Vous êtes sur la page 1sur 24

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masalah IUU Fishing ataupun yang lebih umumnya dikenal adalah Illegal Fishing sebenarnya
sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena telah ada dari zaman dulu
masalah tersebut seakan tidak ada habisnya. Hingga sekarang pun IUU fishing masih sulit untuk
di berantas. Berita penangkapan kapal asing oleh patroli kita, akhir-akhir ini sering terdengar.
Akan tetapi tetap masih saja ada kapal-kapal asing yang masuk wilayah RI. Atau berita
pengeboman ikan atau berita nelayan kita yang menggunakan API terlarang.

Berarti apa yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum kita selama beberapa periode waktu
ini belum bisa membuat jera bagi langganan pelaku IUU Fishing atau membuat takut mereka
para calon pelaku IUU Fishing. Apa yang salah dengan ini? Apakah hukuman yang diberikan
terlalu ringan?

Sebagaimana yang telah kita ketahui, daya dukung RI dalam menjaga perairan di wilayah
perbatasan sangat terbatas, bahkan dapat dikatakan minim baik dalam hal trasportasi seperti
kapal-kapal patroli maupun dalam hal jumlah ankatan laut maritim yang siaga berpatroli.
Bayangkan saja jika kapal patroli indonesia, ataupun kapal penangkap ikan kita yang umumnya
berukuran kecil dan tradisional, harus berhadapan dengan kapal asing yang berukuran lebih besar
dan modern serta dalam jumlah yang lebih banyak?. Kita sepatutnya sangat prihatin akan hal
tersebut, kesulitan bangsa Indonesia di darat pun juga sudah banyak seperti banyaknya penderita
gizi buruk, kemiskinan, pengangguran, kisruh para elit penegak hukum. Akan tetapi menjaga
kekayaan alam di laut Indonesia tercinta ini dan menjaga martabat bangsa kita juga merupakan
hal yang amat penting. Mau tidak mau, pemerintah harus benar-benar berhitung jumlah anggaran
yang dibutuhkan untuk mengamankan wilayah kedaulatan RI. Selain itu, sangat dibutuhkan pula
kesadaran yang tinggi bagi seluruh bangsa Indonesia untuk tidak menjadi maling di negara
sendiri, atau penindas bangsa sendiri atau penghianat bangsa sendiri.
1.1. Identifikasi masalah

Masalah illegal fishing adalah masalah kita bersama. Masalah tersebut tidak akan dapat teratasi
ataupun terminimalisir jika kita tidak berbenah diri. Salah satu cara untuk mengatasinya yaitu
mungkin dengan menambah armada kapal patroli kita, supaya kapal-kapal asing yang masuk ke
wilayah perairan kita yang melakukan illegal fishing bisa ditangkap ataupun bisa dihancurkan
kapal mereka.Mengapa harus demikian? Karena masalah illegal fishing menimbulkan kerugian
yang amat sangat besar bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Berapa Triliunkah uang kita dicuri
oleh Negara lain? Berapa banyak sumberdaya alam kita dihancurkan dan dicuri oleh Negara
lain?

1.2. Method penulisan

Maksud penulisan karya ilmiah ini adalah supaya masyarakat lebih mengetahui tentang
masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam hal masalah Illegal Fishing. Dan agar kita
dapat pula memaknai kekayaan alam yang telah ciptakan tuhan kepada kita, janganlah kita
mensia-siakan ataupun merusak alam kita (dalam hal ini merusak laut) baik dengan menangkap
ikan dengan bom ikan ataupun dengan cara lain yang dapat merusak lingkungan. Maksud kedua
yaitu dapat memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan.

Adapun tujuannya adalah supaya pembaca dapat mengerti apa yang dimaksud illegal fishing
dan kenapa masalah tersebut seakan tidak ada habisnya. Pembaca pula akan mengetahui daerah-
daerah yang sering menjadi sasaran empuk para kapal asing untuk mencuri ikan di wilayah
perairan nusantara.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAAN ILLEGAL FISHING

 Pengertian Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing secara harfiah


dapat diartikan sebagai Kegiatan perikanan yang tidak sah, Kegiatan perikanan
yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau Aktivitasnya tidak dilaporkan
kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.
 IUU Fishing dapat terjadi disemua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung
pada lokasi, target spesies, alat tangkap yang digunakan serta intensitas exploitasi.
Dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di
zona juridiksi nasional maupun internasional seperti high seas.

Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :

 Yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi
yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 Yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban
internasional;
 Yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi
anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi tidak sesuai
dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi
tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Unreported Fishing

Disebut sebagai Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dlakukan di area
yang menjadi kompetensi institusi pengelolaan perikanan regional, namun tidak pernah
dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, atau tidak sesuai dengan ketentuan pelaporan yang
telah ditetapkan oleh institusi tersebut. Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di
Indonesia diantaranya; penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang
sesungguhnya atau pemalsuan data hasil tangkapan, hasil tangkapan ikan yang langsung dibawa
ke negara lain  (transhipment di tengah laut)

Unregulated Fishing

Kegiatan penangkapan ikan disebut sebagai Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan
ikan :

 Pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan
pengelolaannya,  atau kegiatan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai
dengan tanggung-jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumberdaya ikan sesuai aturan
internasional;

 Pada area yang menjadi kewenangan institusi/organisasi pengelolaan perikanan regional,


yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera suatu negara
yang bukan anggota organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut.

Kegiatan Unregulated Fishing di perairan Indonesia, antara lain disebabkan masih belum
diaturnya mekanisme pencatatan data hasil tangkapan dari seluruh kegiatan penangkapan ikan
yang ada, belum diatur wilayah perairan-perairan yang diperbolehkan dan dilarang, belum diatur
aktifitas sport fishing; kegiatan-kegiatan penangkapan ikan menggunakan modifikasi dari alat
tangkap ikan yang dilarang.

Illegal fishing, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu Negara. Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin
melakukan penangkapan ikan dari Negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam  IUU fishing,
pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain
tanpa izin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain pencurian ikan oleh pihak asing.
Keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
 Pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan
memanfaatkan surat izin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan
menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan
sebagai  illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya,
pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui
proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.

 Pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing
menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.

2.2 SITUASI PERIKANAN NASIONAL

Publikasi FAO tahun 2007 menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan
Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan
kondisi  full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah
kepada overexploited. Artinya bahwa di kedua perairan tersebut, sudah tidak memungkinkan lagi
untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran saat ini.

A. Produksi Perikanan Nasional

Pertumbuhan produksi rata-rata perikanan tangkap dalam periode tahun 1994-2004 mencapai
3,84 persen per tahun. Sedangkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2004 mencapai
4.311.564 ton. Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan produksi perikanan tangkap tetap
sebesar 3,84 persen per tahun, maka produksi perikanan tangkap nasional tahun 2009 akan
mengalami full exploitation diseluruh perairan Indonesia.

B. Konsumsi Ikan Nasional

Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia setiap tahunnya terlihat mengalami peningkatan.
Secara nasional tingkat konsumsi ikan nasional pada tahun 2002 baru mencapai sekitar 21
kg/kapita/tahun. Namun demikian tingkat konsumsi ikan nasional tersebut terlihat masih di atas
rata-rata tingkat konsumsi ikan dunia yang baru mencapai sekitar 16 kg/kapita/tahun. Sementara
itu jika dilihat dari perkembangan tingkat konsumsi ikan nasional berdasarkan jenis ikan yang
dikonsumsi masyarakat, terlihat bahwa sekitar 65,98 persen dari total konsumsi ikan nasional
tahun 2002 didominasi oleh 18 jenis ikan. Yaitu ekor kuning, tuna, tenggiri, selar, kembung, teri,
banding, gabus, kakap, mujair, mas, lele, baronang, udang segar, cumi-cumi segar, kepiting,
kalong dan udang olahan.

Dari 18 jenis ikan yang dominan tersebut terlihat bahwa ikan tuna, selar dan kembung
merupakan jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data Hasil Survey
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukan, bahwa rata-rata tingkat konsumsi untuk ketiga
jenis ikan tersebut pada periode 1996-2002 adalah mencapai 3,08 kg/kapita/tahun (Ikan Tuna).
Atau sekitar 14,65 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional tahun 2002, 2,48
kg/kapita/tahun (Ikan Kembung). Sekitar 11,81 persen dari total tingkat konsumsi ikan nasional
tahun 2002 dan 1,05 kg/kapita/tahun (Ikan Selar) atau sekitar 4,98 persen dari total tingkat
konsumsi ikan nasional tahun 2002.

Kondisi terkini, gerakan gemar makan ikan yang di kampanyekan oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) telah berkontribusi dalam meningkatkan angka konsumsi perikanan
perkapita, dari sekitar 17 kg/kapita/ di tahun 1998, menjadi sekitar 26 kg/kapita/tahun dalam
kurun waktu 2-3 tahun terakhir. Tentu saja, meningkatnya konsumsi perkapita akan berkorelasi
positif dengan pertumbuhan volume kebutuhan ikan domestik, sejalan dengan pertumbuhan
penduduk rata-rata nasional yang berkisar 1,34 persen per tahun-nya.

2.3 PENYEBAB ILLEGAL FISHING

 Meningkatkan permintaan ikan di Negara Negara asing


 Berkurang atau habisnya stok di Negara lain
 Lemahnya armada perikanan nasional
 Izin/documen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi
 Lemahnya pengawasan dan penegakan hokum di laut
 Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan
 Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana
2.3.1 Penyebab Unreported Fishing

 Lemahnya peraturan perundangan


 Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan/ angkutan ikan
 Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil
tangkapan/angkutan ikan.
 Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana
 Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang sebagian
besar tidak termonitor dan terkontrol
 Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penagkapan memiliki pelabuhan
 Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas terkait
cenderung lebih rendah dari sebenarnya.Menurut petugas retribusi laporan produksi
umumnya tidak pernah mancapai 20% dari produksi yang sebenarnya.

2.3.2 Penyebab unregulated fishing

 Potensi SDI di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum


membahayakan
 Sibuk mengatur yang ada karena banyak masalah
 Orientasi jangka pendek
 Beragamnya kondisi daerah perairan dan SDI
 Belum masuknya Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan internasional

2.4 CARA TERJADINYA ILLEGAL FISHING

Perikanan ilegal dilakukan dengan modus operandi tertentu. Biasanya terkait dengan upaya
untuk mengelabui petugas, waktu operasi dan lokasi penangkapan ilegal, serta keterlibatan
dengan oknum aparat. Tentunya, modus ini akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi dan respon negara terhadap kegiatan perikanan ilegal.

2.4.1. Modus Untuk Mengelabui

Kapal ilegal, terutama kapal asing, menggunakan berbagai modus untuk mengelabui aparat
keamanan atau aparat pemerintah Indonesia. Modus yang sering dilakukan adalah penggandaan
izin, penggunaan bendera Indonesia, mempekerjakan nelayan Indonesia, atau penggunaan nama
kapal berbahasa Indonesia. Modus penggandaan izin penangkapan ikan dilakukan di berbagai
perairan dan biasanya dilakukan oleh kapal dari Thailand (Antara, tanpa tanggal). Modus
penggandaan izin penangkapan ikan kerap dilakukan di Perairan Arafura. Satu buah izin
penangkapan digandakan untuk 10 kapal. Perusahaan membuat atau memiliki 10 kapal dengan
bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama. Dengan demikian, satu buah izin kapal yang
dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan untuk 10 kapal yang dimilikinya—karena memiliki
bentuk, ukuran, sarana dan prasarana yang sama sehingga bisa mengelabui aparat yang
melakukan operasi kapal ilegal. Jika rata-rata setiap perusahaan memiliki minimal 5 izin
penangkapan ikan, berarti terdapat sekitar 50 kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan.
Jika setiap bulan setiap kapal menangkap rata-rata sekitar 2.100 ton, maka untuk 50 kapal
mencapai 105.000 ton. Dengan asumsi harga ikan mencapai US$ 13 per kg, maka kerugian
negara dari hasil tangkapan ilegal dengan modus ini bisa mencapai US$ 1,365 milyar. Modus
lainnya adalah menggunakan bendera Indonesia dan mempekerjakan nelayan dari Indonesia.
Padahal kapal tersebut dimiliki oleh cukong Malaysia dan ikan dijual di Tawau, Malaysia.
Modus yang serupa juga dilakukan dengan menggunakan bendera dan nama kapal berbahasa
Indonesia. Untuk modus mengelabui dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti
bom ikan (blast fishing) dilakukan dengan modus tersendiri. Kapal pembom ikan pergi menuju
daerah sasaran tanpa membawa peralatan bom ikan. Di tengah laut, peralatan pemboman dikirim
dengan kapal lain. Setelah itu kapal akan melakukan pemboman di daerah dan waktu tertentu.

2.4.2 Waktu Tertentu


Kegiatan penangkapan oleh kapal ilegal dilakukan pada waktu tertentu, terutama pada saat
musim barat. Kapal ilegal biasanya menggunakan kapal berbobot 30 GT yang mampu memecah
gelombang setinggi 2 meter. Sedangkan kapal patroli biasa akan mengalami kesulitan mengejar
kapal pencuri ikan di saat musim barat.

2.4.3. Penyebaran Lokasi

Seperti telah disebutkan di atas, kapal asing yang illegal selalu beroperasi di wilayah
perbatasan dan perairan internasional, sehingga menyulitkan bagi aparat untuk menangkap kapal
tersebut. Namun ketika tertangkap oleh aparat, kapal ilegal tersebut berdalih bahwa tidak sengaja
melanggar batas teritori Indonesia untuk mengejar ikan karena tidak memiliki radar dan hanya
menggunakan kompas. Hal ini biasanya menjadi dalih kapal negara-negara tetangga Indonesia,
seperti Thailand yang tertangkap oleh patrol. Modus lain juga dilakukan melalui kerjasama
dengan beberapa kapal ikan ilegal. Di tengah laut, kapal tersebar dengan jarak antara 5-7 mil,
sehingga menyulitkan kepolisian untuk menangkap. Kapal-kapal ilegal tersebut melakukan 
transhipment di tengah laut dan memiliki jaringan dengan kapal khusus pengumpul ikan, untuk
selanjutnya dibawa ke Thailand.

2.4.4. Kerjasama dengan Aparat

Kejahatan dalam pencurian ikan sudah merupakan sindikat yang sangat kuat. Keterlibatan
sejumlah oknum aparat sangat lah kuat karena jutaan ton ikan setiap tahunnya dicuri dari
perairan Indonesia, yang dilakukan oleh sekitar 3.000-5.000 kapal nelayan asing dengan
memakai bendera Indonesia. Perikanan ilegal di perairan Sulawesi Utara misalnya, kerjasama
antara oknum aparat, pengusaha ikan di darat, dan operator kapal ikan di laut sangatlah
sistematis (lihat Gambar-2.1). Oknum aparat memberitahukan perusahaan di darat bahwa akan
dilakukan operasi kapal ilegal. Berdasarkan informasi ini, perusahaan di darat menginstruksikan
kapalnya yang sedang beroperasi di laut untuk berpindah agar menghindari operasi aparat.
Dengan demikian, kapal operasi tidak menemukan kapal ilegal, dan jika ada yang tertangkap,
bisa dikatakan sebagai suatu kebetulan belaka.
2.5 JENIS BERLAKUNGYA ILLEGAL FISHING

Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah :

 Penangkapan ikan tanpa izin


 Penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu
 Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang
 Penagkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin

2.6 AKIBAT TERJADINYA ILLEGAL FISHING

Maraknya perikanan ilegal di perairan Indonesia mengakibatkan stok ikan nasional dan global.
Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan
sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari
aktivitas perikanan ilegal yang telah memberi akibat serius bagi Indonesia. 

 Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam kelestarian stok ikan
nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah 
(misreported), atau laporannya di bawah standar (under reported), dan praktek perikanan
yang tidak diatur (unregulated) akan menimbulkan masalah akurasi data tentang stok
ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan pengelolaan
perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan nasional dan
global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing. Dengan kata lain,
jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi dan mereduksi kegiatan IUU
diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi
kegiatan IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
 Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan
tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB). Disamping
juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya dinikmati oleh
Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek perikanan ilegal
mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan ilegal berkisar antara
US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 2-4 juta ton
ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total kerugian negara akibat perikanan ilegal
mencapai US$ 1,924 miliar per tahun. Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi
sebesar US$ 537,75 juta; dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar
US$ 1,2 juta dan penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
 Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor
perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini
tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan
untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
 Ketiga, perikanan ilegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor
perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal ini
tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda nelayan
untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan.
 Kelima, perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi
yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada
gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin
penangkapan yang sah.
 Keenam, baik secara langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan
ilegal memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas
penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya potensi
sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan yang dicuri dapat
dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat menjamin bahan baku
yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan, misalnya pengalengan tuna. Pada
umumnya ikan yang dicuri dari perairan Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis
besar lainnya. Jika setiap industri pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku
minimal 80-100 ton per hari atau sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang
dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
 Ketujuh, perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya
nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan ikan
pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal. Selanjutnya
akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah pantai.
 Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik dengan armada nelayan
tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu keamanan nelayan Indonesia
khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Nelayan
asing selain melakukan penangkapan secara ilegal, mereka juga sering menembaki
nelayan tradisional yang sedang melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan
(fishing ground) yang sama. Selain itu perikanan illegal juga akan mendorong ke arah
pengurangan pendapatan rumah tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk
situasi kemiskinan.
 Kesembilan, perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan,
yang merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan
pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional.
Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat, dan berdampak
pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan.
 Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada isu kesetaraan gender dalam
penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran hasil penangkapan ikan. Fakta di
beberapa daerah menunjukkan bahwa istri nelayan memiliki peranan penting dalam
aktivitasb penangkapan ikan di pantai dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk
urusan pemasaran hasil perikanan.
2.6.1 Sebagian Kerugian Ekonomi karena IUU Fishing

1. Pungutan Perikanan yang dibayarkan dengan tariff kapal Indonesia.


2. Subsidi BBM yang dinikmati oleh kapal asing yang tidak berhak.
3. Produksi ikan yang dicuri (Volume dan Nilai)

Rincian Pukat Pukat Pukat Pulat Rawai


Ikan Ikan Udang Cincin Tuna

L. S. Pelagis
Arafura Malaka Besar
Ukuran Kapal (GT) 202 240 138 134 178
Kekuatan Mesin 540 960 279 336 750
(HP)
Produksi 847 864 152 269 107
(Ton/kpl/th)
Rugi Pungutan 193 232 170 267 78
Perik

Rp.Juta/Kapal/Th

Rugi Subsidi BBM 112 221 64 77 173


Rp.Juta/Kapal/Th
Rugi Produksi Ikan 3.559 1.733 3.160 1.101 801

Rp.Juta/Kapal/Th
Total Kerugian 3.864 2.187 3.395 1.446 1.052

Rp.Juta/Kapal/Th

2.7 PRAKTEK ILLEGAL FISHING

Sampai saat ini, belum ada perhitungan pasti jumlah ikan yang terangkut dari perairan
Indonesia secara illegal setiap tahunnya. FAO (2001) memperkirakan kerugian Indonesia dari
perikanan ilegal tersebut mencapai sekitar US$ 4 milyar. Menteri Kelautan dan Perikanan RI,
Freddy Numbery, mengakui bahwa akibat aktivitas perikanan ilegal, negara dirugikan Rp 30
triliyun setiap tahunnya. Perkembangan harga ikan rata-rata setiap tahunnya berkisar antara US$
1.000 sampai US$ 2.000 per ton ikan. Dengan asumsi harga ikan rata-rata sebesar US$ 1.000 per
ton, diperkirakan jumlah ikan yang dicuri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun. Sementara itu
apabila harga ikan rata-rata diasumsikan sekitar US$ 2.000 per ton maka jumlah ikan yang dicuri
tersebut mencapai kisaran 2 juta ton per tahun. Terlebih lagi, apabila diasumsikan rata-rata
tonase kapal ilegal yang menangkap ikan di perairan Indonesia mencapai 200 ton dan setiap
tahunnya melakukan 4 kali trip penangkapan, maka jumlah kapal ilegal mencapai sekitar 2.500
sampai dengan 5.000 kapal per tahun. Hingga kini pemberantasan praktek perikanan illegal
belum juga menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan, bahkan semakin memprihatinkan.
Salah satu buktinya, Maret 2006 lalu hasil verifikasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap
DKP menunjukkan 94 persen tanda peralihan kepemilikan kapal (deletion certificate)  yang
berhasil diklarifikasi adalah palsu. Lebih buruk lagi, pada semester pertama 2007 (Januari –
Juni), puluhan kapal dari berbagai negara telah ditemukan kembali melakukan praktek pencurian
ikan di perairan Indonesia. Praktek perikanan ilegal di Indonesia yang diungkap oleh media
massa antara tahun 2002 hingga 2007, menunjukkan semakin beragam dan semakin luas wilayah
Indonesia yang “disantroni” oleh kegiatan perikanan ilegal.
Perikanan ilegal tersebut mencakup pencurian ikan, yaitu kapal asing menangkap ikan di
Indonesia dan tidak memiliki izin atau tidak memiliki dokumen keimigrasian perikanan yang
tidak diatur, karena melanggar peraturan perundangan yang telah ditetapkan seperti
menggunakan alat tangkap trawl, bom, atau memasuki wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan
izin yang telah diberikan; serta perikanan yang tidak dilaporkan, karena memuat dan
memindahkan ikan di tengah laut atau menjual ikan dijual ke negara lain, atau kegiatan lain yang
menyebabkan tangkapan ikan tersebut tidak dilaporkan. Jumlah kegiatan perikanan ilegal begitu
fantastis. Pada tahun 2003, DKP menduga terdapat sekitar 5.000 kapal asing yang tidak memiliki
izin beroperasi di perairan Indonesia, yang kemudian berhasil ditertibkan hingga 4.000 kapal
asing melalui perizinan (Media Indonesia, 31 Desember 2003). Namun demikian, kenyataan di
lapangan menunjukkan perikanan ilegal terus terjadi dari tahun ke tahun. Kapal asing yang
melakukan kegiatan perikanan ilegal biasanya melangsungkan operasinya di wilayah perbatasan
dan perairan internasional, antara lain:

1. Perairan timur Indonesia

 Perairan papua ( sorong, teluk bintuni, fakfak,kaiman, merauke, perairan arafuru )


 Laut Maluku, laut Halmahera
 Perairan Tual
 Laut Sulawesi
 Samudra Pasifik
 Perairan Indonesia – Australia
 Perairan Kalimantan Timur

2. Perairan barat Indonesia

 Perairan Kalimantan bagaian Utara daerah laut Cina Selatan


 Perairan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
 Selat Melaka
 Sumatera utara ( perairan Pandan, Teluk Sibolga)
 Selat karimata, perairan Pulau Tambelan ( perairan antara Riau dan Kalimantan Barat)
 Laut Natuna (Perairan Laut Tiongkok Selatan)
 Perairan Pulau Gosong Niger ( Kalimantan Barat)

2.8 POTENSI KELAUTAN INDONESIA

Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang
belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi
yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya
alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan
luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan
terkandung di dalamnya yang meliputi :

1. Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
2. 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah
yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
3. Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang,
moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan
biota laut lainnya,
4. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak
bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
5. Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal
Energy Conversion,
6. Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk
lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang
kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan
penampung limbah,
7. Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-
pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas
laut berpangkal.
8. Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India,
Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk
kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga
saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini
kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar
menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain
untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal fishing.

2.9 PERMASALAHAN BATAS LAUT

Beberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara menurut
ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu :

1. Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana
NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan
pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982.
Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik
closing lines tersebut.
2. Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai
hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak
melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini
dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik
pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base
lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan
telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6
Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
3. Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi
BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada
laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah
penuh.
4. Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW.
Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.
5. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari
base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di
situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan
pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau
mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki
keabsahan/pengakuan yang pasti.

Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan
yang tenggelam, garis BLK ditarik dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut)
sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.

Kawasan perairan laut Indonesia yang terlibat dalam penangkapan ikan illegal.

2.10 KEWENANGAN PENEGAKKAN HUKUM ILLEGAL FISHING

1. penegakkan hukum illegal fishing


Secara umum, tugas dan peran Polri dalam penegakkan hukum kejahatan illegal fishing telah
dinyatakan didalam UU NO. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayah laut/perairannya sangat luas
maka penegakan hukum di laut/perairan wilayah Indonesia mutlak diperlukan. Dengan potensi
laut/periaran yang luas tentunya ancaman dibidang keamanan di laut sangat besar. Untuk itu,
agar lebih proporsional dan profesional dalam penengakan hukum di laut/perairan, maka
dibentuk Polisi Perairan (Polair).

Dengan menempatkan Polisi perairan sebagai ujung tombak dalam peengakan hukum di
luat/perairan, diharapkan Polri dapat menunjukkan perannya dalam mengamankan dan menjaga
stabilitas keamanan di wilayah laut/perairan. Ancaman besar berupa tindak pidana pencurian
ikan (illegal fishing), penyelundupan (smugling) dan kejahatan laut lainnya akan terus meningkat
jika tidak diantisipasi oleh Polisi Perairan. Tindakan-tindakan preventif berupa patroli di wilayah
laut/perairan secara rutin dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada seperti kapal
patroli sangat membantu dalam menekan tindak pidana/kejahatan di wilayah laut/perairan
Indonesia. Begitu juga penegakan hukum berupa tindakan represif yaitu memproses setiap
pelaku kejahatan illegal fishing dan mengajukannya ke pengadilan merupakan salah satu upaya
untuk mengurangi kejahatan di laut/perairan.

Departemen Kelautan dan Perikanan, sebagai departemen teknis sektoral yang mengelola
masalah-masalah kelautan dan perikanan, dalam kebijakan penanggulangan illegal fishing,
melakukan langkah-langkah : 4 (empat) stategi pendekatan meliputi pre-emptif, responsif,
persuasif, koordinasi, melakukan percepatan pemberantasan illegal fishing, melalui :
pembentukan pengadilan khusus perikanan di 5 (lima) daerah yaitu, Jakarta, Medan, Pontianak,
Bitung, dan Tual, pembentukan satgas percepatan penanganan pelanggaran, termasuk proses
penyidikan tindak pidana perikanan, pelaksanaan Program Rapid Repatriation bagi ABK kapal
asing, pemberian insentif bagi aparat penegak hukum yang berjasa dalam penyelamatan
kekayaan negara di sektor perikanan, melaksanakan operasi surveillance. Kerjasama
internasional dilakukan dalam aspek pengawasan dan aspek patroli terkoordinasi.

Dalam upaya pemberantasan illegal fishing, pada tahun 2006 jumlah tindak pidana illegal fishing yang
berhasil diungkap sebanyak 429 kasus, diselesaikan 268 kasus. Potensi kerugian negara yang dapat
diselamatkan sebesar Rp 315.374.400.000 (Tiga Ratus Lima Belas Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Empat
Juta Empat Rarus Ribu Ruoiah), dari hasil lelang kapal, Pajak Hasil Perikanan (PHP), Subsidi BBM, dan
Sumber Daya Perikanan. Sedangkan pada tahun 2007, jumlah tindak pidana illegal fishing yang berhasil
diungkap sebanyak 376, diselesaikan 376. Potensi kerugian negara yang dapat diselamatkan sekitar Rp
439.612.800.000 ( Empat Ratus Tiga Puluh Sembilan Milyar Enam Ratus Dua Belas Juta Delapan Ratus
Ribu Rupiah), dari hasil leleng kapal, Pajak Hasil Perikanan (PHP), Subsidi BBM, dan Sumber Daya
Perikanan.

Pada tahun 2008 berhasil ditangkap 158 kapal ikan pelaku pencurian ikan dengan potensi kerugian negara
yang dapat diselamatkan mencapai Rp 377,34 miliar. Berdasarkan data DKP hingga Juni 2008, tingkat
pelanggaran terhadap aktivitas penangkapan ikan sebesar 15,52 persen. Artinya, dari setiap 100 kapal
ikan yang diperiksa, 15 kapal di antaranya melakukan kegiatan pencurian ikan. Apabila dibandingkan
dengan 2007, maka tahun ini terjadi peningkatan pelanggaran sebesar 86,6 persen.

Operasi Jaring yang digelar Polri pada tanggal 9 Desember sampai 28 Desember 2010 di wilayah rawan
illegal fishing seperti Sumut, Kepri, Kalbar, Maluku, Sulut, dan Papua berhasil mengungkap puluhan
kasus pencurian ikan (illegal fishing). Tersangka yang ditangkap sebanyak 194 orang, 144 orang
Vietnam, 50 orang WNI. Para tersangka terbukti mencuri ikan di perairan Indonesia dan melanggar UU
31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jumlah kapal yang ditangkap sebanyak 31 kapal, dan kerugian akibat
pencurian ikan mencapai milliaran rupiah.

Sedangkan modus operandi yang sering digunakan para pelaku tindak pidana illegal fishing antara lain
adalah :

1. Pemalsuan dokumen kapal dengan cara; data dalam ijin tidak sesuai dengan fakta fisik kapal.
2. Penggandaan perijinan yaitu satu ijin digunakan untuk beberapa kapal.
3. Penangkapan ikan di luar fishing ground dalam sipi.
4. Gross ton (GT) tidak sesuai ijin, atau tulisan gt di lambung kapal dihapus.
5. Melakukan ekspor ikan di tengah laut tanpa melakukan pemberitahuan ekspor barang (PEB).
6. Alat tangkap tidak sesuai dengan surat ijin penangkapan ikan (sipi).

2. Kewenangan penyidikan
Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dalam pasal
14 (1) menyatakan bahwa Aparat penegak hokum di Bidang penyidikan Di Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sedangkan menurut pasal 6 (1) Undang-
undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan bahwa aparat yang bertindak sebagai
penyidik dalam perkara pidana adalah pejabat Polisi republik Indonesia. Undang-Undang No.2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam pasal 2 menyebutkan bahwa
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat ,
penegakan hukum , perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 (1)
huruf g menyebutkan bahwa Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan KUHAP dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Dalam Undang-undang RI nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam pasal 73 (1)
disebutkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Namun kenyataan di lapangan, Lembaga yang melakukan penyidikan adalah Pejabat
Polri, Perwira TNI-AL, Pejabat Bea dan Cukai, Pejabat Imigrasi, Pejabat Perhubungan Laut dan
Pejabat Perikanan. Permasalahan yang timbul dalam proses penyidikan tindak pidana illegal
fishing antara lain terjadinya saling tarik menarik kepentingan karena masing-masing aparat
penegak hukum instansi yang diberi kewenangan merasa memiliki kewenangan untuk itu.

Koordinasi diantara instansi sangat lemah, seperti pada kasus-kasus yang telah dikemukakan di
atas, akibat kuatnya ego dan kepentingan diantara penyidik, proses penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan menjadi kurang optimal. Dalam UU 31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang
baru yang diharapkan dapat mengatasi persoalan lemahnya koordinasi tersebut. Diposisikannya
PPNS sejajar dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta diberikannya kewenangan
kepada Menteri untuk membentuk forum koordinasi bagi kepentingan penyidikan di tingkat
daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan tersebut. Apalagi forum koordinasi
tersebut nota bene dibentuk pada tingkat menteri. sedangkan BAKORKAMLA yang sudah lama
eksis dan dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-
apa.
Disebutkan dalam Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/7/I/2005 tanggal 31 januari 2005 tentang
Perubahan atas Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep 54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang
Organisasi dan Tata Cara Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Polda lampiran “A”
Polda Umum, Lampiran ‘B” Polda Metro Jaya dan lampiran “C” Polres dalam pasal 20 (2)
disebutkan bahwa Satpolair atau unit Polair menyelenggarakan fungsi kepolisian, termasuk
penanganan pertama tindak pidana yang ditemukan di wilayah perairan, pembinaan masyarakat
pantai, dan pencarian dan penyelamatan kecelakaan di laut (SAR). Namun dalam kenyataannya,
hal ini belum dapat diterapkan sepenuhnya karena masih besarnya peran penyidik PPNS
Perikanan dan Perwira TNI AL di wilayah perairan.

Dalam penanganannya terdapat konflik kewenangan penyidik dalam penegakanhukum tindak


pidana perikanan. Terdapat 3 (tiga) instansi yang berwenang dalam penyidikan tindak pidana
perikanan berdasarkan ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, yaitu :

 Ayat 1 “ Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan


Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawa Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
 Ayat 2 “ Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidanan di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.”
 Ayat 3 “ Penyidikan terhadap tindak pidanan di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan
perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.”
 Ayat 4 “ Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam
penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.”
 Ayat 5 “ Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidanan di bidang
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi.”

Sebagaimana diatur oleh pasal tersebut diatas proses penanganan dan penyelesaiannya perkara
tindak pidana perikanan yang oleh terdakwa Xiao Zuo Jin warganegara Cina dari Kapal MV
Fuan Yuan Yu F68 dapat dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara
melakukan koordinasi sehingga tidak menimbulkan konflik kewenangan dalam penyidikan.
Dengan demikian seluruh penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan (illegal fishing)
dapat menjamin kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku. Penegakan hukum yang
akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa negara Indonesia benar-benar sebagai Negara
Hukum (rechtstaat).

2.11 CONTOH KASUS

Sebagai contoh kasus adalah penanganan dan penyelesaian perkara illegal fishing yang
dilakukan oleh terdakwa Xiao Zuo Jin warganegara Cina dari Kapal MV Fuan Yuan Yu F68,
dimana kejahatan yang dilakukannya termasuk dalam tindak pidana illegal fishing, selanjutnya
perkara ini disidangkan pada Pengadilan Negeri Tual. Pada tahun 2006 bertempa6t di Laut
Arafura pada posisi 070 53’ 800” LS-1350 24 ‘ 457” BT atau setidak-tidaknya pada suatu tempat
dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dimana secara bersama-sama
melakukan perbuatan dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan republik Indonesia
melakukan usaha dibidang pengangkutan ikan, yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha
Perikanan) sebagaimana dimaksud pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Vous aimerez peut-être aussi