Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh :
AGUNG YURIANDI
MEDAN
2011
Latar Belakang
Indonesia, meski termasuk negara dengan kekayaan alam yang melimpah
ruah, hingga hari ini terus dililit persoalan ekonomi yang kompleks dan semakin carut
marut.1 Akibatnya, meski termasuk negeri kaya-raya, kebanyakan rakyatnya miskin.
Penawaran suap dari pelaku bisnis dan korupsi inilah masalahnya. Korupsi dilakukan
tidak hanya di sektor pemerintahan tetapi juga di sektor swasta yang menjadikan hal
ini fenomena global saat ini.2 Global Corruption Report Tahun 2009 yang
dikeluarkan oleh Transparancy International secara khusus menyorot korupsi dan
sektor swasta yang disebutkan memainkan peranan sentral sebagai sumber utama
transaksi korupsi di antara pegawai negeri, pejabat pemerintah dan anggota partai
politik. Krisis finansial yang melanda ekonomi dunia pada 2008 memperlihatkan
faktor sisi penawaran korupsi dari bisnis menjadi masalah besar saat ini.3
Fakta yang disampaikan sangat mencengangkan. Dari 2.700 lebih eksekutif
bisnis yang disurvei di 26 negara, ditemukan 2 dari 5 pejabat eksekutif bisnis
mengakui pernah diminta melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga
publik. Dan 60% eksekutif bisnis di Mesir, India, Indonesia, Maroko, Nigeria, dan
Pakistan mengaku harus melakukan suap ketika berhubungan dengan lembaga
publik.4
1
David Barsamian dan Liem Sok Lian, Menembus Batas : Beyond Boundaries, Edisi
Pertama, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal. 356.
2
Teten Masduki, “Korupsi dan Sektor Swasta”,
http://antikorupsijateng.wordpress.com/2011/05/14/korupsi-dan-sektor-swasta/., diakses pada 20 Mei
2011.
3
Transparency International, Global Corruption Report 2009 : Corruption and The Private
Sector, (New York, USA : Cambridge University Press., 2009).
4
Transparency International, “Bribe Payers Index 2008”,
http://www.transparency.org/news_room/in_focus/2008/bpi_2008., diakses pada 20 Mei 2011.
2
Nilai transaksi suap juga bukan angka yang sedikit. Di negara berkembang
disebutkan politisi dan pejabat pemerintah menerima suap antara US$. 20-40 miliar
setiap tahunnya. Setara dengan sekitar 20-40% bantuan pembangunan.5 Dan 50%
manajer bisnis memperkirakan bahwa korupsi menambah biaya proyek sedikitnya
10%, dan dalam beberapa kasus lebih dari 25%. Satu dari lima pelaku mengakui
dikalahkan oleh pesaing yang melakukan suap.6
Di Indonesia suap setidaknya ada tiga hal, yaitu secara aktif diminta, diminta
dengan pemerasan, ditawarkan secara proaktif oleh pebisnis, dan ketiga bentuk itu
sangat ditentukan oleh sejauh mana relasi kekuasaan antara pemerintah dan bisnis.
Dalam Survei Indeks Suap 2009 di 50 kota di Indonesia yang dilakukan oleh
Transparancy International Indonesia, mengaju juga biasa mendapat tawaran suap
(45%) dari kalangan bisnis. Survey menyebutkan dalam praktek ini jauh lebih rumit
dari sekedar suap dalam bentuk transaksi kotor yang terputus. Hampir 50% pejabat
eksekutif dari negara-negara OECD mengakui hubungan pribadi dan hubungan dekat
(nepotisme) sering digunakan untuk memenangkan kontrak publik di negara-negara
yang bukan anggota OECD.7
Karena itu, penyuapan pejabat asing dalam transaksi bisnis internasional
adalah fenomena dunia yang perlu mendapat perhatian serius, terutama di negara-
negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi seperti di Indonesia, karena
pengaruhnya yang luar biasa ke dalam jantung perekonomian negara- negara tersebut.
Indonesia punya pengalaman nyata yang sangat panjang mengenai transaksi bisnis
yang kotor baik dengan perusahaan asing maupun dengan perusahaan nasional dalam
pengelolaan sumber daya alam, impor komoditas pangan atau mega kontrak
pemerintah dalam pembangunan infrastruktur selain membebani anggaran publik
juga membangun kleptokrasi yang bisa berkuasa cukup lama.8
Permasalahan dalam paper ini adalah mengenai formula hukum yang
bagaimana agar budaya suap di kalangan Pemerintahan dapat diberantas. Maksud
5
Ibid.
6
Simmons & Simmons, 2007., dalam : Teten Masduki, Op.cit.
7
Transparency International, Global Corruption Report 2009 : Corruption and The Private
Sector, Op.cit.
8
Teten Masduki, Op.cit.
3
formula disini adalah teori hukum yang digunakan untuk memecahkan permasalahan
tersebut. Menurut Leonard J. Theberge mengatakan bahwa hukum itu harus memiliki
predictability, stability, fairness, education, dan special ability for the lawyer.9 Hal ini
mengartikan bahwa formula hukum yang baik untuk Indonesia harus memiliki prinsip
keterprediksian, stabilitas, keadilan, pendidikan, dan pendidikan spesialis bagi
penegak hukum. Barulah setelah semua itu tercapai maka hukum dapat berjalan
dengan baik.
9
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and
Policy Volume 9, 1980, hal. 232., dalam : Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum dalam Pembangunan
Pada Era Globalisasi : Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : Fakultasi Hukum Universitas Indonesia, 04 Januari 1997),
hal. 5.
10
Ibid.
11
Teten Masduki, Op.cit.
4
Tidak kalah penting sistem pencegahan korupsi di dalam sektor swasta itu
sendiri, sejak banyak skandal bisnis yang mengguncang perekonomian dunia.
Diketahui selama ini telah lazim praktek kotor di dalam bisnis antara pembuatan
catatan-catatan di luar pembukuan (off books account) mencatat pengeluaran yang
tidak ada, membuat catatan tentang kewajiban-kewajiban finansial yang tidak benar,
penggunaan dokumen-dokumen palsu, pemusnahan secara sengaja dokumen-
dokumen pembukuan dan sebagainya.12 Dalam banyak kasus kebangkrutan
perbankan di Indonesia, yang terkahir adalah kasus Bank Century misalnya. Negara
akibatnya harus menanggung kebobrokan manajemen.13 Dalam skala bisnis tertentu
yang pengaruhnya besar terhadap perekonomian nasional, pemerintah sepertinya
menjadi tawanan di dunia bisnis.14
Hal-hal yang menambah carut marutnya ekonomi di Indonesia adalah saat ini
adalah ketidakberpihakan Pemerintah dan legislatif kepada rakyat. Hal ini tercermin
dalam pembuatan peraturan dan perundangan. Lihatlah Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, Undang- Undang No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang jelas-jelas tidak berpihak
pada kepentingan rakyat, tetapi berpihak pada kepentingan pihak swasta pemilik
modal bahkan pihak asing. Kondisi ini diperparah dengan tingginya kejahatan suap
pada pejabat pemerintah. Semua ini menambah derita rakyat dan makin membuat
carut marut perekonomian Indonesia.15
Ambillah cotoh Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan. Dalam ketentuan tersebut masih ada pasal-pasal yang
12
Kasus korupsi pejabat daerah Kabupaten Langkat, Syamsul Arifin, dapat dijadikan bukti
bahwa pejabat pemerintah mencatat pengeluaran-pengeluaran yang tidak resminya sendiri-sendiri.
Dalam : Fokus Berita, “Kasus Syamsul Karena Kebodohan Buyung”, http://fokusberita.com/?
open=view&newsid=423., diakses pada 20 Mei 2011.
13
Negara menanggung akibatnya karena mengeluarkan dana talangan sebesar Rp. 4,02 triliun.
Dalam : Tempo Interaktif, ”Dana Talangan Century Kebanyakan Untuk Bayar Nasabah”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/12/01/brk,20091201-211337,id.html.,
diakses pada 20 Mei 2011.
14
Teten Masduki, Op.cit.
15
Hizbut Tahrir Indonesia, “Solusi Pintar Sistem Ekonomi Syari’ah”, http://duniawebra-
inspirasiku.blogspot.com/2011/03/solusi-pintar-sistem-ekonomi-syariah.html., diakses pada 20 Mei
2011.
5
16
Ibid.
17
Pasal 22 ayat (1), Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
menyebutkan bahwa : “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25%
(dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
18
Hizbut Tahrir Indonesia, Loc.cit.
19
Harian Republika, “Sejumlah Perusahaan AS di Indonesia Terlibat Transaksi Suap
Internasional”, diterbitkan Rabu 11 Mei 2011.
6
20
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
23
Porter (1990) dalam Zuhal, Knowledge and Innovation Platform Kekuatan Daya Saing,
(Jakarta : Gramedia, 2010), hal. 279.
9
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang
mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu24 :
1. Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana
unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola,
serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.
2. Sumber Daya di Suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber
daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan,
modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu
perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah
satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi
investasi yang mahal.
3. Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri
terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil
industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang
mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif
sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh
kebutuhan dan keinginan konsumen.
4. Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri
pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.
Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana
ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-
industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif. Porter
24
Ibid.
10
mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia tidak
hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil
mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit
sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan
kulit.
Penutup
Pada dasarnya proses suap di Indonesia sudah lama terjadi dan melibatkan
kalangan elite politik dan Pejabat Pemerintahan. Pemerintah harus merubah
paradigma berfikirnya mengenai perekonomian. Harus membuka jalan bagi
Globalisasi Ekonomi Dunia. Lama-kelamaan kebijakan persaingan harus mengarah
kepada persaingan usaha yang sehat. Adanya keterbukaan terhadap perdagangan
internasional menyebabkan segala bentuk peraturan harus diubah dan diselaraskan.
Terkait dengan keterbukaan terhadap perdagangan internasional maka
domestic regulation perlu didukung untuk menjunjung keterbukaan. Namun, hal ini
perlu upaya maksimal di dalam negeri untuk membenahi regulatory process.
Rendahnya transparansi dalam banyak kebijakan publik, juga tidak akan
menguntungkan bagi Negara ini. Di sektor perizinan misalnya kebijakan-kebijakan
dan tindakan-tindakan yang tidak transparan menimbulkan beban ekonomi biaya
tinggi yang harus ditanggung oleh investor. Beberapa fenomena klasik misalnya
sulitnya memperoleh informasi yang pasti mengenai syarat perijinan, biaya perijinan
dan lamanya proses perijinan, mencitrakan iklim yang tidak kondusif. Dalam suasana
yang tidak transparan berbagai penyimpangan sering terjadi, sebut saja misalnya
tawar-menawar harga perizinan, lamanya proses perijinan yang digantungkan pada
besaran ”kompensasi” yang diterima dan lain sebagainya.27
Struktur dan properti dari sektor industri sudah banyak berubah dari
kepemilikan terdiversifikasi dibandingkan dengan kepemilikan terkonsentrasi.
Kepemilikan perusahaan-perusahaan besar yang ada di Indonesia pada masa
pemerintahan saat ini sudah banyak yang terdiversifikasi. Dengan masuknya
Indonesia sebagai anggota WTO menyebabkan kepemilikan perusahaan-perusahaan
27
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal Studi Kesiapan dalam
Perjanjian Investasi Multilateral, Cetakan Kedua : Revisi, (Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, 2008), hal. 487.
12
industri tersebut tidak boleh terkonsentrasi pada satu pelaku usaha, baik itu
pemerintah maupun swasta. Kepemilikan industri harus dimiliki oleh masyarakat,
dalam hal ini pelaku usaha.
Masuknya kekuatan ekonomi asing di berbagai sektor ekonomi nasional tanpa
adanya pembatasan kepemilikan dan pembatasan-pembatasan lain jelas akan merubah
struktur penguatan aset ekonomi di Indonesia. Porsi asing akan terus bertambah
besar. GATT hasil Uruguay Round memberikan peluang akses pasar yang cukup
besar, apalagi bagi negara-negara berkembang yang tetap menikmati special and
differential treatment seperti Indonesia, yang tidak perlu menurunkan tariffnya
sampai kisaran 0 – 5%. Namun persoalannya adalah kesiapan pelaku usaha di
Indonesia menghadapi persaingan yang semakin ketat tersebut masih lemah. Hal ini
terjadi karena banyaknya industri berskala besar yang dalam waktu cukup lama
menikmati proteksi dari pemerintah. Keadaan ini berpengaruh pada kemampuan
mereka untuk mengoptimalkan segenap potensi sumber dayanya untuk mencapai
efisiensi produksi guna menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat. Kondisi
perusahaan yang berskala besar yang demikian ini selanjutnya berpengaruh negatif
terhadap industri-industri hilir, khususnya yang berskala menengah dan kecil.28
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Barsamian, David., dan Liem Sok Lian, Menembus Batas : Beyond Boundaries, Edisi
Pertama, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008.
28
Robert E. Hudec, ”Kesiapan RI Hadapi GATT Dinilai Lemah”, Harian Bisnis Indonesia, 08
April 1994., dalam : Mahmul Siregar, Op.cit., hal. 227.
13
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
14
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4152.