Vous êtes sur la page 1sur 2

c 

Di dalam novel kidung akar budayanya terdapat pada kata pengantar mohammad
sobari, ͞kita doyan bertegkar saling menyalahkan dan pertengkaran itu bukan meredakan dan
membuat tentram keadaan, melainkan memicu letupan ketegangan, kekacauan,dan kerusuhan
serta segenap corak tindak kekerasan yang memuncak pada Mei 1998.

Pada kutipan ini menampakan bahwa budaya masyarakat Indonesia pada saat itu suka
melebihkan hal-hal yang kecil dan menghasilkan permasalahan yang baru dari permasalahan
yang semula ada.

Apakah kita juga sering ʹ mungkin diluar kesadaran memamerkan otak kerdil kita yang
tanpa malu merasa mampu mengatasi persoalan-persolan kemasyarakatan yang ruwet
mendalam dan akut, hanya dengan ambisi besar dengan ego besar dan omong kosong untuk
menjadi pemimpin bangsa. Kita sering juga lupa jabatan juga bisa dilamar tapi kepemimpinan
tidak. Hal ini dapat dikatakan bahwa penulis juga ingin menggambarkan budaya
kemasyarakatan Indonesia yang terlalu mementingkan jabatan dan kekeuasaan. Meskipun
nyatanya belum tentu ia dapat mempertanggung jawabkan jabatan itu.

Penulis mengisahkan novel ini adalah untuk merubah budaya masyarakat Indonesia
yang buruk (seperti yang dipaparkan diatas). Hal ini dapat dilihat kutipan ͞kemitraan, the center
for reform- izinkanlahaku menyebutkannya dengan identitas dan citra diri seperti itu. Tak
pernah melalamar dan mengehendaki jabatan kenegaraan apapun. Tetapi dengan ketulusan
dan rasa peduli terhadap persoalan hidup, lembaga ini bekerja menyusup kepusat-pusat
keruwtan, dan keluar lagi dengan membawa sedikit jawaban, yang sempat terbatas, untuk
melakukan hanya apa yangmungkin, bukan apa yang ia inginkan͟. Hal inilah yang dapat
dijadikan alasan yang menampakkan jelas maksud dan tujuan penulis mengisahkannya, ia
mengatakan bahwa perubahan tersebut dilakukan secara menyeluruh dan menyebar ke pusat-
pusat permasalahan. Perubahan juga dilakukan dengan cara menyelesaikan masalah dengan
mengecilkan jawaban tanpa mmerlukan jawaban-jawaban yang mungkin saja hanya
menghadirkan permasalahan baru karena adanya kontra pemikiran antar pemilik jawaban-
jawaban tersebut.
Pada novel ini, penulisjuga memaparkan mengenai kebudayaan masyarakat yang
memang berkidung. Namun dalam hal ini, masrakat tersebut tidakhanya berkidung dan
menghambakan diri kepada Tuhan, namun juga ada beberapa adat atau kebiasaan atau dapat
disebut juga sebagai kebudayaan masyarakat yang mengkidungkan suatu magis dengan
menggunakan ͞mantra͟, hal ini dapat dlihat berdasarkan tulisan Ahmad Sobary pada kutipan

͞dia tahu bahwa kidng berarti doa. Dan didalam doa terdapat sikap dan etika penghambaan:
arti terdalam yang paling ikhlas untuk meminta dan berharap, dan menanti dalam penyerahan
diri. Tapi kidung-dalam kelompok-kelompok masyarakat adat, yang hidup secara komunal dan
saling berbagi secara suka duka melalui kemapanan tradisi ʹbukan lagi doa, melainkan
͞mantra͟ ͞.

Penulis juga ingin memaparkan kepada pembaca melalui kisah ͞Kidungnya͟, menggambarkan
pemimpin yang selalu mementingkan tampilan diri terlebih dahulu. Hal ini dikatakan bahwa
pemimpin tidak bersikap jujur bahkan untuk penampilannya sendiri dan lebih suka
menampilkan suatu hal-hal yang baru.

Vous aimerez peut-être aussi