lain, jangan
merugikan orang lain, hubungan dengan sesama manusia harus dijaga agar
tetap baik, jangan sampai bentrok dengan masa partai lain. Langkah ini
didasarkan pada sila ke-3

• Peraturan berkampanye harus ditaati karena menaati peraturan berarti


menaati diri kita semua. Langkah ini didasarkan pada sila ke-4

• Pemilu dan khususnya berkampanye itu tujuan akhirnya adalah demi


kesejahteraan dan kemakmuran hidup kita bersama, usahakan jangan sampai
menghambat usaha-usaha menuju kemakmuran bersama. Langkah ini
didasarkan pada sila ke-5

• Ketahuilah bahwa semua perbuatan tidak baik yang berdalihkan


Pemilu atau berkampanye selalu tidak lepas dari pengamatan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Langkah ini didasarkan pada sila ke-1

Inti masalah politik tidak hanya terbatas pada masalah kekuasaan. Tetapi
politik adalah masalah seperangkat keyakinan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, yaitu manusia-
manusia Pancasila yang sedang berusaha dan berjuang untuk menyelenggarakan
suatu kehidupan bermasyarakat, berbagsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Itu tadi adalah pengertian “politik” yang ilmiah. Di samping itu ada pengertian
“politik” yang non-ilmiah, yang prinsip perjuangannya adalah demi kemenangan
dalam kekuasaan, masalah nilai kemanusiaan tidaklah penting, kalau perlu “tujuan
menghalalkan cara”. Nilai-nilai Pancasila juga tidak selalu dianut, kalau perlu berbuat
dan bertindak yang bertentangan dengan Pancasila, bahkan mungkin pula

13
tersembunyi keinginan/ kehendak untuk mengganti Pancasila dengan dasar negara
yang lain. Jelas ini tidak lah ilmiah, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada Pancasila. Sejarah telah menunjukkan bahwa perilaku atau perbuatan politik
yang demikian ini tidak akan dan tidak mungkin mendatangkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dilihat dari segi “politik” dalam pengertiannya yang ilmiah
ini betapa banyak politisi kita yang nampaknya “bermasalah”.

Kalau kita perhatikan panggung politik dunia, keakhiran kekuasaan Presiden


Sadam Husein yang bisa dinilai tragis dengan berbagai nestapa dibaliknya itu pasti
bukan cita-cita Sadam Husein sendiri. Demikian pula keakhiran presiden Soekarno
dan presiden Suharto yang bisa dinilai “tidak nyaman” dengan berbagai masalah di
baliknya itu pasti juga bukan cita-cita beliau. Semua ini menunjukkan bahwa
merealisasikan filsafat Politik secara benar yang dibuktikan dengan tetap
berpegang pada etika politik dalam pengertiannya yang ilmiah itu sungguh
tidak mudah, dan oleh karenanya harus selalu diupayakan. Kalau tidak
diupayakan dengan sungguh-sungguh, maka hambatan, kesukaran, dan godaan-
godaan akan selalu membelokkan para politisi dan orang pada umumnya untuk
menjalankan “politik” dalam pengertiannya yang tidak ilmiah, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada Filsafat Politik Pancasila.

2.6 Upaya untuk ber-Etika Pancasila

Sudah jelas bahwa untuk ber-etika Politik Pancasila, pemahaman istilah


“politik” harus dari seginya yang ilmiah, bukan dari seginya yang non-ilmiah. Jadi
“politik” di sini harus diartikan dalam konteks filsafat politik Pancasila, yaitu
seperangkat keyakinan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dibela dan
diperjuangkan oleh para penganutnya, dalam hal ini manusia manusia Pancasila yang
sedang berusaha dan berjuang menyelenggarakan suatu kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.

14
Dalam rangka upaya untuk ber-Etika Politik Pancasila, dua hal yang harus
dipenuhi, yaitu:

1) Sikap ilmiah, kejujuran ilmiah, hasrat ilmiah, dan suasana ilmiah

2) Pemahaman isi tulisan-tulisan ilmiah mengenai Pancasila, baik


sebagai filsafat maupun sebagai ilmu khusus

Karena pemahaman istilah “politik” untuk ber-Etika Pancasila harus dari


seginya yang ilmiah, bukan yang non-ilmiah, maka untuk dapat memiliki
kemampuan ber-Etika politik Pancasila orang dituntut memiliki sikap ilmiah,
kejujuran ilmiah, hasrat ilmiah dan mampu menjaga dan menyelenggarakan suasana
ilmiah. Sikap ilmiah meliputi:

a) Mengosongkan diri sendiri, yakni membebaskan diri dari segala


prasangka, baik atau pun buruk

b) Mengobjektifkan diri sendiri, adalah bersikap seperti apa adanya,


mengatakan sesuatu yang baik bukan karena cinta atau simpatinya, dan
mengatakan sesuatu yang buruk bukan karena benci atau tidak
senangnya.

Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah politik yang beretika!
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika Politik Pancasila adalah cabang dari filsafat politik Pancasila yang

15
menilai baik dan buruknya perbuatan atau perilaku politik berdasarkan Filsafat
Politik Pancasila. Peran etika politik Pancasila sangat dibutuhkan dalam menangani
pelanggaran-pelanggaran etika politik di Indonesia, karena etika politik pancasila
mampu mendeteksi adanya gejala- gejala awal dari pelanggaran terhadap filsafat
politik pancasila.
Merealisasikan filsafat Politik secara benar yang dibuktikan dengan tetap
berpegang pada etika politik dalam pengertiannya yang ilmiah itu sungguh tidak
mudah, dan oleh karenanya harus selalu diupayakan.

DAFTAR PUSTAKA

Wreksosuharjo, Sunarjo. 2005. Pancasila. Surakarta: UNS Press

Suseno, Franz Magnis. 2007. Etika Politik; Sebuah Keharusan. Yogyakarta: Makalah
Kuliah Umum Prof. Frans Magnis Suseno

16

Vous aimerez peut-être aussi