Vous êtes sur la page 1sur 4

Tuesday, 03 November 2009

 INFORMASI PASAR PRODUK PERIKANAN

hursday, 19 February 2009


Ingin Ekspor Telur Ikan Terbang ke Jepang?

Pada saat ini (Pebruari 2009) terdapat perusahaan Jepang yang menginginkan
impor telur ikan terbang dari Indonesia, sehingga pada kesempatan ini
ditampilkan artikel dari Trubus untuk pembaca yang berminat meningkatkan
ekspor telur ikan terbang dari Indonesia ke Jepang. Bolehkah menggunakan alat
tangkap yang lebih canggih?

Ekspor Telur Ikan Terbang

oleh Trubusid

Butiran telur-telur kekuningan yang masih terikat benang mirip serabut itu dibilas berulang-ulang. Setelah
bersih dijemur dengan cara diangin-anginkan di atas kayu. Telur yang sudah kering itu lalu digosokkan
berkali-kali di atas papan stainless steel berukuran 20 cm x 45 cm untuk dibuang serabutnya. Telur
dibilas dan diangin-anginkan kembali. Prosesi pengolahan telur ikan terbang sebelum diekspor itu dapat
disaksikan di Makassar, Sulawesi Selatan.

Telur ikan terbang Hirundichthys oxycephalus itu berasal dari nelayan-nelayan di Galesong. Nelayan
Bugis dari daerah pesisir berjarak 22 km di selatan Makassar itu pemburu jempolan telur ikan terbang.
Dari tangan mereka, Gassing Rafi, eksportir, membelinya seharga Rp75.000-Rp90.000/kg.

Telur ikan terbang memang lezat. Penikmat yang berdatangan dari manca-negara seperti Korea Selatan,
Jepang, hingga Lithuania, suka sekali menyantap karena rasanya gurih. Selain itu menyantap telur ikan
terbang sangat bergengsi. Maklum, citra kelezatannya hampir setara dengan telur ikan sturgeon dari Laut
Kaspia, kaviar.
Menurut Gassing permintaan telur ikan terbang sangat tinggi. Ia menggambarkan pada 2005 omzet
perusahaannya mencapai Rp6-miliar. Pada 2006 dan 2007, nilai itu meroket sampai Rp10-miliar dan
Rp20-miliar. ‘Pada 2007 volume pengiriman mencapai 60 ton. Kebutuhan pasar mencapai 2 kali lipat,’
kata Gassing yang berkali-kali terpaksa menampik pesanan itu.

Pakkaja

Ikan yang hidup di perairan Sulawesi, Papua, hingga Flores itu tidak setiap saat menghasilkan telur,
meski musim berbiaknya sepanjang tahun. Masa puncak melimpahnya telur berlangsung pada Juni-
Agustus. Ketika itu musim angin timur mulai habis, yang ditandai dengan kerap terjadi upwelling-arus
vertikal-yang membawa plankton berlimpah. Saat itulah ikan tuing-tuing-bahasa setempat-saling mencari
pasangan dan diakhiri dengan bertelur.

Saat itu pula nelayan dengan berbekal alat tangkap siap berburu. Alat tangkap berbentuk tabung
berbahan rotan bergaris tengah 50 cm. Biasanya nelayan memakai jerami untuk menghubungkan 2
tabung. Jerami itulah yang menjadi media ikan
betina meletakkan telur. ‘Pakkaja menga-pung sehingga mudah diamati,’ kata Gassing.

Waktu telur melimpah, dalam 1 unit pakkaja bisa diperoleh 10-15 kg telur selama 3 minggu melaut.
Namun, sejak awal dekade 1990 pakkaja diganti alat yang lebih sederhana bernama bale-bale. Meski
lebih sederhana, alat yang sepintas mirip rakit itu lebih ampuh menjaring telur. Nelayan bisa
mendapatkan 30-40 kg telur dalam waktu sama. Itu lantaran celah bale-bale yang rapat dan banyak,
disukai ikan terbang untuk menyembunyikan telurnya.

Telur hasil tangkapan langsung dibersih-kan nelayan dengan air laut. Telur yang masih penuh serat itu
lantas dijemur di atap perahu selama 1-2 hari sebelum diolah kembali oleh eksportir atau pengepul. ‘Perlu
dibersihkan lagi berkali-kali agar kadar seratnya kurang dari 20%,’ ujar Gassing yang mengekspor dalam
bentuk beku setelah diawetkan dengan garam.

Langka

Beberapa tahun terakhir telur ikan terbang makin sulit didapatkan, sehingga nelayan perlu waktu
berbulan-bulan untuk mengumpulkannya. Hal itu tak lepas dari menyusutnya populasi ikan terbang akibat
perburuan telur berlebihan yang mengganggu regenerasi. Akibatnya nelayan Galesong harus berlayar
sampai Fakfak, Provinsi Papua Barat untuk mendapat telur. Pada musim bertelur, tercatat hingga 4.400
nelayan dan 900 perahu pengepul datang di Fakfak.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan pada 2006 memperlihatkan produksi
telur ikan terbang pada 2005 hanya 3.300 ton. Itu hanya 50% dari jumlah produksi pada 1977. Nasib ikan
terbang tampaknya mulai meniti ujung tanduk. Seperti saudaranya ikan sturgeon-penghasil kaviar yang
penangkapan telurnya sudah dilarang-pembatasan kuota volume tangkapan ikan terbang juga perlu
dipertimbangkan. Itu semata-mata demi regenerasi ikan terbang terjaga sehingga tidak punah. (Augy
Syahailatua, PhD, kepala Bidang Sumberdaya Laut - Pusat Penelitian Oseanografi - Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia)
Sumber : Trubus, Juli 2008

Senin, 28-06-2010 
Menjaga Kepunahan Ikan Terbang

Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin tak terbendung sehingga memungkinan berbagai sektor juga
ikut berkembang. Seperti halnya dengan sektor kelautan dan perikanan yang menjadi salah satu
penyumbang devisa negara dari non migas.
 
Oleh: Andi Baso Tancung 
Mahasiswa Magister Manajemen Pesisir dan Teknologi Kelautan 
UMI Makassar dan Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia Makassar (IPIM) Sulsel. 

Meski diketahui bahwa pemasukan devisa negara dari sektor kelautan dan perikanan masih sangat jauh bila
dibandingkan dengan migas. Namun bukan berarti bahwa tidak ada sama sekali yang disumbangkan kepada
negara. 
Olehnya itu, potensi sumberdaya alam yang ada ini perlu mendapat perhatian khusus dalam pengelolaan,
Sebab jangan sampai sumber daya alam terutama ikan-ikan tertentu seharusnya mendapat perlindungan
agar tidak punah, karena kebanyakan para pemburu dollar ini tidak mengenal adanya ikan-ikan yang rawan
akan kepunahan. Pasalnya, kalau salah satu jenis ikan di laut ada yang punah lantaran perlakuan manusia
itu sendiri yang tidak bisa dikendalikan, maka tentunya yang menanggung akibatnya adalah anak cucu
bangsa ini. Sebab jenis (species) ikan yang sudah punah maka jelas akan kehilangan potensi sumber daya
yang dapat dibanggakan dan otomatis kita tidak bisa berbuat sesuatu kecuali hanya dengan menikmati
gambarnya saja. 
Apalagi kalau jenis ikannya itu tergolong ikan yang sangat susah untuk dikembangkan melalui metode
budidaya yang selama ini dilakukan pada beberapa jenis ikan. 
Hal seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh semua pihak karena bisa memutus suatu siklus yang ada di
muka Seperti halnya dengan ikan terbang yang tergolong salah satu jenis ikan langkah tapi penangkapannya
sudah menjadi sumber penghasilan yang besar bagi orang-orang baik nelayan maupun pengusaha yang
tidak hentinya memburu ikan tersebut. Sebab selain ikannya yang digemari juga telurnya sangat mahal
harganya, sehingga setiap harinya orang akan menangkap ikan ini. 
Wajar saja jika semakin hari semakin langkah juga ikan terbang didapatkan di pasar-pasar, begitupula
dengan telurnya lantaran dikuasai oleh para pengusaha. Padahal populasi ikan terbang ini tergolong sudah
semakin sedikit ditambah telurnya yang juga dikuras habis. Ikan terbang Hirundichthys oxycephalus
merupakan ikan pelagis kecil, hidup dipermukaan laut, termasuk perenang cepat, menyukai cahaya pada
malam hari dan mampu meluncur keluar dari permukaan air dan melayang di udara. Ikan ini ditemukan di
semua samudra utama, terutama di perairan tropis dan sub tropis di samudra Atlantik, Pasifik dan Begitu
pula tingkat kehidupannya yang masuk dalam waktu tertentu atau ada musim tertentu untuk
menangkapnya. 
Jadi ikan ini memiliki bulan-bulan tertentu sehingga jumlahnya melipah, tapi kenyataan bulan tersebut
jumlahnya hanya biasa saja. Olehnya itu, ikan terbang sudah termasuk dalam golongan ikan yang jumlahnya
mengalami penururan sangat derastis, sehingga ke depan bisa mengalami kepunahan karena tidak hentinya
nelayan memburu karena harganya cukup tinggi. 
Dengan harga yang mahal itu maka petani nelayan yang selalu menangkap atau mengambil telur ikan
terbang ini lambat laun akan habis bila tidak diantisipasi sedini mungkin dan siapa yang bertanggung jawab?
tentunya kita semua, karena ikan terbang ini tergolong ikan yang langkah, apalagi jumlahnya mengalami
penurunan. 
Memang diakui bahwa ikan terbang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan dapat dipasarkan dalam
bentuk segar, ikan asinan maupun ikan asap, akan tetapi telur ikan terbang yang mempunyai nilai gizi tinggi
lebih populer di masyarakat yang menjadikan nilai ekonomisnya lebih tinggi. Selain dikonsumsi juga
merupakan sumber devisa negara karena telurnya menjadi komoditas ekspor yang cukup tinggi nilainya.
Menurut Ghofur 2003 dalam 
Nurmawati 2007, ikan telah dieksploitasi di Indonesia bagian timur terutama di Selat Makassar dan Laut
Flores. Eksploitasi telah dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Takalar, Pinrang, Barru, Jeneponto, Bantaeng
dan Bulukumba. 
Nilai ekonomi yang besar bagi sumberdaya tersebut sering kali mengabaikan etika pemanfaatan sumberdaya
berkelanjutan akibat tingginya permintaan pasar, sehingga populasi jenis ikan ini mengalami penurunan
terus menerus beberapa tahun belakangan ini (Nessa et al 1997 dalam Nurmawati 2007). Upaya untuk
mencegah agar ikan terbang tidak punah dan berkelanjutan diperlukan suatu kebijakan yang tepat. Untuk
mendukung upaya tersebut maka diperlukan informasi penelitian pendukung baik biologi maupun ekologi. 
Disamping itu, perlu dibuatkan juga aturan bagi pengusaha agar ada kuota yang telah ditentukan sehingga
nelayan tidak seenaknya menangkap ikan ini. Pasalnya, kalau pengusaha tetap membeli tanpa ada batas
atau aturan yang diterapkan oleh pemerintah, maka jangan heran jika ikan ini lambat atau cepat Pasalnya,
kepunahan itu telah mengancam lantaran telurnya diambil terus menerus tanpa ada kesempatakan yang
diberikan untuk menetaskan telurnya, sehingga berapapun jumlahnya akan diambilnya. 
Ini pertanda bahwa ikan terbang yang memiliki ciri khas tersendiri akan habis juga. Olehnya itu, pemerintah
perlu ada gagasan untuk menyatukan prsepsi antara stakeholders untuk membuat kesepakatan yang tertulis
atau ada aturan yang diterapkan tanpa memilih merek untuk mentaatinya agar ikan diberi kesempatan
memijah tanpa diganggu oleh siapapun. 
Dengan demikian, maka kepunahan yang sudah mengancam ini bisa dikendalikan dan bahkan bisa kembali
melipah. Inilah yang perlu diperhatikan karena ikan terbang memiliki nilai ekonomis yang tinggi terutama
telurnya. 
Berdasarakan data Statistik perikanan Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa total produksi telur Ikan
Terbang 279,8 ton/tahun pada wilayah Sulawesi Selatan bahkan mengekspor telur ikan terbang ke Rusia
sebesar 20 ton seharga Rp 5 miliar. Wajar saja jika pelaku usaha dibidang ini terus melakukan pembelian
yang tiada henti, sehingga nelayan pun ikut mengeksploitasi secara terus menrus karena tergiur akan hasil
yang didapatkannya tanpa memikirkan jumlah ikan yang sudah mengalami penurunan. 
Meski diakui atau tidak bahwa ikan terbang di negara-negara luar seperti di Jepang orang mengkonsumsinya
sebagai bahan obat-obatan dan bahkan memakan telurnya merupakan keuntungan tersendiri bagi mereka
sebab dapat memperlancar peredaran darah dan secara tidak langusng dapat meningkatkan libido. Di
samping itu, telur ikan terbang juga mengandung karagenan seperti yang terkandung pada rumput laut dan
yang lebih halus lebih diminati pasar di luar negeri. Bahkan telur ikan terbang merupakan makanan yang
sangat berkelas di Jepang. Olehnya itu, nelayan yang ada di daearah ini khususnya yang berdomisli di
Takalar dan sudah terkenal dalam kepiawaian dalam menangkap ikan terbang dan bahkan telur ikan terbang
merupakan salah satu primadona sekaligus lambang bertahannya sistem ekonomi pesisir yang selama ini
dianut. Meski di era tahun 70-an, harga ikan terbang mulai melambung dan hingga kini masih terus menjadi
buruan utama bagi nelayan di daerah ini. 
Selama ini, pemburu ikan terbang yang dikenal juga sebagai patorani atau pencari ikan tuing-tuing di laut
dan dikenal sebagai pengembara dari lautan ke lautan demi mencari telur ikan terbang. Memang diakui
bahwa nelayan pencari ikan tuing-tuing ini sudah lama melakukan aktivitasnya itu di daerah ini bahkan
sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Mereka mencari ikan terbang di Selat Makassar, mulai dari
perairan Selayar sampai peraiaran Kalimantan Timur. 
Namun belakangan ini tampak kecenderungan banyak nelayan yang sampai ke Kalimantan Selatan bahkan
berburu hingga ke perairan Papua (Fak-Fak). 
Sejak tahun 1970-an sampai tahun 1990-an wilayah selat Makassar mulai dari bagian barat perairan
Selayar, atau dari pulau Kalu Kalukuang di dekat perairan Madura sampai pulau Derawan di Kalimantan
Timur adalah wilayah eskploitasi nelayan patorani dari Galesong, nelayan-nelayan dari Bontomarannu di
ujung Selatan Galesong sampai Aeng Batu-Batu. 
Pada krisis moneter tahun 1997-1998, harga telur torani mencapai Rp 360.000 per kilogram Selama ini
tujuan ekspor ikan torani adalah negara Jepang, Korea, Hong Kong, dan Taiwan. Wajar kalau patorani ini
selalu menggantungkan hidupnya pada ikan ini. Sebab sekali melaut banyak keuntungan yang didapatnya
apalagi kalau memang musimnya. Meski tidak seperti beberapa tahun lalu, bila musimnya tiba pasti banyak
yang tertangkap, tapi nelayan ini tetap tidak akan menyerah lantaran sudah menjadi kebiasaan atau
pekerjaan sehari-harinya. 
Olehnya itu, peran pemerintah dalam menjaga kepunahan ikan terbang sangat menentukan. Apalagi
pengusaha yang kurang peduli dengan istilah punah lantaran semata hanya selalu memburuh profit tanpa
ada yang bisa mengendalikannya. Begitupula dengan nelayan yang tidak ada batasnya dalam menangkap
ikan terbang lantaran pengusaha yang menjadi acuannya. 
Dengan demikian, maka semua ikut bertanggungjawab dalam menjaga ikan ini sebab kalau membiarkan
tanpa ada yang mencegahnya, maka tentunya ke depan bisa muncul rasa penyesalan. Jangan mengulangi
kesalahan dimasa lalu yang terus melakukan eksploitasi sehingga beberapa ikan tertentu dikabarkan tidak
ditemukan lagi. ()
 

Vous aimerez peut-être aussi