Vous êtes sur la page 1sur 4

Akhlak Islam Cerminan Aqidah 

Islam
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (Al qalam : 4). Adakah orang yang tidak menyukai
perhiasan ? jawaban pertanyaan ini jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai perhiasan dan senang untuk tampil
berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang
lebih mementingkan perhiasan dhahir (luar) dengan penambahan aksesoris sepertipakaian yang bagus, make up yang mewah dan
emas permata, sehingga mengundang decak kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlak,
memperbaiki dengan akhlak islami.
Yang disebut terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena kesadaran agamanya menghendaki
demikian dengan disertai harapan mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kalaupun penampilannya mengundang
pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-Nyalah segala pujian dan hanya Dialah yang berhak
untuk dipuji.

ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK


Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang
merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang
diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah
udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”,
dan lain-lain.
Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan
membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa
tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara
penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah
dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik
manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlak
yang buruk berarti lemah tauhidnya.

RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK


Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak beliau sebagaimana
firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya
adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan
akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan : “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia
yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain anas memuji beliau shalallahu ‘alahi wasallam :
“Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga
belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani
rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat ini ?
atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu ?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR Tirmidzi, dari abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan Al Bani dalam Ash Shahihah No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari
dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik
akhlaknya.”

KEUTAMAAN AKHLAK
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat rashulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling
banyak masuk syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang Baik.” (Hadits Shahih
Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyadus Sholihin no.627, tahqiq Rabbah dan Daqqaq).
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau shalallahu ‘alahi wasallam menggandengkan antara
nasehat untuk bertaqwa dengan nasehat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada manusia sebagaimana hadits dari abi dzar, ia
berkata bahwa rashulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan
balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia
dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al Hilali).
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada aklak yang baik, sebagaimana sabda rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.” (HR.
Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat ash Shahihah Juz 2 hal 535). Juga sabda beliau : “ Sesungguhnya sesuatu yang
paling utama dalam mizan (timbangan) pada hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, dishahihkan al Bani. Lihat Ash
Shahihah juz 2 hal.535).
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya
kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad
hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah
sepantasnya setiap muslimah mengambilakhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk
suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat
manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut timbangan syari’at atau sebaliknya.
Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk akhlak. Allah
sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan
kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Akhlak Daiyah

Ikhwah wal akhawat rahimakumullah…Dalam suatu kaidah disebutkan, “Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu
milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan akhlak mulia.”
Islam bukan sekedar tujuan, tapi juga cara. Artinya, kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam maka tidak ada cara lain untuk
mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam. Hal ini juga diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya'
kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.”

Orag-orang kafir, meskipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah SAW, namun mereka tidak kuasa menampik
kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mengapa?

Selain faktor hidayah dari Allah SWT, yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari batu, bisa tiba-tiba luluh, dan
tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan rasulullah SAW adalah karena Islam merupakan kebenaran mutlak yang pasti
sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat sesorang tersentuh
fitrahnya, yaitu akhlak.

Ikhwan wal akhawat ad-daiyah…Bahwa keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah SAW telah membungkam segala hujah orang
yang mendustakan Rasulullah SAW. Karenanya, hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah SAW adalah bahwa
beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.

Oleh karena itu, semangat menegakkan kebenaran (syariat Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak islami. Bahkan justru
semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.

Prinsip itu berlaku universal dan dipraktikkan oleh para nabi sebelum Rasulullah SAW. Lihat, bagaimana Allah SWT mengutus nabi
Musa dan nabi Harus menghadapi Fir’aun. Bukan untuk semata-mata menawarkan kebenaran, namun untuk menawarkan kebnaran
dengan memakai akhlak.

“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha : 43-44]

Rasulullah SAW pun mendapat perintah yang sama.


“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman
yang sangat setia.” [Fushilat : 33-34]

Kedua ayat di atas menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin congkak, menjadi saudara
seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.

Jadi, dakwah yang penuh cacian dan makian kepada siapapun, baik penguasa, kelompok lain yang tidak sehaluan, maupun orang
yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain tidak sesuai dengan esensi
kebenaran out sendiri, cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan
keisapan untuk berjuang, hal itu justru semakin menyuburkan penyakit-penyakit hati, seperti iri, dengki, kebencian, dan
kesumpekan dada.

Ikhwan wal akhawat hafidzakumullah…Marilah kita saksikan salah satu dari banyak sudut akhlak Rasulullah SAW.
Alkisah, di sudut pasar Madinah ada pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang
mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila
kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan dan tanpa berucap sepatah kata
pun. Rasulullah menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa
yang menyuapinya adalah Rasulullah SAW. Beliau melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
suatu hari shahabat terdekat Rasulullah SAW, yakni Abu Bakar RA berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah RA, yang tidak lain tidak
bukan merupakan istri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum
aku kerjakan?” Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli Sunnah kecuali satu saja.” “Apakah itu?” tanya Abu
bakar RA. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi
buta yang ada di sana,” kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abu Bakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan
kepada pengemis itu. abu Bakar RA mendatangi pengemis itu, lalu memberikan makanan kepdanya.

Ketika Abu Bakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu?” Abu Bakar RA menjawab, “Aku
orang yang biasa (mendatangimu).” “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu. “Apabila
ia datang kepadaku kepadaku, tidak susah tangan ini memgang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa
mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu diberikan kepadaku,”
pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang
biasa mendatangimu. Aku adalah salah seorang shahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad, Rasulullah
SAW.”

Seketika itu, pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abu Bakar RAS dan lantas berkata, “Benarkah demikian? Selama ini
aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan
setiap pagi, ia begitu mulia…” Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar RA saat itu juga dan sejak
hari itu menjadi muslim.
Demikianlah akhi daiyah, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlak Rasul SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani
beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq (semulia-mulia akhlak). Kalupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari apa yang kita sanggup melakukannya.

Ikhwani wa akhwati as’adakumullah hayakaum…Untuk mengeksiskan akhlak dalam tubuh seorang daiyah, maka harus dilakukan
dengan dua langkah secara bersamaan. Langkah pertama adalah adalah takhliyah, yakni membersihkan diri dari segala akhlak yang
buruk. Diantaranya adalah al-bathar (congkak) dan riya (beramal demi dilihat manusia). Mengapa dua penyakit hati itu disebut
secara khusus?

Kesombongan akan melemahkan posisi dai dalam menghadapi perjuangan, baik yang muncul karena sebab kelebihan ilmu,
wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan, keputusan, atau bahkan memvonis
keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu seorang dai bisa terjebak dalam pandangan yang
overestimasi tentang dirinya dan sebaliknya underestimasi tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi
catatan pahit kaum muslimin di masa lalu, sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan
Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala
tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan
kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At-Taubah : 25-26).

Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah telah membuktikan
bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian, namun kemenangan Islam adalah kemenangan kolektif dan dihasilkan
dari amal jamai yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).

Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam. Sebelum riya itu
berdampak buruk dalam kaitan interaksi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan penyakit yang dimurkai Allah SAWT.
Sampai-sampai Rasulullah menjelaskan alih-alih mendapatkan pahala, rang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni
neraka. Karena memang orang yang riya bukan mencari ridha Allah dengan amalnya.atau mencari ridha Allah sambil mencari ridha
manusia. Dan Allah tidak suka cara seperti itu. lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah SWT jika dalam beramal yang
diinginkan adalah keridhaan manusia?

Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya. Oleh karena itu, dapat
dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Apa
maksudnya?

Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat dan akhlak buruk yang
menyertai dakwah dan perjuangan itu. akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari dakwah dan bahkan Islam itu sendiri. Dan jika
ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak buruk, kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.

Maka, sifat-sifat buruk itu perlu dibersihkan dari diri kita, para dai. Itulak takhliyah. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah.
Sikap berikutnya adalah tahliyah, yaitu menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Rasulullah SAW telah melakukan keduanya,
sehingga Allah SWT memujinya dengan berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS. Al-Qalam : 4)

Setiap manusia mempunyai fitrah untuk menghiasi diri. Tapi sayangnya, banyak manusia yang tidak mengetahui perhiasan yang
terbaik bagi dirinya. Ada yang menghiasi diri dengan logam mulia seperti emas dan berlian. Ada pula yang menghiasi diri dengan
kosmetik. Semua ditujukan guna menampilkan diri dalam bentuk yang paling indah.

Bagi seorang muslim, terutama seorang daiyah, perhiasan terindah adalah akhlak mulia. Inilah perhiasan yang dapat dikenang
sepanjang masa. Inilah perhiasan yang menjadikan pemiliknya mulia di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan akhlak mulia,
seorang muslim akan terlihat anggun dan cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkesima dan kagum oleh keindahan
akhlaknya.

Dalam pandangan Rasulullah SAW, akhlak mulia menjadi bukti kemuliaan seorang muslim. Beliau SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling baik keisalamannya dalah orang yang paling indah akhlaknya” (HR. Ahmad)

Menghiasi diri dengan akhlak mulia berarti mempertegas diri sebagai manusia, karena dengan kahlak akan terlihat perbedaan
manusia denga hewan. Dengan akhlak pula akan terlihath sisi keteraturan hidup manusia yang tidak dimiliki hewan.

Dengan demikian, manusia yang tidan peduli dengan akhlak, sesungguhnya ia sedang menuju derajatnya yang paling rendah. Tanpa
akhlak, manusia akan seenaknya melakukan apa saja tanpa peduli spsksh tindakannya berbahaya bagi orang lain atau tidak.

Allah SWT berfirman:


“Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami kembalikan manusia kepada derajat
yang paling rendah.” (QS. At-Tin : 4-5)

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, akhlak mulia menjadi kunci keberlangsungan suatu masyarakat. Artinya, keberadaan
masyarakat hanya bernilai jika telah mempraktikkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika akhlak mulia sudah
ditinggalkan oleh suatu masyarakat, maka lonceng kematian masyarakat itu hanya tinggal menunggu waktu.
Masyarakat tanpa akhlak mulia seperti masyarakat rimba, di mana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang
lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri.

Dalam Islam, akhlak bukanlah ajaran yang layak dipandang sebelah mata. Perhatian Islam terhadap akhlak sama seperti perhatian
terhadap masalah akidah dan syariah. Ini menjadi bukti bahwa Islam bukanlah agama yang hanya kaya dengan teori normatif,
melainkan juga agama yang menekankan kepada pengalaman praktis.

Perjalanan dakwah Islam membuktikan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah bukanlah hanya karena keluhuran
ajaran Islam, melainkan juga karena akhlak mulia yang langsung dipraktikkan oleh beliau dalam setiap langkah kehidupannya.
[sumber: Taujih Pekanan jilid 2]

Vous aimerez peut-être aussi