Vous êtes sur la page 1sur 20

ASSIGNMENT INDIVIDU

SAHSIAHTeori Belajar Al-Ghazali


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah manusia, minim sekali pengajar yang sekaligus menerangi jalan
kemanusiaan, mengantar mereka pada kebaikan dan menunjukkan jalan yang benar.
Dalam hal ini al-Ghazali adalah pribadi yang berjiwa sensitif, berwawasan luas, banyak
berkarya dalam aspek pengetahuan. Berawal dari teladan yang telah diberikan oleh al-
Ghozali, maka setiap siswa yang cinta ilmu akan senang sekali belajar, menggunakan
seluruh waktunya melakukan penelitian, dan studi, yang akan berdaya upaya
memecahkan problematik ilmiah, mencernakan ilmu pengetahuan yang didapatinya.
Siswa seperti ini akan merasakan lezatnya menggali ilmu pengetahuan dan masalah-
masalah ilmiah tanpa segan-segan bertekun siang malam mempersiapkan pelajaran dibuat
keesokan harinya.
Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang
dikemukakan Al-Ghazali hampir seribu tahun yang lalu masih mempunyai relevansi
dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama menganjurkan untuk menggalakan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara meluas dan merata, terutama
dalam rangkaian perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin tinggi di
abad 21 ini.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Konsep Belajar Menurut Al-Ghozali
2. Hal-hal Harus Diperhatikan Peserta Didik dalam Belajar
3. Kemuliaan Belajar dan Mengajar Menurut al-Ghazali
Tujuan Pembahasan
1. Mendeskripsikan Konsep Belajar Menurut Al-Ghozali
2. Mendeskripsikan Hal-hal yang Harus Diperhatikan Peserta Didik dalam Belajar
3. Mendeskripsikan Kemuliaan Belajar dan Mengajar Menurut al-Ghozali

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP BELAJAR MENURUT AL-GHOZALI


Konsep belajar al-Ghozali merupakan hasil dari aplikasi dan responsi jawabannya
terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya pada saat itu. Konsep
tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak bahwa sebagianya masih ada yang
sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Perkembangan intelektualitas
al-Ghozali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagai seorang pelajar. Pada waktu
itu, ia selalu menunjukkan sikap keraguan terhadap apa-apa yang dipelajarinya. Hal
tersebut terus berlanjut hingga ia belajar di Bagdad. Pertanyaan yang selalu muncul
dipikirannya adalah “apakah yang dimaksud dengan pengetahuan?.
Rangkaian pertanyaan dan keraguan tersebut membuatnya terus berfikir dan mencari
guru yang dapat menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam pikirannya. Melalui
perjalanan panjang dalam mencari jawaban tersebut akhirnya telah membentuk dan
memperkaya khazanah intelektualitasnya. Setelah mengajar diberbagai tempat seperti
Bagdad, Syam, dan Naisaburi, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya, Thus pada
tahun 1105 M. Disini
kemudian ia mendirikan sebuah madrasah dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik
pada tahun 1111 M.
Diantara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga buku
karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad, dan Ihya’ Ulum al-Din. Dari
karangan-karangannya ini terlihat jelas bahwa al-Ghazali merupakan sosok ulama’ yang
menaruh perhatian terhadap proses transisi sebuah ilmu dan pelaksana pendidikan.
Menurutnya hal tersebut merupakan sarana utama untuk menyiarkan agama Islam,
memelihara jiwa, dan Taqarrub ila Allah. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu
ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akherat. Secara
sistematis pemikirannya memiliki corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas
mengungkapkan pendidikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen.
Totalitas pandangannya meliputi hakekat tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik,
materi, dan metode.
Menurut al-Ghozali jalan yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam proses belajar
tidak bisa seperti halnya yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, karena mereka
menjadi ahli ilmu tanpa belajar dan didik dalam bangku pendidikan. Bagi manusia biasa
untuk mencapai arah tersebut harus dilalui dengan jalan usaha dan belajar. Hal ini sangat
mungkin karena manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan. Menurut al-
Ghozali apabila seorang hendak belajar maka mereka harus membersihka jiwa mereka
dengan perbuatan baik. Sedangkan pendidik harus menjadi uswatun hasanah. Dengan
kebersihan dan kesucian jiwa mereka akan mudah dalam belajar.

B. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN PESERTA DIDIK DALAM


BELAJAR
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghozali menjelaskan bahwa
mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada
Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai dengan kejadian
manusia, cocok dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung kepada agama tauhid
(Islam). Untuk itu tugas seorang pendidik adalah membimbing dan mengarahkan fitrah
tersebut agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya.
Tugas ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia.
Kesempurnaan manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu, pendidik dalam
perspektif Islam melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek
Tazkiyah An-Nafs.
Menurut Al-Ghozali dalam menuntut ilmu (belajar), peserta didik memiliki tugas dan
kewajiban yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa
b. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya
d. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan
Dalam belajar, peserta didik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak al-
karimah (Q.S.Al-An’aam:162 ; Adz-Dzariyat :56)
ö@è% ¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur y“$u‹øtxCur †ÎA$yJtBur ¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$#
ÇÊÏËÈ
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan masalah ukhrawi
(Q.S. Adh-Dhuha: 4)
äotÅzEzs9ur ׎öy{ y7©9 z`ÏB 4’n
“Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan).”
Maksud dari ayat ini ialah bahwa akhir perjuangan nabi Muhammad s.a.w. itu akan
menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-
kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan
akhirat beserta segala kesenangannya dan ulama dengan arti kehidupan dunia.
3. Bersikap tawadhu’ ( rendah hati ) dengan cara menanggalkan kepentingan
pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghozali yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu adalah merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan
yang tinggi, dan bimbingan dari guru.
4. Hendaknya tujuannya dalam belajar di dunia adalah untuk menghias dan
mempercantik batinnya dengan keutamaan, dan di akherat adalah untuk memndekatkan
diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi
dari kalangan malaikat dan orang-orang yang di dekatkan. Hendaklah murid tidak
bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, pangkat, harta atupun untuk mengelabuhi
orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu.di
samping itu tidak boleh meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan
bahasa yang berkaitan dengan al-Qur’an, as-Sunah dan ilmu-ilmu lainnya yang
merupakan fardhu kifayah.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran ysng mudah
(konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju
ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. Al-Fath: 9).
(#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur çnrâ‘Ìh“yèè?ur çnrã ヘ Ïj%uqè?ur çnqßsÎm7|¡è@ur
Zot ヘ ò6ç/ ¸x‹Ï¹r&ur ÇÒÈ
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu yang diniyah sebelum memasuki ilmu yang duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat
bermanfaat yang dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan
hidup dunia dan akherat.
11. Mendahulukan kesucian hati dari akhlak yang rendah dansifat tercela, karena ilmu
adalah ibadah dan sholatnya dari hati, dan pendekatan pada Allah SWT .
12. Merasa satu bangunan dengan murid lainnya sehingga merupakan satu bangunan
yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
Ciri-ciri murid yang demikian itu nampak juga masih terlihat dari perspektif tasawuf
yang menempatkan murid. Untuk masa sekarang hendaknya masih ditambah lagi dengan
ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.
Menurutnya pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, menyempurnakan,
dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya. Tugas ini didasarkan
pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia. Kesempurnaan
manusia terletak pada kesucian hatinya. Untuk itu pendidik dalam perspektif Islam
melaksanakan proses pendidikan hendaknya diarahkan pada aspek penyucian diri.
Seorang pendidik juga dituntut memiliki beberapa sifat keutamaan yang menjadi
kepribadiannya. Diantara sifat tersebut tersebut yaitu:
1. Sabar dalam menaggapi pertanyaan murid
2. Senantiasa bersifat kasih, tidak pilih kasih ( objektif ).
3. Duduk dengan sopan, tidak riya’atau pamer.
4. Tidak takabur, kecuali terhadap oarang yang zalim dengan maksud mencegah
tindakannya.
5. Bersikap tawadhu’ dalam setiap pertemuan ilmiah.
6. Sikap dan pembicaraan hendaknya tertuju pada topik persoalan.
7. Memilki sifat bersahabat terhadap semua murid-muridnya.
8. Menyantuni dan tidak membentuk orang-orang bodoh.
9. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Mengajar sesuai dengan kognisi pelajar, sehingga tidak memberuikan pengetahuan
yang tak terjangkau oleh akalnya dan membuatnya trauma.
11. Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam kondisi yang salah, ia
bersedia merujuk kembali kepada rujukan yang benar.
Selanjutnya yang menjadi titik perhatian al-Ghozali dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena
ilmu model ini akan jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat,
karena dapat menenangkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Hal terpenting
yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:
!$yJx. $uZù=y™ö‘r& öNà6‹Ïù Zwqß™u‘ öNà6ZÏiB (#qè=÷Gtƒ öNä3ø‹n=tæ
$oYÏG»tƒ#uä öNà6ŠÏj.t“ãƒur ãNà6ßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur
Nä3ßJÏk=yèãƒur $¨B öNs9 (#qçRqä3s? tbqßJn=÷ès? ÇÊÎÊÈ
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah
mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
C. KEMULIAAN DALAM BELAJAR Dan MENGAJAR MENURUT Al-GHOZALI
a. Bersumber dari al-Qur’an (QS. At-Taubah: 122)
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä.
7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur
óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat tersebut mendorong setiap individu maupun kelompok untuk belajar, menuntut ilmu
dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan, seperti komentar al-Ghazali pada ayat tersebut, yaitu:
“Rupanya mereka tidak mengetahui bahwa fiqih itu adalah penguasaan paham tentang
Allah dan ma’rifat terhadap sifat-sifat-Nya, sehingga dapat mengingatkan dan menjaga
dirinya, di mana hatinya merasa takut dan memenuhi ketentuan taqwa yang sebenarnya.”
b. Bersumber dari Al-Hadits
“Nabi Muhammad saw mengatakan, sesungguhnya malaikat itu membentangkan
sayapnya kepada penuntut ilmu, sebagai tanda ridha dengan usahanya itu.(HR. Ahmad,
Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Sofwan ban Assal).
Dari hadis ini dapat difahami bahwa para malaikat juga mendoakan orang yang menuntut
ilmu di jalan Allah. Dengan kata lain selain orang itu menuntut ilmu untuk mencari ridho
Allah SWT, orang tersebut (peserta didik) juga harus berusaha (berikhtiar).

c. Bersumber dari Perkataan Sahabat


“Ibnu Mubarak mengatakan: aku heran kepada orang yang tidak menuntut ilmu
pengetahuan. Bagaimanakah jiwanya dapat mengajaknya kepada kemuliaan.”
Sedangkan kemuliaan dari mengajar yaitu:
1. Bersumber dari al-Qur’an (QS. At-Taubah: 122)
* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä.
7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur
óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dari perkataan sahabat dan ayat Al-Qur’an tersebut terdapat korelasi bahwasannya
menuntut ilmu itu sangat penting. Menuntut ilmu berarti juga jihad fi sabilillah, dalam
artian jihad fi sabilillah di sini tidak hanya berperang di medan perang akan tetapi menun
tut ilmu adalah salah satu jihad untuk menambah pengetahuan.
2. Bersumber dari Al-Hadits
Rasulullah saw telah mengatakan :
“Misal aku diperintahkan Allah dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seumpama
hujan lebat yang menyirami bumi. Di antara ada sebidang tanah yang menerima air hujan
itu, lalu menumbuhkan banyak rumput dan ilalang. Di antara ada yang dapat
membendung air itu, lalu diberikan oleh Allah kepada manusia, maka mereka minum,
menyiram dan bercocok tanam. Dan diantaranya ada sebagian tempat yang rata-rata tidak
dapat membendung air itu dan tidak dapat menumbuhkan rumput”.
Kemudian al-Ghozali memberikan komentarnya sebagai berikut:
“Pertama, Dia (Nabi) menyebut perumpamaan bagi orang yang dapat mengambil manfaat
dengan ilmunya.
“Kedua, ia menyebut perumpamaan bagi orang yang tidak memperoleh apa-apa dari
keduanya itu.
Jadi orang yang menuntut ilmu itu adakalanya bermanfaat dan tidak. Yakni bermanfaat
bagi dirinya dan orang lain. Orang yang menuntut ilmu. Apabila ilmunya tidak diamalkan
maka ilmu tersebut akan sia-sia dan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri bukan untuk
orang lain.
3. Bersumber dari Perkataan Para Sahabat
“Umar ra. Berkata : barang siapa yang mengatakan (memberitakan) suatu hadits, lalu
diamalkan orang, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya.”
Hadis tersebut menerangkan tentang orang yang memberitakan ilmu pengetahuan kepada
orang lain yang kemudian diamalkan maka pahalanya sama dengan orang yang
mengamalkannya.

http://rohmanmagzdub.blogspot.com/2010/05/teori-belajar-al-ghazali.html

TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL BANDURA

1.0 PENGENALAN

Dalam tahun 1941, Miller dan Dollard telah mencadangkan bahawa teori pembelajaran
dan peniruan yang menolak anggapan teori tingkah laku tradisional. Ini disebabkan oleh
teori pembelajaran tersebut gagal untuk mengambil kira perihal respons baru, iaitu proses
melambat atau menyegerakan proses pengukuhan peniruan. Ramai antara ahli psikologi
behavioris mendapati bahawa pelaziman operan memberi keterangan yang terhad tentang
pembelajaran. Ada antara mereka yang telah meluaskan pandangan mereka tentang
pembelajaran dengan menambah proses- proses kognitif seperti jangkaan, pemikiran dan
kepercayaan yang tidak boleh diperhatikan secara langsung. Satu contoh tentang
pandangan seperti ini telah dikemukakan oleh Albert Bandura dalam teori kognitif sosial.
Bandura percaya bahawa pandangan ahli teori behavioris tentang pembelajaran walaupun
tepat tidaklah lengkap. Mereka hanya memberi sebahagian sahaja keterangan tentang
pembelajaran dan tidak mengambil kira aspek- aspek penting terutamanya pengaruh-
pengaruh sosial ke atas pembelajaran. Dalam tahun 1963, Albert Bandura dan Walters
telah menghasilkan buku Skop Learning and Personality Development, di mana beliau
meluaskan skop teori pembelajaran dengan menjelaskan lagi prinsip pembelajaran
pemerhatian dan peneguhan.

2. TEORI PEMODELAN BANDURA

Bandura dan Walters menggunakan sekumpulan kanak- kanak tadika berumur 3- 6 tahun
untuk menjalankan kajian dan berjaya membuktikan bahawa kanak- kanak
keseluruhannya meniru model yang ditonton dengan gaya yang lebih agresif. Beliau
merumuskan bahawa pelbagai tingkah laku sosial seperti keagresifan, persaingan,
peniruan model dan sebagainya adalah hasil pemerhatian daripada gerak balas yang
ditonjolkan oleh orang lain. Teori pembelajaran sosialis menekankan pembelajaran
melalui proses permodelan iaitu pembelajaran melalui pemerhatian atau peniruan. Teori
ini terdiri daripada teori permodelan Bandura.

CIRI- CIRI TEORI PEMODELAN BANDURA :


n Unsur-unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan
n Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa , misalan dan teladan
n Pelajar meniru sesuatu kemahiran daripada kecekapan demonstrasi guru sebagai model
dan akan menguasai kemahiran itu jika dia memperoleh kepuasan dan peneguhan yang
berpatutan.
n Proses pembelajaran meliputi pemerhatian , pemikiran , peringatan ,peniruan dengan
tingkah laku atau gerak balas yang sesuai.

Mengikut teori Albert Bandura (1925) seorang profesor psikologi di Universiti Stanford
pembelajaran melalui pemerhatian merupakan pembentukan asas tingkah laku orang lain,
individu dan secara tidak langsung mempelajari pula perubahan tingkah laku tersebut.
Bandura menyebut orang yang diperhatikan sebagai model dan proses pembelajaran
melalui pemerhatian tingkah laku model sebagai permodelan. Ia juga menekankan aspek
interaksi antara manusia dan persekitaran. Pada amnya Bandura juga melihat manusa
sebagai aktif berupaya mengendalikan tingkah laku secara selektif dan tidak merupakan
entiti yang pasif yang boleh dipermainkan oleh keadaan persekitaran mereka.

Terdapat dua jenis pembelajaran melalui pemerhatian. Pertama, ia boleh berlaku melalui
peneguhan. Ini berlaku apabila kita melihat orang lain diberi ganjaran atau denda untuk
tindakan tertentu kita mengubah tingkah laku. Melalui ganjaran, Contohnya seandainya
kita memuji dua orang pelajar kerana membuat kerja yang menarik di dalam kelas maka
pelajar- pelajar yang memerhatikan penghargaan mungkin akan membuat kerja yang
lebih baik pada masa akan datang. Denda juga boleh mempunyai kesan yang sama.
Contohnya kita akan mengurangkan had laju semasa memandu selepas melihat beberapa
orang mendapat saman kerana memandu dengan laju.

Pembelajaran pemerhatian yang kedua ialah pemerhati meniru tingkah laku model
walaupun model tersebut tidak menerima peneguhan atau denda semasa pemerhati
sedang memerhatikan. Selalunya model menunjukkan sesuatu yang hendak dipelajarinya
oleh pemerhati dan mengharapkan peneguhan apabila dapat menguasai. Contoh cara
yang betul meletakkan tangan untuk bermain piano tetapi peniruan berlaku apabila
pemerhati hanya mahu menjadi seperti model yang disanjung.
3. PRINSIP PEMBELAJARAN MELALUI PEMERHATIAN/ PERMODELAN

Bandura (1986) mengenal pasti empat unsur utama dalam proses pembelajaran melalui
pemerhatian atau pemodelan iaitu perhatian, mengingat, reproduksi dan peneguhan atau
motivasi.
PEMERHATIAN

Untuk belajar melalui pemerhatian, kita mesti menumpukan perhatian. Biasanya kita
memberi perhatian kepada orang yang menarik, popular, cekap atau disanjungi. Untuk
kanak- kanak kecil ini mungkin merujuk kepada ibu bapa, abang atau kakak atau guru-
guru. Bagi pelajar yang lebih tua ia mungkin merujuk kepada rakan sebaya yang popular
dan artis pujaan. Faktor- faktor yang mempengaruhi perhatian ialah ciri- ciri model
termasuk nilai, umur, jantina, status dan perhubungan dengan pemerhatian. Dalam
pengajaran kita perlu pastikan pelajar menumpukan perhatian kepada ciri- ciri penting
pelajaran dengan pengajaran yang jelas dan menekankan isi- isi penting. Dalam suatu
tunjukcara contohnya memasukkan benang ke lubang jarum mesin jahit kita mungkin
memerlukan murid- murid duduk berhampiran dengan kita supaya mereka nampak
bagaimana cara melakukannya dengan betul. Perhatian mereka akan ditumpukan kepada
ciri- ciri yang betul dalam situasi tersebut dan dengan itu menjadikan pembelajaran
pemerhatian yang betul.
MENGINGAT

Untuk belajar melalui pemerhatian, kita mesti menumpukan perhatian. Biasanya kita
memberi perhatian kepada orang yang menarik, popular, cekap atau disanjungi. Untuk
kanak- kanak kecil ini mungkin merujuk kepada ibu bapa, abang atau kakak atau guru-
guru. Bagi pelajar yang lebih tua ia mungkin merujuk kepada rakan sebaya yang popular
dan artis pujaan. Faktor- faktor yang mempengaruhi perhatian ialah ciri- ciri model
termasuk nilai, umur, jantina, status dan perhubungan dengan pemerhatian. Dalam
pengajaran kita perlu pastikan pelajar menumpukan perhatian kepada ciri- ciri penting
pelajaran dengan pengajaran yang jelas dan menekankan isi- isi penting. Dalam suatu
tunjukcara contohnya memasukkan benang ke lubang jarum mesin jahit kita mungkin
memerlukan murid- murid duduk berhampiran dengan kita supaya mereka nampak
bagaimana cara melakukannya dengan betul. Perhatian mereka akan ditumpukan kepada
ciri- ciri yang betul dalam situasi tersebut dan dengan itu menjadikan pembelajaran
pemerhatian yang betul.
REPRODUKSI

Pemerhatian harus berupaya melakukan semula tingkah laku yang ditirunya. Apabila
seseorang tahu bagaimana sesuatu tingkah laku ditunjukkan dan mengingat ciri- ciri atau
langkah- langkah dia mungkin belum boleh melakukannya dengan lancar. Sesorang itu
memerlukan latihan yang banyak, mendapat maklum balas dan bimbingan tentang
perkara- perkara penting sebelum boleh menghasilkan tingkah laku model. Di peringkat
penghasilan latihan menjadikan tingkah laku lebih lancar dan mahir.
PENEGUHAN/MOTIVASI

Kita mungkin telah memperoleh satu kemahiran atau tingkah laku baru melalui
pemerhatian, tetapi kita mungkin tidak dapat melakukan tingkah laku itu sehingga ada
sesuatu bentuk motivasi atau insentif untuk melakukannya. Peneguhan boleh memainkan
beberapa peranan dalam pembelajaran pemerhatian. Seandainya kita mengharapkan
untuk mendapat peneguhan dengan meniru tindakan seseorang model, kita mungkin
menjadi lebih bermotivasi untuk menumpukan perhatian, mengingat dan menghasilkan
semula tingkah laku. Selain itu, peneguhan penting untuk mengekalkan pembelajaran.
Seseorang yang mencuba menunjukkan tingkah laku baru tidak akan mengekalkanya
tanpa peneguhan. Sebagai contoh, seorang pelajar yang tidak popular cuba memakai
pakaian fesyen baru tetapi diejek oleh rakan- rakan dan dia tidak akan meneruskan
peniruannya.

Terdapat lima jenis peneguhan yang memotivasikan perlakuan tingkah laku yang ditiru.
Pertama, pemerhati mungkin menghasilkan semula tingkah laku model dan menerima
peniruan secara langsung. Contohnya, seorang ahli gimnastik menunjukkan pergerakan
badan yang baik dan dia di puji oleh jurulatihnya dengan kata- kata seperti ’syabas’.
Kedua pemerhati mungkin melihat orang lain menerima peniruan secara tidak langsung
dan mengikut tingkah laku orang yang diperhatikan. Contohnya kanak- kanak yang
melihat program televisyen yang penuh dengan keganasan mungkin meniru tingkah laku
keganasan model melalui program tersebut. Ketiga ialah peniruan melalui proses elistasi.
Dalam proses ini seseorang akan meniru apa yang dilakukan oleh orang lain jika dia
sudah mengetahui cara- cara melakukan tingkah laku tersebut. Sebagai contoh timbul
keinginan di hati Ali untuk membantu ibunya memotong rumput setelah melihat Rahman
membantu ibunya. Keempat peniruan sekat lakuan. Peniruan yang sesuai dilakukan
dalam keadaan tertentu tetapi tidak digunakan dalam keadaan atau situasi yang lain.
Sebagai contoh, murid boleh meniru kawan mereka yang bising senasa kelas pendidikan
jasmani di padang tetapi tidak boleh meniru tingkah laku ini di dalam kelas. Kelima iaitu
peniruan tak sekat lakuan. Dalam proses ini seseorang individu akan terus mengamalkan
peniruan dalam apa- apa jua situasi. Sebagai contoh, Radzi yang menyertai satu
kumpulan menyimpan rambut panjang semasa cuti sekolah akan terus menyimpan
rambut panjangnya semasa sesi persekolahan bermula.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP TEORI PEMBELAJARAN

Menurut perspektif islam dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif
dan fungsi pancaindera sebagai alat- alat penting untuk belajar adalah sangat penting.
Kata- kata kunci seperti ya’qilun, yatafakkarun, yasma’un dan sebagainya yang terdapat
dalam al-quran merupakan bukti tetap pentingnya dalam meraih ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi (1984) adalah akidah yang berdasarkan ilmu
pengetahuan bukan berdasarkan penyerahan diri secara membabi buta. Hal ini tersirat
dalam firman Allah, maka ketahuilah bahawa tidak ada Tuhan kecuali Allah (surah
Muhammad :19).

Menuntut ilmu ialah suatu ibadat umum kerana amalan ini adalah diwajibkan oleh Islam.
Al-Quran menyebut banyak kali ayat yang menunjukkan bahawa ilmu pengetahuan
sangatlah penting bagi semua orang. Hadis Rasulullah s.a.w menyatakan dengan terus
terang bahawa kita semua wajib menuntut ilmu sama ada ilmu dunia atau akhirat. Dalam
kehidupan kita ada banyak benda yang kita tidak mengetahui. Sebaliknya orang yang
berilmu itu adalah lebih mulia daripada orang yang tidak mengetahui. Sebaliknya adalah
berdosa kalau kita menyembunyikan ilmu daripada orang lain. Mempelajari dan
mengajar ilmu adalah ibadat kerana diwajibkan oleh Tuhan.
Menurut Imam Al Ghazali r.a menyebut tentang ilmu mahmudah sebagai ilmu yang baik
dan berfaedah di dunia dan di akhirat. Al Quran meletakkan para ilmuan di tempat yang
tinggi dan mulia dan mewajibkan semua orang mencari ilmu di merata tempat. Ada ilmu
yang Qadim iaitu yang kekal dan ilmu hadis. ilmu baru kurniaan Allah s.w.t kepada
semua makhluk.
Islam memandang umat manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan
kosong, tidak berilmu pengetahuan akan tetapi Tuhan memberi potensi yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta
teknologi yang canggih untuk kemudahan umat manusia itu sendiri.
APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN SOSIAL BANDURA

Menyadari betapa pentingnya belajar dalam kehidupan manusia, dua tokoh


menyumbangkan pemikirannya berkaitan dengan konsep belajar dan pembelajaran, yaitu:
Al-Ghazali dan Al-Zarnuji. Menurut Al-Ghazali Konsep belajar dalam mencari ilmu
dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu ta’lim insani dan ta’lim robbani. Ta’lim
insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Konsep ini biasa dilakukan oleh
manusia pada umumnya, dan biasanya dilakukan dengan menggunkan alat - alat indrawi.

Proses ta’lim insani dibagi menjadi dua. Pertama, dalam proses belajar mengajar
hakikatnya terjadi aktivitas mengekplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan
perubahan - perubahan prilaku. Seorang pendidik mengeksplor ilmu yang dimilikinya
untuk diberikan kepada peserta didik, sedangkan peserta didik menggali ilmu dari
pendidik agar ia mendapatkan ilmu. Al-Ghazali menganalogikan menuntut ilmu dengan
menggunakan proses belajar mengajar.

Dalam proses ini, peserta didik akan mengalami proses mengetahui, yaitu proses abtraksi.
Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksiden - aksiden dan atribut - atribut
tambahan yang menyelubungi hakikatnya. Ketika subjek berhubungan dengan objek yang
ingin diketahui, hubungan suatu terkait dengan ukuran, cara, situasi, tempat.

Sedangkan secara singkat Al-Zarnuji memberikan penjelasan bahwa konsep belajar


mengajar adalah meletakan hubungan pendidik dan peserta didik pada tempat sesuai
porposinya, seorang siswa adalah seorang yang harus selalu tekun dalam belajar,
senantiasa menghormati ilmu pengetahuan

Tulisan ini merupakah hasil kliping dari artikel-artikel maupun buku yang membahas mengenai
pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan. Penulis hanya melakukan elaborasi pendapat maupun
pernyataan dari sumber pustaka dan berusaha meminimalisir pendapat pribadi penulis dalam
tulisan hasil kliping ini.

Pendahuluan

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Nata, 2003), merupakan upaya
ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-
perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan
salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai
sumber tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak dapat dikatakan
sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap
konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu
Miskawaih, al-Qabisi, Ibn Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak
pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif
ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun
demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak yang dimaksud memang masih tetap
cenderung pada pengajaran benar dan salah seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark
di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti
kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam sepertinya masih
belum optimal.

Pandangan Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam dianggap sangat menarik
untuk diangkat karena dalam ruang-ruang kuliah studi Islam selama ini diajarkan bahwa al-
Ghazali adalah biang keladi kemunduran umat Islam, seperti banyak terdapat pada sebagian
referensi tentang al-Ghazali (Husaini, 2007). Boleh jadi pada sebagian pemikiran al-Ghazali
terdapat kekeliruan, namun tidaklah adil jika hal itu kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan
al-Ghazali karena ia juga berandil dalam menginspirasi kemajuan umat Islam.

Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada pendidikan moral dengan
pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada anak didik. Sebagaimana
rumusannya tentang akhlak sebagai sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya
perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah
mewujud menjadi karakter seseorang. Konsep pendidikan ini erat sekali hubungannya dengan
tujuan pendidikan untuk membentuk karakter positif dalam perilaku anak didik dimana karakter
positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.

Riwayat Hidup Al-Ghazali

Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di desa Thus wilayah Khurasan yang sekarang
termasuk wilayah Iran. Al-Ghazali memulai pendidikan dasarnya dengan belajar agama pada
seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Selanjutnya ia menjadi santri Abu
Nashr al-Isma’il di Jurjan dan lalu belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab figh, retorika, logika,
tasawuf, dan filsafat pada al-Juwainy. Keunggulan ilmu al-Ghazali membuatnya menjadi sangat
tersohor sehingga pada tahun 484 H (1091 M), ia diangkat menjadi ustadz (dosen) pada
Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Setahun setelah ia berusia 34 tahun, al-Ghazali diangkat
menjadi pimpinan (rektor) pada universitas tersebut karena prestasinya yang begitu luar biasa.
Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku di bidang fiqh, ilmu kalam, dan buku-
buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah, dan filsafat. Setelah 4 tahun
menjadi rektor di universitas tersebut, ia mengalami krisis keraguan yang meliputi akidah dan
semua jenis ma’rifat. Kemudian ia melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis, dan Hijaz
selama kurang lebih 10 tahun dan menghabiskan waktunya untuk khalwat, ibadah, i’tikaf, dan
menjalankan ibadah haji serta berziarah ke makam nabi-nabi. Setelah dibujuk untuk kembali
mengajar di universitasnya, akhirnya al-Ghazali kembali menjadi dosen pada tahun 499 H (1106
M). Tetapi, tidak lama setelah itu, ia kembali ke tempat asalnya di desa Thus dan menghabiskan
sisa umurnya untuk membaca al-Qur’an dan hadist serta mengajar. Di samping rumahnya, al-
Ghazali mendirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat
bagi para sufi. Al-Ghazali menutup usianya pada tahun 505 H (1111 M) yaitu pada usia 55 tahun.

Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan

Dalam memahami pemikiran al-Ghazali, tentunya harus dilakukan banyak kajian terhadap
literatur yang mengupas riwayat hidupnya maupun karya-karyanya yang sangat monumental
dalam berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan profesinya sebagai pemikir, al-Ghazali telah
mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal empat disiplin ilmu sehingga ia menjadi ahli
ilmu kalam atau teolog, filosof, seorang sufi karena ilmu tasawufnya, dan juga seorang yang anti
ilmu kebatinan.

Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya tentang hakekat manusia,
yang berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada
empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam pembahasannya yang
begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal
(aql).

Mengenai tujuan hidup manusia, al-Ghazali menyatakan bahwa:

“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak
terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok
tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang
mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.”

Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki dua tujuan hidup. Yang pertama
adalah sebagai wakil Allah di dunia untuk melaksanakan kehendakNya atau tujuan duniawi. Yang
kedua adalah tujuan akhirat, yaitu mendapatkan kenikmatan surgawi yang berpuncak saat
manusia dapat bertemu Penciptanya.

Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, al-Ghazali banyak mencurahkan perhatiannya.


Analisisnya terhadap esensi manusia mendasari pemikirannya pada kedua bidang ini. Menurut
al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara
sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya. Sesuai dengan
pandangan al-Ghazali terhadap manusia dan amaliahnya, yaitu bahwa yang amaliah itu tidak
akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan.
Sehingga wajar bila dalam karyanya yang sangat monumental, Ihya Ulumiddin, al-Ghazali
mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar dalam sebuah bab tersendiri, Kitabul Ilmi.
Dalam pembahasannya tentang ilmu, al-Ghazali menggambarkannya dalam tatanan sosial
masyarakat, dalam artian bahwa sebuah ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci, ia
menggunakan pendekatan epistemologi, ontologi, dan aksiologi.

Ditilik dari Ihya Ulumiddin bab pertama, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia
pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia
berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Ia juga termasuk
penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan
hal-hal yang benar.

Pengertian Pendidikan

Sekalipun Ihya Ulumiddin dianggap sebagai kitab intisari pemikiran al-Ghazali yang paling
komplit, pengertian pendidikan masih belum dirumuskan secara jelas karena pembahasannya
memang belum sampai pada tahap tersebut. Tetapi walaupun demikian, pengertian pendidikan
menurut al-Ghazali dapat ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan melalui
karyanya sebagaimana kutipan berikut:

“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam,
menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat
tinggi.”
“Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan
bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”

Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada Allah’
menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’ menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua
dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.

Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal


berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian
manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada karena selama hayatnya
manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi insan kamil.
Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk
menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai
kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat
bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu,
pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan
perkembangan psikis dan fisik anak.

Dari berbagai hadist yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya dan juga beberapa
pernyataannya tentang pendidikan dan pengajaran, dapat dirumuskan sebuah pengertian
tentang pendidikan oleh al-Ghazali yaitu “proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab
orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia
sempurna”.

Tujuan Pendidikan

Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri
kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya
yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan dirumuskan sebagai
pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang shalih, yang mampu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada
manusia sebagai hambaNya.

Tujuan pendidikan jangka panjang yang dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, dapat
dicapai dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah serta mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain
seperti ilmu syariah. Sementara, orang-orang yang hanya menekuni ilmu fardhu kifayat sehingga
memperoleh profesi-profesi tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan
dengan hasil yang optimal sekalipun, tetapi tidak disertai dengan hidayah al-din, maka orang
tersebut tidak akan semakin dekat dengan Allah.

Tujuan pendidikan jangka pendek menurut al-Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai
dengan bakat dan kemampuannya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan yang fardhu ‘ain
dan fardhu kifayat. Masalah kemuliaan duniawi bukanlah tujuan dasar dari seseorang yang
melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut ilmu seperti siswa, mahasiswa, guru,
atau dosen, akan memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lain yang berupa
pujian, kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi hendak
meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan untuk diamalkan. Sebab itulah, al-
Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam proses pembelajaran adalah untuk
menyucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk
menghidupkan syariat dan misi Rasulullah.

Subyek Didik
Dalam pembahasan mengenai pendidikan, manusia yang bergantung disebut murid dan yang
menjadi tempat bergantung disebut guru, sehingga keduanya disebut sebagai subyek didik. Al-
Ghazali sangat mengagungkan posisi guru diatas segalanya sebagaimana ungkapannya bahwa
hak guru atas muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua atas anaknya karena orang tua
hanya penyebab keberadaan anaknya di alam fana dan guru lah penyebab hidupnya yang kekal.
Ia juga menambahkan bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia,
sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya, guru atau pengajar selalu
menyempurnakan, mengagungkan, dan menyucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat
kepada Allah.

Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional, al-Ghazali menyebutkan beberapa
hal sebagai berikut:

(1) Guru adalah orang tua kedua bagi murid

(2) Guru adalah pewaris ilmu nabi

(3) Guru adalah penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid

(4) Guru adalah sentral figur bagi murid

(5) Guru adalah motivator bagi murid

(6) Guru adalah seseorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid

(7) Guru sebagai teladan bagi murid

Selanjutnya, al-Ghazali menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar
mengajar sebagaimana berikut:

(1) Belajar merupakan proses jiwa

(2) Belajar menuntut konsentrasi

(3) Belajar harus didasari sikap tawadhuk

(4) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya

(5) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari

(6) Belajar secara bertahap

(7) Belajar tujuannya adalah untuk berakhlakul karimah

Etika Belajar

Dalam hal etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang
pelajar yaitu:

Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah
ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi
keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa
konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.

Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru.
Bahkan menurut al-Ghazali seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang
guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.

Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal
itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat
menyebabkan pada kemalasan.

Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui
hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam
sesuatu yang dikerjakannya.

Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.

Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah
dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling
terkait dengan bagian yang lainnya.

Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang
lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang
akan dipelajari.

Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain
sebagainya.

Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-
qarib ‘ala al-ba’id)

Etika Mengajar

Dalam hal etika mengajar, al-Ghazali mengungkapkan bahwa ada 8 hal yang harus diperhatikan
oleh seorang guru, sebagaimana berikut:

Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri.

Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih
(ikhlas).

Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.

Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara
terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih
dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan

Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.

Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam
balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang
simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut
akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.

Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.

Kurikulum Pendidikan

Dalam menguraikan pengertian kurikulum menurut al-Ghazali, ada dua hal yang sangat menarik
yaitu klasifikasinya terhadap ilmu pengetahuan dengan sangat terperinci sebagaimana skema
yang telah digambarkan pada halaman sebelumnya, dan pemikirannya tentang manusia berikut
segala potensi yang dimilikinya sejak ia dilahirkan. Ditambahkan olehnya bahwa kurikulum
pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan psikisnya, sehingga pelajaran harus disampaikan secara
bertahap dengan memperhatikan teori, hukum, dan periodisasi perkembangan anak. Pentahapan
dalam kurikulum yang dilakukan olehnya, sangat sesuai dengan proses pendidikan anak yang
diajarkan oleh nabi Muhammad seperti diriwayatkan melalui hadist. Jika dijabarkan,
perkembangan usia anak berdasarkan didaktis menurut Rasulullah adalah:

(1) Usia 0-6 tahun

(2) Usia 6-9 tahun

(3) Usia 9-13 tahun

(4) Usia 13-16 tahun

(5) Usia 16 tahun dan seterusnya

Implikasi dari hadist tersebut, pertama yaitu bahwa usia 16 adalah batas minimal bagi orang tua
untuk mendidik dan membimbing anaknya agar dapat mandiri; kedua, anak pada hakekatnya
sudah dapat dilepas oleh orang tua sehingga tidak boleh lagi menggantungkan diri pada orang
tua untuk menghidupi kehidupannya sendiri.

Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Pentahapan dalam kurikulum pendidikan telah melahirkan pada penekanan metodik khusus
pendidikan menurut al-Ghazali. Dan tampak sekali bahwa al-Ghazali juga melakukan penekanan
pada pendidikan agama dan akhlak. Berikut ini adalah metodik khusus pendidikan menurut al-
Ghazali:

(1) Metodik khusus pendidikan agama

(2) Metodik khusus pendidikan akhlak

Evaluasi Pendidikan

Dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat dengan kata evaluasi adalah muhasabah, yang
berarti menghitung atau memperkirakan. Al-Ghazali menggunakan kata tersebut dalam
menjelaskan tentang evaluasi diri setelah melakukan aktivitas. Surat al-Hasyr ayat 18 dijadikan
landasan berpijak oleh al-Ghazali dalam menguraikan tentang evaluasi diri, sebagaimana dikutip
dalam karyanya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa pengertian evaluasi adalah suatu usaha
memikirkan, memperkirakan, membandingkan, menimbang, mengukur, dan menghitung aktivitas
diri dan orang lain yang telah dikerjakan terkait dengan tujuan yang telah dicanangkan untuk
meningkatkan usaha dan aktivitas menuju tujuan yang lebih baik di waktu mendatang. Subyek
evaluasi yang terlibat dalam proses kependidikan tersebut dapat meliputi pimpinan lembaga,
subyek didik, wali murid, dan tenaga administrasi.

Tujuan evaluasi secara umum, sebagaimana kutipan sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali,
adalah sebagai berikut:

“Jika kau telah merencanakan suatu pekerjaan atau suatu program kerja, maka
pikirkanlah akibat atau hasil akhirnya. Jika kemungkinan benar (menguntungkan) maka
teruskan, tapi jika kemungkinan sesat (merugikan) maka hentikan rencana itu.”

Sehingga tujuan dari evaluasi pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu upaya untuk
mengontrol efektivitas dan efisiensi usaha dan sarana; mengetahui segi-segi yang mendukung
dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang mendukung
dikembangkan, dan segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau
sarana lain yang lebih menguntungkan.

Sebagaimana sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali berikut ini, bahwa aktivitas kependidikan
dalam satuan waktu yang telah ditentukan secara periodik, seperempat dari satuan waktu
tersebut digunakan untuk mengadakan evaluasi:

“Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian
waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya.”

Pendekatan Pendidikan Al-Ghazali

Al-Ghazali menjelaskan bagaimana seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya.
Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar. Dan apa yang telah dikemukakan al-
Ghazali tersebut adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang dan
banyak penambahan di sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih
berorientasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.

Penjelasan al-Ghazali juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik.


Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam
pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang
murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar
hendaklah diperingatkan. Tetapi bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan
pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and punishment-nya
dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al-Ghazali menggunakan tsawab (pahala)
dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.

Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan


humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai
manusia secara holistik dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang
hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih
sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti
ini tentu al-Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.

Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru
menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing
guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Tetapi lebih dari itu, yaitu sebuah
interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran
yang relatif sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang
terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.

Tetapi hal yang paling nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah
bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika
pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya Ulmuddin tapi
juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini
persinggungan al-Ghazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab
ini al-Ghazali menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak
Tahafut al-Falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa ‘aku’ atau ‘kita’.
Malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghazali menggunakan kata pengganti ‘engkau’ untuk menyapa
pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik
sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Banat.
Mungkin inilah metode yang terbaik menurut al-Ghazali tentang proses belajar dan mengajar.

Penutup

Al-Ghazali yang berorientasi humanistik spiritual ini dapat dipandang sebagai tokoh pendidikan
yang 6 abad lebih awal daripada Johan Benhard Basedow (tokoh philanthropinisme), John Locke
dan Francis Bacon (tokoh empiris), Shcopenhauer (tokoh nativis), William dan Clora Stern (tokoh
konvergensi), serta tokoh pendidikan dan psikolog dari Barat lainnya. Ia dianggap sebagai guru
yang benar-benar berkepribadian guru; tokoh nativis yang tidak pesimis terhadap keberhasilan
pendidikan, tokoh empiris yang tetap menaruh perhatian besar terhadap pembawaan. Walaupun
demikian, konsep kepribadian ideal al-Ghazali lebih cenderung menghasilkan pendidikan yang
beraliran konvergensi, meskipun ketiga aliran tersebut juga dapat terlihat dari pemikiran-
pemikirannya.

SUMBER PUSTAKA:

Husaini, Adian. (2007). Ulama Di Buku Pelajaran. Harian Republika,

Jumat, 21 Desember 2007. http://www.republika.co.id/koran_ detail. asp?


id=317533&kat_id=16. Diakses pada tanggal 18 Januari 2007.

Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Pendidikan Karakter: Isu dan

Prioritas yang Terabaikan. Tugas Akhir Mata Kuliah Isu-Isu Kontemporer Pendidikan
Islam. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
http://kajiislam.wordpress.com/

2008/01/17/pendidikan-karakter-isu-dan-priritas-yang-terlupakan/. Diakses pada tanggal


18 Januari 2008.

Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Konsep Kepribadian Menurut Al-

Ghazali dan Erich Fromm: Analisa Teori Kepribadian Timur dan Barat (Sebuah
Pendekatan Psikologis). Critical Review Thesis. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. http://kajiislam. wordpress.com/category/tesisku/. Diakses pada
tanggal 18 Januari 2008.

Komparasi Teori Kepribadian Al-Ghazali dan Erich Fromm


KONSEP KEPRIBADIAN: KOMPARASI ANTARA TEORI KEPRIBADIAN AL-
GHAZALI DAN ERICH FROMM
Perbandingan Konsep Kepribadian Al-Ghazali dan Erich Fromm
1. Struktur Kepribadian
Ghazali (Gh): Tiga struktur yaitu nafsu (impuls primitif) , akal (realistik rasionalistik) dan
kalbu (spiritual)
Fromm (Fr): Lima struktur kebutuhan jiwa yaitu relasi, transendensi, keberakaran,
identitas, dan orientasi.
Pada prinsipnya Al-Ghazali dan Fromm memandang manusia pada hakekatnya baik.
Perbedaan terletak pada pendekatan dalam merumuskan kriteria baik itu sendiri.
2. Landasan Teoritis
Gh: Konsep teosentris berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah melalui metode tasawuf
Fh: Konsep yang antroposentris dengan penekanan pada faktor kebudayaan dan
perubahan sosial
Fromm mengedepankan aspek kemanusiaan, sedangkan Al-Ghazali disamping aspek
kemanusiaan juga peran Tuhan
3. Tujuan
Gh: Membentuk individu yang memiliki konsistensi iman, islam, ibadah dan mu’amalah
untuk mendapat ridla Allah
Fr: Menciptakan komunitas masyarakat sehat
Fromm berorientasi humanistik sosial, sedangkan Al-Ghazali humanistik spiritual
4. Hereditas
Gh: Faktor keturunan sebagai salah satu penentu kepribadian
Fr: Faktor keturunan sebagai salah satu penentu kepribadian
Berpandangan sama mengenai peranan faktor hereditas
5. Keunikan
Gh: Konsep kepribadian Muthmainnah
Fr: Konsep kepribadian yang antroposentris, humanis, dan sosialis
Kalbu sebagai struktur tertinggi yang mampu mengendalikan semua sistem kepribadian
6. Lingkungan psikologis
Gh: Keluarga dan interaksi sosial
Fr: Kebudayaan dan perubahan sosial
Sama-sama memandang adanya pengaruh lingkungan terhadap kepribadian
7. Kompleksitas mekanisme
Gh: Mekanisme sistem kalbu, akal, dan nafsu
Fr: Mekanisme sistem kebutuhan jiwa
Fromm menekankan aspek kebutuhan psikologis, Al-Ghazali mengedepankan komponen
psikis
8. Kepribadian ideal
Gh: Kepribadian Muthmainah yang mengantarkan manusia pada eksistensi sebenarnya
sebagai hamba Allah
Fr: Kepribadian yang memiliki orientasi produktif yang mampu memenuhi kebutuhan
jiwanya
Perbedaan yang menonjol adalah pada ada tidaknya aspek spiritualitas dalam kepribadian
Relevansi Penerapannya dalam Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu upaya pembentukan kepribadian. Konsep kepribadian
model Erich Fromm dan Al-Ghazali memiliki pengaruh yang besar terhadap pendidikan.
Pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada pendidikan moral
dengan pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada anak didik.
Adapun pendidikan dalam pandangan Fromm cenderung kepada pendidikan
pembentukan karakter pribadi yang produktif pada anak. Konsep pendikan mereka ini
erat sekali hubungannya dengan tujuna pendidikan.

http://el-nashfi.blogspot.com/2010/03/komparasi-teori-kepribadian-al-ghazali.html

Vous aimerez peut-être aussi