Vous êtes sur la page 1sur 91

c 

 
  

  
suwito
Sat, 25 Oct 2008 22:24:11 -0700
di copas dari
http://www.sumintar.com/sistem-informasi-manajemen-kemiskinan.html
-------

Sistem Informasi Manajemen Kemiskinan, adalah sistem informasi management


terpadu dan terpusat dengan satu acuan data yang sudah disepakati, yang bisa
diakses oleh semua orang, berbasis internet. Saat ini sudah tidak sulit
lagi, murah, mudah dan manfaatny a bisa langsung dirasakan. *Kemiskinan
selama ini masih menjadi komoditas politik, indah diucapkan perih dirasakan*
.

Belomba-lombalah dalam kebaikan, saling bahu membahu, jangan menambah


masalah baru dengan perusakan, anarki, pemaksaan kehendak dan omong an yang
bikin rakyat menjerit, hindari adu domba, jangan saling menjatuhkan untuk
kepentingan pribadi dan golongan, fokuslah ke rakyat miskin, perbanyak kerja
nyata, kurangi iklan politik dan sumbangkan langsung ke pelosok desa,
biarlah kalah pemilu asal rakyat miskin menang, rakyat miskin bisa
tersenyum.

1. Perhatikan saat ini data kemiskinan simpang siur, karena acuannya bereda,
yang ngomong juga berbeda tergantung dari sudut pandang masing masing.

2. Kemiskinan, kemelaratan, pengangguran menjadi isu yang indah didengarkan


disaat para calon pemimpin yang mengatasnamakan rakyat sedang berkampaye.

*Apa Susahnya Membuat ID Card, Smart Card Untuk Penduduk Miskin*

Bank Sudah tersebar di Seluruh Indonesia Semua Sudah Online, Untuk


menyalurkan bantuan apa s usahnya dengan ID card, semacam Debit Card, Visa
Card yang tinggal datang ke bank uang Cair. Tidak ngantri seperti selama ini
bahkan nyawa bisa melayang. Kenapa negeri ini tidak belajar dari pengalaman,
yang mahal dibayar yang murah untuk rakyat miskin ter abaikan. Lihatlah saat
ini tiap keluarga memilik HP lebih dari satu. Lihatlah saat ini Ribuan
Bahkan Jutaan BTS (*base transceiver station) *tertanam apa susahnya membuat
database berbasis rakyat miskin, Internet sudah masuk pelosok, bank sudah
masuk pelosok.

*Google Sudah Menyedikan bahkan Gratis Dan Terintegrasi


*

Dulu 15 tahun yang lalu untuk membuat peta susah sekali, butuh biaya yang
mahal dan teknologi juga mahal, Kini google sudah menyediakan semua untuk
kita yang notabene dia orang Amerika bahkan orang Yahudi. Kita tinggal pake
dengan peta itu, kita tinggal isi dengan peta kemiskinan.

*Jangan Kebanyakan Departemen, Jalan Sendiri sendiri Pemborosan*

Saat krisis finansial global yang melanda dan akan terus menghantam ekonomi
Indonesia saatnya melakukan efesiensi, pemangkasan, pemotongan, pengurangan
bukan penggelembungan. Krisis akan semakin menggila, coba saja saat ini
rupiah sudah menyentuh 10,000 / dollar. Apa masih mau hutang ke amerika
untuk mengentas kemiskinan, malah akan semakin terpuru k saja. Lakukan
penghematan, potong gaji pegawai terutama yang sudah tinggi, kurangi
departemen yang tidak efisian, penghematan anggaran, berdayakan rakyat
miskin, galakkan gerakan kembali ke desa, siapkan infrastruktur, dukung
pertumbuhan ekomi sektor rii l, bantu pupuk murah, gratiskan bibit unggul,
gerakkan UKM.

Saat ini di Indonesia banyak sekali Departemen untuk mengatasi kemiskinan.


Departemen Sosial, Menko Kesra, Depatemen Tenaga Kerja, Menteri PDT. Apa
tidak kebanyakan, jangan jangan buat proyek sen diri sendiri, dan datanya
tidak satu. Satu database Kemiskinan. Satu sistem informasi kemiskinan.
Syukur kalau sudah bisa diakses secara umum, oleh semua orang, sehingga
tidak ada lagi silang pendapat tentang angka kemiskinan dan lagi lagi
menjadi ajang sa ling menjatuhkan pada setiap kampanye,
Kebanyakan proyek malah si miskin terabaikan, Dana Trilyunan yang seharusnya
untuk membuat sistem yang bagus dan memihak pada rakyat miskin malah habis
untuk biaya proyek, biaya operasional dari banyaknya departemen yang
mengurus kemiskinan di Indonesia.

*Gunakan basisdata Kemiskinan Yang Relevan dan Selalu Di Update*

Para ahli dari perguruan tinggi, peneliti dan praktisi silahkan berembung
membuat basisdata, acuan dan indikator yang bisa diterima oleh semua pihak.
Kemudian semua departemen, Kabupaten, LSM, Partai Politik, Lembaga Sosial,
dll bisa mengacu pada satu data itu untuk mengatasi rakyat miskin.

*Belajar Pada Suksesnya SSID, VISA, Marter Card *

*Social Security* number atau SSID kalau tidak salah ketika ki ta di Amerika,
cukup satu ID bisa untuk semuanya (maaf saya belum pernah ke Amrik) Jadi
misalnya bayar Air bisa pake ID itu, bayar listrik juga pake ID yang sama,
bayar telpon, bayar pajak, juga pake ID yang sama. *Nah yang untuk rakyat
miskin dengan ID card itu maka dia bisa tarik dana tunia Lewat ATM, atau ke
bank atau ke kantor pos tanpa harus antri yang selama ini jadi tontonan yang
memilukan*. Bahkan dia bisa datang ke rumah sakit mana saja terutama yang
sudah didukung pemerintah untuk berobat. Kalau b elum bisa ya minta tolong
anaknya, apalagi anak sekarnang pinter -pintar semua, pada pake HP semua,
pada pinter kirim SMS apalagi pake ATM wah pasti jago tuh.

ID visa dan master card itu dengan sukses telah dipakai didunia, memang
banyak kelemahan tenang k artu kredit itu tapi kita dengan sengaja telah
memakai kartu itu dalam setiap transaksi online di dunia. Bahkan di
Indonesia kena penyakit Credit Card.

kenapa tiap penduduk tidak menggunakan ID yang tidak bisa digandakan.


Lengkapi dengan ID Photo digital, lengkapi dengan database sidik jari,
lengkapi dengan databse tanda tangan. Baik elektronik maupun fisik.
Adapun database yang diperlukan:
1. Data base dasar, nama, alamat, tanggal lahir, jenis kelamin.
2. Database Kemiskinan: Penghasilan, pekerjaan, stat us di keluarga, jumlah
anak, status kesehatan,
Jaminan kesehatan, jaminan bantuan dana dari pemerintah,
3. Data pendukung: Kenapa miskin, masalah selama ini, layanan pemerintah
setempat, kemajuan 1 tahun, 2 tahun dll.
4. Wah banyak sekali yang bisa ditamba hkan di database dan informasi
kemiskinan.

Jadi intinya bukan sekedar database, bukan sekedar informasi bukan sekedar
dicaatat tapi dari data itu bisa dilakukan analisa, tingkat kemajuan dan
kesuksesan setelah diberi solusi, dari data itulah kebijakan dia mbil, dari
data itulah memerintah tidak boleh salah lagi, salah sasaran, salah taraget.

*Saatnya Negeri Ini memaksimalkan fungsi Teknolgi bukan menjadi budak


Teknologi.*

Boyolali akan kembangkan sistem informasi kemiskinan


Ditulis Oleh: Ida (Solo Pos)
Bupati Boyolali, Sri Moeljanto, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) akan
mengembangkan sistem informasi kemiskinan. Hal itu disampaikan Bupati pada
acara lokakarya bertema Kelembagaan Lokal dan Pengentasan Kemiskinan yang
diadakan oleh Konsorsium Akatiga, Kompip dan Leskap di Pendapa Kabupaten
Boyolali, Selasa (4/7).
´Sistem informasi kemiskinan itu akan menjadi bagian dari program pembangunan
sistem partisipatif yang akan dilaksanakan di Boyolali. Sistem informasi ke miskinan
itu salah satunya akan dikembangkan dengan menempelkan stiker lima aspek
kemiskinan di rumah warga. Dengan stiker itu pendataan akan bisa dilakukan
dengan lebih mudah,´ ujar Bupati, sebagaimana dikutip dalam siaran pers yang
diterima Espos dari pa nitia, kemarin.
Selain itu, juga perlu adanya buku pada setiap rumah atau keluarga miskin sebagai
catatan dari setiap unsur untuk mendeteksi dari keberadaan pendidikan, keadaan
ekonomi, serta permasalahan yang ada pada setiap keluarga. Lebih lanjut Bupati
mengakui masih adanya ego sektoral dalam upaya pengentasan kemiskinan di
Boyolali. Satuan kerja (Satker) yang ada sebagian masih bekerja sendiri -sendiri.
´Karena itu, semua pihak perlu duduk bersama untuk merumuskan definisi
kemiskinan dan merencanakan upa ya pengentasannya. Sebetulnya yang
dibutuhkan adalah kesepakatan semua pihak,´ paparnya.
Sementara itu pembicara Yulia Indrawati Sari dari Akatiga menyatakan, seharusnya
anggaran publik itu pro -pengentasan kemiskinan, pro -partisipasi dan pro -
perempuan. Yulia juga mengingatkan perlunya sinergi berbagai pihak, sehingga
bisa dicapai kesepahaman dalam rencana penanggulangan kemiskinan. Senada
dengan Indrawati Sari, Direktur Kompip, Akbarudin Arif, mengemukakan perlunya
mendukung langkah Bupati dengan memperkuat basis pendataan atau sistem
informasi kemiskinan itu.
http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/lainnya/68 -boyolali


 
  

    

Ditulis Oleh khoiril anwar


Selasa, 15 Januari 2008
  - Dalam upaya peningkatan koordinasi dan sinkronisasi penanggulangan
kemiskinan serta percepatan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bantul, Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPK -D) Kabupaten Bantul
mengembangkan suatu sistem informasi pen anggulangan dan pengentasan
kemiskinan dengan meluncurkan Sistem informasi Manajemen Kemiskinan (SIM -K)
pada tanggal 30 Oktober 2007.
Sistem informasi manajemen kemiskinan yang dikembangkan dalam website
meliputi informasi tentang:
1. Data Base Keluarga Misk in Kabupaten Bantul , yang isinya berupa;
a By name dan by address keluarga miskin
a Profil keluarga miskin
a Peta kemiskinan berdasarkan indikator lokal (indikator kemiskinan di
Kabupaten Bantul telah dikembangkan sejak tahun 2004, dan
indikator kemiskinan di Kabupaten Bantul untuk updating data
keluarga miskin tahun 2007 berdasarkan keputusan Bupati Bantul
Nomor 21 A Tahun 2007)
2. Program Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bantul yang
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD)
3. Data keluarga miskin penerima manfaat program penanggulangan
kemiskinan.
http://arsip.tkpkri.org/berita/berita/sistem -informasi-manajemen-kemiskinan-tkpkd-
bantul-20080115273.html


  
  

Written by Administrator
Monday, 11 August 2008 10:10

Dr. HAMONANGAN RITONGA


      c  cc c
     
1. Pendahuluan
Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar terhadap
upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya pembang unan yang
dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perhatian pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi
setelah krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997.
Pemerintah secara tegas me netapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai
salah satu prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam Undang -Undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS. Target yang ditetapkan pada periode
tahun 2000 -2004 adalah berkurangnya persentase penduduk misk in, dari 19 %
pada tahun 1999 menjadi 14 % pada tahun 2004. Keseriusan pemerintah ini juga
terlihat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 124
Tahun 2001 pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Tidak lama
setelah itu, pada tahun 2002 KPK juga telah menerbitkan Dokumen Interim Strategi
Penanggulangan Kemiskinan .
Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan
adalah tersedianya data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran.
Ketersediaan data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat
diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian
tujuan/sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan pada
tingkat nasional, tingkat daerah (khu susnya daerah kabupaten/kota), maupun
tingkat wilayah kecil komunitas. Oleh karena itu kegiatan pemantauan kemiskinan
secara berkelanjutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi
penanggulangan kemiskinan, baik untuk nasional maupun untuk dae rah.
Menurut jenisnya, data kemiskinan biasanya dikategorikan dalam dua jenis, yaitu
data makro dan data mikro. Data makro kemiskinan pada dasarnya adalah angka
estimasi penduduk miskin untuk tingkat nasional maupun daerah (sampai pada
tingkat kabupaten/ko ta). Data makro kemiskinan ini biasanya digunakan untuk
alokasi angaran pengentasan kemiskinan menurut daerah dan untuk perbandingan
antar daerah. Namun demikian data makro kemiskinan ini tidak dapat digunakan
untuk taget sasaran rumahtangga/keluarga miski n. Untuk target sasaran
rumahtangga/keluarga miskin, diperlukan data mikro yang dikumpulkan secara
lengkap dari lapangan.
Selama lima tahu terakhir ini, metode pemantauan kemiskinan di Indonesia telah
berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut terutam a terjadi pada metode
pengukuran yang disesuaikan dengan kepentingan pembangunan di daerah.
Sebagaimana diketahui ukuran -ukuran kemiskinan yang ada di Indonesia sekarang
ini diperlukan untuk beberapa kepentingan, antara lain untuk perbandingan antar
negara, perbandingan antar daerah, dan kepentingan pembangunan di daerah
khususnya kabupaten/kota.
Pemantauan kemiskinan di Indonesia pertama kali dilakukan Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 1984 berdasarkan pendekatan pengeluaran/konsumsi untuk
kebutuhan dasar (basic needs approach). Sampai dengan tahun 1996, data yang
digunakan dalam penghitungan penduduk miskin adalah data modul konsumsi hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan penghitungannya hanya dilakukan
sampai tingkat nasional dan propins i. Selanjutnya sejak tahun 1999, yaitu setelah
berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
maka disamping penghitungan penduduk miskin untuk tingkat nasional dan propinsi,
BPS juga telah melakukan penghitungan penduduk miskin untuk tingkat
kabupaten/kota dengan menggunakan data kor (pengeluaran rumahtangga per
kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil penghitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin kabupaten/kota berikut Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari
data kor Susenas telah dipergunakan dalam penghitungan DAU sejak tahun
anggaran 2002. Hasil penghitungan yang sama berdasarkan data kor Susenas
tahun 2003 juga akan dipergunakan dalam penghitungan DAU tahun anggaran
2004.
Perlu diketahui bahwa pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs
yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui modul konsumsi Susenas pada
dasarnya hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin
aggregat pada tingkat nasional dan propinsi. Walaupun telah dilakukan
penghitungan penduduk miskin kabupaten/kota melalui data kor Susenas, tetapi
penghitungannya masih dalam konstruksi garis kemiskinan yang dikaitkan dengan
pola konsumsi penduduk miskin propinsi. Permasalahan lain dari pengukuran
kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini ada lah bahwa pengukuran tersebut
adalah pengukuran makro (data makro), yaitu ukuran berdasarkan sampel
rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk
keperluan alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak dapat digunakan
untuk mengidentifikasi rumahtangga/penduduk miskin di lapangan. Bertitik tolak dari
permasalahan ini, maka pada tahun 1999 BKKBN melakukan pendataan keluarga
secara lengkap dengan menggunakan konsep kesejahteraan keluarga.
Pendekatan BKKBN dalam pengukuran k emiskinan didasarkan pada kriteria
keluarga yang dibuat dalam 5 (lima) tahapan, yaitu ³keluarga prasejahtera´, ³
keluarga sejahtera tahap I´, ³keluarga sejahtera tahap II´, ³keluarga sejahtera tahap
III´, dan ³keluarga sejahtera tahap III plus´. Keluarga m iskin adalah ³keluarga
prasejahtera´ dan ³keluarga sejahtera tahap I´. Keluarga sejahtera tahap I adalah
keluarga yang memenuhi lima indikator berikut: 1)anggota keluarga melaksanakan
ibadah sesuai agama yang dianut masing -masing; 2) seluruh anggota keluar ga
pada umumnya makan dua kali sehari atau lebih; 3) seluruh anggota keluarga
mempunyai pakaian yang berbeda dirumah, sekolah, bekerja, dan bepergian; 4)
bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan; dan 5) bila anak sakit atau
pasangan usia subu r (PUS) ingin mengikuti keluarga berencana (KB) pergi ke
sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.³Keluarga prasejahtera´
adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu kriteria tersebut.
Pendekatan BKKBN ini selanjutnya oleh banyak pihak juga dianggap masih kurang
realistik, karena konsep ³keluarga prasejahtera´ dan ³keluarga sejahtera tahap I´
tersebut sifatnya normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti
(nuclear family. Disamping itu, kelima indikator tersebut masih be rsifat sentralistik
dan seragam, yang belum tentu relevan untuk keadaan dan budaya lokal (lihat
Ritonga dan Betke, 2002; Irawan dkk, 2000). Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, pada tahun 2000 BPS juga telah melakukan studi penentuan kriteria
penduduk miskin yang bertujuan untuk mencari karakteristik -karakteristik
rumahtangga yang dapat dipakai untuk merumuskan suatu kriteria yang dapat
dipergunakan dalam mengidentifikasi penduduk/rumahtangga miskin. Dengan
menanyakan sejumlah pertanyaan sederhana kepada setiap
penduduk/rumahtangga yang ada di suatu wilayah, maka akan dapat diidentifikasi
rumahtangga-rumahtangga yang terkategori miskin. Karakteristik -karakteristik
rumahtangga miskin tersebut tidak saja dapat dikumpulkan melalui survei tetapi juga
melalui pendataan rumahtangga secara lengkap. Berdasarkan studi tersebut
diperoleh delapan variabel yang layak dan operasional untuk penentuan
rumahtangga miskin di lapangan (BPS, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil
atau lebih besar dari 8m2), jenis la ntai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air
bersih (tidak terlindung atau terlindung), keberadaan jamban (tidak ada atau ada),
kepemilikan asset (tidak punya atau punya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak
bervariasi dan bervariasi), pembelian pakaian ( tidak pernah membeli minimal satu
stel pakaian dalam setahun atau pernah), kehadiran dalam kegiatan sosial (tidak
pernah hadir atau pernah). Kedelapan variabel tersebut telah mencakup aspek
sosial dan ekonomi penduduk/rumahtangga diantaranya aspek sandang, pangan,
perumahan, kepemilikan asset dan aktivitas sosial. Pada tahun 2002, kedelapan
variabel-variabel tersebut telah ditambahkan pada Susenas Kor, dimana variabel -
variabel yang mengacu pada sifat -sifat yang mencirikan kemiskinan diberi skor 1
dan variabel-variabel yang mengacu kepada sifat -sifat yang mencirikan
ketidakmiskinan diberi skor 0. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa
skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang
mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategor ikan miskin. Sama halnya dengan
pendekatan BKKBN, metode ini juga menunjukan hasil yang kurang realistic karena
kedelapan karaktersistik tersebut tidak menggambarkan kondisi dan budaya lokal
yang berbeda antar daerah. Untuk daerah -daerah yang sudah tergolo ng
masyarakat industrial/perkotaan, seperti DKI Jakarta, ukuran tersebut mungkin
masih relevan tetapi untuk daerah -daerah pedesaan dan daerah -daerah yang masih
mengikuti pola-pola tradisional ukuran -ukuran tersebut bisa kurang relevan.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, beberapa daerah telah mengembangkan
sendiri kriteria rumahtangga miskin untuk keperluan target program, misalnya
Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi DKI Jakarta, dan Propinsi Jawa Timur. Ketiga
propinsi ini mela kukan pendataan rumahtangga miskin secara lengkap, dengan
mnggunakan karakteristik yang dirancang sendiri di daerah. Namun demikian,
kriteria-kriteria tersebut tampaknya juga masih seragam dan sentralistik (pada
tingkat propinsi), tidak dikembangkan berdas arkan kondisi akar rumput, dan belum
tentu mewakili keutuhan sistem sosial, malahan bisa saja mencerminkan ideologi
golongan elit.
Seperti kita ketahui bersama, sejak dikeluarkannya Undang -Undang Otonomi
Daerah No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daera h, perencanaan dan
evaluasi pembangunan tidak lagi dilakukan secara sentralistik, tetapi oleh
pemerintah daerah khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Sekarang ini, banyak
permintaan data untuk kebijakan dan program pembangunan di tingkat
kabupaten/kota. D alam kaitan ini, BPS perlu mempersiapkan diri dengan suatu
paradigma baru, yaitu penyiapan data statistik yang disamping memenuhi
kebutuhan sistem statistik nasional juga dapat memenuhi kebutuhan sistem statistik
daerah, khususnya daerah kabupaten/kota.
Berkaitan dengan perubahan yang cepat sehubungan dengan peningkatan otonomi
daerah, BPS menyadari bahwa kebutuhan sistim pengumpulan data yang didesain,
diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu
dipertahankan, tetapi juga perl u dikembangkan kebutuhan kabupaten/kota terhadap
mekanisme pengumpulan data yang berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat
dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan
ekonomi dan pergerakan sosial budaya diantara komunitas pede saan dan kota,
serta kompromi ekologi yang meningkat.. Oleh karena itu, sejak pertengahan tahun
2002, BPS bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Sumba Timur, German
Technical Agency (GTZ), dan UNICEF telah mengembangkan sistim pemantauan
kemiskinan yang spesifik-lokal. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
sistemik, yaitu pendekatan yang memperhatikan keterkaitan antara kemiskinan dan
kelembagaan/organisasi sosial setempat. Hasil akhir dari studi ini diharapkan dapat
diselesaikan awal tahun 2003 dan dapat dipakai sebagai pedoman untuk daerah
lain dalam pengembangan statistik kemiskinan yang spesifik -lokal. Hasil dari studi
ini untuk proses awal dapat dilihat dalam makalah Ritonga dan Betke (2002).
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa pemantauan kemi skinan di Indonesia
sekarang ini cukup beragam dan hal tersebut dapat menjadi bahan perdebatan
diantara berbagai pihak karena adanya perbedaan konsep kemiskinan dan
kegunaan pengukuran kemiskinan tersebut bagi penyelenggaraan pembangunan
baik nasional maup un regional, khususnya pemerintahan kabupaten/kota. Oleh
karena itu melaalui kesempatan konsultasi regional ini perlu disosialisasikan
metode-metode pengukuran yang ada dan berkembang saat ini untuk menambah
pengetahuan dan pertimbangan dalam kegiatan kerj anya di daerah, khususnya
dalam program pembangunan yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di
daerah.
2. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan utama dari makalah ini adalah untuk menjelaskan metode -metode
pengukuran yang berkembang di Indonesia, yaitu: 1) pendekatan garis kemiskinan
pendapatan, 2) pendekatan garis kemiskinan konsumsi/pengeluaran atau
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs aproach), 3) pendekatan karakteristik
penduduk atau rumahtangga/keluarga miskin, dan 4) pendekatan sistemik yang
spesifik-lokal dan sayang budaya. Secara khusus makalah ini mengkaji
keterbatasan atau kelebihan pengukuran kemiskinan tersebut untuk program
penangulangan kemiskinan baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat
kabupaen/kota.

2. Metode Pengukuran Kemiskina n di Indonesia


2.1 Konsep Kemiskinan
Seperti diketahui, pengertian kemiskinan sering menjadi topik perdebatan diantara
berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional. Pemerintah
pusat, pemerintah daerah, para donor, dan peneliti lokal sering sekali mempunyai
perspektif dan pengertian yang berbeda tentang kriteria kemiskinan. Kendati
demikian, pada umumnya sepakat terhadap keterbatasan dari pendekatan
pengukuran yang ada sekarang ini, yaitu penghitungan jumlah penduduk miskin
oleh BPS dan sistem pendataan keluarga miskin oleh BKKBN pada dasarnya
dirancang, dianalisa dan digunakan secara sentralistik. Sampai saat ini pendekatan
pemantauan kemiskinan yang mengkaitkan kemiskinan dengan organisasi sosial
setempat masih kurang diperhatikan. S ecara umum metode pengukuran kemiskinan
dikaitkan dengan tiga pendekatan, yaitu berdasarkan: 1) garis kemiskinan
pendapatan (income -based poverty line), 2) garis kemiskinan konsumsi
(consumption-based poverty line), dan 3) karakteristik penduduk atau rumah tangga
miskin. Ketiga pendekatan tersebut dapat dijelaskan seperti berikut.
2.2. Pendekatan Garis Kemiskinan Pendapatan
Pendekatan ini menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan dengan garis
kemiskinan berdasarkan pada pendapatan (income based poverty l ine). Mereka
yang dinyatakan berada dalam kemiskinan adalah individu, rumahtangga,
masyarakat atau kelompok sosial yang memperoleh pendapatan standar minimal.
Salah satu contoh penggunaan konsep ini adalah penetapan batas $1 per kapita
per hari sebagai ind ikator kemiskinan dalam Goal 1: Millenium Development Goal
(United Nations, 2000).
Kelemahan Pendekatan Garis Kemiskinan Pendapatan
Pendekatan ini mengandung beberapa kelemahan,seperti: 1) pendekatan ini
menyamaratakan daya beli masyarakat untuk setiap wi layah, padahal tingkat harga
barang dan jasa antar negara dan antar daerah cukup berbeda, terutama antara
daerah pedesaan dan perkotaan dan antara daerah terpencil dan tidak terpencil; 2)
pendapatan disini mengandung konsep statis, dimana orang yang berpen dapatan
dibawah $1 dikategorikan miskin, padahal orang tersebut bisa saja mengkonsumsi
lebih dari $1 per hari melalui kredit atau pinjaman yang akan dilunasi dimasa yang
akan datang, 3) pendapatan biasanya cenderung dilaporkan lebih rendah dalam
survei, karena lupa, enggan, dan sulit diamati (terutama usaha pertanian).
2.3. Pendekatan Garis Kemiskinan Pengeluaran/Konsumsi
Pendekatan ini adalah pendekatan yang selama ini digunakan oleh Badan Pusat
Statistik dalam menghitung penduduk miskin di Indonesia. Pe ndekatan ini
menggunakan konsep kemiskinan yang dikaitkan kebutuhan hidup minimal yang
layak (basic needs) untuk seseorang/rumahtangga. Kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang
bersifat mendasar unt uk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan
kebutuhan dasar lainnya.
Berdasarkan pendekatan basic needs, maka dapat dihitung ³garis kemiskinan
konsumsi´ dan selanjutnya dapat dihitung persentase penduduk miskin (Head Count
Index), yaitu persenta se penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi dihitung berdasarkan rata -rata pengeluaran
makanan dan bukan makanan per kapita pada kelompok penduduk referensi, yaitu
penduduk kelas marjinal yang hidupnya berada sediki t diatas garis kemiskinan
konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi terdiri dari garis kemiskinan makanan (batas
kecukupan konsumsi makanan) dan garis kemiskinan non -makanan (batas
kecukupan konsumsi non-makanan).
Batas kecukupan konsumsi makanan dihitung dari b esarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum enerji 2100 kalori
per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Wydia Pangan dan Gizi (1978).
Sejak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori didasarkan pada 52 komoditi
makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi, hasil Survei Paket
Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 1993 dan 1996. Paket komoditi
makanan setelah 1996 dievaluais perkembangannya untuk tahun -tahun setelah
1996.
Batas kecukupan konsumsi non-makanan dihitung dari besarnya rupiahyang
dikeluarkan untuk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum non -makanan,
seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendididkan, transportasi, dan kebutuhan
dasar non-makanan lainnya. Pemilihan jenis konsumsi non -makanan mengalami
perkembangan dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode sebelum tahun
1993, jumlah jenis konsumsi non -makanan terpilih terdiri dari 14 jenis untuk
perkotaan dan 12 jenis untuk pedesaan; sedangkan pada periode sejak tahun 1996
(Hasil SPKKD, 1996), jumlah jenis konsumsi non -makanan terpilih terdiri dari 51
jenis untuk perkotaan dan 47 jenis untuk perdesaan.
Secara rinci, prosedur estimasi penduduk miskin untuk tingkat propinsi dan nasional
dapat dilihat pada publikasi ³ Pengukuran Tingk at Kemiskinan di Indonesia 1976 -
1999: Metode BPS´. Hasil penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin
per propinsi dan nasional dari tahun 1999 -2002 dapat dilihat pada publikasi ³Data
dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002, Buku 1: Propinsi (BPS, 2002a) .
Sejak tahun 2002, yaitu setelah berlakunya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, maka disamping penghitungan penduduk miskin
untuk tingkat nasional dan propinsi, BPS juga telah melakukan penghitungan
penduduk miskin untuk tingka t kabupaten/kota dengan menggunakan data kor
(pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi) hasil Susenas. Hasil
penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin kabupaten/kota berikut
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari data kor Susenas telah dipergu nakan
dalam penghitungan DAU sejak tahun anggaran 2002. Metode dan hasil
penghitungan penduduk miskin tingkat kabupaten/kota dapat dilihat pada publikasi
³Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 2: Kbupaten/Kota (BPS, 2002b) .
Pengukuran Indeks Kedalaman dan K eparahan Kemiskinan

Indeks Kedalaman Kemiskinan/Poverty Gap Index (P1)


Indeks Kedalaman Kemiskinan/ Poverty Gaps Index (P1) adalah ukuran rata -rata
kesenjangan pengeluaran masing -masing penduduk miskin terhadap batas miskin.
Semakin tinggi nilai indeks se makin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran
penduduk miskin terhadap kemiskinan. Dengan demikian indeks ini merupakan
indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan Melalui indeks kedalaman
kemiskinan juga akan dapat diperkirakan besarnya dana yang dip erlukan untuk
pengentasan kemiskinan. Ukuran ini masih belum realistis karena belum
mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Sungguhpun
demikian, ukuran tersebut memberikan informasi yang berguna mengenai skala
minimum dari sumber keuangan yang diperlukan untuk menangani masalah
kemiskinan. Sebagai ukuran pengentasan kemiskinan, indeks ini cukup memadai
karena transfer dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang sempurna.
Namun indeks ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan ketimpangan
pengeluaran di antara penduduk miskin.
Indeks Keparahan Kemiskinan/ Poverty Severity Index (P2)
Untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin
digunakan ukuran Poverty Severity Index (P2). Indeks ini secara sederhan a
merupakan jumlah dari poverty gap tertimbang di mana penimbangnya sebanding
dengan poverty gap itu sendiri. Dalam penghitungannya, =2. Dengan indeks ini
dapat diperoleh melalui rumus FGT dengan nilai mengkuadratkan poverty gap,
indeks ini secara implisi t memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi
yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti
semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Keterbatasan Pendekatan Garis Kemiskinan Pengeluaran/Kon sumsi
Perlu diketahui bahwa pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang
telah mengikuti ketentuan -ketentuan pengukuran kemiskinan yang dilakukan secara
luas di negara lain, tetapi hanya berdasarkan pendekatan ekonomi, yaitu konsep
daya beli melalui p engeluaran/konsumsi rumahtangga dalam rupiah, yang tidak
sepenuhnya demikian untuk daerah kabupaten. Disamping itu, penghitungan
kemiskinan yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui Susenas modul konsumsi,
hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah pen duduk miskin aggregat pada
tingkat nasional dan propinsi. Walaupun BPS, dengan menggunakan data kor
Susenas (berdasarkan data pengeluaran rumahtangga per kelompok konsumsi)
telah melakukan penghitungan penduduk miskin untuk kabupaten/kota, tetapi
penghitungan tersebut masih dalam konstruksi garis kemiskinan yang dikaitkan
dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi yang didasarkan pada subsample
Susenas yang lebih kecil (modul konsumsi) yang hanya mewakili tingkat propinsi.
Budaya lokal dan faktor -faktor non-ekonomi lainnya hanya secara tidak langsung
dalam pendekatan ini melalui preferensi konsumsi yang diaggregasi untuk tingkat
propinsi. Faktor komposisi rumahtangga hanya disesuaikan menurut jumlah
anggota rumahtangga, padahal anggota rumahtangga dari ma sing-masing
rumahtangga terpilih biasanya berbeda menurut umur, jenis kelamin, dan jenis
pekerjaan.
Permasalahan lain dari pengukuran kemiskinan dengan pendekatan basic needs ini
adalah bahwa pengukuran tersebut adalah pengukuran makro, yaitu ukuran
estimasi berdasarkan sampel rumahtanga. Pengukuran tersebut pada dasarnya
bisa digunakan untuk alokasi anggaran pengentasan kemiskinan tetapi tidak bisa
digunakan secara operasional untuk mengidentifikasi rumahtangga penduduk
miskin di lapangan. Disamping itu, asumsi rumahtangga pada Susenas juga
mengikuti model rumahtangga/keluarga inti (nuclear family) sebagai pengambil
keputusan dalam transaksi ekonomi. (sama seperti konsep keluarga sejahtera
BKKBN). Kedua hal ini belum tentu sesuai di daerah lain, karena tid ak sensitif
dengan transfer dalam bentuk benda diluar pasar formal, pertukaran -pertukaran
diantara individu yang saling tergantung, keluarga inti dan keluarga yang lebih luas,
hubungan keluarga secara individu dan kelompok keluarga yang cukup banyak.

2.4. Pendekatan Karakteristik Rumah Tangga/Keluarga


2.4.1. Pendataan Keluarga Pra -Sejahtera dan Sejahtera I
Pendekatan BKKBN dalam pengukuran kemiskinan didasarkan pada kriteria
keluarga yang dibuat dalam 5 (lima) tahapan, yaitu ³keluarga prasejahtera´, ³
keluarga sejahtera tahap I´, ³keluarga sejahtera tahap II´, ³keluarga sejahtera tahap
III´, dan ³keluarga sejahtera tahap III plus´. Keluarga miskin adalah keluarga -
keluarga yang pada pendataan keluarga secara lengkap (sensus) adalah ³keluarga
prasejahtera´ dan ³keluarga sejahtera tahap I´. Keluarga sejahtera tahap I adalah
keluarga yang memenuhi lima indikator berikut:
a. anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing -
masing;
b. seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari atau lebih;
c. seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda dirumah, sekolah,
bekerja, dan bepergian;
d. bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan
e. bila anak sakit atau pasangan usia subur (PUS) ingin mengikuti keluarga
berencana (KB) pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern.
³Keluarga prasejahtera´ adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu kriteria
tersebut.
Konsep ³keluarga prasejahtera´ dan ³keluarga sejahtera tahap I´ tersebut sifatnya
normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti (nuclear family).
Oleh karena ukuran kemiskinan oleh BKKBN tidak begitu akurat untuk konteks
daerah yang masih menganut sistim kekerabatan keluarga..
Indikator-indikator BKKBN yang mengobservasi ka rakteristik sosial ekonomi, seperti
frekwensi makan anggota keluarga dalam sehari, pemilikan pakaian yang berbeda -
beda tersedia untuk individu dalam setiap kegiatan yang berbeda (dirumah, bekerja,
sekolah, dan bepergian), kondisi lantai rumah (tanah, kayu, semen), perilaku
keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan bahkan perilaku anggota
keluarga melaksanakan aktifitas keagamaan sebagai pre -kondisi dari keinginan
untuk memberikan harta seseorang untuk yang memerlukan semuanya didasarkan
norma keluarga kecil (nuclear family) dan sejahtera tanpa memperhatikan tekanan
untuk saling membantu diantara jaringan keturunan dan tetangga.
Jumlah keluarga Pra KS dan KS -1 tahun 1999 menurut propinsi dan
perbandingannya dengan jumlah rumahtangga miskin berdasa rkan garis
kemiskinan konsumsi dari hasil Susenas1999 disajikan pada Lampiran 2: Dari
Lampiran 2 tersebut terlihat bahwa hasil penghitungan BKKBN jauh lebih besar
daripada hasil perhitungan BPS.
2.4.2. Pendataan Karakteristik Rumahtangga Miskin Hasil Susen as
Pada tahun 2000 BPS juga telah melakukan studi penentuan kriteria penduduk
miskin di beberapa propinsi, yang bertujuan untuk mencari variabel -variabel yang
dapat dipakai untuk merumuskan suatu kriteria yang dapat dipergunakan dalam
mengidentifikasi pend uduk/rumahtangga miskin. Dengan menggunakan kriteria
tersebut, maka akan dapat diidentifikasi rumahtangga -rumahtangga yang
terkategori miskin.
Berdasarkan studi tersebut diperoleh delapan variabel yang layak dan operasional
untuk diterapkan di lapangan (BP S, 2000), yaitu: luas lantai perkapita (lebih kecil
atau lebih besar dari 8m2), jenis lantai (tanah atau bukan tanah), ketersediaan air
bersih (tidak terlindung atau terlindung), keberadaan jamban tidak ada atau ada,
kepemilikan asset (tidak punya atau pun ya), variasi konsumsi lauk pauk (tidak
bervariasi dan bervariasi), pembelian pakaian (minimal membeli satu stel pakaian
atau tidak), kehadiran dalam kegiatan sosial (ya atau tidak. Kedelapan variabel
tersebut telah mencakup aspek sosial dan ekonomi pendudu k/rumahtangga
diantaranya aspek sandang, pangan, perumahan, kepemilikan asset dan aktivitas
sosial. Pada tahun 2002, kedelapan variabel -variabel tersebut telah ditambahkan
pada Susenas Kor, dimana variabel -variabel yang mengacu pada sifat -sifat yang
mencirikan kemiskinan dan yang mengacu kepada sifat -sifat yang mencirikan
ketidakmiskinan dimana skor 1 dan skor 0. Dengan demikian akan diperoleh skor
maksimum 8 untuk yang paling miskin dan skor minimum yaitu 0 untuk yang paling
tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun 2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk
rumahtangga miskin adalah 5, artinya rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau
lebih akan dikategorikan miskin.
Dengan demikian akan diperoleh skor maksimum 8 untuk yang paling miskin dan
skor minimum yaitu 0 untuk yang paling tidak miskin. Berdasarkan hasil studi tahun
2000 ditetapkan bahwa skor batas untuk rumahtangga miskin adalah 5, artinya
rumahtangga yang mempunyai skor 5 atau lebih akan dikategorikan miskin.
Perbandingan Rumahtangga/Penduduk Miskin has il Pendekatan Delapan
Karakteristik Rumahtangga Miskin dan Pendekatan Konsumsi pada tahun 2002
dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari hasil tersebut tampak bahwa kriteria delapan
variabel tersebut tidak bisa diterapkan untuk semua daerah, karena hasilnya sang at
berbeda dengan pendekatan garis kemiskinan konsumsi. Dengan menggunakan
skor 5 atau lebih sebagai ukuran rumahtangga miskin, terlihat bahwa ukuran
tersebut hanya cocok untuk Prop. DKI Jakarta. Ini mengindikasikan bahwa
pengukuran kemiskinan berdasarkan karakteristik rumahtangga miskin seharusnya
tidak dilakukan secara seragam dan sentralistik, tetapi harus spesifik lokal dan
dirancang oleh daerah dengan memperhatikan dinamika sosial setempat.
2.4.3 Sensus Rumahtangga Miskin
Dalam rangka memenuhi permint aan pemerintah daerah akan data penduduk
miskin untuk target program, propinsi -propinsi seperti Kalimantan Selatan, DKI
Jakarta, dan Jawa Timur telah melakukan pendataan rumahtangga miskin secara
lengkap, dengan menggunakan karakteristik yang dirancang sen diri di daerah.
Penentuan karakteristik rumahtangga miskin untuk ketiga propinsi tersebut
dijelaskan dibawah ini.
a. Propinsi Kalimantan Selatan
Sensus kemiskinan di propinsi Kalimantan Selatan dilakukan pada tahiun 1999.
Hasil pendataan tersebut dimaksudk an untuk penentuan rumahtangga -
rumahtangga yang layak mendapat dapat sembilan bahan pokok (Sembako).
Penentuan rumahtangga miskin didasarkan pada hasil scoring dari beberapa
variabel yang diolah dari hasil pendataan rumahtangga. Secara garis besar variabel
dimaksud adalah: 1) kelompok pendapatan perkapita, 2) pola makanan, 3) pakaian,
4) Perumahan : 5) Luas lantai, 6) jenis lantai, 7) jenis atap, 8) jamban, dan 9)
fasilitas TV. Penentuan nilai skor untuk masing -masing variabel dibedakan untuk
daerah pedesaa n dan perkotaan. Dasar penentuan nilai skor diperoleh dari
beberapa kali uji coba.
b. Propinsi Jawa Timur.
Sensus kemiskinan di propinsi Jawa Timur dilakukan pada tahun 2001. Penentuan
skor untuk mengukur Indeks Rumahtangga Miskin (IRM) dilakukan dengan m etode
skor tertimbang (weighted scoring method) dari setiap kategorinya. Dengan
menggunakan 11 variabel (dibagi kedalam 3 kategori), setiap variabel diberi skor 1
untuk yang cenderung tidak miskin, skor 2 untuk yang miskin, dan skor 3 untuk yang
sangat miskin.Varianel -variabel tersebut adalah: 1) jumlah pakaian yang dibeli, 2)
fasilitas air bersih, 3) persentase pengeluaran rumahtangga untuk makanan, 4)
kepemilikan rumah, 5) jenis dinding, 6) jenis lantai, 7) sarana buang air besar, 8)
sumber penerangan rum ah, 9) partisipasi sekolah, 10) sumber keuangan
rumahtangga, dan 11) pelayanan kesehatan.
Metode skoring ini memberikan interval nilai 1 -3 yang dusebut sebagai Indeks
Tingkat Kemiskinan yang artinya bahwa semakin tinggi nilai indeksnya semakin
miskin kondisi rumahtangga bersangkutan. Orang yang tidak miskin mempunyai
nilai indeks kecil atau mendekati 1 (satu).
c. Propinsi DKI Jakarta
Sensus kemiskinan di provinsi DKI Jakarta dilakukan pada tahun 2000. Penentuan
suatu rumahtangga dikategorikan sebagai rumah tangga miskin yaitu apabila
memiliki minimal 3 ciri/variabel dari 7 variabel kemiskinan rumahtangga yaitu : 1)
luas lantai hunian kurang dari 8m2 per anggota rumahtangga, 2) jenis lantai hunian
sebagian besar tanah atau lainnya, 3) fasilitas air bersih tid ak ada, 4) fasilitas
jamban/WC tidak ada dan atau WC umum, 5) kepemilikan aset (kursi tamu) tidak
ada, 6) konsumsi lauk -pauk dalam seminggu tidak bervariasi, 7) kemampuan
membeli pakaian minimal 1 stel dalam setahun untuk setiap anggota rumahtangga:
tidak ada.
d. Keterbatasan Sensus Rumahtangga Miskin
Usaha untuk mengidentifikasi rumahtangga di tiga propinsi tersebut diatas
merupakan usaha yang baik dalam memenuhi permintaan pemerintah daerah untuk
target program pengentasan kemiskinan.Namun demikian, pende katan yang
digunakan belum sistemik (tidak mengkaitkan kemiskinan dengan organisasi sosial
setempat), masih bersifat sentralistik (pada tingkat propinsi, dan menggnakan
variabel-variabel yang seragam untuk semua kabupaten/kota.
3. Perkembangan Pengukuran K emiskinan
Sehubungan dengan diperlukanya basis data kemiskinan untuk program
penanggulangan kemiskinan pada tingkat kabupaten, dalam dua tahun terakhir ini
telah terjadi perkembangan pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada
pendekatan dari bawah (akar ru mput) pada tingkat kabupaten. Dua pengembangan
pengukuran yang sedang berjalan sekarang ini adalah studi identifikasi indikator
poksi kemiskinan berbasis lokal oleh Bappenas dan Yayayan Insan Harapan
Sejahtera (IHS) dan Studi Pengukuran Kemiskinan yang Spe sifik-Lokal dan Sayang
Budaya oleh BPS, Pemda Sumba Timur, GTZ, dan Unicef. Berikut diuraikan kajian
terhadap kedua studi tersebut.
3.1. Pengukuran Kemiskinan Berbasis Lokal (Bappenas dan IHS)
Pada tahun 2002, Bappenas bekerjasama dengan HIS telah melakuka n studi
pengukuran kemiskinan berbasis lokal di 10 (sepuluh) kabupaten di Indonesia (IHS,
2003). Studi ini dimaksudkan untuk pengembangan basis data kemiskinan yang
diperlukan untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan di tingkat
kabupaten/kota. Pen gumpulan data dilakukan secara kualitatif melalui wawancara
mendalam, diskusi kelompok terfokus, dan pengamatan. Responden adalah orang
lokal, miskin dan tidak miskin. Data yang dikumpulkan mencakup pendapat akar
rumput tentang: arti kemiskinan, masalah ut ama yang dihadapi oleh orang miskin,
penyebab kemiskinan, strategi orang miskin untuk bertahan hidup, kemungkinan
keluar dari lingkaran setan kemiskinan, dan jenis bantuan pemerintah untuk orang
miskin.
Hasil studi ini mengindikasikan bahwa orang miskin a dalah mereka yang
mempunyai pilihan terbatas untuk makan, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi di
kegiatan sosial. Untuk makan, orang miskin terpaksa mengkonsumsi bukan nasi
atau nasi dicampur karbohidrat lain; lauk pauk tidak bervariasi, dan frekuensi m akan
dibatasi. Untuk kesehatan, orang miskin mempunyai pilihan berobat dan pilihan
fasilitas kesehatan modern terbatas. Untuk pendidikan, orang miskin mempunyai
pilihan terbatas untuk melanjutkan, pilihan terbatas untuk fasilitas pendidikan, dan
pemakaian buku tulis dan teks yang terbatas. Terakhir, untuk partisipasi di kegiatan
sosial, orang miskin terpaksa tidak ikut kegiatan kelompok sosial dan tidak
mempunyai waktu untuk ngobrol di warung. Studi ini juga menemikan bahwa
penyebab kemiskinan adalah terbat asnya modal manusia, asset dan uang,
lingkungan fisik, lapangan kerja, serta adanya streotipe orang miskin menurut orang
tidak miskin dan miskin.
Menurut Ritonga dan Betke (2003) pengukuran kemiskinan dengan metode ini
masih mengandung kelemahan antara lai n:
a. Pendekatan studi ini masih parsial dan subjektif karena kurang memperhatikan
sejarah lokal secara eksplisit dan hanya berdasarkan pendapat penduduk atau
warga akar rumput (pendekatan partisipatori) yang tidak mungkin mewakili keutuhan
sistem lokal; malahan bisa mencerminkan ideology dari golongan elit saja.
b. Unit observasi/analisis adalah rumahtangga yang dilihat sebagai satuan sosial -
ekonomi yang otonom, dengan melihat rumahtangga sebagai satuan konsumsi saja.
c. Satuan sosial -ekonomi (rumahtangga) dianggap seragam antar daerah, sehingga
kurang mencerminkan dinamika sosial setempat yang nyata.
d. Kurang memperhatikan kemiskinan anak, perempuan, dan lanjut usia bila
berfokus pada rumahtangga sebagai satuan terkecil.
e. Penentuan indikator berdasarkan proses seragam di sepuluh kabupaten yang
dikaji secara cepat tanpa studi persiapan/literatur tentang organisasi sosial
setempat.
f. Unit pengukuran sebagai ³wadah indikator´ tidak disesuaikan dengan situasi
setempat yang nyata.
g. Proses penentuan indikat or berdasarkan asumsi bahwa faktor kemiskinan di
seluruh kabupuaten adalah seragam dan tidak memungkinkan variasi indikator
antar daerah karena ³mengganggu´ keseragaman sistem nasional.
h. Penentuan indikator tidak dilakukan melalui forum komunikasi dengan utusan
daerah (masih bersifat ³top -down dan ³non -partisipatory´ dalam arti kerjasama).
i. Memprioritaskan kelengkapan Sistim Statistik Nasional.
Bertitik tolak dari kelemahan tersebut, pengukuran kemiskinan berbasis lokal ini
diduga masih kurang bermanfaa t untuk kebijakan lokal.
3.2. Pengukuran Kemiskinan yang Spesifik -Lokal (BPS)
Seiring dengan meningkatnya permintaan statistik kemiskinan yang bermanfaat
lokal, sejak tahun 2002 BPS Pusat telah melakukan suatu studi mendalam tentang
Pemantauan Kemiskinan yang Spesifik -lokal di Kabupaten Sumba Timur, yang
didanai secara bersama oleh BPS Pusat, German Technical Agency (GTZ),
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, dan UNICEF. Studi ini merupakan
³Laboratorium Statistik´ yang dilakukan secara cermat dan hati -hati untuk
menghasilkan pengukuran kemiskinan yang ³bermanfaat lokal´. Dalam
pelaksanaannya, studi ini dilakukan oleh tiga direktorat di BPS, yaitu Direktorat
Analisis Statistik, Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, dan Direktorat Statistik
Kesejahteraan Rakyat. Studi mendalam ini , yang nantinya akan direplikasikan
untuk beberapa kabupaten lain menurut tifologi daerah (berdasarkan kelompok
daerah yang relatif mempunyai kesamaan wilayah geografis dan budaya) Hasil dari
studi-studi ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi BPS daerah dan pemerintah
daerah dalam mengembangkan penguku ran kemiskinan yang ³bermanfaat lokal´.
Pada awalnya, Laboratorium Pemantauan Kemiskinan yang Spesfik -Lokal dan
Sayang Budaya di Kabupaten Sumba Timur dilaksanakan atas permintaan
Pemerintah Daerah Sumba Timur kepada BPS Pusat dan GTZ -Nusa Tenggara
untuk mengembangkan sistim pemantauan kemiskina n yang secara realistik dapat
menjelaskan akar permasalahan kemiskinan di Sumba Timur. Permintaan ini
didasarkan pada adanya dua data kemiskinan yang sangat berbeda, yaitu
persentase jumlah penduduk miskin oleh BPS (hasil estimasi dari sampel
rumahtangga S USENAS) dan persentase keluarga miskin (keluarga pra -sejahtera
dan sejahtera tahap I) hasil pendataan keluarga secara lengkap oleh BKKBN.
Disatu pihak, berdasarkan data BKKBN Kabupaten Sumba Timur pada tahun 1999
diketahui bahwa sebagian besar keluarga Sum ba Timur, yaitu 84,3 persen,
berstatus keluarga miskin. Data keluarga miskin oleh BKKBN ini biasanya
digunakan untuk target program, khususnya untuk penyaluran berbagai program
pengentasan kemiskinan seperti pembagian beras untuk keluarga miskin (raskin).
Dilain pihak, data kemiskinan hasil SUSENAS pada tahun yang sama diketahui jauh
lebih rendah, yaitu sebesar 27,2 %. Data penduduk miskin hasil Susenas ini
biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengalokasian berbagai dana bantuan
untuk pengentasan kemiskin an secara regional. Dengan dua data yang sangat
berbeda ini, Pemerintah Daerah Sumba Timur mengalami kesulitan dalam
menjalankan kebijakan -kebijakan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, dan
bahkan bisa menimbulkan kebijakan salah arah serta konflik di masyarakat. Disatu
pihak, dengan jumlah penduduk miskin yang kecil dari BPS bisa mengakibatkan
alokasi bantuan yang lebih kecil untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten
Sumba Timur, tetapi dilain pihak angka kemiskinan dari BKKBN dapat menimbulkan
konflik dalam penyaluran program bantuan kemiskinan karena jumlah keluarga
miskin di Kabupaten Sumba Timur sangat besar. Secara metodologi, ada
perbedaan mendasar antara ukuran kemiskinan makro dan kuantitatif yang dibuat
oleh BPS untuk tingkat nasional, propinsi , dan kabupaten, dengan ukuran
kemiskinan mikro dan kualitatif yang dibuat oleh BKKBN sampai pada tingkat desa.
Tetapi berdasarkan penggunaannya, keduanya didesain secara terpusat dan
menggunakan konsep yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Studi di Sumba Timur diawali dengan pengumpulan informasi melalui observasi
lapangan dan wawancara yang dilakukan dalam pertemuan dan diskusi dengan
pihak-pihak yang terlibat politik penanggulangan kemiskinan, pengukuran, dan
aktifitas-aktifitas penanggulanga n kemiskinan. Pihak-pihak yang diwawancarai
adalah Bupati, Kepala Dinas/Kantor/Badan pemerintahan terkait, dan beberapa
pimpinan lembaga non -pemerintah termasuk LSM. Disamping itu, juga dipelajari
laporan-laporan penelitian, laporan dan statistik sektoral, serta dokumen lainnya
yang relevan. Juga dilakukan kunjungan lapangan ke beberapa desa pemukiman
dengan daerah yang sosio -ekologisnya berbeda, dimana wawancara dilakukan
dengan laki -laki dan perempuan desa, termasuk kepala desa.
Berdasarkan temuan-temuan penulis, tidak satupun ukuran yang dibuat di pusat
yang dapat memberikan hasil yang berarti dalam konteks yang khas Sumba -Timur.
Proses pertukaran secara barter dalam jaringan yang lebih luas, dimana sekarang
ini juga berhubungan secara tidak langsung den gan intervensi dan investasi orang
luar, dapat menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan bagi sebagian besar
populasi (Ritonga dan Betke, 2002). Tidak seperti daerah -daerah lainnya di
Indonesia, kehidupan sehari -hari di Sumba Timur, khususnya di daerah pede saan
pada umumnya masih mengikuti tradisi lama dan upacara -upacara kebudayaan
yang bersifat ³megalitik´ yang sudah lama ditinggalkan di daerah lain di Indonesia.
Lokasi yang terpencil dan relatif terbatasnya sumber daya alam dengan perilaku
yang suka berperang dari penghuni pulau yang penuh dengan bukit -bukit ini telah
menghambat kekuatan asing seperti kerajaan besar Majapahit, VOC Belanda, dan
juga gereja -gereja untuk membuat usaha yang serius dan terus -menerus
mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan or ganisasi politik yang diinginkan
oleh para penghuni pulau ini.
Studi ini masih berlanjut melalui proses studi -studi lapangan dan diikuti workshop -
worshop dengan semua stakeholder untuk mendapatkan unit observasi/analisis
yang tepat dan mempelajari penyebar an kerentanan antara tahapan usia (life span)
dan jenis kelamin (gender). Diharapkan bahwa laporan secara lengkap tentang studi
ini akan diselesaikan pada bulan April 2003.
Setelah melihat secara mendalam proses sosial, politik, ekonomi, dan konteks
budaya yang mungkin mendorong kemiskinan dan ketidakmerataan pada tingkat
komunitas dan pada tingkat keluarga di Sumba Timur, jelas bahwa strategi -strategi
pengukuran yang dirancang secara sentralistik sekarang ini tidak akan berhasil di
daerah kabupaten seperti Sumba Timur dan mungkin juga di kabupaten lainnya di
Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penulis menyarankan perlunya dilakukan
pengukuran kemiskinan yang lebih merefleksikan informasi yang khas -daerah dan
sensitif budaya. Ide ini didasarkan atas interpret asi menyeluruh dari sistem ekonomi
politik masyarakat Sumba Timur. Studi seperti ini juga perlu dilakukan di kabupaten
lain di Indonesia.

4. Penutup
Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121 Tahun 2001 dijelaskan
bahwa BPS sebagai anggota dari Komite Pengentasan Kemiskinan (KPK) menjadi
lembaga teknis yang menjadi koordinator dalam penyediaan dan analisis data dan
informasi yang digunakan dalam tahap perencanaan dan evaluasi dari program
penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, upaya yang pe rlu dilakukan oleh BPS
(Pusat dan Daerah) saat ini adalah mengembangkan dan memperbaiki informasi
kemiskinan di tingkat nasional dan membantu pemerintah daerah dalam
pengembangan pemantauan kemiskinan yang spesifik lokal.
Pengukuran kemiskinan yang ada sek arang ini perlu dicermati lebih kritis, terutama
terhadap manfaatnya untuk pemantauan hasil -hasil pembangnan terhadap
penurunan penduduk miskin, dan sebagai input data untuk perencanaan
pembangunan. Walaupun masih belum sepenuhnya sempurna, pengukuran
kemiskinan secara makro yang dilakukan BPS selama ini dengan pendekatan garis
kemiskinan pengeluaran masih merupakan ukuran kemiskinan yang ideal untuk
memperbandingkan antar daerah, dan dapat dipakai dalam alokasi anggaran
seperti halnya dalam alokasi DAU ke setiap kabupaten/kota. Namun demikian,
pengukuran tersebut masih tidak dapat digunakan untuk targeting dan tidak
menggambarkan variasi lokal.
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang secara sentralistik di pusat, yaitu:
pendekatan garis kemiskinan pendapata n, pendekatan garis kemiskinan
pengeluaran, dan pendekatan karakteristik rumahtangga/keluarga miskin masih
kurang memadai dan kurang realistik dalam memantau kemiskinan dan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebaliknya, informasi -informasi yang
dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena tidak
dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di daerah. Oleh
karena itu, disamping ukuran -ukuran kemiskinan makro yang lebih akurat dan yang
diperlukan dalam sistim sta tistik nasional, perlu sekali juga diperoleh ukuran -ukuran
kemiskinan yang spesifik lokal. Namun demikian, sistem informasi yang
dikumpulkan secara lokal perlu diintegrasikan dengan sistem informasi nasional
sehingga keterbandingan antar wilayah, khususnya keterbandingan antar
kabupaten dan propinsi tetap terjaga.
Untuk pemantauan kesejahteraan daerah yang spesifik -lokal dan sayang budaya
perlu dilakukan beberapa kegiatan pengumpulan data dan studi yang mencakup
peristiwa kehidupan, yang mencakup sistim kek erabatan, sistim ekonomi, pola
pemukiman dan sifat kawasan.. Perubahan teknis tersebut perlu didasarkan
klarifikasi ilmiah akan kategori dan interpretasi pola kehidupan sehari -hari yang
dapat disepakati antara semua. Untuk memantau kesejahteraan individu, secara
khusus data yang dikumpulkan perlu didasarkan pada tahapan hidup sejak adanya
janin sampai lanjut usia dari seorang anggota rumahtangga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk
kebijakan pembangunan kesejahteraan daera h, maka perlu ada komitmen dari
pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya
dana daerah untuk pengeloolaan informasi diharapkan akan mengurangi
pemborosan dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah,
dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan dengan adanya
kebijakan-kebijakan yang lebih tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang
diperoleh dari ketersedian informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar
dari biaya yang diperlukan untuk k egiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut.
Disamping itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder baik lokal
maupun nasional/internasional agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan
ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpan g tindih.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator -indikator yang
realistik, yang dapat µditerjemahkan´ kedalam berbagai kebijakan yang perlu diambil
dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator
tersebut harus sensitif terhadap fenomena -fenomena kemiskinan atau
kesejahteraan individu, keluarga, unit -unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Tinjauan terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti
faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator -
indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat -akibat dari kemiskinan
itu sendiri perlu dilakukan. Indikator -indikator tersebut tentunya harus bersifat -lokal
dan sayang budaya.
Ketersediaan informasi ti dak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan
apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari
informasi itu. Hal ini bisa disebabkan kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin
lokal dalam hal penggunaan informasi untuk manaje men. Sebagai wujud dari
pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya
dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemda,
instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam pemanfaatan informasi untuk
kebijakan program Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik
pemerintah daerah, dinas -dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para
LSM dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat
untuk membuat kebijakan dan me laksanakan program pembangunan yang sesuai.
Sebagai rekomendasi terakhir adalah pemerintah daerah perlu membangun sistim
pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembanguna n yang sesuai. Perlu
Pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan
sistim pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini
diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan
tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional agar secara kontinu dapat dikembangkan
sistim pengelolaan informasi yang spesifik -daerah.

5. REFERENSI
Betke, F. and H. Ritonga (2002). Managers of Megalithic Power: Towards an
understanding of contemporary political eco nomy in East Sumba. A Report on a
rapid assessment of challenges and opportunities for development of an area -
specific and culture -sensitive approach to poverty monitoring in the district of
Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Based on collaboration bet ween BPS-
Statistics Indonesia and the German Agency for Technical -Cooperation (GTZ
GmbH). Jakarta: BPS

Badan Pusat Statistik (2002a). Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002 Buku
1:Propinsi Jakarta:BPS

Badan Pusat Statistik (2002b). Data dan Informasi K emiskinan Tahun 2002 Buku 2:
Kabupaten/Kota. Jakarta:BPS

Foster, J,E, J, Greer, and E. Thorbecke (1984). ³A Class of Decomposable Poverty


Measures´, Econometrica 52: 761 -766.

Ritonga, H dan F. Betke (2002). ³Menuju Pendekatan Pemantauan Kesejahteraan


Rakyat yang Khas-Daerah dan Sayang Budaya. Laporan untuk Badan Pusat
Statistik dan Lembaga Kerjasama Teknis Jerman (GTZ)

Ritonga, H dan F. Betke (2003). ³Beberapa Kesan Tentang Perbedaan


Pengembangan Indikator Kemiskinan yang Spesifik -Lokal´. Disampaikan pad a
Lokakarya tentang Operasionalisasi Konsep Kemiskinan Berbasis Lokal, Jakarta 29
Januari 2003..

Sutanto, A. and A. Avenzora (1999). Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia


1976-1999: Metode BPS.
http://yapenwaropenkab.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
28:kemiskinan&catid=31:sosial&Itemid=46

 !" 
   #  $
01 Nov

u    


 

     
      
              
     
Wiyono, bukan nama sebenarnya, adalah warga miskin yang tinggal di Kabupaten
Sleman. Ia hidup dengan seorang istri dan satu anak. Wiyono bekerja sebagai
buruh tani, setali tiga uang dengan istrinya. Mereka mempunyai seorang anak yang
bekerja sebagai karyawan swasta.
Sebagai buruh tani Wiyono tidak mempunyai pendapatan tetap. Hidupnya
bergantung pada permintaan orang lain. Bila ada yang membutuhkan jasa untuk
mencangkul, Wiyono dipanggil. Untuk membantu agar dapur tetap mengebul
Wiyano dibantu oleh istrinya. Anaknya memberikan sedikit bagian gajinya untuk
membantu keluarga, sayang masih juga b elum sanggup mengangkat diri mereka
dari kemiskinan.
Nama Wiyono tercantum dalam dokumen data yang secara online bisa diakses
lewat website Sleman. Kabupaten Sleman memang memiliki sistem informasi
managemen (SIM) yang baik. Mereka mendata setiap orang mis kin di wilayahnya
kemudian mengunggahnya pada dunia maya. Dalam data itu tercatat juga nama,
nomer kependudukan, jumlah keluarga, jenis kelamin, usia dan pekerjaan. SIM
adalah aplikasi sistem informasi data kemiskinan dan proses kependudukan yang
terpadu dan terintegrasi, yang dikembangkan dengan teknologi berbasis web ( — 
  ). Ia menggunakan teknologi berbasis PHP dan MySQL.
SIM Kemiskinan penting untuk menjadi acuan dalam merumuskan program -
program penanggulangan kemiskinan agar tepat sasaran. ´ Kata kuncinya adalah
tersedianya data penduduk yang terintegrasi,´ kata Bupati Sleman Sri Purnomo
dalam acara Seminar Keberlanjutan PNPM Mandiri di Hotel Sultan 21 Oktober
2010.
Menurut Sri Purnomo rencana penerapan SIM Kemiskinan di Kabupaten Sleman,
mendesak karena data yang ada bervariasi dengan jumlah yang berbeda. Makanya
Sri berinisiatif untuk menyeragamkan data yang ada. Masih kata Sri, dalam proses
pengintegrasiannya membutuhkan waktu satu tahun dimulai 2009. Setelah selesai,
pemkab melakukan uji pu blik terhadap data tersebut sampai tingkat dukuh.
´Dalam uji publik itu, kemudian data jadi membengkak karena setiap warga ingin
mendapat bantuan pemerintah,´ tutur Sri dihadapan ratusan peserta seminar. Untuk
mensiasatinya, pemkab kemudian melakukan verif ikasi ulang terhadap data.
Akibatnya data menyusut kembali. Kurang lebih ada 20.000 orang mengurungkan
niatnya untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Mengapa? Pemkab mempunyai
cara jitu.Mereka membuat stiker KK Miskin yang kemudian ditempel pada rumah
penduduk yang menerima bantuan.
´Di Kabupaten Sleman SIM Kemiskinan dapat digunakan oleh instansi ±instansi
pemerintahan dan dapat diakses umun,´ katanya. SIM ini dikelola oleh dinas tenaga
kerja dan sosial, Kecamatan sebagai instansi pengelolah data kependuduka n,
verifikasi data keluarga miskin bisa langsung diakses secara online oleh petugas di
kecamatan.

Dengan menerapkan sistem yang terintegrasi, data itu menjadi sumber untuk
pengelolaan program -program pengentasan kemiskinan. Misalnya yang dilakukan
oleh Dinas Pendidikan Sleman dalam menuntaskan program wajib belajar 12 tahun.
Dengan mudah Dinas Pendidikan Sleman menemukan data siapa yang masih
membutuhkan bantuan pendidikan. Sekedar info, Pemkab Sleman memberikan
bantuan sebesar 1,6 juta pertahun untuk seo rang anak SMA dan 1,8 juta pertahun
untuk SMK. Keuntungan lain, pencairan dana menjadi lebih cepat. Petugas tinggal
melakukan pengecekan silang dengan data via internet.

    

Sri Purnomo menjamin data dari Pemkab Sleman akurat. Data yang ada 99,94
bersumber dari data keluarga dan memiliki momer KK. Sementara 99,98 memiliki
NIK dan bersumber dari data kependudukan.
 %
 
Yaury Tetatnael dari Strategic Alliance for Poverty Alleviation (SAPA) mengatakan
saat ini Indonesia masih memiliki permasalahan dalam pengelolaan data
kemiskinan yang ada. Saat ini data resmi yang ada mengacu ke Badan Pusat
Statistic (BPS). Namun setiap kali BPS mengeluarkan rilis tentang kondisi
kemiskinan Indonesia, masih ada juga pihak -pihak yang tidak percaya. Prokontra
yang berlanjut belakangan ini adalah soal indikator kemiskinan vs indikator
kemiskinan lokal atau sektoral.
Persoalan lain yang menunggu adalah soal updateing data kemiskinan. Masalahnya
adalah data yang ada hanya diperbaharui tiga tahun se kali. Tentunya ini
menggangu kredibilitas data. Namun persoalannya tidak sederhana, karena untuk
mendapatkan data populasi (bukan sekedar sample) itu tidaklah murah.
Persoalan ketiga dalam data kemiskinan adalah soal distribusi data. Data adalah
informasi. Dalam abad informasi data memiliki kekuasaan, bisa mendukung sebah
program namun bisa juga untuk melawan kebijakan. Jadi pemegang data tentu
mempunyai kekuasaan besar (dan sah) untuk mendukung atau menjegal sebuah
pendapat, informasi, program dan atau ke bijakan.
Maka SAPA, masih kata Yaury, mencoba menguraikan indikator kemiskinan untuk
tiap nama dan alamat, melakukan uji coba pendataan kemiskinan partisipatif
dengan melibatkan masyarakat berbasis data kemiskinan BPS, memperkuat
kelembagaan TKPKD dalam m engkoordinasikan dan mendistribusikan data
kemiskinan.
Sekedar info, SAPA telah bekerjasama dengan 15 kabupaten/kota di Indonesia
dalam menginisiasi data daerah. Nantinya setiap TKPKD setelah melalui proses
peningkatan kapasitas SDM yang ada akan mengelol a data ini.
Ada baiknya agar daerah menyisipkan data -data untuk menunjang pencapaian
MDGs. Tentunya masih diingat bahwa MDGs memiliki 8 goals dan 21 target. Untuk
goals pertama, yakni menurunkan kemiskinan absolute, tentu membutuhkan data
seperti garis kemiskinan (lazimnya berlaku nasional, tetapi daerah yang maju bisa
juga memiliki garis kemiskinan diatas dari ketetapan nasional) dan poverty gap.
Data pendapatan atau pengeluaran masyarakat penting juga untuk diperoleh karena
bisa menunjukkan seberapa mampu seseorang untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya. Tetapi data apaun akan kuat, bila verifikator data melakukan
pengecekan langsung dilapangan. Dari situ akan diperoleh data yang lebih lengkap
tentang kondisi sosial ekonomi si miskin. Akan diketahui pula seber apa besar aset
si miskin.
http://majalahkomite.wordpress.com/2010/11/01/kebutuhan -basis-data-kemiskinan-
mendesak/

  &' ( !!) # 


  

  
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi
oleh Bangsa Indonesia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai
kekurangan dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan
ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang
membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak
mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan
dll. Dengan begitu, segala a ktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan
hidupnya sangat sulit.
Tetapi selama ini banyak perbedaan persepsi antara seseorang dengan orang lain
tentang kemiskinan. Adanya perbedaan tersebut, maka perlu adanya pembatas.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas definisi kemiskinan dari berbagai
konsep, penyebab kemiskinan serta indikator kemiskinan.
*  
 
Definisi-definisi yang terkandung dalam teori kemiskinan tidak selalu lengkap
mencakup seluruh aspek. Definisi dibuat tergantu ng dari latar belakang dan tujuan,
juga tergantung dari sudut mana definisi tersebut ditinjaunya, untuk kepentingan
apa definisi tersebut dibuat. Biasanya definisi -definisi tersebut akan saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Definisi kemiskinan dilihat dari beberapa segi :
1. Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/ pemenuhan kebutuhan
pokok
Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan itu adalah tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok/ dasar disebabkan karena adanya ke kurangan barang -
barang dan pelayanan -pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup
yang layak.
Ini merupakan kemiskinan absolut/ mutlak yakni tidak terpenuhinya standar
kebutuhan pokok/ dasar.
2. Dilihat dari segi pendapatan/ penghasila n income
Kemisikinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pandapatan/
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
3. Dilihat dari segi kesempatan / opportunity
Kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk mengakum ulasikan
(meraih) basis kekuasaan sosial meliputi :
a. Ketrampilan yang memadai.
b. Informasi/ pengetahuan -pengetahuan yang berguna bagi kemajuan hidup.
c. Jaringan-jaringan sosial/ social network.
d. Organisasi-organisasi sosial dan politik.
e. Sumber-sumber modal yang diperlukan bagi peningkatan pengembangan
kehidupan.
4. Dilihat dari segi keadaan/ kondisi
Kemiskinan sebagai suatu kondisi/keadaan yang bisa dicirikan dengan :
a. Kelaparan/ kekurangan makan dan g izi.
b. Pakaian dan perumahan yang tidak memadai.
c. Tingkat pendidikan yang rendah.
d. Sangat sedikitnya kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
pokok.
5. Dilihat dari segi penguasaan terhadap sumber -sumber
Menurut golongan ini kemiskinan merupakan keterlantaran yang disebabkan oleh
penyebaran yang tidak merata dan sumber -sumber (malldistribution of resources),
termasuk didalamnya pendapatan/ income.
6. Kemiskinan menurut Drewnowski
Drewnowski (Epi Supiadi :2003) mencoba menggunakan indikator -indiktor sosial
untuk mengukur tingkat-tingkat kehidupan (the level of living index). Menurutnya
terdapat tiga tingkatan kebutuhan untuk menentukan tingkat kehidupan seseorang :
a. Kehidupan fisik dasar (basic fis ical needs), yang meliputi gizi/ nutrisi,
perlindungan/ perumahan (shelter/ housing) dan kesehatan.
b. Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs), yang meliputi pendidikan,
penggunaan waktu luang dan rekreasi dan jaminan sosial (social security).
c. High income, yang meliputi pendapatan yang surplus atau melebihi
takarannya.
Definisi kemiskinan dilihat dari beberapa konsep ialah :
1. BAPPENAS
Tidak mampu memenuhi hak -hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yan g bermatabat.
2. BPS
Bilamana jumlah rupiah yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi kurang dari 2.100 kalori perkapita.
3. Bank Dunia
Tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan 1,00 dolar AS perhari.
4. BKKBN keluarga miskin jika :
a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut keyakinannya.
b. Tidak mampu makan dua kali sehari.
c. Tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja atau sekolah dan
berpergian.
d. Tidak bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
5. WB (2001) kemiskinan ialah suatu kondisi terjadinya kekurangan pada
taraf hidup anusia baik fisik atau sosial.
* ( !!
  
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam
dua hal berikut ini :
1. Faktor Internal (dari dalam diri individu)
Yaitu berupa kekurangmampuan dalam hal :
a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit -sakitan.
b. Intelektual misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan
informasi.
c. Mental emosional misalnya malas, mudah menyerah, putus asa
temperamental.
d. Spritual misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.
e. Sosial psikologis misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/
stres, kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan.
f. Ketrampilan misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan
permintaan lapangan kerja.
g. Asset misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal (berada di luar diri individu atau keluarga)
Yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain
a. Terbatasnya pelayanan s osial dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha -
usaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang
tidak endukung sektor usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil
masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum
optimal seperti zakat.
g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural
Adjusment Program/ SAP).
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
j. Pembangunan yang lebi h berorientasi fisik material.
k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
_* #
 
Untuk pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin maka
diperlukan indikator yang lebih merefleksikan tingkat kemiskinan yang
sesungguhnya di masyarakat. Indikator untuk menentukan fakir miskin tersebut
ialah :
1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang diukur
dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS per
wilayah propinsi dan kabupaten/ kota.
2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti
zakat/ beras untuk miskin/ santunan sosial).
3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota kelua rga pertahun
(hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap perorang pertahun).
4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
5. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga
yang sakit.
6. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak -anaknya.
7. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual
untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas
garis sangat miskin.
8. Ada anggota keluarga yang meninggal d alam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.
9. Ada anggota keluarga usia 15 tahun keatas yang buta huruf.
10. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.
11. Luas rumah kurang dari 4 meter persegi.
12. Kesulitan air bersih.
13. Rumah tidak mempunyai sirkulasi udara.
14. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat).
Indikator tersebut sifatnya multidimensi, artinya setiap keluarga fakir miskin dapat
berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi
semakin fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan penanganannya.
  
1. Dilihat dari beberapa definisi, maka kemiskinan merupakan masalah
sebuah kondisi kekurangan yang dialami sesorang atau suatu keluarga.
2. Kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, dimana hal
tersebut dapat mengakibatkan kondisi fakir miskin tidak mampu:
a. Memenuhi kebutuhan dasar sehari -hari.
b. Menampilkan peranan sosial.
c. Mengatasi masalah-masalah sosial psikologis yang dihadapinya.
d. Mengembangkan potensi diri dan lingkungan.
e. Mengembangkan faktor produksi sendiri 
+* Adanya indikator kemiskinan, maka pelayanan kesejahteraan bagi fakir miskin
dapat berjalan dengan semestinya.

!   ,
Departemen Sosial RI  
           
           u    u  
2005.Jakarta.
Departemen Sosial RI   
  u        2005.
Jakarta
Departemen Sosial RI ! —        u    
      2006-2010.Jakarta.
http://ichwanmuis.com/?p=1339

BAB I
TEORI KEMISKINAN
PENGERTIAN KEMISKINAN
Berbagai Pengertian
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada
masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran
kehidupan modern pada masakini mereka tidak meni kmati fasilitas pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan kemudahan - kemudahan lainnya yang tersedia pada
jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami
oleh negara -negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara -negara maju,
seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di
penghujung tahun 1700 -an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di
Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga -tenaga kerja
pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman
kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran. Amerika Serikat sebagai ne gara maju juga dihadapi masalah
kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930 -an. Pada
tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di
dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amer ika
Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara - negara lain. Namun, di balik
keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5
juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional /
Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di
perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat
banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya
mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta
jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin
bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabk an kemiskinan bisa terjadi, yakni
kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain
akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan
bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga -lembaga yang ada di
masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai
sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap
miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan
pembangunan yang melulu t erfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari
berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat
terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan inform asi. Aspek ekonomi akan
tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah,
tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat
rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, da ri aspek politik
berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan,
diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan. Kemiskinan dapat
dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan
kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi
kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
Seseorang yang tergolong miskin relat if sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun
ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata -rata kemampuan
masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan
sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator
ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan
Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekat an
pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis
kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per
bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan.
Dengan perhitungan uang ter sebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi
setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan
kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan,
transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan
angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita
per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi
kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith
melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan
umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya
melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman
(cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami
kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab
keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli
masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di
Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang,
terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak.
Teori ekonomi mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan
dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber day a manusianya, penambahan
modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka
diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak
semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai
negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan
kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara
bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan
kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia
lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu
kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.
Di Indonesia program -program penanggulangan kemiskinan sudah
banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan
kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah
menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan
ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program -
program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut
terlibat dalam berbagai kegiatan. Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program
penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan
pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku
utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipa si aktif ini dari masyarakat miskin
sebagai kelompok sasaran tidak hanya
4
berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang
paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi
hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut
atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
(Redaksi)

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2008, jumlah penduduk miskin di


Indonesia mencapai 35 juta jiwa.Sebagai c ontohnya, rekan Rohmatin Bonasir dalam
laporan seri ini memotret dua rumah tangga miskin di pinggiran Jakarta.
Keluarga Pak Hari -seorang nelayan yang tidak bisa melaut lagi karena harga
bahan bakar tinggi -- tinggal bersama istri, tujuh anak dan belasan cu cu di gubuknya
yang mungil.Adapun keluarga Sainah hidup dari berdagang buah keliling. Sejak
sore hingga hampir tengah malam, Sainah mendorong gerobaknya.Penghasilan
kedua keluarga tersebut sering lebih kecil dari pengeluaran."Ya hutang -hutang,"
kata istri Pak Hari, Darinah

Beda penafsiran
Hari, seorang nelayan di Jakarta Utara

Hari, seorang nelayan di Jakarta Utara, tidak bisa melaut karena bbm mahal

Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, mengatakan seseorang dianggap


miskin apabila dia tidak mam pu memenuhi kebutuhan hidup minimal.

Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan


dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non
makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.
"Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam
rupiah. Kalau rupiahnya yang terakhir adalah Rp 182.636 per orang per bulan,"

Dengan definisi itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 mencapai 35
juta jiwa.Angka itu merupa kan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, Susenas
dengan sampel hanya 68.000 rumah tangga, padahal jumlah rumah tangga di
Indonesia mencapai 55 juta.

Menurut ahli statistik dari Institut Teknologi Surabaya, Kresnayana Yahya, cara
pandang pemerintah terhad ap kemiskinan tidak mencerminkan realitas.

"Ada yang tidak diperhitungkan, perusak -perusak kalori. Orang merokok bisa enam
sampai tujuh batang. Itu sebenarnya negatif. Dia bisa mengatakan belanjanya
sekian, tetapi di dalamnya ada enam -tujuh batang rokok," kata Kresnayana Yahya.
Blog dengan ID 26250 Tidak ada

Menjadi isu politik

Jumlah dan garis kemiskinan versi BPS sering menjadi perdebatan dan menjadi isu
politik yang panas.Terutama di musim kampanye seperti tahun 2008, para politisi
gemar mengutip garis kemiskinan Bank Dunia sehingga menurut mereka, jumlah
penduduk miskin dua kali lebih besar.

Tetapi ukuran Bank Dunia itu, kata ekonomnya di Jakarta, Vivi Alatas, digunakan
untuk kepentingan berbeda.

"Kalau untuk melihat seperti apa profil kemiskinan d i suatu negara, yang digunakan
adalah garis kemiskinan nasional. Tetapi Bank Dunia juga mempunyai tugas
mengalokasikan dana ke beberapa negara miskin. Untuk itu butuh garis kemiskinan
yang bisa diperbandingkan antar negara yang biasa dikenal dengan 1 dolar pp to 2
dolar pp," jelas Vivi.

Namun, lanjut Vivi, pengertian nilai dolar tersebut bukan dolar dengan nilai tukar riil.
"Kalau di Indonesia berapa rupiahnya yang dibutuhkan untuk membeli barang dan
jasa yang sama dengan satu yang dolar yang bisa dibeli di Amerika. Jadi kalau
ditanya berapa jumlah orang miskin di Indonesia, 35 juta," tambahnya.

Persoalannya data itu diambil sebelum kenaikan harga bahan bakar minyak, kata
peneliti di lembaga penelitian SMERU, Sirojuddin Arif."Biasanya kenaikan BBM itu
efeknya panjang, kenaikan hargadan kadang ada PHK, daya beli masyarakat turun,
orang miskin meningkat," jelas Sirojuddin.

Deputi Menteri Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappennas, Bambang


Widianto mengatakan, kunci utama untuk menekan angka adalah beras ."Kalau kita
bisa menjaga beras itu stabil dan kita bisa memberikan bantuan -bantuan yang
langsung kepada orang miskin, angka pasti menurun angka kemiskinan," tegasnya.

Jumlah dan garis kemiskinan mungkin akan terus diperdebatkan, namun yang jelas
persoalan ini merupakan masalah besar di Indonesia.
http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2010/01/definisi -kemiskinan-versi-
indonesia.html

Kemiskinan menurut penyebabnya terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah


kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor -faktor
adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau
sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya te tap melekat dengan
kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau sedikitnya bisa dikurangi
dengan mengabaikan faktor -faktor yang menghalanginya untuk melakukan
perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua adalah kemiskinan
struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang
atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang
tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak
memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari
perangkap kemiskinan atau dengan perkataan lain ´seseorang atau sekelompok
masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin´.
Kemiskinan secara konseptual dibedakan menurut kemiskinan relatif dan
kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaiannya.
Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan
dan ditetapkan secara subyekt if oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal serta
mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai
miskin secara relatif. Sedangkan standar penilaian kemiskinan secara absolut
merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhka n untuk memenuhi
kebutuhaan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non makanan. Standar
kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis
kemiskinan. BPS mendefinisikan garis kemiskinan sebagai nilai rupiah yang harus
dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
asupan kalori sebesar 2.100 kkal/hari per kapita (garis kemiskinan makanan)
ditambah kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar
seseorang, yaitu papan, sandang, sekolah, dan t ransportasi serta kebutuhan
individu dan rumahtangga dasar lainnya (garis kemiskinan non makanan).
source: analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan, bps.
http://statmisker.wordpress.com/2010/08/13/definisi -kemiskinan-poverty/

kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekumpulan orang dalam


keadaan yang selalu kurangan dalam hal ekonomi, yang berarti defisit atau
pendapatan yang ada tidak mencukupi untuk mmenuhi kebutuhan pokok. ini dapat
terjadi karena biasanya tingkat pendidikan yang rendah dan lingkungan yang salah.
ya«tingkat pendidikan rendah atau tidak sekolah membuat orang berpikir hanya
jangka pendek hanya utk hari ini masa bodoh dengan esok, dan hanya be rpikir utk
makan bukan berpikir untuk memenuhi kebutuhan lainnya dimasa mendatang,
hanya mau dan terpaksa kerja jika sudah tidak punya uang, bukan ingin terus bkerja
dan berusaha dengan sungguh -sungguh dan tidak pernah mau mencoba hal baru
dengan berbagai resiko dan keuntungan yg akan didaptnya.
ini karena pengetahuan dan ilmu yang sangat sedikit yang menyebabkan pola pkir
yang terbentuk sangat sempit. dan lingkungan berpengaruh sekali terhadap
kemiskinan, ketika kita tinggal di daerah miskin atau kumuh kit a cenderung puas
dan nyaman terhadap lingkungan tersebut tanpa pernah mau maju atau
berkembang menjadi lbih baik, dan lingkungan miskin sering mendoktrin
keluarganya dengan kata2 negatif untuk keluarganya sendri, sperti µkmu ini orang
miskin ga mungkin bisa kaya, bego¶ doktrin inilah yang akan tercantum dibenak
generasi muda yang hidup di daerah miskin yang lama kelamaan akan tertanam
dalam dri sehingga mematikan kmampuan serta potensinya utk berusha. kecuali
bagi orang2 yang beruntung walaupun tinggal di d aerah miskin dan pendidikan
rendah namun bisa mengubah nasib menjadi orang kaya tentunya dengan ijin dan
pertolongan Allah SWThttp://indonetasia.wordpress.com/2009/04/23/definisi -
kemiskinan/

# 
   '#  
"  %%  

 - .-&
/ ,
j"  
     #$
  
$%   
   &&  
'%   
   & &   &
  

 
(        &       
)    !       
*     &    & &  
+           &  &  
#,    &&    
-,   
    
j , 
   &    
jj   
  
  &
  
j$ 
 
  .
   )
/   /  /  
 
    


0!
*  1    
2

j'    
  .  & 3&
3
j(       &            !
)   
1   
2/ 
. 
    1 &   2/ /   /

          
Ke 14 indikator itu, adalah ciri -ciri kemisikinan pada satu rumah tangga yang berhak
menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang memenuhi 9 indikator berhak untuk
menerimanya.
K  K
      
        
      
     
   
 !!   "!  !  !#$% % %% %
%  %  %  %
%  


± - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat indikator kemiskinan Indonesia
sebenarnya sudah setara US$ 1,7 per hari. Indikator ini jauh meninggalkan negara
China dan India yang masih di bawah US$ 1 per hari.

Kepala BPS Rusman Heriawan menyebutkan nominal indi kator kemiskinan sebesar
Rp 211.000 per bulan per orang. Besaran ini diukur berdasarkan tingkat kebutuhan
makanan dan non makanan.

Rusman menjelaskan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang dalam


memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk perhitungan Maret 201 0, standar kemiskinan
sebesar Rp 211.000 di mana pemenuhan untuk makanan sebesar Rp
155.615/bulan dan Non Makanan Rp 56.000/bulan.

"Jadi Bahan pokok itu kecukupan gizi sebanyak 2.100 kalori per hari atau senilai Rp
5.000 per hari atau Rp 155.615 per bulan . Kedua, kebutuhan non makanan, seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi, tentunya bukan yang luxurious," ujar Rusman
saat dihubungi #    - , Senin (27/9/2010).

Rusman menyampaikan indikator tersebut berbeda -beda setiap daerah


berdasarkan harga komoditas di daerah tersebut. DKI Jakarta memiliki indikator
kemiskinan tertinggi yaitu sebesar Rp 331 ribu.

"DKI itu Rp 331,2 ribu itu yang tertinggi. Yang mendekati Rp 300 ribu itu ada Papua
Barat Rp 294,7 ribu. Kepulauan Riau tepatnya Batam itu Rp 295,1 ribu, Aceh Rp
278,4 ribu, Kalimantan Selatan Balikpapan itu Rp 285,2 ribu. Yang rendah misalnya
Jatim Rp 199,3 ribu, NTT Rp 175,3 ribu, Sulawesi Selatan Rp 163,1 ribu," paparnya.

Dengan indikator tersebut, Rusman menyatakan terdapat 13,3% atau 31 juta


penduduk berada di bawah garis kemiskinan. "Kemiskinan kita sekarang terakhir
13,3% atau 31 juta orang yang masih di bawah garis kemiskinan," ujarnya.
Untuk indikator kemiskinan tahun depan, BPS akan melakukan survei kembali pada
bulan Maret 2011. Pasalnya, jelas Rusman, pihaknya harus mensurvei harga -harga
kebutuhan dasar di setiap provinsi.

"Untuk menentukannya BPS harus survei, tidak bisa diperkirakan. Ini berkembang
terus sesuai harga. Tahun 2009 itu Rp 200,3 ribu karena inflasinya tidak terlalu
tinggi. Apakah tergantung inflasi, tidak juga, tapi kebutuhan dasar," ujarnya.

Rusman menegaskan indikator kemiskinan ini tidak bisa serta -merta dibandingkan
dengan negara lain. Jika banyak yang mempermasalahkan indikator kemiskinan
Indonesia yang masih berada di bawah indikator Bank Dunia yaitu sebesar US$ 2
per hari atau dengan kurs rupiah Rp 9.000 maka Rp 540 ribu per bulan, maka hal itu
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

"World Bank sendiri menerapkan 2 indikator. Pertama, 1dolar untuk yang b enar-
benar miskin atau sipir, dan US$ 2. Cuma yang US$ 2 ini yang dipermasalahkan.
Dua dolar itu kan harus lihat kebutuhannya. Kurs Rp 9.000 berarti 18 ribu kali 30
hari maka Rp 540 ribu. Kalau ukuran 4 4 org berarti Rp 2 juta. Nah, PNS
kita kan gajinya masih Rp 2 juta. Apakah mereka miskin semua?" ujarnya.

Menurut Rusman, US$ 2 di setiap negara itu memiliki nilai yang berbeda -beda
sehingga tidak patut jika disamaratakan. "Dua dolar, di sini berbeda dengan di sana,
Rp 9 ribu di sini makan di waru ng tegal sudah bisa sampai muntah -muntah,"
jelasnya.

Namun, jika mau disetarakan dengan dolar maka indikator kemiskinan Indonesia
sudah setara US$ 1,7 per hari. Angka ini jauh jika dibandingkan negara China dan
India yang masih berada di bawah US$ 1.

"Kalau US$ 1,7 itu dibandingkan negara -negara lain nggak terlalu jelek. Di India,
China bahkan di bawah US$ 1. Itu berdasarkan daya beli. Padahal sudah mulai
maju. Tapi ya begitu, setiap negara punya kajiannya masing -masing," tandasnya.

È 0# 1
c &'
  — 
5         3  —   ,

u   c (&)    $* 1 
  6  !
j' & 2



  
    !! "   0 
 
5 http://www.detikfinance.com/read/2010/09/27/104307/1449190/4/bps -
indikator-kemiskinan-ri-sudah-di-atas-china-dan-india

 
    # 
 
 ", 
#
 2 . .3&4,+,567 
 &  % Jakarta, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta
meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tidak h anya memakai indikator daya beli
masyarakat sebagai basis dalam penghitungan angka kemiskinan nasional.

"BPS sudah saya ingatkan, jangan hanya hitung dari daya beli saja. Banyak akses
yang mendukung penurunan angka kemiskinan," kata Paskah, Kamis (21/5).

Menurutnya, terdapat beberapa indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur
tingkat kemiskinan masyarakat. Di antaranya akses terhadap layanan pendidikan
dan kesehatan.

Ppenambahan pengukuran tingkat kemiskinan juga untuk melihat sejauhmana


instrumen peningkatan kesejateraan masyarakat yang dilakukan pemerintah betul -
betul efektif. Selain itu, diharapkan penghitungan angka kemiskinan bisa lebih
relevan dengan kenaikan tingkat ekonomi mereka.

BPS selama ini menggunakan model penghitungan garis k emiskinan (GK) sebagai
hasil penjumlahan antara garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan
non makanan (GKNM). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata -rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

GKM didapat dari jumlah pemenuhan kebutuhan kalori 2100 kilo kalori per kapita
per hari dari 52 jenis komoditi seperti padi -padian, daging, telur, dan susu. Sedang
GKNM didapat dari jumlah pemenuhan atas tingkat kebutuhan minimum untuk
perumahan, sandang, pendidikan, dan k esehatan.(*)


   !!+++ + %  
 "! 

    , 
 -   .  " 
     ''' /    
 !!  "!  !!+++  "!   0
1#2/
13K 3 
3& 3 214*#*

Sri Mulyani: Indikator Kemiskinan Harus Segera


> Disepakati Secara Nasional
>
>
> Jakarta-RoL-- Menteri Perencanaan Pembangunan
> Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan
> Nasional (BAPPENAS), Sri Mulyani menyatakan,
> indikator kemiskinan yang digunakan pemerintah untuk
> mengetahui juml ah penduduk miskin di Indonesia harus
> segara disepakati secara nasional.
>
> "Masalah indikator yang menunjukkan kemiskinan ini
> penting, tetapi belum ada kesepakatan tentang mana
> yang harus dipakai. Setiap kali kita meluncurkan
> program baru pasti harus diawali dengan perdebatan
> data mana yang harus digunakan," ujar Mulyani saat
> menjadi pembicara dalam seminar "Pemberdayaan
> Perempuan dan Keluarga Berencana Dalam Mencapai
> Sasaran MDGs" di Jakarta, Sabtu.
>
> Ia mengakui angka kemiskinan yang dikeluarkan Biro
> Pusat Statistik (BPS) memang lebih rendah dari yang
> seharusnya ada di lapangan karena indikator yang
> digunakan BPS berbeda dengan yang dirujuk secara
> internasional.
>
> BPS menggunakan indikator uang yang dikeluark an
> setiap orang untuk memenuhi kebutuhan pangan
> sebanyak 2.100 kalori per harinya sebagai batas
> minimum pendapatan keluarga yang dianggap miskin.
> Sedangkan secara internasional seperti yang
> terdefinisi dalam kategori miskin dalam MDGs adalah
> orang yang berpendapatan di bawah satu dolar AS
> setiap harinya.
>
> "Jika dihitung menggunakan indikator BPS maka
> kategori miskin adalah orang yang berpenghasilan di
> bawah sekitar Rp180.000 per bulan, sedangkan jika
> menggunakan indikator internasio nal maka yang
> termasuk miskin adalah orang yang berpenghasilan di
> bawah Rp300.000 per bulan. Wajar saja jika data BPS
> jadi jauh lebih rendah. Jika kita menganut indikator
> internasional maka angka itu pasti akan melonjak,"
> jelas Mulyani.
>
> Menurut dia, data kemiskinan BPS pun memiliki
> keterbatasan karena menggunakan metode sampling
> untuk menentukan jumlah penduduk miskin di setiap
> kabupaten.
>
> "Secara ilmiah, data itu bisa dipercaya. Namun,
> kesulitan yang timbul adalah kita tidak dapat tahu
> di mana letak penduduk yang miskin itu karena BPS
> menggunakan metode sampling," ujarnya.
>
> Sebaliknya, lembaga lain seperti Badan Koordinasi
> Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki angka
> kemiskinan yang lebih tinggi dari BPS dan mereka
> mengetahui letak penduduk miskin per kabupaten di
> Indonesia karena petugasnya turun langsung ke
> lapangan.
>
> Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2004
> menurut BPS adalah 16,6 persen dari jumlah penduduk
> sedangkan menurut BKKBN adalah 30 persen dari jumlah
> penduduk.
>
> "Namun, angka yang diperoleh BKKBN melalui
> kader-kadernya di lapangan tidak dapat dipergunakan
> untuk keperluan lain karena data tersebut spesifik
> untuk kebutuhan mereka. Hanya bisa digunakan untuk
> 'cross-check'," ujar Mulyani.
>
> Untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan
> yang telah dianggarkan pemerintah pusat, Mulyani
> meminta kepada para bupati di Indonesia untuk
> bersedia turun langsung ke lapangan guna mengetahui
> secara pasti jumlah serta lokasi penduduk miskin
> yang berada di masing -masing kabupaten yang
> dipimpinnya.
>
> "Jika masing-masing bupati memiliki angka kemiskinan
> yang akurat, akan berguna sekali untuk menentukkan
> anggaran program penganggulangan kemiskinan ya ng
> harus dikucurkan pemerintah pusat kepada daerah,"
> ujarnya.
>
> Untuk mendapatkan angka kemiskinan yang lebih riil
> dan bisa disepakati secara nasional, Mulyani telah
> berbicara kepada Kepala BPS.
>
> "Saya sudah menanyakan masalah ini kepada Kep ala BPS
> dan telah meminta agar segera dilakukan sensus
> kemiskinan berdasar indikator kemiskinan yang lebih
> jelas. Saya minta berapa angka riilnya dan untuk
> alasan apa mereka dikatakan miskin. Saat ini yang
> datanya bagus hanya Jawa Timur," katanya .
>
> Meski telah mengetahui angka kemiskinan dari BPS
> lebih rendah dari kondisi riil, Mulyani mengatakan
> pemerintah tetap menyusun kebijakan berdasarkan
> angka tersebut, karena saat berkampanye presiden
> menggunakan angka BPS dalam visi dan misinya untuk
> mengurangi kemiskinan.
>
> "Ini masalah tanggungjawab dan konsistensi. Kalau
> angka kemiskinan dengan indikator internasional yang
> kita gunakan, nanti presiden kaget karena jumlah
> orang miskin akan melonjak. Kalau janji menggunakan
> mangga, harus dipenuhi dengan mangga, jangan diganti
> dengan apel," ujar Mulyani. ant/abi
>
> ++++
>
>
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=203898&kat_id=23
>
> Sabtu, 02 Juli 2005
> 21:10:00
> Indonesia Berusaha Kurangi
> Setengah Penduduk Miskin
>
>
> Jakarta -RoL-- Untuk memenuhi
> target Millenium Development Goals (MDGs)
> berkuranganya setengah jumlah penduduk miskin pada
> 2015, Indonesia berupaya mengurangi angka kemiskinan
> dari 16,6 persen dari jumlah penduduk pada 2004
> menjadi hanya 8,2 persen pada 2009.
>
> Menteri Perencanaan
> Pembangunan Nasional/Ketu a Badan Perencanaan
> Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Sri Mulyani yang
> berbicara pada seminar "Pemberdayaan Perempuan dan
> Keluarga Berencana Dalam Mencapai Sasaran MDGs" di
> Jakarta, Sabtu, mengatakan, Indonesia berambisi
> mencapai target MDGs dalam jangka waktu empat tahun
> padahal waktu yang disepakati secara internasional
> untuk mengurangi setengah jumlah penduduk miskin
> adalah sepuluh tahun.
>
> MDGs adalah sasaran
> pembangunan global yang disepakati oleh
> negara-negara anggota Perserikatan Bangsa -Bangsa
> (PBB).
>
> "Untuk itu, semua target
> MDGs tercakup dalam rencana pembangunan jangka
> menengah pemerintah untuk periode 2004 -2009. Yang
> menjadi prioritas pemerintah untuk mengurangi
> kemiskinan adalah peningkatan pelayanan penididikan,
> kesehatan serta pembangunan infrastruktur yang
> mendukung terciptanya produktivitas masyarakat,"
> ujarnya.
>
> Selain mengurangi angka
> kemiskinan, pemerintah juga menargetkan berkurangnya
> kesenjangan pembangunan dan pendapatan antar daerah.
>
> Dalam Rencana Pembangunan
> Jangka Menengah (RPJM) 2004 -2009, kata Mulyani,
> pemerintah menyiapkan program -program penanggulangan
> kemiskinan seperti pening katan kecukupan pangan,
> pemberian pelayanan kesehatan dan pendidikan serta
> pemenuhan hak atas pekerjaan dan berusaha.
>
> Program -program tersebut,
> lanjutnya, dilaksanakan secara bertahap dengan
> mengupayakan terjadinya koor dinasi antar sektor
> serta antara pemerintah pusat dan daerah agar
> terwujud sinkronisasi dan keterpaduan tujuan
> pembangunan secara nasional.
>
> Ia juga menekankan
> pentingnya iklim keseimbangan peran antara
> pemerintah, ma syarakat serta harmonisasi peran donor
> dan lembaga internasional. "Selain itu, juga
> dilakukan monitoring dan evaluasi melalui mekanisme
> yang konsisten antara input -proses-output, serta
> outcome dan dampaknya," ujarnya.
>
> Mulyani yang baru tiba Sabtu
> siang di Jakarta seusai mengikuti pertemuan tingkat
> menteri di New York untuk membahas lima tahun
> pelaksanaan MDGs, mengatakan bahwa secara
> internasional disepakati pelaksanaan MDGs menekankan
> kemampuan lokal masing -masing negara dalam mengelola
> dan menyusun kebijakan.
>
> "Telah disepakati bahwa
> pemenuhan target MDGs dilakukan berdasarkan
> kemampuan dan penyusunan kebijakan yang dilakukan
> sendiri oleh masing -masing negara. Hanya negara yang
> benar-benar miskin dan menanggung beban hutang besar
> yang akan mendapatkan bantuan internasional,"
> jelasnya.
>

 & %


  ! %% 
! %%& _(!  8 . Angka kemiskinan di Kabupaten Purbalingga terus
mengalami penurunan setiap tahunnya. Sama halnya dengan jumlah penduduk
miskin di tahun 2010.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik
(BPS) RI, tahun 2010 ini, angka kemiskinan di kabupaten Purbalingga turun menjadi
22% atau 188,7 ribu jiwa. Berarti turun 2% dari 24,12% penduduk yang berkategori
miskin, pda 2009.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Purbalingga, Ir Setiyadi MSi, meski mengala mi penurunan, angka penduduk miskin
Kabupaten Purbalingga masih tergolong tinggi di tingkat provinsi. "Tapi untuk tingkat
eks-karesidenan, masih yang terbaik," ujar dia, Jumat (3/12).
Ditambahkan, proses pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan instan.
Pasalnya, Perlu penanganan yang lebih sekedar bidang ekonomi warga. "Saya
tidak percaya bisa dengan cara yang instan," katanya.
Dijelaskan, pemkab lebih terfokus pada generasi muda dari keluarga yang tergolong
miskin, agar lebih sejahtera hidupnya di masa mendatang. "Jangan sampai
mewarisi kemiskinan orang tua," tutur dia.
Sebagai salah satu langkah taktis, Setiyadi menuturkan, pemkab mulai
mengalokasikan dana jaminan kesehatan bagi keluarga miskin yang belum terdaftar
jamkemas dengan meng -cover dana dari APBD.
Namun, dia menambahkan, proses pengentasan kemiskinan tetap akan dilakukan
dengan bertahap, mulai tahun -tahun ke depan. "Untuk tahun 2011, pemkab lebih
terfokus untuk pada pembangunan infrastruktur," katanya.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/12/03/72125/Turun -Angka-
Kemiskinan-Purbalingga
Pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan multidimensial yang
terkait dengan berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya, hukum,
maupun politik. Kemiskinan telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas
hidup masyarakat yang ditandai dengan rendahnya derajat kesehatan, derajat
pendidikan, serta rendahnya pe ndapatan per kapita dan daya beli masyarakat.
Akibat lebih lanjut adalah semakin jauhnya masyarakat miskin terhadap akses
sumberdaya pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sementara di sisi lain,
pemerintah belum sepenuhnya optimal mampu menyediakan dan memenu hi hak-
hak dasar masyarakat secara optimal. Lalu bagaimana Kabupaten Purbalinga, Jawa
Tengah mengurai dengan solusi alternatifnya? Semua dibuka dalam gelaran
semiloka setengah hari, di Jakarta.

Pagi itu suasana Puri Sriwijaya Ballroom Twin Plasa Hotel, J akarta, tidak seperti
biasanya. Nampak di ruangan luas itu, ramai, meriah, gegap gempita, namun
suasana serius tetap ada. Pasalnya, perhelatan pagi itu selain diisi paparan Bupati
Purbalingga Drs H Triyono Budi Sasongko, MSi, Ketua Tim Penggerak PKK
Purbalingga Hj Ina Triyono Budi Sasongko, Ketua LPM Universitas Jenderal
Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ir Sukardi, MS, dan Emi Ufroh selaku Ketua
Posdaya Sida Mukti Desa Majasari, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah.
³Pengangguran dan kemiski nan merupakan permasalahan multidimensial yang
terkait dengan berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya, hukum,
maupun politik,´ kata Bupati Triyono pada awal paparannya pada semiloka
setengah hari bertajuk ³ Pembangunan SDM Melalui Posdaya di Kabupaten
Purbalingga´.
Lebih lanjut ia menyebut, kemiskinan telah mengakibatkan terjadinya penurunan
kualitas hidup masyarakat yang ditandai dengan rendahnya derajat kesehatan,
derajat pendidikan, serta rendahnya pendapatan per kapita dan daya beli
masyarakat. Akibat lebih lanjut adalah semakin jauhnya masyarakat miskin
terhadap akses sumberdaya pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Sementara di sisi lain, menurut dia, pemerintah belum sepenuhnya optimal mampu
menyediakan dan memenuhi hak -hak dasar masyarakat secara optimal. ³Dengan
masih adanya berbagai permasalahan yang kompleks dan multidimensi tersebut,
maka diperlukan adanya visi dan misi pembangunan yang jelas, serta strategi dan
langkah-langkah pembangunan yang terarah. Agar program dan kegiatan
pembangunan yang dibiayai dari dana APBD dan APBN dapat betul -betul mampu
mendorong peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat,´
urai Triyono.
Sedangkan Hj Ina Triyono Budi Sasongko selaku Ketua Tim Penggerak (TP) PKK
Kabupaten Purbalingga mengatakan, pembinaan PKK di Kabupaten Purbalingga
dilakukan melalui 10 Program Pokok PKK, kami dibantu tim kecamatan dan desa
juga sampai kelompok -kelompok RT-RW hingga dasawisma, kelompok PKK yang
terkecil.
Ia menyebutkan, untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih efektif,
di daerahnya terdapat 1.541 kelompok PKK RW, 5.485 PKK RT, dan 12.354
kelompom Dasawisma. Sementara secara operasionalnya di lapangan, PKK
Kabupaten Purbalingga dibantu para kader. Di antaranya, kader umum berjumlah
58.140 orang, yang terdiri atas 5.954 orang Kader Posyandu, 3.296 orang Kader
Gizi, 2.858 orang Kader Kesling, 1.829 orang Kader Perumahan, dan Kader PAUD
berjumlah 436 orang.

Kader pejuang
Semiloka setengah hari yang juga diliput secara langsung Radio DFM 103.4 Jakarta
dari Puri Sriwijaya Ballroom Twin Plasa Hotel, Jakarta ini, dimoderatori Drs Mazwar
Noerdin yang juga Deputi Direktur Bidang Kewirausahaan Yayasan Damandiri,
bukan saja menampilkan Bupati Purbalingga, Ketua Tim Penggerak PKK
Purbalingga, dan Ketua LPM Universitas Jenderal Soedirman (Oensod) Purwokerto
Ir Sukardi, MS saja, tetapi tampil pula kader pejuang pembangunan pedesaan dari
Kader Posdaya, Emi Ufroh selaku Ketua Posdaya Sida Mukti Desa Majasari,
Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga.
Dalam kesempatan paparanya dihadapan sekitar 150 undangan dari berbagai
kalangan, Emi Ufroh mengatakan, dalam rangka mendorong percepatan upaya
penanggulangan kemiskinan melalui pelaksanaan program -program yang
dilaksanakan di pedesan mlalui program pemb erdayaan masyarakat, perlu disipakn
kelembagaan dan sumber daya manusia pedesaan khusunya masyarakat miskin
agar mampu mengakses dan memanfaatkan berbagai stimulan yang telah
disediakan pemerintah.
³Maka Posdaya Sida Mukti mengambil peran dalam pemberdaya an masyarakat
dengan tujuan menumbuhkan kembali semangat dan nilai -nilai luhur
kegotongroyongan dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tercipta rasa kepedulian
dan semangat saling membantu dalam pemecahan permasalahan kehidupan social
guna membangun keluarga sejahtera scara mandiri,´ ujar Ketua Posdaya Sida
Mukti Desa Majasari, Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, kader pejuang
pembangunan pedesaan yang tak kalah semangat dengan Bupati dan Ketua TP
PKK Kabupatennya.
Hadir pada semiloka yang menarik ini , antara lain Ketua Yayasan Damandiri Prof Dr
Haryono Suyono beserta ibu, Sekretaris Yayasan Damandiri Subiakto
Tjakrawerdaja, Anggota dwan Pengawas Yayasan Damandiri yang juga mantan
Direktur Yayasan Damandiri dr Loet Affandi, SpOG. Selain itu, Direktur Y ayasan
Damandiri Drs Much. Soedarmadi, para Deputi Direktur Yayasan Damanndiri,
Kepala Bappeda, Kepala -kepala Dinas, Camat, Kepala Desa, Ketua Panitia Lomba
Posdaya Kabupaten Purbalingga Hj Heru Sudjatmoko, tokoh masyarakat, ulama,
para undangan baik dari instansi pemerintah maupun kalangan organisasi sosial
kemasyarakatan dan TP PKK Provinsi DKI Jakarta serta Pimpinan BKKBD dan
Kepala Wilayah BKKBD dari 5 wilayah di Propinsi DKI Jakarta.
Pada kesempatan tersebut, Bupati Triyono selaku pemimpin dan pemilik kebijakan
di Kabupaten Purbalingga menegaskan, melalui Posdaya setiap keluarga mampu
diajak berbagi kebahagiaan bersama keluarga lain yang kurang beruntung secara
ekonomi melanjutkan upaya lain, baik dengan amal ibadah atau membantu
memberdayakan anak bangsa untuk masa depan yang lebih jaya dan sejahtera.
³Posdaya sebagai sebuah alternatif pilihan pengentasan kemiskinan yang
merupakan program pembangunan masyarakat. Posdaya hasilnya efektif dan
manfaatnya jelas,´ kata Bupati Triyono Budi Sasongko. HAR
Selengkapnya«PDFhttp://www.gemari.or.id/artikel/3964.shtml

PURBALINGGA - Meski Kabupaten Purbalingga telah mampu menurunkan angka


kemiskinan dari rentang waktu tahun 2005 hingga 2008 sebesar 17,2 persen,
namun jumlah penduduk miskin berdasar hasil Program Pendataan Perlindungan
Sosial (PPLS) tahun 2008 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), masih
mencapai 68.313 rumah tangga miskin (RTS) atau setara dengan 29.8 persen.

"Sebaran jumlah RTS hampir merata di 18 kecamatan di Purbalingga. Namun,


jumlah terbanyak berada di wilayah Pengadegan dan Kaligondang, " kata Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Purbalingga, Ir Setiyadi MSi
pada semiloka Pemberdayaan Nasional Pe mberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan (PNPM-MD), di ruang pertemuan Taman wisata pendidikan Purbasari
Pancuranmas, Kamis (10/9).
Diungkapkan Setiyadi, kemiskinan menimbulkan persoalan kompleks, baik aspek
ekonomi, sosial budaya, maupun aspek politik.

Wawasan 11 September
2009http://www.facebook.com/topic.php?uid=100560495319&topic=18376

Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Denny Tewu mempertanyakan jumlah
orang miskin seperti yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurut Denny, BPS haru s bisa memberikan penjelasan secara transparan terkait
jumlah penduduk miskin yang mencapai 13.3 persen atau 31 juta penduduk pada
bulan Maret 2010 dengan asumsi yang dilakukan oleh BPS adalah Rp7.050 perhari
per orang untuk makan.

"Sebab, jika menggunak an standar PBB yakni $2USD/hari maka jumlah penduduk
miskin otomatis meningkat menjadi 34.03 persen atau 78.2 juta orang," kata Denny
di Jakarta, Senin (25/10).

Bila mengacu kepada jumlah sumber daya alam Indonesia yang melimpah,
sehingga dipakai rata -rata upah minimum regional untuk kelas buruh kasar sebesar
Rp30 ribu/hari(status sosial mereka dikatagorikan miskin) maka jumlah katagori
penduduk Miskin Indonesia menjadi 56.7 persen atau 130 juta jiwa lebih.

Dikatakannya, dari data BPS yang ada, sebenarnya inilah mencerminkan kondisi
kemiskinnan sesungguhnya yang harus menjadi acuan pemerintah. ³Sehingga Itu
nantinya supaya elemen bangsa berjuang untuk keluar dari kemiskinan yang
sistemik dan tidak terkelabui dengan angka -angka yang tidak relevan dan tidak
manusiawi,´ ungkapnya.
Yang pasti, lanjut dia, untuk mengatasi persoalan tersebut dia meminta pemerintah
konsisten terhadap konstitusi UUD 45 pasal 33 dimana ayat 1. ´Koperasi dijadikan
soko ekonomi dan pemerintah perlu ada perhatian khusus bukan hanya bunyi-
bunyian dengan dipimpin oleh Menteri Negara yang memiliki anggaran dan
infrastruktur yang sangat terbatas,´ paparnya.

Ditambahkannya, ayat 2 dan 3 tertuang hajat hidup orang banyak dikuasi negara.
Namun faktanya BUMN dan BUMD ini tidak dapat memberi kan kontribusi yang
optimal baik dari segi pelayanannya.

´Presiden SBY tidak perlu mencari alternatif solusi lain dulu seperti  
%   atau lainnya untuk memecahkan persoalan kemelut ekonomi ditengah
bangsa sebelum mengoptimalkan amanat dari konstitusi,´ kata dia.

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?


SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai p erhatian besar
terhadap terciptanya masyarakat
yang
adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang -Undang
Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian
besar terhadap upaya pengentasa n
kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus -
menerus menjadi masalah yang
berkepanjangan.
PADA umumnya, partai -partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga
mencantumkan program pengentasan
kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru,
walaupun mengalami
pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi, yaitu rata -rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970 -1996,
penduduk miskin di Indonesia
tetap
tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di
Indonesia tahun 1996 masih sangat
tinggi,
yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan
pandangan ban yak ekonom yang
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat dan pada
akhirnya
mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan
reformasi terlihat lebih besar la gi
setelah
terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian,
berdasarkan penghitungan BPS,
persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi,
sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk
yang lebih besar, y aitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) pada tahun 2001, persentase
keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07
persen, atau lebih dari separuh
jumlah keluarga di Indonesia. Angka - angka ini mengindikasikan bahwa program -
program penanggulangan
kemiskinan
selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan
program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia. Pertama, program - program penanggulangan kemiskinan selama ini
cenderung berfokus pada upaya
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras
untuk rakyat miskin dan program
jaring
pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit
menyelesaikan persoalan kemiskinan yang
ada
karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi p ada kedermawanan pemerintah ini
justru dapat memperburuk moral
dan
perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih
difokuskan untuk menumbuhkan
budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk
yang bersifat permanen. Di lain
pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana -dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber
daya
manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD)
dan sekolah menengah pertama
(SMP), serta dibebaskannya biaya - biaya pengobatan di pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan
kemiskinan adalah kurangnya
pemahaman
berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program -program
pembangunan yang ada tidak
didasarkan pada isu -isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda -beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program -program
penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional
yang sentralistik, dengan asumsi
yang
menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada
kenyataannya, data dan informasi seperti
ini
tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di
Indonesia sebagai negara besar
yang
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi
sosial, sifat budaya, maupun
bentuk
ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka -angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk
kepentingan lokal, dan bahkan bisa
membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh
adalah kasus yang terjadi di
Kabupaten
Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam
menyalurkan beras untuk orang miskin
karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan
BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun
1999 adalah 27 persen, sementara
angkakemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN
pada tahun yang sama mencapai 84
persen.
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan -
bantuan karena data yang digunakan
untuk
target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan
didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs
approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk
memantau perkembangan ser ta
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut
mempunyai keterbatasan karena hanya
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis,
tetapi tidak dapat digunakan untuk
target
sasaran individu rumah tang ga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah
tangga miskin, diperlukan data
mikro
yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat
seperti melalui model -model
ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah te lah berusaha mengumpulkan
data keluarga atau rumah tangga
miskin
secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN
dan data rumah tangga miskin
oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, da n
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Meski
demikian, indikator - indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah
tangga. Di samping itu,
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan,
juga masih bersifat sentra listik dan
seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili
keutuhan sistem sosial yang
spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi
kemiskinan yang ada sekarang
perlu
dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi
saja (pendekatan ekonomi), tetapi
memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua
aspek yang menyebabkan
kemiskinan
secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan
untuk memastikan keberhasilan
pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan progra m
penanggulangan kemiskinan, baik di
tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah,
selain data tersebut belum tentu
relevan untuk kondisi daerah atau komun itas, data tersebut juga hanya dapat
digunakan sebagai indikator dampak
dan
belum mencakup indikator -indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab
kemiskinan di suatu daerah atau
komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator -indikator yang
realistis yang dapat diterjemahkan
ke
dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator
tersebut
harus sensitif terhadap fenomena -fenomena kemiskinan atau kesejahteraan
individu, keluarga, unit-unit sosial yang
lebih
besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan
kemiskinan, seperti faktor penyebab
prosesterjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator -indikator dalam
pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-
akibat
dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah
kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti
perlu
mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya
dalam era otonomi daerah
sekarang.
Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga
disiplin ilmu sosiologi, ilmu
antropologi,
dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai
dalam upaya pengentasan
kemiskinan
secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi -informasi yang dihasilkan dari
pusat tersebut dapat menjadikan
kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan
kemiskinan sebenarnya yang terjadi di
tingkat
daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang
diperlukan dalam sistem statistik
nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah.
Namun, sistem statistik yang
dikumpulkan
secara lokal tersebut perlu diintegras ikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah,
khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam
membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan
pembangunan kesejahteraan
daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana
secara berkelanjutan. Dengan
adanya
dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah
diharapkan dapat mengurangi
pemborosan dana dalam pembangunan seba gai akibat dari kebijakan yang salah
arah, dan sebaliknya membantu
mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat
dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut
bahkan bisa jauh lebih besar dari
biaya
yang diperlukan untuk kegiatan -kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu,
perlu adanya koordinasi dan kerja
sama
antara pihak -pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional
atau internasional, agar
penyaluran
dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak
tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan
apabila pengambil keputusan
tersebut kurang memahami makna atau arti dari in formasi itu. Hal ini dapat
disebabkan oleh kurangnya kemampuan
teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan
dalam kaitannya dengan
pembangunan
di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi
terkait, perguruan tinggi dan
lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerint ah daerah,
dinas-dinas pemerintahan
terkait,
perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta
menggunakannya secara tepat untuk
membuat
kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun s istem pengelolaan informasi yang
menghasilkan segala bentuk informasi
untuk
keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang
sesuai. Perlu pembentukan tim
teknis
yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan infor masi
yang spesifik daerah.
Pembentukan
tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak
perguruan tinggi, dan peneliti lokal
maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan
informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem
pengumpulan data yang didesain,
diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu
dipertahankan, sudah saatnya
dikembangkan
pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat
dipercaya, dan mampu secara cepat
merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial
budaya di antara komunitas
pedesaan
dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat
Statistik

/ cc   ±  c  c


     
*   % "
Ekonomi Indonesia dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir memang tumbuh, tetapi
lamban dengan fundamental ekonomi yang tidak kuat (rapuh) karena sub -sub
sektor yang paling dominan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan
ekonomi kita adalah non tradable (bukan industry penghasil barang) yang tidak
banyak menyerap tenaga kerja, sehingga tidak menaikkan kemampuan daya beli
dan kemakmuran rakyat secara nyata (Kedaulatan Rakyat, 21/02/2010). Selain itu,
masalah kemiskinan menjadi persoalan berkepanja ngan yang terus terjadi. Di luar
halangan geografis, sebenarrnya ada faktor lain yang menyebabkan program -
program pengentasan kemiskinan tak pernah berjalan efektif. Salah satunya adalah
kurangnya pemahaman banyak pihak tentang realitas kemiskinan itu send iri.
Selama ini, di Indonesia, dan hampir semua negara, miskin tidaknya seseorang
diukur dari kacamata garis kemiskinan (proverty line). Badan Pusat Statistik
mendefinisikan garis kemiskinanan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk
memenuhi kebutuhan komsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari
ditambah kebutuhan pokok lainnya seperti sandang pangan, perumahan,
kesehatan. Kebutuhan pokok ini dibedakan untuk makanan dan non makanan, serta
sisi wilayah, untuk pedesaan dan perkotaan.
Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang disengaja itu bisa dilihat dari upaya
sistematis penguasa dengan berbagai perangkat aturannya untuk menjauhkan
masyarakat lokal dari sumberdaya alamnya. Hal ini bukan saja berdampak pada
tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat tapi juga terhadap perubahan
perilaku sosial dan budayanya. Adanya perbedaan dalam mengukur tingkat
kemiskinan di Indonesia tersebut, tentu menimbulkan tanda tanya di kepala kita.
Apakah sebenarnya tingkat kemiskinan di negara kita benar -benar telah mengalami
penurunan atau malah sebaliknya. Maka, dengan melihat kondisi yang kini sedang
terjadi di negara kita, sebenarnya tanpa adanya pernyataan untuk menunjukkan
tingkat kemiskinan, sesungguhnya kita telah menemukan jawabannya sendiri.
Dalam kenyataannya para pengemis Indonesia, termasuk di dalamnya para
pengemis yang melakukan kegiatannya dengan kekerasan, telah ikut menciptakan
rasa tidak aman di dalam masyarakat. Ditambah dengan kondisi kehidupan politik
yang hiruk-pikuk seiring dengan bergulirn ya perjuangan reformasi di segala bidang,
maka citra umum mengenai kondisi keamanan di Indonesia menjadi kurang baik
dan tidak kondusif untuk segera pulihnya kegiatan -kegiatan investasi di bidang
ekonomi. Lambatnya proses pemulihan ekonomi dengan sendiriny a berarti
lambatnya pengurangan jumlah orang miskin.
Dalam setengah tahun terakhir situasi tidak kondusif itu diperparah dengan
terjadinya peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir
peristiwa invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebab kan hilangnya banyak
lapangan kerja bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya lapisan pekerja kasar.
Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat
melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor -
faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal.
Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang
menyebabkan berkurangnya a lokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan
bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.
Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang
buruk, serta etos kerja yang rendah, semuanya merupakan faktor internal. Faktor-
faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor -faktor eksternal juga. Kesehatan
masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya
gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber
daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada
gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan
merupakan akibat langsu ng dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya
begitu, berputar -putar dalam proses saling terkait.
Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus
mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa
diatasi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja
bukanlah hal yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari
sumber-sumber pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia
pada saat ini sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah
bagi banyak warga negara, khususnya yang tidak memiliki ketrampilan khusus,
untuk mendapatkan lapangan kerja.
Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang
mudah. Masalah ut amanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu,
budaya menghargai simbol -simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal
yang sangat menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan,
manusia Indonesia merasa lebih terpandang di lingkunga n masyarakatnya apabila
telah memiliki ijazah kesarjanaan daripada memiliki kemampuan nyata untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk
mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah -sekolah kejuruan kurang
berkembang. Orang merasa lebih bergengsi apabila tamat dari sekolah umum
daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap kurang
berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak -anak dari sekolah umum.
Alhasil, Indonesia tidak memiliki cuku p tenaga teknis dan insinyur -insinyur lapisan
menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara sedang
berkembang kebutuhan akan tenaga -tenaga teknis amat besar. Merekalah yang
akan membentuk lapisan tenaga kerja menengah Indonesia dan men jadi
infrastruktur lunak bagi pengembangan teknologi lebih canggih pada tahap
berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami Indonesia di tengah -tengah
kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan
yang kurang sesuai de ngan tahap perkembangan Indonesia.
*
  "
Berdasrkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. mengapa program pengentasan kemiskinan yang dari Orde Lama sampai
Orde Demokrasi sekarang ini belum bisa mengentaskan kemiskinan di
Indonesia?
2. Seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai
program tersebut pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi
sasarannya?
_* / %%  
4* %  
  
Pengertian kemiskinan ada bermacam -macam, namun dalam rangka
penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan terpadu harus ada
kesepakatan pemahaman semua pihak penyelenggara agar targeting yang
dilaksanakan tepat sasaran baik target penduduk miskin maupun program yang
dilaksanakan. Pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah
sebagai berikut:
1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat
memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila:
1) Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.
2) Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari.
3) Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
bekerja atau sekolah dan bepergian.
4) Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
5) Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
1. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari.
Para ahli mempunyai pendapat yan g beragam tentang kemiskinan. Beberapa
mengartikan kemiskinan dalam lingkup yang luas dengan memasukkan dimensi -
dimensi sosial dan moral. Kemudian ada pula yang mendefinisikan kemiskinan
secara lebih spesifik pada kondisi ketidakmampuan seseorang dalam mem enuhi
kebutuhan pokoknya. Menurut Nasikun (1995) ada tiga pandangan mengenai
kemiskinan yaitu:
1. Kemiskinan berarti tidak cukupnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
yang paling medasar untuk menjaga keberlangsungan kehidupan (standard
of living). Standar h idup ini tentunya perlu ditetapkan secara obyektif.
2. Rendahnya pendapatan harus diukur secara subyektif, yakni relative rendah
terhadap pendapatan orang lain di dalam masyarakat.
3. Kemiskinan dihubungkan dengan Usaha seseorang untuk mendapatkan
pendapatan yang memadai.
Namun yang lebih umum, Menurut Susetiawan (2002) kemiskinan dibagi dua jenis,
yakni kemiskinan mutlak (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty).
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang dihubungkan dengan garis kemiskinan
atau poverty line. Jadi seseorang dikatakan miskin secara absolut jika pendapatan
atau pengeluarannya berada tepat Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan
yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran orang lain. Jadi
seseorang atau sekelompok orang dikatakan relatif miskin jika pengeluaran atau
pendapatannya lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran
kelompok lain. atau dibawah garis kemiskinan tertentu. Tingginya garis kemiskinan
itu ditetapkan oleh pemerintah berdasark an kondisi obyektif yang ada.
* (  
Menurut Gunawan Sumodiningrat (2000), masyarakat miskin secara umum ditandai
oleh ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal:
1. Memenuhi kebutuhan -kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi , sandang,
papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation).
2. Melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness).
3. Menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi (inacceribility).
4. Menentukan nasibnya diri sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan
diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap
apatis dan fatalistik (vulnerability); dan
5. Membebaskan diri dari mental budaya miskin serta senantiasa merasa
mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).
Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin
yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati
kesejahteraan secara bermartabat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
kesulitan akan timbul ketika fenomena kemiskinan diobjektifkan dalam bentuk
angka-angka (Heru Nugroho, 1995:30). Beberapa garis batas kemiskinan yang
sering dipergunakan antara lain:
1. Ukuran dari Sayogyo
Sayogyo memberikan batas garis kemiskinan untuk masyarakat pedesaan setara
dengan 20 kg be ras perkapita perbulan dan bagi masyarakat perkotaan sama
dengan 30 kg beras perkapita per bulan. Sebelum menetapkan ukuran beras
perkapita perbulan sebagaimana disebutkan diatas, ukuran yang digunakan
Sayogyo untuk kategori penduduk miskin adalah pengelua ran perkapita per tahun
kurang dari 320 kg beras untuk penduduk pedesaan dan 480 kg beras untuk
penduduk perkotaan. Sedangkan pengeluaran setara atau kurang dari 180 kg beras
bagi penduduk pedesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan dijadikan
batas bagi kelompok penduduk paling miskin.
1. Batasan Menurut Badan Pusat statistik
Badan Pusat Statistik menetapkan garis kemiskinan berdasarkan tingkat kecukupan
konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori per kapita per hari. Suatu keluarga digolongkan
sangat miskin jika pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum
kalori yang ditetapkan, sedangkan bila pendapatannya selain mampu mencukupi
kebutuhan kalorinya juga mampu memenuhi kebutuhan pokok lainnya seperti
perumahan, air, sandang, dan pendidikan digolongkan se bagai keluarga miskin.
1. Ukuran Sam F. Poli
Sam F. Poli menyatakan bahwa batas garis kemiskinan di Indonesia bagi
masyarakat pedesaan adalah sama dengan 27 kg ekuivalen beras perkapita per
bulan dan untuk masyarakat perkotaan sama dengan 40 kg beras perkapit a
perbulan. Ukuran Sam F. Poli ini lebih tinggi dari ukuran yang diusulkan oleh
Sayogyo.
1. Ukuran Bank Dunia
Bank Dunia menetapkan ukuran garis kemiskinan untuk Indonesia berdasarkan
pendapatan perkapita. Penduduk yang pendapatan perkapitanya kurang dari
sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional termasuk dalam kategori miskin.
Secara umum Bank Dunia menetapkan garis batas kemiskinan sebesar US S1
perhari bagi negara -negara berkembang dan US$ 2 bagi negara -negara maju.
+*
  # " !  
! %  
Pembangunan yang telah dan akan dilaksanakan dititikberatkan kepada manusia
sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus sebagai
sumberdaya manusia pembangunan yang harus senantiasa ditingkatkan kualitas
dan martabatnya. Pemban gunan yang bertumpu pada peran serta masyarakat
(people driven) dilaksanakan secara merata di semua lapisan masyarakat.
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup
banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakan gan yang
nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan antar kelompok atau
golongan masyarakat (sosial). Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah
bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap pelaku ekonomi.
Menurut Moeljarto Tjokrowinoto (1999), Keadaan kemiskinan pada umumnya diukur
dengan tingkat pendapatan dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Selain itu, berdasarkan pola waktunya kemiskinan dapat
dibedakan menjadi: persistent poverty, cyclical poverty, seasonal poverty, serta
accidenal poverty.
Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun.
Umumnya menimpa wilayah yang memiliki sumberdaya alam yang kritis dan atau
terisolasi. Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti p ola siklus ekonomi
secara keseluruhan. Sementara itu seasonal povery, yaitu kemiskinan musiman
seperti yang terjadi pada usahatani tanaman pangan dan nelayan. Pola yang lain
adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau
dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat. Penduduk miskin erat kaitannya dengan wilayah
miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang tertinggal besar kemungkinan
menyebabkan penduduknya miskin. Oleh karena itu pendekatan pemecahan
kemiskinan dapat pula dilakukan terhadap pengembangan wilayah atau desa yang
bersangkutan.
Apabila dikaji terhadap faktor penyebabnya, maka terdapat kemiskinan struktural
dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural me ngacu kepada sikap masyarakat
yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan yang belum
seimbang dan hasilnya belum terbagi merata. Hal ini disebabkan oleh keadaan
kepemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak
seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh
pendapatan akan menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan yang tidak
merata pula.
Menurut Sumitro Maskun (1997) Kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan
kerja dan kondisi keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari
kungkungan kemiskinan yang menghimpit. Dalam rangka penanggul angan
kemiskinan, maka kebijaksanaan dituangkan dalam tiga arah kebijaksanaan.
Pertama kebijaksanaan tidak langsung yang diarahkan kepada penciptaan kondisi
yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan; kedua
kebijaksanaan langsung yan g ditujukan pada golongan masyarakat berpenghasilan
rendah; dan ketiga, kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk
mempersiapkan masayarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab
langsung terhadap kelancaran program, sekaligus memacu dan me mperluas upaya
untuk menanggulangi kemiskinan. Saat ini, mengingat pentingnya program
kemiskinan, pemerintah telah menyusun lembaga, dan strategi, kebijakan dan
program yang mudah dan implemtatif. Untuk pemerintah kabupaten, lembaga yang
berkompeten dengan kemiskinan adalah: BKKBN, Depkes, Depdiknas, BPS, PMK,
Bagian Sosial, dan sebagainya.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih
banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal
menunjukan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling
mempengaruhi. Oleh karen anya, program akan berjalan efektif apabila
memperhatikan unsur kedua -duanya. Kebijakan yang keliru dapat menyebabkan
suatu keadaan kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan. Ketidakmampuan
masyarakat dalam menyediakan kebutuhan pokok sandang, pangan, dan pa pan,
merupakan tantangan bagi seluruh stake holder.
5*
  # 
! #(  (
Pada era reformasi seperti saat ini, Pemerintah Pusat telah mengundang -
undangkan UU Otonomi Daerah serta Otonomi Khusus agar Pemerintahan Daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur maupun mengelola rumah tangganya
sendiri sesuai dengan potensi, kemampuan dan aspirasi yang berkembang di
masyarakat guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Sunyoto Usman (1998) Untuk melaksanakan strategi pember dayaan
masyarakat diperlukan suatu transformasi peranan Pemerintah daerah dari inisiator
berubah menjadi fasilitator. Perubahan paradigma baru ini ditetapkan dalam strategi
pembangunan yang ditawarkan, antara lain:
1. Memperkuat, memperbaiki dan menciptakan k apasitas kelembagaan
produksi, pendapatan dan pengeluaran;
2. Meningkatkatkan dan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan
pembangunan;
3. Mendistribusikan hasil -hasil pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat
yang difasilitasi oleh Pemda; dan
4. Meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada kemampuan manusia
(capacity building) yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat melalui
strategi pemberdayaan.
Menurut Rakhmat Jalaludin (1999) Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat
dari tiga sisi, antara lain :
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling); dengan kata lain, adanya pemihakan kepada
masyarakat untuk maju dan berkembang karena pada dasarnya setiap
manusia atau masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan .
Sehingga pengertian pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun
daya tersebut dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh masyarakat serta
mengembangkan potensi tersebut; dan
2. Memperkuat potensi atau daya y ang dimiliki masyarakat (empowering)
dengan kata kuncinya adalah penyiapan. Diperlukan untuk menciptakan
iklim dan suasana yang kondusif, meliputi langkah -langkah nyata yang
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses
ke dalam berbagai peluang (opporunity) yang akan membantu masyarakat
lebih berdaya guna.
3. Memberdayakan masyarakat mengandung makna melindungi (kata
kuncinya adalah perlindungan kepada masyarakat). Dalam proses
pemberdayaan masyarakat harus dicegah yang lemah menjadi be rtambah
lemah karena ketidakberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena
itu, perlindungan dan pemihakan kepada masyarakat lemah atau miskin
amat mendasar sifatnya, karena melindungi tidak berarti mengisolasi atau
menutup dari interaksi, karena hal it u akan mengkerdilkan dan melunglaikan
masyarakat yang lemah. Dengan kata lain, melindungi harus ditinjau sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang atau
sehat, serta eksploitasi yang kuat atas masyarakat yang tidak berdaya.
Dalam konsep pembangunan, pemberdayaan adalah menjadikan
masyarakat bukan sebagai obyek dari berbagai proyek pembangunan yang
dilaksanakan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan.
* 
Berdasarkan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) maupun kriteria kemiskinan versi
Bank Dunia menunjukkan bahwa kemiskinan pada Maret 2008 telah mengalami
penurunan 2,21 juta jiwa. Atau, jika dipersentasekan, tingkat kemiskinan telah
mengalami penurunan dari 17,7% pada tahun 2006 menjadi 15,4% pada Maret
2008.
!  4* ±
" #       ##   # #  
 "&4339.6
" ±
"' ##
 È1    ' ##

   :    :
1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47
1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23
1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43
2000 122.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14
2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41
2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20
2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42
2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66
2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97
2006 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75
2007 13.56 23.61 37.17 12.52 20.37 16.58
2008 12.77 22.19 36.96 11.65 18.93 15.42

! ,# *5+;"*< &4±3
! ** ±
" #       ##    =   
6.3
±
" ##  È 1     ##  È
=    :    :
6 3 6 3 6 3 6 3 6 3 6
NAD 195.82 182.19 763.88 710.68 959.70 892.86 16.67 15.44 26.30 24.37 23.53
Sumut 761.75 688.04 852.08 811.64 1.613.83 1.499.68 12.85 11.45 12.29 11.56 12.55
Sumbar 127.28 115.78 349.94 313.48 477.21 429.25 8.30 7.50 11.91 10.60 10.67
Riau 245.06 225.60 321.61 301.89 566.67 527.49 9.12 8.04 12.16 10.93 10.63
Jambi 120.10 117.29 140.48 132.41 260.28 246.69 13.28 12.71 7.43 6.88 9.32
Sumsel 514.70 470.03 734.91 697.85 1249.61 1167.87 18.87 16.93 17.01 15.87 17.73
Bengkulu 131.76 117.60 220.21 206.53 351.97 324.13 21.95 19.16 19.93 18.28 20.64
Lampung 365.56 349.31 1226.03 1208.97 1591.58 1558.28 17.85 16.78 22.14 21.49 20.98
Babel 36.54 28.78 50.18 47.85 86.76 76.63 7.57 586 9.52 8.93 8.58
Kep.Riau 69.22 62.58 67.14 65.63 136.36 128.21 8.81 7.63 9.60 8.98 9.18
DKI Jakarta 379.62 323.17 - - 379.62 323.17 4.29 3.62 - - 4.29
Jabar 2617.43 2531.37 2705.01 2452.20 5322.44 4983.57 10.88 10.33 16.05 14.28 13.01
Jateng 2556.48 2420.94 3633.15 3304.75 6189.63 5725.69 16.34 15.41 21.96 19.89 19.23
DIY 324.16 311.47 292.12 274.31 616.28 585.78 14.99 14.25 24.32 22.60 18.32
Jatim 2340.64 2148.51 4340.64 3874.07 6651.28 6022.59 13.15 12.17 23.64 21.00 18.51
Banten 371.06 348.74 445.71 439.33 816.74 788.07 6.15 562 11.18 10.70 8.15
Bali 115.05 92.06 100.65 89.66 215.70 181.72 5.70 4.50 6.81 5.98 6.17
NTB 560.42 557.54 520.20 493.41 1080.61 1050.95 29.47 28.84 19.73 18.40 23.81
NTT 119.26 109.41 979.07 903.74 1098.33 1013.15 15.50 14.01 27.88 25.35 25.65
Kalbar 12749 93.98 381.29 340.79 508.78 434.77 9.98 7.23 11.49 10.09 11.07
Kalteng 45.35 35.78 154.65 130.08 199.99 165.85 5.81 4.45 10.20 8.34 8.71
Kalsel 81.15 68.76 137.75 107.21 281.90 175.98 5.79 4.82 6.97 5.33 6.48
Kaltim 110.36 77.06 176.08 1622.16 286.44 239.22 5.69 4.00 15.47 13.86 9.51
Sulut 72.68 79.25 150.86 140.31 223.55 219.57 7.56 8.14 12.04 11.05 10.10
Sul.tengah 60.6. 54.67 463.77 435.17 524.70 489.84 11.47 10.09 23.22 21.35 20.75
Sulsel 150.82 124.50 880.93 839.06 1031.75 963.57 6.05 4.94 16.79 15.81 13.34
Sel.tenggara 27.16 26.19 408.73 408.15 435.89 434.34 5.29 4.96 23.78 23.11 19.53
Gorontolo 27.53 22.19 194.09 202.43 221.62 224.62 9.87 7.89 31.72 32.82 24.88
Sulbar 48.33 43. 51 122.75 114.72 171.08 158.23 14.14 12.59 18.03 16.65 16.73
Maluku 44.66 38.77 346.66 341.24 391.32 380.01 1297 11.03 35.56 34.30 29.66
Malut 9.03 8.72 96.02 89.27 105.05 98.00 3.27 3.10 14.67 13.42 11.28
Papua Barat 9.48 8.55 237.02 248.29 246.50 256.84 5.93 5.22 43.67 44.71 35.12
Papua 31.65 28.19 701.50 732.16 733.15 760.35 7.02 6.10 45.74 46.81 37.08
Indonesia 12768.48 11910.53 22194.78 20619.44 34963.26 32529.97 11.65 10.72 18.93 17.35 15.42

! ,# *5+;"*< &4±3
1.  ( !!
 
Kemiskinan sesungguhnya dapat disebabkan oleh keterbatasan kesempatan
sebagian besar rakyat Indonesia untuk mengakses sumber daya yang sebenarnya
dapat berfungsi untuk menghasilkan income (pendapatan), seperti keterbatasan
modal dan asset untuk usaha dan keterbatasan akses terhadap pelayanan sarana
dan prasarana kesehatan dan sanitasi. Selain itu, tingginya tingkat kemiskinan di
negara kita juga disebabkan oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Dalam kaitannya dengan kualitas SDM, tentu kita dapat melihat bagaimana kondisi
dunia pendidikan kita. Apakah usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan dan
memajukan dunia pendidi kan di negara kita sudah benar -benar terwujud. Seperti
kebijakan sertifikasi guru yang telah ditetapkan pemerintah. Karena nyatanya
hingga kini banyak guru yang mengajar di sekolah (baik SD, SMP maupun SMU)
kualitas keilmuannya masih sangat memprihatinkan.
Meskipun para guru telah mendapatkan kenaikan gaji dan tunjangan profesi guru.
Lalu, bagaimana kualitas SDM Indonesia akan meningkat, kalau SDM (tingkat
keilmuan) gurunya saja masih rendah. Tentu kondisi ini lagi -lagi akan menjadi
kendala pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Padahal
pendidikan merupakan modal terpenting untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
hidup rakyat Indonesia. Maka tak salah kalau akhirnya Human Development Indeks
(HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga -lembaga internasional menunjukkan bahwa
posisi kualitas SDM Indonesia sangatlah rendah. Penyebab kemiskinan lain adalah
budaya atau etos kerja rakyat Indonesia yang kini sudah terdegradasi oleh
pengaruh perkembangan zaman. Kini, semangat untuk terus bekerja (melakukan
apa saja) yang penting bisa menghasilkan uang (penghasilan) dengan cara yang
halal demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga telah beralih pada etos kerja yang
menghalalkan segala macam cara. Dan kini, budaya atau etos kerja itu telah
mengalami penurunan dan bera lih menjadi budaya malas yang tahunnya hanya
³meminta-minta saja´. Makanya kini tidak heran kalau para pengemis, pengamen
dan anak-anak jalanan kian menjamur di kota -kota besar dan merupakan suatu
bukti bagaimana pola pikir masyarakat kita yang telah terde gradasi.
Maraknya tindakan korupsi di berbagai lembaga pemerintahan kita juga merupakan
penyebab lain, mengapa tingkat kemiskinan belum juga dapat ditekan. Karena
miliaran hingga triliunan uang negara yang telah diselewengkan oleh berbagai
pejabat di pemerintahan kita telah menimbulkan kerugian besar bagi keuangan
negara. Di satu sisi negara ingin mengentaskan kemiskinan dengan mengucurkan
berbagai aliran dana kepada rakyat miskin. Tetapi di sisi lain, ternyata banyak aliran
dana yang malah diselewengkan ol eh pejabat-pejabat kita di pemerintahan hanya
untuk kepentingan (memperkaya diri sendiri). Seharusnya dana yang
diselewengkan oleh para koruptor tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
perekonomian di negara kita, termasuk membantu rakyat miskin
1. 2. Kekeliruan Kebijakan
Maka jelaslah, kenapa hingga kini masalah kemiskinan belum juga dapat ditekan
hingga pada titik yang terendah. Karena masalah kemiskinan ternyata merupakan
masalah yang kompleks dan banyak dipengaruhi oleh faktor -faktor dalam setiap sisi
kehidupan. Karenanya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
untuk mengentaskan kemiskinan, tapi hingga kini faktanya masih banyak rakyat
Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Sepertinya pemerintah harus lebih jeli lagi dal am memahami masalah kemiskinan.
Karena selama ini, banyak kebijakan yang ditetapkan pemerintah justru malah
membebani rakyat dan secara langsung bukan malah memerangi kemiskinan, tapi
malah menjadikan rakyat semakin miskin. Seperti kebijakan pemerintah unt uk
menetapkan berbagai pajak kepada rakyat yang kini dirasa semakin membebani
rakyat. Karena kita ketahui, banyak hasil pajak yang dipungut dari rakyat tapi
penggunaannya melenceng dari yang diharapkan.
Menurut Sajogyo (1988) Pajak bukan lagi berperan untu k meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Tapi banyaknya pungutan pajak, malah sering digunakan
sebagai ajang korupsi bagi para pejabat kita di pemerintahan. Kekeliruan lain dari
kebijakan pemerintah adalah dengan menyerahkan pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA) Indonesia kepada pihak swasta (asing) dengan alasan demi efisiensi,
kelancaran dan persaingan yang kompetitif dalam mekanisme pasar. Dengan
kebijakan tersebut, sesungguhnya telah menjadi boomerang bagi negara sendiri.
Karena otomatis perusahaan -perusaan asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex,
Newmount, Freeport dan yang lainnya bebas mengeksploitasi kekayaan alam yang
ada di Indonesia.
Akibatnya, bukan pemasukan negara yang bertambah, tetapi pemasukan asing
yang bertambah. Sedang pemasukan negara tidak juga bertambah (malah
berkurang). Dalam kondisi yang seperti ini, tampak jelas bahwa pemerintah
sesungguhnya telah gagal dalam melindungi aset -aset atau kekayaan negara yang
menguasai hajat hidup orang banyak, agar sepenuhnya tetap berada dalam
kekuasaan atau kepemilikan negara. Kalau setiap kebijakan yang telah ditetapkan
pemerintah tidak juga memikirkan dampak buruknya terhadap tingkat kesejahteraan
rakyat dan hanya mementingkan kepentingan para pengusaha dengan tujuan
mencari laba (keuntungan pihak -pihak tertentu saja), rasanya kemiskinan akan sulit
untuk dituntaskan. Karena dampak dari kekeliruan kebijakan yang telah ditetapkan
pemerintah imbasnya justru telah memporak -porandakan kehidupan perekonomian
masyarakat bawah yang selalu saja menjadi objek penderita yang harus menerima
segala kegagalan. Sehingga upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan
kini tak ubahnya seperti sebuah pertaruhan antara hidup dan kematian.
Menurut Dewanta (1995) Dengan demikian pembangunan yang berorientasi pada
kepentingan rakyat akan lebih mengutamakan empat faktor penting yakni :
pemberdayaan masyarakat (people empowerement), partisipasi masyarakat (people
participation), organisasi masyarakat (community organization), dan pemimpin yang
bijaksana (leadership). Faktor -faktor tersebut diatas dimaksudkan untuk
memadukan dan menentukan arah kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan
anatara lain meliputi :
1. a. Kebijaksanaan yang tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan
kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan
kemiskinan. Kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada golongan
masyarakat berpenghasilan rendah..
2. b. Kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan
masyarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung
terhadap kelancaran p rogram, dan sekaligus memacu dan memperluas
upaya untuk menanggulangi kemiskinan.
Oleh karena itu, menurut Korten (dalam Supriatna, 2000) karakteristik pokok
pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu :
1. a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat
lokal.
Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam
mengawasi dan mengerahkan aset -aset untuk memenuhi kebutuhan
menurut daerahnya.
Toleransi terhadap perbedaan.
2. b. Proses pembelajaran sosial (social learning) yang didalamnya terdapat
interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses
perencanaan sampai dengan evaluasi proyek.
3. c. Budaya kelembagaan yang ditandai dengan adanya organisasi yang
mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi.
4. d. Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi
dengan LSM lokal, satuan organisasi tradisional mandiri.
5. +* ( !! %%
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegag alan
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program - program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat
miskin dan progra m jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya
seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat
bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini
justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan
untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya
ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang
bersifat permanen. Di lain pihak, program -program bantuan sosial ini juga dapat
menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana -dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti d ibebaskannya biaya
sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta
dibebaskannya biaya - biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat
(puskesmas). Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program
penanggulangan kemiskin an adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang
penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program -program pembangunan yang
ada tidak didasarkan pada isu -isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda -beda
secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informa si yang digunakan untuk
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil
pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN. Kedua data ini
pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik,
dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator
dampak.
Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar
yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi,
organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka -angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk
kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah
kabupaten atau kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten
Sumba Timur (Edi Suharto, dkk. 2002) :
Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras
untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda
antara BPS dan BKKBN pada waktu itu. Di satu pihak angka kemiskinan Sumba
Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka
kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada
tahun yang sama mencapai 84 persen.
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan -
bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah
data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS. Secara
konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum
sempurna) dapat digunaka n untuk memantau perkembangan serta perbandingan
penduduk miskin antar daerah.
Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat
indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak
dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin.
Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat
menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti
melalui model -model ekonometrik. Meski demikian , indikator- indikator yang
dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator -
indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih
bersifat sentralistik dan seragam -tidak dikembangkan dari kondi si akar rumput dan
belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik -lokal Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi
kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap
manfaatnya untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan
tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi
memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua
aspek yang menyebabkan ke miskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan
untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran
dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional,
tingkat kabupaten a tau kota, maupun di tingkat komunitas. Masalah utama yang
muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut
belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya
dapat digunakan sebagai indikator damp ak dan belum mencakup indikator -indikator
yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau
komunitas. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator -
indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai keb ijakan dan
program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator
tersebut harus sensitif terhadap fenomena -fenomena kemiskinan atau
kesejahteraan individu, keluarga, unit -unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan
kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan
dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat -akibat dari
kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten atau kota dengan dibantu para peneliti perlu
mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya
dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi
pada disiplin ilmu ek onomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan
lainnya. Belum memadai Ukuran -ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum
sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di
daerah. Sebaliknya, informasi -informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat
menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat
mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang
lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan
dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang
spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut
perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan
antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap
terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk
kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari
pemerintah daerah dalam penyed iaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya
dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah
diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai
akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membant u mempercepat
proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam
pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi
statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk
kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi
dan kerja sama antara pihak -pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal
maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang
diberikan ke masyarakat miskin tep at sasaran dan tidak tumpang tindih.
Menurut Karseno Arief (2002) Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu
dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang
memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabka n oleh
kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan
informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk
proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah,
diusulkan agar dilakukan pember dayaan pemerintah daerah, instansi terkait,
perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan
informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil
keputusan, baik pemerintah daerah, dinas -dinas pemerintahan terkait, perguruan
tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya
secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan
yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang
menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan
pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis
yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi
yang spesifik daerah. Pembentuk an tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah
daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun
nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi
yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebu t, perlu disadari bahwa
walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan,
dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya
dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas d an
kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan,
dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola
pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan
dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Menurut Sritua Arief (1999) Upaya -upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan,
pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekol ah formal
saja, namun juga secara non -formal. Di era Bung Karno, anak -anak usia sekolah
bahkan ³dikejar´ agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib
belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada
peningkatan peser ta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973
menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta
huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta
orang yang berumur antara 10 -44 tahun.
Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan
sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970 -an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di
tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat
desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa.
Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih
tinggi daripada rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader -kader
dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin
posyandu, menunjukkan upaya -upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi
semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan deng an
penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan
program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga. Melalui program
transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik
untuk meningkatkan keseja hteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan
tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja para
transmigran.
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres,
seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpr es Pasar, Bangdes, dan yang
agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat
dicatat juga program -program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan
dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan
dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program
penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
pelaksanaan program -program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.
Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah
ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang
seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal
kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok -kelompok usaha
mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan ke lompok-kelompok usaha besar.
Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin
hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok -kelompok usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai
dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya,
informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan
salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan
sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di
samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional,
perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem
statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem
statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan
antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem
pengelolaan informasi yang ber guna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan
daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana
secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan
informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat me ngurangi
pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah
arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui
kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistic tersebut
bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan -kegiatan
pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama
antara pihak -pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik l okal maupun nasional
atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke
masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi
tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil
keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam
hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan
informasi untuk proses pengambilan kep utusan dalam kaitannya dengan
pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah
daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan
merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara -negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman
luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sum ber pembiayaan. Padahal,
sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan
donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak
pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati -hati dan tidak
bertanggung jawab, perencanaan pembangunan bersifat top-down, pelaksanaan
program berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi, liberalisasi
perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi
kemungkinan terpinggirkannya kelomp ok-kelompok miskin di dalam masyarakat.
Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN
* 
'
kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu
pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan
sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini
diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan
tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan
sistem pengelolaan informa si yang spesifik daerah. Berkaitan dengan hal tersebut,
perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain,
diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu
dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula m ekanisme pengumpulan data
untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan data ini
harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat
merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial
budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang
meningkat.
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari paparan di atas adalah:
1. Masalah kemiskinan perkotaan merupakan bagian dari kemiskinan bangsa,
bersumber dari dalam kaum papa sendiri, dan teru tama dampak
pembangunan topdown yang belum memihak sepenuhnya kepada rakyat
banyak.
2. Sumberdaya yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan perkotaan
selama ini masih terlihat belum signifikan disertai komitmen yang tidak
sungguh-sungguh (lipservice).
3. Peningkatan good governance merupakan kunci penanggulangan
kemiskinan perkotaan.
4. Learning process bagi kaum papa perkotaan dan bagi pemerintah yang
terkait dengan penanggulangan kemiskinan, memang merupakan hal berat
yang harus dijalankan, namun demikian ha l itu tidak terasa berat jika kita
sebagai bangsa segera bertekad meninggalkan kemiskinan yang telah
berubah menjadi kehinaan seperti sekarang ini.
Kemiskinan di indonesia, sampai saat sekarang masih banyak dan masih belum
bisa ditangani secara keseluruhan , makin bertambah dan banyak. Tapi semoga
dengan adanya penangulangan kemiskinan yang pemerintah adakan kemiskinan
akan lebih bisa berkurang dan warga masyarakat akan lebih sejahtera dan makmur.
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengat asi masalah
kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat
dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial
yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan,
pemberdayaan dapat dia rtikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau
tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan
pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka
dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran pe nting untuk mengatasi
masalahnya
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan
masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada
kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak
berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil. Proses
otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang
pada awalnya, diyakini na nti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan
adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang
memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program -program
penanggulangan kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan li ngkungan lokal
yang kondusif bagi keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri
sendiri.
>
Achmad, Nur Affandi. 4 .  3   . Harian Kedaulatan
Rakyat Minggu 21 Februari 2010 hal 1.
Arief, Sritua. 1977. 6  .     / 3
   
 
u  . Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Arief R. Karseno, PemberdayaanMasyarakat Melalui Pengembangan Lokalitas
Dalam Perspekti Ekonomi, Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.
Badan Pusat Statistik, 2009.      1 
 2 Berita Resmi
Statistis Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta:CBS.
Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial, 2003,        
6  //%  6  
Dewanta, A.S. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta :
Aditya Media.
Gunawan Sumodiningrat; Sinkronisasi Program Penanggulangan kemiskinan,
Lembaga Pengabdian Masyarakat UGM, 2002.
Jalaludin, Rakhmat., 1999. !   / !    !   , Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Maskun, Sumitro, 1997     3 /4/u  /
   , Media Widya Mandala, Yogyakarta,
Nasikun, 1995, Kemiskinan   6     / dalam   
 u  /
  /     / (Bagong Suyanto, ed), Airlangga Univercity
Press
Nugroho, Heru, 1995., u  /u 
    / dalam buku
Dewanta, Awan Setya,1995., u    u     6   ,
Yogyakarta: Aditya Media.
Pandu Suharto dan Makmun, Sebuah Pengalaman Dalam Mengurangi Kemiskinan
di daerah Pedesaan, dalam Majalah Pengembangan Perbankan Edisi Juli -Agustus
2006.
Sajogyo. 1998. Masalah Kemiskinan di Indonesia. Antara Teori dan Praktek.
Mimbar Sosek Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Suharto, Edi dkk. 2002, u    u     .  u
u   6   , Bandung: Lembaga Studi Pembangunan (LSP) STKS
Sumodiningrat, Gunawan 1997,    3     
  /Bina Rena Pariwara, Jakarta. Cet.2
Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : Rineka Cipta.
Susetiawan, Pengembangan Lokalitas Dalam perspekif Sosial Budaya, Lembaga
Pengabdian Masyarakat UGM, 20 02.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1999,   . 3     , Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Usman, Sunyoto, 1998,           , Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,
http://crackbone.wordpress.com/penyebab -kegagalan-kebijakan-dan-program-
pengentasan-kemiskinan-di-indonesia/

Ê Ê Ê
 Ê 

h  
   

(  
   

Ä 
  °   
      
      °  
   


 
   °


 
          
    
 !"#    #   
         

$  %%#&  '°     $
 (#$ 

  
 # 
 )°

*    
 +    , 
   #
" 
 *#      #  

    
      
   ° -.     /
 
#     #- 
# 0  12 °
, #       
  
 
  °
 #      
 
  '° - 

+  
 +   #- °

, #    3 


   

    
 #     

   
° -0  ' 
    #-   
°

      # 


   #   
 
            
3

 /+

 ,°

 #
  #        
 

 #    /  


° -4    #   
3   
    3   #- °
522 
°+22
6°2
2' 22212&72.  //
 /  

dalam berkehidupan bebrbangsa dan bernegara.

Vous aimerez peut-être aussi