Vous êtes sur la page 1sur 48

PWK IV, 11 MEI 2011

MINGGU XIII
&
(DAS) menurut Dictionary of Scientific and Technical Term, DAS
(Watershed) diartikan sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air
kesatu sungai utama. Dikemukakan oleh Manan (1978) bahwa DAS
adalah suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung
bukit atau gunung, dimana semua curah hujan yang jatuh diatasnya akan
mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara kelaut.

Daerah Aliran Sungai (DAS) = daerah sekitar aliran sungai atau


sekelilingnya dimana jika terjadi hujan, airnya mengalir ke sungai
tersebut.
Macam-macam DAS
DAS Gemuk
Yaitu DAS yang luas sehingga memilih daya tampung air yang besar.
DAS ini cenderung mengalami luapan air yang besar pada waktu hujan
besar yang terjadi di bagian hulu.

DAS Kurus
Yaitu DAS yang relative kecil sehingga daya tampung air hujan juga sedikit.
DAS ini tidak mengalami luapan air yang begitu besar pada saat hujan
turun di bagian hulu
Fungsi DAS
Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam
pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS
berdasarkan fungsi, yaitu
pertama
DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain
dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air,
kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.
Kedua
DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola
untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana
pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
Ketiga
DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk
dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah.
Usaha-usaha menjaga kelestarian lingkungan DAS:
1. Mengusahakan DAS daerah hulu sebagai penyangga, dapat
tertutup, oleh vegetasi pelindung, dengan tujuan: menjaga agar
debit sungai antara musim penghujan dan kemarau dapat
terkendali, menjaga supaya terhindar banjir, menjaga supaya
daerah bagian hulu tidak terjadi erosi yang kuat.
2. Mengusahakan DAS bagian hilir dapat terhindar dari berbagai bentuk
polusi.

Kerusakan Daerah Aliran Sungai di Indonesia


Kerusakan DAS semakin mengalami kerusakan lingkungan dari tahun ke
tahun. Kerusakan lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi
kerusakan pada aspek biofisik ataupun kualitas air.

Saat ini sebagian Daerah Aliran Sungai di Indonesia mengalami kerusakan


sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan, pertambahan jumlah
penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian
lingkungan DAS. Gejala Kerusakan lingkungan Daerah Aliran Sungai
(DAS) dapat dilihat dari penyusutan luas hutan dan kerusakan lahan
terutama kawasan lindung di sekitar Daerah Aliran Sungai.
Dampak Kerusakan DAS. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
terjadi mengakibatkan kondisi kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif
antara musim penghujan dan kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan
air serta tingginya laju sendimentasi dan erosi. Dampak yang dirasakan
kemudian adalah terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan di
musim kemarau.

Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) pun mengakibatkan menurunnya


kualitas air sungai yang mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh
erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah
pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan. Pencemaran air
sungai di Indonesia juga telah menjadi masalah tersendiri yang sangat
serius.

Salah satu DAS yang perlu perhatian adalah : Sungai Brantas; Provinsi
Jawa Timur dengan Daerah Aliran Sungai seluas 1.553.235 ha.
Penyebab Degradasi Kondisi Das
Keadaan alam geomorfologi (geologi, tanah, dan topografi) yang
rentan terjadi erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan
(kemampuan lahan/daya dukung wilayah)
Iklim/curah hujan tinggi yang potensial  menimbulkan daya
merusak lahan/ tanah (erosivitas tinggi)
Aktivitas manusia ( Penebangan hutan ilegal/pencurian kayu
hutan, Kebakaran hutan, Perambahan hutan, Eksploitasi hutan
dan lahan berlebihan ( HPH, tambang,kebun, industri, 
permukiman, jalan, pertanian dll.), Penggunaan / pemanfaatan
lahan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan  air)
PENGELOLAAN DAS TERPADU

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara Terpadu merupakan


sebuah pendekatan holistik dalam mengelola sumberdaya alam yang
bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dalam
mengelola sumberdaya alam secara berkesinambungan. Di daerah
dataran tinggi curah hujan yang jatuh akan mengalir dan berkumpul
pada beberapa parit, anak sungai, dan kemudian menuju ke sebuah
sungai. Keseluruhan daerah yang menyediakan air bagi anak sungai
dan sungai-sungai tersebut merupakan daerah tangkapan air
(Catchment area), dikenal sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS).

DAS merupakan unit hydro-geologis yang meliputi daerah dalam sebuah tempat
penyaluran air. Air hujan yang jatuh di daerah ini mengalir melalui suatu pola
aliran permukaan menuju suatu titik yang disebut outlet aliran air. Untuk tujuan
pengelolaan dan perlindungan, DAS dibagi menjadi tiga bagian, yaitu DAS
bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir. Daerah hulu merupakan
daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan tempat
tertinggi dalam suatu DAS, sedangkan daerah hilir adalah daerah yang dekat
dengan jalan ke luar air bagi setiap DAS dan daerah tengah adalah daerah yang
terletak di antara daerah hulu dan daerah hilir.
Tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah membantu masyarakat
mengembangkan visinya tentang apa yang mereka inginkan terhadap
DAS yang berada di daerah mereka, misalnya dalam 10 tahun ke
depan, dan mencari strategi untuk mencapai visi tersebut. Program
ini hanya menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk
melaksanakan strategi yang secara kritis dipicu oleh faktor pemicu
dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dibutuhkan
untuk memenuhi visi tersebut.

Maksud pengelolaan DAS terpadu adalah suatu pendekatan yang


melibatkan teknologi tepat guna dan strategi sosial untuk
memaksimalkan pengembangan lahan, hutan, air dan sumebrdaya
manusia dalam suatu daerah aliran sungai, yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan manusia secara berkesinambungan. Dengan
kata lain pengelolaan DAS ini bertujuan agar generasi masa depan
dapat menikmati sumberdaya alam yang lebih sehat dan lebih
produktif dari generasi sekarang. Di masa mendatang penduduk
jangan lagi dianggap hanya penerima manfaat, tetapi mereka harus
ikut berpartisipasi aktif mulai dari perencanaan, pembuatan anggaran
dan pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Manfaat Pengelolaan DAS
Ekonomi meningkat
Lingkungan baik
Sosial mantap

Peranan Pengelolaan Das


DAS sebagai ekosistem alam , merupakan unit hidrologi (tata air) :
Air  berperan sebagai integrator
Air merupakan indikator terbaik untuk pengelolaan DAS
Karena peran dan fungsi  air tersebut, maka DAS sangat tepat
sebagai unit pengambilan keputusan dalam perencanaan dan
pengendalian rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
Karena DAS sebagai unit hidrologi, maka Pengelolaan DAS dapat 
memadukan kepentingan:
Antar kelompok masyarakat di daerah hulu dan hilir DAS,
Antar wilayah administrasi
Antar instansi/lembaga terkait
Antar disiplin ilmu/profesi
Antar aktivitas di hulu dan hilir DAS
Lingkup Pengelolaan DAS
Sasaran wilayah pengelolaan DAS adalah wilayah DAS yang utuh sebagai
satu kesatuan ekosistem yang membentang dari hulu hingga hilir.
Penentuan sasaran wilayah DAS secara utuh ini dimaksudkan agar upaya
pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan secara menyeluruh dan
terpadu berdasarkan satu kesatuan perencanaan yang telah
mempertimbangkan keterkaitan antar komponen-komponen penyusun
ekosistem DAS (biogeofisik dan sosekbud) termasuk pengaturan
kelembagaan dan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan yang
disebutkan terakhir berfungsi sebagai instrumen pengelolaan yang akan
menentukan apakah kegiatan yang dilakukan telah/tidak mencapai
sasaran.
Ruang lingkup pengelolaan DAS secara umum meliputi perencanaan,
pengorganisasian, implementasi/pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi terhadap upaya - upaya pokok berikut:
a) Pengelolaan ruang melalui usaha pengaturan penggunaan lahan
(landuse) dan konservasi tanah dalam arti yang luas.
b) Pengelolaan sumberdaya air melalui konservasi, pengembangan,
penggunaan dan pengendalian daya rusak air.
c) Pengelolaan vegetasi yang meliputi pengelolaan hutan dan jenis
vegetasi darat lainnya yang memiliki fungsi produksi dan
perlindungan terhadap tanah dan air.
d) Pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia termasuk
pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam secara bijaksana, sehingga ikut berperan dalam
upaya pengelolaan DAS.
Permasalahan Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS tidak lain daripada kegiatan penata-gunaan


lahan dalam ruang lingkup DAS

Permasalahan  pengelolaan  DAS  dapat   dilakukan  melalui  suatu 


pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran  hubungan 
antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan
dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan
sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan
akibat yang  ditimbulkan, serta   dilakukan secara terpadu. Salah satu
persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu
sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan
melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di
kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus
memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi
tanggung  jawab bersama.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun
kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh
yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir
Jelmaan kendala-kendala sosial-ekonomi tersebut di atas, yang gayut dengan
pengelolaan atau pengembangan DAS, ialah:
Degradasi hutan dan lahan
Banjir, kekeringan,
Tanah longsor, erosi dan   sedimentasi di sungai/saluran/ waduk/danau
Pencemaran air dan tanah
Keterpaduan dan koordinasi antar sektor, antar instansi lemah
Konflik antar kepentingan  antar    daerah hulu hilir DAS
Tingkat pendapatan dan partisipasi penduduk rendah
Dana pemerintah terbatas
Komponen Pengelolaan DAS.
Program pengelolaan DAS terpadu adalah sebuah paket yang menyatukan semua
komponen DAS berdasarkan prioritas masyarakatnya. Program ini memiliki
komponen-komponen sebagai berikut

1. Pengembangan Sumberdaya Alam: Lahan, Hutan dan Air


Penduduk yang tinggal dalam DAS dan menggunakan sumberdaya alam tersebut
merupakan bagian penting dari program pengelolaan DAS. Mereka merupakan
sumber utama dan perlu menginvestasikan dananya demi kemajuan
pengelolaan DAS.

2. Tindakan pengendalian untuk meminimumkan laju degradasi dan


memperbaiki sumberdaya alam
Tindakan ini termasuk pengendalian lahan yang dapat ditanami (baik milik
pribadi yang ditanami ataupun lahan tidur milik pribadi), lahan tidur, aliran air
dan kelembagaan sosial. Tindakan ini juga meliputi perbaikan sumberdaya alam
seperti pohon, tanaman semusim, hutan, air permukaan, dll.
3. Pengelolaan Sumberdaya Alam: Lahan, Hutan dan Air
Pengelolaan sumberdaya alam sama pentingnya dengan menumbuhkannya. :
Pengelolaan tanah yang efektif memerlukan pengelolaan kesuburannya
secara terpadu untuk mempertahankan tingkat produktivitas tanaman
pangan. Talud saja tidak cukup.
Pengelolaan air yang meliputi kegiatan untuk meningkatkan penggunaan air
tanah (green water) dan air permukaan (blue water) secara efisien
seperti pengontrolan irigasi yang berlebihan, penggunaan sistem irigasi
drip (menetes) atau pot (lubang didalam tanah), penanaman bersistem
tadah hujan, penanaman yang tidak membutuhkan banyak air dll.
Pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan lestari, penampungan limbah
organik, penampungan air hujan dll, meliputi penyusunan strategi yang
melibatkan penduduk yang mengelola sumberdaya alam tersebut
(perlindungan hutan dengan menggunakan dana dan proyek tidaklah
cukup).

4. Diversifikasi Mata Pencaharian


PERISTILAHAN
Beberapa istilah yang perlu dipahami dan disepakati bersama dalam
pengelolaan DAS adalah sebagai berikut:
a) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang
dibatasi oleh pemisah topografis yang berfungsi menampung air yang
berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya melalui ke
danau atau ke laut secara alami.
b) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS
terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS.
c) Satuan Wilayah Sungai (SWS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan
sumberdaya air dalam satu atau lebih DAS dan atau satu atau lebih
pulau-pulau kecil , termasuk cekungan air bawah tanah yang berada di
bawahnya.
d) Pengelolaan DAS adalah upaya manusia di dalam mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian
dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya
alam bagi manusia secara berkelanjutan.
f) Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi dan
implementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan
sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan manusia dalam suatu DAS
secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, sosial,
ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
g) Rencana Pengelolaan DAS merupakan konsep pembangunan yang
mengakomodasikan berbagai peraturan perundang yang berlaku dan
dijabarkan secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu rencana
berjangka pendek, menengah maupun panjang yang memuat
perumusan masalah spesifik di dalam DAS, sasaran dan tujuan
pengelolaan, arahan kegiatan dalam pemanfaatan, peningkatan dan
pelestarian sumberdaya alam air, tanah dan vegetasi, pengembangan
sumberdaya manusia, arahan model pengelolaan DAS, serta sistem
monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan DAS.
h) Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa
sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai
dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media
tata air.
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAS
Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan
partisipasi berbagai sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS, sehingga di antara
mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa
tanggung jawab dan saling mempunyai ketergantungan (inter-
dependency). Demikian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS,
selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tetapi
harus ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan dan semua
yang berkepentingan dengan kelestariannya.
Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS
harus mengikuti prinsipprinsip dasar hidrologi. Dalam sistem ekologi
DAS, komponen masukan utama terdiri atas curah hujan sedang
komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen,
termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang
terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai,
dan manusia berfungsi sebagai prosesor.
Kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin
kelestariannya berikut ini.
Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (catchment area)
Bentuk kegiatan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam di DTA
diutamakan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam memenuhi
kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat dan sekaligus memelihara
kelestarian ekosistem DAS.
Kegiatan tersebut dilakukan melalui tataguna lahan (pengaturan
tataruang), penggunaan lahan sesui dengan peruntukannya (kesesuaian
lahan, rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak, penerapan teknik-
teknik konservasi tanah, pembangunan struktur untuk pengendalian daya
rusak air, erosi dan longsor. Dilakukan pula kegiatan monitoring kondisi
daerah tangkapan air dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana
pengelolaan DAS.
Pengelolaan Sumberdaya Air
1. Manajemen Kuantitas Air (Penyediaan Air)
a. Pembangunan Sumberdaya Air
b. Prediksi Kekeringan
c. Penanggulangan Kekeringan
d. Perijinan Penggunaan Air
e. Alokasi Air
f. Distribusi Air

2. Manajemen Kualitas Air


a. Perencanaan Pengendalian Kualitas Air
b. Pemantauan dan Pengendalian Kualitas Air
c. Penyediaan Debit Pemeliharaan Sungai
d. Peningkatan Daya Dukung Sungai
e. Bersama dengan instansi/dinas terkait menyelenggarakan koordinasi
penyiapan program dan implementasi pengendalian pencemaran dan
limbah domestik, industri dan pertanian.
Pemeliharaan Prasarana Pengairan
a. Pemeliharaan Preventif
b. Pemeliharaan Korektif
c. Pemeliharaan Darurat
d. Pengamatan Instrumen Keamanan Bendungan
.
Pengendalian Banjir
a. Pemantauan dan Prediksi Banjir
b. Pengaturan (distribusi) dan Pencegahan Banjir
c. Penanggulangan Banjir
d. Perbaikan Kerusakan Akibat Banjir

Pengelolaan Lingkungan Sungai


a. Perencanaan Peruntukan Lahan Daerah Sempadan Sungai
b. Pengendalian Penggunaan Lahan Sempadan Sungai
c. Pelestarian biota air
d. Pengembangan pariwisata, olah raga, dan trasnportasi air
Pemberdayaan Masyarakat
a. Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan
perdesaan, sehingga pendapatan petani meningkat.
b. Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat
berfungsi produksi dan pelestarian sumber daya tanah dan air.
c. Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian
konservasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi
dalam upaya pengelolaan DAS.
d. Pengembangan berbagai bentuk insentif (rangsangan) baik insentif
langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk bantuan teknis,
pinjaman, yang dapat memacu peningkatan produksi pertanian dan
usaha konservasi tanah dan air.
e. Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar
menawar masyarakat lapisan bawah, sehingga mampu memperluas
keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi rakyat.
f. Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi
masyarakat, serta tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan
serta dalam pengelolaan DAS.
BENCANA DAS
Banjir (flood) adalah debit aliran air sungai yang secara relative
lebih besar dari biasanya/normal akibat hujan yang turun di hulu
atau disuatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga
tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air
melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.
Banjir merupakan suatu peristiwa alam biasa, kemudian menjadi
suatu masalah apabila sudah mengganggu kehidupan dan
penghidupan manusia serta mengancam keselamatan

Dalam memformulasikan banjir, parameter-parameter yang terkait


dibedakan antara karateristik potensi air banjir dan kerentanan daerah
rawan banjir. Potensi banjir terkait dengan sumber (asal) penyebab air
banjir itu terjadi dimana hal ini berkaitan dengan factor meterologis dan
kerakteristik DAS-nya. Sehingga paameter-parameter yang digunakan
untuk memformulasikan kerentanan potensi banjir dilakukan melalui
estimasi berdasarkan kondisi alami manajemen daerah tangkapan airnya
atau pengukuran langsung dari nilai debit spesifik maksimum
tahunannya.
Tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan masa tanahnya terjadi pada suatu saat
secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Oleh Brook dkk.
(1991) disebutkan bahwa tanah longsor adalah salah satu bentuk dari
gerakan masa tanah, batuan dan reruntuhan batu/tanah yang terjadi
seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya
gravitasi dan meluncur di atas suatu lapisan kedap yang jenuh air (bidang
luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan yaitu lereng cukup
curang, terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang kedap
air dan terdapat cukup air (dari hujan) dalam tanah di ata lapisan kedap
(bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Air hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah yang kemudian menjenuhi tanah sangat menentukan
kestabilan lereng, yaitu melalui menurunnya ketahanan geser tanah yang
jauh lebih besar daripada penurunan tekanan geser tanah, sehingga
faktor keamanan lereng menurun tajam, menyebabkan lereng rawan
longsor.
Kabupaten Semarang
Lokasi rawan bencana di Kabupaten Semarang meliputi beberapa wilayah
kecamatan, yaitu Kec. Pringapus, Kec. Ungaran, Kec. Bawen, Kec. Banyubiru,
Kec. Getasan, Kec. Bringin dan Kec. Bergas. Kejadian bencana di Kabupaten
Semarang dominan tanah longsor, dengan dua kali kejadian banjir dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir yaitu pada tahun 2002 di Ds. Rembes, Kec. Bringin, dan
tahun 2006 di Ds. Susukan, Kec. Ungaran. Bencana dengan korban cukup besar
terjadi di Kec. Banyubiru berupa kejadian bencana tanah longsor yang
mengakibatkan rumah roboh.
Dari kondisi biofisik lokasi bencana untuk Kec. Banyubiru bentuk lahan berupa
pegunungan/perbukitan dan kipas lahar, penggunaan lahan dominan pemukiman,
sawah dan tegalan dengan sedikit hutan di bagian atas, jenis tanah alluvial dan
regosol, tingkat kelerengan bervariasi dari landai (0 – 8%) sampai sangat curam
(>45%), dengan curah hujan 2000 – 3000 mm/th. Dari kondisi biofisik dapat
dianalisis daerah kejadian bencana tanah longsor tersebut dipengaruhi kelerengan
yang curam, penggunaan lahan bagian atas hutan yang terganggu dengan tegalan,
curah hujan cukup tinggi dan jenis tanah batuan dengan solum tanah yang tipis
sehingga akan memperberat beban tanah untuk menahan terjadinya longsor. Pada
peta daerah rawan tanah longsor dapat dilihat persebaran lokasi yang berada di
bagian atas yang merupakan lereng pegunungan.
Kabupaten Demak
Lokasi rawan bencana di Kabupaten Demak meliputi beberapa wilayah kecamatan
yaitu Kec. Karangawen, Kec. Mranggen, Kec. Karangtengah, Kec. Bonang, Kec.
Gajah, Kec. Mijen, Kec. Sayung, Kec. Kebonagung, Kec. Demak, Kec. Guntur,
Kec. Wedung dan Kec. Wonosalam. Kejadian bencana di Kabupaten Demak
seluruhnya merupakan kejadian banjir dengan korban cukup besar terjadi pada
Kec. Karangtengah dan Kec. Bonang berupa tergenangnya pemukiman, areal
persawahan serta kerusakan fasilitas umum lainnya.
Dari kondisi biofisik lokasi bencana untuk Kec. Karangtengah bentuk lahan berupa
dataran alluvial, jenis tanah alluvial, penggunaan lahan dominan pemukiman,
sawah dan tegalan, dengan tingkat kelerengan landai (0 – 8%) dan curah hujan
2000 – 2500 mm/th.  Untuk Kec. Bonang bentuk lahan berupa dataran alluvial,
jenis tanah alluvial, penggunaan lahan dominan pemukiman, sawah dan tegalan,
dengan tingkat kelerengan landai (0 – 8%) dan curah hujan 2000 – 2500 mm/th.
Dari kondisi biofisik dapat dianalisis daerah kejadian bencana banjir dengan
kelerengan landai yang mana dapat mengindikasikan adanya flood plain atau
dataran banjir, ditambah faktor pemanfaatan lahan berupa pemukiman tanpa
tutupan vegetasi permanen yang bagus. Jenis tanah alluvial menunjukkan adanya
endapan tanah akibat banjir. Pada peta daerah rawan banjir dapat dilihat
persebaran lokasi yang dilewati sungai, baik sungai utama maupun anak sungai.
Pada estimasi kerawanan bencana digunakan parameter besar hujan harian yang
dituangkan dalam curah hujan tahunan, bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan
drainase dan juga kelerengan. Sedangkan parameter managemen meliputi
penggunaan lahan. Pengandalian banjir pada daerah tangkapan air secara aksimal
dapat dilakukan dengan cara penghutanan, tetapi kemungkinan kejadian bencana
banjir masih bisa terjadi karena sifat alaminya yang tidak mungkin untuk bisa
dikendalikan melalui pengelolaan DAS seperti faktor curah hujan, kondisi tanah serta
kelerengan.
Estimasi rawan longsor lebih dipengaruhi lereng lahan, faktor geologi dan jenis
tanah. Sedangkan parameter managemen meliputi penggunaan lahan, infrastruktur
dan kepadatan pemukiman. Tanah longsor yang terjadi pada tebing sungai dan atau
aliran air bisa menyumbat palung sungai, terutama pada palung sungai sempit.
Sumbatan ini akan membentuk bendungan/waduk alam sehingga di bagian hulu
bendungan akan terjadi akumulasi air dan sedimen.
Apabila air sudah memenuhi tubuh bendungan atau dengan kata lain air sudah
penuh, sehingga adanya hujan yang jatuh di wilayah sebelah hulu cukup tinggi akan
meningkatkan volume aliran (runoff) yang juga akan menambah volume air
bendungan. Akibat dari keadaan tersebut, maka bendungan alami yang terbentuk
sementara dari hasil material longsoran (tanah dan kayu pepohonan) tidak mampu
menampung volume aliran air dan kemudian akan mengalir dan mengikis di atas
badan bendung penyumbat palung sungai, sehingga meruntuhkan badan bendung
(waduk jebol). Akumulasi dari volume air dalam waduk yang besar ditambah dengan
aliran banjir mengakibatkan banjir bandang (flush flood) yang memiliki daya rusak
Kesimpulan
Parameter estimasi banjir terkait dengan sumber (asal) penyebab air banjir itu
terjadi dimana hal ini berkaitan dengan factor meterologis dan kerakteristik DAS-
nya, sehingga paameter dilakukan melalui estimasi berdasarkan kondisi alami
manajemen daerah tangkapan airnya.
Tanah longsor terjadi jika lereng cukup curang, terdapat bidang peluncur di bawah
permukaan tanah yang kedap air dan terdapat cukup air (dari hujan) dalam tanah
di ata lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air.
Frekuensi kejadian bencana banjir tinggi meliputi Kabupaten Pekalongan,
Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati,
Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Kendal dengan kejadian bencana banjir
dominant pada tiap tahunnya.
Frekuensi kejadian bencana tanah longsor tinggsi meliputi wilayah Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang.
Untuk Kabupaten Brebes dan Kota Semarang memiliki tingkat kerawanan yang
relative sama antara kejadian bencana banjir dan tanah longsor.
Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Batang, Kabupaten Tegal,
Kota Tegal dan Kota Pekalongan memiliki frekuensi kejadian bencana yang relative
lebih rendah dibandingkan kabupaten lain.
Rehabilitasi lahan dapat berpengaruh pada penurunan kejadian bencana.
Bencana : suatu kejadian (alam atau ulah manusia), tiba-tiba
atau perlahan, yang menimpa dengan hebatnya, sehingga
masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan
tindakan yang luar biasa

Bahaya – Bencana – Kerentanan ----Ketahanan/Kemampuan


menanggulangi

Konsep Resiko :

Resiko Bencana : Kemungkinan terjadinya kerugian akibat suatu


bencana.
Besarnya resiko bencana dapat dinyatakan dalam besarnya
kerugian yang terjadi
(harta, jiwa, cedera, kerusakanlingkungan) untuk suatu besaran
kejadian tertentu
Resiko Bencana pada sutau daerah bergantung
kepada faktor-faktor :
 Alam/geografi/geologi (kemungkinan terjadinya fenomena
alam) dan sosial/politik/ekonomi/teknologi (kemungkinan
terjadinya fenomena ulah manusia)
 kerentanan masyarakat yang terpapar terhadap fenomena
(kondisi dan banyaknya)
 kerentanan fisik daerah (kondisi lingkungan, dan kuantitas serta
kualitas bangunan)
 konteks strategis daerah (PKN, PKW, PKL, dll.)
 kesiapsiagaan masyarakat setempat untuk respon tanggap
darurat dan membangun kembali,
 Dll.
Bebarapa Jenis Potensi bencana :
Alam : gempabumi, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan,
angin kencang/badai, …
Kesehatan : epidemi/letusan wabah penyakit, HIV/AID, Flu Burung, …
Sosial : kerusuhan sosial, perang, konflik masyarakat sipil, terorisme,
aktivitas gang/mafia…
Ekonomi: hiperinflasi, kolaps ekonomi, hutang/financial crisis, masa
transisi ekonomi, pengangguran, gagal panen…
Politik: Kegagalan politik, kudeta……
Lingkungan: polusi, deforestasi, radiasi nuklir, kegagalan
teknologi/industri…….
Kesalahan/ulah manusia : kebakaran kota….

Tipe Kerentanan :
Kerentanan Sosial
Kerentanan Kelembagaan
Kerentanan Sistem
Kerentanan Ekonomi
Kerentanan Lingkungan
Kerentanan akibat praktik-praktik yang tidak berprinsip sustainable development
Tipe Ketahanan :
Kelengkapan dan kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga medis
Kelengkapan dan kesiapsiagaan institusi penanggulangan bencana
Ketersediaan cadangan logistik yang cukup
Kehidupan sosial ekonomi yang kondusif
Lingkungan fisik yang tidak terlalu padat
Tersedianya jalur / tempat evakuasi
l.

Mitigasi Bencana :
“Tindakan yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana
(alam atau ulah-manusia) terhadap suatu komunitas, kawasan, wilayah”

Beberapa akibat bencana dapat dicegah, Akibat-akibat lainnya akan tetap


terjadi tetapi dapat diubah atau dikurangi dengan tindakan yang tepat
Mitigasi Non Struktural
 Kerangka Hukum dan Perundangan
 Insentif-Disinsentif
 Pendidikan dan Pelatihan
 Peningkatan Kesadaran Masyarakat
 Rencana Tata Ruang dan Tata guna tanah yang sesuai
 Pengembangan Kelembagaan: organisasi, leadership, mekanisme
prosedural, koordinasi/ kolaborasi/ kooperasi
 Sistem Peringatan Dini
 Peningkatan Kesiap-siagaan: rute dan daerah evakuasi, pelatihan
tenaga SAR, mekanisme pemberian bantuan, mekanisme pemulihan
 Asuransi

Mitigasi Struktural
 Bangunan pengelak/pengalih banjir (waduk, retarding basin,
tanggul, drainase, gorong-gorong, banjir kanal/sudetan)
 Perkuatan bangunan, peninggian dasar, bangunan, peninggian
lantai/plint
 Sistem polder, pompa, pintu air pasang, Sumur resapan, injeksi
 Tanggul laut / sea wall , Kantong lahar
Penataan Ruang Wilayah = Usaha Mitigasi Bencana

Mencegah/menghindari/menghilangkan hazard/bahaya terhadap wilayah/kawasan


(~ bisakah untuk bahaya alam?)
Mengurangi kerentanan wilayah/kawasan
Meningkatkan ketahanan wilayah/kawasan

Rencana Tata Ruang Wilayah = Alat Mitigasi Bencana Non-Struktural


Menata ruang kawasan:
Optimasi sumber daya dalam ruang
Sinergi aktivitas/kegiatan pemanfaatan ruang
Minimasi konflik antar sumber daya dan antar stakeholders tata ruang

Pemanfaatan Ruang yang Salah & Dampaknya

Hilangnya fungsi lindung hidro-orologis kawasan


Menurunnya kemampuan resapan
Pemanfaatan kawasan rawan longsor
Pembangunan di daerah sesar/patahan
Ancaman banjir terhadap bangunan di bantaran sungai ( flood plain)
Ancaman tsunami untuk lokasi rawan tsunami
Hilangnya daerah buffer penyangga kebakaran
Prinsip Pemanfaatan Tata Ruang untuk Mitigasi Bencana
Penataan Ruang perlu didasari pengenalan dan pemahaman atas risiko
kebencanaan di kawasan yang ditata
Untuk itu perlu kajian ancaman/bahaya, kerentanan dan kajian risiko,
dilengkapi dengan zonasi ancaman/bahaya
Pengaturan pemanfaatan ruang yang memiliki ancaman bencana, misal
penataan fungsi ruang, aturan membangun, pembatasan penggunaan
Pengembangan struktur ruang dengan memperhatikan kebutuhan
prasarana/fasilitas kritis (transportasi, kesehatan/medik, pendidikan, listrik,
telekomunikasi, air bersih) dengan memperhatikan prinsip “redundancy”
Penyediaan jalur-jalur evakuasi dan bantuan darurat untuk antisipasi
keadaan darurat
Penyediaan ruang terbuka sebagai daerah evakuasi korban
bencana dan sebagai daerah penyangga/buffer untuk
mencegah perluasan bencana (kebakaran/longsor/banjir)
Penataan ruang yang kompatibel bagi langkah-langkah mitigasi
berbagai bencana sekaligus, baik bencana alam maupun
bencana bersumber dari kegiatan manusia/kegagalan teknologi
Institusi legal melalui produk-produk pengaturan yang
diimplementasi dan dilaksanakan secara konsisten, dengan
penegakan hukum
Pemanfaatan Ruang untuk Mitigasi Bencana Hidrologi
Pengaturan untuk daerah pengembangan baru
Pengaturan kepadatan penduduk/bangunan
Pencegahan untuk fungsi tertentu
Relokasi elemen yang menghambat jalannya air
Pengaturan bahan bangunan
Penyediaan jalur evakuasi
Penyediaan prasarana kritis

Pemanfaatan Ruang untuk Mitigasi Bencana Geologi (gempa,


longsor, Peraturan bangunan berdasarkan karakteristik kawasan
(jenis konstruksi/bahan bangunan, tinggi bangunan..)

Regulasi fungsi lahan :


 jumlahkepadatan penduduk
 jenis pemanfaatan (bergantung sensitifitas dan tingkat
kepentingan fungsi)
 tata letak (termasuk lebar jalan, ruang terbuka..)
 ketinggian bangunan
Sistim infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana
Untuk daerah rawan longsor, pengaturan ruang bertujuan untuk :
 Mengurangi dampak melalui pembatasan pemanfaatan lahan
untuk pemanfaatan yang berisiko rendah (misal dilarang untuk
perumahan dan rumah sakit)
 Mengurangi kemungkinan mengaktifkan gerakan tanah/longsor
seperti membatasi kegiatan:
 Membuka tutupan lahan
 Memotong tebing
 Membangun bangunan berat di atas tanah rawan longsor
 Menampung atau meresapkan air di tanah mudah jenuh air
 dll
Sistim infrastruktur untuk mengurangi risiko bencana
 Adanya warning system
 Escape routes/jalur penyelamatan
 Jaringan tertutup/Closed loops (jaringan air dan listrik), mencegah
putusnya layanan
 Interkoneksi regional dari sistem infrastruktur (air, listrik)
 Menambah jumlah jaringan jalan ke suatu kawasan, sebagai
redundancy

Apakah daerah kita sudah siap menghadapi bencana ?


Siapkah kegiatan penataan ruang kita (perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang) berfungsi
sekaligus sebagai usaha mitigasi bencana?
Kawasan Rawan Bencana
Indonesia merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik terbesar
di dunia (Megaplate), yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik
Dengan Lempeng Eurasia yang cenderung diam berbenturan dengan
Lempeng Indo-Australia dan Pasifik yang lebih dinamis (Convergent Plate
Boundaries). Indonesia juga terletak pada busur gunungapi dunia (Ring
of Fire) yang merupakan salah satu bentuk aktivitas vulkanis sebagai
akibat dari pergerakan lempeng tektonik dunia. Gunungapi dan gempa
bumi keduanya merupakan produk perbenturan lempeng tektonik,
perbenturan tersebut mengasilkan zona gempa bumi dan busur
gunungapi aktif. Pada umumnya zona gempa bumi berpasangan letaknya
dengan busur gunungapi. Untuk kawasan rawan bencana di Indonesia,
akibat adanya pertemuan tiga lempeng dan adanya busur gunungapi
dunia dapat dilihat secara khusus untuk wilayah Jawa Timur.
Kawasan rawan bencana tanah longsor
Kawasan rawan bencana tanah longsor adalah kawasan dengan
kerentanan tinggi untuk terkena bencana tanah longsor, terutama jika
kegiatan manusia menimbulkan gangguan pada lereng kawasan ini.
Kawasan ini menempati puncak-puncak dan tubuh lajur gunung api
tengah. Kondisi lereng yang terjal, lapisan tanah yang tebal, daya
kohesinya kecil (tidak kompak), kejenuhan air tinggi (adanya mata air),
dan lajur patahan (sesar) menjadikan kawasan ini rawan longsor, yang
dipercepat oleh kegiatan manusia yang tidak memperhatikan lingkungan

Kawasan rawan gempa bumi


Kawasan rawan gempa bumi adalah kawasan yang diidentifikasikan
sering dan mempunyai potensi terancam bahaya gempa bumi tektonik
maupun vulkanik, lebih dari 5 skala Reichter. Kawasan rawan gempa bumi
ditentukan dalam tingkat kabupaten/kota. Lokasinya: pertama daerah
pantai selatan akibat gelombang tsunami, karena pusat gempa
kebanyakan di Samudra Indonesia, kedua daerah dataran aluvial karena
tanahnya masih lepas/belum kompak, ketiga daerah gunung api kuarter
karena batuan belum kompak dan daerah yang banyak terjadi patahan.
Kawasan rawan letusan gunung berapi
Kawasan rawan letusan gunung berapi merupakan kawasan yang sering
dan atau mempunyai potensi terancam bahaya letusan gunung api, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang meliputi daerah terlarang,
daerah bahaya I, dan daerah bahaya II. Beberapa daerah di Jawa Timur
yang rawan letusan gunung berapi (Tabel. 3), adalah:
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Jember:
kawasan rawan letusan Gunung Raung dan Gunung Merapi.
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Jember:
kawasan rawan letusan Gunung Tarub.
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan
Kabupaten Malang : kawasan rawan letusan Gunung Semeru.
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Malang: kawasan
rawan letusan Gunung Welirang.
Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, Kediri: rawan letusan Gunung Kelud
Kawasan rawan gerakan tanah
Kawasan rawan gerakan tanah adalah kawasan yang sering dan atau
mempunyai potensi tinggi terhadap gerakan massa tanah dan batuan ke
tempat yang lebih rendah, yakni yang memiliki sifat tanah lunak-gembur
dengan ketebalan lebih dari 1 m, yang mempunyai kelerengan lebih dari
15%, serta merupakan patahan. Lokasinya pada lereng-lereng gunung api
kuarter terutama pada hulu-hulu sungai dan mata air, karena batuannya
belum kompak, kelerengannya tinggi serta banyak patahan.
Tingkat Kerentanan Tanah (Tinggi)
Secara umum zona ini mempunyai kemiringan lereng > 30o tersusun oleh
bongkah batuan yang mudah lepas, terutama aliran “blocky” lava ataupun
tanah gembur (lempung-lanau pasiran) hasil pelapukan satuan pirolkastika
dan aliran piroplastika, endapan bahan rombakan ataupun endapan kolufial.
Ketebalan tanah > 1 meter, penggunaan lahan saat ini berupa permukiman,
ladang atau tanah kosong/tandus.
Tingkat Kerentanan Tanah (Menengah)
Secara umum zona ini mempunyai kemiringan lereng lebih besar (20o – 40o),
tersusun oleh batuan yang relatif rentan sering mudah bergerak bersifat relatif
lepas dan gembur pada permukaan lereng. Aliran lava, aliran piroplastika yang
lapuk dan terkekarkan, dan tebal tanah kurang dari 4 meter. Penggunaan lahan
saat ini berupa hutan produksi atau tegalan.
Tingkat Kerentanan Tanah (Rendah)
Secara umum zona ini mempunyai kelerengan < 20o, meskipun tersusun oleh
batuan mudah bergerak namun relatif stabil, berupa tanah lempung pasiran hasil
pelapukan piroplastik jatuhan dan piroplastik aliran, serta tebal tanah kurang dari
2 meter. Penggunaan lahan saat ini sebagian besar sawah atau tegalan.
Tingkat Kerentanan Tanah (Sangat Rendah)
Secara umum zona ini mempunyai kemiringan 10o, tersusun olah batuan yang
tidak menunjukan rentan bergerak, berupa blocky lava, piroplastik jatuhan dan
piroplastik aliran atau batuan masif/kompak, serta tebal tanah kurang dari 1
meter. Penggunaan lahan saat ini sebagian besar berupa permukiman dan
sawah
Aliran Bahan Rombakan
Secara umum aliran bahan rombakan terjadi bila terdapat akumulasi matrial
lahar atau hasil longsoran pada lembah sungai yang relatif sempit pada bagian
hulu dan akibat curah hujan yang tinggi. Umumnya terletak dalam lembah
sungai atau di depan mulut lembah sungai.

Vous aimerez peut-être aussi