Vous êtes sur la page 1sur 5

Orang yang SEMANALISIS Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962; umur 48 tahun) atau

lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti "Ketawa Bareng Tejo". Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya. Karier Saat kuliah di jurusan Matematika dan jurusan Teknik Sipil Ins titut Teknologi Bandung, hasrat berkesenian Sujiwo mulai berkembang. Saat itu Sujiwo Tejo menjadi penyiar radio kampus, main teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan Dewanto. Sujiwo Tejo juga menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatu Seni Tari dan Karawitan Jawa di Institut an Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983 dan pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983. Sujiwo Tejo yang mendalang wayang kulit sejak anak-anak, mulai mencipta sendiri lakonlakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994). Ia juga menyelesaikan 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia tahun 1996, disusul wayang acappella berjudul Shinta Obong dan lakon Bisma Gugur. Pergumulannya dengan komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), memberinya peluang untuk mengembangkan dirinya secara total di bidang kesenian. Selain mengajar teater di EK sejak 1997, Sujiwo Tejo juga I memberikan workshop teater di berbagai daerah di Indonesia sejak 1998. Berlanjut pada tahun 1999, Tejo memprakarsai berdirinya Jaringan Dalang. Tujuannya adalah untuk memberi napas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan pada tahun 2004, Sujiwo Tejo mendalang keliling Yunani. Pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mulai dikenal masyarakat sebagai penyanyi (selain sebagai dalang) berkat lagu-lagunya dalam album Pada Suatu Ketika. Video klip "Pada Suatu Ketika" meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia 1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Kemudian diikuti labum berikutnya yaitu Pada Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005), dan Yaiyo (2007).

Selain ndalang, Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi San Dalang dalam g pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004 Selain teater, Sujiwo Tejo adalah penulis kritis dan juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga.Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul KafirTidak Diterima di Bumi (2004). Sujiwo Tejo juga menggarap musik untuk pertunjukan musikal berjudul Battle of Love-when love turns sour, yang digelar 31 Mei sampai 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Hasil pertunjukan karya bersama Rusdy Rukmarata (sutradara & koreografer) dan Sujiwo Tejo (komposer musik) akan digunakan untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan bagi anak -anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian Penerus Bangsa. Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul 'Pangeran Katak dan Puteri Impian' yang digelar di Jakarta Convention Center tanggal 1 dan 2 Juli 2006.

Sujiwo Tejo: Kepemimpinan SBY Telah Habis KAMIS, 30/12/2010 - 19:12 YOGYAKARTA, (PRLM).- Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama setahun ini mengalami degradasi. Sebagai pimpinan tertinggi negara, Presiden Yudhoyono telah kehilangan sentuhan dan nurani kepemimpinannya. Berbicara pada acara refleksi akhir tahun di PP Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (30/12), budayawan Sujiwo Tejo menyatakan, pemimpin harus punya sikap mengayomi dan memikul tanggungjawab. Ketika anak buahnya dihujat, dipermalukan, pemimpin harus mengambil sikap dan mengambilalih tanggungjawab. Tidak demikian halnya Presiden Yudhoyono. Ketika kasus Bank Century mencuat, Menteri Ekonomi Sri Mulyani dipermalukan, sebagai perempuan dibakar (dihujat, red), Presiden diam saja. Dia sudah mati (perasaannya sebagai pemimpin,red) ketika anak buahnya yang notabene perempuan dihujat, diam saja, kata dia.

Dia menegaskan, kepemimpinan harus berani mengambilalih tanggungjawab. Bukan sebaliknya, pemimpin ingin menonjol sendiri. Kemudian pemimpin harus mengutamakan hati nurani bukan mengedepankan simbol atributif. Misalnya pemimpin menuntut gelar akademik harus dicantumkan dalam setiap namanya dipanggil atau ditulis dalam papan. Aspek simbol atributif tersebut ditonjolkan oleh pemimpin sekarang. Pemimpin selevel presiden tak perlu gelar, staf ahlinya saja yang harus memiliki gelar akademik. Sebab pemimpin tugasnya memutuskan, staf ahli yang menyampaikan pemikiran, pimpinan mengambil keputusan dengan hati nurani, ujar dia. Sementara pengamat dan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Eko Prasetyo menyatakan pemimpinpemimpin cenderung pamer wajah di mana-mana, tidak menghiraukan bagaimana prestasi yang dicapai. Kemudian para pemimpin cenderung oligarkis. Ketika suaminya menjadi bupati, istrinya harus menjabat ketua parlemen seperti terjadi di daerah tertentu, kata dia. Saya setuju dengan pemikiran pak sujiwo tejo,tentang kepemimpinan presiden kita yang klemar-klemer,tidak tegas dan plinplan.contoh aja kasus lapindo yang itu menurut saya seharusnya bukan bencana alam ataupun bencana nasional melainkan bencana yang perseorangan dari perusahaan yang di miliki Aburzal bakrie,dan sby pun tak brani memberikan sanksi kepada pemilik perusahaan tersebut malah memindahkan bencana tersebut sebagai bencana nasional dan negara yang harus menanggung semua kerugian yang di sebabkan dari perusahaan bakrie entah itu di sengaja karena adanya pembebasan lahan ataoupun tidak di sengaja seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan agar tidak memboroskan anggaran negara.menurut saya SBY Cuma badannya aja yang besar tapi hatinya ciut(kecil).SBY kalah dengan uang dan dia sangat menjaga imagenya untuk kepentingan diri sendiri tidak mengatas namakan rakyat,gimana kalau pemimpin sudah tidak dihargai sama rakyatnya maka seharusnya pemimpin bagaimana keadaan negara ini sudah hancur tambah hancur,ketika rakyat sudah tidak ada segan2nya pada pemimpin maka harusnya pemimpin itu sadar diri dan merubah dirinya sebagai seorang pemimpin yang sebenarnya,pemimpin harus bisa bertanggung jawab dan harus bisa mengayomi seperti yang dipikirkan pak sujiwo tejo. Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri

kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain. Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan. Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu Bersama Kita Bisa (2004) dan Lanjutkan (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional. Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundushendaklah hukum ditegakkanwalaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan. Quid leges sine moribus (Roma)apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas? Keberanian Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan. Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar

diri pemimpinkepentingan rakyatkeraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri. Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya. Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi? Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya? Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela). Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya dengan jargon reformasi gelombang keduaSBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Vous aimerez peut-être aussi