Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia pada bulan Oktober 2001
International IDEA
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) 2002. Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Permohonan izin memperbanyak atau menerjemahkan seluruh atau bagian dari terbitan ini harus ditujukan kepada: Bagian Informasi, International IDEA, S-103 34 Stockholm, Sweden. International IDEA mendukung penyebaran hasil-hasil kerjanya dan akan segera memberi tanggapan pada permintaan yang masuk. Laporan ini terbitan International IDEA. Terbitan International IDEA bukanlah cermin dari kepentingan suatu kelompok politik atau suatu negara tertentu. Pandangan-pandangan yang diungkapkan dalam terbitan ini belum tentu mewakili pandangan Dewan Pengurus maupun Dewan Direksi International IDEA.
Prakata
International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) didirikan pada tahun 1995 untuk mengembangkan dan memajukan demokrasi yang berkelanjutan di seluruh dunia. Tujuan utama lembaga ini adalah mengembangkan dan memfasilitasi dialog-dialog nasional maupun internasional demi meningkatkan dan menguatkan pembangunan yang demokratis. Internasional IDEA telah aktif di Indonesia sejak 1999 dengan memfasilitasi Penilaian Demokratisasi di Indonesia dan menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi yang digariskan dalam laporan tersebut untuk memperkuat lebih lanjut institusi-institusi inti pemerintahan di Indonesia dan menyokong konsolidasi demokratis. Reformasi konstitusi ditunjukkan sebagai prioritas nasional pada saat penilaian ini berlangsung dan terus berlanjut untuk mengembangkan pembahasan yang hidup dan tersebar tentang sifat dan cakupan reformasi tersebut. Dalam konteks ini Internasional IDEA memfasilitasi konferensi mengenai tinjauan konstitusi pada tanggal 1617 Oktober 2001 di Jakarta. Laporan konferensi ini menyaring banyak hal dari pembahasan tersebut dan juga menyoroti persoalan-persoalan yang mungkin muncul. Tinjauan konstitusi tidak dapat dilakukan sebagai kegiatan tersendiri dan ada kemungkinan untuk mengikutsertakan rakyat Indonesia selama periode waktu tertentu. Mengakui bahwa demokrasi adalah suatu usaha jangka panjang dan menegaskan komitmennya untuk mendukung demokrasi berkelanjuatan, Internasional IDEA ikut serta sepenuh hati terhadap proses ini. Internasional IDEA telah menjalin kerjasama yang dekat dengan mitra-mitra internasional dan para pemegang kedaulatan bangsa dalam mendukung proses reformasi ini. Kami berterimakasih terhadap mereka atas kerjasamanya dalam proyek ini. Internasional IDEA menghargai dukungan yang diberikan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara-negara anggota, khususnya terhadap SIDA (Swedish International Development Agency) yang telah memberikan bantuan finansial atas terselenggaranya konferensi ini dan juga terhadap Pemerintah Belanda yang telah memberikan dukungan terus-menerus untuk program di Indonesia. Kami juga berterima kasih kepada para panelis internasional yang telah mempresentasikan makalah dan bersedia hadir dalam konferensi tersebut. Kontribusi mereka begitu besar dan dukungannya bagi proyek demokratisasi begitu dalam. Para pemegang kedaulatan (national stakeholders) yang turut serta menyumbangkan gagasan dalam diskusi ini sebagai panelis dan peserta telah memperkaya konferensi ini dan ini semua tercermin dalam diskusi-diskusi dan rekomendasi yang tercantum dalam laporan ini.
Penghargaan khusus bagi team IDEA - Dr. Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Senior Executive; Indraneel Datta, Programme Officer; Dr. Sarah Maxim, Programme Consultant; Cecilia Bylesj, Programme Associate; dan Jocevine Faralita, Administrative Officer - atas usaha mereka dalam mengkoordinasi konferensi ini dan mengembangkan program tersebut di Indonesia. Terima kasih khusus dipersembahkan bagi Prof. Edward Schneier atas penulisan laporan ini. Dewan dan staf Internasional IDEA tidak perlu mengesahkan isi laporan dan rekomendasinya. Apa yang ditegaskan adalah peran institut ini untuk menyediakan sebuah forum diskusi mengenai masalah-masalah nasional yang penting. Konferensi tentang tinjauan konstitusi yang dilakukan ini adalah salah satu jenisnya.
Daftar isi
Bagian I: Laporan Konferensi
Oleh Prof. Edward Schneier Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Landasan Konstitusi Untuk Demokrasi Berkelanjutan di Indonesia Menetapkan Peranan Badan Legislatif dan Eksekutif Beberapa Institusi Untuk Mendukung dan Melindungi Prinsip-prinsip Demokrasi Jaminan Konstitusi Terhadap Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Implementasi, Pelaksanaan, dan Perubahan 1 3 10 17 25 30 37 41 43 45 48 60 66
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistim Parlementer vs. Presidensial
Pembagian Kekuasaan antara Badan Eksekutif dan Parlemen: Perspektif Perbandingan Gary F Bell . Paradigma Checks and Balances dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif T.A. Legowo Bagaimana Hubungan Legislatif dengan Eksekutif? Ali Maskyur Musa Menetapkan Lembaga-Lembaga Konstitutional: Peran Badan Legislatif dan Eksekutif Dr. Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham Presidensialisme vs. Parlementarisme Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie
77
Ombudsman di Filipina: Penilaian Kinerjanya dan Pelajaran yang Mungkin Bermanfaat bagi Indonesia Teresa Melgar Menjamin Hak Masyarakat untuk Tahu Teten Masduki
130 148 153 155 162 173 175 179 195 209 224 241 243 251 253 265 273
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia Dr. Benjamin Reilly Apakah Sistem Distrik Sesuai untuk Indonesia? Andrew Ellis
Bab 1
Meskipun transisi Indonesia menuju demokrasi sedang terjadi dibawah keadaan yang sulit, kemajuannya dalam membangun dan menopang institusi yang berjalan, prosedur demokratis, dan budaya kebebasan begitu menakjubkan. Namun keadaan ini tetap dalam kondisi rawan. Ekonomi yang masih terpuruk, konflik agama dan etnis yang belum terpecahkan, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan korupsi yang merajalela terus menggerogoti akar sistem yang sedang timbul. Bahkan pada saat mereka bergelut dengan begitu banyak masalah pemerintahan sehari-hari, pemimpin-pemimpin bangsa ini dipaksa secara simultan mendefinisikan kembali peran mereka sendiri, bukan hanya memutuskan persoalan-persoalan pemerintahan tetapi juga meneliti sifat pemerintahan itu sendiri.
sebagai moderator konferensi menyatakan bahwa sebuah konstitusi harus menampung aspirasi rakyat bukan aspirasi para politisi di parlemen. Meskipun ada proses untuk amandemen konstitusi, badan yang ditugaskan melaksanakannya, MPR, kurang mendapatkan kepercayaan rakyat yang sebenarnya diharapkan mampu memberikan aura legitimasi terhadap proses restrukturisasi. Sementara beberapa peserta menyarankan bahwa anggota-anggota legislatif yang sekarang seluruhnya dilarang untuk berpartisipasi, terdapat pula kesepakatan yang berkembang tentang perlunya kebersamaan daripada larangan-larangan, demi suatu proses yang meluas dan diharapkan dapat meningkatkan wacana. Sesaat setelah konferensi resmi tutup, MPR bertemu untuk melaksanakan sidang tahunannya dengan pertanyaan yang begitu banyak pada agendanya mengenai revisi konstitusi, dan dengan tiga partai besar yang mendukung beberapa agenda reformasi. Partai terbesar yang menguasai sepertiga kursi di MPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), mengusulkan suatu konvensi untuk membantu MPR dalam menyusun amandemen. Pendekatan kedua melalui jalur amandemen, yaitu membuat komisi yang beranggotakan 50 orang yang didasarkan atas daerah untuk melakukan fungsi yang sama. Usulan ketiga membentuk komisi-komisi konstitusi tanpa memperhatikan asal-usulnya untuk menyusun dokumen baru secara menyeluruh yang kemudian diratifikasi baik oleh MPR ataupun oleh referendum rakyat. Namun tak satupun usulan sampai pada pengambilan suara pada sidang MPR di bulan November 2001. Sebagai gantinya, Panitia Ad Hoc I MPR atau PAH I yang terdiri dari 45 anggota MPR pilihan ketua partainya mengerjakan seperangkat amandemen untuk melengkapi amandemen sebelumnya yang disahkan pada sidang tahunan MPR 1999 dan 2000. Dibantu oleh satu panel berangotakan 30 ahli dalam bidang hukum, ilmu ekonomi, dan ilmu politik yang ditambahkan pada komisi tersebut dalam kapasitasnya sebagai penasehat pada tahun 2000, komisi tersebut mengirimkan sejumlah usulan, besar dan kecil, kepada MPR. Proposal tersebut, yang dikenal sebagai Amendemen III, tidak pernah sampai pada pengambilan suara dan menerima sedikit liputan dari pers meskipun terdapat beberapa hal yang sangat penting dari aturan-aturan baru yang dibuat. Amendemen tersebut dapat dikatakan sebagai produk dari ketua-ketua partai yang membuat keputusan dengan kesepakatan atau bisa juga dikatakan sebagai kesepakatan-kesepakatan dibelakang kamar antar ketua partai, tergantung pada perspektif masing-masing. Tentunya itu bukanlah hasil dari pedebatan publik yang berkembang luas.
Institusi reformasi
MPR masih memiliki kekuasaan legal untuk membuka proses reformasi bagi rakyat Indonesia. Terlepas apakah MPR mempertahankan kekuasaan untuk pengesahan akhir tersebut atau mendelegasikannya kepada publik melalui referendum, badan tersebut yang bertugas melaksanakan reformasi menyeluruh seharusnya secara ideal harus memenuhi tiga persyaratan. Pertama, badan tersebut yang bertugas membangun satu konstitusi baru haruslah didasarkan secara luas pada tataran nasional dan propinsi serta memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman politik. Namun badan tersebut seharusnya tidak dibatasi hanya dengan memasukkan para politisi saja, tapi juga harus memasukkan cendekiawan, aktifis, dan juga delegasi lainnya yang mewakili keberagaman kelompok agama, gender, etnis, dan daerah di Indonesia. Metode amendemen yang sekarang sangat berkaitan dengan kegagalan pemerintahan yang sekarang dan sebelumnya dalam membangkitkan kepercayaan publik. Bagaimanapun baiknya badan itu melaksanakan tugasnya, jika hanya memainkan peranannya sendiri dalam melaksanakan daftar prioritas reformasi, MPR juga akan dicurigai publik dalam memberikan legitimasi terhadap konstitusi baru yang dibutuhkannya untuk bekerja. Sementara transisi menuju demokrasi dapat dipengaruhi hanya melalui serangkaian amendemen konstitusi yang dibuat melalui proses yang ada sekarang, metode tersebut kuranglah efektif. Revisi konstitusi Thailand oleh legislatif tahun 1995, seperti ditegaskan oleh Gothom Arya dalam makalahnya, sangatlah gagal karena dipahami secara luas bahwa konstitusi tersebut tidak akan mampu mempengaruhi perilaku politik yang sudah berakar. Sejarah terbaru di Spanyol pada tahun 1970an, Filipina ditahun 1987, Argentina, Afrika Selatan dan Eritrea tahun 1994, dan Thailand tahun 1997 menyiratkan suatu saran bahwa proses yang lebih komprehensif dan menyeluruh akan lebih berhasil. Dibawah kondisi normal, hanya badan luarbiasa yang dapat menciptakan apa yang Arya sebut sebagai segitiga kekuatan (triangle of forces) yaitu, pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan kemauan politik untuk menghasilkan perubahan yang bermakna. Kedua, institusi yang mengajukan pembaharuan konstitusi seharusnya badan yang ditugaskan melaksanakan evaluasi dan menuliskan kembali keseluruhan konstitusi. Perubahan sedikit demi sedikit hanya berada di atas kertas bukan memperbaiki kekurangan sistem yang lebih dalam. Amandemen yang berdiri sendiri tidak dapat memenuhi kebutuhan alat pemerintahan dalam menciptakan pemerintah Indonesia yang mampu menghadapi tantangan abad 21. Indonesia akan tertinggal sendiri sebagai satu-satunya negara yang sedang menuju demokrasi di Asia Tenggara yang belum memilih pendekatan komprehensif untuk pembaharuan.
Revisi undang-undang mengenai pemilihan presiden putaran pertama yang dilakukan MPR pada bulan November 2001 adalah satu-satunya contoh terbaru yang berkutat hanya pada pinggiran perubahan. Di suatu negara dimana satu partai terbesar memperoleh dukungan kurang dari sepertiga rakyat, sistem untuk pemilihan presiden secara langsung dengan suara terbanyak tanpa menetapkan mekanisme untuk penentuan pemenang tidak mengakibatkan perubahan sama sekali. Jika MPR secara diam-diam memasukkan dirinya sebagai badan yang memilih presiden dimana tidak satupun memperoleh mayoritas rakyat, tentunya badan ini akan tetap memegang peran utamanya sebagai penentu presiden (president-maker). Jika badan ini melepaskan diri dari peran tersebut dengan membolehkan rakyat melakukan pemilihan untuk menentukan pemenang dengan kegagalan memperhitungkan perannya yang tersisa pada saat fungsinya sebagai penentu presiden ditarik, maka dapat dianalogikan dengan bagian badan yang sudah dipotong tetapi tetap merasakan seolah-olah bagian badan tersebut masih ada. Kurangnya perhatian terhadap masalah reformasi sistem tatacara pemilihan, sementara komisi pemilihan diberikan status konstitusional tanpa wewenang menentukan anggaran sebenarnya akan menimbulkan masalah dimasa depan apapun sistem pemilihan yang digunakan. Yang terakhir, apapun komposisi badan yang betul-betul menuliskan konstitusi baru, badan tersebut haruslah disiplin dan diperiksa oleh kekuasaan yang memiliki wewenang memberikan pengesahan akhir dimanapun kekuasaan itu berada. Konferensi IDEA ini tidak menjelaskan apakah pengesahan akhir harus dilakukan dengan pemungutan suara di MPR, oleh referendum publik, atau oleh kombinasi keduanya.1 Namun ada sedikit keraguan apakah kesuksesan atau kegagalan proses konstitusi akan dinilai pada akhirnya secara luas mampu merefleksikan semangat demokrasi dan membangkitkan kepercayaan publik. Namun ada beberapa resiko terhadap proses ini. Hal yang mungkin timbul adalah adanya isu yang bisa memecah belah yang dapat menghalangi persetujuan akhir, misalnya persoalan Piagam Jakarta, yang mengajukan pelaksanaan hukum syariah wajib bagi seluruh Muslim Indonesia. Adapula kemungkinan bahwa koalisi minoritas yang tidak puas menggagalkan kesepakatan yang telah dibuat dengan dukungan luas. Kemungkinan yang lain adalah tekanan untuk berkompromi akan menghasilkan suatu sistem konstitusi yang terlalu banyak beban dengan check and balance, sehingga menciptakan suatu negara yang benar-benar tidak mampu mengatur. Namun resikoresiko sangat perlu diperhitungkan.
Lukman Hakim, contohnya, memberikan usulan menarik bahwa hasil komisi konstitusi harus disetujui oleh MPR tetapi beberapa keberatan atau modifikasi harus diserahkan kepada rakyat untuk diputuskan melalui referendum. Nampaknya prosedur yang tidak praktis ini telah berhasil digunakan di beberapa negara bagian di Amerika.
Pada konferensi IDEA sebelumnya, seorang ahli hukum Afrika Selatan menjelaskan bahwa konstitusi adalah sebagai otobigrafi suatu bangsa. Seperti yang telah dikatakan Walter Murphy, konstitusi adalah suatu perjanjian yang merumuskan atau menguatkan suatu entitas daripada menciptakannya. Konstitusi menyatukan kelompok-kelompok sebelumnya menjadi suatu kesatuan yang lebih sempurna.2 Simbol-simbol memainkan peranan penting dalam melegitimasi peranan konstitusi. Di beberapa negara, sejarah, budaya, kesukuan, dan agama adalah beberapa kekuatan beragam diluar konsepkonsep kebangsaan yang telah dibentuk sekian lama. Di Indonesia, kenangan tentang perjuangan kemerdekaan dalam beberapa hal disimbolikkan dengan UUD 1945. Konsep Pancasila yang pertama kali dicetuskan oleh Soekarno pada Juni 1945 sebagai lima prinsip dasar negara telah ditafsirkan kembali untuk mempertahankan segala sesuatu dari demokratisasi sampai kediktatoran. Lima prinsip dasar tersebut juga telah menjadi agenda simbolik yang penting untuk mengikat bermacam-macam kelompok masyarakat yang pluralistik. Lima prinsip Pancasila tersebut tidaklah cukup untuk menjamin perlindungan terhadap seluruh hak-hak yang modern seperti sekarang ini. Namun, kelima prinsip tersebut merupakan titik awal untuk penyampaian apapun aspirasi yang muncul demi terbentuknya teks konstitusi baru. Apa jenis konstitusinya? Diluar keberadaan Pancasila, peserta konferensi secara umum setuju bahwa konstitusi baru harus dipelajari lebih detail daripada yang lama. Ada suatu bahaya dalam proses pembuatan konstitusi sekarang ini, yaitu kepentingan-kepentingan tertentu akan berhasil membentengi diri mereka terhadap tindakan-tindakan pemerintah dimasa depan dengan menuliskan jaminan hak istimewa dan kekebalan mereka dalam konstitusi. Beberapa konstitusi negara bagian di Amerika mencapai ratusan halaman berisikan pembatasan rinci tentang pemerintah hanya dari sumber-sumber ini. Sebaliknya, Konstitusi Amerika Serikat sendiri - sama seperti Indonesia sebagai konstitusi terpendek di dunia - sering dipuji karena ketidakrinciannya sehingga membuatnya mudah untuk disesuaikan terhadap perubahan jaman. Konstitusi Amerika Serikat telah bertahan lama karena kerangka pemerintahannya, tidak seperti Indonesia, menyediakan sistem yang dirumuskan dengan baik mengenai hubungan eksekutif legislatif, pemilihan yang demokratis, perlindungan khusus terhadap hak asasi manusia, dan mekanisme untuk pengaturan dan perubahan hubungan antara pemerintah pusat dan negara-
Walter E. Murphy, Constitutions, Constitutionalism and Democracy, di dalam Douglas Greenberg, Stanley N. Katz, Melanie Beth Oliviero dan Steven C. Wheatley, eds. Constitutionalism and Democracy: Transitions in the Contemporary World (New York: Oxford University Press, 1993), hal. 9.
7
negara bagian. Konstitusi Amerika sebenarnya adalah kumpulan preseden formal dan tradisi informal seperti layaknya dokumen yang berisikan kira-kira 8.000 kata. Konstitusi seperti itu tidaklah bisa dibawa ke Indonesia, seperti pengalaman yang telah ditunjukkan. Namun Indonesia dapat menjadikan Amerika sebagai contoh dan beberapa hal terbaru mengenai transisi menuju demokrasi yang dapat dijadikan model. Konferensi IDEA di Jakarta menarik kesimpulan dari pengalaman-pengalaman para peserta sebagai sumber pertama dan beberapa karya ilmiah yang disajikan tentang transisi terbaru di Thailand dan Filipina yang menonjol dan secara khusus berkaitan. Sementara beberapa negara harus merancang institusi-institusinya agar sesuai dengan tradisi dan pengalamannya, makalah dan laporan yang disampaikan dalam konferensi mengidentifikasi hal-hal berikut sebagai sesuatu yang penting dan perlu jaminan serta perluasan dalam konstitusi: Menegaskan peranan legislatif dan eksekutif Menegaskan peran dan fungsi partai-partai politik dan institusi-institusi lain dalam menjamin adanya transparansi dan pemilihan yang bebas Mengefektifkan jaminan konstitusi tentang hak asasi manusia dan kebebasan, serta menyediakan institusi dan mekanisme untuk pengawasan dan pelaksanaannya Menghasilkan mekanisme untuk menguatkan otonomi daerah, demokrasi dan pertanggungjawaban Tiap topik tersebut mendapatkan perhatian pada konferensi IDEA. Persoalan-persoalan yang terdapat diseluruh laporan ini berkaitan dengan agenda reformasi yang dapat dilihat secara jelas, seperti peranan struktur kehakiman, hubungan sipil-militer, peranan wanita, penguatan masyarakat madani (civil society), dan isu-isu pemerataan sosial/ekonomi yang meliputi seluruh aspek-aspek demokrasi konstitusional. Konstitusi secara mendasar adalah suatu dokumen yang membatasi pemerintah, bahkan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis. Dalam demokrasi yang konstitusional, fungsi konstitusi adalah untuk menjelaskan bidang-bidang kebijakan yang seharusnya diubah oleh mayoritas luarbiasa dalam waktu yang luarbiasa. Tidak diragukan bahwa UUD 1945 sangatlah bercendawan karena konstitusi ini dapat dan telah diubah sesuka hati. Apa yang konstitusi baru harus melakukan paling tidak adalah mendefinisikan batasan-batasan antara aspek-aspek kekuasaan legislatif dan eksekutif, peranan partai, hak-hak asasi dan otonomi daerah yang hanya dapat diubah dengan cara luarbiasa. Konstitusi harus dibangun atas dasar kepercayaan publik yang murni dan harus dibangun dengan perhatian khusus.
Bagaimana bentuk kelembagaan yang demikian dapat dibangun dalam bentuk yang berkelanjutan? Tempat kebebasan terakhir terletak pada rakyat. Sebuah konstitusi tidaklah berarti daripada sekedar kata-kata diatas kertas jika dipengaruhi oleh satu pemerintahan yang tidak menerima nilai-nilai dasar. Konstitusi juga menyusun dan membentuk arah dialog politis. Sartori menggambarkan membangun konstitusi sebagai sebuah struktur yang didasarkan atas dorongan yang dengan menetapkan struktur-struktur institusional juga menyusun cara-cara dimana politisi dan rakyat berhubungan satu sama lain.3 Merekapun memiliki makna simbolik yang penting. Murphy mengatakan, Sebuah teks konstitusi yang mengharuskan pejabat bersumpah untuk mendukugnya dapat membentuk ikatan moral yang kuat Mungkin nampaknya hal yang menggelikan menganggap bahwa kata-kata dapat membatasi kekuasaan, namun kimiawi politik dapat mengubah lembaran-lembaran kertas menjadi lingkaran besi.4
Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, edisi kedua (New York: New York University Press, 1997), hal. ix. 4 Murphy, hal. 7.
9
Bab 2
Merupakan fungsi yang paling mendasar dari konstitusi tertulis untuk menyusun dan menetapkan hubungan antar institusi-institusi utama pemerintahan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Keseimbangan yang tepat atas kekuasaan antar institusi politik memang tidak dapat diukir pada batu konstitusi. Demokrasi sejati adalah suatu fungsi tradisi politik dan budaya, namun jalan kecil bagi jalannya kekuasaan - khususnya legislatif dan eksekutif - harus ditandai secara jelas. Konstitusi Indonesia tidak menegaskan hal ini secara jelas. Dibawah kekuasaan Presiden Soeharto, peran legislatif tidak lebih daripada sekedar stempel bagi eksekutif. Memang ini terjadi lebih dari 20 tahun tanpa sekalipun suara parlemen dipertentangkan, karena lebih dari setengah anggotanya ditunjuk bukannya dipilih. Tetapi semenjak pengunduran diri Soeharto pada tahun 1998, parlemen yang hampir tidak berfungsi dan masih berjalan dalam kerangka konstitusi yang sama telah mampu memecat presiden, menata hubungan pemerintah daerah dan pusat, dan menegaskan dirinya sebagai forum perdebatan dan rival bagi kepala eksekutif dalam pembuatan kebijakan. Sementara itu Ali Masykur Musa menuliskan dalam makalahnya bahwa amandemen UUD 1945 belum memenuhi aspirasi masyarakat secara ideal, namun paling tidak telah ada usaha-usaha untuk menegaskan hubungan antara legislatif dan eksekutif. Ia menulis enam cara tertentu dalam makalahnya tentang penegasan hubungan eksekutif dan legislatif, yaitu: Mengurangi kekuasaan presiden, Membentuk DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Menerapkan sistem check and balance, Mengusulkan penggunaan formal sistem pemilihan presiden langsung, Mengusahakan penggunaan bentuk bikameral untuk legislatif, dan Menggunakan protokol yang jelas untuk impeachment dan pemberhentian pada kekuasan legislatif dan eksekutif.
Akan tetapi proses ini jauh dari sempurna dan kegagalan sidang MPR 2001 untuk menyetujui metode penerapan prosedur dalam pemilihan presiden langsung membuktikan begitu banyaknya pekerjaan yang tertinggal untuk dilakukan.
10
Masalah-masalah bikameral
Masalahnya mulai dari legislatif sendiri. Sistem bikameral di Indonesia, dimana MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah berbagai utusan daerah dan yang ditunjuk memiliki beberapa pelindung. Harga sebuah bikameral mungkin tinggi, bukan hanya dalam masalah keuangan tetapi juga karena kecenderungannya untuk memperlambat proses pembuatan keputusan dan ini membingungkan garis tanggung jawab politik. Selain itu ini juga tidak efektif, sebagai contoh ketika menteri-menteri harus mempertahankan kebijakan yang sama dua kali didepan tiap komite di masing-masing dewan. Ada suatu persetujuan substansial bahwa apa yang harus dilakukan ini tidak dapat dibenarkan kecuali dewan kedua memiliki peran yang khusus dan jelas. Dewan kedua dalam legislatif secara khusus berbeda dalam komposisi, ketentuan tentang tugas yang harus dijalankan, peranan, atau kombinasi dari ketiganya. Dewan kedua ditunjuk untuk mewakili kelompok elit tertentu, seperti House of Lords di Inggris, jarang diberi kekuasaan yang sesungguhnya dalam demokrasi modern. Demikian pula halnya dengan perwakilan fungsional dan penunjukkan militer sudah lama tidak digunakan lagi. Keberadaan sebagian besar mayoritas majelis kedua di parlemen-parlemen dunia adalah untuk memberikan representasi yang kuat terhadap kepentingan daerah, dan ini dapat ditemukan di sebagian besar negara seperti Indonesia dengan kepentingan geografis yang berbeda dan dimana satu atau lebih kelompok regional tidak percaya terhadap sistem yang dibangun pada skala nasional. Seperti pada Senat di Amerika atau Dewan Menteri (Council of Ministers) di Masyarakat Eropa (European Union), perwakilan dalam majelis tinggi (upper house) hanya didasarkan pada letak geografi bukan pada prinsip demokrasi yang didasarkan pada keseimbangan dari jumlah penduduk suatu wilayah seperti yang belaku pada majelis rendah (lower house). Sementara konferensi IDEA sangat menyetujui bahwa seharusnya ada dewan kedua (second chamber) yang terdiri dari perwakilan-perwakilan pilihan daerah yang dibentuk atas dasar pertimbangan regional daripada didasarkan atas persamaan jumlah penduduk, konferensi ini malah tidak mempelajari pertanyaan yang sangat penting tentang bagaimana batas daerah seharusnya ditentukan. Namun, apakah perwakilan tersebut terdiri dari propinsi, kabupaten, dan kotamadya atau apakah mereka anggota tunggal atau banyak (single or multi-member) adalah kurang penting daripada jika mereka ditetapkannya dalam konstitusi dan sulit diubah. Lebih dari satu sistem federal telah menghadapi perang sipil atau konflik yang lebih serius terhadap pertanyaan tentang kapan, bagaimana, dan apakah unit perwakilan baru dapat diciptakan. Dalam sejarah singkat desentralisasi di Indonesia, telah terdapat paling tidak 12 usulan penting tentang pembentukan entitas regional baru dengan 4 diantaranya sedang dalam beberapa tahap pelaksanaan. Yang penting disini adalah bahwa dengan badan legislatif yang mewakili daerah-daerah, setiap daerah yang baru dibentuk
11
menjadi baik sebuah entitas politik maupun sebuah ancaman terhadap keseimbangan kekuasaan yang ada dalam legislatif nasional. Dalam dewan bikameral dimana satu dewan didasarkan secara jelas atas aturan-aturan kedaerahan yang tidak sama, maka sangatlah penting bahwa badan legislatif lainnya harus dapat mempraktekkannya secara teliti berdasarkan daerah dengan jumlah penduduk yang merata. Oleh karena itu konstitusi memerlukan sensus tiap 10 tahun yang dilaksanakan oleh komisi yang diberi mandat secara konstitusional dan independen. Barangkali juga diinginkan untuk memberikan kekuasaan bagian baru dan penarikan periodik batas-batas distrik dalam suatu komisi independen (lihat Bab 3). Pada beberapa sistem bikameral, kedua dewan sangat identik dengan kekuasaan formal. Beberapa diantaranya membatasi majelis tinggi terhadap peran seremonial, perdebatan, atau pemvetoan. Sementara yang lainnya memberikan kekuasaan khusus terhadap majelis tinggi seperti yang terjadi di Amerika dimana hanya Senat yang diberi kuasa untuk meratifikasi perjanjian-perjanjian dan menyetujui pengangkatan eksekutif. Kekuasaan untuk meratifikasi perjanjian-perjanjian secara umum lebih baik diajukan pada kedua majelis daripada 2/3 suara yang digunakan dalam Senat yang telah begitu sering menghalangi langkah internasional di Amerika Serikat. Meskipun demikian, sistem Amerika yang memberikan kekuasaan pada Senat tentang persetujuan pengangkatan perlu dicoba untuk dilakukan. Mewajibkan seluruh orang-orang yang diangkat untuk menyerahkan surat mandat kepada dua majelis yang terpisah benar-benar hal yang sulit untuk dilakukan; namun penelitian kualifikasi dan catatan masa lalu para pejabat kabinet, diplomat, hakim dan pemimpin tinggi niliter oleh beberapa bagian dewan adalah salah satu cara check and balance dalam sistem demokrasi. Pemberian kekuasaan seperti ini pada badan yang dipilih atas dasar teritorial akan menjamin keseimbangan regional dalam posisi-posisi kunci yang ditetapkan. Dalam konferensi IDEA tersebut, para peserta sering membicarakan tentang pengembangan sistem yang menggabungkan sistem presidensiil dan parlementer. Ada konsensus yang kuat tentang perlunya (a) pemilihan presiden langsung oleh rakyat, dan (b) suatu sistem check and balance antara kekuasaan eksekutif dan legislatif yang mengarah secara jelas pada sistem yang lebih presidensiil daripada parlementer. Pemerintahan parlementer tidaklah sesuai dengan sistem bikameral dan ini bisa berjalan dengan baik jika terdapat sistem partai yang stabil. Tujuan Indonesia yang sukar dipahami tentang penggabungan kesatuan dan keberagaman lebih lanjut memerlukan keberadaan simbol manusia untuk persatuan bangsa. Karena ketiadaan monarki yang turun temurun, maka kekuasan tersebut berada ditangan eksekutif yang dipilih secara demokratis. Namun pertanyaaannya adalah seberapa besar tingkat kekuasaan yang harus berada ditangannya?
12
13
presiden.... [mereka] belum menyediakan mekanisme dalam menghadapi kebuntuan dan kemacetan yang dapat menuju pada kemelut dan kediktatoran dengan keberpihakan legislatif. Dengan dipilih oleh koalisi pemilihan yang terdiri dari unsur beragam, presiden dan dewan akan selalu berada dalam konflik. Tugas yang sulit dari para pembuat konstitusi adalah memberikan sumber-sumber yang memadai untuk menjaga keseimbangan seluruh sistem. Melalui kemampuannya dalam memperoleh mandat, presiden yang dipilih secara langsung datang ke arena kompetisi dengan keuntungan yang besar. Tetapi dengan mengingat pengalaman masa lalu, ada suatu bahaya bahwa konvensi konstitusi di Indonesia mungkin terlalu jauh membatasi kekuasaan eksekutif dengan maksud menimbulkan kevakuman dan kebuntuan pemerintahan sehingga bukan tidak mungkin akan menuju pada permintaan kembalinya kekuasaan otoriter. Walaupun konferensi IDEA tidak berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan tersebut secara khusus, jelaslah bahwa keseimbangan yang tepat dapat dicapai hanya dengan menyeimbangkan ketentuan-ketentuan konstitusi yang beragam. Elemen utama dalam sistem check and balance adalah kejelasan peranan langsung presiden dalam proses legislatif. Wewenang kepala eksekutif untuk memprakarsai akan selalu kuat. Ada sedikit ketertarikan peserta konferensi dalam membahas pembatasan kekuasaan formal presiden untuk menyusun anggaran, melaporkan dan merekomendasikannya kepada parlemen, serta memprakarsai negosiasi dengan pemerintah asing dan badan-badan internasional. Namun tidak ada kesepakatan tentang apa wewenang yang harus diberikan kepada presiden pada bagian akhir proses legislatif, yaitu kekuasaan seperti apa untuk memveto atau kapasitas yang sebaliknya melanggar kerja badan legislatifr. Tommi Legowo berkomentar tentang hubungan legislatif-eksekutif bahwa menurutnya rakyat Indonesi agak trauma dengan kekuasaan yang terlampau banyak berada ditangan badan eksekutif. Dalam sistem check and balance, presiden biasanya memiliki beberapa kewenangan veto. Amandemen mandat MPR secara efektif telah menghapuskan wewenang veto presiden. Masalahnya jelas bahwa jika presiden dilucuti kekuasaannya untuk memperjuangkan suatu kebijakan dengan dewan namun hanya memposisikan sebagai pejabat yang dipilih secara nasional dan sebagai kepala pemerintahan, godaan untuk menentang dewan dengan cara yang tidak transparan akan kuat. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan menahan atau menolak mengeluarkan dana yang tersedia, atau dengan menggagalkan pelaksanaan undang-undang yang tidak ia sukai. Hal ini dimana kemelut konstitusi dibangun. Pada sisi lain, jika konstitusi meniadakan beberapa atau seluruh alat yang dapat digunakan presiden untuk menghadapi atau berkonfrontasi dengan dewan, maka presiden sebenarnya hanya menjadi boneka (figurehead). Masalahnya disini adalah tidak adanya pengawasan (check) yang ditentukan oleh pihak yang
14
bertanggung jawab dan kabinet dalam sistem parlementer. Pendeknya tidak ada pengawasan sama sekali di Indonesia. Kekuasaan veto presiden tidak perlu begitu kuat dan dapat dibatasi terhadap seluruh rancangan undang-undang dan bukan bagian-bagian tersendiri yang ada dalam rancangan undang-undang. Kekuasaan untuk memveto dalam skenario ini menjadi bagian proses lebih besar dalam meningkatan transparansi, sorotan pers, dan perdebatan politik mengenai bidang utama publik. Untuk memajukan partisipasi publik dan kesadaran rakyat mengenai proses politik dan kebijakan publik, maka hal yang penting adalah seluruh aspek dalam proses legislatif haruslah makin terbuka dan memasyarakat. Atas tujuan ini, seharusnya tidak ada alasan membatasi laporan pers tentang pembahasan dan prosesi dalam DPR atau komite lainnya. Sebagaimana eksekutif, ia seharusnya mampu menyoroti dan menyampaikan kepada publik mengenai isu-isu penting dengan menggunakan wewenang vetonya, juga seharusnya dewan memiliki kemampuan melakukan penyelidikan, mencari kesaksian dengan panggilan tertulis untuk tampil dalam sidang jika perlu dari badan-badan eksekutif dan perusahaan swasta atau pribadi demi mendapatkan legislatif yang legitimate dan kealpaan yang terjadi. Walaupun MPR menarik wewenang veto presiden, lembaga ini dituntut untuk menyeimbangkan kembali hubungan dengan meningkatkan standar impeachment; seperti yang ditunjukkan dalam pengalaman Presiden Clinton di Amerika Serikat, bahasa formal konstitusi memiliki sedikit hubungan dengan riil politik impeachment. Ketakukan di Indonesia untuk memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada eksekutif sangatlah beralasan. Konstitusi baru seharusnya secara jelas memberikan dewan alat yang dibutuhkan untuk bertindak sebagai pengontrol yang efektif. Pengendalian terakhir atas kekuasaan eksekutif mungkin berupa impeachment, namun ini merupakan instrumen sederhana yang sebaiknya tidak sering diberlakukan. Gabungan bentuk parlementer dan presidensil yang unik di Indonesia mungkin dapat mengkompromikan hal ini, yaitu dengan menggabungkan impeachment dengan gagasan mosi tidak percaya dimana dewan memberikan suara memecat presiden sebelum akhir masa jabatannya dan diminta melakukan pemilihan baru. Hal-hal yang berkaitan dengan pemecatan dan batas waktu kepemipinan hendaknya ditetapkan secara jelas dalam konstitusi. Kewenangan dewan untuk menyetujui pengangkatan eksekutif dan perjanjian-perjanjian seharusnya secara ekspilist ditetapkan. Dewan seharusnya memiliki stafstaf yang dapat membantu dewan, pemerikasa anggaran misalnya, yuntuk dapat bersaing secara cerdas dengan birokrasi. Dewan seharusnya memiliki kemampuan dan sumber-sumber informasi
15
untuk menjaga implementasi dan amandemen anggaran dasarnya. Dewan seharusnya juga memiliki kontrol terhadap jabatan auditing dan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keuangan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, pemerintah daerah dan lokal, dan polisi. Lebih lanjut, tugas seorang wakil rakyat seharusnya menjadi tugas yang full-time dengan konflik kepentingan yang kuat tentang undang-undang yang harus dibuat dan ditegakkan. Gary Bell menyimpulkan dalam presentasi konferensi tersebut bahwa Indonesia menghadapi begitu banyak masalah sekarang ini sehingga rakyat berpikir bahwa reformasi konstitusi seharusnya menjadi prioritas... Sayangnya, ketidakjelasan konstitusi turut andil dalam ketidakpastian politik dan perselisihan antara parlemen dan presiden. Pembagian wewenang seharusnya menjadi persoalan yang harus dibahas. Persoalan ini seharusnya tidak dibahas diluar konteks beberapa persoalan lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Kadirgamar-Rajasingham dalam makalahnya, Ada bahaya dalam semata-mata hanya membahas tentang kekuasaan, peranan, dan tanggung jawab dari institusi yang ada sekarang tanpa membahas implikasinya terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada keutuhan dan integritas konstitusi secara menyeluruh. Juga harus ada pengertian yang lebih jelas tentang jenis sistem pemerintahan yang ingin diterapkan rakyat Indonesia.
16
Bab 3
Jika hak memberikan suara adalah nilai demokrasi yang paling mendasar, maka hak agar suara tersebut dicatat secara akurat adalah nilai paling penting kedua dalam demokrasi. Pergantian dan perubahan penduduk dalam teknologi dan sikap sosial sering menuntut penyesuaian dalam aturanaturan permainan politik, sehingga membuatya penting untuk proses kajian dan revisi terperinci selanjutnya. Sementara itu, hak memberikan suara yang tidak terlindungi secara konstitusional sangat mudah dimanipulasi oleh para politisi terpilih. Politisi mungkin tidak hanya sangat berpengetahuan tentang nuansa aturan pemberian suara tetapi juga seorang yang sangat dipengaruhi oleh perubahan. Apa yang disebut dengan komisi independen jarang sekali bersikap netral baik dalam komposisinya maupun dalam tindakannya, walaupun mereka sering menerima kritikan dan senantiasa menghadapi godaan untuk berbuat hanya atas dasar kepentingan pribadi sesaat. Praktek yang sehat menuntut kombinasi yang hatihati dari landasan konstitusi yang kokoh, peraturan yang tidak memihak, dan politik yang normal. Konstitusi harus menjamin hak pilih yang universal dengan cara yang memungkinkan dewan memberi pengecualian yang beralasan (misalnya, bagi narapidana dan penduduk yang tinggal di luar negeri) sementara tetap melarang pencabutan hak memilih yang didasarkan pada etnis, gender, pekerjaan, agama atau kekayaan. Ini artinya bahwa tidak seorangpun, termasuk anggota militer, harus menerima perwakilan khusus atau menerima penolakan atas hak-hak sipil mereka secara penuh.
Sistem pemilihan
Konstitusi juga harus menegaskan kantor-kantor mana yang akan dipilih dan ditunjuk, oleh jenis sistem voting yang mana dalam kasus pejabat-pejabat terpilih, batasan masa bakti jika ada, dari jenis distrik yang mana, dan dengan jenis kemajemukan macam apa. (Lihat Bab 5) Pada tingkat nasional tampaknya ada konsensus yang agak jelas bahwa presiden dan wakil presiden seharusnya dipilih secara langsung sebagai tiket untuk masa bakti empat tahun yang ditetapkan dan dibatasi hanya untuk dua periode. Kontroversi yang tak terpecahkan dalam sidang MPR pada bulan November 2001 terpusat pada persoalan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi kemungkinan dimana tidak seorangpun calon mendapat mayoritas suara mutlak. Sistem pluralitas first-past-the-post (FPTP), dimana orang dengan paling banyak suara memenangkan pemilihan, dapat dipilih menjadi presiden seperti yang terjadi di Filipina pada 1992 dengan 24 persen dari total suara atau bahkan lebih sedikit dari itu. Di beberapa propinsi di Indonesia, dimana sebanyak 40 atau 50 calon kadang-kadang mencalonkan diri untuk satu
17
kursi di dewan, ini bahkan bisa berarti kemenangan bagi seorang calon hanya dengan sedikitnya 10 persen suara. Sistem ini, seperti yang dikatakan oleh Dr. Benjamin Reilly dalam konferensi tersebut, dapat secara mudah memilih seorang calon yang sangat kurang populer secara menyeluruh. Sistem ini memiliki sedikit pendukung di Indonesia. Alternatifnya adalah baik dengan memberdayakan beberapa badan lain (misalnya MPR) untuk memilih pemenang akhir, atau dengan mengajukan prosedur yang mendorong kemenangan mayoritas. Sistem dua putaran, dimana putaran kedua pengambilan suara mengadu dua orang yang memperoleh suara terbesar dari putaran pertama, telah menjadi alternatif yang paling sering dibahas, meskipun sebagaimana yang dijelaskan Reilly dalam makalahnya, bahwa ada sejumlah alternatif lainnya yang dapat dilakukan. Sistem di Australia contohnya, dengan penghitungan pilihan-pilihan kedua yang disampaikan oleh pemberi suara pada kartu suara, membolehkan pemberi suara mengurutkan pilihan mereka tanpa harus melalui dua putaran pengambilan suara. Walaupun konferensi tersebut tidak mengesahkan prosedur tertentu untuk mempersyaratkan seorang calon memenangkan mayoritas suara rakyat, gagasan untuk memberikan wewenang ini kepada MPR mendapat sedikit pendukung. Aturan pemilihan dewan lebih controversial lagi, namun seharusnya tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari aturan-aturan yang mengatur tentang pemilihan presiden. Sebagai contoh, jika majelis sebagian dipilih oleh perwakilan distrik yang beranggota tunggal, kemudian majelis harus memecahkan masalah plurality vs majority dimana kekurangan sistem FPTP sama seperti untuk kepresidenan. Salah satu argumen yang sering diangkat untuk menentang pemungutan suara putaran kedua untuk memilih presiden, yaitu alasan bahwa sistem ini terlalu mahal, kehilangan banyak daya jika putaran kedua dalam pemilihan legislatif harus dilakukan. Dalam parameter yang ditentukan oleh konstitusi, regulasi sistem pemilihan berkembang menuju bidang-bidang yang bersinggungan seperti alokasi aktual kursi legislatif dan penarikan garis distrik, undang-undang tentang pembiayaan kampanye dan larangan terhadap korupsi, undang-undang yang menetapkan dan mengatur partai-partai politik, aturan praktek kampanye yang fair, prosedur tabulasi dan pelaporan suara, aturan dan mekanisme dalam pemecahan sengketa pemilihan, dan sebagainya. Tatkala beberapa aturan dan regulasi ini dapat diberlakukan dengan undang-undang sederhana, konstitusi yang baru-baru ini diterapkan di negara-negara lain yang telah mengkonsolidasikan transisi menuju demokrasi biasanya telah menciptakan satu atau lebih badan independen yang bertugas terhadap pengawasan dan pelaksanaan beberapa tanggungjawab tersebut. Amandemen III, yang diterima oleh MPR dalam sidang tahunan 2001, secara konstitusional menjamin keberadaan dan fungsi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini merupakan langkah besar menuju transparansi dan reformasi, namun karena pengelolaan dan kontrol anggaran
18
pemilihan masih berada dibawah Departemen Dalam Negeri maka tidak jelas apakah peran ini murni hanya akan menjadi penasehat, dan jika tidak, maka seberapa luas wewenangnya. Sebelum memutuskan fungsi apa yang harus diberikan pada KPU, pertama-tama harus diputuskan jenis sistem apa yang akan diciptakan oleh konstitusi hasil revisi. Makalah Andrew Ellis yang disampaikan dalam konferensi mengemukakan suatu hal yang meyakinkan bahwa pengenalan sistem pemilihan yang menggunakan single-member district sendirian mungkin akan menimbulkan pengaruh bagi Indonesia yang tentunya akan berdampak negatif dan sangat mungkin merusak. Salah satu pendapatanya adalah bahwa hampir setiap jenis rencana single-member district akan mencipatkan mayoritas artifisial. Dalam pemilihan umum 1999 contohnya, secara esensil DPR terbagi dalam satu partai mayoritas yang berbasis hampir diseluruh Jawa dan Bali, dan koalisi partai-partai minoritas yang didominasi Golkar menguasai hampir setiap daerah. Ellis mengatakan, tidak perlu imajinasi untuk memahami sistem politik yang pemilihannya membagi Jawa dan Bali pada satu sisi dan bagian Indonesia lainnya pada sisi lain sebagai ancaman terhadap stabilitas Republik Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Ellis juga berargumentasi bahwa single-member districts bisa menciptakan mayoritas artifisial dan membedakan minoritas yang tersebar ditiap daerah. Pada tahun 1999, hampir semua ragam sistem single-member district telah memberi PDI-P mayoritas kursi mutlak, walaupun dukungannya kurang dari setengah dari jumlah total suara. Dalam pandangannya juga single-member district cenderung berlaku diskriminasi terhadap wanita dan etnis minoritas, sementara sistem dengan wilayah pemilihan yang kecil cenderung membuat kebanyakan kursi di parlemen relatif aman bagi satu partai atau lainnya. Keadaan tersebut melemahkan dialog politik yang bermakna dan memindahkan kekuatan efektif dari para pemilih kepada perlengkapan nominasi partai yang menduduki kursi. Ellis juga menyebutkan kekacauan dan masalah-masalah penghitungan yang fair dimana wilayah-wilayah kecil tersebar diseluruh daerah geografis yang luas membuat pengawasan terhadap suara lebih sulit. Dan akhirnya, jenis ikatan representasi yang berhubungan dengan konstituen yang mendasari pertimbangan pokok penggunaan single-member district tidak memiliki akar tradisi di Indonesia: mekanisme dalam undang-undang pemilihan sekarang yang berusaha menghubungkan anggota-anggota DPR dengan wilayah tertentu sudah tidak efektif. Perwakilan dan pemilihan Ditengah peringatan penting, peserta simposium tentang reformasi pemilihan menunjukkan kemauan yang sungguh-sungguh dan bahkan rasa antusiasme atas mekanisme yang didesain untuk mengikat wakil-wakil rakyat lebih dekat pada urusan teritorial, dan untuk melepaskan dugaan yang dipahami secara luas bahwa sebagian besar anggota dewan secara fisik dan psikologis berbasis di Jakarta. Sistem distrik, sebagaimana ditegaskan Reilly dalam makalahnya, cenderung
19
menghasilkan wakil-wakil yang lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap pemilihnya, cenderung bekerja keras untuk menyenangkan konstituennya, dan membawa keuntungan dan jasa terhadap distrik yang memilih mereka. Ketika dijalankan dalam sistem check and balance dimana perhatian yang sempit diseimbangkan dalam majelis oleh pihak-pihak partai, ideologi, dan kepribadian, sedangkan dalam pemerintahan oleh kekuasaan eksekutif yang berorientasi secara lebih nasional, sistem ini bisa membantu menghidupkan regionalisasi pemerintah yang bersifat simbolis. Meskipun sulit dimonitor dan dijalankan, persyaratan tentang tempat kediaman adalah satu dari sekian banyak alat paling sederhana yang dapat digunakan untuk mendorong rasa kedaerahan (localism), apapun sistem distrik yang digunakan. Peraturan tentang proses nominasi mungkin juga diinginkan, karena, menurut Ellis, prasangka miring terhadap Jakarta hampir tak terelakkan sementara hak menominasikan seorang calon dilakukan oleh komite pusat partai politik, bukan oleh komite dan anggota di tiap daerah. Ini menunjukkan bahwa pembahasan tentang perwakilan harus mencakup demokrasi dalam partai-partai serta peraturan tentang kontes antar partai. Rencana yang paling rinci untuk lokalisasi, tentunya, akan menjadi penciptaan dewan kedua yang didirikan terutama di wilayah yang ditetapkan secara geografis. Rencana ini agaknya akan membiarkan DPR sebagaimana adanya. Namun, jika ini merupakan opsi yang dipilih, secara umum disetujui bahwa sistem yang agak unik yang digunakan pada pemilihan 1999 masih perlu direvisi secara substansial. Meskipun pemilihan tersebut diselenggarakan dengan bentuk sistem daftar partai/proporsional yang memastikan perwakilan partai dalam proporsi yang adil sesuai dengan suara yang diperolehnya, Reilly menyatakan, cara dimana para calon dialokasikan untuk mewakili daerah tertentu adalah sumber kekacauan yang besar, atau penipuan yang jelas terhadap para pemilih meminjam kata-kata yang disampaikan oleh salah seorang peserta konferensi. Partai politik ciptaan negara jelas tidak demokratis, tapi peran partai dalam sistem perwakilan suatu bangsa begitu sentralistik sehingga mereka seharusnya diberi status konstitusional dan tunduk pada kontrol prosedural dan etika tertentu. Sebagai contoh, proses dimana daftar partai disusun adalah hal yang berkaitan dengan perhatian publik yang kuat dan seharusnya diatur negara untuk memastikan keseragaman, transparansi, desentralisasi dan keadilan. Apapun sistem pemilihannya, proses pembatasan wilayah mempengaruhi hasilnya. Semakin kecil ukuran suatu distrik, semakin besar distorsi suara pemilih. Pada satu kondisi ekstrim, singlemember district secara jelas cenderung melebih-lebihkan jumlah suara partai terbesar yang memenangkan pemilihan dan menghapuskan partai terkecil. Tingkat proporsionalitas tertinggi dicapai hanya dengan memperoleh satu distrik nasional. Karena berkaitan dengan perlunya
20
menggambarkan perbedaan-perbedaan daerah, Israel menjadi satu-satunya negara yang melakukan pemilihan dengan daftar tunggal nasional. Tapi soal ukuran distrik perlu mendapat pertimbangan konstitusi yang serius karena dapat menimbulkan dampak yang dramatis terhadap jumlah partai yang mungkin dapat berjalan terus dalam pemilihan, dan kedekatan dalam hal kewilayahan yang dirasa setiap anggota legislatif terhadap diri dan distriknya. Paling tidak, konstitusi harus menetapkan petunjuk dasar tentang ukuran distrik dan mempercayakan standar minimum persamaan hak penduduk dan tingkat dimana distrik diperkenankan untuk menyimpang melintasi garis propinsi dan kabupaten. Apapun soal implementasi dan pelaksanaan aturan yang diserahkan kepada komisi independen dan pada pengadilan menjadi kurang penting dibanding kalau diungkapkan secara jelas untuk menjaga konsistensi dan menghindari tuduhan bahwa aturan-aturan sedang dicurangi demi mendukung partai atau fraksi tertentu. Dengan ketiadaan sistem bikameral secara penuh, maka panel membahas beragam metode dimana badan legislatif satu-rumah (one-house legislature) dapat didasarkan pada sistem pemilihan ganda yang menggabungkan distrik single- dan multi-member. Sementara sistem demikian dianggap penting dimana single-member district harus cukup kecil dalam ukuran untuk mencapai pengaruh yang diinginkan tentang penekanan perhatian konstituensi daerah, ada persetujuan substansial bahwa sistem terpadu mungkin bisa berjalan lebih baik. Seperti yang dikatakan Reilly bahwa, adalah mungkin saja untuk meningkatkan tanggungjawab dan kepekaan para anggota terpilih, dan selanjutnya secara luas meningkatkan prospek konsolidasi demokratis. Meskipun majelis unikameral demikian cukup besar menurut standar internasional, penghematan dalam hal efisiensi, tanggung-jawab dan uang mungkin menjadi begitu substansial. Sistem unikameral juga memiliki keuntungan tambahan karena kecil kemungkinannya menghadapi kebuntuan. Pemilihan campuran, badan legislatif satu-rumah, seperti yang dijelaskan oleh Reilly dalam makalahnya, dapat dibentuk dalam beberapa cara berbeda. Banyak negara di kawasan Asia-Pasifik yang menggunakan sistem pemilihan campuran (seperti Jepang, Korea, Filipina, Taiwan, dan Thailand) mengukur keseimbangannya demi kepentingan anggota partai tingkat distrik, mulai dari 60 persen (Jepang) sampai pada 80 persen (Filipina dan Thailand) dari jumlah kursi. Jika sistem unikameral seperti itu diterapkan, kombinasi single-member district dan wilayah-wilayah dengan daftar partai yang relatif kecil mungkin akan menghasilkan, khususnya dalam jangka waktu lama, pengurangan yang signifikan dari jumlah partai yang berkompetisi secara efektif di seluruh negara.
21
Sartori, pp 74-75
22
masyarakat sipil yang mengangkat dan memperkuat demokrasi adalah salah satu tema yang paling kuat mendasari semua sessi. Kehidupan perkumpulan yang kaya adalah variabel budaya yang paling dekat dihubungkan dengan demokrasi yang stabil. Jaminan konstitusi tentang hak untuk berkumpul dan hak-hak yang saling berhubungan seperti kebebasan berbicara, kebebasan menyampaikan petisi dan kebebasan pers adalah mutlak sebagai dasar pengembangan masyarakat sipil. Sumber pendorong yang paling mendasar terhadap pengembangan-pengembangan ini berada dalam lembaga-lembaga pememerintahan sendiri, khususnya kemauan untuk menjaga agar masyarakat senantiasa memperoleh informasi. Teten Masduki menyampaikan, untuk memperkuat partisipasi publik demikian... apa yang paling penting adalah perlindungan hukum bagi hak-hak publik memperoleh akses terhadap informasi dan perlindungan hak-hak mereka untuk mengontrol kegiatan negara, seluruhnya dijamin dalam konstitusi sedemikian rupa sehingga ini menjadi norma dalam aktifitas negara. Kebebasan mendapatkan informasi dan perlindungan terhadap kontrol publik sangat penting untuk pemberdayaan rakyat dan pemberantasan korupsi. Dari atas ke bawah, dari kantor presiden ke kantor bupati, akses publik terhadap anggaran dan audit, sampai ke notulen rapat-rapat, catatan-catatan dan rekening harus dibuka. Dengan warisan sikap represi dan petunjuk dari atas yang telah memupuk budaya pengambilan keputusan top-down, masih ada kecurigaan yang kuat mengenai apakah sejumlah LSM utama benar-benar independen dan demokratis ataukah masih berada dibawah kontrol dan pengaruh unsur Orde Baru. Yayasan-yayasan yang dijalankan untuk membantu perseorangan atau kelompok secara tradisional mempunyai hubungan sangat dekat dengan badan-badan pemerintah dan partai politik, dan karena hubungan-hubungan seperti itu maka sering menimbulkan skandal besar. Walaupun terdapat yayasan yang korup, sesungguhnya tidak seluruhnya demikian, hanya dengan penegakan sistem tranparansi kita dapat memperbaiki kepercayaan publik yang memang diperlukan. Seharusnya diakui bahwa hak untuk bebas berserikat bukan dimaksudkan sebagai jaminan agar bebas dari regulasi yang mengatur prilaku etis dan sikap hukum. Organisasi-organisasi yang mencari pengaruh pemerintah dan organisasi yang menerima dana publik atau yang bekerja dibawah kontrak pemerintah seharusnya tunduk pada aturan keterbukaan dan pertanggungjawaban yang sama seperti diterapkan pada badan-badan pemerintah. Karena jaringan masyarakat sipil di Indonesia telah terpecah dan terkooptasi, tidaklah cukup memadai bagi konstitusi baru hanya dengan menyatakan kebebasan berserikat. Jaminan konstitusi dalam hal ini seharusnya menekankan tidak hanya segi negatif dari kebebasan dari campur tangan pemerintah, tetapi juga kebebasan positif untuk berorganisasi dalam menghadapi perlawanan baik dari sumber-sumber represi publik maupun pribadi. Sebagai contoh, jaminan konstitusi
23
terhadap hak-hak buruh terorganisir untuk berserikat dan melakukan mogok telah memainkan peranan penting dalam perkembangan masyarakat madani di sejumlah negara; tapi hal ini sering memerlukan perjuangan yang panjang, pahit, dan terkadang keras melawan pengusaha untuk mendapatkan hak dasar tersebut. Akhirnya, munculnya otonomi daerah telah memberikan urgensi tambahan bagi perbaikan tradisi kehidupan berorganisasi yang hampir terlupakan di Indonesia pada tingkat komunitas lokal. Undang-undang No. 5 tahun 1974 pada masa Orde Baru telah menghancurkan hukum adat dan tradisional di tingkat local, meskipun telah dicabut, efek destruktifnya tetap tertinggal. Seperti yang ditetapkan pada Penilaian Demokratisasi di Indonesia yang diterbitkan oleh International IDEA pada tahun 2000, tradisi yang lebih tua, yang lebih demokratis masih ada dan dapat dihidupkan kembali begitu kekuasaan Orde Baru dicabut secara de facto dan de jure. Tradisi tersebut akan berbeda antar budaya Indonesia, namun hampir setiap budaya memiliki kesamaan tentang rapat desa untuk membahas persoalan-persoalan yang sedang terjadi dan masa depan komunitas. Lembaga-lembaga informal dan tradisional ini yang berasal dari rakyat tingkat bawah perlu diberdayakan sebagai imbangan kekuasaan negara. 6
Lihat International IDEA dan Forum Reformasi Demokratis, Penilaian Demokratisasi di Indonesia (Jakarta, 2000).
24
Bab 4
Mungkin hal paling mendasar dari kebebasan seluruh individu dapat diduga, yaitu kemampuan untuk mengetahui sebelum anda bertindak apakah sesuatu yang akan anda lakukan bertentangan dengan hukum atau tidak. Sebaliknya, esensi pemerintahan otoriter adalah membuat penduduk bingung, tidak pernah memberi tahu apakah ketukan dipintu pada tengah malam dilakukan oleh seorang tetangga yang butuh pertolongan atau polisi. Keberadaan demokrasi konstitusional merupakan titik awal bagi hak-hak asasi manusia. Hak-hak tersebut diabadikan dengan jaminan konstitusi. Hak-hak asasi dan kebebasan penduduk seharusnya dilindungi dengan tegas dalam konstitusi. Pembatasan hak hanya dibolehkan dalam keadaan yang sangat tertentu dan terbatas. Tidak seperti Pernyataan Hak-hak Asasi (Bill of Rights) yang ada di Prancis dan US, konstitusi modern berada diluar larangan tindakan negara dalam menspesifikkan hak-hak asasi seluruh penduduk menentang penindas, nasional dan lokal, publik dan pribadi. Pembuat konstitusi modern telah menegaskan bahwa generasi baru tentang hak-hak, termasuk hak perlindungan lingkungan dan hak untuk bekerja, hak untuk mendapat informasi dan peradilan tatausaha, hak perlindungan terhadap kelompok minoritas, seharusnya dimasukkan disamping hak-hak asasi seperti kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berkumpul. Para peserta konferensi sering merujuk pada konstitusi Thailand dan Filipina yang baru disahkan sebagai model yang tepat bagi Indonesia. Todung Mulya Lubis menyampaikan bahwa Konstitusi Filipina memasukkan 19 bagian tentang hak-hak asasi manusia pada pasal 2 dan 22 bagian lainnya yang difokuskan lebih spesifik pada hak-hak yang berkaitan dengan ekonomi dalam pasal 3. Penggabungan materi dari beragam deklarasi PBB dengan persoalan lokal tradisional, telah menjadikan Konstitusi Filipina sebagai model yang jelas dan memiliki visi serta merefleksikan kecenderungan modern dalam pembuatan konstitusi. Amandemen yang disahkan oleh MPR pada tahun 2000, yang dikenal sebagai Amandemen II, secara substansial mengembangkan daftar hak-hak yang pendek dalam UUD 1945.Yang dimasukkan dalam amandemen tersebut adalah hak untuk hidup dan memiliki keluarga, hak anak-anak untuk berkembang, hak terhadap kebutuhan dasar dan terhadap peningkatan kesejahteraan diri, hak untuk bekerja dan menerima pembayaran yang layak, dan sebagainya; namun daftar ini tidak mencukupi bagi hak-hak yang yang dimasukkan dalam konstitusi terbaru, bahkan dalam beberapa hal hak-hak tersebut telah diadopsi di Indonesia lebih dari 30 tahun yang lalu. Beragam undang-undang terbaru, khususnya Ketetapan MPR 1998 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Hukum No. 26/2000 yang menciptakan pengadilan HAM, merupakan langkah25
langkah menuju arah yang benar.Tetapi gabungan dari undang-undang, amandemen, dan jaminan konstitusi tidak memiliki daya tarik simbolis dari pernyataan hak-hak asasi manusia dan juga tidak memiliki konsistensi internal untuk memberikan perlindungan yang jelas. Seperti yang terjadi sekarang hukum melarang dan menuntut penerapan prinsip yang berlaku surut. Persoalan tersebut harus dibahas secara komprehensif. Sebagian besar hak-hak yang dimasukkan dalam konstitusi modern hanya bermakna ketika ada sumber dan kemauan politik yang tersedia untuk menetapkannya. Hak-hak tersebut dikenal dengan hak-hak positif , yaitu hak yang dapat terlaksana hanya ketika pemerintah memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk mendukungnya. Sementara hak-hak positif secara simbolik penting dan dengan harapan mampu menunjukkan pemerintah ke arah yang benar dimasa depan, jaminan terhadap hak yang paling penting dan dapat dilaksanakan adalah dari pemerintah yang secara efektif membatasi kemampuan perkumpulan, kelompok-kelompok, perseorangan dan pemerintah sendiri untuk melanggar kebebasan kelompok dan individu. Secara umum ditegaskan bahwa hak-hak mendasar tersebut bisa dan seharusnya mutlak dan dapat dilaksanakan, tidak seperti prinsip-prinsip instruksi kebijakan negara. Selama beberapa tahun telah terjadi perdebatan mengenai apakah ekonomi kerakyatan mestinya masuk dalam konstitusi atau tidak. Cass Sunstein telah menegaskan bahwa: Jika inti persoalannya adalah kewargaan dan demokrasi, batas antara hak-hak positif dan hak-hak negatif sulit untuk dipertahankan. Hak perlindungan konstitusional terhadap kepemilikan pribadi memiliki pembenaran demokratis yang kuat. Jika kontrol masyarakat tunduk terhadap penyesuaian yang dilakukan pemerintah, masyarakat tidak dapat memiliki keamanan dan kemerdekaan. Hal yang sama dapat dikatakan untuk perlindungan minimal terhadap kelaparan, tunawisma, dan penderitaan yang keras lainnya. Kalau masyarakat akan mengambil tindakan sebagi warga mereka harus memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh perlindungan minimal tersebut.7 Tingkat dimana prinsip-prinsip yang begitu penting harus ditetapkan dalam konstitusi masih kontroversial, jika hanya karena sekedar janji-janji yang lebih dari apa yang pemerintah dapat lakukan. Filipina dan Thailand adalah contoh kasus dalam hal ini. Terlebih lagi, negara-negara seperti Indonesia, Thailand dan Filipina bukanlah pelaku independen secara penuh. Salah satu
Cass R. Sunstein, Designing Democracy: What Constitutions Do (New York: Oxford University Press, 2001), hal. 223.
26
contohnya, desakan organisasi pendanaan internasional tentang privatisasi industri-industri besar secara efektif telah mencabut pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kepemilikan publik terhadap usaha-usaha yang mempengaruhi kepentingan publik. Diluar mukaddimah tersebut, peserta konferensi IDEA setuju bahwa konstitusi seharusnya memasukkan negara pada tujuan jangka panjang dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk menjamin bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat hidup dalam damai dan bermartabat. Rakyat seharusnya dapat menikmati keamanan sosial, perawatan kesehatan, perumahan dan nutrisi dasar; pemerintah daerah dan nasional diberdayakan dan wajib menyediakan infrastruktur dasar mengenai sistem pengairan, transportasi dan perlindungan lingkungan. Sementara perlindungan konstitusi terhadap hak-hak seperti itu sangat aspiratif, pengadilan di Afrika Selatan dan beberapa negara bagian AS telah menunjukkan kemauan yang tumbuh untuk mengamanatkan pelaksanaan miunimal dari standar-standar tersebut. Dalam sistem federal, secara khusus jaminan konstitusi terhadap hak-hak positif memberikan tekanan moral yang digunakan oleh kekuasaan pusat dalam mencoba menghentikan pengalihan dana lokal untuk program-program bernilai sosial yang meragukan. Apapun otonomi daerah berkaitan dengan maksud politik, seharusnya politik tidak diperkenankan menjadi layar penyembunyian terhadap pelanggaran-pelanggaran hak-hak nasional. Hal yang penting adalah aspirasi tertinggi bangsa Indonesia untuk memperoleh standar hidup yang layak dan mutu kehidupan dapat ditegaskan dalam teks konstitusi yang akan dibaca dan dipelajari oleh rakyat dan generasi berikutnya. Walaupun beberapa tujuan tersebut tak dapat dicapai segera, yang sama pentingya adalah tujuan tersebut tak terabaikan. Bahkan daftar hak-hak yang terbatas sekarang ini yang dijamin oleh konstitusi Indonesia tidak ditegakkan dengan layak. Pembentukan pengadilan konstitusi (Constitutional Court), yang diberikan wewenang namun tak terlaksana pada 2001, nampaknya suatu langka ke arah yang benar, tetapi itu hanya langkah pertama. Hak yang paling mendasar dan kebebasan dalam demokrasi konstitusional adalah hak dan kebebasan yang berhubungan dengan cara kerja sistem itu sendiri. Pemilihan yang bebas tidak berarti tanpa kebebasan berbicara. Demokrasi hanya slogan tanpa hak untuk berkumpul secara damai. Hak mendasar dan kebebasan dari sistem tersebut seharusnya dilindungi sebagai prioritas utama dan dibatasi hanya pada keadaan-keadaan tertentu untuk menjamin hak yang ada pada orang lain. Ada hak-hak tertentu seperti hak terbebas dari siksaan yang seharusnya tidak pernah dilanggar dalam keadaan apapun. Beberapa peserta konferensi mendukung perlindungan mutlak terhadap hak-hak lain, seperti kebebasan berbicara, dari berbagai bentuk kontrol pemerintah. Sistem demokrasi sendiri tidak
27
dapat bertahan dengan ketiadaan kebebasan pers dan hak untuk menjalankan tugas. Kesepakatan umum adalah bahwa konstitusi seharusnya tidak hanya menguraikan sifat hak-hak mendasar yang memerlukan pelindungan tetapi juga seharusnya agak spesifik dalam menegaskan dan membatasi keadaan dmana hak-hak tersebut kemungkinan dikurangi. Walaupun banyak pembicara menyanjung suasana kebebasan yang telah terjadi di negeri ini selama beberapa tahun terakhir, persoalan yang diangkat adalah tentang tindakan-tindakan yang berlebihan, termasuk perlunya membedakan kebebasan dengan izin, dan mempertimbangkan hal-hal seperti hukum tentang pencemaran nama baik dan pembatasan berbicara yang menimbulkan kebencian sebagai imbangan terhadap makna kebebasan berbicara. Diluar hak-hak mendasar tersebut, tidak terdapat kesepakatan kuat mengenai apa hak-hak lain yang seharusnya dijamin, atau mengenai bagaimana rumusan tepatnya yang mungkin disesuaikan di Indonesia. Namun dengan menggunakan konvensi hak-hak asasi internasional dan konstitusi yang baru diterapkan di negara-negara Asia Tenggara, ada kesepakatan luas tentang pemasukkan hak-hak pribadi untuk semua penduduk. Pertama-tama yang paling penting diantaranya adalah hak mendapat jaminan kesetaraan dan kebebasan dari diskriminasi. Termasuk yang lebih spesifik adalah kesetaraan gender, kebebasan beribadah dan kebebasan memilih agama tertentu; hak mendapatkan perlindungan pemerintah terhadap kebebasan menjaga dan mengekspresikan tradisi bahasa dan budaya yang beragam; dan hak berperjalanan dengan bebas dan membangun tempat tinggal dimanapun di Indonesia. Seperti di kebanyakan konstitusi modern lainnya, masalah yang berkaitan dengan keadilan prosedural dan perlindungan yang sama juga menjadi prioritas utama dan penekanan peserta konferensi. Paling tidak, konstitusi seharusnya secara spesifik menjamin hak pembelaan diri, termasuk kebebasan dari penangkapan dan penahanan semena-mena, dan hak mendapatkan peradilan yang adil dan tuntas tanpa penundaan tak terbatas, hak privasi atas tempat tinggal, individu, dan komunikasi. Ada juga persetujuan bahwa hak mendapat perlindungan hukum berhubungan dengan, dan tak dapat dilepaskan dari, status sistem hukum itu sendiri dengan kondisi seperti sekarang ini. Kehakiman yang tak berdaya dengan saratnya beban haruslah dibiayai secara layak dan secara konstitusional dilindungi dari kontrol atau campur tangan kekuasaan eksekutif sebelum hak-hak tersebut memiliki makna yang dapat dijalankan. Pejabat polisi, jaksa, dan pengadilan sendiri harus dibersihkan dari korupsi, dan kebebasan tugas militer dari kontrol hukum sipil seharusnya dihapuskan. Walaupun tidak semua tujuan ini dapat atau seharusnya diperoleh melalui perubahan konstitusi, hal yang penting adalah masalah perlindungan hukum harus dijelaskan secara rinci.
28
Akhirnya, beragam apa yang disebut hak positif direkomendasikan. Beberapa diantaranya adalah hak untuk memperoleh pendidikan yang baik dan menyeluruh; hak mendapatkan perawatan kesehatan; hak terhadap sanitasi dan lingkungan yang aman; dan hak untuk bekerja dalam kondisi pekerjaan yang adil untuk mendapatkan penghasilan. Dengan pertimbangan yang mendalam selama konferensi, dua aspek pembahasan hak asasi manusia - agama dan gender - dipilih untuk penelitian tertentu. Representasi perempuan yang kecil secara proporsional pada seluruh tataran pengaruh dan pengambilan keputusan, dan kurangnya akses terhadap sumber-sumber dan kepentingan adalah kerugian demokrasi yang serius sehingga perlu diketahui dan didiskusikan. Kesetaraan tidak dapat diamanatkan hanya oleh kata-kata konstitusi negara. Strategi-strategi efektif untuk memperbaharui hubungan gender perlu melibatkan pengembangan kerangka kebijakan yang memasukkan tindakan eksekutif dan legislatif, serta inisiatif pembangunan kemampuan yang memasukkan pelatihan sensitivitas gender, inisiatif pendidikan, dan undang-undang yang melarang prasangka miring terhadap gender dalam bidangbidang seperti pendidikan dan pekerjaan. Konstitusi dan semua dokumen publik harus tidak berpihak pada salah satu gender dengan perempuan yang dipilih hanya sebagai target kesetaraan. Walaupun peserta konferensi IDEA setuju bahwa hak-hak ini seharusnya universal dan dapat diterapkan di Indonesia, mereka tidak menyadari kemungkinan bahwa praktek dan tradisi kedaerahan mungkin terkadang menimbulkan konflik dengan persoalan nasional. Walaupun Indonesia tidak memiliki lembaga keagamaan sebagai institusi yang dibentuk dan ketiadaan perbedaan yang jelas, belum ada usaha yang serius untuk memisahkan lembaga agama dan negara. Dengan adanya sejarah panjang tentang kekerasan dan konflik bernuansa etnis dan agama, suatu bangsa memiliki catatan kuat secara historis untuk menyediakan perlindungan hukum bagi kebebasan beragama. Namun desentralisasi meningkatkan kemungkinan bahwa konflik lokal yang berlangsung lama akan mengarah ke hukum lokal yang tidak memberikan perlindungan tersebut. Hal ini menjadikan sangat pentingnya menuliskan jaminan-jaminan tertentu kedalam konstitusi nasional dan memasukkan mekanisme untuk menjalankannya pada prilaku nasional dan daerah.
29
Bab 5
Lembaga-lembaga desentralisasi sangat mengakar dalam sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Sampai pada jaman yang relatif modern, kebanyakan pemerintahan di Indonesia adalah pemerintah yang bersifat lokal. Belanda, setelah bertahun-tahun berusaha keras menekan dan mengabaikan penduduk asli, pada tahun 1906 mengakui bahwa mungkin cara yang paling efektif untuk menopang pemerintah kolonial yang tersentralisasi dengan kuat adalah dengan menjalankannya melalui agen-agen daerah. Tiga pembagian teritorial dasar yang dibentuk oleh Belanda Provincien (propinsi), Regentschappen (kabupaten), dan stadgemeenten (kota) masih digunakan sampai saat ini. Tapi sepanjang sejarah modern Indonesia, seperti yang dikatakan Pratikno dalam konferensi, pandangan dominan telah membuat otonomi daerah identik dengan resiko disintegrasi. Gerakan-gerakan separatis telah berulangkali terjadi dalam sejarah Indonesia dan pada saat terjadi penekanan konstitusi atas persatuan, perbedaan-perbedaan kedaerahan tetap nyata dan signifikan. Sampai baru-baru ini, kebanyakan kecenderungan demikian telah berhasil ditekan. Pasal I, ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa, Negara Indonesia adalah negara kesatuan dalam bentuk Republik. Persetujuan kemerdekaan yang dirundingkan dengan Belanda pada tahun 1949 seharusnya mengubah negara ini menjadi Negara Serikat Indonesia, tetapi sistem federal yang baru muncul tersebut kemudian ditolak. Meskipun unit-unit utama desentralisasi tetap dipertahankan, unit-unit tersebut tidak lagi punya arti setelah tercapainya kemerdekaan dibanding ketika Belanda masih berkuasa, dan dibawah rejim Soeharto unit-unit tersebut dibuat sangat tidak berarti, sehingga Indonesia di bawah Orde Baru benar-benar sebagai sebuah negara kesatuan. Undang-undang tahun 1999 tentang desentralisasi mengubah pembagian wewenang dan bahkan lebih mengesankan lagi membalikkan cara-cara dimana banyak orang Indonesia telah membuat kerangka pertanyaan mendasar tentang kesatuan nasional. Perspektif yang berubah ini disampaikan oleh Dr. Ryaas Rasyid dalam presentasinya di konferensi. Ia menyatakan bahwa: Sentralisasi dan keseragaman telah secara sistematis mengarahkan kita menuju perpecahan. Dalam konteks ini seharusnya diperhatikan bahwa gerakan separatis di Aceh dan Irian Jaya, konflik sosial di Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan dan Sulawesi, serta berbagai jenis kekerasan sosial yang telah melanda negeri ini selama beberapa tahun terakhir, terjadi dalam sistem kekuasaan yang sentralistis. Bahkan sejumlah besar kejahatan korupsi, nepotisme dan kolusi yang telah
30
mendominasi ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan kita selama tiga tahun terakhir juga telah mengakar pada sistem pemerintahan yang seragam dan sentralistis tersebut. Makalah Rasyid merefleksikan perspektif yang terbagi secara luas di Indonesia yang menghasilkan satu perhatian terhadap ekses-ekses gabungan Orde Baru, seperti represi, kediktatoran, korupsi, dan sentralisasi. Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, konsep-konsep demokratisasi dan reformasi sangat erat berhubungan dengan desentralisasi. Adalah dalam konteks paradigma ini maka DPR menyetujui dua undang-undang pada tahun 1999 yang secara jelas mengemukakan pemindahan kekuasaan kepada pemerintah daerah. UndangUndang No. 22/1999 tentang otonomi daerah sebenarnya tidak mengamandemen konstitusi, dan memberikan banyak rincian implementasi pada undang-undang dan regulasi berikutnya; tapi pada permukaannya undang-undang tersebut nampaknya mentransfer seluruh kewenangan pemerintah selain dari kewenangan yang dimaksud Pasal 7 (yang merinci kewenangan pemerintah pusat) dan kewenangan yang diatur oleh Pasal 9 (tentang kewenangan propinsi) kepada kabupaten dan kotamadia. Undang-Undang No. 25, yang disahkan berkaitan dengan Undang-Undang No. 22, memiliki tujuan seperti yang simpulkan oleh Rasyid, perwujuudan desentralisasi fiskal dengan perluasan subsidi yang dialokasikan pemerintah pusat dalam bentuk block grants, regulasi pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, memberikan kebebasan pada daerah untuk menyusun prioritas pembangunan, dan mengoptimalkan usaha-usaha untuk memberdayakan masyarakat melalui lembaga pembangunan mandiri yang ada. Undang-undang ini adalah partner fiskal dari Undang-Undang No.22. Kedua undang-undang tersebut akan menjadi cacat dan akan menjadi sangat lemah jika tidak dirusak oleh kehadiran undang-undang dan peraturan berikutnya yang ditetapkan secara tidak serius untuk menerapkannya. Paling tidak beberapa bagian dari setiap usaha untuk mendesentralisasikan pemerintahan Indonesia harus disusun dalam undang-undang secara konstitusional dan apapun arah spesifik yang diambil untuk desentralisasi, haruslah diberi garis pemisah dalam batasan-batasan sistem secara menyeluruh. Sementara baik panelis maupun peserta konferensi berbeda secara jelas tentang seberapa jauh menurut mereka desentralisasi harus (atau bisa) dijalankan, ternyata tak ada ketidaksetujuan bahwa sistem yang ada sekarang memerlukan baik perubahan jangka panjang maupun perubahan yang segera. Kepulauan Indonesia terlalu besar dan beragam untuk pemerintahan kesatuan yang menyeluruh. Masalah pertama adalah menjawab pertanyaan desentralisasi untuk siapa? Unit-unit pemerintah yang diberdayakan dalam undang-undang yang baru pada intinya adalah versi Belanda yang
31
dimodifikasi tentang propinsi, kabupaten, dan kotamadya. Dewan setempat, kaum dan kelompokkelompok suku sering memainkan peran pemerintah pada tingkat lokal dalam cara yang lebih informal. Meskipun Belanda sering menyulut konflik antara pihak Kristen dan Muslim, banyak pertikaian-pertikaian besar dicegah melalui penggunaan dewan-dewan penyelesaian konflik adat dimana para kepala suku mengadili perselisihan. Walaupun dewan-dewan tersebut dihapuskan secara formal oleh rejim Soeharto, banyak diantaranya tetap melanjutkan fungsinya secara diamdiam. Kondisi yang kuat bisa dibuat untuk mendorong pertumbuhan yang cepat dan pengaktifan kembali kelompok-kelompok seperti itu dan memberi beberapa unit lokal ini pengakuan formal, yang dalam beberapa hal ditegaskan oleh undang-undang tahun 1999. Namun bahkan dibawah undang-undang otonomi daerah, mereka tetap sangat informal atau secara hukum bertanggung jawab terhadap pemimpin kabupaten atau pemimpin kota yang menunjuk mereka. Tidak seperti Undang Undang Dasar 1945, yang secara formal menyatakan sedikit tentang peran dan struktur pemerintah lokal, undang-undang tahun 1999 tampil dengan amat rinci. Pemenang utama dalam pemindahan kekuasaan ini adalah kabupaten yang memperoleh baik wewenang yang diberikan padanya maupun sumber-sumber daya yang dialokasikan dalam Undang-Undang No. 25. Jadi walaupun struktur tersebut tetap berurutan dalam laporan kabupaten dan kota pada propinsi yang pada gilirannya juga harus melapor ke pemerintah pusat, terdapat banyak aspek pada undang-undang 1999 dimana kedaulatan mengarah langsung dari pusat ke pinggiran, tanpa memberi pemerintah propinsi peran lanjutan. Lebih lanjut, posisi gubernur yang mengepalai propinsi tetap membingungkan, memberi mereka peran baik sebagai agen pemerintah tingkat pusat maupun sebagai pemimpin terpilih dari sub-pemerintahan demokratis yang semi-otonomi. Meskipun Amandemen I, yang mensyaratkan agar para gubernur dipilih secara demokratis, nampaknya akan membebaskan gubernur dari pertanggungjawaban terhadap presiden, namun hal ini tetap belum jelas baik dalam teori maupun praktek, dan masih sangat perlu untuk dipertegas.
mungkin dapat memuaskan pendukung status khusus tersebut selama hak tersebut hanya dituliskan dalam bentuk undang-undang yang mudah dicabut, bukan hak konstitusional. Namun betapapun kuatnya kesepakatan dalam menyetujui sistem desentralisasi, kekhawatiran terhadap Balkanisasi tetap lebih kuat, itulah sebabnya kata federalisme jarang terdengar. Rasyid, dalam tuntutannya yang penuh semangat untuk penerapan penuh otonomi daerah, berhenti menyuarakan imbauannya tentang jaminan konstitusi. Bahkan Pratikno, walaupun ia menyarankan dibuatnya klausul konstitusional yang menjamin pengakuan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang memiliki perbedaan pada tradisi, agama, budaya, dan bahasa, tetap menghendaki penegasan bahwa Republik Indonesia adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan. Namun, apa yang semua panelis dan banyak peserta setujui adalah bahwa Undang-Undang No. 22 dan 25 perlu penyesuaian kembali dengan, seperti yang dikatakan Rasyid dalam makalahnya, pembuatan beragam aturan untuk penerapan otoritas kepada daerah-daerah, sehingga undangundang ini bisa menjadi acuan dalam pembuatan peraturan-peraturan daerah. Nampaknya meningkatkan kemampuan daerah agar dapat memanfaatkan secara kreatif dan optimal wewenang yang didelegasikan kepada mereka masih merupakan jalan yang panjang untuk ditempuh. Pentingnya penyelesaian tentang penerapan seperti itu ditegaskan oleh Dr. Mario Aguja dalam deskripsinya Proyek Otonomi Daerah di Filipina Selatan. Ia menjelaskan, Otonomi lebih dari sekedar pemindahan kewenangan. Sama pentingnya adalah perlunya kepastian bahwa kewenangan tersebut dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sepantasnya. Usaha membangun kemampuan harus diusahakan sebelum dan selama pemberian otonomi. Pelatihan para birokrat dalam ketrampilan berorganisasi dan manajemen terutama yang melembagakan perencanaan efektif dana publik, adalah suatu keharusan. Pandangan ini ditonjolkan dalam semua makalah. Walaupun desentralisasi memiliki dampak yang segera dalam beberapa bidang, bagi sebagian besar bangsa Indonesia belum banyak hal yang bisa dihasilkan. Beberapa hak telah diubah, dan beberapa orang telah ditempatkan pada posisi yang berbeda, namun terlalu sedikit pemimpin-pemimpin yang demokratis muncul secara efektif pada tingkat lokal yang diharapkan mampu menjembatani kebutuhan tiap daerah dan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya. Menurut Aguja, otonomi adalah produk politik yang rawan.... Elit politik tradisional seharusnya tidak mengganti peran pemerintah pusat begitu saja. Meskipun kebanyakan peserta konferensi menerima usulan-usulan pokok ini, perdebatan yang hidup mengungkapkan beberapa perbedaan signifikan dan mengangkat persoalan-persoalan yang
33
belum bicarakan oleh para panelis. Dengan menekankan argumen yang diangkat dalam makalah, sejumlah pembicara mengkritisi kecenderungan untuk berasumsi bahwa desentralisasi, demokrasi, dan reformasi akan saling menguatkan satu sama lain. Dijelaskan oleh pembicara, sejarah federalisme dan desentralisasi di negara-negara lain menawarkan contoh-contoh situasi dimana unit pemerintahan lokal lebih korup dan kurang demokratis daripada bangsa dimana mereka adalah satu bagian. Konflik etnis bisa diperburuk sekaligus dibungkam oleh desentralisasi, seperti yang terjadi di Nigeria. Diluar program membangun kemampuan yang dituntut oleh para panelis, ada saran-saran bagi reformasi di bidang kepegawaian negeri, pengawasan keuangan dan etika oleh pusat, dan penerapan standar kerja nasional dalam bidang-bidang tertentu.
menghasilkan stabilitas politik atau kemajuan bangsa dimasa depan. Beberapa daerah di Indonesia sekarang ini dapat memanfaatkan sumber-sumber daya yang tak dapat diperbaharui yang lebih bernilai dibanding sumber daya lainnya. Mereka telah menyampaikan permintaan yang dapat dimengerti atas hak untuk mempertahankan pendapatan dari sumber-sumber yang ada untuk mereka gunakan sendiri, seperti untuk pendidikan anak-anak, meningkatkan infrastruktur, meningkatkan kekayaan mereka. Tetapi ketika cadangan sumber daya minyak, tembaga, dan kayu habis, masihkan mereka akan memperoleh manfaat dari desentralisasi tersebut? Ketika waktunya datang untuk membayar akibat lingkungan yang rusak masihkan mereka akan menuntut swadaya? Dan ketika anak-anak yang telah mereka didik pindah mengikuti kesempatan baru di daerah yang lebih kaya, apa yang akan terjadi dengan politik desentralisasi? Makalah Palshikar menunjukkan, kontroversi yang paling pahit mengenai penyerahan pendapatan di India terpusat pada negara-negara bagian yang maju vs. negara-negara bagian yang terbelakang dengan badan-badan pemerintah pusat yang biasanya lebih sensitif terhadap golongan miskin. Tetapi, negara bagian yang lebih maju telah menjadi sombong dan jika hanya karena mereka lebih maju lalu seringkali memperoleh kekuatan politik untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Seberapa banyak persoalan ini bisa dan harus ditetapkan dalam konstitusi dan seberapa banyak yang bisa ditinggalkan untuk politik bukanlah hal yang mudah untuk dikatakan. Namun, masalah India dimana kesenjangan yang melebar antara negara bagian miskin dan kaya menciptakan ketegangan dalam sistem federal dan mendorong untuk melanggar prinsip-prinsip supremasi negara bagian-nasional, demokrasi dan kemudahan yang wajar memperoleh sumbersumber daya. Sungguh ironis bahwa proses tersebut, yang seharusnya ikut menguatkan federalisme, justru meruntuhkan tujuan-tujuan federalisme.
Konflik perundang-undangan
Masalah lain yang belum dibahas dalam perjalanan Indonesia menuju desentralisasi melibatkan metode tentang bagaimana daerah otonom baru akan saling menyesuaikan undang-undang mereka. Salah satu ketentuan Konstitusi Amerika Serikat yang lebih penting adalah yang mengharuskan setiap negara bagian memberikan pengakuan dan kepercayaan penuh terhadap setiap undangundang. Kebanyakan sistem federal memiliki ketentuan yang hampir sama, paling tidak yang berkaitan dengan hubungan dagang. Dalam ekonomi global khususnya, pengembangan ekonomi sangat dipaksakan jika suatu kontrak yang ditandatangani di satu daerah tidak diterima di daerah lain. Masalah juga bisa muncul jika pemerintahan nasional gagal atau tidak berdaya untuk menentukan standar minimal yang berlaku di semua daerah yang begitu beragam seperti, pendidikan, transportasi dan perlindungan lingkunan. Ijazah sekolah menengah yang diperoleh di satu daerah
35
harus sebanding dengan yang diperoleh didaerah lainnya; sebuah kapal yang disertifikasi sebagai kapal yang layak untuk berlayar di satu pelabuhan harus diizinkan untuk bersandar di pelabuhan lainnya; dan satu kabupaten seharusnya tidak diizinkan untuk mengekspor limbah ke daerah lain. Konsekwensinya memang kurang jika dibanding dengan peradilan pidana dan hubungan domestik. Memang kebanyakan sistem federal membolehkan keragaman yang amat banyak dalam undang-undang lokal yang berkaitan dengan pertanyaan tentang kejahatan dan hukuman, pernikahan, dan warisan; dan Indonesia sendiri, contohnya, telah lama mengizinkan penerapan tradisi daerah mengenai warisan matrillineal yang berlaku di Sumatera Barat dengan mengabaikan undang-undang nasional yang berlaku sebaliknya. Bagaimanapun, perlu diketahui bahwa perbedaan-perbedaan seperti ini dapat sangat merenggangkan ikatan sosial kebangsaan ketika, misalnya, satu pasangan menikah secara resmi di satu kabupaten ditolak statusnya di kabupaten lain. Perubahan mendasar dalam struktur pemerintahan terbatas pada penciptaan ketegangan. Konflik yang berkaitan dengan siapa yang bertanggung jawab dapat memanas antara pusat dan daerah, antara dan antar daerah dan lokal tertentu, atau antara daerah dan investor swasta yang kepentingannya diabaikan oleh sejumlah yurisdiksi. Amandemen III memberikan wewenang pada Mahkamah Agung untuk mengadili beberapa perselisihan jika mediasi gagal; namun ada satu persetujuan luas tentang perlunya mengembangkan cara-cara yang tidak konfrontasi dalam memecahkan konflik-konflik seperti itu ketika itu terjadi, dan mengembangkan kerangka yang secara lebih jelas memberikan batas hubungan antara pemerintah dengan cara-cara tertentu sehingga membuat konflik seperti itu sangat kecil kemungkinannya terjadi. Namun sebelum yurisdiksi Pengadilan Konstitusi yang baru diciptakan dan bagian-bagian lain dari sistem hukum diterapkan secara penuh, dan sampai badan-badan pemerintah diberi wewenang yang jelas untuk menegaskan batasan-batasan desentralisasi, bahaya korupsi dan anarki merupakan ancaman yang sangat nyata. Desentralisasi yang tidak diatur atau direncanakan dengan hati-hati bisa menjadi musuh yang paling buruk.
36
Bab 6
Konstitusi menyusun proses pembuatan keputusan suatu bangsa, bukan menentukannya. Beberapa konstitusi secara jelas lebih komprehensif daripada yang lainnya, namun dalam beberapa hal seluruhnya menggabungkan aspirasi-aspirasi dengan usulan konkrit. Faktor yang penting adalah konstitusi harus disusun dalam cara tertentu sehingga memaksa orang untuk mematuhinya. Konstitusi harus dibangun diatas landasan institusional yang memberikan tiap pelaku dalam sistem baik dukungan bantuan maupun dorongan untuk melakukan check and balance satu sama lain. Vakumnya kekuasaan di Indonesia yang disebabkan jatuhnya presiden Soeharto dan ditambah oleh tekanan krisis ekonomi dunia harus diisi dengan paket reformasi institusional yang direncanakan dengan baik. Apapun ketidaksetujuan peserta tentang spesifikasi apa yang harus dan tidak harus dimuat dalam konstitusi baru, makalah yang disajikan dalam konferensi dan ditambah dengan pernyataan-pernyataan peserta konferensi, merefleksikan kesepakatan yang kuat bahwa masalah-masalah yang sangat struktural di Indonesia belum, dan mungkin tidak dapat, dibahas hanya melalui perubahan-perubahan kecil yang diterapkan pada sidang-sidang tahunan MPR. Kekurangan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang sangat dominan adalah kurangnya pertalian (coherence). Sistem di Indonesia memiliki dewan bikameral yang tidak memiliki dasar pemikiran untuk membedakan DPR dengan MPR. Hubungan legislatif-eksekutif didefinisikan secara tidak jelas karena menggabungkan sisisisi yang paling buruk dari sistem parlementer dan presidensiil sementara batas-batas pertanggungjawaban tidak jelas. Otonomi daerah meninggalkan propinsi tanpa peran yang jelas dengan dukungan yang tidak memadai untuk melaksanakan peran yang masih dimiliki, masih belum menentukan sifat dasar kekuasaan antara pusat dan daerah, dan gagal menyediakan mekanisme pemecahan perselisihan. Sistem peradilan terlalu sarat beban, tak terorganisir dengan baik, dan dilihat sebagai badan yang tak kompeten dan korup. Hak asasi manusia belum ditegaskan dengan kuat dan terjamin, institusi-institusi yang bertugas melaksanakannya belum ada, dan ambiguitas yang berlanjut dari hubungan antara militer dan unsur lain dalam negara terus menghalangi proses menuju keseragaman sistem peradilan. Korupsi sangat tak terkontrol.
37
Penyusunan dan pengesahan konstitusi baru tidak akan merubah apa-apa dalam pemerintahan jika tidak ada tindakan segera dalam memecahkan pertentangan internal yang timbul. Dukungan simbolis dan dukungan nyata melalui perluasan dialog tentang reformasi diluar gedung MPR dan diluar Jakarta merupakan manfaat yang besar pula. Tetapi yang paling penting, Indonesia perlu bergabung dengan negara-negara demokratis lainnya di dunia dalam mengadopsi konstitusi yang berguna untuk mengabadikan keinginan rakyat sebagai hukum tertinggi di tanah air ini dan menyediakan mekanisme konkrit untuk melaksanakan dan menguraikan hak dan aspirasi yang ditetapkan oleh konstitusi. Dibawah sistem yang ada sekarang, rakyat maupun konstitusi bukanlah yang agung/tertinggi. Peristiwa-peristiwa semenjak jatuhnya rejim Soeharto telah membawa kejelasan peran MPR sebagai perwujudan kedaulatan negara dibawah UUD 1945. Badan ini telah memainkan perannya dengan baik. Tetapi MPR tidak dikontrol oleh prinsip-prinsip tanggung jawab kabinet yang berjalan dibawah sistem parlementer dan tidak diimbangi oleh sistem keuasaan yang terpisah (separation of powers). Meskipun MPR tetap sebagai lembaga negara tertinggi, fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pengadilan pada dasarnya memerlukan pembentukan sebuah badan permanen khususnya yang menetapkan batasan-batasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembentukan peradilan konstitusi seperti sekarang merupakan langkah penting yang memerlukan percepatan implementasi, dan yang pada akhirnya harus memasukkan kekuasaan untuk menginterpretasikan dan menerapkan konstitusi. MPR - walaupun secara teoritis dewan tertinggi - tidak memiliki mekanisme untuk menginterpretasi konstitusi atau untuk menolak keputusan di peradilan. Kalau konstitusi masih belum menggantikan MPR sebagai perwujudan kedaulatan negara, peran peradilan akan tetap kabur. Sementara desentralisasi yang tidak diatur akan menumbuhkan ancaman terhadap perbaikan ekonomi dan stabilitas politik. Peran sistem peradilan secara umum juga harus dibicarakan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan sipil-militer. Ketidakmampuan polisi dalam memeriksa anggota-anggota militer menimbulkan ejekan terhadap sistem ini dalam beberapa kasus sensitif. Sistem peradilan militer yang terbatas pada masalah-masalah militer mungkin wajar dan tepat. Namun pembebasan militer dari berbagai bentuk peradilan pidana tidak wajar dan tidak tepat. Sama pentingnya adalah menyelesaikan pemisahan antara politik dan sistem hukum, diajukan dalam Amandemen II dan diperluas pada 2001. Independensi kehakiman dalam konstitusi harus dijaga dengan melindungi kondisi dan masa jabatan hakim, dan dengan memberikan pengadilan kekuasaan secara penuh untuk memeriksa apa yang dilakukan eksekutif, legislatif, dan pelaksanaan pemerintahan pada tingkat lokal, propinsi, dan nasional.
38
demokrasi memasukkan metode formal untuk amandemen, kebiasaan dan tradisi seringkali berkembang dengan cara-cara tertentu dan mengesampingkan atau memotong proses formal. Murphy menjelaskan: Tak dapat dielakkan perubahan masih meninggalkan suatu keraguan apakah beberapa terobosan dapat mengarah ke perubahan yang legitimate dan apakah ada batasan-batasan terhadap perubahan yang dapat diterima secara hukum. Satu hal yang mungkin dapat dillakukan melalui urutan usaha untuk modifikasi konstitusional yang legitimate, dari kegunaan sampai interpretasi ke amandemen: lebih banyak perubahan yang mendasar, lebih penting proses formal dan lebih penting alasan-alasan untuk melibatkan rakyat.8 Sebuah konstitusi seharusnya cukup fleksibel, dengan kata lain membolehkan perubahan melalui prosedur, memperkenankan inovasi dalam kebijakan sosial dan ekonomi, dan membolehkan serta mendorong reorganisasi kadangkala terhadap pemerintahan. Pada saat bersamaan, ada pemilahan mendasar tertentu yang harus berada diluar jangkauan undang-undang yang sederhana, instruksi eksekutif, perintah militer atau keputusan pengadilan. Terlepas dari persyaratan biasa yang sebagian besar tambahan diperoleh sebelum konstitusi diamendemen, ada argumen yang memaksakan bahwa prosedur khusus seharusnya diikuti, terutama prosedur yang menjamin pembahasan publik. Argumen yang hampir sama berlaku pada pengesahan konstitusi baru itu sendiri. Setelah berimprovisasi dengan caranya sendiri melalui tiga perubahan rejim dalam tiga tahun, pemerintah yang didominasi MPR tetap memegang bendera konstitusi lama yang masih berkibar, tetapi bahtera pemerintah hampir tidak dapat berlayar. Kepercayaan publik terhadap sistem begitu rendah, dan ketakutan yang kuat terhadap kemungkinan pemberontakan daerah akan menyebar terus menghantui koridor kekuasaan. Restrukturisasi konstitusi yang menyeluruh, melibatkan publik, dan mengesankan, akan membantu memecahkan kesulitan teknis seperti yang didiskusikan pada konferensi dan dianalisa dalam makalah-makalah yang disajikan. Ini juga memberikan sumbangan terhadap stabilitas dan legitimasi vital terhadap pemerintah. Sekarang waktunya untuk bertindak.
Murphy, hal.13.
40
41
C a t a t a n:
Makalah-makalah ini dipresentasikan pada konferensi ini sebelum Sidang Tahunan MPR yang diadakan bulan November 2001. Oleh karena itu laporan ini belum dilampiri oleh informasi baru mengenai proses tinjauan konstitusi dari hasil Sidang MPR 2001 tersebut. Makalah-makalah ini disusun dalam laporan menurut susunan dalam acara konferensi tersebut diatas. Tidak ada makalah yang ditampilkan dalam Lokakarya 2.
42
43
44
mengalami dinamika internal yang menghendaki kelanjutan kebebasan kolektif dalam bentuk kebebasan yang luas dari individu warga negara. Selanjutnya adalah keterlibatan yang lebih efektif warga negara terhadap proses bernegara itu sendiri. Suatu proses menuju demokrasi menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Dan untuk tahap ini maka nisbah konstitusi dan proklamasi sudah dianggap tidak cukup. Konstitusi perlu dan harus dinisbatkan juga dengan demokrasi. Karena itu konstitusi juga harus dimaknai sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi warga negara. Dengan menggabungkan nisbat konstitusi, proklamasi dan demokrasi, seringkali konstitusi diberikan pengertian dan batasan-batasan sebagai: pertama, seperangkat norma yang mengandung dasar, cita-cita, harapan, dan tujuan negara; kedua, seperangkat peraturan yang mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara; ketiga, seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara; dan keempat, seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia kepada para warga negara dan penduduk negara. Demokrasi dengan pemikiran di atas menjadi salah satu pilar dalam suatu konstitusi yang ideal. Di sini disebutkan bahwa demokrasi hanyalah salah satu pilar utama atau benang merah suatu konstitusi. Ini untuk menegaskan bahwa demokrasi yang akan dikembangkan dalam konteks suatu negara itu sendiri yang meliputi dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara. Karena itu, demokrasi dalam pengaturan suatu konstitusi tetap diletakkan dalam keseluruhan sistem konstitusionalisme. Demokrasi berkesinambungan akan sangat ditentukan keberadaannya bila konstitusi secara sistemik mengandung hal-hal sebagai berikut : 1. Jaminan adanya pembagian fungsi lembaga-lembaga kenegaraan, sehingga terwujud checks and balances. 2. Jaminan berfungsinya lembaga-lembaga masyarakat, sehingga terbangun suatu civil society, sebagai basis terwujudnya demokrasi partisipatoris. 3. Adanya jaminan penghargaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara, sehingga dengan demikian entitas kolektif, tidak dengan sendirinya menghilangkan hak-hak dasar orang perorang. 4. Adanya jaminan atas pluralisme sosial di tengah masyarakat. Dalam hal ini hak-hak minoritas terlindungi dari hegemoni mayoritas. 5. Adanya jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah. 6. Adanya jaminan atas prakarsa daerah untuk mengembangkan diri. Itu berarti otonomi daerah harus diberikan seluas-seluasnya sehingga memberi keadilan politik, ekonomi dan kultural.
46
7. Adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang bebas. 8. Adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang independen. 9. Adanya jaminan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945, yang sampai hari ini sudah mengalami perubahan pertama dan perubahan kedua, pada perubahan-perubahan berikutnya harus dapat mengakomodasikan halhal tersebut di atas. Diharapkan, dengan demikian, konstitusi kita ke depan dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi yang dicita-citakan.
47
Pendahuluan
Adalah suatu kenyataan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa negara dan konstitusi merupakan dua institusi yang tidak dapat dipisahkan. Timbul pertanyaan, mengapa setiap negara selalu mempunyai konstitusi? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu, apa negara itu? Terhadap pertanyaan ini ada berbagai jawaban yang dapat dikemukakan. Kita dapat mengatakan negara adalah organisasi jabatan, karena dalam setiap negara selalu terdapat bermacam macam jabatan, seperti badan perwakilan rakyat, badan pemerintah (eksekutif ), badan kehakiman dan lain lain. Selain itu negara juga disebut sebagai organisasi kekuasaan. Mengapa dikatakan sebagai organisasi kekuasaan? Karena dalam setiap negara selalu terdapat bermacam macam pusat kekuasaan. Pusatpusat kekuasaan tersebut terdapat baik dalam supra struktur politik maupun infra struktur politik. Pusat-pusat kekuasaan yang terdapat dalam supra struktur politik ialah (di Indonesia), Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Dalam pada itu pusatpusat kekuasaan yang berada dalam infra struktur politik meliputi lima komponen politik, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, alat komunikasi politik, dan tokoh politik (political figure). Baik pusat-pusat kekuasaan yang terdapat dalam supra struktur politik maupun pusat-pusat kekuasaan yang terdapat dalam infra struktur politik mempunyai kekuasaan, artinya mempunyai kemampuan memaksakan kehendaknya kepada pihak lain atau mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain. Mengapa pusat-pusat kekuasaan tersebut mempunyai kemampuan memaksakan kehendaknya kepada pihak lain atau mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain? Ternyata pusat-pusat kekuasaan tersebut mempunyai sumber kekuasaan. Ada pusat kekuasaan yang bersumberkan peraturan, ada pusat kekuasaan yang bersumberkan kekuatan fisik, dan ada pula yang bersumberkan kekayaan dan lain lain. Khusus pusat kekuasaan yang berada dalam supra struktur politik dan infra struktur politik, sumber kekuasaannya terletak pada ketentuan formal, baik dalam konstitusinya maupun dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pada itu, seperti dikatakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, sedangkan absolute power corrupts absolutely.
48
Yang menjadi persoalan ialah, dengan cara bagaimanakah negara yang merupakan organisasi kekuasaan dikendalikan atau diberi pembatasan-pembatasan? Untuk itulah sebelum negara dibentuk atau beberapa saat setelah dibentuk, ditetapkan sebuah konstitusi. Dengan perkataan lain, konstitusi diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara. Hal ini dapat dibuktikan dari materi muatan yang selalu terdapat dalam setiap konstitusi. Pada umumnya, dalam setiap konstitusi antara lain selalu terdapat tiga kelompok materi muatan, yaitu: 1. Adanya pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga negara 2. Adanya pengaturan tenang susunan ketatanegaraan yang berifat mendasar; dan 3. Adanya pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang berifat mendasar
Type of Government
Government by One The few Many Good Form Monarchy Aristocracy Bad (perverted) form Tyranny Oligarchy Democracy (The rule of the mob)
Dari gambar di atas, demokrasi merupakan kelanjutan dari oligarki, yang merupakan bentuk pemerosotan aristokrasi. Bahkan democracy juga disebut dengan the rule of the mob (pemerintahan oleh massa). Akan tetapi seperti diketahui, words are living things, artinya suatu perkataan yang semula mempunyai arti negatif, dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi positif. Bahkan Revolusi Perancis ikut memberikan pengaruhnya terhadap makna demokrasi, melalui ungkapan libert (kebebasan), egalit (persamaan) dan fraternit (persaudaraan).
49
Dengan demikian, demokrasi tidak dapat dibayangkan tanpa adanya kebebasan dan persamaan. Ini berarti bahwa kebebasan dan persamaan merupakan landasan berpijak demokrasi. Tanpa kebebasan dan persamaan tidak mungkin ada demokrasi. Dalam pada itu, kebebasan dan persamaan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini tercermin dari diakuinya antara lain kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan beragama, serta adanya persamaan kedudukan di depan hukum. Kita juga mengenal demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung terjadi apabila rakyat seluruhnya secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Hal ini terjadi dalam suatu negara yang rakyatnya tidak banyak dan berada dalam suatu wilayah yang tidak luas. Dengan bertambah jumlah rakyat suatu negara dan bertambah luasnya wilayah suatu negara, tidak mungkin demokrasi langsung dilaksanakan. Oleh karena itu melalui mekanisme tertentu dibentuklah suatu badan perwakilan rakyat yang didalamnya duduk wakil wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat inilah yang mengambil keputusan atas nama rakyat. Wakil-wakil rakyat tersebut duduk dalam badan perwakilan rakyat melalui pemilihan umum. Dengan perkataan lain pemilihan umum merupakan sarana diselenggarakannya pemerintahan oleh rakyat atau pemerintahan demokrasi atau pemerintahan yang berdasarkan atas asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian, demokrasi yang mengandung arti pemerintahan oleh rakyat tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat. Di dalam dan berdasarkan asas kedaulatan rakyat sebuah konstitusi dibentuk dan ditetapkan. Ini berarti bahwa konstitusi sebuah negara harus dibentuk dan ditetapkan dengan jalan melibatkan rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil wakilnya yang dipilih oleh rakyat.
atau tidak. Dengan demikian kebebasan mendirikan partai politik menetukan kualitas pemilihan umum. Akan tetapi, kualitas pemilihan umum juga ditentukan oleh sistem pemilihan umum yang dianut. Sistem pemilihan umum distrik dianggap lebih menjamin aspirasi rakyat dalam menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Seperti kita ketahui, UUD 45 yang dinyatakan berlaku kembali melalui Keputusan Presiden No.150 Tahun 1959 tentang Dekrit Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75 Tahun 1945) dirancang oleh sebuah lembaga yang bernama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Walaupun dibentuk oleh pemerintah balatentara Jepang, akan tetapi dilihat dari substansi atau materi muatan yang diatur, merupakan hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lalu dan merupakan pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untuk yang akan datang. Konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945 dirancang dalam waktu yang relatif singkat, yaitu antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dan antara 10 sampai 17 Juli 1945. Rancangan tersebut disusun berdasarkan janji Jepang yang disampaikan oleh Perdana Menteri Koiso di hadapan parlemennya pada tanggal 7 September 1944. Setelah Jepang menyerah kalah pada Amerika Serikat pada tanggal 15 Agustus 1945, janji tersebut tidak mungkin dilaksanakan. Itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia atas prakarsa sendiri memproklamasikan kemerdekaannya. Sebelum proklamasi dibacakan, tiga orang pemimpin Indonesia, yaitu Dr. Radjuman Widiodiningrat, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta pergi ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauci, Panglima Komando Angkatan Perang Jepang Daerah Selatan. Setelah disampaikan hasil sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia, oleh Marsekal Terauci diputuskan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Ketua dan Wakil Ketua, masing masing Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta menyelenggarakan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang pertama. Dalam sidang tersebut diputuskan: 1. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2. Sebuah Konstitusi yang diberi nama Undang-Undang Dasar 1945
51
Seperti ternyata dalam sejarah Indonesia, UUD 45 berlaku dalam kurun waktu: 1. 1945-1949 2. 1949-1950 3. 1959 sampai dengan sekarang; Sedangkan antara 1949-1950 dan antara 1950-1959 berlaku berturut-turut Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Seperti telah dikemukakan, UUD 45 yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dinyatakan berlaku kembali pada tanggal 5 Juli 1959 melalui keputusan Presiden Republik Indonesia No. 150 Tahun 1959. Keputusan Presiden tersebut dikeluarkan karena konstituante Republik Indonesia tidak berhasil menetapkan undang-undang dasar yang bersifat tetap untuk kedua kali.
berlangsungnya checks and balances. Walaupun demikian, kekuasaan membentuk undang-undang dasar tetap dilakukan oleh dua lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden. Dominasi DPR terjadi dalam pengangkatan pejabat negara, seperti Panglima TNI, Kepala Kepolisian, Hakim Agung dan Ketua Mahkamah Agung, serta duta besar termasuk duta besar negara asing untuk Indonesia. Dalam perubahan kedua, substansi yang mengalami perubahan ialah yang berkenan dengan sistem desentralisasi, sistem pertahanan dan keamanan dan hak asasi manusia. Sekarang ini (Oktober 2001) MPR sedang mempersiapkan perubahan ketiga, yang diharapkan akan ditetapkan dalam Sidang Tahunan bulan November 2001 yang akan datang. Dilihat dari mekanisme perubahannya, ada sedikit perubahan dilakukan, yaitu dilibatkannya Tim Pakar dalam Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Yang menjadi persoalan ialah, konsep apa saja yang seharusnya dijadikan landasan konstitusi bagi upaya mewujudkan demokrasi yang berkelanjutan? Menurut pendapat penulis, hal itu dapat dilihat dari dua aspek, yang pertama ialah substansi konstitusi, yaitu yang berkenaan hukum materilnya, sedangkan yang kedua berkenaan dengan prosedur perubahannya, mekanisme perubahan, serta sistem perubahan yang akan diikuti.
53
Dalam pada itu perubahan konstitusi mengandung empat aspek, yaitu: 1. 2. 3. 4. Prosedur perubahannya Mekanisme yang digunakan untuk mengubah Sistem perubahannya dan bentuk peraturan yang digunakan; dan Substansi yang akan diubah
Dalam tulisan ini yang akan dibahas ialah ketiga aspek pertama, yaitu prosedur perubahannya, mekanisme yang digunakan, dan sistem perubahannya, termasuk bentuk hukum yang digunakan.
Prosedur perubahan
Seperti antara lain dikemukakan oleh K.C Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, konstitusi dapat diubah dan berubah melalui empat kemungkinan: 1) melalui some primary forces, 2) melalui judicial amendment, 3) melalui judicial interpretation; dan 4) melalui usages and conventions. Dalam pada itu, perubahan konstitusi melalui formal amendment, dapat dilakukan melalui empat kemungkinan juga, yaitu: 1. Konstitusi atau undang-undang dasar dapat diubah oleh badan yang diberi wewenang untuk itu, baik melalui prosedur khusus, maupun prosedur biasa; 2. Konstitusi dapat diubah oleh sebuah badan khusus, yaitu sebuah badan yang kewenangannya hanya mengubah konstitusi; 3. UUD dapat diubah oleh sejumlah negara-negara bagian dengan prosedur khusus; 4. UUD dapat diubah dalam suatu referendum Perubahan konstitusi melalui formal amandement ialah perubahan konstitusi yang secara formal diatur dalam undang-undang dasarnya, sebagaimana tercantum dalam pasal 37 UUD 45. Seperti diatur dalam pasal tersebut, ada tiga kaidah hukum yang terdapat didalamnya: 1. Bahwa yang berwenang mengubah UUD 45 ialah MPR. 2. Bahwa untuk mengubah UUD 45 sidang-sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari seluruh anggotanya (quorum); 3. Bahwa keputusan tentang perubahan UUD 45 adalah sah, apabila disetujui oleh sekurang kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari anggota-anggota MPR yang hadir dan memenuhi quorum. Nomor 2 dan 3 itulah yang dimaksud dengan prosedur. Seperti diketahui, prosedur yang digunakan untuk mengubah konstitusi bermacam-macam. Bahkan, badan yang diberi wewenang untuk
54
mengubah konstitusi pun bermacam macam. Dilihat dari prosedurnya, ada konstitusi yang dapat diubah dengan mudah. Konstitusi yang dapat diubah dengan mudah itu diberi nama konstitusi lentur (flexible constitution). Di lain pihak, ada konstitusi yang dapat diubah dengan sukar, yaitu dengan menggunakan persyaratan khusus. Konstitusi yang dapat diubah dengan sukar ini diberi nama konstitusi tegar (rigid constitution). Hal ini dikemukakan oleh James Bryce dalam bukunya Studies in History and Jurisprudence. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah UUD 45 termasuk rigid constitution atau flexible constitution? Seandainya dalam sidang MPR yang menghadiri acara perubahan terhadap UUD 45 benar benar 2/3 (dua per tiga) dari anggota majelis yang berjumlah 700 orang, maka sidang tersebut dihadiri oleh 2/3 dari 700 orang, yaitu 470 orang anggota (dibulatkan ke atas). Dalam pada itu keputusan MPR tentang perubahan tersebut sah, apabila disetujui oleh 2/3 (dua per tiga) dari anggota majelis yang hadir. Karena yang hadir berjumlah 470 orang, maka keputusan tentang perubahan UUD sah apabila disetujui oleh 2/3 dari 470 orang anggota majelis yang hadir. Ini berarti bahwa keputusan tentang perubahan undang-undang dasar sah apabila disetujui oleh 2/3 X 470 orang, yaitu oleh 313 orang anggota MPR. Apabila kita perhatikan angka 313 yang menyatakan sahnya keputusan MPR tentang perubahan undang-undang dasar, angka tersebut jelas dibawah angka 350, yaitu separuh jumlah anggota majelis. Ini berarti bahwa walaupun pasal 37 UUD 45 mensyaratkan quorum adalah 2/3 (dua per tiga) dan sahnya keputusan sekurang kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari yang hadir, dalam kenyataan dapat terjadi bahwa yang menyetujui perubahan UUD 45 hanya sekitar 313 orang anggota majelis. Oleh karena itu perlu dipikirkan prosedur yang lebih sulit. Ada beberapa kemungkinan pengaturan prosedur dapat dipilih. Pertama, sahnya sidang-sidang MPR tetap sekurang kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari seluruh anggota majelis, sedangkan sahnya keputusan diubah, dari sekurang kurangnya 2/3 (dua per tiga) menjadi sekurang kurangnya (tiga per empat). Apabila alternatif ini dipilih, masih dapat dihasilkan angka keputusan MPR menjadi seluruh anggota majelis yang berjumlah 700 orang harus hadir. Ketiga, angka 2/3 (dua per tiga) baik untuk quorum maupun untuk sahnya keputusan tentang perubahan undang-undang dasar diubah menjadi masing masing (tiga per empat). Selain hal hal di atas perlu diperhatikan pula tentang substansi yang dapat diubah. Pertama, tentang pembukaan UUD 45. Ada baiknya, apabila masalah perubahan terhadap pembukaan diserahkan kepada rakyat melalui referendum, dengan catatan, keputusan dinyatakan sah apabila didukung oleh sekurang kurangnya 75 persen dari rakyat Indonesia yang berhak ikut dalam
55
referendum. Hal ini juga dapat diberlakukan terhadap bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintah republik.
Dalam pada itu, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara dari Belanda, Henc van Maarseveen dan kawan-kawan, dalam penelitiannya terhadap konstitusi-konstitusi yang ada di dunia (1978) menyatakan bahwa konstitusi adalah a national document, a politico legal document, a birth certificate. Itulah sebabnya ada usul agar MPR membentuk sebuah komisi konstitusi yang dapat bekerja dengan tenang dan secara mendalam untuk jangka waktu dua sampai tiga tahun. Ada berbagai kemungkinan tentang anggota-anggotanya. Artinya, dapat juga seluruh anggotanya ialah para anggota MPR dengan didampingi para pakar dalam berbagai bidang ilmu, dan dapat pula anggotaanggotanya campuran dari berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa keputusan terakhir harus tetap berada di tangan MPR. Hal ini sesuai pasal 37 UUD 45.
undang federal menetapkan dan mengeluarkan Undang-Undang Federal No. 7 Tahun 1950. Undang-Undang Federal tersebut hanya terdiri atas dua pasal, yaitu pasal I dan pasal II. Pasal I berisi Undang-Undang Dasar sementara tahun 1950, sedangkan pasal II berisi saat berlakunya, yaitu bahwa undang-undang federal tersebut berlaku sejak tanggal 17 Agusutus 1950. Dengan demikian, bentuk hukum perubahannya adalah Undang-Undang Federal, sedangkan substansinya ialah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Seperti diketahui, yang berwenang mengubah Konstitusi Amerika Serikat adalah negara-negara bagian. Artinya, apabila sejumlah tertentu negara-negara bagian telah menerima usul perubahan terhadap UUD Amerika Serikat. Karena keputusan sejumlah negara-negara bagian tersebut tidak mungkin diberi bentuk hukum yang lazim dikenal, maka bentuk hukumnya adalah amandemen, yang dalam Bahasa Indonesia dinamakan perubahan, Timbul pertanyaan, bagaimana sistem perubahan yang harus dilakukan terhadap UUD 45? Seperti diketahui, UUD 45 telah dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesai. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia telah ditetapkan oleh panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Artinya, bentuk keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ialah undang-undang dasar. Ini berarti bahwa undang-undang dasar yang ditetapkan itu selain bentuk hukum adalah juga substansi. Oleh karena itu tidak ada bentuk hukum yang sederajat dengan undang-undang dasar, maka perubahan terhadap UUD 45 diberi bentuk perubahan atau amandemen. Dengan demikian akan terdapat perubahan pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga dan seterusnya. Agar perubahan itu merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan undang-undang dasar yang diubah, perubahan sebagai bentukdilampirkan pada undang-undang dasar tersebut. Dengan demikian, apabila kita akan mempelajari UUD 45, yang harus kita teliti ialah Undang-Undang Dasar yang ditetapkan pertama kali dan perubahan-perubahannya.
58
Referensi: Bryce, James. Studies in History and Jurisprudence Sekretariat Negara Republik Indonesia. Risalah Sidang-Sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persipan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Sri Soemantri M. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi Strong, C.F. Modern Political Constitution Van Maarseveen, cs. Written Constitutions Wheare, K.C. Modern Constitutions
59
Pengantar
Dalam konstitusi negara-negara modern, seringkali kita temukan penegasan bahwa pemberlakuan konstitusi (tersebut) antara lain dimasudkan untuk mewujudkan demokrasi. Hal ini bahkan ditegaskan dalam konstitusi suatu negara yang berbentuk monarki seperti Thailand. Hal ini antara lain tampak dari rumusan Section 2 Konstitusi Thailand yang menyatakan sebagai berikut: Thailand adopts a democratic regime of government with the King as Head of the State.1 Tak jauh berbeda, konstitusi dari suatu negara sosialis seperti mantan Republik Cekoslovakia juga menegaskan hal yang sama, walaupun bentuk atau struktur masyarakat yang akan dibentuknya mungkin berbeda. Dalam bagian Declaration dari konstitusinya ketika gabungan negara Czechs dan Slovaks itu masih eksis, antara lain ditemukan penegasan sebagai berikut: While developing socialist statehood we shall perfect our socialist democracy by increasing the direct participation of the working people in the administration of the State and in the management of the economy, consolidating the political and moral unity of our society, safeguarding the defence of our country, cherising the revolutionary achievements of the people and providing conditions for the development of all creative abilities.2 Dalam konteks yang lebih jauh, demokrasi yang dicita-citakan bahkan tidak hanya demokrasi yang sesaat, melainkan suatu demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democracy). Hal ini antara lain bisa kita lihat pada bagian Preamble dari Konstitusi Filipina dan Amerika Serikat. Dalam Konstitusi Filipina, antara lain ditegaskan adanya tujuan berkelanjutan dari pemberlakuan konstitusi sebagai berikut: in order to build a just and humane society and establish a Government that shall embody our ideals and aspirations, promote the common good and secure to ourselves and our posterity the blessings of independence and democracy under the rule of law and a regime of truth, justice, freedom, equality, and peace.3
Lihat Constitution of the Kingdom of Thailand B.E. 2540 (1997) yang diterbitkan oleh Office of the Council of State. The Constitution of the Czechoslovak Socialist Republic of July 11th, 1960, No. 100 (as amended by other Constitutional Acts). 3 Bagian Preamble dari The Constitution of the Republic of the Philippines, Adopted by The Constitutional Commission of 1986 (Manila: 1986), hal. 1.
2 1
60
Hal serupa juga tampak dalam Konstitusi Amerika Serikat (AS), yang dalam bagian Preamblenya juga menegaskan tujuan sebagai berikut: in Order to form a more perfect Union, establish Justice, insure domestic Tranquality, provide for the common defence, promote the general Welfare, and secure the Blessings of Liberty to ourselves and our Posterity, .4 Dalam kedua konstitusi yang disebut terakhir ini, frasa to ourselves and our posterity (untuk diri dan keturunan kita) menunjukkan bahwa tujuan-tujuan yang disebut dalam konstitusi tersebut dimaksudkan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat yang hidup pada saat tersebut dan masa depan. Namun demikian, meskipun telah ditegaskan dalam konstitusi, dalam prakteknya istilah demokrasi, pemerintahan demokratis, atau yang berkaitan dengannya seringkali masih disalahgunakan. Hal ini secara tepat dilukiskan oleh Alexis de Tocqueville, penulis buku Democracy in America, sebagaimana dikutip oleh Giovanni Sartori, sebagai berikut: It is our way of using the words democracy and democratic government that brings about the greatest confusion. Unless these words are clearly defined and their definition agreed upon, people will live in an inextricable confusion of ideas, much to the advantage of demagogues and despots.5 Untuk menghindarkan hal-hal sebagaimana dipaparkan oleh de Tocqueville tersebut, dalam proses penyusunan konstitusi suatu negara perlu dirumuskan suatu rumusan yang jelas dan tidak bermakna ganda. Disamping itu, perlu pula diberikan landasan-landasan yang berupa asas-asas atau melalui pembentukan lembaga-lembaga yang berperan dari tahap awal pembentukan konstitusi, agar nilai-nilai demokrasi yang dicita-citakan dalam konstitusi dapat terjaga implementasinya dari semua sudut dalam segala jaman.
The Constitution of the United States yang diterbitkan oleh National Constitution Center di Philadelphia. Giovanni Sartori, Can Democracy Be Just Anything?, TheTheory of Democracy Revisited (Chatham: Chatham House, 1987), hal. 3. 6 S.E. Finer, Vernon Bogdanor, dan Bernard Rudden, Comparing Constitutions (Oxford: Clarendon Press, 1995), hal. 1.
5
61
Mereka memberikan beberapa argumentasi untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, banyak dokumen konstitusi yang tidak lengkap, jika tidak dapat dikatakan menyesatkan, untuk menjadi pedoman bagi praktek nyata, yakni apa yang seringkali disebut sebagai working constitution atau governance dari suatu negara. Kedua, merupakan suatu kasus bahwa aturan-aturan yang termasuk dalam suatu konstitusi mungkin dihilangkan atau diabaikan dari yang lain-lainnya, sehingga masing-masing menjadi tidak lengkap perlakuan terhadap partai politik merupakan salah satu contohnya.7 Ketiga, di negara-negara di mana hukum dihormati, teks konstitusi seringkali ditembus oleh interprestasi yang diberikan oleh pengadilan. Proses ini ditunjukkan dalam pernyataan sebagai berikut: the study of constitutional law, as the term is used in the United States, is chiefly the study of those decisions of the Supreme Court of the United States that have interpreted the federal constitutions.8 Bahkan di suatu negara seperti Perancis, terdapat suatu perlawanan yang lama terhadap suatu government by judges, di mana hal ini merupakan kasus dari Konstitusi 1958 yang sekarang harus dibaca dalam konteks putusan-putusan dari badan tersebut di mana ia melibatkan suatu dewan yang sekarang secara efektif menjadi suatu mahkamah konstitusi.9 Keempat, teks konstitusi itu sendiri hanya menyinggung sedikit tentang hal-hal yang berkaitan dengan organisasi-organisasi ekstra konstitusional yang menyebabkan dan mengatur proses politik: gereja-gereja, kelompok-kelompok penekan, birokrasi, perusahaan-perusahaan besar, minoritas etnis dan minoritas lain, media, angkatan bersenjata, dan lain-lain.10 Salah satu sarana untuk menjamin adanya demokrasi yang berkelanjutan dalam konstitusi ialah dengan melibatkan partisipasi seluruh warga negara dalam pembuatan konstitusi. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan pembentukan suatu komisi konstitusi sebagaimana telah ditunjukkan dalam praktek di berbagai negara. Untuk ruang lingkup ASEAN, kita dapat meninjau praktek yang terjadi di Filipina dan Thailand. Praktek di Filipina menunjukkan bahwa setelah terjadinya revolusi rakyat (people power) yang mengakibatkan kaburnya Presiden Ferdinand E. Marcos ke Hawaii pada tahun 1986, rakyat
7 8
Ibid. E. Allan Farnsworth, An Introduction to the Legal System of the United States (Oceana: 1983), hal. 131. 9 Finer, Bogdanor, dan Rudden, hal. 1. 10 Ibid., hal. 1-2.
62
Filipina kemudian membentuk Komisi Konstitusi 1986. Komisi inilah yang kemudian merancang dan mengesahkan Konstitusi Filipina pada tanggal 15 Oktober 1986.11 Dalam perkembangannya kemudian komisi tersebut tidak hanya merancang dan mengesahkan konstitusi, tetapi juga menempatkan dirinya sendiri dalam konstitusi. Hal ini dapat dilihat dalam Article IX yang berjudul Constitutional Commissions. Dalam Konstitusi Filipina, Komisi Konstitusi merupakan suatu badan independen, dan terdiri dari Civil Service Commission, Commission on Election, dan Commission on Audit.12 Sedangkan pengalaman di Thailand menunjukkan bahwa mereka pernah membentuk komisi konstitusi dua kali sebelumnya, yakni pada tahun 1948 dan 1959; namun komposisi keanggotaan dan mandat yang diembannya berbeda dengan yang kemudian dibentuk pada tahun 1997. Perbedaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, anggota-anggota komisi dipilih secara tidak langsung guna mewakili semua unsur masyarakat, dan bukannya ditunjuk dan diangkat oleh pemerintah yang berkuasa. Kedua, komisi tersebut memiliki mandat khusus untuk mereformasi proses politik, dan bukannya sekedar membagi kekuasaan antar elit.13 Ketiga, majelis dituntut untuk menggunakan pendekatan serta peran serta rakyat guna menjamin diperolehnya berbagai masukan dari masyarakat dalam penyusunan konstitusi tersebut. Keempat, komisi mempunyai beberapa patokan khusus yang harus dicapai dalam waktu 240 hari, guna menjamin bahwa konstitusi baru dirancang secara efisien, melibatkan masyarakat, dan cepat.14 Komisi tersebut mulai bekerja secara resmi pada tanggal 7 Januari 1997, dengan dipilihnya mantan anggota Parlemen dari partai oposisi dan pendukung demokrasi, Uthai Pimchaicon, sebagai ketua. Anggota-anggota komisi yang mewakili propinsi kembali ke propinsi tempat asal mereka dan bersama-sama dengan para calon anggota komisi pada putaran pertama serta berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan serangkaian dengar pendapat umum pada bulan Februari dan Maret 1997 guna menghimpun pendapat publik. Pada bulan April 1997, semua anggota komisi berkumpul kembali di Bangkok guna menyusun rancangan pendahuluan yang kemudian disetujui oleh komisi pada tanggal 7 Mei 1997 dengan 89 suara setuju dan 1 suara menolak.15
Lihat The Constitution of the Republic of the Philippines. Ibid., lihat Article IXA, IXB, dan IXC. 13 Kecenderungan semacam ini pernah muncul pada akhir era pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Beberapa kalangan pada saat itu mengusulkan adanya semacam new power sharing di antara para elit politik. 14 James R. Klein, The Constitution of The Kingdom of Thailand 1997: Blueprint for a Democracy, Working Paper No. 8 (Bangkok, 1998), hal. 11. 15 Ibid. hal. 13.
12 11
63
Rancangan ini kemudian dipublikasikan dan disebarluaskan oleh komisi dan media massa di Thailand. Selama dua bulan berikutnya, begitu perekonomian Thailand mulai kelihatan jatuh, Komisi Peneliti Konstitusi yang diketuai oleh Anand Panyarachun menyelenggarakan dengar pendapat umum yang disiarkan langsung ke seluruh pelosok negeri melalui radio dan televisi guna menghimpun pendapat publik tentang rancangan pendahuluan tersebut. Dengar pendapat serupa juga diselenggarakan pula di tingkat propinsi oleh komisi tersebut bekerja sama dengan LSM.16 Setelah melalui debat publik yang sengit, rancangan pendahuluan tersebut kemudian direvisi dan disetujui oleh komisi pada tanggal 15 Agustus 1997 dengan 92 suara setuju dan 4 suara menolak. Rancangan konstitusi tersebut lalu diajukan ke majelis nasional untuk diperdebatkan antara tanggal 4-10 September 1997. Pada tanggal 27 September 1997, Majelis Nasional menyetujui rancangan konstitusi tersebut dengan 578 suara mendukung, 16 suara menentang, dan 17 abstain. Konstitusi tersebut kemudian diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1997.17 Demikian pengalaman dua negara anggota ASEAN yang menyusun konstitusi barunya melalui pembentukan komisi konstitusi. Untuk konteks Indonesia, ada harapan bahwa para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan menerima konsep pembentukan UUD melalui komisi konstitusi. Bagaimanapun, pembentukan suatu konstitusi tanpa melibatkan peran serta masyarakat secara luas memiliki kecenderungan untuk menimbulkan kelemahan-kelemahan. Hal ini antara lain tampak dari pengaturan hak asasi manusia dalam perubahan kedua UUD 1945, yang esensinya tidak lain daripada pemindahan pasal-pasal dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.18 Disamping masalah peran serta rakyat, dalam proses penyusunan perubahan ketiga UUD 1945 atau konstitusi baru harus memperhatikan semua kelembagaan yang mungkin dapat didayagunakan untuk kemajuan negara, terutama lembaga-lembaga yang tergolong dalam infrastruktur politik seperti partai politik, golongan kepentingan, golongan penekan, alat komunikasi politik dan tokoh politik. Disamping itu, juga harus diadakan peninjauan terhadap suprastruktur politik. Dalam konteks ini Badan Pekerja MPR telah melakukan langkah maju dengan merespons aspirasi masyarakat tentang pemberlakuan sistem bikameral dan pembubaran
Ibid. Ibid. Lihat pula James R. Klein, Thailand in 2000: The Latest Development in The Reform of Thailands Constitution (Bangkok, 2000). 18 Lihat Satya Arinanto, Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Perubahan UUD 1945, makalah disampaikan dalam seminar tentang Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional [BPHN] di Jakarta, 9-10 Oktober 2001.
17
16
64
DPA. Dalam konteks lebih jauh harus diadakan penataan kembali terhadap kedudukan dan peranan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Lembaga Kepresidenan. Hanya dengan cara inilah proses perubahan konstitusi yang dilakukan di Indonesia dalam masa transisi ini dapat menjamin terciptanya demokrasi yang berkelanjutan, suatu hal yang selalu didamba-dambakan oleh kalangan masyarakat mana pun di dunia ini.
Penutup
Demikian beberapa catatan tentang konseptualisasi dasar-dasar konstitusi bagi demokrasi yang berkelanjutan. Masa reformasi yang ada sekarang ini harus dimanfaatkan dengan perwujudan berbagai proses dan institusi yang benar-benar demokratis di Indonesia. Situasi pada masa-masa yang lalu, di mana demokrasi yang dipraktekkan ialah demokrasi yang seolah-olah, diharapkan tidak muncul lagi dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Hal ini harus kita cegah melalui penerapan kaidah-kaidah, institusi-institusi, dan proses-proses yang demokratis dalam Konstitusi Indonesia yang baru.
65
Pendahuluan
Walaupun mungkin saja membayangkan sebuah demokrasi tanpa landasan konstitusi, namun ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Semakin diakui bahwa demokrasi yang berkelanjutan dapat terjaga hanya dengan landasan konstitusi yang kokoh. Landasan yang paling logis dan paling kuat untuk demokrasi yang berkelanjutan adalah negara yang diatur menurut konstitusi dimana konstitutsi itu sendiri berisikan prinsip-prinsip dasar bagi demokrasi yang dibangun dan melindunginya terhadap berbagai ancaman dari dalam dan luar. Demokrasi seperti itu bersandar pada maksud aturan konstitusi dimana sumber kewenangan dan kekuasaan terakhir berada pada konstitusi itu sendiri bukan pada tangan presiden atau parlemen. Pihak eksekutif dan legislatif tidak memiliki kewenangan yang lebih selain apa yang telah digariskan oleh konstittusi terhadap mereka. Hal ini merupakan titik awal dari tradisi Westminster, dimana beberapa negara bekas jajahan, termasuk Indonesia dibangun. Pada bagian awal kita telah menegaskan bahwa landasan konstitusi yang kokoh atas demokrasi berkelanjutan adalah keberadaan negara konstitusi (constitutional state) dimana kewenangan memerintah tergantung pada konstitusi yang mendistribusikan kekuasaan dan menempatkan batasan-batasan atas pelaksanaan kewenangan tersebut. Negara konstitusi seperti itu menurut definisi adalah negara yang membatasi kewenangan eksekutif dan legislatif yang diangkat secara demokratis. Konstitusi menentukan batasan-batasan kewenangan pejabat dalam membuat prosedur-prosedur yang sesuai dengan demokrasi, dimana hukum dibuat dan ditegakkan serta pembatasan kekuasaan eksekutif dan legislatif berkaitan dengan soal pelaksanaannya. Batasanbatasan ini diakui sebagai batasan yang menentukan atas demokrasi mayoritas untuk maksud yang lebih baik yaitu melindungi aturan-aturan demokrasi dan hak-hak seluruh warga negara.
dukungan luas hampir sebagian besar rakyat. Proses pengesahan yang legitimate terhadap konstitusi begitu beragam termasuk didalamnya pembentukan, persetujuan, dan pengesahan. Beberapa cara pengesahan tersebut adalah: Oleh majelis yang diangkat secara demokratis. Oleh parlemen yang dipilih secarademokratis. Oleh referendum rakyat. Oleh komisi konstitusi yang mendapat dukungan rakyat.
Bagaimanapun, sebuah konstitusi jangan hanya dengan maksud sederhana untuk menyediakan landasan yang stabil bagi demokrasi berkelanjutan tetapi juga harus diterima secara luas. Konstitusi harus memenuhi dua persyaratan yang tak terpisahkan yaitu dukungan dan penerimaan mayoritas oleh berbagai ragam elemen masyarakat dan daerah. Ini hal yang sangat penting bagi rakyat karena adanya hal-hal yang berbeda dan identitas yang mudah pecah. Dalam masyarakat seperti itu, konstitusi juga harus menjadi landasan bagi seluruh anggota masyarakat agar merasa terayomi, terlindungi dan dipersatukan. Kepentingan ini sewajarnya terjamin dalam proses pembuatan konstitusi dengan meminta persetujuan mayoritas besar dan signifikan, baik dengan cara referendum maupun persetujuan majelis yang dipilih secara demokratis. Kepentingan tersebut juga perlu dijaga dengan penekanan pada proses pembuatan/perancangan dan persetujuan, dengan tidak hanya mencari dukungan mayoritas politik tetapi juga dukungan dari seluruh kelompok etnis, agama, bahasa, wilayah, daerah dan kelompok-kelompok lain yang signifikan. Beberapa negara telah memperoleh sistem demokratis hanya sampai kelompok sekterian menumbangkan cita-cita awal konstitusi. Konstitusi modern semakin menunjukkan persyaratan bahwa konstitusi dan kepentingan yang dilindunginya harus luas dan menyeluruh. Konstitusi yang luas dan menyeluruh tersebut memberikan tempat pada semuanya dalam sistem politik, jadi tidak hanya menjaga demokrasi, tapi juga menciptakan kondisi stabilitas. Pemuatan menyeluruh dalam isi konstitusi sebaiknya dicapai dan selalu mengikuti metode pembuatan konstitusi yang menyeluruh. Karena konstitusi ditujukan untuk membangun landasan yang kuat bagi demokrasi berkelanjutan, seharusnya dibentuk struktur yang tepat untuk pemerintahan yang baik (good governance) dan bukan untuk menempatkan individu-individu tertentu yang dianggap penting pada suatu saat di dalam sejarah bangsa. Dapat kita temukan dalam beberapa situasi nasional, konstitusi didesain untuk mengakomodir kesepakatan-kesepakatan politik tertentu, individu tertentu atau kompromi historis yang dimunculkan sesaat. Namun sebenarnya konstitusi dimaksudkan untuk menjadi kerangka abadi (enduring framework) - untuk bertahan melewati kebijakan pembagian kekuasaaan
67
yang sifatnya temporer meskipun kompromi-kompromi tersebut telah menciptakan kemungkinan pembuatan sebuah konstitusi baru. Ada beberapa masyarakat yang telah membuat konstitusi sebagai reaksi terhadap pengalaman kolonialisme yang sampai pada penciptaan kerangka konstitusi dengan pemerintahan otokrasi, sehingga tak dapat terelakkan terbentuklah penguasa yang korup. Indonesia mungkin salah satu contohnya. Ini juga penting untuk melindungi konstitusi terhadap amendmen yang mudah dan dilakukan sendiri oleh pemenang politik yang hanya berlangsung singkat. Konstitusi harus ditegaskan berada diatas segala manipulasi politik dan amandemen, serta mempersyaratkan prosedur amandemen yang melibatkan keterlibatan publik dan dukungan politik yang menyeluruh. Asas lainnya dari landasan konstitusi bagi demokrasi berkelanjutan adalah kepemilikan publik terhadap konstitusi. Ini sebagian dapat dicapai melalui nilai-nilai, artikulasi konstitusi, atau konteks dimana konstitusi ini dilahirkan, namun nampaknya cara yang paling pasti dimana dukungan rakyat atas konstitusi pertama-tama dibentuk adalah dengan, dan melalui, partisipasi langsung dalam perumusan dan pembuatan perundang-undangannya. Terdapat beberapa alasan mengapa perhatian khusus diarahkan pada partisipasi publik dalam proses pembuatan konstitusi meskipun ini pada akhirnya disahkan oleh badan yang dipilih secara demokratis. Proses politik multi-partai tidak dapat memberikan kepastian adanya partisipasi dan pendapat rakyat dalam setiap bidang yang akan menjadi pokok pikiran konstitusi. Ini sebagaian karena program-program partai politik tidak mampu membahas persoalan-persoalan detail mengenai konstitusi. Disamping itu juga karena partai-partai politik membentuk kerangka yang luas diluar isu-isu khusus yang diperdebatkan seperti isu gender, lingkungan dan hak-hak pekerja untuk mendapatkan dukungan rakyat. Dalam beberapa peristiwa tidak semua pemilih dalam partai yang sama memiliki pandangan serupa tentang isu-isu khusus tersebut. Kedua, partisipasi rakyat dalam proses pembuatan konstitusi merupakan kesempatan yang jarang bagi pendidikan rakyat mengenai hak-hak asasi manusia dan masalah-masalah konstitusi. Telah dikatakan bahwa pernyataan hak-hak asasi manusia tidak akan bertahan kecuali adanya pemahaman dan penghargaan atas hak-hak. Pemahaman dan apresiasi terhadap hak tidak bisa dipaksakan pada rakyat dari atas. Hal yang sama juga berlaku untuk demokrasi. Konstitusi yang dirancang dengan sangat baik dan bagus tidak akan bertahan lama jika tidak bermakna di hati rakyat. Konstitusi yang sangat baik dan bagus adalah konstitusi menempatkan hak-hak rakyat biasa. Konstitusi tersebut tidak memberikan hak terhadap para politisi, ahli teknis, maupun pengacara yang merancangnya. Kecuali hak-hak rakyat terakomodir dan terlindungi, mereka tidak mungkin
68
menjadi penghalang demi mempertahankan konstitusi. Pengacara tidak akan turun ke jalan untuk mempertahankan konstitusi, begitupun politisi. Hanya rakyat biasalah yang dapat dan seharusnya mempertahankan konstitusi karena hak-hak mereka telah dirampas oleh kekuasaan otokrasi. Proses pembuatan konstitusi membuka kesempatan khusus bagi rakyat tidak hanya untuk membangun kepemilikan bersama terhadap konstitusi tetapi juga untuk mendidik rakyat terhadap nilai-nilai yang dikandungnya dan untuk mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap hak. Tuntutan terhadap partisipasi publik berimplikasi tidak hanya pada apa yang konstitusi katakan tetapi cara konstitusi mengatakannya. Telah diakui bahwa ini suatu yang mungkin menulis konstitusi dengan satu cara dimana rakyat dapat memahaminya dan mengenali perhatian mereka dalam cakupan yang luas. Perspektif tentang pembuatan konstitusi yang menekankan partisipasi publik juga akan memperlihatkan bahwa keikut sertaan rakyat turut berpengaruh terhadap apa yang dibicarakan. Perspektif ini menekankan pada pembuatan referensi dalam konstitusi terhadap persoalan-persoalan penting yang ada di pikiran rakyat dan kehidupan keseharian mereka, khususnya masalah sosio-ekonomi seperti kesehatan, perumahan, pekerjaaan lingkungan dan hak-hak anak dan perempuan. Konstitusi yang tertuju pada perhatian rakyat biasa dan diakomodir dalam suatu cara dimana rakyat turut terlibat lebih memungkinkan untuk menciptakan kesetiaan nasional dalam kerangka politik berbangsa dan lebih memungkinkan untuk memainkan peranan dalam proses pembangunan bangsa (nation-building). Proses pembuatan konstitusi memberikan kesempatan khusus untuk membentuk konsensus nasional, identitas nasional, tujuan nasional, dan yang paling penting adalah nilai-nilai demokrasi dan apresiasi terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam kehidupan berbangsa, terdapat sedikit sekali kesempatan khusus yang diberikan untuk maksud seperti itu. Menurut pandangan saya, kecenderungan sekarang dalam pembentukan komisi perubahan konstitusi diluar proses parlemen adalah untuk menghasilkan model konstitusi baru, bukan pengembalian kepada proses pembuatan konstitusi model lama yang sangat tergantung atas masukan dari para pakar. Ini adalah suatu usaha pembentukan forum kerjasama untuk memberikan akses pada rakyat dalam memberikan masukkan secara langsung dalam suatu konteks dimana ada keraguan terhadap para politisi dan kepentingan partai-partai politik.
ataukah penghentian proses legitimasi atau diserahkan pada badan pembuat konstitusi yang dipilih secara demokratis. Afrika Selatan memecahkan masalah ini dengan menjalani proses pembuatan konstitusi dengan dua prinsip penting. Ada dua tahap pendekatan. Pada tahap pertama, proses multi partai dimana semua partai diberikan kepentingan yang sama untuk memformulasikan dan menyusun seperangkat prinsip-prinsip konstitusi yang mengikat. Prinsip-prinsip konstitusi tersebut adalah mekanisme dimana hak-hak minoritas dijamin. Dalam tahap kedua, majelis konstitusi yang diplih secara demokratis diberikan kewenangan untuk merampungkan dan menyempurnakan penyusunan konstitusi yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip konstitusi yang telah digariskan. Setelah memutuskan metode bagaimana konstitusi seharusnya ditulis, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah majelis konstitusi (yang telah dipilih secara demokratis) akan merancang konstitusi dengan menghentikan kepentingan lebih jauh atas partisipasi publik dalam proses pembuatannya. Telah ditentukan bahwa proses ini tidak akan melemahkan kemungkinan partisipasi publik dan bahwa ada suatu kebutuhan untuk memajukan keterlibatan publik terus-menerus dalam proses pembuatan konstitusi untuk semua alasan yang telah saya kemukakan diatas. Di Afrika Selatan, seiring dengan bertambahnya publikasi mengenai proses pembuatan konstitusi di media termasuk isu-isu yang sedang dibahas, posisi masing-masing partai dan beragam formulasi rancangan maka diputuskan untuk melibatkan rakyat secara langsung. Partisipasi publik secara langsung diajukan pada awalnya oleh permusyawaratan rakyat dimana para anggota majelis pembuat konstitusi mengunjungi setiap desa atau kota dengan sikap bipartisan (yaitu dengan perwakilan paling sedikit dua partai berbeda) yang tugasnya bukan memperdebatkan isu-isu tertentu satu sama lain tetapi hanya mendengarkan apa yang masyarakat ingin katakan. Majelis tersebut berfungsi menyerap kepentingan dan aspirasi rakyat. Proses berikutnya yang dilakukan adalah pengumpulan pendapat tertulis dari rakyat tentang teks konstitusi. Masyarakat diminta menyampaikan pendapat mereka tentang bagaimana dan apa masalah-masalah yang harus diuraikan dalam konstitusi. Dalam proses ini diharapkan 100.000 ajuan pendapat dapat diterima. Namun dalam kenyataannya, lebih dari 2.000.000 ajuan pendapat diterima mulai dari asosiasi organisasi bisnis sampai pada perseorangan dari kalangan petani biasa. Tentu saja tidak semua pendapat yang muncul berkaitan dengan pokok bahasan konstitusi. Beberapa perempuan mengambil kesempatan ini untuk mengeluhkan tentang ketidakpedulian suami terhadap istri atau perlakuan kejam terhadap istri, dan para petani mengeluhkan tentang pencurian ternak dan kurangnya tindakan polisi. Walaupun persoalan-persoalan yang muncul
70
terlepas dari pertanyaan konstitusi, namun kenyataannya masyarakat mengangkat isu penting tentang kesetaraan gender atau kurangnya tanggung jawab pejabat publik terhadap keprihatinan masyarakat. Dengan mengembangkan proses partisipasi publik ini, konstitusi dirancang dalam suatu lingkungan atau konteks dimana rakyat jelata melrasa bahwa mereka mendapat kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka secara langsung, dan dalam prosesnya keprihatinan mereka didengarkan. Pada gilirannya rasa kepemilikan terhadap produk konstitusi tersebut tumbuh di hati rakyat dan mereka berkata, ini adalah konstitusi kami, kami membantu membuatnya.
Sistem pemilihan
Pada hakekatnya tugas pertama konstitusi adalah menetapkan kerangka untuk politik yang demokratis. Konstitusi tersebut harus menyatakan bagaimana fungsi sistem pemilihan, dengan kata lain bagaimana aspirasi rakyat diartikulasikan melalui sistem politik. Untuk memberi keyakinan pada rakyat, dalam tugasnya mereka perlu disediakan suatu sistem yang tidak memungkinkan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas oposisi. Dalam hal ini, pelaksanaan terbaik yang telah terjadi akhir-akhir ini merefleksikan perhatian bahwa sistem pemilihan harus menghasilkan legislatif yang menyeluruh (dimana seluruh pilihan politik rakyat secara proporsional terwakili) sementara dalam waktu yang bersamaan memastikan adanya pemilihan yang reguler dan periodik. Dalam menentukan aturan-aturan kontes, konstitusi tidak menjadi undang-undang pemilihan.
71
Pemungutan suara adalah salah satu tindakan warga negara yang paling ekspresif dan dengan menjamin akses yang sama menuju tempat pemungutan suara dan nilai yang sama terhadap suara seluruh warga negara, sistem pemilihan bisa menyatakan atau meniadakan nilai ini. Sebuah sistem seperti dalam pemilihan terakhir di Lesotho, yang memberikan hasil tak sepadan (suatu partai yang memperoleh 40 persen suara mendapatkan hanya 2 persen kursi) bisa menuju ketidakstabilan politik. Hal yang sangat lazim juga bahwa pemilihan diatur oleh badan yang secara jelas tidak memihak atau komisi pemilihan. Ketika hasil pemilihan dicurigai atau diperdebatkan, legitimasi seluruh struktur pemerintahan akan dipertanyakan. Bagaimanapun sempurnanya konstitusi telah dirancang, tidaklah akan berhasil jika kecurangan pemilihan terjadi menyeluruh. Selain tugas konstitusi dalam menentukan aturan-aturan dasar pemilihan atau kontes politik, konstitusi juga harus menetapkan dan menentukan hadiah kontes tersebut. Salah satu paradoks yang harus dihadapi adalah bahwa pemilihan demokratis sebagai mekanisme penting untuk perkembangan politik yang damai sering diasosiasikan dengan kekerasan dan konflik, khususnya di negara-negara berkembang. Alasan atas hal tersebut adalah karena eksistensi arah yang salah mengenai batasan-batasan ras, kesukuan, bahasa, agama dan daerah. Negara-negara berkembang tidak memiliki homogenitas linguistik, budaya dan agama seperti kebanyakan negara-negara barat miliki. Lebih dari itu, politik kepartaian cenderung berkaitan dengan arah yang salah tersebut yang menghasilkan politik kelompok, yaitu suatu kehidupan politik yang tidak didasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan afiliasi kelompok yang menentukan pilihan politik. Lebih lanjut, di banyak negara berkembang, perebutan pemerintahan dalam langkah-langkah substansial termasuk juga perebutan ekonomi. Dalam sistem politik tersebut pelaksanaan politik yang demokratis seperti itu bisa mengarah pada marjinalisasi tiada henti terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sangatlah penting kemudian bagi konstitusi untuk menentukan sesuatu yang dapat diperoleh (hadiah) dalam suatu cara tertentu dengan menjamin tidak adanya diskriminasi dalam struktur pemerintahan, dan memastikan managemen yang efektif terhadap kemungkinan konflik antar kelompok dan daerah. Secara ringkas, saya menyarankan bahwa konstitusi modern harus menentukan sesuatu yang layak diperoleh oleh pemenang dalam kontes politik, dan juga aturanaturan yang harus dilaksanakan untuk meminimalkan resiko kekerasan sektarian dan mengembangkan partisipasi yang lebih menyeluruh dalam kerangka tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menjamin tingkat partisipasi regional yang lebih besar dalam managemen kemasyarakatan dan memberikan otonomi lokal dan regional yang lebih
72
luas berkaitan dengan masalah-masalah yang sebaiknya ditangani dan diawasi oleh tingkat lokal dan regional tersebut. Mekanisme yang lainnya adalah terjaminnya partisipasi rakyat dalam struktur kenegaraan diseluruh sektor kemasyarakatan dimana para pemegang jabatan politis dan partai harus memiliki dukungan rakyat yang beragam secara regional; dan meminimalisir kesempatan satu kelompok merebut pemerintahan dan memiliki akses terhadap hasil hegemoni politik. Juga memberikan peranan yang penuh dan berharga bagi partai oposisi. Saya akan kembali ke tema ini ketika saya menyentuh beragam tema tentang pentingnya konstitusi.
harus dilaksanakan oleh masing-masing kekuasaan pemerintah dan dalam hal apa. Juga betapa penting fungsi tanggung jawab antara keduanya untuk dilaksanakan. Batasan-batasan yang lemah tidak hanya dapat mengarah pada kebuntuan konstitusi tapi juga dapat dapat menimbulkan ambiguitas dimana satu pilar pemerintah memberikan asumsi atas fungsi pilar pemerintah lainnya sehingga merusak tatanan pemerintahan yang terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. Sesungguhnya pemerintahan otoriter selalu disertai dengan sentralisasi kekuasaan - biasanya berada pada kekuasaan eksekutif yang mengorbankan kekuasaan pemerintahan lainnya.
Yudikatif
Berkaitan dengan yudikatif, perlu ditegaskan bahwa peran yudikatif adalah titik pusat dalam fungsi negara yang berkonstitusi modern. Dalam negara berkonstitusi, suatu badan dituntut untuk menegakkan ketentuan-ketentuan konstitusi berkaitan dengan batasan-batasan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, antara wewenang pemerintah pusat dan daerah, serta antara warganegara dan negara. Tugas tersebut hanya dapat dijalankan oleh suatu badan yang independen terlepas dari kekuasaan pemerintah lainnya. Karena itulah, hal paling penting dalam yudikatif modern yang mampu menopang demokrasi adalah independensi. Ada beberapa cara agar independensi dapat terjamin. Konstitusi modern menekankan pada metode pengangkatan hakim, kondisi jabatan mereka, periode pengangkatan atau wewenang pemberhentian yudikatif yang bertugas menghindarkan hakim terhadap pengaruh politik. Semakin lama, kecenderungannya adalah mengganti kontrol langsung dari eksekutif atas yudikatif, yaitu dengan membentuk suatu institusi khusus dimana para stakeholders berpartisipasi sebagai badan yang bertugas menjalankan pengawasan ketat terhadap fungsi yudikatif. Saya katakan demikian karena hakim juga dituntut bertanggung jawab terhadap publik, paling tidak dalam pelaksanaan fungsi penting mereka dan pengawasan ini sebaiknya tidak diserahkan pada pengacara atau hakim semata.
Hak-hak asasi
Dalam dunia sekarang, kita tidak mungkin membahas landasan konstitusi bagi demokrasi berkelanjutan tanpa membicarakan tentang perlunya hak-hak asasi yang harus dilaksanakan dan diabadikan dalam konstitusi. Hak-hak inilah yang menjamin kebebasan asasi individu dan kelompok dan memberikan substansi kewarganegaraan yang setara. Hak-hak yang begitu terjaga tersebut dianggap essensi dan tidak ada satu undang-undangpun boleh membatasinya. Hak-hak tersebut harus berfungsi menjamin kebebasan individu dan kebebasan politik, hak budaya dan minoritas, serta hak-hak ekonomi kemasyarakatan mendasar. Menurut pengamatan saya lebih lanjut, konstitusi modern terus dibuat lebih jauh tanpa memuat pernyataan hak-hak asasi. Mereka membentuk institusi independen khusus yang memajukan hak-hak asasi dari pada hanya mengandalkan institusi pemerintah untuk menegakkannya. Kita
74
dapat melihat pelaksanaan pembentukan komisi independen hak-hak asasi manusia, ombudsman, dan institusi-institusi serupa secara konstitusional yang melakukan tugasnya terlepas dari pemerintah dalam memajukan nilai-nilai konstitusi. Konstitusi Nigeria, seperti yang dikatakan pada saya, melindungi hak-hak wanita dan telah berjalan begitu lama meskipun berada dibawah kekuasaan militer. Tetapi tak satupun kasus pernah dibawa ke hadapan pengadilan demi menegakkan hak-hak ini.
Perencanaan keuangan
Diakui bahwa persiapan politik untuk sebuah konstitusi mesti ditopang dengan perhitungan dan pertimbangan mengenai keuangan. Contohnya, dalam sistem otonomi daerah haruslah disertai dengan pembagian sumber penghasilan yang adil dan tepat. Hubungan antara legislatif dan eksekutif juga harus didukung oleh otonomi keuangan dan pertanggungjawabannya. Parlemen yang mengusulkan dana kepada eksekutif harus memiliki mekanisme yang menjamin bahwa dana yang diusulkan digunakan sesuai dengan anggaran. Atas pertimbangan tersebut, setiap konstitusi sebaiknya memasukkan financial constitution yang akan mampu mendukung ketetapan konstitusi dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam persaingan tak terelakkan untuk perolehan sumber penghasilan.
jawab dan kapasitas untuk mengatur dan mengontrol aspek-aspek pemerintahan secara tepat pada tingkat lokal atau regional. Perhatian yang seharusnya diberikan terhadap konstitusi tidak hanya mengenai cara penyerahan kekuasaan pada tingkat lokal dan regional tetapi juga cara pelaksanaannya dalam kerangka kerjasama dan kolaborasi nasional. Hal ini perlu ditegaskan karena dinamika dalam sistem pemerintahan regional adalah persaingan demi kepentingan pribadi, dimana daerah-daerah bersaing dengan pemerintah nasional dan juga daerah lainnya dengan tidak mementingkan yang lainnya, picik, dan saling merusak misalnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan air, lingkungan atau hak-hak minoritas daerah. Kesempitan berpikir dalam pemerintah regional tersebut dapat diatasi dalam suatu sistem yang memberikan pemerintah regional beberapa pengaruh dan tanggung jawab untuk menentukan kerangka pemerintahan nasional secara menyeluruh - suatu fungsi yang secara khusus dijalankan oleh DPRD seperti pada Bundesrat di Jerman.
76
Pleno II Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
77
78
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) merupakan dokumen yang agak pendek dan bersifat umum. Dokumen tersebut selama ini tidak pernah di amendir (dirubah), tetapi baru-baru ini dua perubahan telah dilakukan. Perubahan-perubahan baru akan dipertimbangkan paling lambat dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bulan Agustus 2002. Salah satu sasaran perubahan dalam UUD 45 yang diperdebatkan dan menimbulkan ketegangan adalah peran badan eksekutif dan Parlemen2 di Indonesia berdasarkan UUD tersebut. Perdebatan sering terpusat pada pertanyaan apakah Indonesia sebaiknya menerapkan sistem presidensiil atau parlementer. Penggantian Abdurrahman Wahid oleh Megawati Soekarnoputri terjadi setelah perdebatan panjang antara badan eksekutif dan badan legislatif, yang masing-masing menyatakan posisinya berdasarkan konstitusi. Jika sesuatu terjadi dari krisis konstitusi tersebut, penyebabnya ialah ketidakjelasan UUD 45 dalam pembagian kekuasaan antara badan eksekutif dan badan legislatif. Pembagian kekuasaan yang jelas antara kedua badan tersebut perlu dicari untuk menjamin stabilitas negara di masa depan. Tentunya perlu bagi Indonesia memutuskan bagaimana seharusnya UUD yang sesuai. Namun demikian ketika mereka sedang memperdebatkan model yang paling tepat untuk Indonesia, kiranya perlu melihat model-model yang ada di negara-negara demokrasi lainnya. Itulah maksud penulisan paper ini. Saya akan mengemukakan beberapa model yang mungkin berguna bagi Indonesia, terutama model-model yang diterapkan di Amerika dan Perancis. Saya mengemukakan hal tersebut sebagai orang luar yang sedikit tahu undang-undang yang berlaku di Indonesia, terutama sebagai ahli perbandingan hukum.
Beberapa bagian dari makalah ini diambil dengan adaptasi dari artikel sebelumnya - Gary F. Bell, Obstacles to Reform: The 1945 Constitution - Constitutions Do Not Perform Miracles (2001) III/6 Van Zorge Report. 2 Dalam esei ini demi konsistensi saya akan menggunakan kata parlemen untuk lembaga-lembaga legislatif negara yang dipilih selain eksekutif, walaupun tidak selalu demikian di negara-negara tertentu. Dalam hal Indonesia, saya menggunakan kata Parlemen untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
79
Konstitusi yang kini berlaku UUD 45 yang asli dan pembagian kekuasaan
Mengenai pembagian kekuasaan antara badan eksekutif dan badan legislatif, UUD 45 menetapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat undang-undang 3 sedangkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengubah konstitusi dan menenetukan arah kebijaksanaan umum.4 UUD 45 tidak menetapkan secara terperinci bagaimana arah kebijaksanaan (MPR), perundang-undangan (DPR) dan kekuasaan pemerintah dikoordinasikan. UUD 45 juga memberi kekuasaan kepada presiden untuk mengeluarkan peraturan-peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengatasi masalah-masalah mendesak, yang perlu persetujuan DPR dalam sidang berikutnya.5 Jika suatu konflik timbul antara badan eksekutif dan badan legislatif, UUD 45 tidak menyediakan mekanisme untuk penyelesaian konflik tersebut ataupun peninjauan berdasarkan perundangundangan. UUD 45 hanya menyebutkan adanya Mahkamah Agung, tetapi detailnya akan ditetapkan menurut undang-undang. UUD 45 tidak memberi kuasa kepada Mahkamah Agung untuk berperan sebagai wasit konstitusional.6 UUD 45 layak disebut dokumen yang tidak begitu terperinci.
Pasal 20, UUD 45 Pasal 3, UUD 45. 5 Pasal 22, UUD 45 6 Yang menarik, sebelum panggilan untuk pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa yang memberi pendapat pengadilan mengenai UUD tanpa mendukung argumen dari partai-partai yang terlibat. Ini merupakan pernyataan tegas pertama Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali konstitusi. Tidak lama sebelumnya, ketika Presiden Abdurrahman Wahid meminta pendapat konstitutional, mahkamah menyatakan bahwa tidak ada hak hukum atas masalah-masalah konstitutional. Karena itu, pengeluaran fatwa merupakan pembalikan pendirian yang mengherankan yang mungkin mempunyai logika yang tidak terungkap. Saya terdorong mengatakan bahwa sekali orang terbiasa dengan ketidak konsistensian dan pembalikan pendirian Mahkamah Agung - agaknya pengadilan harus mempunyai logikanya sendiri. 7 Pasal 37, UUD 45 8 Pasal 5 (1), UUD 45 setelah amandemen 9 Pasal 20, UUD 45 setelah diubah dalam Amandemen I
80
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Amandemen tersebut juga menetapkan batas waktu jabatan presiden dan wakil presiden (masingmasing maximum dua kali lima tahun),10 merubah ketetapan-ketetapan mengenai upacara pelantikan,11 dan mengharuskan presiden berkonsultasi dengan DPR dalam penugasan-penugasan diplomatik serta pemberian amnesti (dengan Mahkamah Agung dalam pemberian pengampunan dan rehabilitasi).12 Amandemen tersebut memberi mandat kepada presiden untuk mengikuti undang-undang dalam penganugerahan tanda-tanda jasa dan medali.13 Amandemen II juga memperluas kekuasaan dan tanggungjawab DPR, mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang 30 hari setelah disetujui, meskipun tanpa dukungan presiden14 - untuk menghilangkan apa yang dulu merupakan veto presiden kepada legislatif. Amandemen tersebut memberi kekuasaan kepada DPR untuk melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan kepada pemerintah (interpelasi).15 Selain melakukan Amandemen II, dalam waktu yang sama MPR juga memberi mandat kepada suatu kelompok kerja untuk mempersiapkan amandemen-amandemen baru terhadap UUD menggunakan Rancangan Perubahan UUD yang dipersiapkan oleh kelompok kerja 1999-2000 (disebut disini sebagai Rancangan Perubahan).16 Diantara banyak pilihan yang dipertimbangkan dalam Rancangan Perubahan (yang hanya memasukkan sederetan pilihan diantara banyak persoalan), yang mungkin berdampak pada pembagian kekuasaan ialah: pendirian suatu Pengadilan Konstitusi; pemilihan president langsung atau tidak langsung; dan pendirian Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru. Akhirnya, juga diusulkan formula amandemen baru yang memerlukan tiga perempat dari suara di MPR, dan untuk masalah-masalah yang mempengaruhi bentuk dan keutuhan/integritas negara kesatuan paling harus mendapat persutujuan 50 persen dari rakyat dalam suatu referendum.
Pasal 7, UUD45 setelah diubah dalam Amandemen I Pasal 9, UUD45 setelah amandemen 12 Pasal 13 dan 14, UUD45 setelah amandemen 13 Pasal 15, UUD45 setelah amandemen 14 Pasal 20, UUD45 setelah amandemen 15 Pasal 20, UUD45 setelah amandemen 16 Untuk mandat MPR, lihat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000, 18 Agustus 2000. Untuk teks dari Rancangan Perubahan (Draft Amendment) lihat Materi Rancangan Perubahan Undang-Undang Dasar Hasil Badan Pekerja MPR Tahun 1999-2000 oleh Drs. Marsono, UUD45 Sebelum dan Sesudah Amandemen (Jakarta, Djambatan, 2000), hal. 83.
11
10
81
82
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Saya sarankan untuk melihat dua model utama, yaitu dari Amerika dan Perancis. Saya cukup netral dalam hal ini - sebagai warganegara Kanada dan menjadi penduduk tetap Singapura. Karena itu saya tidak mempunyai kepentingan (vested interest) dalam model-model Amerika ataupun Perancis. Namun demikian saya pikir, karena alasan yang berbeda, mungkin bermanfaat untuk mengamati model-model tersebut.
Model Amerika
Model Amerika ruwet, tetapi terkenal karena, suka atau tidak, kepentingan strategis AS dalam urusan-urusan dunia. Pembagian kekuasaan harus seimbang, sehingga tidak ada pihak yang mempunyai kekuasaan berlebihan. President mempunyai posisi kuat karena dipilih mendekati secara langsung oleh rakyat dan juga melalui pemilihan terpisah oleh kongres (sebagai Parlemen AS). Para sekretaris (menteri) bukan anggota Kongres, walaupun dalam sebagian besar kasus penunjukan mereka perlu diperkuat oleh Kongres. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Kongres, kecuali melalui impeachment (panggilan untuk pertanggungjawaban) untuk kejahatan-kejahatan tertentu dan kesalahan-kesalahan besar. Namun demikian, presiden perlu bekerjasama dengan Kongres untuk menetapkan undang-undang, karena ia tidak mempunyai kekuasaan melepas undangundang atas kemauan sendiri. Sebaliknya, presiden dapat memveto undang-undang dalam banyak kejadian. Dalam banyak hal, Filipina mengikuti model Amerika. Namun demikian saya kira dalam beberapa hal model Amerika tidak sesuai untuk Indonesia.
Penjualan suara
Secara individu, para anggota Kongress mempunyai kekuasaan luas yang tidak dihalangi oleh disiplin partai - mereka memilih secara individu. Meskipun UU anti-korupsi yang tegas (dan peraturan-peraturan pembiayaan kampanye yang longgar) dapat meyakinkan bahwa para anggota biasanya tidak menjual suara mereka untuk keuntungan pribadi, mereka akan mencoba mendapatkan apa yang disebut orang Amerika sebagai pork barrel (kandang babi) - uang
83
pemerintah untuk distriknya supaya anggota Kongress dipilih kembali. Ini merupakan efek samping pemberian kekuasaan yang melimpah kepada setiap individu anggota kongres. Pada poin ini dan saat ini, hal-hal seperti ini tidak diperlukan di Indonesia.
Impeachment
Salah satu ciri sistem Amerika yang agaknya para anggota MPR ingin meniru ialah prosedur impeachment (panggilan untuk pertanggungjawaban). Namun demikian saya berpendapat bahwa mereka sebaiknya mengikuti lebih dekat model Amerika ini. Kekuasaan dan prosedur impeachment mestinya dinyatakan lebih jelas dalam UUD 45(tetapi nyatanya tidak) dan alasan-alasan menerapkan impeachment juga harus jelas dikemukakan. Saya akhirnya melihat bahwa ketika rakyat memilih presiden secara langsung, nilai politik impeachment menjadi jauh lebih besar (yang mungkin menerangkan, paling tidak, mengapa impeachment tidak dilakukan terhadap Presiden Clinton).
Model Perancis
Saya menekankan perlunya melihat lebih jelas model campuran yang mungkin tidak sering disebut di Indonesia, yaitu: model Perancis.17 Saya mengatakan campuran karena model tersebut merupakan suatu kompromi antara sistem parlementer murni (Perancis menerapkan sistem parlementer sampai 1958) dan sistem presidensiil dengan ekskutif yang kuat, termasuk perdana menteri yang memgang mayoritas parlemen. Saya tidak mengatakan bahwa model ini akan berjalan baik di Indonesia, tetapi ini mungkin mengandung ide dan menunjukkan bahwa solusi konstitusi yang kreatif dapat ditemukan.
17
Untuk peninjauan Konstitusi Perancis dalam bahasa Inggris, lihat John Bell, French Constitutional Law (Oxford, Clarendon Press, 1992). 18 Pasal 6, Konstitusi 1958, setelah amandemen.
84
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
yang sama, presiden secara efektif atau paling tidak secara politik memegang peran penting dalam pemerintahan karena ia pimpinan partai mayoritas di Parlemen. Jadi sistem ini agak flexible (lentur).
Pasal 38, Konstitusi 1958. Pasal 37, Konstitusi 1958. 21 Pasal 40, Konstitusi 1958
85
digunakan cukup kompleks dan teknis, sehingga memerlukan tulisan panjang untuk menjelaskan hal tersebut disini, namun cukup dikatakan bahwa dewan-dewan tersebut berkuasa melaksanakan pembagian kekuasaan. Dalam menangani konflik, pemecahan jalan pengadilan dapat dilakukan, bukan jalan politik.
Kesimpulan
Indonesia kini menghadapi demikian banyak problem dalam hal ini, dan orang mungkin berpikir bahwa reformasi UUD sebaiknya tidak merupakan prioritas - pengambilan kebijaksanaankebijaksanaan pemerintahan yang baik serta pelaksanaanya secara efisien agaknya jauh lebih penting daripada merubah UUD. Sayangnya, ketidakjelasan UUD sekarang ini mempunyai andil dalam ketidakpastian politik dan konflik antara Parlemen dan presiden. Pembagian kekuasaan merupakan masalah yang seharusnya mendapat perhatian besar. Saya telah memperkenalkan model-model luar bukan sebagai jawaban-jawaban yang sudah jadi karena tidak ada jawaban-jawaban yang sudah jadi untuk tantangan-tantangan yang dihadapi
Saya tambahkan MPR juga memberikan imunitas dari tuntutan kepada para anggotanya untuk usul-usul dan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan. Bahwa MPR mementingkan diri-sendiri diperjelas oleh kenyataan bahwa MPR tidak memberikan imunitas yang sama kepada presiden. 23 Amandemen konstitusi dapat diadopsi tanpa referendum hanya jika presiden menyetujui amandemen tersebut dan Parlemen menyetujui dengan mayoritas khusus. Dalam hal demikian, eksekutif dan Parlemen dapat menyetujui amandemen tersebut, karena itu pembagian kekuasaan mungkin dipertahankan. Lihat Pasal 89, Konstitusi 1958.
86
22
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Indonesia. Dalam peristiwa-peristiwa yang manapun, para ahli perbandingan undang-undang biasanya tahu bahwa solusi dari satu sistem hukum dan kebudayaan tidak dapat diterapkan dengan mudah dan tidak dapat memberi hasil yang sama dalam sistem hukum dan kebudayaan lainnya. Namun demikian, jik satu aspek dari suatu sistem luar mungkin memberi inspirasi atau mulai memberi bayangan terhadap solusi Indonesia yang sesungguhnya, analisa perbandingan saya akan menolong.
87
Pemisahan kekuasaan
Kunci perbedaan di antara ke tiga sistem itu terletak pada sejauh mana kekuasaan pemerintahan dibagi secara fungsional ke pada cabang-cabang pemerintahan, dan pada kekuasaan apa saja yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh masing-masing cabang pemerintahan itu. Ini termasuk sejauh mana eksekutif dapat mengontrol badan legislatif, atau sejauh mana badan legislatif dapat
88
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
mengontrol (mengawasi) eksekutif, dan seberapa besar kekuasaan badan legislatif mempunyai kapasitas untuk membuat undang-undang. Satu hal penting dalam persoalan kontrol dan persaingan antar cabang pemerintahan ini adalah kapasitas untuk mengajukan dan menyetujui (mengabsahkan) legislasi, dan ini amat bervariasi di antara ketiga sistem tersebut. Dalam sistem presidensiil, kekuasaan politik dan administratif dipisahkan antara eksekutif, legislatif dan judikatif. Pejabat masing-masing cabang pemerintahan ini menjalani masa kerja dan melayani konstituensi yang berbeda-beda. Dalam sistem parlementer, parlemen berdaulat, dan otoritas eksekutif (yang dijalankan oleh perdana menteri dan Kabinet) berasal dari badan legislatif. Dalam sistem campuran, kekuasaan eksekutif dibagi antara presiden yang dipilih secara terpisah dan perdana menteri.
Presidensiil
Dalam sistem presidensiil, presiden (adalah kepala eksekutif sekaligus juga sebagai symbol kepala negara) dipilih melalui pemilihan yang terpisah dari pemilihan anggota-anggota badan legislatif. Presiden kemudian memilih dan mengangkat menteri-menteri anggota kabinet. Menteri-menteri tidak merangkap sebagai anggota-anggota badan legislatif, meskipun pengangkatannya oleh presiden memerlukan saran dan mungkin juga persetujuan dari badan legislatif. Karena petinggipetinggi badan eksekutif dipilih atau diangkat secara terpisah, sistem pmerintahan presidensiil membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan, di mana badan eksekutif dan badan legislatif bersifat independen satu terhadap yang lain. Presiden mempunyai kuasa yang besar atas menterimenteri yang bekerja untuknya.
Parlementer
Sistem-sistem parlementer, tidak seperti sistem presidensiil, membawa ciri yang kuat pada penggabungan kekuasaan antara cabang eksekutif dan cabang legislatif. Perdana menteri dipilih dari badan legislatif melalui pemilihan yang sama dengan anggota-anggota lain badan legislatif itu. Perdana menteri adalah ketua partai yang memenangkan mayoritas suara (kursi) di badan legislatif (baik secara de facto, maupun dalam beberapa kasus melalui suatu pemilihan yang dilaksanakan di badan legislatif ). Perdana menteri mengangkat menteri-menteri kabinet. Tetapi, tidak seperti dalam sistem presidensiil, anggota-anggota kabinet ini adalah juga anggota-anggota parlemen dari partai atau koalisi (partai-partai) berkuasa. Jadi, dalam sistem parlementer, petinggipetinggi maupun anggota-anggota eksekutif dan legislatif mempunyai konstituensi yang sama. Jika partai berkuasa dikeluarkan (voted out) dari badan legislatif, jajaran eksekutif juga berubah. Karena itu, kerjasama atau kooperasi antara eksekutif dan legislatif diperlukan agar pemerintah dapat bertahan dan efektif dalam melaksanakan program-programnya.
89
Campuran
Sistem campuran biasanya merujuk kepada suatu sistem dengan seorang presiden yang dipilih secara terpisah yang berbagi kekuasaan eksekutif dengan perdana menteri. Presiden biasanya mempunyai kekuasaan konstitusional untuk memilih perdana menteri. Jika konstitusi atau keadaan politik cenderung untuk memberikan tekanan kekuasaan kepada presiden, sistem campuran ini seringkali disebut sebagai semi-presidensiil. Jika, sebaliknya, perdana menteri dan badan legislatif mempunyai kekuasaan lebih besar dari pada presiden, sistem ini biasanya disebut sebagai semi-parlementer. Dengan alasan-alasan politik tertentu, presiden biasanya menunjuk pemimpin koalisi partaipartai berkuasa sebagai perdana menteri. Perdana menteri boleh berasal maupun tidak berasal dari partai politik presiden, tergantung pada partai atau koalisi partai-partai yang membentuk mayoritas di badan legislatif. Sistem Prancis merupakan contoh dari sistem campuran semi-presidensiil. Presiden mempunyai kekuasaan yang besar. Misalnya, presiden memilih perdana menteri dan menentukan anggotaanggota kabinetnya sendiri. Presiden, kabinet dan birokrasinya menginisiasi dan merancang sebagian besar legislasi. Presiden Prancis, seperti halnya di sistem campuran yang lain, mempunyai wilayah-wilayah tertentu di mana kekuasaannya dibatasi dengan jelas, seperti misalnya dalam pelaksanaan politik luar negeri. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari diberikan kepada perdana menteri dan Kabinet.
Presidensiil
Dalam sistem presidensiil, sejalan dengan gagasan pemisahan kekuasaan, presiden dan anggotaanggota badan legislatif dipilih secara terpisah untuk masa jabatan tertentu. Presiden tidak mempunyai wewenang untuk memecat anggota legislatif. Pemecatan dini baik anggota legislatif maupun presiden hanya dapat dilakukan melalui pemungutan suara di majelis rendah badan legislatif dan dalam kondisi khusus. Dalam kondisi normal, bahkan jika partai politik presiden merupakan minoritas di kedua majelis badan legislatif, presiden tetap akan berada dalam posisinya hingga akhir masa jabatan yang telah ditentukan dalam pemilih umum. Tetapi di kebanyakan sistem presidensiil, masa jabatan presiden dibatasi untuk beberapa kali saja, karena faktor historis maupun untuk mencegah kelanggengan kekuasaan seorang presiden yang terlalu kuat.
90
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Parlementer
Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat dipecat dari jabatannya melalui dua cara. Pertama melalui mosi tidak percaya, yang biasanya diajukan oleh oposisi atau koalisi oposisi. Mosi tidak percaya memerlukan pemungutan suara di badan legislatif untuk membuktikan bahwa badan legislatif tidak lagi mempunyai kepercayaan kepada perdana menteri dan kabinetnya. Jika pemungutan suara menghasilkan mayoritas, jajaran eksektuif, termasuk perdana menteri, dipaksa untuk turun dari jabatan mereka. Karena perdana menteri dan anggota kabinet adalah juga anggotaanggota badan legislatif, proses ini menuntut/membuka pemilihan umum baru untuk badan legislatif. Masa jabatan perdana menteri dan anggota-anggota badan legislatif sama-sama berakhir. Kedua, perdana menteri dapat dipecat oleh partai politiknya di luar setting badan legislatif. Pemecatan seperti ini tidak memaksa pemilihan umum baru untuk badan legislatif.
Campuran
Tidak seperti dalam system parlementer, badan legislatif di Prancis tidak dapat memecat presiden di tengah masa jabatan. Sebaliknya, presiden dapat membubarkan majelis rendah badan legislatif (tetapi tidak bisa untuk Majelis Tinggi). Selanjutnya, presiden mengangkat dan memecat perdana menteri, yang secara efektif adalah kepala kabinet dan badan legislatif. Sama dengan model parlementer, majelis rendah dapat juga memaksa perdana menteri untuk turun dari jabatan melalui mosi tidak percaya. Jadi, dalam model Prancis, sementara perdana menteri amat rawan terhadap kemungkinan pemecatan oleh presiden maupun badan legislatif, presiden tidak dapat dipecat sebelum akhir masa jabatannya.
Presidensiil
Dalam sistem presidensiil, badan legislatif menentukan agendanya sendiri dan mengabasahkan rancangan-rancang undang-undangnya sendiri pula. Badan legislatif bisanya mengusulkan dan memformulasi legislasi. Legislatif dapat saja bekerja sama dengan eksekutif dalam merumuskan legislasi, terutama pada saat partai yang sama berkuasa di kedua cabang pemerintahan ini. Eksekutif dapat merancang rancangan undang-undang, tetapi anggota-anggota badan legislatif harus mengajukan di badan tersebut. Di beberapa sistem presidensiil, kekuasaan legislatif untuk mengubah rancangan anggaran yang diajukan eksekutif dibatasi, dan presiden dapat memaksa badan legislatif untuk memproses legislasi dalam suatu kurun waktu tertentu.
91
Badan legislatif cenderung mempunyai kekuasaan yang besar untuk legislasi. Tetapi, kelangkaan sumber-sumber, dan faktor-faktor lain dapat berperan mengurangi kekuasaan ini. Potensi ketegasan/kekuatan legislatif lebih besar dalam system presidensiil, tetapi realisasi aktualnya tergantung pada faktor-faktor lain. Badan legislatif di sistem presidensiil cenderung untuk mempunyai komisi dan sub-komisi khusus dan permanen dengan sejumlah staf profesional yang membantu dalam merancang, menilai kembali dan mengubah legislasi. Melalui sistem komisi dan sub-komisi, badan legislatif mempunyai kekuasaan yang luas untuk memanggil kesaksian para ahli, anggota kabinet, penasehat presiden, dan sebagainya untuk dengan pendapat umum maupun tertutup di badang legislatif. Presiden dapat mem-veto legislasi, yang hanya dapat dibatalkan oleh 2/3 suara di badan legislatif.
Parlementer
Dalam sistem parlementer, eksekutif (perdana menteri, Kabinet dan birokrasi) mengontrol agenda legislatif, dan anggota badan legislatif mempunyai sedikit kekuasaan untuk mengajukan inisiatif legislasi. Kepala eksekutif dan anggota kabinetnya menginisiasi setiap legislasi yang berpengaruh terhadap anggaran ataupun pengeluaran negara. Hanya terdapat sedikit komisi permanen dengan dukungan sedikit staf professional untuk membantu merancang dan menilai kembali legislasi. Keputusan-keputusan kebijakan penting dapat dan seringkali dibuat pada tingkat kaukus partai daripada di dalam komisi-komisi.
Campuran
RUU dapat diajukan oleh pribadi anggota, eksekutif dan pemerintah (perdana menteri dan Kabinet). Eksekutif menentukan agenda di badan legislatif dan dapat mengajukan usul untuk suatu paket pemungutan suara, yang akan menentukan apakah semua atau tak satupun rancangan undang-undang dalam paket itu disetujui. Eksekutif dapat membuat setiap RUU yang diinisiasinya berakhir pada mosi tidak percaya jika ditolak, yang membubarkan parlemen. Presiden dapat melakukan by-pass atas badan legislatif dengan cara meminta persetujuan langsung kepada rakyat melalui referendum nasional. Jika mayoritas suara mendukung RUU, RUU ini akan dengan sendirinya menjadi UU tanpa persetujuan badan legislatif.
92
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
lain. Sedikit banyak, kecenderungan zero-sum seperti ini masih terasa mewarnai proses amandemen UUD 45 dewasa ini. Pendulum pun bergeser dari executive heavy pada pra-amandemen menjadi legislative heavy pada paska amandemen UUD 45. Pergeseran pendulum ini menghasilkan pada akhirnya bahwa Indonesia tetap menganut dan mempraktekan sistem presidensiil, tetapi dengan presiden yang secara konstitusional maupun de fakto telah dipangkas kekuasaannya secara berarti sehingga diragukan dapat menjalankan kekuasaan eksekutif (pemerintahan) secara efektif. Amandemen UUD 45 tetap mempertahankan sistem lembaga tertinggi MPR. Tetapi amandemen UUD 45 telah mengubah jalur dan faktor peluang yang potensiil menguasai MPR, yakni badan legislatif DPR. Keanggotaan MPR didominasi oleh anggota-anggota DPR. Bisa jadi, agenda MPR akan sangat ditentukan oleh kemauan DPR. Dengan kata lain, MPR adalah DPR. Dan, ini berarti prinsip check and balances untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis kurang mempunyai peluang untuk direalisasi justru karena berlangsungnya dominasi kekuasaan satu lembaga negara atas lembaga-lembaga negara yang lain. Singkatnya, paska-amandemen UUD 45 pun sebenarnya kurang membuka peluang bagi terbangunnya suatu pemerintahan yang demokratis, relatif efektif dan stabil untuk melaksanakan program-program pemerintahan. Faktor historis-psikologis yakni demi mencegah kembalinya otoritarianisme eksekutif mungkin sekali melatari pergeseran pendulum itu. Tetapi, kepentingan masa depan Indonesia nampaknya tidak bisa hanya ditumpukan pada faktor historis-psikologis seperti ini. Ia perlu ditumpukan pada perspektif yang lebih berwawasan ke depan demi terbangunnya sistem politik dan pemerintahan demokratis, transparan dan dengan mekanisme tanggunggugat yang jelas. Karena itu, beberapa pokok pemikiran di bawah mungkin pantas untuk dipertimbangkan. Prinsip checks and balances harus menjadi pertimbangan utama dalam mengkonstruksi hubungan eksekutif-legislatif, untuk menghindarkan dominasi kekuasaan satu lembaga politik atas lembaga-lembaga politik yang lain. Pilihan-pilihan harus ditentukan secara tegas, yakni apakah sistem presidensiil, ataukah sistem parlementer, ataukah sistem campuran yang akan dianut oleh Indonesia. Jika, sistem campuran adalah pilihannya, dia harus pula ditegaskan sistem campuran yang mana. Pilihan yang jelas atas sistem pemerintahan harus dilakukan karena akan menentukan sistem dan ragam pemilihan umum. Sistem dan ragam pemilihan umum ini menjadi dasar bagaimana ekspresi rakyat berdaulat pada akhirnya ditentukan. Pemisahan kekuasaan dan, penjabaran peran dan fungsi, cabang-cabang pemerintahan dirumuskan secara rinci dalam Konstitusi Indonesia demi meminimalisasi kemungkinan penafsiran yang bermacam-macam, sekaligus menghindari terjadinya berbagai kontroversi. Mempertahankan sistem lembaga tertinggi MPR hanya akan mengulangi sejarah kegagalan
94
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Indonesia dalam usahanya membangun sistem politik dan pemerintahan yang demokratis, transparan dan dengan mekanisme tanggung-gugat yang jelas. Menghindari seminimal mungkin kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dalam proses reformasi konstitusi dengan merealisasi gagasan membentuk komisi konstitusi yang aspiratif kepentingan masa depan Indonesia, yakni penghormatan terhadap HAM, demokrasi dan keadilan untuk masyarakat.
Referensi API. Panduan Parlemen Indonesia (Jakarta: Yayasan API, 2001) ForMAPPI. Kesenjangan Pelaksanaan Fungsi DPR, makalah disampaikan pada seminar Evaluasi Kinerja DPR 1999-2001, Jakarta, 19 Juli 2001 Lijphart, Arend. Parliamentary Versus Presidential Government (Oxford: Oxford University Press, 1992) Lubis, Todung Mulya. Konstitusi Baru Sekali Lagi, Orasi disampaikan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 56, Jakarta, 15 Agustus 2001 Wiratma, I Made Leo. Konstitusi Indonesia dari Jaman ke Jaman dalam Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, e-book CSIS 30 Tahun (Jakarta: CSIS, 2001)
95
Pengantar
Perdebatan mengenai keunggulan sistem presidensil dengan parlementer di dalam masyarakat terjadi begitu panjang dan mungkin waktu untuk memperdebatkan keduanya lebih lama jika dibandingkan dengan substansi yang akan dihasilkan keduanya yaitu demokrasi. Dalam konteks pelaksanaan sistem negara demokrasi, harus mencerminkan adanya alokasi cabang kekuasaan yang lebih jelas. Mekanisme pertanggungjawaban yang jelas dan adanya derajat kebebasan yang memadai. Hal tersebut hanya bisa dilaksanakan apabila derajat literasi masyarakat sudah matang. Sehingga dapat melahirkan budaya politik yang matang pula. Selanjutnya dalam konteks internasional, perbincangan atas kedua sistem ini biasanya merujuk pada dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Inggris, dimana yang pertama mewakili sistem presidensil dan kedua mewakili sistem parlementer. Penerapan salah satu dari kedua sistem ini dalam sebuah negara biasanya dibedakan dalam tiga bentuk utama, yaitu presidensil murni, parlementer murni, dan semi presidensil-parlementer. Walaupun dalam kecenderungannya, bentuk yang ketigalah yang sering diterapkan oleh sebagian besar negara, khususnya bagi negara yang memiliki konstitusi demokrasi, termasuk Indonesia. Pilihan untuk menerapkan salah satu sistem ini, biasanya sangat dipengaruhi oleh realitas ekonomi, politik dan budaya masyarakatnya atau bisa juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan negara yang pernah menjajahnya di masa lalu. Namun yang paling penting adalah bahwa tujuan ideal dari beberapa pilihan ini diarahkan untuk menciptakan iklim demokratis di negara tersebut, yang biasanya ditunjukkan dari adanya chek dan balance antara kekuasaan eksekutif dengan legislatif yang ditopang oleh kekuasaan yudikatif yang independen dan mandiri, serta partisipasi politik yang maksimal dari warga negaranya. Adapun yang harus dipilih oleh negara tertentu dalam menerapkan sistem pemilu, maka terdapat beberapa pertimbangan untuk menilai akseptabilitas sistem pemilu, yaitu pertama; memperlihatkan derajat keterwakilan yang tinggi (representation), kedua; mampu memberikan legitimasi bagi pemerintah (legitimacy), ketiga; mewujudkan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik (participatory), keempat; tidak menimbulkan gangguan keamanan atau dengan perkataan lain menjamin sekuriti negara (security); kelima; mampu menghasilkan stabilitas politik untuk mendukung pembangunan (stability) dan keenam; dapat dijadikan wahana kontrol rakyat setiap periode terhadap pemerintah (control).
96
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
sistem parlementer stabilitas eksekutif sangat tergantung dari ada atau tidak adanya mosi atau kepercayaan parlemen. Kedua; dalam sistem presidensil pemilihan kepala pemerintahannya dianggap lebih demokratis karena dipilih langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan, sedangkan dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipilih oleh parlementer, hal ini dianggap tidak kurang demokratis, karena tidak dapat menampung aspirasi langsung warga masyarakat. Ketiga; dalam sistem presidensil terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam keanggotaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai sebuah ancaman bagi terjadinya tirani pemerintahan yang dapat mengekang atau membatasi kebebasan individu. Keempat; akibat adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam sistem presidensil, maka hal ini dianggap bisa menimbulkan kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan, disaat terjadi ketidaksesuaian diantara keduanya. Namun terjadi sebaliknya pada sistem parlementer; potensi kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan sangat minimal, karena tidak adanya pemisahan jabatan atau keanggotaan diantara eksekutif dan legislatif. Kelima; adanya penentuan masa jabatan yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan UUD yang ada dalam sistem presidensil, menyebabkan ada kekakuan atau ke-tidak-elastisan pemerintahan yang dapat merespon situasi dan kondisi temporal yang terjadi, hal ini kondisinya berlainan dengan sistem parlementer, dimana masa jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlementer, dimana masa jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, yang sewaktu-waktu bisa mengganti pemerintahan sesuai dengan kebutuhan atau situasi yang ada. Keenam; karena hanya ada satu pemenang yang akan menguasai pemerintahan dalam sistem presidensil, berakibat pada makin minimalnya kemungkinan untuk membentuk koalisi atau pembagian kekuasaan bagi kelompok oposisi (kalah) yang ada. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi, terutama disebuah negara yang dimiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Lain halnya dengan sistem parlementer, dalam sistem ini terjadi pembagian kekuasaan atau terjadi koalisi diantara partai yang ada, sehingga dapat menampung sebagian besar aspirasi warga masyarakat.
98
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
99
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
1 2
Sergio Fabbrini, Presidents, Parliaments, and Good Government, Journal of Democracy 6.3 (1995): 128-138. Ibid.
101
Model-model konstitusi
Ada semacam pengertian yamg berkembang bahwa rancangan institusi politik itu penting dan berpengaruh pada hasil-hasil politik. Saat ini ada kepentingan yang wajar dalam rekayasa politik sebagai alat untuk menjamin stabilitas politik. Walaupun tidak ada jenis-jenis yang ideal, sistemsistem konstitusi bisa dikelompokkan secara luas dalam tiga sistem, yaitu sistem presidentisil, parlemen dan campur. Sistem presidensil umumnya diterapkan di negara-negara Amerika Serikat, Filipina dan banyak negara Amerika Latin, sistem parlementer diadopsi oleh Inggris, India dan negara-negara persemakmuran, sedangkan sistem campuran yang merupakan kombinasi dari sistem presidensil dan parlementer diterapkan oleh Perancis dan Sri Lanka, sementara Israel yang memakai sistem parlementer dengan perdana menterinya dipilih secara langsung merupakan contoh lain tentang inovasi konstitusional. Dalam sistem presidensil, presiden sekaligus merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dipilih baik secara langsung maupun tidak langsung untuk suatu masa bakti dan bertanggung jawab kepada konstitusi dan bukan kepada lembaga legislatif. Prinsip pemisahan kekuasaan menjamin kekuasaan terpisah dan independen dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga-lembaga ini dalam banyak hal berada pada posisi sejajar. Presiden tidak dapat diganti oleh pada petengahan masa baktinya oleh badan legislatif kecuali melalui satu proses impeachment karena pelanggaran konstitusi yang jelas atau karena melakukan tindak kejahatan. Kekuasaan presiden dengan jelas ditetapkan dalam konstitusi dan boleh jadi meliputi kekuasaan untuk membuat aturan dan peraturan untuk menerapkan undang-undang, untuk menggagalkan rancangan undang-undang, menjalankan pemerintahan, membentuk kabinet dan penugasan-penugasan kenegaraan lainnya, memberikan pengampunan dan amnesty, menandatangani perjanjian internasional, menyatakan keadaan perang atau damai dan mengeluarkan ketetapan-ketetapan dalam keadaan darurat yang kemudian harus disetujui oleh dewan legislatif. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dipilih oleh dan dari lembaga legislatif dan bisa diturunkan ditengah masa baktinya melalui sebuah voting mosi tak percaya. Pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak ditetapkan dan seorang perdana menteri dengan mayoritas yang solid di legislative memiliki kelebihan karena bisa menerapkan program legislatif yang jelas. Parlemen membentuk sebuah oposisi loyal yang bisa membentuk sebuah pemerintahan alternatif. Dalam sistem semi-presidensil atau hibrida sebagaimana diterapkan di Perancis, presiden secara langsung dipilih melalui sebuah pemungutan suara rakyat, sebagai layaknya di legislatif. Presiden harus memilih seorang perdana menteri yang berasal dari anggota partai yang memiliki dukungan terbesar di Parlemen. Presiden dan perdana menteri tidak mungkin datang dari partai berbeda
102
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
dan dalam keadaan seperti ini kekuasaan presiden dibatasi. Perdana menteri dalam sistim seperti ini bertanggung jawab untuk menyampaikan program pemerintah kepada Parlemen dan untuk pertanggungjawaban pada Parlemen. Presiden boleh mengambil inisiatif tapi tidak bisa memerintah tanpa sepengetahuan Parlemen. Demikian pula Parlemen, ia dapat memblokir pemerintah tapi tidak dapat melaksanakan pemerintahan sendirian.
Konteks Indonesia
Orang mungkin bertanya sejauh mana konstitusi Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Amandemen I dan II, memberikan kerangka bagi sebuah pemerintah yang stabil dan efektif dan apakah ia telah menetapkan kerangka untuk pemerintahan yang menganut sistem presidensil, parlementer atau campuran. Pertanyaan ini perlu dijawab, jika hanya untuk mengatasi harapanharapan sehubungan dengan kepresidenan dan legislatif. Apa sesungguhnya kekuasaan masingmasing mereka, otoritas mereka, tanggungjawab dan pertanggungjawaban mereka?
Berbeda dari sistem presidensil yang melakukan impeachment hanya bila terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, sumpah jabatan atau melakukan tindak kejahatan, MPR bisa memberhentikan presiden ditengah masa baktinya kalau terbukti melanggar kebijakan nasional. Status konstitusional presiden akan sangat terganggu walaupun prosesnya dipertimbangkan secara lebih matang dan lebih berhati-hati dari pada mosi tak percaya yang bisa menurunkan seorang perdana menteri.3 Dalam sistem sekarang, MPR memulai dan melaksanakan amandemen konstitusi. Karena MPR terdiri dari anggota-anggota tak dipilih, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki kekuasaan yang luar biasa dan sangat luas. Amandemen I dan II telah lebih jauh menetapkan ulang kekuasaan presiden dalam hubungannya dengan DPR. Presiden berhak hanya mengajukan rancangan undangundang ke DPR4 dan bisa mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang namun tidak diberi mandat untuk melakukannya.5 Anggota DPR juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang.6 Ketetapan-ketetapan ini, ditambah dengan ketetapan bahwa rancangan undang-undang yang gagal mencapai persetujuan gabungan DPR dan presiden tidak akan diterapkan lagi pada sidang yang sama.7 DPR yang sama tampaknya akan tetap meninggalkan kebuntuan bagi legislatif karena tidak ada kewajiban bagi presiden untuk menyetujui rancangan undang-undang ini dalam sidang berikutnya. Ketetapan-ketetapan ini akan memunculkan situasi tak menentu dimana presiden mungkin menghalangi atau menggagalkan agenda legislatif DPR untuk jangka waktu yang tak terbatas. Dalam situasi yang memaksa presiden berhak membentuk peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang8 yang harus disetujui oleh DPR pada sidang berikutnya,9 dan kondisi dimana tidak ada persetujuan seperti itu yang menentukan bahwa peraturan-peraturan tersebut harus dicabut.10 Status tindakan-tindakan administratif yang diambil selama periode ini sebelum adanya pencabutan tetap tidak jelas. Presiden akan menunjuk para duta besar dengan meminta pendapat DPR,11 menerima akreditasi para duta besar,12 memberikan amnesti dan mencabut tuduhan sehubungan dengan pendapat DPR.13
National Democratic Institute, On Presidential Constitutions, Provisions regarding the Presidency and the Roles of Heads of State and Head of Government (May 2001). 4 Amandemen I, Pasal 5[1]. 5 Ibid., Pasal 5 [2]. 6 Amandemen II, Pasal 21. 7 Ibid., Pasal 20 [3]. 8 Ibid., Pasal 22 [1]. 9 Ibid., Pasal 22 [2]. 10 Ibid., Pasal 22 [3]. 11 Amandemen I, Pasal 13 [2]. 12 Ibid., Pasal 13 [3]. 13 Ibid., Pasal 14 [2].
104
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Selanjutnya ada hubungan segitiga dari pertanggungjawaban presiden kepada MPR dan DPR. Namun, lembaga kepresidenan tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol kekuasaan MPR dan bahkan DPR. Presiden tidak berhak membubarkan legislatif dan mengadakan pemilihan baru dalam hal terjadinya krisis. Begitu juga, MPR tidak mempunyai wewenang ini sehubungan dengan badan pembuat undang-undang tersebut. Pihak yudikatif tidak mempunyai otoritas independen untuk meninjau ulang kadar konstitusi dari tindakan eksekutif dan legislative.14 Sebenarnya, supremasi MPR menunjukkan bahwa pengadilan tidaklah berada dibawahnya. Banyak isu yang sedang didiskusikan dengan serius dalam kerangka pembaruan konstitusi. Disamping pembicaraan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, ada diskusi tentang usaha mengkonstitusikan pemisahan kekuasaan, menentukan mereka secara jelas, memperkenalkan serangkaian check and balance, termasuk peninjuan hukum kembali melalui peradilan konstitusi. Juga ada pembicaraan tentang usaha memperkenalkan legislatif bikameral supaya mencakup perwakilan wilayah. Perubahan demikian tidak bisa dicantelkan pada struktur yang ada saat ini dan bisa mendorong peninjauan yang fundamental dan usaha rekonseptualisasi dari lembaga-lembaga politik. Ada bahayanya kalau hanya mengkaji kekuasaan, peranan dan tanggungjawab dari lembagalembaga yang ada tanpa mengkaji implikasi dari perubahan-perubahan tersebut terhadap hubungan dan integritas dari konstitusi secara keseluruhan. Seharusnya ada apresiasi yang lebih jelas terhadap sistim pemerintahan seperti apa yang ingin dibentuk Indonesia. Kalau saja ada tekad untuk menjamin bahwa sistimnya jelas, transparan dan bahwa badan-badan konstitusi berbeda harus memiliki kekuasaan yang ditetapkan dengan jelas, maka penting untuk merancang sebuah konstitusi yang lebih detail, yang menentukan kekuasaan-kekuasaan tersebut dan memberikan kontrol (check and balance) dan seorang wasit yang netral bilamana terjadi konflik, penyalahgunaan wewenang atau kebijaksanaan. Sebagaimana adanya, dalam konteks Indonesia bukanlah konstitusi yang tertinggi. MPR adalah lembaga tertinggi yang menjalankan kedaulatan rakyat. Kejadian-kejadian akhir-akhir ini yang berbuntut dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid telah menegaskan hal ini dan meninggalkan pertanyaan apakah presiden-presiden berikutnya akan dijatuhkan dengan cara serupa.
14
Dalam proses peninjauan konstitusi, Indonesia yang harus merevisi apakah MPR, sebagaimana yang telah ditetapkan, merupakan lembaga yang paling pantas melaksanakan tugas-tugas badan tertinggi menetapkan GBHN, badan untuk menafsirkan dan mengubah konstitusi, mendengarkan laporan dari lembaga-lembaga tinggi negara dan menetapkan penggantian presiden. Amandemen baru-baru ini telah berupaya menjawab warisan sejarah dari presiden-presiden otoriter Indonesia dengan cara membatasi kekuasaan presiden. Namun, perubahan-perubahan tersebut tidak membuat mekanisme untuk mengatasi kebuntuan yang juga bisa berakhir dengan krisis atau menyeimbangkan kediktatoran eksekutif dengan kesewenangan legislatif. Saat ini, Indonesia tampaknya menunggangi sistim presidensil dan parlementer dan garis tanggungjawab dan pertanggungjawabannya tidak jelas. Sistim-sistim lain telah menggabungkan langkah-langkah luar biasa, seperti referendum untuk memecah konflik antara eksekutif dan legislatif dan dalam hal pembaruan konstitusi dan legislatif yang luas dan juga telah memanfaatkan peninjauan kembali untuk memberikan penafsiran konstitusi supaya menarik isu-isu tersebut dari politik partisan.
106
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
Pengantar
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dewasa ini berkembang luas perdebatan mengenai sistem pemerintahan yang seyogyanya dikembangkan di Indonesia di masa depan. Bahkan hampir semua perdebatan politik yang berkaitan dengan mekanisme ketatanegaraan selalu dikaitkan dengan kontroversi berkenaan dengan ketidakpastian sistem ketatanegaraan yang bersumber pada kelemahan dalam rumusan UUD 45. Salah satu persoalan penting yang sering diperdebatkan mengenai sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 45 tersebut adalah soal kepastian mengenai sistem pemerintahan. Sejak dulu selalu dikatakan bahwa UUD 45 menganut sistem pemerintahan Presidentil. Sekurangkurangnya sistem demikian itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan para perancang Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, jika ditelaah secara seksama, sebenarnyalah sistem presidensil yang dianut dalam UUD 45 itu sama sekali tidak murni sifatnya. Salah satu ciri pokok sistem parlementer yang dianut dalam UUD 45 adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara (supreme council). Dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara, MPR juga berwenang memberhentikan Presiden di tengah masa jabatannya karena tuduhan pelanggaran haluan negara. Lagi pula pengertian haluan negara itu sendiri bersifat sangat luas, yaitu dapat mencakup pengertian politik dan hukum sekaligus. Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai pengalaman menerapkan sistem yang bersifat campuran di bawah UUD 45 adalah bahwa pilihan-pilihan mengenai sistem pemerintahan Indonesia di masa depan perlu dengan sungguh-sungguh dikaji kembali untuk makin disempurnakan sehingga dapat menjamin kepastian sistem pemerintahan: presidensil atau parlementer.
Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (Jakarta: UI-Press, 1997).
107
Pada umumnya negara-negara bekas jajahan Perancis di Afrika menganut sistem campuran itu. Di satu segi ada pembedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi kepala negaranya adalah presiden yang dipilih dan bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung seperti dalam sistem presidensil. Sedangkan kepala pemerintahan di satu segi bertanggungjawab kepada presiden, tetapi di segi lain, ia diangkat karena kedudukannya sebagai pemenang pemilu yang menduduki kursi parlemen, dan karena itu ia juga bertanggungjawab kepada parlemen. Selain ketiga model itu, yang agak khas adalah Swiss yang juga mempunyai presiden dan wakil presiden. Tetapi mereka itu dipilih dari dan oleh tujuh orang anggota Dewan Federal untuk masa jabatan secara bergantian setiap tahun. Sebenarnya ketujuh orang anggota Dewan Federal itulah yang secara bersama-sama memimpin negara dan pemerintahan Swiss. Karena itu, sistem pemerintahan Swiss ini biasa disebut sebagai collegial system yang sangat berbeda dari tradisi presidentialisme atau parlementarisme dimana-mana. Namun, terlepas dari kekhasannya ini, adanya sistem pemerintahan kolegial ala Swiss dan adanya sistem campuran atau hybrid system ala Perancis itu menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan di dunia tidak selalu menyangkut pilihan antara parlementarisme atau presidentialisme. Kecenderungan penerapan sistem campuran itu timbul karena kesadaran bahwa di dalam sistem presidensil ataupun parlementer, selalu saja ditemukan adanya kelemahan-kelemahan di samping kelebihan bawaan yang dimilikinya masing-masing. Semangat untuk mencari jalan tengah inilah yang mempengaruhi perumusan UUD 45 berkenaan dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Sayangnya, sistem yang dirumuskan dalam UUD 45 itu diclaim oleh para perancangnya sebagai sistem presidensil dengan tanpa penjelasan teoritis yang memadai mengenai pilihan-pilihan model presidensialisme yang dimaksud. Akibatnya, generasi pemimpin Indonesia di belakangan hari sering keliru memahami sistem pemerintahan di bawah UUD 45 seakan-akan sungguhsungguh merupakan sistem presidensil yang murni. Dengan adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dipahami dalam pengertian sebagai lembaga tertinggi negara, tempat penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, tempat presiden dipilih, bertunduk dan bertanggungjawab, maka sistem pemerintahan Indonesia tidak dapat disebut sebagai sistem presidensil. MPR termasuk ke dalam pengertian parlemen Indonesia dalam arti luas. Karena itu, pertanggungjawaban presiden kepada MPR justru merupakan elemen sistem parlementer yang nyata dalam kerangka sistem pemerintahan yang dinisbatkan sebagai sistem presidensil berdasarkan UUD 45. Oleh sebab itulah, terlepas dari kelebihan dan kelemahan sistem MPR ini, para ahli hukum tata negara di Indonesia lebih cenderung menyebutnya sebagai sistem campuran atau sistem quasi presidential, alias sistem presidensil yang tidak murni.
108
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
itu di masa-masa awal kemerdekaan tidak dapat menutup kenyataan bahwa Indonesia tidak berhasil dalam mempraktekkan sistem parlementer yang diidealkan. Karena itu, tidak mudah untuk merumuskan alasan lain untuk kembali mengidealkan penerapan sistem parlementer itu di Indonesia di masa depan. Yang justru belum pernah dicoba dengan sungguh-sungguh untuk diterapkan di Indonesia adalah sistem presidensil murni, dimana Presiden dipilih dan bertanggungjawab secara politik hanya kepada rakyat, bukan melalui lembaga parlemen. Kalaupun pemilihan presiden itu dipilih tidak langsung, misalnya, melalui electoral college seperti di Amerika Serikat, pertanggungjawaban Presiden itu tetap langsung kepada rakyat, bukan kepada electoral college yang berfungsi sebagai parlemen seperti dalam sistem MPR. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan sungguh-sungguh keperluan kita menerapkan sistem pemerintahan presidensil yang bersifat murni itu di masa depan. Sudah tentu, penerapan sistem presidensil itu tetap harus dilakukan dengan memperhitungkan berbagai kelemahan bawaan dalam sistem ini. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD, ada baiknya kelemahan-kelemahan bawaan sistem presidensil itu ditutupi dan diatasi dengan menerapkan prosedur-prosedur teknis yang tepat.
Di Amerika Serikat, sebenarnya, terdapat juga banyak partai politik, dan tidak ada ketentuan yang membatasi jumlah partai politik. Akan tetapi, karena pengalaman sejarahnya yang panjang, dewasa ini, praktis hanya ada dua partai besar yang saling bersaing, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. 4 Pasal 7 Konstitusi Perancis (Fifth Republic 1958) yang diamandemen pada tanggal 6 November 1962 menentukan: The President of the Republic is elected by an absolute majority of the votes cast. If this is not obtained on the first ballot, there shall be a second ballot on the second Sunday following. The only candidates at this ballot are the two who received the highest number of votes at the first ballot, having, where necessary, taken account of the withdrawal of candidates who received more votes. S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, Comparing Constitutions (Oxford: Clarendon Press, 1995), hal. 215.
110
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
dapat dinilai sangat mahal biayanya. Apalagi untuk negara-negara miskin seperti Indonesia hal dapat dinilai tidak praktis dan tidak efisien. Oleh karena itu, untuk Indonesia, sistem presidensil itu dapat dianggap kurang cocok untuk diterapkan dalam sistem banyak partai. Namun, karena bangsa Indonesia telah memasuki era demokratisasi yang menjamin kebebasan berserikat yang tidak mungkin lagi dihentikan, jumlah banyak partai juga tidak mungkin lagi dibatasi seperti di masa Orde Baru. Oleh karena itu, diperlukan adanya mekanisme pengaturan yang menyebabkan jumlah partai politik itu secara alamiah dapat menciut dengan sendirinya tanpa adanya larangan ataupun pembatasan yang bersifat imperative. Dengan demikian, dalam jangka panjang, bisa saja terjadi seperti di Amerika Serikat, yaitu munculnya dua partai besar, sehingga akhirnya sistem kepartaian yang dipraktekkan seolaholah bersifat dua partai saja. Namun, hal ini tentu hanya bersifat hipotetis. Dalam kenyataan, sistem dua partai itu belum tentu dapat diwujud, mengingat realitas kemajemukan masyarakat dan bangsa Indonesia sangat kompleks. Sangat boleh jadi, tidaklah realistis untuk membayangkan bahwa pada suatu saat nanti hanya akan ada dua partai besar di Indonesia. Akan tetapi, terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, upaya untuk menyederhanakan jumlah partai politik sangat diperlukan jika Indonesia bermaksud menerapkan sistem presidensil murni dengan cara memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Penciutan jumlah partai politik itu dapat dilakukan asal saja direkayasa agar hal itu terjadi secara alamiah, bukan dipaksakan secara tidak demokratis.
Di samping itu, ketakutan para ahli mengenai hal ini untuk diterapkan di Indonesia juga dapat dinilai kurang beralasan, berhubung Indonesia tidak menganut sistem dua-partai seperti di Amerika Serikat. Dengan tingkat kemajemukan (pluralisme) masyarakat Indonesia yang sangat luas, rasanya tidaklah realistis untuk membayangkan bahwa suatu saat nanti hanya akan ada dua partai besar seperti di Amerika Serikat. Apalagi setelah masa reformasi sekarang ini, dapat diperkirakan dalam kurun waktu 25 tahun ke depan, kecenderungan banyak partai politik ini tidak akan dapat dihindari. Oleh sebab itu, kecenderungan dual legitimacy tersebut tidaklah menjadi persoalan serius untuk kasus Indonesia dewasa ini.
Salah satu wacana yang berkembang mengenai sistem pemilihan presiden langsung oleh rakyat ini di kalangan partai politik di MPR adalah adanya alternatif untuk menjadikan pemilihan umum dan pemilihan presiden diselenggarakan sekaligus. Jika terpilih paket calon dengan dukungan di atas 50 persen pemilih, maka yang bersangkutan langsung disahkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika tidak dicapai dukungan di atas 50 persen, maka kedua paket calon tertinggi dipilih di MPR. Kelemahannya jika ditentukan demikian, pertama dapat menimbulkan persoalan legitimasi kepresidenan apabila justru paket calon kedua yang memenangkan pemilihan di MPR, sebab pengalaman buruk pada masa Presiden Abdurrahman Wahid terulang lagi. Karena itu, kedua paket calon tersebut tetap harus dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan pemilihan presiden pada hakikatnya adalah dua hal yang berbeda dan karena itu harus terpisah dengan diberi jarak 4-6 bulan kemudian. Pada hakikatnya pemilihan umum hanya berfungsi sebagai preliminary presidential election. Jika kedua hakikat pemilihan itu digabungkan maka kelemahannya adalah: (i) fokus perhatian rakyat akan terpusat hanya kepada pemilihan presiden, sehingga tidak berdampak positif bagi pendidikan politik secara luas, (ii) para calon anggota parlemen cenderung bersembunyi di balik popularitas tokoh calon Presiden, sehingga sistem perwakilan tidak dapat diharapkan tumbuh makin kuat dan sehat, (iii) jika timbul masalah dalam pemilu,
112
Pleno II: Mendefinisikan Peran Legislatif dan Eksekutif: Sistem Parlementer vs. Presidensial
diperoleh kedua partai tersebut dalam parlemen. Jika parlemennya dua kamar, maka jumlah kursi yang dihitung adalah kursi yang berhasil dimenangkan di DPR dan DPD sekaligus. 3. Setelah presiden dan wakil presiden terpilih, maka sesuai prinsip presidensil, mereka berdualah yang menentukan personalia kabinet. Tanggungjawab Kabinet berada di tangan presiden. Untuk mengatasi kemungkinan divided government yang ditakutkan bisa saja anggota kabinet direkruit atas tanggungjawab presiden sendiri melalui pendekatan tersendiri dengan pimpinan partai lain di luar koalisi partai presiden dan wakil presiden. Betapapun juga menjadi anggota kabinet bagi para politisi tetap lebih menarik dibandingkan dengan menjadi anggota parlemen. Akan tetapi, sesuai prinsip presidensil tanggungjawab tetap berada di tangan presiden. 4. Dalam sistem presidensil, presiden tetap dapat diberhentikan di tengah jalan melalui mekanisme yang dikenal dengan sebutan impeachment. Tetapi, dalam sistem ini, impeachment dibatasi hanya dapat dilakukan karena alasan pelanggaran hukum (criminal) yang menyangkut tanggungjawab personal (individual responsibility). Di luar alasan hukum, proses tuntutan pemberhentian tidak dapat dilakukan seperti halnya dalam sistem parlementer melalui mekanisme mosi tidak percaya (vote of censure). Karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran jika presidennya diberhentikan dan wakil presiden tampil sebagai pengganti meskipun ia berasal dari partai yang berbeda. 5. Dalam sistem presidensil, hakikat pertanggungjawaban pemerintahannya tidaklah bersifat kolektif, melainkan bersifat individual. Karena itu, jika kepala pemerintahan berhenti atau diberhentikan, pemerintahan atau kabinetnya tidak perlu terpengaruh dan harus ikut dibubarkan seperti dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, tidaklah ada alasan untuk menghawatirkan penerapan sistem presidensil itu untuk Indonesia di masa depan. Sudah tentu, mekanisme baru ini haruslah dituangkan dalam materi perubahan UUD 45 yang sekarang ini sedang dibahas di MPR.
misalnya, timbul persengketaan mengenai hasil pemilu, maka keseluruhan sistem kepemimpinan nasional terhambat seluruhnya, (iv) jadwal ketatanegaraan berubah menjadi kaku dan serentak, sehingga menimbulkan risiko besar karena pada waktu yang bersamaan keseluruhan sistem kepemimpinan nasional dapat berada dalam keadaan demisioner dalam waktu yang bersamaan; dan (v) secara teknis, sangat riskan dan sulit bagi penyelenggara pemilihan umum, yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pemilihan, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk menangani segalanya dalam waktu yang serentak.
113
114
115
116
Pendahuluan
Di bulan Februari 1991, sekelompok perwira militer, dengan menamakan diri Dewan Penjaga Perdamaian Nasional (NPKC), melancarkan kudeta di Thailand. Salah satu alasan yang dipakai NPKC untuk menjustifikasi aksinya adalah bahwa pemerintahnya korup dan pemilihan umum dicemari masalah jual beli suara. Namun, setelah kudeta masyarakat merasa kecewa ketika undangundang dasar (konstitusi) 1991, yang ditulis oleh badan pembuat undang-undang yang dibentuk oleh NPKC, hanya berisikan sedikit langkah-langkah untuk menangani masalah politik uang dan masih membolehkan seorang yang dipilih bukan melalui pemilu menjadi perdana menteri. Setelah pemilu bulan Februari 1992, pemimpin NKPC mendapat dukungan dari para politisi, yang sebelumnya telah dia kecam sebagai korup, untuk menerima jabatan perdana menteri. Masyarakat sangat terpukul dengan kenyataan ini dan menuntut pengunduran dirinya serta revisi terhadap konstitusi. Kejadian ini telah menjadi pemicu terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Mei 1992 yang mendorong proses reformasi politik yang masih berlangsung sampai saat ini. Konstitusi 1991 tersebut direvisi secara menyeluruh pada tahun 1995 oleh badan legislatif namun masih saja tidak memuaskan gerakan reformasi. Ini terjadi karena badan lesgislatif tersebut mempunyai kepentingan tersendiri dalam mempertahankan status quo dan tidak akan memperjuangkan kepentingan reformasi yang akan mempengaruhi tingkah laku politik yang merusak. Sementara itu, menurut pengamat sosial Dr. Prawes Wasi, dua dari syarat yang dibutuhkan untuk satu langkah besar dalam reformasi politik adalah sebagi berikut: Pertama, para akademisi mempunyai waktu untuk melakukan studi banding konstitusional khususnya tentang isu hak asasi dan kemerdekaan, sistem pemilihan dan badan-badan konstitsional yang akan menjamin terciptanya pemerintahan yang baik. Kedua, mass media dan masyarakat umum menyadari pentingnya remormasi politik dan mendukungnya. Hanya saja komponen ketiga kemauan politis terlupakan. Ini tertolong selama Pemilu 1995 ketika calon perdana menteri, Banharn Silpa-Archa, mengumumkan dukungannya terhadap gerakan reformasi termasuk pembuatan rancangan undang-undang baru. Ketika dia menjadi perdana menteri, dia memenuhi janjinya dengan meminta parlemen untuk merevisi udang-undang untuk mewujudkan pembentukan Majelis
117
Perancangan Undang-undang (Constitution Drafting Assembly) yang terdiri dari para akademisi dan wakil-wakil propinsi yang dipilih oleh Parlemen tapi bukan anggota Parlemen. Undang-undang yang ke-16 kemudian dibuat rancangannya setelah melalui sidang dengar pendapat yang ekstensif dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 11 Oktober 1997. Pembukaannya menyatakan bahwa substansi mendasarnya terletak pada, Mendorong dan melindungi lebih lanjut hak-hak asasi dan kemerdekaan rakyat, mendorong partisipasi publik dalam pemerintahan dan dalam memeriksa pelaksanaan kekuasaan negara sekaligus meningkatkan struktur politik untuk mencapai efisiensi dan stabilitas yang lebih baik. Sebagaimana disebutkan diatas, reformasi melalui program legislatif dimungkinkan oleh apa yang disebut segitiga kekuatan: pengetahuan, kebutuhan sosial dan kemauan politis. Era program legislatif disusul oleh era konsolidasi dengan membangun mekanisme untuk melaksanakan reformasi secara konkrit. Mekanisme ini adalah berupa badan-badan konstutisional yang beragam. Periode berikutnya adalah era untuk melakukan revisi. Bagian terakhir 336 dari konstitusi menyatakan bahwa, Ketika jangka waktu lima tahun yang dimulai dari tanggal berlakunya Konstitusi ini telah berakhir, Komisi Pemilihan, pengadilan konstitusi, atau Komisi Penangkal Korupsi Nasional akan mendapatkan otoritas untuk mengajukan laporan berisi opini tentang amandemen Konstitusi atau undang-undang lain kepada Majelis Nasional atau Dewan Menteri. Terlalu dini untuk melakukan evaluasi tentang bagaimana berbagai badan konstitusional telah menjalankan fungsinya karena beberapa diantaranya baru mulai berjalan. Artikel ini lebih sebagai sebuah inventaris untuk memperkenalkannya dan bukan penilaian.
makanya mereka haruslah merupakan badan baik yang dipilih oleh rakyat maupun yang dipilih badan seperti itu. Badan-badan konstitusional bisa diklasifikasi sebagai berikut: 1. Badan-badan konstitusional yang merupakan organ-organ politis, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Senat dan Dewan Menteri. 2. Badan-badan konstitusional yang merupakan organ-organ hukum, seperti Pengadilan Konstitusional, Pengadilan dan Pengadilan Tata Usaha Negara. 3. Badan-badan konstitusional yang memastikan adanya transparansi dan integritas dalam menjalankan kekuasaan negara, seperti Komisi Pemilihan, Ombudsman, Komisi Nasional untuk Hak-hak Asasi Manusia, Komisi Nasional untuk Memberantas Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan Negara. Ada badan-badan lain disebutkan dalam konstitusi namun tidak harus dianggap sebagai badanbadan konstitusional karena komposisi, sumber daya, kekuasaan dan tugas-tugas dan pelaksanaannya tidak disebutkan secara baik oleh ketentuan perundang-undangan tapi lebih oleh undang-undang lain. Mereka tidak memiliki status yang sama maupun kebebasan berkenaan dengan badan-badan konstitusional. Badan-badan tersebut meliputi: 1. 2. 3. 4. Dewan Ekonomi dan Sosial Nasional (bab 89) Pemerintahan setempat Badan pengatur independen yang bertugas mendistribusikan frekuensi radio (bab 40) Organisasi independen yang bertugas mempelajari pengaruh proyek atau kegiatan yang bisa mempengaruhi kualitas lingkungan hidup (bab 56) 5. Organisasi independen untuk perlindunghan konsumen (bab 57) 6. Organisasi yang akan dibentuk sesuai dengan bab 59 untuk mengumpulkan pendapat tentang proyek atau kegiatan yang bisa mempengaruhi kualitas lingkungan hidup, kesehatan dan kondisi kebersihan dan kualitas hidup menurut prosedur dengar pendapat umum. Organisasi-organisasi lain yang tak disebutkan dalam konstitusi tapi berfungsi untuk menjamin adanya transparansi dan integritas dari pelaksanaan kekuasaan negara adalah Badan Penerangan yang berfungsi menjamin penyebaran informasi resmi (www.oic.thaigov.go.th) dan Organisasi Anti Pencucian Uang (Anti-Money Laundering Organization) (www.amlo.go.th).
119
5 3
120
Sambungan
Badan konstitutional Jumlah anggota Cara pengangkatan & komposisi panitia pemilih Panitia pemilih terdiri dari Ketua MA, 4 dekan fak. hukum, 4 dekan fak. ilmu politik, 4 wakil parpol mencalonkan 16 nama untuk dipertimbangkan oleh Senat yg akan memilih 8 orang Sepantas2. Peradilan nya Tata Usaha Negara (terdiri dari MA dan pengadilan pusat dan daerah) Pengajuan oleh Kerajaan setelah persetujuan oleh komisi hukum dan PTUN yg komposisinya adalah sbb: Ketua MATUN, 9 hakim TUN, 2 orang yg dipilih oleh Senat, 1 orang oleh Dewan Menteri. Pengangkatan Ketua MATUN tsb harus dgn pesetujuan Senat Rapat umum hakim agung mencalonkan 5 orang Panitia pemilih terdiri dari Ketua Pengadilan Konstitusi, Ketua MA TUN, 4 rektor perguruan tinggi (PT) dan 4 wakil parpol memilih 5 orang Penetapan terakhir oleh Senat www.admincourt.go.th Masa Kerja Website (tahun)
www.ect.go.th
4. Ombudsman
Panitia pemilih mencalonkan tdk lebih 6 dari 9 orang ke DPR yg kemudian memilih tdk lebih dari 6 orang Panitia pemilih terdiri Ketua MA, Ketua MATUN, Jaksa Agung, Ketua Badan Praktisi Hukum, 5 rektor, 5 wakil parpol, 3 wakil mass media dan 10 wakil LSM HAM Panitia pemilih terdiri dari Ketua MA, Ketua Pengadilan Konstitusi, Ketua MATUN, 7 rektor dan 5 wakil parpol 6
www.ombudsman.go.th
www.nccc.thaigov.net
10
www.sao.go.th
121
Anggota dari badan-badan konstitusional tersebut hanya bisa menjalani satu periode jabatan kecuali bagi mereka yang telah menjabat dalam periode sebelumnya dan menjabatnya selama setengah periode dari masa jabatan, pemegangan jabatan selama hanya satu periode tidak akan berlaku. Makalah ini selanjutnya hanya akan membahas tiga badan konstitusional yang mempunyai fungsi menjamin adanya transparansi dan integritas kekuasaan negara.
Mempertimbangkan dan memeriksa keluhan-keluhan bila: - seorang pejabat negara melanggar undang-undang atau menyalahgunakan wewenang - Tindakan atau ketidakaktifan seorang pejabat negara, walaupun sah, meneyebabkan kerugian atau ketidakdilanpada seseorang atau masyarakat umum. - Undang-undang memerlukan investigasi Menyampaikan laporan, pendapat dan rekomendasi kepada Majlis Nasional Menghubungkan kasus, pada saat ketetapan, undang-undang, aturan, peraturan atau tindakan-tindakan yang ada mungkin betentangan dengan konstitusi, kepada Pengadilan Konstitusi atau PT TUN Menyelidiki fakta-fakta dan mengajukan kasus pencopotan dari jabatan kepada Senat Menyelidiki fakta-fakta dan menghubungkan kasus kepada jaksa untuk penuntutan divisi kriminil Mahkamah Agung bagi orang-orang yang memegang jabatan politis Memeriksa dan memutuskan apakah seorang pejabat negara tiba-tiba menjadi kaya, melakukan korupsi atau telah melakukan penyelewengan di kantor Memeriksa keakuratan dan keberadaan sebenarnya dari aset-aset dan pertanggungjawaban para pejabat negara dan pemegang jabatan politis mengajukan laporan pemeriksaan kepada Dewan Menteri dan Majlis Nasional Menentukan aturan-aturan dan prosedur mengenai kegiatan NCCC Mengusulkan langkah-langkah untuk mengontrol tindak korupsi dan penyelewengan kepada Dewan Menteri Mencegah terjadinya tindak korupsi dan membangun sikap tentang integritas dan kejujuran dan mempermudah partisipasi publik dalam memerangi tindak korupsi Menetapkan kebijakan dan standar audit negara Menetapkan kriteria dan prosedur tentang ketertiban anggaran dan keuangan Memberi nasehat tentang langkah-langkah korektif mengenai audit negara Menetapkan besarnya denda administratif Memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan tertib anggaran dan keuangan Mempertimbangkan permintaan Dewan Menteri atau Majlis Nasional untuk audit kasus khusus Menetapkan aturan dan peraturan sesuai dengan tugas-tugas audit
NCCC
122
Operasi Ombudsman
Undang-undang Ombudsman B.E. 2542 diberlakukan pada tanggal 4 September 1999. Pada tanggal 1 April 2000, Raja menunjuk Pichet Sunthornpipit sebagai ombudsman. Semenjak itu sampai tanggal 30 September 2000, kerja ombudsman dapat diringkas sebagai berikut: 1. Kebijakan: Ombudsman menetapkan pedoman bagi tujuh kebijakan mengenai kerja Kantor Ombudsman yang ditujukan pada efisiensi dan transparansi pekerjaannya. 2. Peraturan: Ombudsman mengeluarkan tujuh peraturan yang meliputi berbagai aspek Operasi Kantor Ombudsman dan kemudian Kantor Ombudsman mengeluarkan dua peraturan lain. 3. Pemeriksaan Keluhan: Sebelum membentuk Kantor Ombudsman, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat bertindak sebagai kantor sementara. Selama periode dari Desember 1999 sampai 30 September 2000, kedua kantor tersebut menerima 184 keluhan yang bisa diklasifikasikan sebagai berikut: Keluhan untuk diperiksa Keluhan sudah diperiksa - ditolak - ditarik - disetujui Jumlah 49 135 68 9 58 184
123
Hasil pemeriksaan dari 58 keluhan adalah sebagai berikut: Keluhan yang akan dipertimbanagkan lebih jauh - tak ditemukan kontradiksi terhadap konstitusi - tak ditemukan penyelewengan oleh pejabat negara - sudah dikompensasi sebagaimana mestinya - sedang dalam pertimbangan pengadilan - periode dua-tahun untuk keluhan yang diakhiri Keluhan-keluhan yang diproses lebih lanjut - dikirim ke pengadilan konstitusi - dikirim ke Senat Jumlah 56 10 24 15 3 3 2 1 1 58
Kantor Ombudsman juga menerbitkan pamflet, poster (90,000 eksemplar) dan bahan-bahan cetak lainnya untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang peranan dan pelayanan ombudsman. Kantor ini juga mengadakan pameran dan program siaran radio secara teratur (satu jam setiap minggu) di stasiun radio parlemen. Kelompok sasaran dari kampanye ini adalah pemegang jabatan politis, pejabat negara, pelajar dan guru, masyarakat umum, LSM dan mass media. Tindakan-tindakan yang diambil adalah konperensi pers dan keterangan pers, acara-acara televisi (5 kali), siaran radio (4 kali), seminar dan pelatihan (10 proyek), pembuatan media (9 media), kampanye melalui kerjasama para pendeta Buddha, pameran (4 kali). Kantor Ombudsman melihat bahwa masyarakat umum sudah tidak memahami dengan baik hak-hak mereka untuk mengajukan keluhan. Beberapa dinas pemerintahan enggan untuk bekerjasama karena mereka merasa bahwa mereka sedang diperiksa untuk menemukan kesalahan dan personil kantor masih harus mengembangkan potensi mereka khususnya dalam pekerjaan riset dan akademis. Rekomendasi-rekomendasi akan metetapkan standar operasi yang jelas, untuk menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan memberi penekanan pada pengembangan sumber daya manusia. Kampanye kesadaran publik harus ditingkatkan.
1999. Setelah pengesahan Undang-Undang Organik tentang Pemberantasan Korupsi B.E. 2542 pada tanggal 8 November 1999, kantor NCCC didirikan dan menggabungkan kantor CCC yang pada saat itu masih ada kedalamnya. Selama tahun fiskal 2000 (Oktober 1999 sampai September 2000) operasi NCCC bisa diringkas sebagai berikut, a) pencegahan korupsi dan b) pemberantasan korupsi
Pencegahan Korupsi
Rekomendasi kepada Dewan Menteri, NCCC telah membuat rekomendasi berikut ini: 1. Kasus pabrik-pabrik industri menyebabkan polusi Direkomendasikan bahwa pemeriksaan oleh pejabat negara dan pemerintahan setempat ditingkatkan demikian juga dengan pengintaian oleh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Peraturan yang lebih jelas dibutuhkan dan peralatan pengintaian dipasang pabrik-pabrik yang berisiko. Dewan Menteri setuju denga rekomendasi tersebut dan Menteri Dalam Negeri, Industri dan Kesehatan Masyarakat juga Otorita Metropolitan Bangkok melaporkan kembali langkah-langkah tersebut sejak pelaksanaannya. 2. Kasus penyelewengan dalam penuntutan kasus-kasus yang melanggar Undang-Undang Penangkapan Ikan Direkomendasikan bahwa Departemen Perikanan melakukan inspeksi lapangan terhadap kapalkapal penangkapan ikan dan meminta kerjasama polisi untuk tindakan-tindakan hukum sumir terhadap mereka yang melanggar hukum. Departemen Pelabuhan harus masuk ke dalam perjanjian dengan Departemen Perikanan tentang pengawasan tehadap kapal-kapal penengkapan ikan. Perubahan yang spesifik terhadap Undang-Undang Penangkapan Ikan juga diusulkan. Dewan Menteri menyetujui rekomendasi tersebut dan kebanyakan dari rekomendasi itu telah dilaksanakan. NCCC telah membuat rekomendasi berikut: Pemerintah setempat harus mencegah anggota dewan legislatif dan pejabat daerah untuk ikut serta dalam proyek pembangunan di wilayah mereka. Tindakan harus diambil untuk mencegah pejabat setempat menilai pajak papan reklame dengan maksud mengambil keuntungan pribadi. Kantor Komisi Kepegawaian Negara harus melihat bahwa kenaikan pangkat untuk pejabat negara (tingkat 9, 10 dan 11) haruslah adil dan transparan.
125
NCCC menindaklanjuti resolusi Dewan Menteri kalau polisi penyelidik menolak menangani tuduhan atau keluhan.
Pemberantasan korupsi
NCCC mengambil alih 2,080 kasus dari CCC dan, sebagai tambahan pada tahun fiskal 2000, menerima 1,789 tuduhan korupsi atau penyelewengan. Dari 3,873 kasus ini, NCCC telah menyelesaikan pemeruiksaan 1,275 kasus sedangkan sebanyak 2,598 kasus lainnya masih pending. Kasus-kasus yang telah selesai bisa diklasifikasikan sebagai berikut: Tuduhan yang dibatalkan NCCC menemukan pejabat negara bersalah - atas tindakan korupsi - atas penyelewengan di kantor Jumlah 1,254 21 -7 - 14 1,275
Dari 21 kasus bersalah, NCCC merekomendasikan agar dinas-dinas yang bertanggungjawab mengambil tindakan penertiban dalam 14 kasus, tindak kriminal 2 kasus dan 5 kasus untuk baik tindak kriminal maupun tindakan kedisiplinan.
Pemeriksaan terhadap aset dan pertanggungjawaban para pemegang jabatan politis dan pejabat tinggi
NCCC telah menerima dan memeriksa pengumuman aset dan pertanggungjawaban berikut: Pengumuman pemegang jabatan - atas penerimaan jabatan - meninggalkan posisi - setahun setelah meningalkan Pengumuman pejabat negara - atas penerimaan jabatan - meninggalkan jabatan - meninggalkan dinas Jumlah 4,771 3,896 779 96 2,269 2,070 7 172 7,040
126
NCCC percaya bahwa ada sepuluh orang yang dengan sengaja menutupi fakta dalam pengumuman mereka dan menyampaikan kasus-kasus tersebut kepada Pengadilan Konstitusi. Pengadilan tersebut menemukan sembilan diantaranya, termasuk seorang bekas Menteri Dalam Negeri, terbukti bersalah menyembunyikan fakta dan mereka dilarang memegang jabatan politis apapun dalam jangka waktu lima tahun. Kasus selebihnya adalah mengenai perdana menteri yang terbukti tidak bersalah.
Hambatan-hambatan
NCCC menghadapi banyak kasus yang statusnya pending dan beban kerjanya sangat berat. Kurangnya personil yang memenuhi syarat adalah juga masalah serius yang dihadapi. Terlebih undang-undang organik tentang pemberantasan korupsi menyatakan bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan fakta, NCCC boleh menunjuk sub-komite pemeriksaan yang akan terdiri dari satu anggota NCCC dan pejabat-pejabat yang mampu dan/atau orang-orang yang memenuhi syarat. Kenyataan bahwa sub-komite seperti itu harus punya satu anggota NCCC sebagai ketuanya akan memberikan beban kerja yang berat pada anggota dan merupakan kemacetan dalam operasinya. Operasi Komisi Audit Negara Sebelum diumumkannya konstitusi, Kantor Audit Negara (SAO) menjalankan operasinya berdasarkan Undang-undang Audit Negara B.E. 2522 (1979). Kantor tersebut berstatus sebagai sebuah dpartemen dan bertanggungjawab langsung kepada perdana menteri. Undang-Undang Organik tentang Audit Negara B.E. 2542 diumumkan pada tanggal 11 November 1999. Kantor Audit Negara (SAO) mempertahankan statusnya yang setingkat departemen tapi sebetulnya kantor ini adalah organisasi konstitusional yang independen. Akuntan Umum yang mengepalai SAO sekarang dinominasikan oleh Komisi Audit Negara, dipilih oleh senat dan ditunjuk oleh raja. Ia sekarang bertanggungjawab kepada ketua, Komisi Audit Negara. Dalam tahun fiskal 1999, SAO mengajukan 15 laporan kepada Dewan Menteri. SAO tidak bisa melakukan pekerjaan mengaudit semua dinas negara. Sebenarnya, memilih kualitas diatas kuantitas, kantor ini telah melaksanakan pemeriksaan sejumlah kecil dinas sebagaimana tertera dalam Tabel 3.
127
Pekerjaan audit tersebut meliputi audit operasi, audit khusus, audit pembelian dalam bentuk analisa proyek dan audit umum (keuangan, neraca, pembelian dan pengumpulan pendapatan). Dalam tahun fiskal 1999, SAO menemukan 49 kasus yang melibatkan korupsi dan 113 kasus penyelewengan. Hasil dari tindak lanjut dugaan kasus korupsi tersebut sampai tanggal 31 Maret 2000 dipresentasikan dalam Tabel 4.
Dari 113 kasus penyelewengan, SAO menerima 39 laporan tentang tindakan yang diambil, sisanya 74 kasus masih sedang dilaporkan. Komisi Audit Negara memberi penekanan pada pencegahan tindak korupsi dan penyelewengan. Komisi menghimbau masyarakat umum untuk tetap waspada dan teliti dan melaporkan kasuskasus seperti pembelian yang tidak transparan atau peninggian harga, proses tender yang bersifat
128
kolusif, proyek pembangunan yang tidak mengikuti spesifikasinya, kwitansi cacat/bermasalah dan penggunaan properti milik negara untuk keperluan pribadi.
Kesimpulan
Makalah ini menyajikan komposisi dari tujuh badan konstitusional dari sebelas badan yang ada. Kekuasaan, tugas-tugas dan pelaksanaan dari tiga dari badan-badan tersebut, dimana tugasnya adalah untuk memastikan bahwa transparansi dan integritas kekuasaan negara, juga diberikan. Dari ke-tujuh badan itu, empat diantaranya adalah institusi-institusi yang baru sama sekali yang dibentuk dalam program reformasi politik badan legislatif untuk mencapai pemerintahan yang baik: yaitu Peradilan Tata Usaha Negara, Komisi Pemilihan, Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebelum dibentuknya Pengadilan Konstitusi telah ada hakim-hakim konstitusional yang bekerja tidak efektif sebagai sebuah komite dan bukannya sebuah pengadilan. Komisi Pemberantas Korupsi yang sudah dibubarkan biasanya hanya menangani kasus-kasus non-politis dan Kantor Audit Negara biasa bekerja sebagai sebuah dinas pemerintah yang biasa. Konstitusi menetapkan bahwa badan-badan ini bebas dari pemerintah dengan tujuan meningkatkan keefektifan mereka dalam menangani korupsi, penyelewengan di kantor dan bentuk lain penyalahgunaan wewenang. Satu aspek kebebasan adalah kebebasan finansiil. Konstitusi menetapkan dalam ayat dua bab 75 bahwa negara akan mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan wewenang independen badanbadan ini. Tapi, keefektifan mereka tidak hanya tergantung pada berbagai sumber daya yang diperuntukkan bagi mereka tapi juga pengakuan masyarakat umum terhadap peranan mereka dan dukungan terhadap operasi mereka. Untuk alasan ini, mereka semua berusaha mendekati masyarakat dan mendorong partisipasi mereka sesuai dengan kebijakan bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Proses reformasi politik di Thailand dimungkinkan oleh adanya kombinasi dari setidaknya tiga kekuatan: kekuatan berdasarkan pengetahuan, kebutuhan sosial dan kemauan politis. Tapi sebenarnya ini adalah proses yang takkan pernah berakhir yang akan melewati berbagai siklus rancangan, implementasi dan evaluasi. Terlalu dini untuk membuat penilaian serius terhadap badan-badan ini untuk melihat apakah mereka cukup efektif dan memadai secara konteks atau tidak. Mereka harus menjadi subjek dari studi-studi kasus agar dapat menciptakan badan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan yang lebih positif di Thailand dan semoga juga di tempat lain.
129
Ombudsman di Filipina: Penilaian Kinerjanya dan Pelajaran yang Mungkin Bermanfaat bagi Indonesia
Oleh Maria Teresa Ramos Melgar Pengalaman Filipina dengan badan-badan konstitusional yang diberi mandat untuk mempertahankan pemenuhan pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam pemerintahan, memerangi penyelewengan dan korupsi, dan mencegah penyalahgunaan jabatan negara, merupakan sebuah catatan beragam tentang iktikad baik, peraturan-peraturan ketat, dan kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan. Dewasa ini, Filipina memiliki empat badan konstitusional independen yang diberi mandat untuk menegakkan prinsip-prinsip kejujuran, integritas dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan jabatan negara. Keempatnya adalah: Kantor Ombudsman (OMB), Komisi Pegawai Negeri (CSC), Komisi Audit (COA), dan Sandiganbayan - sebuah pengadilan khusus. Di antara keempat badan itu, adalah Kantor Ombudsman yang dianggap menjadi lembaga ujung tombak untuk memantapkan pelaksanaan akuntabilitas dan menjamin transparansi dalam pemerintahan. Makalah ini menelaah catatan riwayat dan kinerja Kantor Ombudsman di Filipina. Peninjauannya dimulai dengan pandangan umum tentang berbagai fungsi dan kekuasaan ombudsman, kemudian disusul dengan penilaian catatan dan kinerjanya. Makalah ini diakhiri dengan beberapa pelajaran dan wawasan yang mungkin bisa diambil dari pengalaman Filipina dengan ombudsman.
Kata Filipina tanod berarti pengawal sedang bayan berarti negara. Bila digabung, kata ini menyampaikan konsep ombudsman sebagai penjaga masyarakat atau pelindung terhadap para pejabat yang korup dan menyalahgunakan jabatan. 2 Cecile C.A. Balgos, Ombudsman, dalam Sheila Coronel, ed. Pork and Other Perks: Corruption and Governance in the Philippines (Quezon City: IPD, PCIJ, Evelio Javier Foundation, 1996), hal. 246-271.
130
Ketika Marcos digulingkan pada tahun 1986, tugas perumusan kerangka untuk membangun kembali berbagai lembaga politik negara ini jatuh ke tangan sebuah Komisi Konstitusi, yang kemudian oleh Presiden Corazon Aquino dikerahkan untuk merancang konstitusi baru. Walaupun bertekad untuk menghapus semua sisa-sisa kekuasaan otoriter Marcos, Komisi tampaknya menemukan segi yang cukup bernilai3 dari gagasan pendirian sebuah badan konstitusional independen untuk bertindak sebagai pengawas terhadap penyalahgunaan jabatan negara. Karenanya, para perumus Konstitusi 1987 membubarkan Tanodbayan, dan sebagai gantinya didirikanlah Kantor Ombudsman (OMB). OMB yang sekarang ini mulai beroperasi pada tahun 1988 dalam masa jabatan Presiden Aquino. Dari segi susunannya, kantor ini memiliki seorang ombudsman; seorang wakil ombudsman urusan umum; masing-masing seorang wakil ombudsman untuk tiga wilayah utama Filipina yaitu Luzon, Visayas dan Mindanao; dan seorang wakil ombudsman urusan militer. Ombudsman dan para wakil diangkat oleh presiden berdasarkan daftar 21 calon yang diajukan oleh Dewan Peradilan dan Hukum (JBC).4 Namun demikian, berbeda dengan para pejabat lain yang ditunjuk oleh Presiden, para pejabat OMB tidak memerlukan konfirmasi dari Komisi Pengangkatan (CA) yang berkewenangan besar sebuah komite dua dewan dalam Kongres Filipina yang menyetujui semua pejabat yang diangkat oleh Presiden. Menurut Fr. Joaquin Bernas, Komisi Pengangkatan tidak diikutsertakan dalam proses itu agar pengangkatannya bebas dari pertimbangan politik atau partai.5 Sekalipun demikian, sebagaimana akan kami jelaskan kemudian, hal ini tidak selalu benar. Ombudsman dan para wakil mempunyai masa jabatan tetap tujuh tahun, tanpa pengangkatan kembali. Mereka hanya bisa diberhentikan melalui pendakwaan (impeachment) oleh Kongres, dengan alasan-alasan sebagai berikut: terlibat dalam makar, penyuapan, penyelewengan dan korupsi, kejahatan tingkat tinggi lainnya dan pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat. Masa jabatan tetap dan prosedur khusus untuk pemberhentian mereka itu dijamin oleh Konstitusi 1987 sebagai cara untuk mempertahankan kemandirian badan tersebut, dan untuk mencegah terjadinya gangguan politik terhadapnya.
3 4
Ibid. Di Filipina, Dewan Peradilan dan Hukum (JBC) terdiri dari Hakim Agung Mahkamah Agung sebagai ketua ex officio; Sekretaris Mahkamah dan seorang wakil Kongres sebagai anggota ex officio; seorang wakil Gabungan Ahli Hukum Filipina; seorang guru besar hukum; seorang anggota pensiunan Mahkamah Agung; dan seorang wakil sektor swasta. Para anggota tetap JBC (yaitu keempat orang yang disebut terakhir) diangkat oleh Presiden untuk masa jabatan 4 tahun dengan persetujuan Komisi Pengangkatan. Dari para anggota yang diangkat dahulu, wakil Gabungan Ahli Hukum bermasa jabatan 4 tahun, guru besar hukum 3tahun, pensiunan Hakim Agung 2 tahun, dan wakil swasta satu tahun. JBC berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. 5 Balgos, Ombudsman, dalam Coronel, ed., hal. 249.
131
Dibandingkan dengan Tanodbayan pada masa Marcos, OMB yang sekarang diberi kekuasaan dan hak prerogatif yang lebih banyak. Kantor ini mendapat kepercayaan untuk melakukan lima fungsi utama: 1) penyelidikan; 2) penuntutan; 3) pengambilan keputusan administratif; 4) pemberian bantuan masyarakat; dan 5) pencegahan penyelewengan. 6 Namun untuk tujuan pertemuan ini, kertas kerja ini hanya membahas tiga fungsi pertama.
Penyelidikan
Konstitusi 1987 Filipina maupun Undang-Undang Ombudsman 1989 (Undang-Undang Republik 6770) memberi OMB kekuasaan-kekuasaan yang luas untuk menyelidiki pelanggaran/kejahatan jabatan dalam bentuk apapun. Luasnya lingkup kekuasaan OMB tercermin dalam mandat pokoknya: menyelidiki atas prakarsa sendiri, [cetak tebal penulis] atau berdasarkan keluhan oleh siapapun, perbuatan atau kelalaian apapun dari pejabat, pegawai, kantor atau lembaga/instansi negara manapun, bila perbuatan atau kelalaian itu tampaknya melanggar hukum, tidak adil, tidak semestinya atau tidak efisien.7 Ini berarti bahwa OMB tidak perlu menunggu seorang warganegara untuk mengajukan keluhan terhadap seorang pejabat yang berbuat salah; OMB bisa, atas prakarsanya sendiri, melancarkan penyelidikan jika melihat alasan untuk melakukannya. Namun demikian, OMB diberi mandat untuk memprioritaskan keluhan-keluhan terhadap para pejabat di berbagai posisi tinggi atau pengawasan, maupun keluhan-keluhan yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran berat atau jumlah-jumlah besar uang dan/atau harta-milik.8 Keluhan-keluhan yang ditangani oleh OMB terhadap para pejabat dan pegawai negeri secara luas dibagi menjadi dua kategori: kriminal dan administratif. Menurut hukum Filipina, pelanggaranpelanggaran kriminal meliputi: Berbagai bentuk kelalaian kewajiban dan penyuapan, penipuan serta penarikan dan transaksi yang tidak sah; penyalahgunaan dana atau harta-milik; dan berbagai bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan fungsi resmi dan penanganan kerahasiaan negara.9
Bank Dunia, Unit Pengelolaan Negara Filipina, Wilayah Asia Timur dan Pasifik, Combating Corruption in the Philippines, (Makati: World Bank, [May 2000]), hal. 46. 7 Pasal XI, Bagian 13(1), Konstitusi Filipina 1987. 8 Bagian 15, Undang-undang Ombudsman 1989 (Undang-undang Republik 6770). 9 Ledivina Carino, The Fight Against Corruption: Long Winding Road, Political Brief (Quezon City: Institute for Popular Democracy, April 2000), hal. 21.
132
Pelanggaran-pelanggaran administratif, di pihak lain, meliputi: Pelanggaran hukum, kaidah dan peraturan, tindakan tidak adil, tidak jujur, penindasan atau diskriminasi; tindakan tidak konsisten dengan pedoman umum fungsi (sebuah) instansi, dan penggunaan kekuasaan atas dasar pertimbangan yang tidak tepat.10 OMB dapat pula mengadakan penyelidikan kalaupun pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat tidak berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsinya.11 Lagipula, pernyataan kerahasiaan tidak akan menghentikan tuntutan ombudsman untuk menunjukkan dokumen-dokumen yang diperlukan guna penyelidikan.12
Penuntutan
Berbeda dengan badan-badan anti penyelewengan lainnya di Filipina, yang hanya berfungsi penemuan fakta dan biasanya bersifat penyampaian rekomendasi, OMB memiliki kekuasaan untuk melakukan penuntutan. Fungsi ini dilaksanakan oleh Kantor Kejaksaan Khusus (OSP) komponen dari ombudsman atau para jaksa tetap OMB, tergantung pada pangkat pejabat tertuduh. OSP melakukan penuntutan terhadap kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara, seperti para direktur biro, gubernur propinsi, walikota dan setingkatnya. Kasus-kasus semacam itu diadili oleh Sandiganbayan,13 yang diciptakan oleh Konstitusi 1973, yang mempunyai wewenang hukum atas kasus-kasus penyelewengan dan korupsi yang melibatkan para pejabat tinggi negara. Para jaksa tetap OMB, sebaliknya, menangani kasus-kasus kriminal para pejabat dan pegawai tingkat lebih rendah. Kasus-kasus ini biasanya diajukan pada pengadilan-pengadilan umum di negara ini. Walaupun OMB terutama bertugas untuk menyelidiki dan mengajukan tuntutan terhadap pelanggaran dalam penyelenggaraan jabatan negara, dalam kasus-kasus konspirasi antara seorang pejabat atau pegawai negeri dan seorang swasta, OMB bisa melibatkan perorangan swasta itu dalam penyelidikannya dan mengajukan tuduhan yang berdasar.14
10 11
Ibid. Deloso v. Domingo, 191 SCRA 545, 550 (1990), sebagaimana dikutip dalam Joaquin Bernas, The 1987 Constitution of the Republic of the Philippines: A Commentary (Manila: Rex Bookstore, 1996), hal. 1000. 12 Ibid., hal. 1001. 13 Istilah Sandiganbayan kurang lebih berarti tiang bangsa. 14 Bagian 22, Undang-undang Ombudsman 1989.
133
Keputusan administratif
Akhirnya, dalam pelaksanaan fungsi administratifnya, OMB mempunyai wewenang disipliner15 atas semua pejabat pemerintah Filipina yang dipilih dan diangkat, termasuk para anggota Kabinet. Hanya para anggota Kongres, peradilan dan para pejabat badan-badan konstitusional lainnya, seperti Komisi Pemilihan Umum (COMELEC), berada di luar wewenang hukum ombudsman dalam urusan administratif. Dalam melakukan tindakan hukum administratif, OMB bisa memerintahkan penskorsan/ pemberhentian sementara untuk pencegahan atas seorang pejabat atau pegawai negeri sampai dengan jangka waktu maksimum enam bulan.16 16 Jika ia dinyatakan bersalah, pejabat atau pegawai negeri yang berbuat salah dikenakan hukuman peringatan keras, denda, penskorsan atau pemberhentian dengan pencabutan hak atas fasilitas.17
Bagian 21, Undang-undang Ombudsman 1989. Bagian 24, Undang-undang Ombudsman 1989. 17 Kantor Ombudsman, Annual Report 1998, hal. 18 18 Bernas, hal. 997.
134
tingkat penyelesaian atau tingkat di mana OMB mampu mencapai keputusan atas keluhankeluhan kriminal dan administratif yang diajukan ke kantornya. Penyelesaian kasus-kasus menempuh empat jalur: Responden/tertuduh dituntut ke pengadilan yang terkait (hanya untuk kasus-kasus kriminal); Hukuman dijatuhkan (hanya untuk kasus-kasus administratif ); Kasus ditolak dan responden dibebaskan dari tuntutan; dan Kasus ditutup dan diakhiri. Tingkat penyelesaian diperoleh dari pembagian jumlah kasus yang diselesaikan, dengan jumlah beban-kerja kasus selama setahun. Dalam Tabel 1 berikut akan kita lihat bahwa dari tahun 1993 sampai 1996, OMB secara nasional hanya mampu menyelesaikan rata-rata 37 persen dari jumlah beban-kerja kasus setiap tahun. Jadi, jumlah kasus yang belum tertangani pada akhir setiap tahun, selalu melebihi jumlah yang diselesaikan. Baru pada awal 1997 situasinya berbalik. Dari tahun 1997 sampai 2000, tingkat penyelesaiannya mencapai rata-rata tahunan 60 persen. Hal ini pun belum cukup untuk menghabiskan tunggakan besar kasus-kasus OMB, yang sebagian berasal dari masa mantan Hakim Agung Conrado Vasquez, yang menjabat sebagai ombudsman pertama negara ini selama tahun 1988-1995. Maka, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, menjelang akhir tahun 2000 sejumlah 5,745 kasus di seluruh negeri masih menanti penyelesaian di berbagai kantor cabang OMB.
135
Tabel 1. Beban-kerja dan Status Kasus-kasus Kriminal dan Administratif, Kantor Ombudsman (Nasional), 1993-2000
Keterangan Kasus tahun ybs 1993 1994 9,635 12,002 21,637 7,772 6,115 1,060 93 504 13,865 36% (.359) 1995 6,034 13,865 19,899 7,864 5,704 1,520 95 545 12,035 40% (.395) 1996 8,761 12,576 21,337 9,214 6,604 1,506 179 925 12,123 43% (.431) 1997 8,178 12,473 20,651 11,492 8,185 2,210 296 801 9,159 56% (.556) 1998 8,569 9,159 17,728 10,816 7,040 2,166 253 1,357 6,912 61% (.610) 1999 9,890 6,912 16,802 9,235 5,693 2,107 323 1,202 7,567 55% (.549) 2000 10,362 7,567 17,929 12,184 7,931 2,209 514 1,530 5,745 68% (.679)
8,277 9,135 17,412 5,416 4,247 929 73 167 11,996 31% (.311)
Jumlah beban-kerja kasus Kasus yang diselesaikan Ditolak/Dibebaskan Penuntutan Pengenaan hukuman Ditutup dan diakhiri Kasus belum tertangani Tingkat penyelesaian kasus Jumlah beban-kerja kasus
Sumber: Laporan Tahunan Kantor Ombudsman (OMB), 1993-2000 Angka-angka yang dikutip dalam kategori ini mewakili jumlah lima (5) jenis kasus terpisah dikurangi kasuskasus yang ditarik kembali ke Kantor Pusat (CO) / dialihkan ke kantor cabang OMB lainnya. Kelima jenis itu adalah: (a) kasus yang diterima selama tahun ybs; (b) kasus yang dirujuk oleh CO; (c) kasus yang dirujuk oleh kantor cabang OMB lainnya; (d) kasus yang dialihkan dari Kantor Kejaksaan Khusus (OSP) / Tanodbayan (TBP); dan (e) kasus selesai yang dikembalikan ke status belum tertangani. Dalam Laporan Tahunan OMB, jenis-jenis kasus ini dilaporkan tersendiri bersama dengan angka-angka keseluruhan. dikutip dalam kategori ini untuk suatu tahun tertentu tidak selalu * Perlu dicatat bahwa angka-angka yangdalam kasus belum tertangani untuk tahun sebelumnya, padahal sama dengan angka-angka yang dikutip seharusnya cocok. Laporan-laporan tahunan OMB lazimnya berisi penjelasan untuk mempertanggung-jawabkan ketidak-sesuaian itu. Angka-angka itu biasanya dikoreksi selama tahun fiskal berlangsung, ketika OMB melakukan inventarisasi kasus lebih lanjut.
136
Sebuah laporan 1998 oleh guru besar administrasi negara Universitas Filipina, Ledivina Carino, menekankan beberapa masalah yang dihadapi oleh OMB, yang mungkin sebagian menjelaskan keadaan ini. Menurut Carino: Kantor Ombudsman tampaknya terlalu banyak bekerja dan terlalu kurang tenaga, dan pendanaannya terlalu kecil untuk beban-kerja ... Hambatan-hambatan terbesar yang dihadapi oleh OMB dalam melakukan penyelidikannya adalah penundaan oleh penasihat hukum responden, waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan bukti, dan fakta bahwa proses yang sudah harus ditangani memakan waktu lama untuk menyelesaikannya. Catatan keberhasilan penyelesaiannya masih menyisakan banyak hal yang harus diperbaiki dalam mengatasi kasus-kasus korupsi sampai habis, dengan cara yang memuaskan masyarakat.19 Laporan Tahunan Ombudsman untuk tahun 2000 memperkuat sebagian pengamatan Carino. Menurut laporan itu, tenaga staf penuh OMB terdiri dari 794 karyawan di seluruh negeri.20 Adalah hal yang menarik bahwa hanya 247 atau 31 persen merupakan ahli hukum sedangkan 547 atau 69 persen bukan ahli hukum.21 Jumlah pakar hukum yang kecil ini dibanding tenaga non-ahli dalam staf OMB telah disebut sebagai salah satu sebab utama kenapa penyelidikan keluhan-keluhan yang mencapai kantor itu tidak berlangsung secepat yang semestinya. Sekaligus harus dicatat pula bahwa tingkat penyelesaian tidak selalu mencerminkan kualitas tindakan yang diambil oleh OMB terhadap kasus-kasus termaksud. Sebenarnya, orang bisa memperdebatkan bahwa hal ini bukanlah indikator terpenting mengenai efektivitas lembaga tersebut dalam memantapkan pelaksanaan akuntabilitas pejabat negara. Sebagai gambaran, ada baiknya kita melihat kasus-kasus yang telah ditetapkan untuk penuntutan atau pengenaan sanksi administratif. Berdasarkan komputasi Bank Dunia, data dari OMB menunjukkan bahwa dari 1997 sampai 1998, hanya sedikit lebih dari 16 persen dari kasus-kasus [kriminal] yang dilaporkan diajukan untuk penuntutan, dan paling banyak, kurang dari 2 persen akhirnya menghasilkan keputusan
Carino, hal. 21. Angka-angka terinci sebagai berikut: Kantor Pusat OMB: 460 pegawai atau 58 persen; OMB-Luzon: 93 atau 12 persen; OMB-Visayas: 72 atau 9 persen; OMB-Mindanao: 84 atau 11 persen; dan OMB-Militer: 81 atau 10 persen. Lihat Kantor Ombudsman, Annual Report 2000, hal. 32. 21 Ibid.
20
19
137
hukuman.22 Di pihak lain, kurang dari 5 persen dari kasus-kasus administratif yang diterima per tahun untuk periode itu menghasilkan pengenaan hukuman administratif. Laporan terbaru dari OMB hanya menunjukkan perubahan kecil. Pada tahun 2000, hanya 20 persen dari kasus-kasus kriminal diajukan untuk penuntutan, sementara 7 persen dari kasuskasus administratif mengarah pada pengenaan hukuman.23 Dari segi pandang pencegahan/ penjeraan, tingkat sanksi yang relatif rendah ini bisa dianggap sebagai salah satu alasan bertahannya korupsi dalam pemerintahan. Perbuatan tercela dalam penyelenggaraan jabatan negara cenderung untuk berlanjut, sebagian karena kemungkinannya sangat kecil bahwa para pelakunya bakal berhasil dituntut dan dihukum oleh lembaga-lembaga seperti OMB dan pengadilan.
Menurut Bank Dunia, data tentang keputusan hukuman tersebut diperkirakan dari sekitar 22,5 persen dari kasus-kasus anti-korupsi yang diadili oleh Sandiganbayan ... Kasus-kasus lainnya diadili oleh pengadilan-pengadilan lokal, di mana jumlah penuntutan yang berhasil diduga sangat kurang. Lihat Bank Dunia, Combating Corruption in the Philippines, hal. 40. 23 Angka-angka pasti untuk kasus-kasus OMB tahun 2000 adalah sebagai berikut. Beban-kerja total kasus-kasus kriminal untuk tahun itu: 10.945. Dari jumlah ini, 2.209 kasus (20 persen) diajukan untuk penuntutan; 5.570 (50 persen) ditolak; 279 (2,5 persen) ditutup dan diakhiri; dan 2.886 (26 persen) tetap belum tertangani. Beban-kerja total kasus-kasus administratif: 6.984. Dari jumlah ini, hanya 514 keluhan (7.3 persen) menghasilkan pengenaan hukuman; 2.361 (34 persen) ditolak; 1.250 (17 persen) ditutup dan diakhiri; dan 2.859 (40 persen) menunggu disposisi akhir. Lihat Kantor Ombudsman, Annual Report 2000, hal. 6. 24 Sebelum diangkat menjadi Ombudsman pada tahun 1995, Desierto menjabat sebagai Jaksa Khusus untuk OMB pada tahun 1991. 25 Balgos, Ombudsman, dalam Coronel, hal. 259.
138
22
perbuatan yang seharusnya diberantasnya dalam penyelenggaraan jabatan negara: penyelewengan, korupsi dan bahkan penyuapan. Sesungguhnya, baru setahun ia menjadi ombudsman, dirinya sudah berada di tengah kontroversi besar sekitar salah satu kasus terburuk dalam sejarah Filipina terakhir apa yang disebut kasus Kuratong Baleleng. Kasus ini berasal dari kematian 11 anggota Kuratong Baleleng gerombolan perampok dan penculik selama dalam tahanan polisi enam tahun yang lalu. Walaupun sementara kalangan hukum menyatakan bahwa para anggota gerombolan itu terbunuh saat mereka mencoba berbaku tembak dalam upaya melarikan diri, beberapa saksi, termasuk sebagian anggota polisi, akhirnya muncul untuk menyangkal laporan ini. Menurut saksi-saksi itu, para anggota gerombolan dibunuh secara langsung, atas perintah perwira-perwira tinggi kepolisian. Karena para petinggi polisi ikut terlibat, kasus itu pun akhirnya sampai ke OMB. Namun demikian, dalam penyelidikan perkara ini Desierto memutuskan untuk menurunkan tingkat tuduhan terhadap Inspektur Jendral Panfilo Lacson,26 kepala Komisi Presiden untuk Pemberantasan Kejahatan (PACC) waktu itu, dan salah satu perwira yang kabarnya telah memerintahkan penembakan itu, dari pelaku menjadi pembantu dalam pembunuhan. Spekulasi pun muncul kemudian bahwa Desierto telah menurunkan status tuduhan, sebagai imbalan konsesi bisnis besar yang diterimanya dari seorang pengusaha Cina yang dikaitkan dengan Lacson. Walaupun Desierto membantah keras tudingan semacam itu, ia tidak pernah bisa menghilangkan noda yang ditimbulkan oleh penanganan kasus tersebut. 27 Berbagai pertanyaan serius pun muncul mengenai kompetensi Desierto sehubungan dengan putusan-putusan yang dibuatnya atas beberapa pinjaman atas-perintah pada masa Marcos. 28
26 Lacson kini adalah senator di Filipina, di bawah partai mantan Presiden Estrada, Pwersa ng Masa (kurang lebih berarti Kekuatan Rakyat). Namun, Senat Filipina sedang mengadakan dengar pendapat tentang tuduhan bahwa Lacson terlibat perdagangan obat terlarang, pencucian uang, dan kegiatan-kegiatan melanggar hukum lainnya ketika menjadi kepala Polisi Nasional Filipina. 27 Pada tahun 1998, mantan Sekretaris Mahkamah Serafin Cuevas mengumumkan, dalam pidatonya di depan Gabungan Ahli Hukum Filipina, bahwa ia telah mengusulkan pada Presiden Estrada waktu itu, untuk mendirikan sebuah komite independen hakim dan hakim agung yang akan menyelidiki meningkatnya tuduhan-tuduhan pelanggaran terhadap Desierto. Tetapi rekomendasi Cuevas tidak terdengar lagi sejak itu. Lihat Cecille M. Santillan, Independent Body should Probe Ombudsman - Cuevas, Business World Internet Edition, October 2, 1998; http://www.bworld.org.ph 28 Salah satu warisan utama zaman Marcos adalah serangkaian pinjaman atas-perintah yang dinikmati oleh sekutu/rekan dekat keluarga Marcos, dari lembaga-lembaga keuangan pemerintah. Pinjaman itu disebut demikian sebab tidak mungkin diberikan berdasarkan peraturan bank yang normal. Karena pemberiannya atas perintah rejim yang berkuasa, maka sebutannya adalah pinjaman atas-perintah. Banyak kroni Marcos yang memperoleh pinjaman ini juga mendapat jaminan pemerintah Filipina. Jadi, ketika Marcos dan kroninya meninggalkan Filipina pada tahun 1986, pemerintah penggantinya terpaksa harus membayar sebagian besar pinjaman itu.
139
Sejak awal tahun 1990an, Komisi Presiden untuk Pemerintahan Bersih (PCGG) yang dibentuk selama masa Presiden Aquino untuk menemukan kembali harta Marcos yang tidak halal telah mengajukan pada OMB 27 kasus pinjaman atas-perintah terhadap mantan pejabat negara dan pembantu dekat rejim Marcos. Pinjaman-pinjaman ini melibatkan sebagian dari skandal keuangan terbesar29 yang terjadi selama masa Marcos, termasuk kasus pungutan kelapa sejumlah lebih dari P800 juta terhadap kroni Marcos, Eduardo Danding Cojuangco, Jr., 30 dan kasus penyelewengan sejumlah P65,5 milyar terhadap kroni lainnya, Herminio Disini.31 Sekalipun demikian, secara mengagetkan Desierto menolak kasus-kasus itu, satu demi satu. Dalam penolakannya, Desierto berargumentasi bahwa apa yang disebut masa penentuan atau jangka waktu yang ditentukan untuk pengajuan tuntutan yang, menurutnya, 10 tahun dari saat kejahatan dilakukan sudah lewat. Tetapi dalam bulan Nopember 1999, Mahkamah Agung Filipina di bawah Hakim Agung Hilario Davide mengeluarkan keputusan mayoritas yang secara efektif tidak mengakui putusan Desierto.32 Bertindak atas dasar banding yang diajukan oleh PCGG, Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa masa penentuan belum lewat dalam kasus-kasus pinjaman atas-perintah ini, sebab jangka 10 tahun itu harus dihitung dari saat perbuatan kejahatan ditemukan, bukan saat dilakukan. Menurut Pengadilan, pemerintah tidak mungkin telah mengetahui transaksi-transaksi gelap pada saat dilakukannya karena para pejabat negara yang bersangkutan bekerjasama atau berkomplot dengan para penerima pinjaman ini.33 Pengadilan selanjutnya mencela Desierto yang jelas bertindak dengan menyalahgunakan pertimbangan dalam menolak kasus-kasus semacam itu, dan memerintahkan OMB agar meneruskan penyelidikan awal pinjaman-pinjaman atas-perintah itu. Akibat keseluruhan kontroversi mengenai Desierto ini telah semakin menurunkan kepercayaan pada kemampuan Kantor Ombudsman untuk mengecek pelanggaran dalam pemerintahan.
"Stuck with a loser, Philippine Daily Inquirer Internet edition, 29 October 1999; http://www.inquirer.net. Pungutan kelapa adalah sebutan pajak yang dikenakan atas penanam dan petani kelapa oleh pemerintah Marcos. Dana pungutan itu dimaksudkan untuk mendukung industri kelapa. Tetapi dana ini tidak pernah menuju sasaran penggunaannya, malah diselewengkan oleh sekutu Marcos ke bisnis-bisnis mereka sendiri. Eduardo Cojuangco Jr., salah seorang kroni Marcos, dituduh telah mengalihkan sekitar P840,79 juta dari dana tersebut ke perusahaannya sendiri, Agricultural Investor Inc. (AII) pada tahun 1974. Lihat Donna S. Cueto, Ombudsman Asks SC to uphold him, Philippine Daily Inquirer Internet edition, 4 August 1999; http://www.inquirer.net. 31 Stuck with a loser, Philippine Daily Inquirer Internet edition, 29 October 1999 32 Mahkamah Agung membuat keputusan tentang kasus yang diajukan oleh Komisi Presiden tentang Pemerintahan Bersih (PCGG) terhadap Pacifico Marcos, saudara lelaki almarhum diktatur Ferdinand Marcos, dan Eduardo Romualdez, paman Imelda Marcos, serta para pejabat tinggi Bank Pembangunan Filipina (DBP), sebuah lembaga keuangan milik pemerintah. Kasus ini berasal dari empat pinjaman berjumlah P270 juta, yang diberikan oleh DBP pada tahun 1960, 1969, 1975 dan 1978, pada Philippine Seeds Inc. (PSI) tanpa jaminan dan modal yang cukup. PSI waktu dimiliki bersama oleh Marcos dan Romualdez. 33 "Stuck with a loser, Philippine Daily Inquirer Internet edition, 29 October 1999.
30
29
140
Dengan latar belakang ini, telah timbul kekhawatiran akan kapasitas OMB untuk menuntut mantan Presiden Joseph Estrada dengan berhasil. Mantan Presiden Filipina ini kini sedang diadili di Sandiganbayan, atas tuduhan sumpah palsu, penyelewengan dan penjarahan. Secara jujur, Kantor Ombudsman telah menunjukkan semangat luar biasa dalam menangani kasus-kasus terhadap Estrada. Ombudsman Desierto menjadi jaksa ketua untuk perkara ini, dan ia telah mengerahkan sebagian besar sumberdaya OMB bagi pengadilannya. Namun, apakah OMB akan mampu menyelesaikan tugas bersejarah ini, masih harus disaksikan. Jika Desierto melaksanakannya dengan cara terpuji, ia akan banyak menyelamatkan reputasi OMB, tepat memasuki tahun 2002, ketika seorang ombudsman baru akan diangkat. Sementara itu, sebagian besar warga Filipina memusatkan perhatian pada pengadilan yang belum pernah terjadi ini, yang hasilnya akan menimbulkan dampak mendasar pada masyarakat Filipina dalam tahun-tahun mendatang.
141
Masa jabatan tetap bagi ombudsman, tanpa kemungkinan pengangkatan kembali; Prosedur khusus untuk pemberhentiannya, dalam hal ini hanya melalui pendakwaan, dan atas dasar alasan-alasan tertentu; dan Kualifikasi mengenai siapa yang bisa diangkat untuk memegang jabatan ini. Di samping itu, melalui berbagai peraturan terkait, Kantor Ombudsman diberi kekuasaankekuasaan yang cukup untuk menyelidiki segala bentuk pelanggaran karena jabatan dalam pemerintahan, dan untuk menuntut para pejabat dan pegawai negeri yang membuat kesalahan perdata, pidana dan administratif. Di bawah kepemimpinan yang kompeten, efektif, tekun dan berorientasi reformasi, sebuah badan konstitusional seperti OMB bisa mengendalikan semua kekuasaan dan pencegahan ini, untuk membuat langkah-langkah penting dalam perang melawan korupsi. 2. Di luar ketentuan-ketentuan konstitusi ini, pengalaman Filipina telah menunjukkan bahwa tindakan-tindakan penting masih perlu dilakukan guna menjamin agar badan itu akan mampu memenuhi mandatnya secara efektif. Berikut adalah beberapa tindakan termaksud: a) Proses pengangkatan atau seleksi yang transparan dan bisa dipertanggung-jawabkan Proses yang meliputi pemilihan ombudsman harus dibuat sejauh mungkin transparan dan bisa dipertanggung-jawabkan. Juga harus ada cukup pencegahan dalam proses itu guna memastikan agar hanya mereka yang paling memenuhi syarat, bisa dipertimbangkan untuk jabatan itu. Di Filipina, presiden mengangkat ombudsman dari daftar para calon yang diajukan oleh Dewan Peradilan dan Hukum (JBC), dewan yang juga menyaring para pemohon jabatan peradilan. Tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Agung Filipina sendiri, proses pengangkatan pejabat peradilan telah dikritik karena gagal menyaring secara efektif mereka yang kurang memenuhi syarat.34 Pengamatan yang sama bisa dilakukan terhadap pengangkatan ombudsman. Walaupun para perumus Konstitusi Filipina 1987 menyadari perlunya mempertahankan proses yang bebas dari pertimbangan politik, tampaknya tidaklah demikian yang terjadi. Ada dugaan, misalnya, bahwa latar belakang ombudsman yang sekarang sebagai mantan jaksa militer memainkan peran penting
34
Mahkamah Agung, Action Program for Judicial Reform, 2001-2006, May 2001, hal. 7.
142
ketika ia ditunjuk oleh Presiden Ramos, yang juga mantan orang militer, untuk memegang jabatan itu.35 Ramos pada waktu itu menunjukkan kecondongan besar untuk mengangkat para pensiunan jendral dan tenaga militer ke berbagai posisi sipil yang penting, sehingga mendorong para pengkritik untuk mengecam langkah ini sebagai militerisasi pemerintahan. Tiadanya transparansi dalam seleksi dan pengangkatan seorang ombudsman bisa menjadi sangat mahal bagi suatu bangsa, terutama jika ombudsman itu oleh konstitusi diberi masa jabatan tetap, seperti halnya dengan Filipina. Bila tidak ada ketentuan-ketentuan yang tegas bagi pemberhentian seorang ombudsman dari jabatannya, dan bila rakyat tidak bisa melaksanakan opsi pemilihan ini dengan waspada, pilihan buruk bagi ombudsman dapat menimbulkan banyak kerugian terhadap pemenuhan tugas membangun lembaga-lembaga demokratis. Jadi, sangatlah penting untuk memastikan agar proses seleksi dan pengangkatan ombudsman menjadi transparan dan bisa dipertanggung-jawabkan, mulai dari awal. b) Orang yang akan menduduki jabatan ombudsman haruslah pribadi yang punya integritas dan kejujurannya tidak diragukan, dan harus menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk melaksanakan mandat jabatannya, bahkan dalam kasus-kasus yang melibatkan penguasa yang berhak mengangkat. Secara teori, ketentuan-ketentuan konstitusi seperti masa jabatan tetap seharusnya lebih mempertahankan kemandirian ombudsman terhadap penguasa yang berhak mengangkat. Tetapi dalam sistem-sistem politik yang berdasarkan tokoh pelindung seperti di Filipina, hal ini tidak selalu demikian. Sekalipun sudah ada masa jabatan tetap, ombudsman masih bisa merasa berhutang pada pengangkatnya. Ini mungkin terjadi melalui apa yang bisa kita sebut dosa kelalaian, di mana ombudsman membiarkan saja berbagai kasus atau kontroversi yang dapat menimbulkan pandangan buruk terhadap penguasa yang berhak mengangkat, partai politik yang berkuasa atau sekutu dekat mereka. Di Filipina, misalnya, selama masa jabatan Presiden Ramos, beberapa skandal yang menyangkut pemberian kontrak pekerjaan umum atau penjualan aset negara pada perusahaan-perusahaan
35 Agar supaya pengangkatan ombudsman berikutnya lebih transparan, beberapa kelompok masyarakat madani di Filipina telah tampil dengan usul-usul: a) Dewan Peradilan dan Hukum (JBC) harus memberitahu masyarakat, kriteria yang akan dipakai untuk seleksi para calon, dan nama-nama serta latar belakang para calon tersebut; b) JBC harus mengadakan dengar pendapat di mana pihak terkait yang bisa mengemukakan alasan kenapa calon tertentu sebaiknya tidak diangkat menjadi Ombudsman, akan diberi kesempatan luas; c) para anggota JBC sendiri, yang juga akan diangkat oleh Presiden, haruslah orang-orang yang integritasnya tak diragukan. Wakil sektor swasta dalam JBC seyogyanya berasal dari, dan harus memiliki catatan pengabdian tanpa cacat terhadap, masyarakat madani.
143
terpilih, diduga telah menguntungkan baik Presiden maupun partai LA.KAS yang berkuasa. Tetapi Kantor Ombudsman tidak mencampuri kasus-kasus ini, atau dengan mudah membebaskan mereka yang dituduh termasuk mantan Presiden Ramos dalam sebuah kasus, yaitu skandal Centennial Expo36 sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa Ombudsman Desierto masih tetap merasa berhutang pada pengangkatnya. Hal ini menunjukkan amat pentingnya memiliki seorang ombudsman yang tidak hanya integritasnya tak diragukan, tetapi juga bakal berkemauan politik untuk mengejar para pejabat negara yang korup, walaupun mereka mungkin ternyata dikenali sebagai pimpinan politik yang berkuasa. c) Pencegahan dalam rancangan kelembagaan Kantor Ombudsman untuk memperkuat kemandiriannya terhadap penguasa yang berhak mengangkat. Selain memiliki seorang yang tidak korup sebagai pemimpin, mungkin berguna juga untuk mempertimbangkan susunan kelembagaan OMB yang bisa mendukung kemandiriannya terhadap penguasa pengangkatnya. Di Filipina, telah disarankan agar OMB dijadikan sebuah badan kolegial, yang membuatnya tidak hanya mempunyai satu ombudsman tetapi akan ada tiga atau empat orang, ditambah beberapa wakil. Disebutkannya bahwa badan kolegial mengurangi kesempatan bagi kantor ini untuk menjadi terikat pada penguasa pengangkat, dibanding dengan kantor yang berpemimpin ombudsman tunggal. Susunan ini pun sekaligus membuat kantor yang disarankan itu lebih efektif dan efisien. Di Filipina, misalnya, semua resolusi (yakni tindakan-tindakan yang akan diambil oleh ombudsman terhadap keluhan tertentu) mengenai kasus-kasus yang melibatkan para pejabat tinggi negara, harus mendapat persetujuan Ombudsman Desierto. Karena kantor ini menerima sekitar 8.000 sampai 10.000 kasus setahun, ditambah ribuan kasus belum tertangani dari tahun sebelumnya, maka mudah dipahami betapa proses ini bisa macet sekali. Sebuah badan kolegial ombudsman, dengan anggota-anggota yang akan menangani berbagai kasus para pejabat tinggi secara terpisah, bisa sangat mempercepat penyelesaian kasus-kasus yang diajukan ke kantornya.
36 Skandal ini menyangkut pembangunan sebuah taman besar di Clark Airbase, Pampanga, sebagai monumen tema peringatan 100 tahun Revolusi Filipina. Penyelidikan oleh Blue Ribbon Committee Senat mengungkapkan bahwa jumlah biaya proyek meningkat beberapa kali lipat dan akhirnya mencapai 9 milyar pesos. Demikian pula, Senat menemukan beberapa kontrak untuk proyek itu yang tidak bermanfaat bagi pemerintah. Presiden Ramos dikaitkan dalam skandal itu karena ia menjadi penguasa tertinggi yang menyetujui proyek tersebut waktu itu. Lihat Amado Mendoza, The Industrial Anatomy of Corruption: Government Procurement, Bidding and Award of Contracts, dalam Studies on Transparent and Accountable Governance; http://www.tag.org.ph.
144
d) Kantor Ombudsman harus memiliki sumberdaya hukum, penyelidikan, penuntutan, keuangan dan manusia yang cukup untuk melaksanakan pekerjaannya. Perbandingan jumlah pakar hukum (31 persen) terhadap tenaga non-ahli di Kantor Ombudsman Filipina merupakan indikator kuat tentang kesulitan yang dihadapi oleh kantor ini dalam melakukan pekerjaannya. Karena sebagian besar fungsinya meliputi penyelidikan dan penuntutan para pejabat yang berbuat salah, OMB harus dibekali dengan kemampuan hukum yang sebaik mungkin untuk melaksanakan tugas semacam itu. Sayangnya, OMB tidak bisa menarik para ahli hukum yang berbakat dan berdedikasi ke dalam jajarannya sebab gaji di sektor publik pada umumnya rendah. Dengan demikian, sistem-sistem politik yang mempertimbangkan pendirian Kantor Ombudsman harus juga siap untuk melakukan penanaman sumberdaya manusia, keuangan dan intelektual yang disyaratkan bagi kantor ini agar mampu melaksanakan mandatnya secara efektif dan efisien. Hal ini bisa berarti, antara lain, menawarkan gaji kompetitif, dan menjamin agar kantor ini mampu membangun reputasi tak tercela guna menarik tenaga yang paling baik, cemerlang dan berdedikasi. 3. Komponen-komponen lain yang dirancang untuk memantapkan pelaksanaan akuntabilitas dalam penyelenggaraan jabatan negara harus bekerja secara efektif pula. Di luar OMB, adalah penting bagi lembaga-lembaga lainnya untuk ikut memantapkan pelaksanaan akuntabilitas dalam penyelenggaraan jabatan negara, untuk berfungsi secara efektif dan efisien pula. Lembaga-lembaga itu meliputi pengadilan-pengadilan anti penyelewengan, komisi-komisi yang ditugaskan untuk memeriksa belanja pemerintah, komisi-komisi pegawai negeri, para ombudsman di berbagai instansi pemerintah, dan banyak lagi lainnya. Suatu sistem pengadilan yang macet, misalnya, di mana kasus-kasus korupsi para pejabat tinggi tidak mencapai penyelesaian apapun, dapat mengikis kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga suatu negara dengan cara yang sama merusaknya, seperti halnya ombudsman yang tidak efektif. Demikian juga, media memainkan peran khusus dalam mengecek pelanggaran dalam pemerintahan. Hal ini terutama berlaku di negara-negara berkembang, di mana berbagai lembaga dan proses politik untuk meningkatkan pelaksanaan akuntabilitas masih sangat rapuh. Di Filipina, misalnya, proses yang mengarah pada pengadilan pendakwaan bersejarah dan akhirnya penurunan mantan Presiden Joseph Estrada, tidak akan pernah terjadi tanpa kerja keras yang dilakukan sebelumnya oleh sekelompok jurnalis dari Pusat Jurnalisme Penyelidik Filipina (PCIJ). Melalui pembongkaran mereka atas kekayaan Estrada yang patut dipertanyakan dan perdagangan gelap
145
yang berlangsung di Istana Malacanang, tempat kekuasaan pemerintah, rakyat pun terpanggil untuk melancarkan protes yang akhirnya semakin meluas dan menumbangkan Estrada dari kepresidenan. Sebagai penutup, masyarakat madani tidak cuma harus tetap waspada dalam mengungkap para pejabat yang berbuat salah dan korup. Lebih penting lagi, masyarakat harus melaksanakan reformasi yang lebih luas untuk merubah sistem-sistem politik yang dibangun atas dasar tokoh pelindung dan kroniisme, menjadi sistem pemerintahan yang bersih. Akhirnya, akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan jabatan negara hanya akan berkembang dalam suatu sistem politik yang memberi dukungan kelembagaan dan menimbulkan dorongan semangat masyarakat ke arah itu.
146
Annex A:
B iro Ko ordinasi M asyarakat O m bu dsm an No n-O rgan ik S ete m p at W akil O m bu dsm an un tu k Luzon O M B Un it P e nce ga han Korup si & Un it 'G raftw atch' B ag ian E va luasi & In ve stigasi
O m bu dsm an No n-O rgan ik S ete m p at W akil O m bu dsm an un tuk Urusa n M iliter W akil Ja ksa
B agian Ad m inistra si
147
dijadikan pelajaran bahwa transparansi dan integritas pemerintah memang sudah tidak memadai lagi dihadirkan melalui lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen, parpol, Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan lembaga peradilan, yang dalam hal ini disebabkan oleh dua hal yakni integritas lembaga-lembaga itu sendiri dan lemahnya legitimasi partisipasi masyarakat dalam institusi-institusi demokrasi tersebut. Jika disepakati konsep good governance tata pemerintahan yang baik berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan disemua level di dalam negara (DPR, eksekutif, yudikatif, militer), masyarakat madani (LSM, pers, organisasi profesi, gereja, pesantren) dan sektor swasta (perusahaan, lembaga keuangan). Maka tata pemerintahan yang baik hanya dimungkinkan kalau ada keseimbangan hubungan yang sehat antara negara, masyarakat dan sektor swasta, tidak boleh ada ada aktor kelembagaan di dalam GG yang mempunyai kontrol yang absolut. Dalam pandangan ini korupsi terjadi karena tidak ada keseimbangan hubungan antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Maka untuk menghindari korupsi, hubungan negara, civil society dan sektor swasta harus dilandasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Pada dasarnya lembaga ombudsman dapat dipandang sebagai upaya untuk memperkuat dan melembagakan kontrol sosial di dalam pemerintahan. Maka guna memperkuatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan atau pengawasan, diperlukan sejumlah reformasi konstitusi, yang di sini paling penting adalah perlindungan hukum hak rakyat untuk mengakses informasi dan perlindungan hak masyarakat untuk mengontrol penyelenggaraan negara harus mendapat jaminan dalam konstitusi agar menjadi norma dalam penyelenggaraan negara. Kebebasan untuk memperoleh informasi dan perlindungan terhadap hak kontrol masyarakat sangat vital untuk memberdayakan partisipasi masyarakat dalam membasmi korupsi. Dalam hal ini masyarakat diberi hak hukum untuk mengakses dokumen-dokumen pemerintah, dan sebaliknya pemerintah berkewajiban untuk bertindak secara terbuka dalam setiap pengambilan keputusan publik dan menyediakan informasi dengan bebas bagi umum maupun individu. Rapatrapat di DPR dan ruang pengadilan harus terbuka untuk umum. Pada prinsipnya tidak boleh ada informasi yang dirhasiakan di dalam pemerintahan, meskipun kekecualian dapat ditolelir untuk alasan tertentu misalnya karena alasan keamanan politik informasi dapat diembargo untuk waktu tertentu. Hanya harus diatur secara jelas katagori informasi macam apa yang boleh dirahasiakan sementara untuk batas waktu tertentu.
149
Hak untuk tahu terhadap setiap pengambilan keputusan publik memberi landasan bagi publik untuk melakukan peninjauan dan pengaduan, yang dalam hal ini merupakan tuntutan terhadap akuntabilitas dari pemerintah. Lembaga penerima pengaduan masyarakat semacam ombudsman akan sangat efektif dibawah jaminan hak atas informasi tersebut, untuk menangani pengaduan atau keluhan-keluhan masyarakat, khususnya mengenai praktik ketidakadilan administrasi (maladministration) meliputi keputusan-keputusan atau tindakan pejabat publik yang ganjil (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/ illegitimate), penyalahgunaan kekuasaan (abuses of power) atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay) atau pelanggaran kepatutan (equity). Fungsi ombudsman dalam perkembangannya semakin diperluas, meliputi penyelidikan dan pengawasan terhadap sistem administrasi guna memastikan bahwa sistem-sistem tersebut membatasi korupsi sampai tingkat minimum. Lembaga ini juga merekomendasikan perbaikan terhadap prosedur, praktek dan sistem guna meningkatkan mutu pelayanan masyarakat. Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (20 Maret 2000) telah dibentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON), yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya tuntutan akan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN, kualitas demokrasi dan hak asasi manusia di satu sisi, serta semakin tidak efektifnya pemerintahan di sisi lain. Masyarakat tidak lagi mentoleransi segala bentuk penyimpangan kepercayaan publik (abuse of public trust) dan semakin menuntut tanggungjawab dan transparansi dari pejabat publik. Mandat Ombudsman di Indonesia mengacu pada Keppres No. 44 Tahun 2000 yang menjadi landasan pembentukan ombudsman, peran ombudsman diarahkan untuk mencegah penguasa menyalahgunakan wewenang (abuse of power) atau menyalahkan diskresinya dan membantu mereka menjalankan kinerja secara efektif dan efisien, serta mendorong penyelenggara negara menjalankan prinsipprinsip akuntabilitas, transparan dan jujur. Pada prinsipnya ada dua mandat ombudsman yang penting, yaitu 1. Mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan umum yang berkualitas dan efisien, penyelenggaraan peradilan yang adil, tidak memihak dan jujur; 2. Meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan, kesejahteraan dan dalam mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak. Rekomendasi-rekomendasi ombudsman bukan merupakan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum, tetapi lebih merupakan Magistrate of Influence (Mahkamah Pemberi Pengaruh).
150
Karena itu efektifitas lembaga ombudsman sangat ditentukan sejauhmana adan kemauan politik dan ketulusan dari pejabat publik untuk mentaati asas, hukum sistem dan keinginan untuk memperbaiki diri. Kualitas dan bobot rekomendasi yang diberikan ombudsman dan persuasi, juga memegang peranan penting. Tetapi di samping kekuatan ombudsman di banyak negara, seperti di Australia, terletak pada kewajiban akuntabilitas pejabat publik yang dalam undangundang hak memperoleh informasi. Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) juga merupakan suatu langkah nyata dalam menciptakan taransparansi diambil pemerintah dalam menciptakan transparansi pemerintahan sebagai bagian dalam strategi preventif pemberantasan korupsi. Efektifitas KPKPN ini masih diragukan karena kewenangannya sangat lemah dan mendapat resistensi dari kalangan DPR sendiri. Semestinya hal ini menjadi salah satu leadership code yang diatur di dalam konstitusi. Hanya harus diingat, mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN dalam situasi korupsi yang sudah sistemik, dimana seluruh pilar negara telah dirasuki karat korupsi, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secara partial. Harus ada perubahan konstitusi untuk melahirkan masyarakat politik dan pemerintahan baru, yang tidak terkait dengan rezim lama yang korup agar terjadi pemutusan dengan masa lalu. Budaya korupsi yang diwariskan rezim Orde Baru hingga kini tidak berhasil dihentikan bahkan telah mengalami revitalisasi, karena pemerintah pasca Soeharto masih belum terbebaskan dari kekuatan-kekuatan lama yang dibesarkan oleh Orde Baru dan ada kecenderungan untuk mempertahan budaya korupsi sebagai cara untuk berkuasa. Selama problem struktural korupsi itu belum terpecahkan, pertukaran uang dan kekuasaan akan senantiasa mewarnai penyelenggaraan negara.
151
152
153
154
pemerintahan, hak kebudayaan, dan hak akan adanya lembaga pengadilan yang bebas. Akan tetapi tafsir atas dasar teori original intent ini tidak selalu diterima karena pandangan hukum sempit yang hanya melihat pada ketentual tekstual. Kesadaran akan perlunya jaminan hak asasi manusia dan kebebasan yang lebih luas sesungguhnya sangat kuat. Dalam perjalanan sejarah negeri ini kita mencatat bahwa pernah ada konstitusi yaitu Konstitusi RIS (UUD 1949) dan Konstitusi Sementara (UUD 1950) yang sudah memuat sangat komprehensif jaminan hak asasi dan kebebasan yang secara umum dapat ditafsirkan sebagai adopsi dari pasal-pasal hak asasi manusia yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (1948). Dalam kedua konstitusi tersebut pikiran-pikiran demokratis unggul, dan selanjutnya kita melihat bahwa Konstituante yang bertugas merumuskan naskah UUD baru pada kenyataannya hampir berhasil melahirkan suatu konstitusi baru yang didalamnya penuh dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dari studi konstitusional yang dilakukan oleh Adnan Buyung Nasution terbukti bahwa Konstituante telah hampir berhasil membuat rumusan-rumusan hak asasi manusia universal yang disana-sini ditambah dengan rumusan hak asasi manusia yang kontekstual dengan keanekaragaman kultur dan social Indonesia. Sayangnya hasil kerja Konstituante tersebut tidak bisa dilahirkan karena keburu Konstituante (1959) dibubarkan dan Indonesia kembali kepada UUD 45 yang jaminan hak asasi manusia dan kebebasannya sangat minimal. Dalam kurun waktu selama 40 tahun jaminan hak asasi manusia dan kebebasan di Indonesia lebih banyak tergantung kepada kebaikan hati pemerintah, dan UUD 45 diperlakukan sebagai dokumen keramat yang tak bisa dirubah apalagi diganti. Baru pada tahun 2000 kita memperoleh Perubahan Kedua UUD 45 yang dalam Bab XA terdapat 10 pasal yang mencakup cukup banyak jaminan-jaminan hak asasi manusia dan kebebasan, antara lain, hak untuk hidup, hak untuk memiliki keluarga, hak anak untuk berkembang tumbuh, hak akan kebutuhan dasar, hak untuk memajukan diri, hak akan kepastian hukum, hak akan upah layak, hak akan kesempatan yang sama, hak akan status kewarganegaraan, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan, hak akan informasi, hak akan jaminan keamanan pribadi, hak untuk tidak disiksa, dan berbagai hak lainnya. Secara umum hak-hak asasi dan kebebasan yang dijamin dalam Amandemen II UUD 45 cukup komprehensif walaupun ada satu hak sering dipermasalahkan yaitu hak untuk tidak dapat mengusut pelanggaran hak asasi manusia pada masa silam karena diperlakukannya asas non-retroaktif. Sebetulnya asas non-retroaktif juga merupakan hak asasi universal, tetapi dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat maka seharusnya ada pengecualian.
156
Perkembangan terakhir hak asasi manusia menuntut kita untuk membuat jaminan hak asasi manusia yang lebih lengkap yaitu menjamin juga hak-hak asasi lain yang sangat penting seperti hak akan lingkungan hidup yang bersih, hak akan perdamaian, hak yang bersifat gender justice, hak akan good governance, dan sebagainya. Nampaknya kita masih belum sampai pada tingkatan itu walau kalau kita tilik peraturan perundangan kita maka banyak hak asasi manusia yang sudah dijamin dalam berbagai produk perundangan seperti UU Lingkungan Hidup, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Konsumen. Tetapi persoalan kita adalah bagaimana membuat hak-hak asasi manusia itu tidak sekedar legal rights tetapi justru menjadi guaranteed constitutional rights. Sekarang ini tengah berkembang wacana tentang Komisi Konstitusi, dan momentum ini akan dapat dipergunakan untuk mendorong kembali pembuatan konstitusi baru yang akan menjamin hak asasi manusia secara lebih lengkap. Dalam konteks inilah kita harus belajar dari konstitusikonstitusi negara lain. Untuk konteks Indonesia mungkin kita perlu mempelajari Konstitusi Filipina dan Konstitusi Thailand yang substansi hak asasi manusia dan kebebasan sangat kuat. Kalau konstitusi Indonesia bisa sama seperti konstitusi Filipina dan konstitusi Thailand maka rakyat Indonesia akan sangat terbantu dalam menjalankan peran kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka dalam membangun dan memperkuat demokrasi, rule of law dan keadilan sosial. Konstitusi baru Filipina dilahirkan pada tahun 1986 pada masa pemerintahan Presiden Cory Aquino. Kalau kita membaca Konstitusi Filipina yang terdiri dari 18 bab dan lebih dari 100 pasal maka kita akan melihat bahwa UUD 45 termasuk Amandemen I dan Amandemen II belumlah memadai. Konstitusi Filipina ini amat sarat dengan jaminan hak asasi manusia sehingga disebut sebagai the human rigts constitution. Setidaknya ada dua bab, bab III dan bab XIII yang secara komprehensif memuat pasal-pasal mengenai hak asasi manusia. Pada bab III kita menemukan ada 22 pasal hak asasi manusia, sedangkan pada bab XIII kita melihat 19 pasal mengenai hak asasi manusia yang berfokus pada hak-hak ekonomi, sosial, perempuan, buruh, kesehatan, dan dasar konstitusional dari Komisi Hak Asasi Manusia. Cakupan hak asasi bab III lebih kepada hak-hak sipil dan politik yang sebagian besar merupakan inalienable and inviolable rights. Konstitusi Thailand yang dilahirkan pada tahun 1997 oleh ahli hukum Vitit Munthaborn harus dilihat sebagai konstitusi yang nyaris sempurna dalam aturan mengenai checks and balances. Namun demikian jika kita membaca secara teliti maka konstitusi Thailand ini pun sangat sarat dengan jaminan hak asasi manusia dan kebebasan. Dalam bab III yang mengatur tentang Rights and Liberties of the Thai People kita dapat menemukan sekitar 40 pasal hak asasi manusia yang sangat komprehensif mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Rumusan pasal-pasal hak asasi manusia dalam bab ini terlihat dibuat seluas mungkin sehingga tak akan
157
menimbulkan banyak kesalah pahaman. Bab III ini ditambah pula dengan bab VI bagian 8 yang khusus mengatur mengenai Komisi Hak Asasi Manusia yang tugasnya memonitor dan meningkatkan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Dalam membuat konstitusi baru kita perlu belajar banyak dari pengalaman negara tetangga kita Filipina dan Thailand meski kita tak perlu membatasi diri hanya kepada kedua negara tetangga tersebut. Berbagai dokumen hak asasi internasional yang dilahirkan oleh PBB juga layak untuk kita kaji secara cermat. Terakhir kita telah diperkaya oleh The Charter of Fundamental Rights of the European Union yang dilahirkan pada tanggal 7 Desember 2000. Dokumen secara cermat telah mensistematisasi hak-hak asasi fundamental yang penting bagi setiap manusia. Perkembangan hak asasi yang begitu pesat dalam setengah abad terakhir ini akan memberikan kepada kita pelajaran yang sangat berharga dalam merumuskan bab hak asasi manusia dan kebebasandalam konstitusi baru yang kita semua dambakan.
158
159
Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28G 1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2. Setiap orang berhak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Pasal 28I 1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apa pun. 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
160
5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28J 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengajuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarkat demokratis.
161
Eksploitasi SDA vs. Perlindungan terhadap Masyarakat Adat1, Pelajaran Berharga untuk Perbaikan Konstitusi Indonesia
Oleh: Abdul Haris Semendawai
Pengantar
Eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber-daya alam,2 yang dilakukan selama ini, telah mengalienasi masyarakat adat dari sumber daya alam yang telah mereka kuasai dan kelola selama berabad-abad, yang berdampak pada terlanggarnya, bukan hanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat, tetapi juga sekaligus telah menjadikan mereka sebagai korban pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik. Pengambil-alihan SDA ini terjadi karena beberapa faktor antara lain: Kebijakan ekonomi Indonesia yang didasarkan pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah untuk mengeksploitasi SDA di Indonesia sebagai sumber pendapatan nasional. Kebijakan ini didukung oleh sistem politik yang sentralistik yang mengalihkan otoritas atas penentuan dan penggunaan SDA di seluruh Indonesia ke tangan Pemerintahan Pusat. Dan proses ini di support secara penuh oleh mesin-mesin birokrasi, partai-politik pada saat itu, lembaga peradilan, coercion apparatus, sehingga proses berjalan mulus. Untuk memberikan legitimasi yuridis atas tindakannya tersebut, pemerintah pusat menafsirkan sejumlah pasal-pasal yang terdapat di dalam UUD 45, UU yang sudah ada atau secara sistematis menciptakan peraturan-peraturan yang akan memperkuat posisi pemerintah, melemahkan posisi masyarakat adat3 dan sekaligus menghancurkan legitimasi masyarakat adat untuk mempertahankan hak-hak yang mereka miliki.
Salah-satu definisi masyarakat adat adalah yang telah dirumuskan oleh Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di dalam lokakarya yang diselenggarakan pada tahun 1993 dan telah pula disepakati dan diadopsi oleh Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999, yaitu: kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. IWGIA-Institute Dayakology, Masyarakat Adat di Dunia Eksistensi dan Perjuangannya, 2001, hal. 23. 2 Sumber Daya Alam yang dimaksukan disini adalah tanah, hutan, laut maupun tambang. 3 Bab VI Pasal 18 UUD 1945 oleh beberapa pihak dianggap sebagai pengakuan masyarakat adat secara konstitusional. Hal ini secara lebih jelas terlihat pada penjelasannya yang berbunyi sebagai-berikut: Dalam teritori Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minang Kabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. (Dicuplik dari Anto Sangaji, Negara, Masyarakat Adat dan Konflik Ruang, Bogor: JKPP, 1999), hal. 8.
162
Oleh karena itu usulan perubahan konstitusi sekarang ini, harus ditujukan untuk mencabut sejumlah peraturan yang telah meminggirkan peran masyarakat adat dan memasukkan pasalpasal yang potensial dapat memberikan perlindungan bagi kepentingan mereka. Sebelum sampai pada rekomendasi mengenai ketentuan yang seharusnya diakomodasi oleh konstitusi kita yang baru, maka terlebih dahulu harus ditinjau peraturan-peraturan yang selama ini telah dijadikan dasar legitimasi dan mendukung kelancaran usaha untuk mengambil-alih dan mengekploitasi SDA masyarakat adat. Kemudian perlu dikemukakan pula upaya telah dilakukan oleh sejumlah kelompok masyarakat untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat. Terakhir adalah lebih merinci hak-hak yang harus dicantumkan di dalam konstitusi baru, sehingga pelanggaran hak-hak masyarakat adat dapat diakhiri dan diminimalisir. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan hal-hal tersebut lebih lanjut. Hukum yang telah berfungsi meminggirkan Masyarakat Adat Membicarakan hak-hak masyarakat adat adalah cerita tentang pelanggaran hak, karena sepanjang praktek yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengambil-alih SDA dengan mengatas-namakan pembangunan dan kemakmuran rakyat sekaligus merupakan gambaran ironis diabaikannya bahkan cenderung tidak di-akuinya hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat. Hal ini dapat dibuktikan dari penafsiran yang dilakukan oleh pemerintah atas sejumlah peraturan dan dikeluarkannya sejumlah kebijakan seperti:
Maria R. Ruwiastuti, Noer Fauzi, Dianto Bachriadi, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah (Jakarta: KPA;INPIPact, 1997), hal. 96-98.
163
Ketiga, wewenang yang bersumber dari HMN ini harus digunakan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Keempat, HMN tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Prakteknya pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijadikan senjata oleh pemerintah untuk menghentikan (membungkam) protes-protes masyarakat adat yang tersingkir dari tanah-tanah mereka dan hakhak adatnya dilanggar5. Konsep HMN ini dianggap memiliki pengertian yang berbeda dengan konsep Domein van den staat. Dalam konsep Domein van den staat, masyarakat adat di Hindia Belanda dipersilakan terlebih dahulu menentukan tanah-tanah yang mereka kuasai atau punyai. Dalam Domein Verklaring 1870, kekuasaan negara dibatasi, sebab ia hanya boleh memiliki sumber-sumber agraria yang tidak bertuan.6 Sedangkan Politik Hukum Agraria Nasional menempatkan negara sebagai pangkal dari hak atas sumber-sumber agraria,7 sehingga dapat dikatakan kekuasaan negara menjadi tidak terbatas.
5 6
Ibid. Algemene Domein Verklaring yang termuat dalam pasal 1 agrarish Besluit 1870: 118 berbunyi sebagai berikut: dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendom-nya, adalah domein negara. Sementara itu untuk daerahdaerah luar Jawa-Madura berlaku Special Domein Verklaring yang termuat dalam berbagai Peraturan Pemberian Hak Erfpact 1875, 1877, 1888 yang berbunyi sebagai berikut: semua tanah kosong dibawah pemerintahan adalah domein negara kecuali yang diusahakan oleh penduduk asli dengan hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada Pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya. Dikutip dari Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, dalam Maria R. Ruwiastuti dkk., hal. 40-42. 7 Penjelasan Umum II (2) UUPA 1960 yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut: Adapun Kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki seseorang maupun tidak 8 Ruwiastuti dkk.
164
Menurut Ter Haar Bzn, Hak Ulayat tersebut memiliki ciri-ciri sebagai-berikut: pertama: bukan hak yang dipunyai orang perorang melainkan hak dari persekutuan desa atau marga; kedua: meliputi tanah-tanah yang belum dibudi-dayakan, termasuk disitu adalah hak-hak untuk berburu binatang liar, memetik hasil hutan, mengambil untuk memiliki pohon-pohon dalam hutan dan membuka tanah; ketiga, pengaturannya berada di bawah kekuasaan seorang kepala adat; keempat: kalaupun kemudian terjadi penguasaan perorangan yang semakin erat akibat pengerjaan tanah terus-menerus, hak itu tidak dapat dialihkan kepada orang luar persekutuan. Namun pengertian Hak Ulayat seperti termaksud di atas tidak pernah secara tegas diakui. Dan ketidak-tegasan batasan ini dalam praktek telah dimanfaatkan oleh aparatus pemerintah antara lain Badan Pertanahan Nasional untuk membuat tafsiran seluas-luasnya sesuai dengan kebutuhan. Lebih lanjut hak ulayat tersebut kemudian dinegasikan oleh Penjelasan Umum II (3) UUPA 1960 yang menyatakan: pada dasarnya Hak Ulayat itu akan diperhatikan sepanjang hak tersebut menurut kenyataan masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya, di dalam pemberian suatu hak atas tanah (umpanya HGU), masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang Hak Ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan Hak Ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian HGU itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan Hak Ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula bahwa pembangunan daerah itu seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai Hak Ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua daripada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Dengan demikian lengkap sudah legitimasi yang dapat digunakan untuk menghancurkan hak masyarakat adat tersebut. Karena yang memiliki otoritas untuk menentukan hak tersebut masih ada atau tidak, sepenuhnya berada ditangan pemerintah. Kalaupun hak tersebut dinyatakan masih ada, masyarakat adat tidak boleh menolak penggambil-alihan tanah tersebut untuk kepentingan yang lebih luas. Dan rumusan kepentingan yang lebih luas atau kemakmuran rakyat juga ditentukan oleh pemerintah.
165
Tak heran apabila diberbagai daerah marak terjadi sengketa yang melibatkan masyarakat adat sebagai korbannya. Paling tidak ada 3 tipe sengketa yaitu: Tipe Pertama adalah pemerintah memberikan Hak-hak atas Tanah yang baru seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) kepada Perusahaan atau Badan Hukum tertentu, di atas tanah-tanah yang secara turun temurun merupakan hak masyarakat adat setempat. Tipe Kedua, pemerintah memberikan HGB, HGU atau HPHTI di atas tanah yang semula merupakan Hak Publik dari kekuasaan feodalistik terdahulu yang secara fisik telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Tipe Ketiga, adalah pelestarian status quo pada sengketa-sengketa lama penguasaan tanah yang melibatkan masyarakat adat setempat yang tanahnya diserahkan oleh penguasa feodalistik terdahulu kepada pemodal-pemodal besar perkebunan monokultur di zaman hindia belanda9 .
Tiga tipe sengketa tanah tersebut merupakan hasil kajian atas sengketa tanah yang dialami Masyarakat Amungme, Masyarakat Adat Meto/Dawan di Desa Kuan Heun, NTT, Masyarakat di dusun Senarun Lombok Barat dll. Lihat Ruwiastuti dkk.
166
surat-surat tersebut sebagai penambang legal. Dan karena legal, maka mendapatkan perlindungan yang besar dari aparat keamanan (polisi maupun tentara) serta pemerintah daerah. Konflik tersebut bukan hanya berkisar dalam pengelolaan tambang, tetapi juga dalam hal, tanah yang terdapat atau masuk di dalam konsesi suatu kontrak karya. UU Pokok Pertambangan 1967 (UU N0. 11/1967) juga tampak lebih memihak pada investasi (modal) besar dalam soal penentuan hak atas tanah yang akan dijadikan areal pertambangan.10 Pasal 25, 26 dan 27, serta Pasal 16 ayat 2, 3, dan 4 yang mengatur soal hak atas tanah ini, tidak pernah menyatakan secara jelas hak atas tanah menurut siapa atau hukum mana yang dijadikan acuan. Pasal 16 (ayat 2, 3) hanya menegaskan soal tidak bolehnya sebuah usaha pertambangan dilakukan di wilayah-wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum (seperti wilayah tertentu untuk kepentingan umum), serta tidak meliputi areal yang memuat fasilitas publik, perkampungan berikut daerah pertaniannya, dan wilayah pertambangan lain. Meskipun demikian ayat 4 dari pasal ini juga menegaskan bahwa jika diperlukan pemindahan atas fasilitas publik, perumahan dan pekarangan, areal pertanian, serta tempat usaha pertambangan lainnya dimungkinkan setelah mendapat ijin dari Pemerintah. Pasal 26 UU No. 11/1967 menegaskan bahwa: Apabila telah didapat izin kuasa pertambangan atas suatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya. Dalam kata diwajibkan disini terkandung secara jelas sekali makna pemberian prioritas pertama diberikan kepada pemegang izin bagi kuasa pertambangan dibanding kegiatan sosial-ekonomi dari orang/kelompok lainnya di atas tanah yang akan dijadikan areal pertambangan. Dengan demikian apabila ditambah dengan ketidak-jelasan acuan tentang hak atas tanah, maka secara implisit UU No. 11/1967 menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah untuk menentukan hak yang ada atau berlaku pada sebidang tanah yang akan dijadikan areal/wilayah pertambangan. Jika sudah demikian, pemerintah bisa menjadi sewenang-wenang untuk menyatakan bahwa dalam suatu areal tanah atau dalam suatu wilayah tertentu yang hendak dijadikan areal pertambangan tidak ada satupun hak seseorang atau sekelompok orang atas tanah disitu dengan mengacu dan atau menggunakan sejumlah peraturan yang bisa mereka pilih sesuai dengan kepentingan ini, termasuk dengan menggunakan UUPA 1960 yang pada kenyataannya juga mandul serta tidak
Diskusi lebih mendalam tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada industri pertambangan dapat dilihat pada Dianto Bachriadi, Merana di Tengah Kelimpahan (Jakarta: ELSAM, 1998), hal. 106 11 Ibid., hal. 109.
167
10
mempunyai kaki-kaki peraturan yang lebih operasional, plus sangat lemah dalam mengakui tanahtanah adat.11
4. Kebijakan-kebijakan lainnya
Bahwa selain kebijakan dibidang pertanahan dan pertambangan, konsep menguasai negara tercermin juga dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Undang-Undang Pokok Kehutanan, No. 5 tahun 1967 pasal 2 menentukan ada 2 jenis hutan yakni hutan milik dan hutan negara. Yang disebut hutan milik adalah hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah-tanah hak milik orang lain; selebihnya disebut hutan negara. Dalam penjelasan umum undang-undang ini dikatakan bahwa hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dengan sendirinya termasuk hutan negara, karena hutan-hutan itu tumbuh di atas tanah hak ulayat bukan tanah-tanah hak milik orang. Bandingkan dengan pendapat Boedi Harsono yang mengatakan bahwa tanah Hak Ulayat nilainya setara dengan tanah negara. Dengan logika semacam ini maka HPH bisa diberikan di atas tanah-tanah Hak Ulayat.12 Selain kebijakan yang telah secara sengaja ditafsirkan dan dibuat, yang secara langsung meminggirkan hak-hak masyarakat adat. Terdapat pula peraturan yang lebih memberikan fasilitas bagi terlaksananya eksploitasi hak-hak masyarakat adat tersebut secara leluasa yaitu UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, prinsip penyeragaman menjadi mutlak, sesuai sifat negara kesatuan Republik Indonesia. Seluruh susunan masyarakat dan tata hukum adat dalam seluruh satuan masyarakat terkecil diseluruh Indonesia, oleh UU tersebut diintegrasikan ke dalam desa dan kelurahan berdasarkan pola yang seragam. Dengan basa-basi UU tersebut mengakui kesatuan masyarakat hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan yang masih hidup. Seperti ditegaskannya, sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan kelangsungan hidup pemerintahan, pembangunan dan ketertiban sosial.
168
menunjukkan eksistensi mereka, seperti pertemuan nasional yang diberi nama Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan pada 15-16 Maret 1999. Inti pertemuan tersebut adalah menuntut negara agar eksistensi masyarakat adat diakui. Pengakuan tersebut sekaligus harus diikuti dengan pemenuhan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat adat. Kesalahan yang terjadi dimasa lalu sedikit disadari oleh pemerintah maupun parlemen di masa pemerintahan Habibie. Oleh karena itu tuntutan masyarakat yang meruyak di era reformasi ini, diakomodasi dengan dilakukannya perubahan atas UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Permen Agraria No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Namun, meskipun beberapa bagian isinya menyinggung pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka. Secara substantif pengakuan ini belum memadai bahkan dapat dikatakan masih sangat memprihatinkan.13 Sebagai contoh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara eksplisit menyatakan: hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam hutan adat. Sedangkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga tidak menyatakan secara tegas kewenangan institusi desa atas wilayah adat. Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999 melanggar self-identification masyarakat adat, karena secara sepihak menetapkan keberadaan hak-hak ulayat masyarakat adat di daerah tertentu. Tidak puas dengan perubahan kebijakan yang belum sepenuhnya mengakui eksistensi dan mengakomodir kepentingan masyarakat adat bahkan cenderung tetap mempertahankan hegemoni negara atas masyarakat adat, maka sejumlah NGO14 menyampaikan rekomendasi atas rencana amandemen terhadap UUD 1945, pada masa sidang istimewa MPR 2000. Usulan tersebut antara lain meminta agar: Amandemen terhadap UUD 1945 harus pula menjangkau pasal 33, khususnya berkaitan dengan konsep Hak Menguasai Negara. Amandemen harus menegaskan bahwa kedaulatan atas sumber daya alam berada ditangan rakyat. Amandemen terhadap UUD 1945 juga harus meliputi pengakuan kembali dan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan kekayaan intelektual mereka, sistem kelembagaan adat dan hukum adat mereka.
Lihat Sandra Moniaga, Kata Pengantar untuk Prosiding Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara, Sekretariat AMAN 1999. 14 Lihat Pokok-pokok Pikiran Amandemen UUD 1945, yang telah disampaikan oleh Koalisi ORNOP (WALHI, ELSAM, ICEL, YBH BANTAYA, YLBHI, KPA, Bio Forum, TELAPAK, Jaring Pela, JKPP, Yayasan Tanah Merdeka) kepada PAH II MPR tahun 2000.
169
13
Tetapi perubahan kebijakan yang diharapkan belum juga terwujud. Memang terdapat penegasan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat, seperti tertuang dalam Pasal 18 B ayat 2 Amandemen UUD 1945 yang berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Namun penegasan tersebut masih belum beranjak dari pendirian yang telah tertuang di dalam sejumlah undang-undang yang telah dikemukakan di atas. Pasal tersebut mirip dengan pasal 2 ayat 22 UUD Republik Filipina yang disahkan pada 1986, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: The State Recognizes and promotes the rights of indigenous cultural communities within the framework of national unity and development.
UUD Filipina tahun 1986, juga menegaskan self-determination, namun masih terbatas untuk eksternal self-determination. Hak masyarakat adat yang lain yang terdapat di dalam draft deklarasi ini, antara-lain adalah: hak untuk menikmati secara penuh dan efektif seluruh HAM dan Kebebasan Dasar; hak untuk mengelola dan memberdayakan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka yang khas seperti sistem hukum mereka; Hak kolektif untuk hidup bebas, damai dan aman sebagai penduduk yang berbeda dan mendapat jaminan penuh terhadap genocide atau tindakan kekerasan lainnya; Hak kolektif dan hak-hak individual untuk tidak mengalami pembersihan etnis atau pemusnakan budaya termasuk mencegah dari dan perbaikan untuk: a) setiap tindakan yang bertujuan atau berpengaruh pada pencabutan integritas mereka sebagai penduduk yang berbeda; b) setiap tindakan yang bertujuan atau berpengaruh pada pencabutan hak-hak atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka; c) setiap tindakan berupa pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berpengaruh pada pelanggaran atau mengurangi hak-hak mereka, dll.
16
15
170
satu kelompok masyarakat dalam suatu negara multi etnik termasuk masyarakat adat (indigenous people), atau satu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri serta mengatur segala sumber daya miliknya untuk kepentingannya.17 Menurut Cassesse18 prinsip self-determination mengandung pengertian eksternal dan internal. Penentuan nasib sendiri bersifat ekternal terkandung pengertian hak kemerdekaan atau hak untuk menentukan nasib sendiri dan bebas dari hegemoni negara lain. Sedangkan penentuan nasib sendiri bersifat internal dalam arti hak untuk menegakkan pemerintahan sendiri secara otentik agar bebas dari rezim yang totalitarian. Berdasarkan hak itu, rakyat di wilayah yang bergantung maupun rakyat di negara yang berdaulat bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pengembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan mereka. Kata bebas tersebut mengandung dua gagasan: pertama, pilihan atas lembaga dan penguasa politik dalam negeri harus bebas dari campur tangan pihak luar; kedua, pilihan tersebut hendaknya tidak dikondisikan, dimanipulasi atau dirusak oleh penguasa mereka sendiri. Dapat dikatakan bahwa penentuan status politik nasional yang bebas mensyarakat adanya hak setiap anggota komunitas untuk memilih secara bebas dan penguasa mengimplementasikan berbagai kehendak rakyat yang sesungguhnya. Oleh karena itu penentuan nasib sendiri mensyaratkan adanya: kebebasan berpendapat, hak untuk berkumpul secara damai, kebebasan untuk berserikat, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk mengambil bagian dalam urusan publik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Apabila hak-hak individu ini diakui, maka rakyat secara keseluruhan menikmati hak untuk menentukan nasib sendiri. Apabila hak itu diinjak-injak berarti hak rakyat telah dilanggar. Karena itulah penentuan nasib sendiri secara internal merupakan sistesis dan summa dari hak sipil dan politik. Salah satu tolok ukur apakah hak untuk menentukan nasib sendiri itu diakui atau disangkal, dapat dilihat dari proses pengambilan keputusan, dilakukan secara demokratis atau tidak. Lebih jauh Cassese menyatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri secara politik juga dapat diterapkan dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Sebagaimana rakyat negara yang berdaulat berhak memilih bentuk pemerintah sendiri dan menuntut cara-cara pemilihan demokratis sehingga berbagai urusan nasional dilaksanakan demi kepentingan rakyat, rakyat juga berhak menyatakan sumber daya alam yang dimiliki bangsa itu hanya dapat dieksploitasi untuk kepentingan rakyat.
17 18
Dianto Bachriadi, hal. 21-22. Antonio Cassese, Hak Menentukan Nasib Sendiri, di dalam Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim, ed., (Jakarta: ELSAM, 2001).
171
Khusus untuk penegasan prinsip self-determination bagi masyarakat adat sebagaimana tercantum di dalam ILO Convention No. 169 on Indigenous and Tribal People. Kedaulatan negara bukan berarti negara itu yang berdaulat sehingga memiliki hak untuk menguasai, mengatur dan mengelola sumber daya alam dan kekayaan di wilayahnya. Tetapi kedaulatan negara berarti rakyat yang ada di wilayah atau teritori negara tersebut yang berdaulat, sehingga merekalah yang memiliki hak untuk menguasai, mengatur, menentukan dan mengelola sumber daya alam yang menjadi miliknya sesuai dengan hukum dan norma-norma yang mereka miliki selaku kelompok masyarakat yang berdaulat.
Kesimpulan
Perubahan konstitusi hanya akan memberikan makna apabila hak-hak sipil dan politik serta hakhak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat termasuk masyarakat adat mendapatkan perlindungan dan penghormatan dari konstitusi tersebut. Berlandaskan pengalaman selama ini yang menunjukkan bahwa posisi negara sangat kuat, menentukan segala-galanya tergambar dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada, sedangkan ruang masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya sangat sempit, hal ini berimplikasi pada terlanggarnya hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Untuk menghindari terulangnya pelanggaran hak-hak tersebut, maka perlu ditegaskan satu hak yang paling mendasar yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak ini harus ditegakkan, karena tegaknya hak ini merupakan implikasi atau cermin dari ditegakkannya hak-hak yang lain.
172
173
174
Pengantar
Saya yakin para founding fathers menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat multikultur. Namun, kesadaran ini tidak cukup eksplisit untuk dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945. Wacana yang dominan justru: desentralisasi/otonomi daerah pada masyarakat plural dianggap membahayakan ikatan negara kesatuan. Dominasi wacana ini terjadi hampir di sepanjang sejarah republik ini, terutama pertengahan 1950an dan selama Orba. Akhir-akhir ini agaknya wacana ini mengemuka kembali. Padahal: sejarah membuktikan bahwa gerakan berbasis kedaerahan di Indonesia (separatisme or partisipasi pol) justru respon terhadap sentralisasi kekuasaaan: 1950an Sulsel, Sumbar & Aceh dengan bendera ideologi menggugat sentralisasi pemerintahan Soekarno 1990an Irian, Riau, Aceh dll dengan bendera keadilan ekonomi dan politik menggugat sentralisasi pemerintahan Soeharto. Kerangka pikir bahwa otda identik dengan resiko disentegrasi, perlu dikaji ulang. Namun, bahwa pusat harus kuat (tidak harus dominan) adalah perlu. Konstitusi (UUD) 1945 terbukti tidak mampu menjamin hal ini (walaupun memang konstitusi saja tidak cukup). UUD ini telah melahirkan sistem pemerintahan yang sangat bervariatif, dari UU 5/1974 yang cenderung sentralistis sampai UU No. 22/1999 yang cenderung desentralisatif.
kebijakan negara yang mengkhianati keberadaan pluralitas agama, kultur dan bahasa. Hal ini bisa saja terjadi melalui pelarangan penggunaan bahasa kelompok minoritas di sekolah dan kantor-kantor pemerintah, penterjemahan nama-nama, dan lain-lain. 2. Agnostic liberal national state, yaitu berusaha untuk membuat keseimbangan antara nasionalitas (bangsa) dan kewarganegaraan (individu). Perlindungan konstitusi menekankan pada perlindungan individu, namun tidak menekankan perlindungan pada otonomi komunitas lokal. 3. Paritarian multinational state, yaitu konstitusi menegaskan eksistensi dari multinasionalitas dan menjamin kapasitas ekspresi dari multinasionalitas ini melalui organisasi teritorial dengan kewenangan yang luas dengan mengacu kepada identitas kultural, bahasa, historis dan ekonomis. Otonomi legislasi lokal sangat ditekankan dan aturan national terbatas pada jaminan integrasi (the exception is the national rule). Konstitusi Perancis di satu sisi dan Spanyol di sisi yang lain merupakan contoh yang menarik. Bertolak dari kekhawatiran terhadap integasi nasional, konstitusi Perancis menekankan pada jaminan terhadap hak individu, namun tidak mengakui eksistensi legal dari minoritas. Banyak penulis yang menganggap bahwa hal ini menjadi kendala penting terhadap right of difference Hal ini berbeda dengan Spanyol dan beberapa negara dengan komunitas plural lainnya. Konstitusi Kanada misalnya merumuskan statuta khusus untuk masyarakat asli (indigenous people). Konstitusi 1978 Spanyol menegaskan eksistensi nasionalitas-nasionalitas dan daerah-daerah (seperti komunitas Catalonia, Galicia dll.). Ada beberapa pasal menarik dari Konstitusi 1978 Spanyol, misal: dalam preambul dinyatakan bahwa konstitusi ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat menikmati HAMnya, tradisi dan kulturnya, serta bahasa dan institusi-institusinya. Dengan kata lain, konstitusi Spanyol tidak memandang individu terisolasi dari kelompok-kelompok sosial dimana individu itu dibesarkan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak individu harus diintegrasikan dengan perlindungan terhadap komunitas. Inilah yang menjadi basis perlindungan konstitusi terhadap otonomi komunitas lokal. Konstitusi ini tidak sekedar mengakui kebinekaan itu, tetapi juga mendorong agar kebinekaan itu mempunyai mekanisme ekspresi. Pluralisme diposisikan sangat strategis dalam klausul konstitusi. Dalam nilai demokrasi standar, pluralisme berarti kebebasan untuk berpikir, memperoleh informasi, berekspresi, berorganisasi dll. Namun dalam konstitusi ini juga digarisbawahi kebebasan beragama, bahasa dan budaya, dan oleh karena itu posisi komunitas-komunitas otonomi menjadi penting.
176
Apa itu komunitas otonom? Yaitu komunitas yang mempunyai karakteristik historis, kultural dan ekonomis. Dan otonomi ini harus diintegrasikan dengan demokrasi di tingkat komunitas lokal ini yang harus ditegaskan dalam konstitusi. Pada level praksis, permasalahan klasik yang selalu muncul adalah sejauh mana keseimbangan antara kepentingan nasional dan ekspresi komunitas lokal mampu dijaga. Pada tahap-tahap awal dalam sejarah negara itu, tuntutan masyarakat lokal untuk memperoleh otonomi semakin banyak diajukan dengan cara-cara yang semakin bersikeras. Kapasitas untuk mengelola transisi ini menjadi mutlak diperlukan. Oleh karena itu, yang diperlukan lebih dari sekedar dukungan naskah konstitusi, namun dukungan konstitusionalisme secara umum.
177
Bagaimanakah rumusan pasal-pasal dari spirit di atas perlu didiskusikan lebih lanjut. Namun, sekali lagi, pasal-pasal dalam konstitusi tidak akan pernah bermakna tanpa ditopang dengan konstitusionalisme pada lapis-lapis berikutnya.
178
Pengantar
Banyak daerah ketegangan di dunia memperoleh ketegangan itu karena adanya konflik etnis. Yang menarik diperhatikan adalah bahwa konflik terjadi di antara kelompok-kelompok yang berbeda secara etnik bukan karena orang memang berbeda-beda adanya. Sebenarnya, negaranegara multi etnik bukanlah kekecualian tetapi merupakan hal yang umum ditemukan. (Stavenhagen 1996). Perbedaan-perbedaan dalam akses kepada pencapaian hak-hal sosial, seringkali merupakan konsekuen perlakuan yang berbeda dalam suatu negara yang dilakukan oleh kelompok etnik mayoritas, menyebabkan munculnya konflik-konflik yang menggunakan kekerasan. Ketegangan timbul oleh karena adanya perbedaan antara apa yang diinginkan oleh suatu kelompok atau apa yang dianggap kelompok itu sebagai apa yang berhak didapatnya dan what yang sebenarnya mereka punyai atau dapat mereka peroleh. (Gurr 1970). Filipina juga mengalami konflik internal. Di bagian selatan negeri ini terletak daerah-daerah Mindanao, Sulu dan Palawan. Di daerah ini, bangsa Moro1 telah memperjuangkan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri selama beberapa abad. Proyek otonomi daerah di Filipina dirancang sebagai tanggapan terhadap inti ketidakpuasan kaum Muslim, yakni penentuan nasib sendiri dan keadilan sosial. Penentuan nasib sendiri merujuk pada perlunya suatu struktur politik yang akan menghormati keunikan orang Moro dan memberikan kepada mereka ruang gerak yang cukup untuk menunjukkan identitas mereka. Penentuan nasib sendiri juga menyerukan adanya pemberian kekuasaan legislatif, fiskal dan pemerintahan yang cukup sehingga dapat menjadi perisai bagi bangsa Moro terhadap sifat asimilasi perundangan nasional. Keadilan sosial mengacu pada perlunya memperbaiki kelalaian pada masa lalu dan juga ketidakadilan terhadap bangsa Moro. Keadilan sosial menyerukan adanya rumusan kebijakan yang meliputi unsur kompensasi untuk memungkinkan bangsa Moro dapat mengakses barang-barang sosial, termasuk kekuasaan politik dan tempat leluhur mereka.
Orang Spanyol menamakan Muslim di Afrika Utara yang menguasai Spanyol selama 8 abad dari 711 1492 M, sebagai orang Moro. Di Filipina, orang Moro adalah 13 kelompok etno-linguistik Mindanao. Kebanyakan dari kelompok-kelompok ini adalah Muslim, kecuali orang Kalgan dan Palawani, yang sebagian adalah orang Kristen, dan orang Badjao, yang bukan Muslim dan bukan Kristen (Rodil 1998).
179
lagi dan mereka sendiri menjadi terasing dari hukum Islam dan praktek hukum adat mereka, kaum minoritas ini beralih ke etnonasionalisme. Puncak nasionalisme Moro dan kampanye sistematik mereka yang akhirnya mereka lancarkan terhadap pemerintah Manila untuk didirikannya suatu Bangsa Moro terjadi setelah pembunuhan besar-besaran Jabidah di Pulau Corregidor pada tanggal 18 maret, 1968.2 Orang Muslim percaya bahwa tragedi yang menimpa pemuda-pemuda yang sedang menjalani pelatihan ini, yang disembunyikan dari publik, terjadi hanya karena mereka adalah Muslim (Tan 1993). Hal ini mendorong terbentuknya gerakan pemisahan diri Bangsa Moro. Pemuda Moro dikirim ke Sabah, Malaysia, untuk berlatih militer dan perang. Mereka ini akhirnya muncul sebagai pemimpinpemimpin apa yang kemudian dikenal sebagai Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Dewasa ini, penyebab konflik Mindanao disebutkan sebagai berasal dari masalah ketercabutan ekonomi, layanan kesehatan dan sosial yang tidak memadai, kurangnya infrastruktur dan distraksi struktural minoritas dan mayoritas (Cojuanco 1988). Dari perspektif Moro, Macapado Muslim (1994) mengidentifikasi adanya 6 keluhan utama, yaitu, marjinalisasi ekonomi dan kemiskinan; marjinalisasi politik; tidak terjaganya identitas Muslim; hilangnya rasa aman secara umum (individu dan kolektif ), persepsi bahwa pemerintah bertanggungjawab atau merupakan pihak yang harus dipersalahkan bagi banyak penderitaan dan rasa tidak aman mereka; dan rasa hilangnya harapan di bawah rejim politik dan ekonomi yang sekarang ini ada. Pada awalnya merupakan perjuangan untuk integritas teritorial, konflik di Mindanao telah mencapai dimensi ekonomi, politik dan kebudayaan di antara suku-suku bangsa. Sejak meletusnya perang di Mindanao pada tahun 1972, diperkirakan 120,000 orang telah tewas, tak terkirakan lagi jumlah orang yang terluka dan bermilyar peso telah hilang karena kerusakan harta benda (Nunez 1997). Lebih lagi, telah timbul suatu generasi anak yatim yang sekarang ini terkonsentrasi di daerah-daerah Mindanao yang tercabik-cabik oleh perang. Juga, lebih dari sejuta orang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengemis dan 200,000 hingga 300,000 pengungsi Muslim dari daerah ini dilaporkan telah berada di Sabah, Malaysia (Muslim 1994). Ada lagi dari mereka yang bermigrasi ke Metro Manila (diperkirakan sekitar 50,000) dan tempat-tempat yang aman lainnya di dalam negeri. Pada saat konflik memuncak, dilaporkan bahwa sekitar 80 persen dari seluruh kekuatan militer negara terpusat di Mindanao.
2
Ini adalah pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara Filipina terhadap 28 hingga 64 pemuda Moro yang diduga merupakan bagian dari 180 pemuda yang dilatih oleh kekuatan Jabidah. Mereka ini diduga bagian dari rencana rahasia Marcos untuk memecah jajaran Islam, memprovokasi perang antara Sulu dan Sabah dan menginvasi serta merebut kembali Sabah. Satu-satunya orang yang lolos dari pembunuhan ini menyatakan bahwa mereka ditembaki setelah menolak untuk menyerang Sabah karena pihak tentara takut rencana ini dibocorkan ke luar.
181
182
menolak RA 6734 dengan alasan mereka tidak turut serta dalam menyusunnya dan bahwa RA 6734 tidak sesuai dengan Persetujuan Tripoli. Dua tahun kemudian, Undang-Undang Republik 7160 yang juga dikenal sebagai UndangUndang yang Menetapkan Kode Pemerintah Lokal 1991 ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Aquino pada tanggal 10 Oktober 1991. Undang-undang ini menandai mulainya emansipasi hukum mengenai pemerintah lokal di Filipina dan merupakan pendahulu bagi federalisasi negeri ini.
harus membayar pajak, biaya dan ongkos yang berkaitan dengan itu di provinsi, kota atau kota besar di mana bisnis itu dilakukan. (Ayat 3, Pasal 10, RA 6734) Akhirnya, dalam hal bagian daerah otonomi dari kekayaan nasional, hanya 30 persen dari penghasilan yang dikumpulkan di daerah itu masuk ke kas pemerintah daerah, sedangkan 30 persen dan 40 persen lainnya akan menjadi hal pemerintah lokal dan nasional. Sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah tidak dapat mengenakan pajak tambahan tanpa memberikan beban tambahan kepada rakyat yang harus diabdinya. Cara satu-satunya untuk bertahan adalah dengan bergantung secara keuangan pada pemerintah nasional. Pada hakekatnya, orang tidak dapat berbicara mengenai otonomi politik bila tidak ada otonomi keuangan. Bidang lainnya yang diperebutkan adalah penciptaan dan implementasi mahkamah syariah. Mahkamah ini terbatas hanya untuk kasus-kasus hubungan pribadi, keluarga dan properti yang berkaitan dengan orang Muslim. Lebih lanjut ditetapkan oleh undang-undang bahwa jika terdapat konflik, maka yang berlaku adalah hukum nasional. Lebih lanjut lagi, sementara pemerintah daerah diberi tanggungjawab untuk mempertahankan dan menjaga perdamaian dan ketertiban di daerah otonomi, pemerintah itu tidak mempunyai kontrol yang cukup atas Kekuatan Keamanan Regional (RSF). Kekuatan itu ditempatkan di bawah kontrol dan supervisi operasional Komisi Polisi Nasional sementara gubernur daerah diberikan peran pengawasan yang sebenarnya hampa. RSF dianggap sebagai unsur kritis dalam pemerintahan efektif daerah Moro di mana senjata yang berkuasa. ARMM adalah daerah dengan rasio terbesar antara senjata dan jumlah penduduk di seluruh Filipiona dan juga mempunyai kelompok-kelompok bersenjata sipil yang paling banyak. Dalam bidang keadilan sosial, RA 6734 juga kurang secara substansi. Ketetapan-ketetapan mengenai tempat leluhur penuh kekecualian sehingga tak ada lagi yang sebenarnya tertinggal dari apa yang dinamakan tempat leluhur. Ketetapan-ketetapan ini secara efektif menghalangi akses historis dan psikologi orang Moro dan Lumad (orang asli) terhadap daerah leluhur mereka. Lebih lagi, Ra 6734 tidak menetapkan apa-apa mengenai masalah pengungsi Moro. Undangundang itu menetapkan sejumlah kecil 165 juta peso saja setahun sebagai bantuan bagi rehabilitasi tempat-tempat di bawah ARMM. Sama seperti zaman otonomi Marcos, RA6734 hanyalah suatu tanda saja. Menurut sifatnya, ia hanya memberikan kesempatan bagi politisi lokal tradisional, yang secara teratur berkolaborasi dengan pemerintah nasional, dan tidak memberikan pemecahan askhir bagi masalah bangsa Moro. Tak aneh bila hingga saat ini, perdamaian dan pembangunan belum lagi datang di daerah otonomi ini.
185
186
Lebih buruk lagi, birokrasi yang terlalu besar ini tidak kompeten untuk pekerjaan mereka. Kehadiran mreka tidak saja menghalangi dilakukannya layanan pemerintahan yang efisisn, tapi juga membuang-buang uang, yang seharunya dapat diberikan kepada proyek-proyek pembangunan. Menariknya, setiap orang ingin mendapat gelar. Oleh karena itu telah diciptakan terlalu banyak kantor dan departemen. Undang-undang organik memandatkan pembentukan 9 departemen regional. Selama masa pemerintahan pertama, sudah didirikan 19 departemen dan badan. Pada periode pemerintahan ARMM yang kedua jumlahnya meningkat menjadi 25. Korporasi keluarga. Di sisi hubungan politik, ikatan keluarga juga menentukan penunjukan dalam ARMM. Bila seseorang merupakan bagian dari suatu keluarga maka ia bisa melakukan apa saja di ARMM. Diktum yang berlaku adalah yang anda kenal dan bukan apa yang anda ketahui dan diktum ini yang menentukan apakah seseorang dapat menjadi anggota birokrasi. Sebagai bisnis keluarga, banyak anggota korporasi ini terserang penyakit 15-30, artinya orang hanya melaporkan kehadiran pada tanggal 15 dan 30 untuk mengambil gaji. Tak ada dampak pada layanan sosial. Birokrasi yang terlalu besar dan tidak kompeten ini tidak bisa memberikan barang-barang publik. Sebaliknya ia bahkan membajak sumber daya yang kecil yang sebenarnya ditujukan untuk kepentingan layanan publik. Keadaan yang menyedihkan megnenai perkembangan manusia di ARMM membuktikan bahwa ada sesuatu yang sangat salah mengenai pemerintahan regional. Dari 77 provinsi di seantero negeri, ke empat provinsi ARMM termasuk empat paling bawah dalam hal Indeks Perkembangan Manusia (HDI). Lebih memperhatikan proyek daripada membuat kebijakan. Para legislator, sesuai dengan tradisi menjadi panutan lokal, disibukkan dengan implementasi proyek untuk kepentingan mereka sendiri daripada membuat kebijakan yang sangat diperlukan dalam suatu daerah otonomi.
Pelajaran
Pengalaman Filipina dalam otonomi daerah bukanlah suatu studi kasus yang menjadi model dalam sekolah2 administrasi publik. Tetapi, ia dapat memberikan banyak pelajaran mengenai bagaimana tidak membuat dan menjalankan otonomi daerah. Secara luas, pelajaran-pelajaran ini dapat digolongkan dalam 3 bagian penting: membangung birokrasi yang kompeten dan efisien; pemberdayaan masyarakat sipil; dan peninjauan undang-undang yang menciptakan otonomi daerah. Oleh karena otonomi merupakan proyek politik yang rapuh, persiapan penuh harus dilakukan untuk menjamin keberhasilannya. Program transisi sebelum pada akhirnya kekuasaan diserahterimakan harus dilakukan untuk menjamin keberhasilan yang akan menguntungkan
187
mayoritas rakyat. Elit politik tradisional hendaknya jangan hanya menggantikan peran pemerintah nasional.
Catatan akhir
Dalam tahun 1996, pemerintah Filipina dan MNLF mencapai persetujuan. Hal ini menggambarkan keinginan kedua partai untuk mencapai perjanjian akhir mengenai implementasi Persetujuan Tripoli. Perjanjian itu terbagi atas dua fase.
Fase I (1996-1998)
Penciptaan Zone Khusus Perdamaian dan Pembangunan (SZOPAD) yang meliputi 14 provinsi dan 10 kota. Zone ini dimaksudkan untuk menjadi fokus prakarsa pembangunan oleh pemerintah nasional dan badan-badan multilateral dan bilateral. Pembentukan Dewan Filipina Selatan bagi Perdamaian dan Pembangunan (SPCPD) di bawah Kantor Kepresidenan. SPCPD, yang merupakan mekanisme transisi tiga tahun yang akan mengawasi usaha pembangunan di SZOPAD, disamakan dengan mekanisme pembagian kekuasaan dalam masa transisi. Integrasi 7500 elemen MNLF kedalam Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) dan Polisi Nasional Filipina (PNP). Program tindakan afirmatif bagi anggota-anggota MNLF yang berperang, keluarga mereka dan masyarakat-masyarakat yang tidak akan diintegrasikan kepadalam AFP dan PNP. Fase 2 (1999) amandemen atau pembatalan RA6734. Rancangan UU harus meliputi ketetapan yang relevan mengenai Perjanjian Perdamaian Final dan perluasan daerah otonomi ARMM yang sekarang ini.
189
Sebagai bagian dari tindakan pembinaan kepercayaan dari pemerintah, Nur Misuari, kepala MNLF, diyakinkan untuk menjadi gubernur ARMM dengan jaminan tidak adanya penentangan terhadapnya. Seperti pendahulu-pendahulunya, ia juga gagal mengubah daerah ini. Ia mempersalahkan pendahulu-pendahulunya akan adanya birokrasi yang terlalu besar dan tidak kompeten dan juga mempersalahkan pemerintah nasional akan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya. Ia mengungkapkan rasa muaknya terhadap keterbatasan RA 6734 untuk melakukan perubahan di ARMM. Pada Agustus 14, 2001, plebisit yang penuh persaingan diadakan bagi undang-undang organik baru, RA 9054, Banyak ketetapan Perjanjian Perdamaian Final tidak termasuk dalam undangundang yang baru. MNLF dan sekutunya tidak berpartisipasi dalam plebisit itu. Hasil akhir plebisit itu belum lagi dijadikan resmi hingga saat ini. Dengan suatu undang-undang baru yang cacad, dan dengan marjinalisasi MNLF dalam implementasi Perjanjian Final 1996, banyak analis meramalkan bahwa masa depan ARMM yang baru tetap suram.
190
Tabel 1. Perbandingan dari Ketetapan-ketetapan Penting RA 6734, Rancangan RCC dan PD1618
Ketetapan utama KEKUASAAN PEMERINTAH DAERAH UU ARMM (RA 6734) Rancangan RCC P O L I T IK organisasi pemerintahan penciptaan sumber pendapatan tanah leluhur dan sumber daya alam hubungan pribadi, keluarga dan properti pengembangan perencanaan urban regional dan pedesaan pengembangan ekonomi, sosial dan pariwisata kebijakan pendidikan pelestarian dan pengembangan warisan budaya kekuasaan, fungsi dan kewajiban yang dilaksanakan oleh departemen2 tertentu *merumuskan kebijakan, peraturan dan aturan membuat prioritas, merumuskan rencana pembangunan, dana dan program pelaksanaan memajukan kesehatan dan keselamatan, menjunjung tinggi hak asasi dan memajukan kemajuan melakukan produksi dan ventura bersama dengan parter domestik dan asing memberikan layanan dan bantuan keamanan sosial memperbaiki moral dan menjaga perdamaian dan ketertiban melakukan tindakan untuk menjaga dan memperbaiki tradisi dan budaya memperbaiki kualitas hidup; mempunyai suksesi yang berlanjug dalam nama korporat mendapatkan properti tanah dan personal membuat kontrak mendapatkan pinjaman dan obligasi mengambang boleh mengambil sistem pendidikan sendiri universitas dan kolese negeri mempertahankan otonomi fiskal dan administrasi organisasi sistem pemerintahan daerah pembangunan ekonomi, sosial dan budaya perencanaan urban dan desa tindakan2 untuk mengumpulkan pajak dan pendapatan perawatan, operasi dan administrasi sekolah2 dilakukan oleh daerah pendirian, operasi dan perawatan kesehatan, kesejahteraan dan layanan lain pelestarian, pengembangan kebiasaan, tradisi, bahasa dan budaya boleh mendirikan sekolah yg tunduk pada hukum nasional dan konstitusi dan kerangkanya; sekolah2 pemerintah di bawah pemerintah nasional Tanpa RSF; Polisi di bawah pemerintah nasional Otonomi Marcos (PD1618)
boleh mendirikan sekolah universitas dan kolese negeri mempertahankan statuta mereka
KEKUASAAN UTK MENCIPTAKAN & MENGENDALIKAN RSF KEKUASAAN UTK MENCIPTAKAN & MENGONTROL SISTEM PERADILAN REGIONAL KEKUASAAN TEMPAT TERHORMAT
pengadilan syariah didirikan dengan yurisdiksi terbatas dan tunduk pada kekuasaan kasasi Mahkamah Agung Hukum nasional yang berlaku dibandingkan dengan hukum regional dalam hal konflik * Boleh melaksanakan kekuasaan mengenai tempat yang terhormat
pengadilan syariah didirikan dengan yurisdiksi * tanpa wewenang; syariah terbatas dan tunduk pada wewenang kasasi didirikan dgn dekrit Mahkamah Agung president di bawah Dalam hal konflik, yang berlaku adalah pemerintah nasional hukum regional
* tanpa wewenang
191
Sambungan
Ketetapan utama KEKUASAAN UTK MENGUBAH BATAS LOKAL SUMBER PENDAPATAN UU ARMM (RA 6734) Rancangan RCC POLITIK * Boleh mengubah batas kota besar dan barangays * boleh mengubah batas * tanpa wewenang Otonomi Marcos (PD1618)
pajak, kecuali pajak pendapatan, yang dikenakan oleh pemerintah nasional biaya dan ongkos yang dikenakan oleh pemerintah nasional penggunaan, alokasi pendapatan intern dari pemerintah nasional bagian dalam pendapatan utilitas publik dan hibah gabungan, donasi, pemberian, bantuan asing, bantuan
FISKAL pajak, pungutan & biaya franchise, ongkos, hukuman, denda dan biaya tambahan penggunaan anbantuan dari pemerintah pusat keuntungan, royalti dan jumlah lainnya dari projek2 komersil, industri dan pertanian dan utilitas pubil yang dipinjam atau dioperasikan oleh pemerintah daerah; sumbangan, pemberian, bantuan asing dan bantuan pengumpulan dari pemerintah nasional dan LGU, dana yang berasal dari pertambangan, mineral dan sumber2 daya alam lainnya
pajak, biaya dan ongkos, penggunaan dan bantuan dari pemerintah nasional jumlah yang direalisasikan dari proyek2 komersial, indusri dan pertanian dan utilistas pubik yang dikuasai oleh pemerintah regional kontribusi dari LGU persentasi dari pertambangan dan sumber2 mineral pengalihan hasil dari pajak2 nasional dan lokal tertentu dan bantuan2
* dari koleksi total provinsi atau kota dari pendapatn nasional. 30% untuk provinsi atau kota; 30 persen untuk pemerintah daerah dan 40 persen untuk pemerintah nasional * boleh membuat undang2 yang berkaitan dgn ekonomi nasional dan warisan yang tunduk pada pembatasan: pemerintah daerah berhak mengawasi eksplorasi, pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam kecuali mineral strategis seperti uranium, batubara, minyak dan bahan bakar fosil lainnya, minyak mineral, semua sumber enersi potensial, cadangan nasional, taman air, hutan dan cadangan batas air
80% dari pendapatan total pemerintah * 1/13 dari 1% dari koleksi nasional di daerah; pajak pendapatan internal 50% dari pajak dan ongkos atas konsesi nasional yang tidak dalam hutan dan sumber daya alam; keadaan lain terkumpul & 25% dari pendapatan bersih korporasi yang pada rekening khusus dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah apapun atau dana khusus dalam dana umum * melakukan supervisi dan kontrol atas eksplorasi, eksploitasi, pemanfaatan dan pengembangan sumber2 daya alam. * tidak ada
192
Sambungan
Ketetapan utama UANG SEED/ DANA REHABILITASI UU ARMM (RA 6734) Rancangan RCC FISKAL * 2 milyar peso setahun sebagai bantuan untuk 13 provinsi dan 9 kota; 615 juta peso setahun sebagai bantuanuntuk 4 provinsi ARMM 10 milyar peso sebagai bantuan tahunan * tidak ada Otonomi Marcos (PD1618)
PEMERINTAHAN SISTEM * RAS dibawah pengawasan dan supervisi pemerintah nasional PEMERINTAHAN DAERAH (RAS) * Dibawah kendali administrasi KABINET, BADAN2 pemerintah nasional DAERAH & DEPARTEMEN2 PENGADILAN DAERAH KEKUATAN KEAMANAN DAERAH (RSF) * di bawah Mahkamah Agung RSF dibawah supervisi gubernur daerah * RAS dibawah kontrol pemerintah daerah * organisasi pemerintahan daerah di bawah pemerintahan daerah * tidak ada kabinet regional, badan nasional di bawah pemerintah regional * pengadilan di bawah pemerintah nasional * tidak ada SRF (Kekuatan Keamanan Regional) * Gubernur regional bertindak sebagai ketua RDC
* pengadilan syariah di bawah pemerintah nasional - RSF dibawah supervisi dan kontrol langsung pemerintah daerah Presiden menunjuk kepalanya * perencanaan daerah di bawah pemerintahan daerah
193
Perpustakaan: Cojuanco, Margarita. Role of the MILF in the Mindanao Problem. Masters Thesis. National Defense College of the Philippines, 1988. Gurr, Ted Robert. Why Men Rebel. New Jersey: Princeton University Press, 1970. Gutierrez, Eric and Marites-Danguilan Vitug. The ARMM After the Peace Agreement: As Assessment of Local Government Capability in the Autonomous Region of Muslim Mindanao, in Rebels, Warlords and Ulamas, eds. Gaerlan and Stankovitch. Quezon City: Institute of Popular Democracy, 2000. Muslim, Macapado. The Moro Armed Struggle in the Philippines: The Nonviolent Autonomy Alternative. Marawi City: Office of the President and College of Public Affairs, Mindanao State University, 1994. Nunez, Rosalita. Roots of Conflict: Muslims, Christians, and the Mindanao Struggle. Makati: Asian Institute of Management, 1997. Rodil, Rudy. The Tri-People and the Peace Process in Mindanao. Lecture to the seminarians of Inahan sa Kinabuhi Diocesan College Seminary, Diocese of Iligan, 18 March 1998. Stavenhagen, Rodolfo. Ethnic Conflicts and the Nation-State. London: Macmillan Press Ltd., 1996. Tan, Samuel K. The Internationalization of the Bangsamoro Struggles. Quezon City: CIDS and U.P. Press, 1993.
194
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang otonomi daerah mulai mengalami pergeseran fokus. Dalam pengamatan saya, satu tahun pertama diluncurkannya kebijakan itu, yang merupakan tahap sosialisasi, fokusnya cenderung pada isu pembagian kewenangan. Pemerintah pusat pada dasarnya berpendapat bahwa rumusan kewenangan yang tertuang dalam UU No.22/1999 dan UU No. 25/1999 sudah mewakili hasrat pemerintah untuk berbagai tanggungjawab dengan pemerintah daerah dalam proses pengelolaan pemerintah dan pembangunan. Sebaliknya, banyak kalangan pemerintah daerah, termasuk para pemerhati pemerintahan daerah, yang berpendapat bahwa kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat itu belum cukup. Mereka antara lain mempertanyakan kewenangan terbatas yang diberikan di bidang pelabuhan, pertambangan migas, pertanahan, perkebunan, dan kehutanan. Ketegangan dalam hubungan pusat-daerah bahkan semakin kentara ketika di daerah-daerah tertentu (Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan) berkembang wacana yang menempatkan federalisme sebagai alternatif terhadap otonomi daerah, di samping wacana pemisahan diri secara damai dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikembangkan oleh sementara kalangan di Irian Jaya dan Aceh. Memasuki tahun kedua, yaitu tahap implementasi kebijakan otonomi daerah, fokus itu bergeser. Perdebatan tentang kewenangan apa yang harus diletakkan di daerah sudah berkurang. Bahkan wacana federalisme dan pemisahan diri pun sudah tidak marak lagi. Antara lain disebabkan oleh telah diluncurkannya berbagai peraturan pemerintah yang jelas mendefinisikan kewenangankewenangan apa saja yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi dalam rangka otonomi daerah. Segala kewenangan yang tidak termasuk dalam kewenangan pusat dan propinsi otomatis ditafsirkan sebagai kewenangan kabupaten dan kota. Pembahasan dan kemudian pengesahan atas UU tentang otonomi khusus di Aceh dan Irian Jaya juga memberi kontribusi yang bermakna terhadap kecenderungan redanya wacana separatisme di dua daerah tersebut. Dengan demikan, fokus dari pembicaraan tentang otonomi daerah dalam tahap sekarang ini mulai bergeser kepada dampak dari kebijakan tersebut terhadap persatuan nasional dan pengembangan demokrasi. Makalah ini kembali akan menyajikan penjelasan tentang latar belakang kebijakan, konsep dasar dan implementasinya. Hal ini dimaksudkan agar para peserta seminar ini bisa melakukan refleksi terhadap perjalanan kebijakan ini. Hal yang berkenaan dengan persatuan nasional dan
195
pengembangan demokrasi disajikan secara terbatas saja, sekedar untuk melihat bahwa secara konseptual kebijakan otonomi daerah tidak mengancam persatuan nasional, bahkan sebaliknya secara benar akan memperkuat persatuan nasional. Sejalan dengan itu, pengembangan demokrasi pun akan memperoleh iklim yang lebih konsudif melalui pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tersebut.
196
Kekeluasaan untuk menetapkan prioritas kebijakan, yang merupakan syarat penting untuk lahirnya prakarsa dan kreaktivitas, memang tidak tersedia. Semua keputusan penting hanya bisa diambil oleh pemerintah pusat. Akibatnya, selalu terjadi kelambanan dalam merespons dinamika dan permasalahan yang terjadi di daerah. Dalam keadaan seperti ini, partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik menjadi sangat lemah. Secara teknis administrasi, tiadanya kewenangan daerah dalam proses rekrutmen dan promosi pegawai, serta kakunya organisasi pemerintahan di daerah akibat diterapkannya pola uniformitas telah menyebabkan tidak efektifnya daya kerja birokrasi. Beberapa dari unit organisasi dan institusi yang dibangun pun sudah cenderung mubazir. Dengan kata lain, pendekatan sentralistik yang mewarnai pola pemerintahan daerah menurut UU No. 5/ 1974 itu telah memelihara inefisiensi administrasi dan korupsi, sehingga seolah-olah hal itu telah menjadi karakter pemerintahan di daerah pada masa itu. Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah ia merupakan konsekuensi dari sistem negara kasatuan. Padahal argumen ini tidak memiliki dasar yang kuat, karena negara kesatuan RI yang dikonsepsikan oleh UUD 1945 sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa (lihat penjelasan UUD 1945). Di samping itu, secara teoretik, dengan kebhinnekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan yang lainnya, mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Negara kesatuan sebagai sebuah komitmen politik tidak seyogianya digunakan sebagai jastifikasi bagi pendekatan yang seragam dan sentralistik itu. Dari berbagai wacana itu, pemerintahan Habibie kemudian sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi yang baru diperlukan demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU No. 5/1974 harus diubah. Hasil dari perubahan itu tertuang dalam UU No. 2/1999 dan UU No. 25/1999.
Perubahan paradigma
Dalam waktu yang cukup lama, sejak Orde Baru, pemerintahan Indonesia telah tergiring untuk menjadikan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan dari seluruh kebijakan pemerintahan. GBHN dan Repelita sebagai instrumen utama dari penyelenggaraan pemerintahan orde baru sarat dengan konsep dan rencana pembangunan. Karena itu, pemerintah mengambil peran sebagai agen utama dari pembangunan nasional. Tujuannya jelas : akselarasi pembangunan. Pilihan ini diambil karena di bawah pemerintahan sebelumnya, ekonomi nasional Indonesia memang terpuruk, dengan tingkat penggangguran dan kemiskinan yang sangat tinggi.
197
Sebagai contoh, sampai saat berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno di tahun 1967, inflasi sudah mencapai 650 persen. Sektor agraria tetap menjadi andalan utama, tanpa sesuatu terobosan produksi yang bisa membawa rakyat keluar dari lingkaran kemiskinan. Penggangguran di kotakota sangat nyata, dan investasi asing hampir-hampir nihil. Karena itu, ketika pemerintahan orde baru terbentuk, Soeharto segera menghimpun para teknokrat ekonomi dalam pemerintahannya dan mendeklarikasikan pembangunan sebagai misi utamanya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan paragdima pembangunan itu. Hanya saja, setelah dijalankan dalam jangka waktu yang cukup lama. Kemudian terbukti bahwa menjadikan pembangunan sebagai peran pokok pemerintahan, seraya mengorbankan peran yang hakiki, yaitu sebagai pihak yang melayani dan memberdayakan masyarakat, telah membawa konsekuensikonsekuensi yang kurang baik. Peran pemerintah yang terlalu menonjolkan pembangunan, pada tingkat pertama mengharuskan adanya suatu yang sistem perencanaan yang terpusat (central planning). Kendali pemerintahan pembangunan berada di tangan pemerintah pusat. Perencanaan dan pengendalian terpusat itu juga mengharuskan adanya penyeragaman sistem organisasi pemerintahan daerah dan manajemen proyek yang dikembangkan di daerah. Tujuannya agar hasilnya mudah diukur, dikendalikan diawasi, dievaluasi. Akibat dari penerapan pendekatan terpusat itu adalah semakin kuatnya tergantungan dari daerah kepada pemerintah pusat. Inilah akar dari hubungan pusat-daerah yang bersifat patronasi. Pada gilirannya, hal ini kemudian mematikan kemampuan dan daya kreativitas pemerintah dan masyarakat daerah. Sementara itu, beban pemerintah pusat yang terus memberat serta semakin kompleknya masalah yang dihadapi telah menyulitkannya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang secara tepat merespon dinamika dan tantangan yang dihadapi. Gambaran dari kondisi yang dobel negatif ini bisa diamati melalui reaksi pemerintah terhadap krisis moneter regional yang terjadi sekitar Juli 1997. Jadi, ketika Thailand terkena serangan krisis moneter di bulan Juli 1997, hampir semua pejabat tinggi Indonesia di bidang moneter, ekonomi dan pembangunan memberi reaksi yang bernada optimistik. Kata mereka, keadaan yang menimpa Thailand tidak akan terjadi terhadap Indonesia karena fundamental ekonomi kita cukup kuat dan cadangan devisa yang kita miliki masih mampu merespon kebutuhan transaksi berjalan. Namun, ketika serangan itu benar datang pada bulan berikutnya (Augustus 1997), keadaan kita ternyata sama dengan, atau bahkan lebih parah dari Thailand. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merosot tajam, dari 40 persen di awal krisis ke 80 persen di bulan Mei 1998. Banyak perusahaan yang tutup dan jumlah penganggur membengkak. Campur tangan IMF tidak banyak menolong. Berbagai alternatif kebijakan moneter yang disodorkan oleh para ahli dalam dan luar negeri tidak mampu menggiring pemerintah untuk
198
secara tegas memilih dan melaksanakannya. Satu-satunya reaksi pemerintah yang dikover secara luas oleh media massa adalah acara bagi-bagi nasi bungkus oleh Menteri Sosial (Mbak Tutut) kepada para penganggur dan pekerja serabutan. Reaksi pemerintah daerah yang sudah lama kehilangan kreativitas sama saja. Mereka ikut-ikutan membagi nasi bungkus, menciptakan pasar murah untuk sehari, atau paling jauh mengerahkan tenaga kerja (ex-PHK) untuk membersihkan selokan dan bantaran sungai. Apa artinya ilustrasi di atas? Ternyata pemerintah gagal mamahami apalagi mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Mereka gagal membaca perubahan dan berbagai kecenderungan global, paling tidak di bidang ekonomi dan keuangan. Mengapa? Karena untuk waktu yang cukup lama, pemerintah pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu dan enerjinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang sebenarnya sudah bisa diurus oleh pemerintah daerah. Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu dan enerji untuk mempelajari kecenderungan-kecenderungan golbal. Ini harga yang harus kita bayar dari penerapan sistem pemerintahan yang sentralistik itu. Maka, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas, kita harus berani mengubah pola hubungan pusat-daerah yang paternalistik dan sentralistik itu menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Itulah yang kemudian tertuang dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 25/ 1999. Dengan dua undang-undang ini, kita meninggalkan paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan. Sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban pembangunan. Pengambilalihan secara sepihak terhadap hak rakyat atas tanah mereka dengan dalih untuk kepentingan pembangunan adalah contoh yang sangat nyata. Ini terjadi baik dalam kasus penggusuran berskala kecil untuk pembangunan sebuah pasar misalnya, maupun untuk yang berskala besar, yang seringkali disebut bedol desa untuk pembangunan waduk. Karena itu, demi mengembalikan harga diri rakyat, dan demi membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka kita kembali menggunakan paradigma pelayanan dan pemberdayaan. Ini tidak berarti bahwa pemerintah sudah tidak lagi memiliki komitmen pembangunan, tetapi mendudukkan tugas pembangunan itu di atas landasan nilai pelayanan. Artinya, tidak akan ada lagi kebijakan pembangunan yang mengandung nilai ketidakadilan dan yang bersifat mematikan kreativitas masyarakat. Kebijakan semacam itu jelas bertentangan dengan komitmen pelayanan dan pemberdayaan. Perubahan paradigma ini bisa dianggap sebagai suatu gerakan kembali ke karakter pemerintahan yang hakiki.
199
200
Di bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada azas pertanggungjawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang akan diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab bila kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak, terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, merangkum hal-hal berikut ini: 1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik ke pada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis-nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini, pemerintahan daerah tetap terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh, dan propinsi yang diberi
201
otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintah pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi. Ini alasan mengapa gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi ini tidak bertingkat (tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan propinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur mengkoordinasikan tugastugas pemerintahan antar kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat, serta bertanggungjawab mengawasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah di dalam wilayahnya. 2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Untuk itu optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya operasinya. Hak penyelidikan DPRD perlu dihidupkan, hak prakarsa perlu diaktifkan, dan hak bertanya perlu didorong. Dengan demikian produk legislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan. 3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula. 4. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga, diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi dan pola karir kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif. 5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumbersumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang
202
berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah. 6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada. 7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial sebagai satu bangsa. Untuk menjamin suksesnya pelaksanaan konsep otonomi daerah tersebut, sekali lagi, diperlukan komitmen yang kuat dan kepemipinan yang konsisten dari pemerintah pusat. Dari daerah juga diharapkan lahirnya pemimpin-pemimpin pemerintahan yang demokratis, DPRD yang mampu menjembatani antara tuntutan rakyat dengan kemampuan pemerintah, organisasi masyarakat yang terus memobilisasi dukungan terhadap kebijakan yang menguntungkan masyarakat luas, kebijakan ekonomi yang berpihak pada pembukaan lapangan kerja dan kemudahan berusaha, serta berbagai pendekatan sosial budaya yang secara terus menerus menyuburkan harmoni dan solidaritas antar warga.
Persatuan nasional
Kalau kita mencermati visi otonomi daerah seperti tertera diatas, sangat jelas bahwa kebijakan ini sangat bersifat kondusif terhadap penjagaan dan pemeliharaan persatuan nasional. Tentu saja dengan catatan bahwa kita harus terlebih dulu mengenyampingkan paradigma lama yang menjadikan sistem sentralisasi kekuasaan dan uniformisasi administrasi kelembagaan pemerintahan sebagai instrumen utama dalam pengelolaan negara kesatuan. Kedua instrumen ini bukan saja gagal menjaga persatuan nasional yang bersifat asli (genuine), tetapi bahkan telah dimanipulasi untuk memberi pembenaran terhadap kelangsungan sistem kekuasaan yang otoriter. Sentralisasi dan uniformisasi itu telah secara sistematik menggiring kita ke jurang perpecahan. Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa gerakan separatisme di Aceh dan Irian Jaya, konflik sosial di Maluku, NTT, Kalimantan dan Sulawesi, serta berbagai rupa tindak kekerasan sosial yang melanda negeri ini sejak beberapa tahun terakhir, terjadi di dalam sistem kekuasaan yang sentralistik itu. bahkan luasnya tindak pidana korupsi, nepotisme dan kolusi yang sejak tiga tahun ini telah mendominasi wacana ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintahan kita juga berakar dalam sistem pemerintahan yang sentralistik dan uniform itu.
203
Kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah pada dasarnya merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem sentrallisasi dan unformisasi pemerintahan yang selama ini berlaku. Untuk lebih memperjelas makna otonomi daerah dalam konteks penjagaan dan pemeliharaan persatuan nasional, mari kita lihat butir-butir substansial dari visi otonomi daerah itu sendiri. 1. Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Dalam konteks administrasi pemerintahan, demokratisasi memang bergandengan tangan dengan desentralisasi. Artinya tidak ada demokratisasi pemerintahan tanpa desentralisasi. Ini terutama relevan dengan negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus dilayani secara lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup didalam proses pengambilan keputusan. Kalau sistem pemerintahannya sentralistik, dua substansi kebutuhan berdemokrasi ini akan sulit diwujudkan. Dengan otonomi daerah, pemerintah semakin didekatkan kepada rakyat. Itulah sebabnya maka kepala pemerintahan di daerah harus dipilih oleh representasi rakyat setempat secara murni, tanpa intervensi dan patronasi pemerintah yang lebih atas, dan bertanggung jawab kepada rakyat setempat melalui mekanisme yang mereka sepakati. Kebijakan ini sama sekali tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa atau integrasi nasional. Ia bahkan memperkuatnya, karena dengan keleluasan memilih dan menetapkan pemimpin itu dapat diperoleh beberapa keuntungan: i) Rakyat dan institusi perwakilan rakyat di daerah merasa dipercaya oleh pemerintah, dan karena itu merasa bangga sebagai bagian dari pemerintahan nasional. ii) Kepala pemerintahan dan jajaran eksekutif di daerah memikul kewajiban untuk memberi pengabdian mereka yang terbaik kepada rakyat di wilayahnya, karena keberhasilan atau kegagalan mereka tidak akan lepas dari penilaian rakyat setempat. iii) Berdasarkan kenyataan pada butir i) dan ii) di atas, akan semakin sulit bagi sesuatu kelompok separatis atau anti nasional di daerah untuk melakukan manuver dengan alasan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, seperti yang selama ini terjadi. Kesalahan dan kegagalan kebijakan di daerah akan menjadi masalah lokal yang haruis diselesaikan secara lokal pula. 2. Otonomi daerah dalam konteks ekonomi bermakna sebagai perluasan kesempatan bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengejar kesejahteraan dan memajukan dirinya. Ini akan secara signifikan mengurangi beban pemerintah pusat dan pada saat yang sama menciptakan iklim yang kompetitif diantara daerah-daerah untuk secara kreatif menemukan cara-cara baru mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya.
204
Kalau strategi ini berhasil, maka kesejahteraan bangsa Indonesia akan lebih cepat pencapaiannya. Jika kita percaya bahwa kesejahteraan rakyat merupakan salah satu kunci dari persatuan nasional, maka tidak ada alasan untuk mencurigai otonomi daerah sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Masyarakat di daerah yang semakin sejahtera akan menyadari bahwa kondisi yang mereka nikmati itu adalah berkat dari kebijakan desentralisasi yang diluncurkan oleh pemerintah pusat. 3. Otonomi daerah dalam konteks sosial bermakna sebagai peluang yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan kualitas masyarakatnya dan berbagi tanggungjawab dengan pemerintah pusat dalam meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Dalam konteks kebudayaan, otonomi daerah bermakna sebagai peluang yang terbuka luas bagi daerah-daerah untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai dan karakter budaya setempat. Ini akan membangkitkan harga diri dan kebanggaan masyarakat sebagai bagian dari kebhinnekaan budaya nasional kita. Kebanggaan atas identitas budaya lokal tidak seyogianya dicurigai sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Karena justru dengan kuatnya budaya lokal itu akan memperkaya budaya nasional kita.
Pengembangan demokrasi
Dari kenyataan bahwa otonomi daerah dimaksudkan antara lain untuk mengempower DPRD melalui pengukuhan kewenangannya dalam pembuatan peraturan daerah, pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, pengawasan atas anggaran daerah, dan penilaian atas kinerja kepala daerah, sudah sangat jelas bahwa peran DPRD dalam mengimbangkan fungsi legislasi, pengawasan politik, dan penyalur aspirasi rakyat jauh lebih bermakna dari DPRD di masa lalu. Pada saat yang sama, otonomi daerah juga memeberi ruang gerak yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan, termasuk keleluasaan masyarakat membentuk LSM-LSM untuk berbagai kepentingan, tidak terkecuali kepentingan untuk mengawasi kinerja pemerintahan dan DPRD. Kenyataan bahwa DPRD memiliki keleluasaan dalam memilih kepala daerah tanpa intervensi sama sekali dari pemerintah pusat, serta adanya keleluasaan dalam proses pembuatan peraturan daerah, merupakan dua hal yang sangat prinsipil dalam pengembangan demokrasi, yaitu: keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin yang akan mengelola kepentingan mereka, dan keterlibatan mereka dalam membuat kebijakan yang akan mengubah nasib mereka. Semua ini merupakan landasan untuk pengembangan demokrasi lebih lanjut.
205
Implementasi
Belum terlalu banyak hal yang bisa diangkat dalam konteks implementasi otonomi daerah, mengingat waktu pelaksanaannya secara komprehensif baru berlaku Januari 2001. Namun secara umum bisa dicatat bahwa untuk bidang-bidang tertentu, seperti pemilihan kepala daerah dengan kewenangan penuh pada DPRD dan pensahan peraturan daerah oleh DPRD, sudah berlaku sejak Januari 2000. Dalam tahun 2001 ini juga telah diproses berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal melalui alokasi DAU dan aplikasi pembagian keuntungan dari sumber-sumber pendapatan yang ditetapkan dalam UU No. 25/1999, realokasi pegawai pusat yang jumlahnya mencapai sekitar dua juta, realokasi aset pemerintah pusat yang ada di daerah, serta kewenangan daeerah di bidang kelembagaan dan promosi karir pegawai. Dalam semua proses itu pasti ada masalah dan kendala yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Ini merupakan tantangan yang harus dijawab melalui kepemimpinan pemerintah pusat dalam mensupervisi pelaksanaan kebijakan tersebut. Di antara tantangan itu, yang paling serius, menurut pengamatan saya adalah yang berkenaan dengan pengembangan fungsi-fungsi pemerintahan melalui penyediaan berbagai aturan untuk implementasi kewenangan kepada daerah, agar dapat menjadi acuan dalam pembuatan peraturan daerah. Peningkatan kemampuan daerah untuk secara kreatif dan optimal mendayagunakan kewenangan-kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah nasional, seperti yang terinci dalam PP No. 25/2000, agaknya masih harus melalui jalan panjang. Akibatnya, salah satu tujuan otonomi daerah yang berupa kemampuan untuk merespon dinamika masyarakat setempat secara lebih tepat, cepat dan kreatif pun belum tampak. Ini disebabkan hingga saat berlakunya secara penuh pelaksanaan otonomi daerah, beberapa instansi pusat belum juga memfasilitasi pengalihan kewenangan seperti diamanahkan oleh PP No. 25/2000. Hingga saat ini, masih ratusan produk perundang-undangan (sebagian besar Kepres) yang diperlukan untuk menjadi landasan bagi daerah dalam menjalankan berbagai pelayanan pemerintahan, belum tersedia. Terbaca adanya kecenderungan pemerintah pusat untuk melambatkan proses otonomi daerah dengan berbagai cara, seperti : Pencabutan kewenangan di bidang pertanahan melalui sebuah Kepres dan surat edaran Mendagri/ Kepala Badan Pertanahan, penetapan secara sepihak oleh beberapa departemen tentang pentahapan penyerahan wewenang kepada daerah, dan, seperti yang sudah saya kemukakan di atas, kelambatan membuat ratusan Kepres tentang standar pelayanan minimum yang diperlukan sebagai pedoman untuk muatan peraturan daerah tentang berbagai bidang pelayanan pemerintahan. Terhadap gejala pelambatan atau bahkan langkah mundur dari pemerintah pusat, kita perlu mengingatkan bahwa hal itu akan sangat merugikan masa depan pemerintahan Indonesia.
206
Pemerintah pusat harus sadar bahwa setiap langkah yang lambat dalam melaksanakan desentralisasi akan dibayar mahal. Ia bukan saja akan menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan daerah terhadap pusat, tetapi juga akan memicu suasana ketidakpastian yang luas. Pandangan dunia terhadap kualitas pemerintahan kita akan semakin negatif. Dalam konteks ini perlu disadari bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ini mungkin merupakan satu-satunya kebijakan pemerintah Indonesia yang paling besar peluangnya untuk sukses. Mengapa? Ia didasarkan pada suatu komitmen reformasi yang diterima secara nasional. Ia didukung oleh perangkat hukum yang jelas dengan visi yang jelas dan komitmen awal yang sangat kuat. Ia juga diterima secara luas oleh pemerintah daerah, partai politik, organisasi-organisasi masyarakat, kaum intelektual, dan bahkan pemuka agama. Tidak ada penolakan yang serius terhadap kebijakan ini. Dukungan internasional, walaupun dengan sikap hati-hati, juga cukup luas dan signifikan. Maka, kalau pemerintah pusat sampai mengubah pikiran dan memelitir kembali arah dari kebijakan yang telah dirumuskannya sendiri itu, sulit membayangkan betapa kisruhnya suasana pemerintahan kita kelak. Gejala dari potensi kekisruhan itu antara lain terlihat melalui respon pemerintah daerah terhadap belum turunnnya Kepres-kepres tentang standar pelayanan minimum di berbagai bidang pemerintahan. Terhadap kenyataan ini terdapat dua kelompok daerah dengan respon yang berbeda. Kelompok pertama mengambil sikap menunggu datangnya kepres. Mereka tidak mau membuat perda dan kebijakan apapun dalam bidang itu selama petunjuknya belum datang. Artinya, tidak ada implementasi otonomi daerah dalam hampir semua bidang pelayanan pemerintahan. Mereka menjalankan pelayanan publik seperti sediakala, ketika UU No.22/1999 dan PP No. 25/2000 belum berlaku. Kenyataan ini terkesan selintas tanpa resiko. Padahal ada resikonya, yaitu adanya kemungkinan kevakuman pelayanan berhubung kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat di daerah sudah mulai berbenah untuk integrasi ke dalam struktur pemerintahan daerah otonom. Dalam suasana keraguan tentang siapa yang berwenang melakukan apa, sudah bisa dipastikan terganggunya proses pemerintahan di daerah. Kelompok kedua mengambil sikap pro aktif. Mereka berasumsi bahwa untuk mengatasi kevakuman pelayanan, mereka maju terus membuat perda tanpa harus dilandaskan kepada pedoman yang seharusnya tertuang dalam kepres. Mereka berasumsi bahwa karena kewenangan-kewenangan pemerintahan sudah ditetapkan melalui PP No. 25/2000, maka secara legal mereka sudah bisa mengatur. Apalagi karena dalam PP No. 25/2000 sendiri sudah ditetapkan bahwa pemnerintah pusat wajib menyiapkan semua aturan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan itu selambat-lambatnya enam bulan setelah ditetapkannya PP itu. Artinya, KepresKepres tentang standar pelayanan minimum itu seharusnya sudah siap seluruhnya pada tanggal 7
207
November 2000. Resiko yang dihadapi dalam pelaksanaan kewenangan tanpa petunjuk Kepres itu adalah luasnya kemungkinan perbenturan antara kepentingan nasional yang seharusnya terjabarkan secara jelas dalam kepres-kepres dengan kepentingan daerah yang tertuang dalam perda-perda itu. Kalau ini terjadi, kekisruhan pemerintahan menjadi tak terelakkan, dan kembali lagi rakyat yang menjadi korban.
Kesimpulan
Kebijakan otonomi daerah yang lahir tanpa kontrovensi dan perdebatan yang panas di DPR RI, ternyata dalam perjalanannya mengalami distorsi pemahaman yang lumayan memprihatinkan. Distorsi itu bukan hanya melanda masyarakat awam yang memang belum berkesempatan menyerap informasi yang lengkap tentang kebijakan ini, tetapi bahkan melanda pula kalangan top elit pemerintahan kita tingkat pusat. Kondisi yang ironis ini agaknya mengharuskan kita membangun kembali pemahaman yang benar dan obyektif tentang seluruh latar belakang, visi, tujuan dan sasaran yang ingin dijangkau melalui kebijakan ini. Kita juga perlu terus mengantisipasi akibatakibat apa yang harus kita pikul dalam konteks persatuan nasional dari perjalanan demokrasi jika kebijakan ini gagal dilaksanakan.
208
Federalisme, layaknya demokrasi, adalah tema populer dalam diskursus internasional saat ini. Ia dilihat sebagai sebuah prinsip penting dalam masyarakat majemuk. Mungkin agak ambisius dan romantis bahwa para penyokong ide federalisme mengutamakan satu proses kembar: desentralisasi fungsi-fungsi tertentu di satu pihak dan masuknya unsur-unsur supra nasional untuk banyak fungsi, yang mungkin membawa kepada terbentukya konfederasi bangsa-bangsa (Bagchy, 2000: 3035). Dalam suasana antusiasme internasional terhadap struktur federal, makalah ini mengajak untuk melihat pengalaman India dalam federalisme. Kita akan melihat konteks dimana mekanisme federal dianut dan dilaksanakan di India. Kedua, kita akan melihat proses politisnya sebagai satu faktor penting yang membentuk praktik-praktik dan isu-isu di federalisme India. Terakhir, dianjurkan untuk menjadikan isu federalisme sebagai masalah dalam konteks ekonomi politis baru di India. Barangkali ada manfaatnya untuk mulai mendalilkan pernyataan-pernyataan tertentu, yang menginformasikan makalah ini. 1. Ketetapan federal ditujukan untuk mencari solusi yang bersahabat dalam kerangka nasionalnegara. Dalam banyak perdebatan, ada kecendrungan untuk mengurangi penekanan pada peran bangsa-negara, baik atas dasar globalisasi maupun atas dasar teknologi komunikasi baru. Namun, kerangka bangsa-negara tersebut perlu dilihat sebagai (setidaknya secara potensi, kalau bukan secara aktual) sebuah instrumen demokrasi mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan. 2. Ketetapan-ketetapan kelembagaan (mengenai federalisme) perlu disebutkan dalam konteks persaingan politis dan sosial partai. Perumusan institusi federal serta fungsinya bergantung pada esensi kekuatan sosial yang bersaing demi perhatian dan pembagian kekuasaan. 3. Dalam memutuskan kerangka federal untuk setiap masyarakat, kita harus mengatasi satu dilema aneh. Yaitu dilema universalisme vs. partikularisme. Sering, teori yang sudah bersifat universal diajukan, yang bagaimanapun, berasal dari pengalaman dunia maju tentang kerangka bangsanegara. Pada saat satu posisi yang dapat pengecualian dibesar-besarkan, orang juga harus
209
menelaah dengan kritis kepentingan baru dalam federalisme yang berasal dari teori-teori multikulturalisme. 4. Perbedaan antara federalisme untuk datang bersama dengan federalisme untuk memegang bersama sangat bersifat instruktif (Stepan, 1997: 17-18). Teori ini mendorong orbit berbeda dari federalisme. Masalah identitas dan otonomi perlu dipertimbangkan dalam konteks ini. Federalisme yang ditujukan pada memegang bersama bergantung pada keadaan saling melengkapi diantara identitas rangkap. 5. Federalisme bisa dilihat sebagai bagian dari proses demokratisasi yang lebih besar. Pemerintahan dan pembangunan harus dibentuk dan diawasi secara demokratis. Tiga pengakuan demokratis biasa divisualisasikan pengakuan terhadap hak-hak individu, pengakuan terhadap hak-hak demokratis kelompok dan hak demokratis dari daerah/wilayah. Pengakuan-pengakuan ini akan diarahkan pada proses pengambilan keputusan, akses ke sumberdaya, dan/atau kemajuan yang adil. Federalisme mengurusi pengakuan-pengakuan daerah. Para mahasiswa konstitusi India memiliki penilaian yang seragam bahwa India mempunyai satu pemerintahan nasional atau pusat yang kuat. (Untuk detil ketetapan federal dibawah konstitusi India, lihat Lampiran). Pemerintah pusat dilimpahi dengan wewenang dan fungsi yang lebih penting dari pada pemerintah propinsi. Pusat juga memiliki wewenang untuk mengesampingkan negara bagian dalam beberapa hal. Pemerintah nasional telah diberi tanggungjawab untuk menghasilkan kemajuan dan pembangunan. Dibanding dengan negara bagian, pusat memegang kontrol yang lebih besar atas dan akses yang lebih mudah ke sumberdaya. Ketetapan-ketetapan ini menggiring pengamat untuk menggambarkan India sebagai semi-federal (Wheare, 1951: 28). Sebenarnya, penilaian asli Wheare adalah bahwa India adalah sebuah negara kesatuan dengan wajah federal tempelan (ibid). Namun, sebuah tinjauan yang lebih dekat pada berbagai ketetapan konstitusi akan memberikan sebuah kesimpulan alternatif. Konstitusi India tidak mengikuti model federalisme sebagaimana yang dikembangkan di Amerika dan Kanada. Pemerintah pusat dan negara bagian diharapkan untuk membagi banyak wewenang dan bekerja bersama daripada bekerja secara terpisah. Oleh karena itu, konstitusi telah menyediakan satu sistem jaringan. Penekanannya bukan pada pemisahan dua dermaga pemerintahan melainkan pada usaha bagaimana membuat mereka agar bekerja bersama. Ini telah digambarkan sebagai sebuah contoh tentang federalisme kerjasama (Austin, 1972: 187). Perlu dicatat bahwa Birch
210
mengajukan ide federalisme kerjasama jauh sebelum itu (1955). Konstitusi India mendorong pelaksanaan sistem jaringan sebelum adanya teori baru tentang federalisme. Dua ciri luarbiasa ketentuan federal India memerlukan sebutan. Pertama, konstitusi tersebut sudah menjamin satu institusi yang rumit dan kompleks. Sebagai tindak lanjut dari hal ini, maka muncullah bebagai komisi, komite dan dewan yang sesuai dengan undang-undang. Badan ini setidaknya secara potensi dan formal menjamin keterwakilan negaranegara bagian dalam proses pengambilan keputusan. Mengutip Inman dan Rubinfeld, Bagchi telah menyarankan agar dua isu menjadi fokus dari diskusi tentang federalisme ini: Tugas (bagian dari kekuasaan) dan keterwakilan (dari negara bagian) (Baghci, 2000: 3025). Kerangka institusi menjamin keterwakilan negara bagian tidak saja di majlis kedua nasional (Dewan Negara-Negara Bagian) tapi juga di sejumlah forum lain, seperti Dewan Pembangunan Nasional (NDC), DewanDewan Daerah, dan seterusnya. Kedua, sistem federasi India agak menyimpang dari model-model federalisme klasik karena ia memberi fleksibilitas yang lebih besar, pertimbangan-pertimbangan pragmatis menggantikan teori federalis. Hal ini ditunjukkan oleh salah satu arsitek konstitusi, Dr. Ambedkar. Dia membantah bahwa konstitusi memberi wewenang tertentu kepada pusat dan negara bagian secara terpisah tapi menghindari kekakuan yang diasosiasikan dengan pembagian wewenang seperti itu. Menurut persyaratan waktu dan keadaan pelaksanaan otoritas pemerintah bisa bergerak antara kutub kesatuan dan federal (CAD VII: 33-24). Jadi, (sebagaimana dijelaskan mendetil dalam Appendix) wewenang legislatif negara-negara bagian untuk sementara waktu bisa diserahkan kepada pusat, pemerintah pusat bisa menjamin pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan negara-negara bagian, dan seterusnya. Kita bisa mengemukakan prinsip-prinsip berikut sebagai prinsip memerintah ketika ketetapan federal yang ada sekarang dibuat oleh konstitusi: Semua wewenang harus bisa dipertanggungjawabkan dan menurut hukum. Oleh karena itu kekuasaan sewenang-wenang tidak bisa dibenarkan; Efisiensi dan pertanggungjawaban menuntut pemisahan kekuasaan secara vertikal dan horizontal sehingga konsentrasi kekuasaan bisa dihindari; Pembagian kekuasaan harus fleksibel tapi tapi semua pembagian kekuasaan itu harus mempunyai dasar hukum sehingga tidak dibenarkan perebutan kekuasaan; Semua bagian dan wilayah dari negeri ini harus mendapat bagian yang pantas dalam perkembangannya. Diperlukan adanya prisip-prinsip keadilan untuk akses ke sumberdaya; wewenang swatantra bagian-bagian (negara-negara bagian) seharusnya tidak ditafsirkan
211
sebagai bersaing dengan loyalitas nasional. Seharusnya tidak ada benturan antara kesetiaan lokal dan kesetiaan nasional. Yang pertama bisa melengkapi yang kemudiann dan kesetiaan nasional bisa mencakup kesetiaan lokal. Mari kita tinjau dengan singkat konteks dimana ketetapan-ketetapan federal ini dibuat dan diimplementasikan di India. Yang pertama, pembagian India pada masa kemerdekaan menggusur kepentingan politik untuk memiliki sebuah federasi yang terstruktur dengan longgar. Juga, di India yang sudah terbagi, tidak ada kekuatan politik utama yang dengan serius mengejar tujuan baik dari konfederasi maupun federasi klasik. Kedua, keberagaman masyarakat India tidak terlihat banyak dalam istilah regional sebagaimana dalam istilah sosial. Oleh karena itu federalisme tidak dilihat dari sebagai satu strategi untuk melindungi kemajemukan dan keberagaman, tidak juga dilihat sebagai satu instrumen dari hakhak minoritas. Bahkan para pendukung hak-hak minoritas tidak menguraikan tuntutan mereka atas dasar wilayah. Ketiga, dirasakan bahwa kebijakan-kebijakan untuk pembangunan dan kemajuan bukanlah kebutuhan mendesak dan ini membutuhkan hubungan kerjasama antara pusat dan negara bagian. Pemerintah pusat dilihat sebagai sebuah dinas koordinasi yang krusial dalam proses menempatkan bangsa pada jalur pembangunan. Faktor ini memainkan peranan penting juga dalam memfungsikan federalisme. Terakhir, kompetisi antara kepentingan-kepentingan industri dan agraria juga membantu terbentuknya federalisme India. Pada masa kemerdekaan, kepentingan industri tidaklah begitu kuat. Kepentingan agraria mempunyai pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Kepentingan bisnis dan industri menyokong sebuah pemerintah pusat yang kuat sedangkan kepentingan agraria merasa lebih pas dengan pemerintah pada tingkat negara bagian, diatas mana bagian-bagian ini memiliki kontrol langsung. Benturan ini memegang peran penting dalam evolusi ketetapan federal India. Dengan dukungan pengaruh kuat bisnis dan industri maka bisa terbentuk sebuah pemerintah pusat yang baik. Pada saat yang sama, pemberian otoritas atas pertanian pada negara bagian menampung kepentingan-kepentingan agraria. Masalah penarikan pajak atas pendapatan pertanian juga diserahkan pada negara bagian. Kebanyakan dari isu dan kepentingan ini mendominasi kerja federalisme semenjak kemerdekaan. Tema kesatuan nasional ternyata selalu terbukti persuasif. Sengketa perbatasan India dengan China
212
dan Pakistan telah memperkuat pengakuan dari pemerintah pusat. Apalagi, tuntutan otonomi yang lebih besar atau wewenang lebih banyak kepada negara bagian mudah untuk didelegitimasikan. Khususnya, gerakan separatis militan di negara bagian di timur laut India dan di Punjab telah membuat semua tuntutan otonomi jadi seakan mencurigakan. Hal ini tentunya telah menghambat proses evolusi perdebatan serius publik yang mengerti permasalahan tentang isu federal. Sebaliknya, tanggungjawab perencanaan pembangunan ekonomi selalu memberi acungan tangan kepada pusat. Pemerintah pusat menunjuk komisi perencanaan, yang secara turun temurun telah mendominasi semua keputusan penting tentang kebijakan pembangunan di India. Sejak tahun 1950 sampai sekarang, komisi perencanaan ini dan melalui dia, pemerintah pusat, mengendalikan alokasi sumberdaya, pencarian sumberdaya dan pendistribusinya. Pemerintah pusat juga memutuskan program-program aktual untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah pusat juga membentuk jaringan luas perusahaan publik dimana melalui perusahaan-perusahaan ini pemerintah bisa memainkan peran penting dalam memproduksi dan pendistribusian barang dan jasa dan juga dibidang perbankan dan asuransi. Pembangunan-pembangunan ini, walaupun secara formal muncul dari tanggungjawab Pusat mengenai perencanaan ekonomi, juga bisa dilihat sebagai akibat dari benturan kepentingan industri dan agraria. Pemerintah pusat antusias melaksanakan kebijakan industrialisasi dan pengembangan pemodal menyeluruh. Intervensinya dalam pertanian juga telah mengubah struktur pertanian tradisional. Jadi, ketetapan federal buat dan dilaksanakan dalam konteks tema kesatuan, pembangunan terencana dan intensifikasi pengembangan industri.
Menanggapi meningkatnya kekecewaan tentang hubungan pusat-negara bagian, maka Pemerintah India menunjuk sebuah komisi dibawah seorang pensiunan hakim, Hakim Agung Sarkaria, untuk menyelidiki masalah itu. Rekomendasi yang diajukannya dalam laporan (GI 1988) sebenarnya menekankan bahwa ketetapan konstitusional perlu ditindak-lanjuti secera lebih efektif dengan mengikuti semangat kerjasama pusat-negara bagian dan otonomi negara bagian. Namun, politik telah membentuk perdebatan federal lebih dari yang lainnya. Politik demokratis di India mulai terbuka dibawah dominasi Partai Kongres. Periode antara 1950 dan 1967 ditandai dengan persaingan yang sangat lemah diantara partai politik. Ini berarti bahwa partai yang sama berkuasa baik di pusat maupun di hampir semua negara bagian. Partai Kongres berusaha mempertahankan keseimbangan antara kepentingan tingkat negara bagian dan tujuan nasional pembangunan industrinya. Pemimpin tingkat negara bagian juga diberi peran penting dalam memfungsikan partai. Dengan sedikit keengganan, negara-negara bagian direorganisasi atas dasar bahasa pada tahun 1956. Proses reorganisasi negara bagian ini berlanjut bahkan setelah 1956 (baru-baru ini, misalnya, tiga negara bagian baru telah dibentuk, terutama dua diantaranya terdiri dari masyarakat kesukuan dan satunya dari daerah perbukitan Uttar Pradesh). Pembentukan negara bagian atas dasar bahasa, etnis dan seterusnya dilihat sebagai respon demokratis atas sentimen-sentimen populer dan strategi dalam mengakomodasi wilayah-wilayah yang dominan secara regional. Setelah tahun 1967, walaupun dominasi Partai Kongres berlanjut, sistem kepartaian menjadi lebih kompetitif. Partai Kongres sendiri menghadapi serangkaian krisis dibawah tekanan kontradiksi internal. Di banyak negara bagian, berbagai partai non-Kongres menguasai wewenang pemerintah. Indira Gandhi menerapkan sebuah kombinasi strategi populis dan otoritas pribadi yang merongrong keseimbangan antara kepentingan daerah dan kepentingan seluruh India. Perkembangan ini membawa dua akibat: Ketetapan federal tidak ditindaklanjuti dengan bersemangat dan daerah digambarkan seakan berpikiran sempit dan berbahaya terhadap kepentingan nasional. Khususnya, pemimpin Partai Kongres di daerah dikurangi sampai ke posisi bawahan dan partai tersebut mengambil sikap yang sangat non-federal. Pada saat yang sama, pusat memanfaatkan satu ketetapan konstitusional (fasal 356) untuk menggusur menteri-menteri non-Kongres dari kekuasaan dengan cara yang sangat kasar. Ketetapan ini dan peran gubernur negara-negara bagian menjadi kontroversial. Sejak tahun 1967, bilamana partai-partai non-Kongres berada dipuncak kekuasaan pada tingkat negara bagian, mereka mengambil inisiatif untuk merumuskan kembali ketetapan-ketetapan
214
konstitusi federal (tanpa banyak keberhasilan). Pemerintah negara bagian Tamil Nadu menunjuk sebuah komite (Komite Rajmannar) untuk merevisi hubungan pusat-negara bagian. Laporan komite ini (TN 1971) dimanfaatkan oleh badan legislatif negara bagian. Laporan ini menghimbau diberikannya otonomi lebih luas kepada negara bagian dan bahkan membagi pengambilan keputusan nasional. Pada tahun 1977, ketika pemerintah pimpinan Partai Komunis berkuasa di Bengal Barat, mereka mengajukan sebuah memorandum (IJPA, 1977) tentang masalah federal. Ia berusaha untuk medefinisikan ulang wewenang legislatif dan keuangan negara-negara bagian yang ditujukan pada otonomi keuangan negara-negara bagian tersebut. Pada tahun 1983, pemerintahan dibawah Partai Janata di Karnataka mengadakan seminar yang menghasilkan tuntutan-tuntutan desentralisasi lebih luas dalam proses perencanaan, transfer pendapatan yang lebih hati-hati dan peran terbatas bagi Gubernur (Pemerintahan Karnataka, 1984). Sungguh mencengangkan bahwa dalam ketiga hal tersebut, partai-partai yang berkuasa di negara bagian berbeda dengan partai yang berkuasa di pusat sementara pada tahun 1977, Partai Janata menerima kekuasaan di pusat dengan mengalahkan Partai Kongres. Hal ini menunjukkan hipotesa bahwa usaha-usaha untuk mendefinisi ulang ketetapan federal adalah tugasnya partaipartai politik. Sejak tahun 1989, terjadi perkembangan baru dalam dunia perpolitikan India. Sistem kepartaian telah menjadi sangat kompetitif dari pada sebelumnya. Koalisi partai-partai telah sering terjadi sejak tahun 1996. Banyak partai yang menikmati kekuasaan pada level negara bagian. Sebenarnya, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa hampir semua partai besar di India saat ini membagi kekuasaan baik di tingkat pusat maupun di negara bagian (dengan pengecualian bagi tiga partai level negara bagian saja, satu diantaranya yang baru-baru ini kalah di Assam dan dua yang sedang berharap untuk memperoleh kekuasaan pada pemilihan yang rencananya akan diadakan pada awal tahun depan yaitu Partai Samajwadi dan Partai Bahujan Samaj di Uttar Pradesh). Pola baru pembagian kekuasaan ini memberikan dampak besar pada pembicaraan mengenai federalisme dan juga pada hubungan antara pemerintah pusat dan negara bagian. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang dilancarkan terhadap pemerintah pusat oleh partai-partai yang menentang aliansi yang berkuasa pada tingkat nasional, perdebatan ini kini dibatasi pada pembagian sumber daya.
215
Pembagian sumber daya merupakan masalah yang sangat penting dalam federasi apapun, terlebihlebih di India oleh karena sistem yang saling berpautan mengenai pengumpulan pendapatan dan pembagiannya. Oleh karena keterbatasan sumber peningkatan pendapatan yang dipunyai oleh negara-negara bagian, terdapat persaingan ketat di antara negara-negara bagian untuk melakukan pengalihan sumber daya yang lebih baik dari pemerintah pusat. Pengalihan sumber daya terjadi dengan cara seperti berikut: Komisi Perencanaan melakukan pengalihan sumber daya untuk pengeluaran yang berdasarkan rencana negara bagian; Komisi keuangan merekomendasikan rumusan untuk distribusi pendapatan dan hibah sebagai bantuankepada negara-negara bagian; dan Pemerintah pusat secara langsung memberikan hibah yang bisa secara bebas digunakan oleh negara-negara bagian. Konstitusi menetapkan bahwa Komisi Keuangan (Finance Commission atau FC) akan memutuskan a) pembagian pendapatan tertentu antara pusat dan negara bagian; dan b) pembagian pendapatan tertentu antara negara-negara bagian. Lembaga Komisi Keuangan telah menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Namun demikian, masih ada masalah-masalah tertentu yang patut disebutkan: Biasanya FC menggunakan pendekatan menutupi kekurangan, yaitu menentukan pengalihan kepada negara bagian atas dasar perbedaan antara sumber daya mereka dan pengeluaran di luar rencana. (Khrisnaswamy et al, 1992: 189-90; Reddy, 1988: 65-66). Dengan mengikuti logika ini, pemerintah pusat telah berusaha untuk menyudutkan bagian pendapat yang lebih besar (Khrishnaswamy et al.). Yang kedua, ditaksir bahwa sejak akhir tahun 1980an, pemerintah pusat telah melakukan manipulasi terhadap kerangka kerja FC dengan cara sedemikian rupa sehingga kontrol yang lebih besar terhadap pengeluaran negara bagian dapat dilakukan atas nama efisiensi dan rasionalitas ekonomi. Yang ketiga, hanya pengeluaran di luar rencana yang dipertimbangkan oleh FC. Komisi Perencanaan memutuskan bagian negara bagian dalam pendapatan untuk pengeluaran yang direncanakan. Maka, secara pukul rata, hanya 35 persen dari pengalihan pendapatan seluruhnya dari pusat ke negara-negara bagian yang telah terjadi lewat FC. Mengenai sisanya, yang dibuat oleh Komisi Perencanaan, rasio hibah terhadap pinjaman adalah 30:70. Mungkin perlu dicatat bahwa pemerintah pusat melakukan kontrol yang lebih besar dan mempunyai pengaruh yang lebih besar pula terhadap komisi perencanaan daripada terhadap FC. Maka, pengalihan pendapatan dipolitisasi dan menjadi kontroversial, sebagai akibat dari mengecilnya peran FC.
216
Kontroversi yang paling sengit mengenai transfer pendapatan oleh FC terpusat pada negara bagian yang maju versus negara bagian yang terkebelakang. Transfer dari pusat biasanya memperhatikan keperluan negara bagian yang masih terkebelakang. Hal ini mendapat tentangan dari negara bagian yang maju dengan alasa bahwa kemajuan ekonomi mereka dan manajemen rasional menjadi terganggu oleh kurangnya pemberian pendapatan kepada mereka (Godbole, 2001:29). Sebenarnya, semua FC menjalankan rumusan devolusi yang memberi dukungan kepada negara-negara bagian yang miskin. Namun dalam konteks kebijakan ekonomi baru, negara-negara bagian yang maju telah menjadi lebih sombong. Mereka tidak lagi ingin memikul beban negara bagian yang tidak melakukan fungsinya dengan baik (India Today, 2000: 38-31). Komisi Keuangan memberikan respons kepada masalah ini dengan melakukan (di masa depan) kontrol yang lebih ketat terhadap keuangan negara-negara bagian. Kebanyakan ahli kini percaya bahwa FC hendaknya membuat norma bagi unjuk kerja negara bagian sehingga pada 2005 nanti negara-negara bagian tidak lagi mengalami defisit pendapatan (untuk lengkapnya lihat Srivastava, 2000).
perusahaan listrik Enron. Juga, ketika negara bagian Goa mengusir satu perusahaan industri yang membahayakan lingkungan, negara bagian lainnya, Tamil Nadu, secara antusias merangkul perusahaan yang sama. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan otonomi sebagai sesuatu yang baru dinikmani mungkin pada akhirnya akan merupakan erosi terhadap kekuasaan negara bagian. Namun, pada saat ini, negara-negara bagian yang lebih maju menikmati pengaruh yang lebih besar dalam pembuatan keputusan pemerintah pusat (Rangarajan, 1997:27). Sebagai akibat sampingan, banyak partai pada tingkat negara bagian tidak lagi menekankan retorik kedaerahan mereka dan berusasha untuk menghadirkandirimereka sebagai partai-partai yang memikul tanggung jawab dan bersifat nasional. Maka dewasa ini tuntutan mereka yang berkaitan dengan otonomi telah menyurut walaupun terdapat lebih banyak partai pada tingkat negara bagian atau daerah. Pada saat yang sama, perkembangan dalam bidang kebijakan ekonomi telah memperburuk ketegangan antara negara-negara bagian yang lebih maju dan mereka yang lebih terkebelakang. Sementara negara bagian yang maju tidak ingin memikul beban negara bagian yang terkebelakang, negara bagian yang terkebelakang pasti merasa kesal karena ditinggalkan dalam proses perkembangan. Misalnya, negara bagian dengan pendapatan yang tinggi (Maharashtra, Goa, Gujarat, Punjab, Haryana), yang penduduknya merupakan 19 persen dari seluruh penduduk India, mendapatkan 41 persen dari bantuan keuangan yang diberikan oleh All India Financial Institutions (Lembaga Keuangan Seluruh India), sedangkan negara bagian dengan pendapatan pada tingkat menengah (Kerala, Tamil Nadu, AP, Karnataka, WB), yang penduduknya merupakan 31 persen dari seluruh penduduk India, menerima only 27 persen dari bantuan itu. Negara bagian yang miskin (Bihar, Uttar Pradesh, MP, Rajasthan, Orissa), dengan penduduk berjumlah 43 persen dari jumlah penduduk seluruh India, menerima hanya 20 persen dari bantuan keuangan itu (Kurian, 1999: 1116). Setelah diperkenalkannya kebijakan ekonomi baru, jurang dalam pendapatan per kapita antara negara-negara bagian yang miskin dan yang kaya juga melebar. (India Today, 2000: 30). Maka, kitapun memasuki fase dua kecenderungan yang berlawanan dalam hubungan federal India: secara politis, naiknya partai-partai pada tingkat negara bagian dan politik koalisi telah memberikan kekuatan baru kepada negara-negara bagian sedangkan dalam hal pembagian sumber daya, keteganan baru muncul. Kebijakan liberalisasi memperlebar jurang antara negara-negara bagian yang kaya dan miskin dan argumennya sekarang adalah bahwa negara bagian yang miskin harus mencari kesalahan pada diri mereka sendiri untuk mengetahui mengapa mereka terkebelakang. Perkembangan yang kedua ini menegasikan keuntungan yang timbul dari faktor yang sebelumnya.
218
Sebenarnya, selain daripada konflik pusat dan negara bagian, sekarang terdapat konflik antara negara-negara bagian itu sendiri. Dalam waktu dekat, ketegangan ini mungkin terjadi dalam hubungan antara pusat dan negara bagian dan antara negara bagian. Yang lebih penting, perkembangan yang baru-baru ini terjadi melanggar prinsip supremasi negara bagian nasional, demokrasi dan akses yang sama terhadap sumber daya. Adalah ironis jika proses yang sebagian memperkuat federalisme, harus melemahkan tujuan federalisme itu.
219
pajak profesi, bea materai, bea tanah; (c) pajak yang dipungut oleh pusat tetapi dikumpulkan dan digunakan oleh negara bagian bea tertentu atas preparat kedokteran, dsb; (d) pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh pusat dan didistribusikan di antara negara bagian pajak terminal, pajak atas ongkos kereta api, dsb; (e) pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh pusat dan didistribusikan antara pusat dan negara bagian: pajak pendapatan. 6. Untuk memutuskan prinsip-prinsip bagi pajak dan hibah bantuan oleh pusat kepada negara bagian, Komisi Keuangan harus ditunjuk setiap lima tahun oleh presiden (seorang ketua dan empat anggota). 7. Oleh karena India mengambil sistem perencanaan sejak 1951, Komisi Perencanaan (yang didirikan oleh Undang-Undang Parlemen) telah memikul tanggungjawab besar dalam memutuskan rencana-rencana negara bagian dan mendistribusikan pendapatan untuk pengeluaran menurut rencana. 8. Dalam tahun 1952, Dewan Perkembangan Nasional (NDC) didirikan. Dewan ini terdiri dari semua menteri utama negara bagian dan kabinet serta anggota-anggota Komisi Perencanaan. NDC didirikan sebagai badan konsultatif untuk meninjau kerjanya suatu rencana. 9. Untuk konsultasi antar negara bagian, Dewan-Dewan Zone didirikan setelah tahun 1956. Menteri Utama dan dua menteri lain dari tiap negara bagian dalam suatu zone tertentu menjadi anggota. Mekanisme ini sekarang ini tidak begitu aktif. 10. Konstitusi juga menetapkan adanya Dewan Antar Negara Bagian untuk melakukan penyelidikan mengenai pertikaian antara negara bagian. Dalam 1990, dewan seperti ini, yang beranggotakan semua menteri utama dan enam menteri kabinet, didirikan. 11. Untuk berbagi air dari sungai-sungai antar negara bagian, dan untuk menyelesaikan pertikaian yang berkaitan dengan masalah ini, undang-undang parlemen (1956) mendirikan Badan Sungai dan Pengadilan Pertikaian Air. 12. Sementara negara bagian mempunyai wewenang eksekutif atas masalah-masalah dalam Daftar Negara Bagian, pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk memberikan arahan kepada pemerintah negara bagian dalam hal-hal yang bersifat melindungi properti pemerintahan pusat, pelaksanaan undang-undang pusat dll. 13. Terdapat layanan adminsitrasi dan polisi yang seragam di seluruh India. Para perwira dari kader-kader ini ditugaskan ke negara-negara bagian. 14. Terdapat satu sistem peradilan di bawah Mahkamah Agung India. 15. Konstitusi India menetapkan adanya hanya satu kewarganegaraan India. Tidak terdapat kewarganegaraan terpisah.
221
16. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk membubarkan pemerintah negara bagian dan membekukan atau membubarkan badan legislatif negara bagian dengan alasan kegagalan mesin konstitusi di negara bagian (pasal di konstitusi yang paling sering disalahgunakan dan paling kontroversial). Dalam situasi seperti itu, pemerintah pusat memegang kekuasaan legislatif negara bagian. 17. Karena alasan historis, Jammu dan Kashmir mempunyai konstitusi negara bagian sendiri dan kekuasaan pemerintah pusat yang secara otomatis dapat berlaku bagi negara bagian ini terbatas pada kebijakan luar negeri, pertahanan dan komunikasi. 18. Sejumlah ketetapan khusus untuk pemerintahan daerah-daerah kesukuan yang memberikan otonomi kepada distrik-distrik tertentu di Assam, Nagaland, Mizoram dan Arunachal, telah dibuat. 19. Sebuah ketetapan untuk Badan Pembangunan telah dibuat untuk menjamin adanya pembangunan berimbang di dalam negara bagian (khususnya untuk Maharashtra dan Gujarat). 20. Dalam badan legislatif nasional dua kamar, Dewan Negara Bagian mewakili negara bagian. Wakil-wakil negara bagian dipilih oleh badan legislatif negara bagian sesuai dengan proporsi terhadap jumlah penduduk negara bagian. Hal ini menguntungkan negara bagian yang padat penduduknya. 21. Untuk melaksanakan pemilihan umum bagi badan legislatif pusat dan negara bagian, terdapat Komisi Pemilihan bersama yang ditunjuk oleh Presiden. 22. Pemeriksa Keuangan dan Auditor General, yang ditunjuk oleh presiden, mempunyai wewenang untuk mengaudit rekening-rekening pemerintah negara bagian. 23. Badan legislatif negara bagian mempunyai wewenang untuk memutuskan apakah negara bagian harus mempunuai badan legislatif dua kamar atau tidak.
222
Kepustakaan
Bagchi, Amaresh. Rethinking Federalism, Economic and Political Weekly, 19 Aug. 2000. Bhattacharya, J. K. Development Planning and Its Impact on Union-State Relations, Journal of Constitutional and Parliamentary Studies, Vol. 6, No. 3 (1972). CAD, Debates in the Constituent Assembly of India, Vol. VII. Frankel, Francine R. Indias Political Economy-1947-1977: The Gradual Revolution, Princeton: Princeton University Press, 1978. Govt. of India, Report of the Commission on Centre-State Relations, 2 Vols., 1988. Godbole, Madhav. Finance Commissions in a Cul-de-sac, Economic and Political Weekly, 6 Jan. 2001. Government of West Bengal. Indian Journal of Public Administration, Centre-State Relations, Oct Dec. 1977, hal. 1117-1126. Granville, Austin. The Indian Constitution: Cornerstone of a Nation, Delhi: Oxford University Press, 1972. India Today. Perform or Perish, 4 Sept 2000. Karnataka Government, Economic and Planning Council. Seminar on Centre-State Relations, Bangalore, 1984. Krishnaswamy, K. S., I. S. Gulati dan A. Vaidyanathan. Economic Aspects of Federalism in India, dalam Nirmal Mukarji and Balveer Arora (eds.), Federalism in India, New Delhi: Vikas Publishing, 1992. Kurian, N. J., State Government Finances a Survey of Recent Trends, Economic and Political Weekly, 8 Mei 1999, hal. 1115-1125. Rangarajan, Mahesh. One, Two, Many Indias? Seminar, August 1999. Reddy, K. N. Indian Federal Fiscal Devolution A Critique, dalam S. Chandrasekhar (ed.), Indian Federalism and Autonomy, Delhi: BR Publishing, 1988. Srivastava, D. K. (ed.) Fiscal Federalism in India: Contemporary Challenges, New Delhi: HarAnand, 2000. Stepan, Alfred. Comparative Democratic Federalism, Seminar, November 1997. Tamil Nadu Committee on Centre-State Relationships, Report, Madras, 1971. Wheare, K. C. Federal Government, London: Oxford University Press, 1951
223
Otonomi Daerah dan Lokal dalam Masyarakat yang Sedang Proses Transisi
Oleh Prof. Scott A. Bollens
Pengantar
Makalah ini mengamati lima usaha yang sekarang ini dilakukan orang untuk membagikan kekuasaan ke tingkat daerah dan lokal dalam masyarakat yang sedang berusaha untuk mengatasi pertikaian etnis dan kebangsaan. Kasus-kasus tersebut berkenaan dengan masalah Israel/Palestina, Irlandia Utara, Afrika Selatan, Siprus dan Bosnia-Herzegowina. Kesemuanya menggambarkan berbagai cara untuk membagikan atau mengalihkan kekuasaan pemerintahan, termasuk otonomi, desentralisasi dan federalisme. Yang secara khusus diamati oleh makalah ini adalah opsi otonomi. Otonomi adalah pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebuah wilayah berotonomi mempunyai wewenang untuk mengurus sendiri masalah-masalah intern mereka dalam bidang ekonomi, kemasyarakatan dan kebudayaan, lepas dari campur tangan pemerintah pusat. Dalam hal ini pemerintah pusat tetal memegang wewenang dalam bidang-bidang hubungan luar negeri dan keamanan internasional. Singkat kata, kepada sebuah daerah diberikan sarana untuk mengungkapkan identitasnya sendiri. Otonomi merupakan usaha untuk mempertahankan kesatuan negara dan pada saat yang sama menghormati keberagaman yang ada dalam penduduk negara itu. Tuntutan mengenai otonomi didasarkan atas kerangka hak asasi manusia: 1. Hak untuk mendapatkan persamaan dan tidak didiskriminasi; 2. Hak minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan hak-hak mereka sendiri; 3. Hak bagi penduduk asli untuk mempertahankan tradisi mereka dan hak-hak khusus mereka terhadap sumber daya, dan 4. Hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Hak minoritas sebagai suatu konsep hukum telah diakui dalam dokumen Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) yang dibuat di Kopenhagen dalam tahun 1992 dan dalam Deklarasi PBB untuk Hak-Hak Orang yang termasuk Kelompok Minoritas berdasarkan Kebangsaan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa, yang dibuat dalam tahun 1992. Dalam hal yang pertama, otonomi disebut sebagai sarana yang digunakan untuk memajukan dan melindungi identitas minoritas. Dalam hal yang kedua, otonomi tidaklah disebutkan. Penentuan
224
nasib sendiri sebagai suatu hak telah lama diperdebatkan dan tetap ambigu dalam penerapannya. Prinsip ini terdapat dalam dua kesepakatan PBB mengenai hak asasi manusia yang dibuat dalam tahun 1996: Kesepakatan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Kesepakatan Internasional Mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Keuntungan pemberian otonomi lokal dan daerah dalam suatu negara yang heterogen adalah bahwa kaum minoritas dapat memperoleh sebagian dari kekuasaan negara. Otonomi juga menawarkan kepada kelompok minoritas prospek yang lebih baik untuk mempertahankan kebudayaan mereka dan meningkatkan kesempatan untuk tercapainya koalisi politik antara kelompok-kelompok etnis. Otonomi juga memberikan ruang gerak bagi suatu negara yang mungkin akan terpecah belah untuk menyiapkan konstitusi yang baru (Ghai 2000).1 Namun demikian, otonomi mungkin juga menghadapi resistensi dan menghasilkan akibat negatif, termasuk kekhawatiran bahwa otonomi akan menjadi batu loncat untuk pemisahan diri, kekhawatiran di pihak pemimpin kelompok mayoritas bahwa mereka akan kehilangan dukungan pemilih, penguatan identitas etnis atau penciptaan bentuk-bentuk identitas baru, kompromi mengenai apa yang dianggap sebagai nilai-nilai fundamental negara dan resistensi terhadap konsultasi dan kompromi yang diperlukan bagi keberhasilan pembagian kekuasaan negara yang baru (Ghai 2000). Studi kasus yang diberikan di sini menunjukkan berbagai macam bentuk dan keefektivan strategi untuk mengusahakan adanya otonomi, federalisme, atau secara lebih umum suatu bentuk pembagian kekuasaan negara. Dalam tiap kasus, pengaturan-pengaturan otonomi atau federalis dianggap mampu memecahkan konflik internal dalam suatu negara dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok-kelompok etnis.2 Walaupun dalam sejumlah kasus otonomi (dalam definisi secara formalnya) tidak terlibat, semua kasus berkaitan atau merencanakan pengalihan kekuasaan dari satu pemerintah (atau tingkat pemerintah) ke yang lainnya dan karena itu merupakan kasus-kasus yang relevan dengan masalah perubahan konstitusi di Indonesia.
Yash Ghai, The Structure of the State: Federalism and Autonomy, hal. 155-69 dalam Peter Harris dan Ben Reilly (eds.), Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1998). 2 Dalam federalisme, daerah-daerah secara aktif berpartisipasi dalam lembaga-lembaga dan pembuatan kebijakan secara nasional dan mengendalikan masalah-masalah intern dalam daerah mereka sendiri. Dalam otonomi, tekanan diberikan pada kekuasaan daerah untuk mengandalikan masalah intern mereka, daripada berpartisipasi dalam lembaga-lembaga nasional. Lihat Ruth Lapidoth, Autonomy: Flexible Solutions to Ethnic Conflict (Washington D.C.: U.S. Institute of Peace, 1997). Otonomi teritorial berkaitan dengan pemberian kekuasaan kepada penduduk dari suatu daerah geografi yang spesifik; otonomi personal diterapkan pada semua anggota suatu kelompok tertentu dalam suatu negara, dengan tidak memandang tempat tinggal mereka.
225
Israel-Palestina:
Usaha pemberian otonomi menggunakan strategi penambahan sedikit demi sedikit (inkremental) dan berfase. Usaha ini merupakan pendekatan yang berkiblat pada proses dan sangat hati-hati. Kemajuannya tergantung pada terbinanya kepercayaan, kerjasama yang fungsinal dan tindakan yang pragmatis dan konkret. Ini merupakan usaha untuk mengalihkan kontrol politik atas suatu daerah dari pemerintahan langsung pihak ke tiga yang eksternal ke pemerintahan lokal yang mencerminkan pembagian kekuasaan dan melindungi hak-hak dan aspirasi tiap kelompok. Kasus ini menunjukkan suatu usaha untuk mereformasi dan memberdayakan pemerintahan-pemerintahan lokal dan daerah di tengah peralihan politik yang utama. Pembinaan perdamaian yang menghasilkan maslahat yang terlihat bagi para warga haruslah memperkuat revolusi demokrasi negara itu. Contoh ini menunjukkan bahwa bahkan bila pihak-pihak yang antagonistik bersepakat megnenai konsep umum federalisme, dapat pula terjadi ketidaksepakatan mengenai ciri-ciri spesifik federalisme itu. Serupa halnya dengan kasus Irlandia Utara, masyarakat internasional sedang berusaha untuk memajukan pembagian kekuasaan dengan menawarkan suatu rumusan kelembagaan untuk menghindari terjadinya konflik etnis.
Irlandia Utara:
Afrika Selatan:
Siprus:
BosniaHerzegowina :
Dengan pengawasan PBB yang ketat, suatu pemerintah pusat yang telah tumbang dan menderita bekas-bekas perang sedang mencoba untuk menciptakan dirinya lagi lewat suatu konfederasi yang longgar dari dua entitas yang batas-batasnya diciptakan terutama oleh perang dan pembersihan etnis.
Devolusi berarti pengalihan kekuasaan dari satu pemerintahan (atau tingkat pemerintahan) kepada pemerintahan yang lainnya. Devolusi seringkali berkaitan dengan desentralisasi kekuasaan atau wewenang pemerintah dari pemerintahan yang secara geografis berukuran besar ke pemerintahan yang secara geografis lebih kecil,.seringkali disebut sebagai pemberian kekuasaan yang lebih besar oleh suatu daerah atau provinsi kepada pemerintahan-pemerintahan lokal. Istilah ini juga telah dipakai untuk menggambarkan pengalihan kekuasaan pemerintah yang lebih drastik, seperti apa yang diusahakan di Irlandia Utara untuk mengalihkan pemerintahan langsung Inggris ke pemerintahan lokal yang bersifat pembagian kekuasaan.
226
ISRAEL DAN PALESTINA Pemberdayaan dan pemberian otonomi bertahap untuk membangun saling percaya
Pendekatan ke arah pemberian otonomi mempergunakan strategi sedikit demi sedikit (inkremental) dan bertahap. Pendekatan ini berorientasi pada pendekatan dan bersifat hati-hati. Kemajuannya tergantung pada pembinaan kepercayaan, kerjasama fungsional dan tindakan yang pragmatik dan konkret. Di tengah berlangsungnya permusuhan, proses ini terancam tercerai berai seluruhnya. Ketegangan agama antara Yahudi dan Muslim dan ketegangan kebangsaan antara Israel dan Palestina menjadi berkait di kawasan yang tidak pernah tenang ini. Sebagai hasil dari Perang Enam Hari tahun 1967, kekuatan pertahanan Israel menguasai dan mempersatukan Yerusalem timur, Judea dan Samaria (daerah Tepi Barat), Dataran Tinggi Golan, dan Gurun Sinai. Daerah Tepi Barat yang dikuasai oleh Israel mengelilingi pada tiga sisinya batas-batas kota Yerusalem. Kota Suci yang diperebutkan ini secara geografi terletak pada titik perhubungan antara negara Israel (berpenduduk kira-kira 5.5 juta orang; 82 persennya Yahudi) dan Yerusalem dan Tepi Barat yang dikuasainya. Terdapat lebih daripada 140 tempat pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza, di samping 10 lingkungan tempat tinggal Yahudi yang telah didirikan di dalam batasbatas yang dipertikaikan di Yerusalem timur. Berbeda dengan Yerusalem timur, dan sesuai dengan Deklarasi Prinsip tahun 1993, Tepi Barat dan Jalur Gaza (keduanya memiliki penduduk mayoritas Palestina, yang merupakan 80 persen dari jumlah penduduk seluruhnya) telah mengalami berbagai usaha pemberdayaan politik Palestina dari tahun 1993 hingga 1996 dengan tingkat yang berbeda-beda. Falsafah yang mendasari negosiasi ini adalah bahwa pemimpin-pemimpin Israel dan Palestina dapat memahami situasi mereka di luar prinsip zero-sum (aku menang - kau kalah). Otonomi politik dan tanah bagi orang Palestina akan dipertukarkan dengan keamanan yang lebih baik untuk orang Israel dan kestabilan kawasan. Dalam Pasal V (3), persetujuan ini menyatakan bahwa status Yerusalem tidak akan dibicarakan dalam negosiasi-negosiasi untuk pengaturan interim tetapi hendaknya menjadi salah satu masalah yang disisakan untuk negosiasi-negosiasi mengenai status permanen yang semula direncanakan akan diadakan tidak lewat dari bulan Mei 1996. Tahapan kesepakatan ini adalah: Deklarasi Prinsip mengenai Pengaturan Pemerintahan Sendiri Interim (Kesepakatan Oslo I) ditandatangani oleh Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tanggal 13 September 1993 dan berisikan serangkaian prinsip-prinsip umum dan pentahapan yang disepakati bersama mengenai masa interim 5 tahun untuk pemerintahan sendiri. Falsafah yang mendasari negosiasinegosiasi ini adalah bahwa pemimpin-pemimpin Israel dan Palestina dapat memahami keadaan mereka di luar prinsip zero-sum (aku menang - engkau kalah). Otonomi politik dan pertanahan
227
Palestina akan dipertukarkan dengan keamanan yang lebih baik untuk pihak Israel dan kestabilan kawasan. Dalam Pasal V (3), kesepakatan ini menyatakan bahwa status Yerusalem tidak akan dibicarakan dalam negosiasi-negosiasi mengenai pengaturan interim tetapi hendaknya menjadi salah satu pokok masalah yang sengaja ditinggalkan untuk negosiasi-negosiasi mengenai status permanen yang sebenarnya dirancang untuk dapat diselenggarakan tidak lebih daripada Mei 1996. Tahap-tahapan yang disepakati ini ialah: Gaza-Jericho: pemerintahan sendiri oleh Otoritas Nasional Palestina (PNA) dan penarikan mundur kekuatan-kekuatan Israel dari daerah-daerah itu. Ini merupakan langkah pertama. Pemberdayaan awal: di bagian selebihnya dari Tepi Barat, lima lingkungan spesifik - pendidikan, kebudayaan, kesehatan, kesejahteraan sosial, perpajakan langsung dan pariwisata - harus dialihkan ke tangan PNA. Lingkungan-lingkungan lainnya akan dialihkan, sebagaimana disepakati oleh kedua belah pihak. Persetujuan Interim dan Pemilihan Umum: Kesepakatan Oslo II, yang ditandatangani pada tanggal 29 September 1995 oleh Israel dan PLO memberikan secara rinci pengaturan-pengaturan mengenai pemerintahan sendiri di Tepi Barat. Kesepakatan ini juga memerikan spesifikasi mengenai struktur dan kekuasaan, dan prosedur pemilihan, yang berkaitan dengan Dewan Palestina. Peta kesepakatan ini memberikan demarkasi tiga daerah di Tepi Barat: Daerah A - tujuh dari kotakota utama Palestina di mana orang Arab melakukan kontrol penuh terhadap wilayah dan keamanan; Daerah B - daerah pedesaan di mana PLO melakukan kontrol wilayah tetapi harus berbagi kontrol mengenai keamanan; dan Daerah C - daerah-daerah yang statusnya belum lagi ditentukan; termasuk daerah-daerah yang oleh Israel dianggap mempunyai nilai keamanan yang strategis. Daerah-daerah A, B dan C ini masing-masing merupakan 3 persen, 27 persen dan 70 persen dari wilayah Tepi Barat, tidak termasuk Yerusalem timur. Pasukan Israel akan keluar dari Daerah-Daerah A dan B secara bertahap, dengan harapan bahwa negosiasi-negosiasi mengenai status permanen yang akan dilaksanakan kemudian akan menentukan status tanah di Daerah C. Pemilihan nasional Palestina direncanakan dan terjadi pada bulan April 1996. Status Permanen: Negosiasi-negosiasi mengenai status permanen - untuk menentukan sifat penyelesaian akhir antara ke dua belah pihak - seharusnya dimulai pada bulan Mei 1996. Deklarasi Prinsip menyatakan bahwa negosiasi-negosiasi ini akan meliputi masalah-masalah Yerusalem, pengungsi, pemukiman, pengaturan keamanan dan perbatasan. Negosiasi-negosiasi ini dilakukan dengan terputus-putus oleh karena adanya ketidaksepakatan serius mengenai besarnya penarikan mundur kekuatan Israel dan waktunya dari Tepi Barat, dibuatnya rencana-rencana oleh Israel di
228
Yerusalem Timur dan kemampuan PNA untuk menangkal kaum ekstremis. Menurut kesepakatan Oslo II, penarikan tambahan pasukan Israel seharusnya terjadi dalam tiga tahap selama masa interim ini (dengan demikian memperluas Daerah A dan B), tetapi penarikan-penarikan berikutnya tertunda. Secara khusus, kota Yerusalem dan masa depan politiknya tetap merupakan masalah yang menjadi sumber ejekan dan dapat meletus. Setelah penandatanganan Deklarasi 1993, mendiang Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel waktu itu, menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibukota kuno dan abadi orang Yahudi. Suatu Yerusalem yang tidak terpecah di bawah kedaulatan Israel merupakan posisi dasar dari pemimpin-pemimpin Israel dan posisi ini akan mereka pertahankan terus. Pemimpin Palestina Yasser Arafat, sementara itu, menganggap Yerusalem sebagai ibukota negara Palestina. Ia menyatakan bahwa bagian-bagian Yerusalem timur yang dulunya dikuasai oleh Yordania dan kini menjadi tempat tinggal sekitar 160,000 orang Yahudi adalah milik Palestina.
IRLANDIA UTARA Devolusi dari pemerintahan pihak ketiga ke pembagian kekuasaan lokal
Hal ini merupakan usaha untuk mengalihkan kontrol politik atas suatu daerah dari pemerintah langsung pihak ke tiga eksternal ke pemerintah lokal yang melindungi hak-hak dan aspirasiaspirasi masing-masing kelompok. Baik konflik mengenai kebangsaan (Irlandia/Inggris) dan agama (Katolik/Protestan) melanda Irlandia Utara. Sejak 1969, wilayah ini menjadi provinsi yang dilanda kekerasan dengan berkecamuknya peperangan sektarian (etnis). Walaupun agama merupakan komponen basis kesetiaan golongan dan perorangan, konflik ini menjadi lebih buruk oleh identitas agama yang secara kuat berada bersamaan dnegan kesetiaan kebangsaan dan politik. Orang-orang Protestan yang percaya pada persatuan dan merupakan orang-orang loyalis setia pada Inggris Raya, yang selama lebih dari 30 tahun terakhir ini telah melaksanakan pemerintahan langsung atas Irlandia Utara. Kaum nasionalis dan republikan yang beragama Katolik, sebaliknya, menganggap diri mereka orang Irlandia dan secara pribadi dan politis lebih setia pada Republik Irlandia di selatan. Batas antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia, yang dibuat dalam tahun 1920, menciptakan mayoritas unionis yang kuat di utara lewat masuknya 6 dari 9 distrik di provinsi Ulster yang historis. Sebaliknya, kaum Protestan akan kalah jumlah dalam suatu Irlandia yang bersatu (dewasa ini 96 persen dari Republik Irlandia beragama Katolik). Batas-batas politik di pulau ini dengan demikian menciptakan sindrom minoritas ganda; kaum Protestan adalah minoritas di seluruh pulau yang terancam oleh kemungkinan terjadinya unifikasi, dan orang-orang Katolik adalah kaum minoritas
229
di Irlandia Utara yang terancam oleh orang Protestan dan oleh pemerintahan eksternal Inggris Raya. Dari tahun 1972 hingga 1998, kekuasaan legislatif bagi Irlandia Utara dipegang oleh Majelis Rendah Inggris. Hanya 17 anggota majelis ini berasal dari Irlandia Utara. Parlemen Irlandia Utara yang dikuasai oleh kaum Protestan unionis, yang merupakan badan yang memerintah di provinsi ini hingga 1982, dikaitkan dengan pembuatan hukum-hukum yang bersifat diskriminatif dan tidak adil. Oleh karena itu badan ini dianggap tidak mampu untuk memerintah dengan adil dan oleh karena itu Inggris melaksanakan pemerintahan langsung di tengah bergejolaknya konflik sektarian dalam tahun 1982. Kekuasaan eksekutif untuk Irlandia Utara dalam pemerintahan langsung ini dipegang oleh Menteri Luar Negeri untuk Irlandia Utara, yang dipilih dari partai yang berkuasa di Parlemen Inggeris. Hasil dari pemerintahan langsung ini adalah tidak adanya sama sekali partisipasi representatif dan akuntabilitas. Fikiran di balik pemerintahan langsung itu adalah disingkirkannya formulasi kebijakan dan pelaksanaan dari konflik sektarian yang hebat diharapkan untuk menjadikannya lebih efisien dan efektif. Kebanyakan kekuasaan eksekutif diletakkan pada badan-badan yang ditunjuk semisal Badan Eksekutif Perumahan Irlandia Utara, atau di badan-badan eksekutif pusat, semisal Kementerian Lingkungan Untuk Irlandia Utara, yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap menteri-menteri Inggris daripada kepada politisi lokal. Perubahan penting mengenai lembaga-lembaga pemerintahan dan status konstitutional Irlandia Utara dirinci dalam perjanjian yang dicapai dalam negosiasi multi-partai dalam bulan April 1998. Perjanjian ini, yang disetujui oleh lebih dari 70 persen pemberi suara/pemilih di Irlandia Utara pada Mei 1998, memberikan garis besar proses yang nantinya akan mengalihkan pemerintahan sehari-hari provinsi ini dari Inggris ke suatu Majelis Irlandia Utara yang baru dan dipilih secara langsung. Dalam majelis ini golongan Protestan dan Katolik berbagi kekuasaan. Persetujuan ini menyatakan bahwa Irlandia Utara akan tetap berada dalam Kerajaan Inggris selama mayoritas orang dalam provinsi ini ingin tetap berada dalam Kerajaan Inggris. Sebagai tanggapan terhadap keinginan nasionalis Katolik, majelis yang baru dan Parlemen Irlandia akan membentuk Dewan Utara-Selatan untuk mengkoordinasikan dan mendorong kerjasama lintas batas. Untuk memberikan jaminan kepada kaum unionis Protestan, maka Dewan Kepulauan akan dibentuk untuk menjadi penghubung antara pemerintahan di Irlandia Utara dan di Irlandia dengan pemerintah Inggeris dan dengan majelis-majelis legislatif baru yang didirikan di Skotlandia dan Wales.
230
Sebagaimana disebutkan terinci dalam perjanjian itu, suatu Majelis Irlandia Utara yang beranggotakan 108 orang terpilih dalam bulan Juni 1998 berdasarkan representasi proporsional. Pemilihan ini menghasilkan suatu majelis dengan kekuasaan yang tersebar. Dua partai yang lebih moderat di tengah - Partai Unionis Ulster yang bersekutu dengan Protestan (UUP) dan Partai Sosial Demokrat dan Buruh yang bersekutu dengan Katolik - mempunyai lebih banyak kursi daripada kelompok-kelompok yang lebih merupakan kaum garis keras seperti Partai Unionis Demokratis yang loyalis (DUP) dan Sinn Fein yang republikan, walaupun memang perbedaannya tidaklah besar sekali. Perpecahan di dalam kelompok Protestan antara UUP yang pro pada persetujuan dan DUP yang anti persetujuan dapat membahayakan kemampuan kerja majelis itu dan juga lembaga-lembaga pemerintahan yang baru. Suatu badan eksekutif yang bersifat multi partai dan beranggotakan 12 orang kemudian didirikan, juga berdasarkan pemberian suara proporsional. Majelis ini mempunyai wewenang untuk membuat perundangan di daerah-daerah yang mengalami devolusi, yang sekarang ini berada dalam tanggungjawab Kementerian-Kementerian Irlandia Utara untuk Keuangan dan Personalia, Pengembangan Ekonomi, Lingkungan (yang juga termasuk fungsi-fungsi pembuatan kebijakan yang paling urban), Kesehatan dan Layanan Sosial dan Pertanian. Tak ada keputusan majelis yang akan disetujui apabila tidak terdapat mayoritas paralel dalam kedua kubu Protestan dan Katolik atau jika keputusan itu diterima oleh 60 persen dari suara yang diberikan, termasuk sedikitnya 40 persen dari tiap kubu. Menteri Luar Negeri untuk Irlandia Utara tetap memegang tanggungjawab eksekutif dan kewenangan legislatif Parlemen Inggeris, oleh karena hal-hal tersebut tidak didevolusikan kepada Majelis.Kelanjutan devolusi kewenangan legislatif dan administrative kepada Majelis Irlandia Utara yang dipilih secara langsung tergantung pada kemajuan yang dicapai dalam pelucutan paramiliter dan reformasi kebijakan.
231
Dari tahun 1948 hingga awal dekade 1990-an, Partai Nasional yang berdasarkan Afrikaner kulit putih mengembangkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan apartheid atau perkembangan terpisah. Secara terputus-putus, negosiasi-negosiasi multipartai dari tahun 1991 hingga 1993 menghasilkan persetujuan mengenai konstitusi transisional dan dewan eksekutif dan mengenai prosedur bagi pemilihan demoratis yang pertama di negeri ini - untuk badan legislatif nasional dan provinsi - dalam tahun 1994. Negosiasi-negosiasi nasional juga berhasil dalam membentuk susunan kabinet multi-partai yang berbagi kekuasaan berdasarkan hasil pemilihan umum dan proses pembuatan konstitusi akhir oleh badan legislatif nasional. Dengan diadakannya pemilihan umum dalam bulan April 1004, suatu pemerintah persatuan nasional untuk periode lima tahun secara resmi menggantikan rejim apartheid yang lama. Kongres Nasional Afrika (ANC) dan Nelson Mandela merebut 63 persen dari perolehan suara nasional (dengan demikian mereka menguasai 252 dari 400 kursi dalam Majelis Nasional). Pada tingkat provinsi, ANC menguasai 6 dari 9 badan legislatif provinsi. Transformasi pemerintahan lokal dan metropolitan dalam banyak hal terjadi dalam jalur-jalur negosiasi yang terlepas dari proses nasional. Jelas bahwa pemerintahan lokal harus ditransformasi untuk mengatasi koinsidensi karena ras, tempat kediaman, dan pemerintah lokal di Afrika Selatan. Afrika Selatan menekankan tingkat metropolitan dari perpolitikan baik sebagai titik fokus bagi negosiasi-negosiasi transisi pemerintahan lokal dan sebagai unsur yang diperlukan dalam kebijakankebijakan pendistribusian kembali dan rekonstruksi setelah lewat masa apartheid. Metropolitanisme digunakan sebagai sarana untuk menintegrasikan dan mengatasi batas-batas kewenangan lokal yang lama dengan maksud untuk menghilangkanbasis monorasialnya. Undang-Undang Transisi Pemerintahan Lokal dalam tahun 1993 (LGTA) menyediakan pendekatan langkah banyak untuk mereformasi pemerintahan lokal dan metropolitan. Dalam tahap pertama, forum-forum negosiasi lokal didirikan dan terdiri dari sejumlah yang sama wakilwakil kekuasaan-kekuasaan provinsi dan lokal yang ada saat itu (sesuai undang-undang) dan wakil dari sektor non pemerintahan yang disisihkan selama masa apartheid (tidak menurut undang-undang). Sektor tidak menurut undang-undang ini termasuk partai-partai politik yang dilarang selama periode apartheid, organisasi-organisasi kemasyarakatan, kelompok-kelompok wanita, serikatserikat buruh dan lain-lainnya yang tidak mempunyai peran resmi dalam kekuasaan lokal yang lama. Forum-forum ini akan mencalonkan anggota-anggota pemerintahan lokal dan metropolitan baru dalam masa transisi. Anggota-anggota dewan yang terpilih akan menjalankan pemerintahan hingga dilaksanakannya pemilihan umum dan mereka juga dibebani tugas untuk menciptakan batas-batas pemerintahan lokal yang baru untuk mengatasi geografi politik apartheid, dan juga
232
memutuskan alokasi relatif kekuasaan pembuatan keputusan antara pemerintah lokal dan metropolitan. Pemilihan umum lokal diadakan dalam bulan November 1995 dan didasarkan pada batas-batas demarkasi lokal yang baru dengan pengintegrasian secara politik daerah-daerah orang putih dan orang hitam. Selain daripada pembuatan kembali batas-batas pemerintah lokal, masalah utama reformasi pemerintahan lokal di Afrika Selatan yang baru adalah bagaimana secara efektif mengalokasikan kekuasaan pemerintah dan sumber-sumber daya finansial seperti perpajakan dan pengumpulan penghasilan antara tingkat-tingkat lokal dan metropolitan dengan maksud untuk mencapai pendistribusian kembali secara paling baik dari kaum miskin ke kaum kaya. Dalam hal kekuasaan bujeter, suatu sistem yang terdiri dari pemerintah metropolitan yang lemah dan pemerintahanpemerintahan lokal yang kuat, bahkan bila masing-masing sekarang ini lebih terintegrasi secara rasial, mungkin tidak mampu utuk melakukan pengalihan antar pemerintahan yang diperlukan untuk menargetkan bantuan kepada kotapraja kaum berkulit hitam dan masyarakat-masyarakat yang termarjinalisasi. Persaingan ekonomi antara pemerintahan-pemerintahan lokal yang hampir tanpa koordinasi dari pemerintahan metropolitan dapat menghilangkan kemampuan kekuasaan lokal untuk mengatasi kekurangan daerah mereka sendiri. Oleh karena itu, suatu pemerintahan metropolian yang kuat dianggap perlu oleh ANC untuk secara lebih efektif menargetkan sumber daya kepada daerah-daerah yang mengalami marjinalisasi. Dua sarana redistribusi bujeter yang potensial dapat berupa pemusanan sebagian dari arus penghasilan lokal untuk menciptakan suatu rekening metropolitan, dan/atau diperkenalkannya suatu pajak metropolitan yang baru. Dalam kedua kasus ini, uang akan dialokasikan kembali kepada pemerintahan-pemerintah lokal berdasarkan suatu rumusan tertentu. Kebanyakan individu yang diwawancarai dalam riset ini menyetujui pernyataan bahwa suatu peran pemerintah metropolitan yangkuat dalam anggaran regional diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah ketimpangan yang disebabkan oleh apartheid. Masalah-masalah pemerintahan di Afrika Selatan yang paling kritis terdapat pada tingkat pemerintah lokal. Mobilisasi masa terhadap pemerintahan urban selama rejim apartheid berkuasa dilakukan dalam berbagai bentuk - boikot sewa dan biaya layanan, ketidakturutsertaan dalam pemilihan pemerintahan lokal, tidak mematuhi larangan rasial terhadap akses bagi fasilitas kesehatan dan rekreasi, perjoangan terhadap persyaratan pendidikan yang ditetapkan oleh negara dan boikot konsumen, gerak jalan masal, invasi tanah dan pemogokan. Banyak dari taktik agar tidak dapat diperintah: ini digunakan selama tahun 1980s untuk melawanusaha yang dilakukan oleh pemerintah apartheid untuk mendirikan pemerintahan kotapraja pecahan (yang dinamalan pemerintah lokal kulit hitam). Namun, pada saat yang sama, keberhasilan perjuangan ini telah
233
melemahkan kebudayaan lokal dan pemerintahan di kota-kota praja. Perjuangan anti apartheid telah menciptakan warisan berupa pelepasan diri dan perlawanan, seperti misalnya kebudayaan tidak membayar, yang merupakan tantangan bagi pemerintah-pemerintah demokratik lokal dewasa ini. Dalam periode pasca apartheid di Afrika Selatan, pemerintah lokal akan memainkan peran vital dalam program Rekonstruksi dan Pembangunan (RDP) lewat pemberian langsung layanan khusus, keikutsertaan dalam pengembangan ekonomi, pendistribusian kembali sumber-sumber publik dan kemampuannya untuk memberdayakan penduduk lokal agar terjamin adanya suatu RDP yang merupakan proses yang didorong oleh rakyat. Kampanye Masakhane (yang berarti marilah kita saling membangun), yang dilancarkan dalam tahun 1995, berusaha meningkatkan dan menormalisasikan kemampuan pemerintah untuk memberikan layanan dasar, dan untuk membujuk agar penduduk membayar bagian adil mereka terhadap biaya sewa dan layanan. Kemudian ada pula pemerintah pusat untuk periode 10 tahun, program investasi infrastruktur perkotaan sebesar Rp 60-70 milyar untuk mendukung transformasi kota-kota besar menjadi ekuitas urban dan sasaran yang efektif. Kurang lebih 40 persen dari pendanaan modal akan berasal dari hibah yang diberikan oleh pemenrintah pusat. Sisanya akan berasal dari sumber-sumber lokal, termasuk pengarahan kembali anggaran modal, pinjaman, ekuitas yang diperoleh lewat privatisasi dan pengenaan pungutan yang lebih tinggi yang diperhitungkan terhadap pendapatan rumah tangga. Pendanaan operasi diharapkan akan makin ditingkatkan pada tingkat lokal lewat kesediaan yang lebih besar untuk membayar layanan dan menaikkan tarif serta pajak. Dalam hal pembayaran layanan untuk penduduk lokal, bagi komunitas yang lebih miskin akan tersedia tingkat layanan yang lebih rendah daripada yang diperoleh di daerah-daerah yang lebih sehat, walaupun semua komunitas ini akan setidaknya diberikan tingkat-tingkat dasar. Pada akhir program ini, diharapkan 55 persen dari komunitas tersebut akan mendapatkan layanan penuh, 25 persen akan memperoleh layanan sesuai dengan tingkat intermediate mereka. Kemudian, sisanya - 20 persen - akan mendapatkan layanan dasar. Program investasi mencoba memberikan pengantaran layanan yang terdiferensiasi untuk memberikan layanan yang secara finansial dapat berlanjut (dari perspektif anggaran nasional dan pemulihan biaya lokal) dan pada saat yang sama menawarkan kepada semua pihak keuntungan dari setidaknya layanan yang bersifat dasar. Di sisi pemberian layanan, peran pemerintah lokal dalam memajukan perkembangan ekonomi di Afrika Selatan yang baru ini bersifat krusial. Kemampuan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan perluasan dasar pengenaan pajak akan memainkan peran yang menentukan mengenai akan maju tidaknya tingkat hidup kaum mayoritas
234
kulit hitam dalam 20 tahun mendatang. Untuk mendorong pengembangan ekonomi seperti itu, kebijakan publik pasca-apartheid harus mendorong kapasitas dan memberi enersi kepada pemerintahan-pemerintahan lokal agar mereka dapat terlibat lebih aktif dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Namun, apartheid dalam banyak hak menyingkirkan inisiatif pemerintahan lokal. Kini, dengan berakhirnya negara apartheid, peran pemerintah lokal dalam kebijakan pengembangan ekonomi muncul sebagai hal yang kritis bagi masa depan Afrika Selatan. Dengan adanya peran ini, maka inisiatif dan keterlibatan pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam programprogram yang ditujukan pada pengembangan ekonomi dan peningkatan dan pemberdayaan manusia.
SIPRUS Pandangan federalisme yang mendapat tentangan mengenai pulau yang terpecah
Contoh ini menunjukkan bahwa bahkan ketika pihak-pihak yang antagonistis bersepakat mengenai konsep umum federalisme akan ada juga ketidaksepakatan yang bersifat menghalangi mengenai kualitas spesifik federalisme seperti itu. Serupa dengan kasus Irlandia Utara, Siprus adalah contoh mengenai pihak-pihak dalam komunitas internasional yang mencoba memajukan pembagian kekuasaan dengan menawarkan rumusan kelembagaan untuk menghindari atau melepaskan diri dari konflik-konflik etnis. Siprus adalah pulau yang terpecah. Bagian selatan pulau ini didominasi oleh penduduk Siprus Yunani yang mendeklarasikan seluruh pulau ini sebagai Republik Siprus. Bagian Utara Siprus, yang oleh penduduknya dinamakan Republik Turki Siprus Utara, secara resmi dideklarasikan dalam tahun 1983 dan secara internasional tidak memperoleh pengakuan. Sejak invasi mereka (dalam operasi perdamaian) dalam tahun 1974, pasukan Turki di Siprus menguasai 37 persen dari pulau ini di bagian utara. Diperkirakan sejumlah 175,000 orang Siprus Yunani harus mengungsi dari wilayah utara ini dan kira-kira 40,000 orang Siprus Turki harus mengungsi dari selatan ke utara. Pulau ini dan ibukotanya, yang juga kota utamanya Nikosia dipisahkan oleh Jalur Hijau, yaitu daerah penyangga yang keawasi oleh PBB dan dibuat selama perang tahun 1974 tetapi terdiri dari garis-garis demarkasi etnis yang pertamakalinya dibuat pada awal tahun 1960an. Kekerasan antar komunitas dalam tahun 1958 dan 1964 menyebabkan perlunya diadakan intervensi asing dan didirikannya kantong-kantong etnis secara de fakto sebagai upaya untuk membawa kestabilan bagi kota yang terlanda perseteruan ini. Dewasa ini, tanpa adanya izin khusus, tak satupun dari 650,000 orang Siprus Yunani yang berada di selatan boleh masuk ke daerah utara dan tak satupun dari 190,000 orang Siprus Turki di sebelah utara boleh memasuki daerah selatan.
235
Sebelum terpecahnya pulau ini, Republik Siprus lepas dari kekuasaan Inggris dalam tahun 1959. Konstitusinya, yang dibuat setahun kemudian, menetapkan adanya otonomi sektoral bagi tiap komunitas. President republik haruslah seorang Siprus Yunani, yang dipilih oleh komunitasnya, dan wakil presidennya adalah orang Siprus Turki, yang juga dipilih oleh komunitasnya. Wakil Presiden mempunyai hak veto terhadap semua peraturan yang penting. Representasi dari kedua kelompok etnik dalam semua tingkatan negara ditetapkan dengan rasio 70 30 persen. Konstitusi itu juga memberikan kepada tiap komunitas kekuasaan yang cukup besar untuk mengurus masalahmasalah mereka sendiri. Kehidupan seluruh Siprus sebagai suatu entitas politik tidak lama berlangsung karena pulau ini diintervensi baik oleh Yunani maupun oleh Turki. Negosiasi-negosiasi antara ke dua komunitas Siprus terjadi di bawah pengawasan PBB sejak akhir dasawarsa 70-an. Para juru runding sepakah bahwa suatu pemukiman baru harus memberikan kesempatan bagi adanya federasi komunitas ganda dan zone ganda dalam suatu Siprus yang dipersatukan lagi. Federasi seperti itu harus menekankan kesamaan politik dari kedua komunitas. Secara khususnya, orang Siprus Yunani menginginkan adanya negara federasi yang memberikan otonomi kepada bagian Siprus Turki tetapi pada saat yang sama juga menjalankan kekuasaan pusat (dengan perkiraan adanya mayoritas politik Siprus Yunani) terhadap seluruh pulau. Sebaliknya, orang-orang Siprus Turki lebih menyukai hanya suatu rencana federasi dengan suatu negara pusat yang lemah yang dapat menciptakan dua entitas yang sama derajad secara politik dan berhubungan secara longgar. Perbedaan antara kedua komunitas ini mengenai sifat federasi yang cocok untuk pulau ini masih tetap sama hingga ini. Pemerintah Siprus Yunani telah berusaha untuk mendapatkan keanggotaan Siprus dalam Uni Eropa. Hal ini mungkin akan menarik orang Siprus Turki untuk memasuki persetujuan mengenai federasi dengan maksud untuk dapat menikmati keuntungan yang diberikan oleh Uni Eropa, atau hal ini mungkin akan lebih membuat pelik perundingan-perundingan yang diadakan oleh karena orang-orang Siprus Turki memandangnya sebagai tindakan sepihak (Yunani adalah anggota Uni Eropa, sedangkan Turki bukan).
BOSNIA HERZEGOWINA Pemerintah pusat yang tidak berfungsi dengan dua entitas konstituensi
Studi kasus ini memperlihatkan bagaimana suatu pemerintah pusat yang telah tumbang dan menderita bekas-bekas perang sekarang ini sedang mencoba dengan pengawasan ketat PBB untuk menciptakan dirinya kembali lewat konfederasi longgar antara kedua entitas yang batasbatasnya terutama dibuat lewat perang dan pembersihan etnis. Setelah perang berlangsung selama 3 tahun dan 9 bulan di Bosnia dengan menelan korban lebih dari 100,000 orang terbunuh dan
236
separuh dari penduduk yang terdiri dari 4.3 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka karena adanya pembersihan etnis, Kesepakatan Dayton (Persetujuan Kerangka Umum untuk Perdamaian di Bosnia dan Herzegowina) ditandatangani dalam tahun 1995. Kesepakatan ini menetapkan kelangsungan Bosnia Herzegowina sebagai suatu negara, dengan menciptakan dua entitas konstituensi Federasi Bosnia dan Herzegowina (dengan mayoritas Bosniak pasca perang [Muslim] dan Kroasia) yang berdiri di atas 51 persen dari seluruh negeri, dan Republik Srpska (kebanyakan dihuni oleh Serbia Bosnia) pada luas tanah sisanya (49 persen). Sebagian besar kesepakatan ini melembagakan pembagian de-fakto Bosnia-Herzegowina yang berdasarkan lokasi terakhir pihakpihak yang berperang. Tiap entitas konstituen mempunyai struktur legislatif dan administrative sendiri. Federasi BoasniakKroasia mempunyai sistem gabungan dengan seorang presiden dan suatu parlemen yang harus menyetujui pilihan presiden mengenai perdana menteri. Republik Srpska menganut sistem parlemen dan presiden. Dari kedua sisi, kaum nasionalis sejauh ini dapat mendominasi politik lewat patronase dan penyebaran berita mengenai rasa tidak aman etnis. Lembaga-lembaga pusat negara lemah. Majelis Parlemen mempunyai dua kamar Majelis Rakyat dan Majelis Perwakilan. Majelis Rakyat terdiri dari 15 anggota 5 orang dari tiap sub kelompok penduduk (Kroasia, Bosniak [Muslim] dan Serbia) mendapatkan pencalonan dari 42 anggota Federasi Bosnia Kroasia Federasi dan 14 orang lagi dari Republik Sprska. Mayoritas dari mereka yang hadir dalam kedua kamar merupakan syarat dasar untuk membuat keputusan dalam Majelis Parlemen. Tetapi tiap rakyat konstituen mempunyai hak untuk mendeklarasikan keputusan yang akan diambil sebagai suatu yang membahayakan kepentingan vital. Dalam hal seperti itu maka kesepakatan dari kelompok mayoritas dalam tiap perwakilan kelompok etnis akan dibutuhkan. Juga terdapat presidium kepresidenan yang terdiri dari tiga anggota masing-masinya merupakan pemimpin yang terpilih secara langsung dari tiap kelompok etnis. Keputusan mayoritas mungkin dibuat; akan tetapi keputusan-keputusan yang membahayakan kepentingan vital dapat diajukan kepada baik anggota Bosniak maupun Kroasia dari Dewan Federasi Bangsa-Bangsa, atau kepada Majelis Republic Sprska, di mana sebuah suara dua pertiga dari kelompok yang relevan dapat membatalkan suatu keputusan. Presidium kepresidenan menunjuk pemerintah, atau Dewan Menteri. Untuk Dewan Menteri ini, tak lebih dari dua pertiga dari para menteri dapat berasal dari Federasi dan wakil menteri mungkin tidak berasal dari rakyat pemilih yang sama konstituensinya dengan wakil menteri itu. Semua mekanisme pusat bagi negara memerlukan persetujuan dan konsensus yang luas agar dapat berfungsi. Mengingat adanya rasa permusuhan dan tidak adanya rasa percaya, konsensus
237
demikian tidak ada. Nampaknya, konsentrasi kekuasaan pada tingkat entitas merupakan penghalang utama bagi transisi Bosnia ke demokrasi multi-etnis, dan juga bahwa terdapat perlunya untuk memperkuat institusi pusat Bosnia sebaik juga menyelenggarakan pemerintahan yang efektif pada tingkat sub-entitas (kantong-kantong dan kota-kota besar). Pemerintah pusat perlu membuat sumber daya keuangannya sendiri tidak tergantung pada entitas-entitas itu. Terdapat keikutsertaan internasional dalam semua aspek proses perdamaian. Kantor Perwakilan Tinggi, yang berada di bawah wewenang Dewan Keamanan P.B.B makin banyak harus membuat keputusan-keputusan yang mengikat mengenai pejabat-jabat lokal yang bandel. Tentara perdamaian yang dipimpin oleh NATO, yang pada awalnya berjumlah hanya 60,000 orang, akan tetap berada di tempatnya dengan jumlah hanya kira-kira 20,000 orang saja.
Pengamatan
Masing-masing dari kasus ini menggambarkan otonomi atau bentuk-bentuk lainnya devolusi bukan sebagai suatu perubahan mendadak dan sekaligus, tetapi sebagai suatu proses yang bisa terputus-putus dan yang pada akhirnya terikat untuk menyelesaikan akar masalah politik. Di Israel dan Palestina, pengalihan tanah dan otonomi ke Kekuasaan Nasional Palestina didasarkan pada premis akan adanya rasa stabilitas, kepercayaan dan keamanan yang kesemuanya tidak lagi ada. Di Irlandia Utara, pemerintahan lokal yang telah didevolusi terus bekerja dengan tergantung pada kemajuan pelucutan paramiliter dan reformasi polisi, yang keduanya merupakah masalah. Di Afrika Selatan, devolusi kekuasaan kepada pemerintahan-pemerintahan lokal dan metropolitan akan diaktualisasikan hanya secara sedikit-sedikit semetnara pemerintahan public lokal diberdayakan. Di Siprus, perundingan-perundinganyang telah menyepakati prinsip-prinsip luas federalisme telah terjadi sejak pertengahan tahun 1970-an tetapi perundingan-perundingan itu macet karena adanya berbagai pandangan mengenai bagaimana mengoperasionalkan konsep ini. Di Bosnia-Herzegowina, organ-organ pemerintah pusat yang diperlukan untuk mencegah negeri itu terpecah secara etnis perlu waktu lama untuk dapat beroperasi secara penuh, di tengah adanya rasa saling tidak percaya.3 Penyesuaian-penyesuaian terhadap struktur negara dapat terjadi lewat serangkaian perundingan bertahap atau dapat dirancang sekaligus secara terinci. Pengalihan bertahap ke arah suatu struktur
Terdapat contoh-contoh keberhasilan otonomi dan federalisme. Belgia menggunakan sistem federal dengan dua komunitas di mana mayoritas yang berbahasa Belanda setuju untuk berbagi kekuasaan dengan minoritas yang berbahasa Perancis. Ada yang mempertahankan otonomi untuk masalah-masalah komunitas sendiri (bahasa, pendidikan, pemerintahan atau daerah-daerah homogen) dan kekuasaan bersama yang meliputi pembagian kekuasaan eksekutif dan kekuasaan melakukan veto untuk masalah-masalah antar komunitas. Struktur federalis Amerika Serikat melampaui, bukan mempertahankan, politik etnis karena batas-batas negara-negara bagian didasarkan lebih pada kriteria geografi dan sejarah daripada etnis.
238
baru dapat terganggu; juga, hal-hal yang akan dipecahkan di masa yang akan datang sulit dinegosiasikan secara berhasil oleh karena tekanan-tekanan sekarang ini dan rasa mendesak berkurang dan para penentang otonomi mempunyai waktu untuk menyusun barisan mereka (yaitu Israel/Palestina dan Irlandia Utara). Namun demikian, penciptaan sesuatu secara sekaligus juga sulit karena adanya masalah-masalah yang pelik yang dapat menghambat persetujuan (yaitu Siprus). Juga penciptaan seperti itu tidak memungkinkan adanya umpan balik dan kemungkinan mempelajari apa yang mungkin menjadi konsekuensi yang tidak dapat diprediksi. Pendekatan jalan tengah akan menjelaskan prinsip-prinsip luas otonomi dan restrukturisasi dan akan menciptakan mekanisme supervisi internasional, pengawasan oleh pengadilan atau badan politik khusus yang menjamin bahwa otonomi atau restrukturisasi lainnya akan diimplementasikan. Otonomi dan bentuk-bentuk lainnya devolusi berurusan dengan pengalihan kekuasaan negara kepada unit-unit sub-negara sebagai suatu cara untuk mempertahankan keutuhan negara dan untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan etnis dan teritorial. Teknik lainnya yaitu pembagian kekuasaan dapat terjadi pada salah satu atau semua tingkat pemerintah nasional, provinsi dan lokal dan membawa semua kelompok etnik utama ke dalam pemerintahan dan menjamin bahwa kaum minoritas mempunyai pengaruh dalam pembuatan kebijakan mengenai hal-hal yang sensitif. Alat-alat pembagian kekuasaan termasuk eksekutif kabinet koalisi, veto kaum minoritas mengenai masalah-masalah yang sensitif dan proporsionalitas dalam semua bidang kehidupan publik. Pendekatan pembagian kekuasaan digunakan di Bosnia pasca perang, di Irlandia Utara, Siprus dan Lebanon sebelum tahun 1970an, di Afrika Selatan selama transisi dari akhir masa apartheid ke masa demokrasi mayoritas dewasa ini, dan pendekatan ini sekarang sedang diformulasikan untuk menyelesaikan konflik Slavia-Albania di Macedonia. Pendekatan-pendekatan pembagian kekuasaan dapat menekankan pendekatan-pendekatan blokblok bangunan kelompok atau integratif.4 Dalam yang pertama, kelompok-kelompok (biasanya partai-partai politik yang secara etnis homogen) merupakan blok-blok pembangun bagi suatu masyarakat baru. Alat-alat yang digunakan dalah proporsionalitas kelompok etnis dalam pemilihan umum dan posisi-posisi administratif, otonomi teritorial kepada kelompok-kelompok etnis dan pengakuan mengenai hak-hak kelompok. Dalam yang kedua, pendekatan integratif, terdapat usaha untuk mengembangkan aliansi politik di atas jalur-jalur konflik, menciptakan insentif bagi kepemimpinn politik moderat dan meningkatkan suara minoritas dalam pengambilan keputusan mayoritas.
Timothy D. Sisk, Power Sharing and International Mediation in Ethnic Conflicts (Washington, D.C., U.S. Institute of Peace, 1996).
239
Masing-masing dari strategi yang dibicarakan dalam makalah ini apakah devolusi kekuasaan lewat otonomi, federalisme dan/atau pemberdayaan pemerintahan lokal, atau penciptaan demokrasi dengan pembagian kekuasaan mempunyai kesamaan karena mereka mengusahakan berfungsinya demokrasi di tengah perbedaan etnik dan konflik politik. Semua pendekatan ini dapat digunakan untuk memperluas demokrasi sehingga ia akan bersifat lebih inklusif. Dengan cara ini, konflikkonflik kekerasan dapat dihindari karena kaum minoritas mempunyai saluran politik yang sah untuk digunakan dan tidak lagi perlu untuk melakukan kekerasan dalam memajukan kepentingan mereka. Pada saat yang sama, agar dapat efektif dalam situasi-situasi yang berbeda-beda secara etnis, pendekatan-pendekatan ini hendaknya mendorong aliansi antar etnik sehingga struktur-struktur baru tidak mempertahankan politik etnik. Pengaturan-pengaturan kelembagaan otonomi lokal dan regional, federalisme, desentralisasi, pembagian kekuasaan haruslah berusaha untuk mengakomodasikan perbedaan-perbedaan dan kepekaan kebudayaan ketika pada saat yang sama pengaturan seperti itu membina nilai-nilai nasional yang dianut bersama dan melindungi hak asasi semua orang. Otonomi dan pengaturan-pengaturan kelembagaan lainnya yang telah dibicarakan ini mempunyai potensi untuk melembagakan dan mengabadikan saling akomodasi antara kaum-kaum minoritas dan pemerintah. Pada saat yang sama, sebagaimana diingatkan kepada kita oleh Lapidoth (1996), kesemuanya itu bukanlah obat. Mereka tidak dapat menciptakan kehendak untuk berkompromi, tetapi dapat membantu membentuk isinya.
240
241
242
Kronologi di atas disusun dari berbagai sumber, media masa, literatur (buku), makalah seminar dan jurnal, serta dokumen resmi MPR.
243
1978 TAP MPR III/1978 tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Tinggi Negara
Menegaskan kewenangan judicial review MA terhadap peraturan yang lebih rendah dari UU (Psl. 11 TAP III/1978).
1993 Perma 1/93 Tentang Hak Uji Materiil tertanggal 15 Juni 1993
Perma ini muncul sebagai reaksi terhadap permohonan judicial review kepada MA terhadap Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7 bulan sebelumnya.
244
1995
MA mengusulkan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi meneliti apakah semua produk perundang-undangan yang ada telah sesuai dengan UUD 45. Usul ini ditentang dengan alasan hanya akan menimbulkan birokrasi baru. Yang lebih penting adalah mengaktifkan peran judicial review MA terhadap peraturan yang berada di bawah UU. Ketentuan UU buatan pemerintah dan DPR relatif masih bagus dan belum banyak yang menyimpang dari UUD dibanding peraturan yang lebih rendah dari UU.
1997 Juni
Gagasan untuk memperluas kewenangan MA melaksanakan judicial review termasuk UU kembali di tentang, dengan dalih judicial review terhadap UU lebih sesuai diberikan kepada MPR dengan cara lebih mengaktifkan BP MPR.
Oktober
Pakar HTN memandang perlunya TAP MPR guna memberikan wewenang kepada MPR untuk melakukan judicial review secara luas tidak hanya terhadap peraturan yang berada di bawah UU melainkan juga terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD 45 serta terhadap semua kebijakan eksekutif yang bertentangan dengan UUD 45.
November
F-PDI mengusulkan untuk memberi MA kewenangan melakukan judicial review terhadap UU, namun PAH II BP MPR menolak, dengan alasan MA tidak berhak untuk melakukannya erhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. F-KP, F-UD, F-PP, F-ABRI menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap UU adalah lembaga yang menghasilkan UU tersebut, yaitu pemerintah dan DPR. Berkembang pula pemikiran bahwa sebaiknya kewenangan MA melakukan judicial review dihapus karena tidak sesuai dengan sistim yang dianut dalam UUD 45. Sebaiknya hakim diberi kewenangan dasar untuk mengenyampingkan ketentuan dalam UU maupun peraturan di bawahnya jika bertentangan dengan UUD 45. Sementara pengujian terhadap UU itu sendiri dilakukan oleh Presiden dengan DPR atau dengan cara mengajukannya kepada MPR setiap menjelang Sidang Umum MPR.
245
1998
Berkembang pendapat bahwa seharusnya MA melakukan constitutional review karena MA merupakan lembaga formal yang berwenang untuk menyelesaikan masalah konstitusional. Untuk itu, MA harus diberi kewenangan melakukan constitutional review, bukan hanya sebagai pelaksana undang-undang, dalam rangka menjamin kekuasaan kehakiman.
1999 Mei
MA mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1/1999 tentang judicial review dalam rangka memperbaharui teknis pelaksanaan judicial review yang sebelumnya diatur dalam Perma 1/83. Perbedaan prinsipiil dengan aturan sebelumnya adalah permohonan dapat juga diajukan terpisah dari suatu perkara (permohonan).
Mei Juni
Beberapa pengacara anggota AAI mengajukan permohonan judicial review pada MA atas PP 17/ 1999 tentang BPPN dengan dalil bertentangan dengan UU Perbankan dan UU lainnya. MA menolak permohonan tersebut dengan pertimbangan asas manfaat, dimana pembentukan BPPN untung menanggulangi krisis perbankan.
246
martabat lembaga kepresidenan (tidak dijelaskan apakah pertimbangan ini mengikat atau tidak) ; (vi) memutus gugatan yang berdasarkan UUD 3. MK tidak perlu dibentuk, karena tugasnya dilaksanakan oleh MA.
Memperhatikan fungsi dan peran MK tersebut, maka kedudukan MK lebih tepat mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Walaupun bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak dicapai kesepakatan karena tidak selesainya pembahasan dalam Komisi A akibat pertimbangan politis tertentu. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP (TAP MPR III/2000), yang menegaskan kembali bahwa judicial review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR ada di tangan MPR, sedang MA hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah UU.
Mei
PAH II BP MPR menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiil atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang, sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Tim Ahli menentangnya, dengan alasan pada ST MPR 2000, PAH BP MPR telah sepakat memberikan wewenang tersebut kepada MA selaku lembaga peradilan tertinggi. Alasan lain, kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk kompartemen baru. Selain itu, BP MPR sifatnya ad hoc dan belum ada persoalan mendesak yang harus diselesaikan. Ketua MA mendukung pendapat ini, pertentangan aturan adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR.
Agustus
Kembali marak perdebatan seputar pembentukan MK, antara lain: 1. MK perlu dibentuk sebagai lembaga yang melakukan penafsiran tentang konstitusi yang selama ini sering ditafsirkan secara berbeda. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat untuk menengahi konflik antara lembaga negara saat itu antara presiden dan DPR. 2. Pembentukan MK adalah ide positif, mengingat bahwa secara kuantitaf dan kualitatif banyak peraturan di tingkat UU yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum dalam Pembukaan dan
248
Batang Tubuh UUD 45. Namun keberadaan MK juga bermasalah dalam keseluruhan sistem ketatanegaraan. Keberadaan MK, baik berdiri sendiri, dalam lingkungan MA, maupun jika wewenangannya diberikan kepada MA, lebih tinggi dari Presiden dan DPR, yang notabene lembaga yang secara bersama-sama berwenang membentuk UU. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan perlunya JR melalui MK/MA atau cukup legislative review melalui MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Pembicaraan tentang pentingnya MK salah satunya karena mudahnya Presiden dijatuhkan saat ini, seperti yang terjadi pada Gus Dur. Padahal, bila mengikuti semangat UUD 45 yang menganut sistem presidensial, eksekutif tidak mudah digoyang di tengah jalan. Hal ini diakibatkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan MPR itu sendiri terhadap pelanggaran haluan negara yang ada di dalam UUD 45.
249
250
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
Lokakarya 3 Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
251
252
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
253
Salah satu akibat diberikannya perwakilan distrik yang lebih besar biasanya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pemilihan yaitu, akuntabilitas anggota-anggota individual dewan terhadap daerah pemilihan mereka. Secara internasional, sejumlah negara yang luas dengan wilayah yang beragam dan yang menggunakan PR (misalnya Afrika Selatan) sedang juga mempertimbangkan perubahan ke sistem yang berdasarkan distrik dengan maksud untuk mencapai akuntabilitas geografi yang lebih besar antara politisi dan daerah pemilihan dan juga untuk membuat politisi lebih responsif terhadap pemilih mereka. Menurut riset, politisi yang dipilih dari distrik-distrik yang secara geografis kecil ukurannya lebih responsif dan lebih bertanggung-jawab terhadap daerah pemilihan daripada mereka yang dipilih berdasarkan daftar kepartaian yang luas. Juga mereka ini cenderung untuk bekerja lebih keras untuk memuaskan konstituen mereka. Terdapat kecenderungan bahwa anggota dewan yang bekerja paling keras adalah mereka yang berasal dari kursi yang paling marjinal. Mereka inilah yang sadar benar bahwa setiap suara akan sangat berarti dalam pemilihan umum berikutnya dan oleh karena itu mereka sangat menekankan usaha melayani keperluan distrik. Terdapat keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik. Yang terpenting adalah layanan terhadap konstituen: dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama untuk mewakili distrik yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk serta melayani distrik tersebut. Dalam banyak negara berkembang, misalnya, layanan lokal sangat diperlukan: untuk jalan raya, pemeliharaan kesehatan dan sebagainya. Oleh karena itu sebagian orang memberikan argumentasi bahwa seorang anggota dewan yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada seseorang yang kesetiaan utamanya diberikan kepada partainya sendiri, suatu hal yang sering terjadi dalam sistem PR. Pilihan penting yang tersedia ketika sistem distrik diperkenalkan adalah sebagai berikut:
1. Sistem apa yang akan digunakan untuk menghitung suara bagi kursi daerah?
Ada beberapa pilihan. Pilihan yang termudah, tapi juga terburuk, adalah pluralitas atau persaingan untuk memenangkan suara terbanyak dalam suatu distrik. Mereka yang memenangkan suara terbanyaklah yang akan terpilih. Pilihan ini adalah pilihan terburuk karena dengan demikian seorang calon akan dapat dengan mudah terpilih walaupun ia mengumpulkan suara lebih sedikit dari mayoritas. Misalnya terdapat 10 orang calon yang mengumpulkan jumlah suara yang kurang lebih sama. Dalam hal ini pemenangnya adalah calon yang memenangkan sedikit lebih dari 10 persen suara.
254
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
Orang ini mungkin calon yang paling tidak populer. Mungkin terjadi bahwa 90 persen dari daerah pemilihan yang memberikan suara untuk calon-calon lain lebih menyukai orang lain daripada calon yang terpilih ini. Sekarang kita bayangkan bahwa terdapat hanya 5, bukan 10, calon yang bertarung. Dari kelima orang ini, salah seorang adalah seorang ekstremis yang menguasai 30 persen suara tetapi sangat tidak disukai oleh 70 persen lainnya dalam daerah pemilihan. Berdasarkan sistem pluralitas, calon ini mungkin menang walaupun ia tidak diinginkan oleh sebagian terbesar dari rakyat di daerah pemilihan itu.
2. Oleh karena itu, sejumlah negara yang menggunakan sistem distrik membuat peraturan yang menjamin bahwa calon-calon yang menang harus menerima suara mayoritas absolut lebih dari 50 persen dari suara agar dapat terpilih.
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara namun kesemuanya agak merumitkan proses pemberian suara. Pertama-tama, harus dilaksanakan pemilihan aduan seminggu atau lebih sesudah pemilihan pertama. Dalam pemilihan ini dua calon utama yang berasal dari pemilihan yang pertama beradu satu sama lain secara langsung dan pemenangnya akan dipilih. Namun hal ini menimbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam hal administrasi dan biaya karena pada dasarnya, dalam banyak kasus, diperlukan pemilihan umum yang kedua. Di beberapa negara dilaksanakan sistem aduan segera. Dalam hal ini kepada pemilih akan ditanyakan siapa pilihan calon mereka yang kedua atau ketiga seandainya pilihan pertama mereka gagal terpilih. Suara preferensi ini menjadi penting jika tidak terdapat calon yang memenangkan suara mayoritas karena dengan demikian calon yang paling populer secara keseluruhan dapatlah diputuskan. Saya akan membahas pilihan-pilihan ini pada bagian kemudian makalah ini,ketika saya meninjau sistem pemilihan presiden.
3. Variabel penting lainnya dalam sistem distrik adalah keputusan mengenai bagaimana distrik akan dialokasikan dan bagaimana batas-batas distrik akan ditentukan.
Dalam beberapa hal, sebuah distrik terdiri dari sejumlah unit pemerintahan, seperti kabupaten. Sebagian dari unit ini mungkin memilik lebih banyak penduduk (dan pemilih) dari yang lainnya. Oleh karena itu di banyak negara terdapat peraturan bahwa batas-batas distrik-distrik ini harus secara teratur disesuaikan sehingga akan selalu terdapat bagian penduduk yang kurang-lebih setara di tiap distrik. Dengan cara ini jelas bahwa sejumlah distrik dengan jumlah penduduk sedikit tidak mempunyai otoritas pemilihan yang sama dengan distrik-distrik yang mempunyai jumlah penduduk yang lebih besar.
255
Sebaliknya, semua distrik mempunyai jumlah orang (pemilih) yang sama dalam batas yang telah didefinisikan secara hukum biasanya plus atau minus 10 persen. Tentu saja, hal ini berarti bahwa batasan-batasan harus selalu dibuat lagi dan disesuaikan. Proses ini rumit dan menelan banyak biaya. Karena itu dalam beberapa hal, dapat disetujuiadanya disparitas dalam ukuran distrik yang berbeda-beda. Dengan cara ini, sejumlah negara secara sadar mengizinkan perwakilan yang berlebihan terhadap daerah-daerah yang penduduknya kurang, terletak jauh atau berada di daerah perbatasan. Semua variabel ini didasarkan pada asumsi bahwa memecah-mecah pemilihan dan perwakilan menjadi ratusan daerah pemilihan yang kecil-kecil merupakan hal yang baik untuk demokrasi. Namun demikian, sistem distrik juga menimbulkan masalah. Oleh karena pemilihan nasional dipecah-pecah menjadi ratusan pertarungan lokal yang kecil-kecil, mereka bisa menghukum partaipartai yang mendapatkan dukungan nasional untuk gerakan-gerakan yang berdasarkan daerah. Akibatnya, akan terdapat hasil keseluruhan yang tidak adil oleh karena sejumlah partai mungkin bisa memenangkan sejumlah kursi dalam pemilihan nasional tetapi mereka hampir tak mungkin menang dalam tingkat-tingkat daerah. Biasanya, pemilihan seperti itu lebih memberikan kesempatan kepada partai-partai dengan mesin lokal yang paling kuat dan memberikan hukuman kepada partai-partai yang lebih kecil. Misalnya, Kevin Evans dari UNDP dalam suatu studi yang dilakukannya dalam tahun 1999 memperhitungkan bahwa partai-partai seperti PPP, PAN dan partai-partai kecil lainnya hampir tidak memenangkan satu kursipun seandainya pemilihan umum yang terakhir itu dilaksanakan dengan sistem distrik. Sebaliknya, PDI-P akan mendapatkan jumlah kursi dua kali lebih besar dari yang diperolehnya sekarang (153 kursi), yaitu hampir 300 kursi. Maka itu pilihan akan sistem distrik akan mempunyai dampak yang sangat besar dan secara keseluruhan akan menimbulkan keadaan DPR yang jauh tidak bersifat representatif. Oleh karena itu, sejumlah sarjana dan analis dan juga Tim Tujuh, yang bekerja sama dengan saya dalam tahun 1998 merekomendasikan bahwa sistem yang berdasarkan distrik harus dimodifikasi sehingga dalam sistem itu termasuk pula sejumlah kursi yang diperoleh secara perwakilan proporsional pada tingkat nasional. Dengan demikian partai-partai yang tidak memenangkan banyak kursi menurut distrik akan dapat memperoleh perwakilan di dewan. Salah satu argumentasi yang menyetujui pendekatan ini adalah bahwa sistem campuran ini menggabungkan sistem distrik dan proporsional. Oleh karena
256
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
itu, sejumlah negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Filipina, telah memilih sistem ini dalam tahun-tahun belakangan ini.
1. Bagaimanakah keseimbangan antara kursi-kursi yang berasal dari pemilihan di distrik-distrik beranggota tunggal dan kursi-kursi yang berasal dari pemilihan berdasarkan daftar kepartaian?
Dalam sejumlah negara, ada yang jumlah anggota-anggota legislatif yang berasal pemilihan distrik yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari partai sedangkan dalam sejumlah negara lainnya hampir terdapat keseimbangan yang sempurna (50 50). Dalam sejumlah kecil negara
257
lainnya sebaliknya terdapat jumlah anggota legislatif dari partai yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari pemilihan distrik. Pada prakteknya, di kebanyakan negara di kawasan Asia dan Pasifik yang menggunakan sistem gabungan (misalnya Jepang, Taiwan, dan lebih baru-baru ini, Filipina dan Thailand) jumlah anggota legislatif dari distrik lebih banyak daripada yang berasal dari partai. Di Pilipina, misalnya, 80 persen dari kursi yang tersedia diperebutkan dalam pemilihan berdasarkan pluralitas di distrikdistrik. Sisanya, 20 persen berasal dari pemilihan berdasarkan perwakilan proporsional dari partaipartai.
2. Akankah suara berdasarkan daftar kepartaian digunakan untuk menciptakan keseimbangan bagi hasil yang tidak proporsional yang beasal dari pemilihan distrik?
Masalah ini sangat penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan. Dalam sejumlah negara (misalnya Selandia Baru dan Jerman), kursi-kursi yang berasal dari partai dialokasikan sedemikian rupa untuk menjamin adanya hasil menyeluruh pemilihan yang sepenuhnya proporsional. Dengan kata lain, jika sebuah partai memenangkan 40 persen suara tetapi hanya 30 persen dari kursi di distrik yang beranggota tunggal, maka kursi yang berdasarkan daftar kepartaian akan dialokasilan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan partai itu memenangkan 40 persen dari semua kursi. Namun demikian, dalam kebanyakan negara, tidak terdapat keseimbangan antara keduanya dan kursi-kursi yang berasal dari daftar kepartain hanyalah menjamin diperolehnya pemilihan oleh partai-partai minoritas bukan berdasarkan geografi.
3. Akankah pemilih mempunyai dua suara satu untuk calon distrik mereka dan yang lainnya untuk partai atau hanya satu suara, yaitu hanya untuk calon distrik mereka?
Lagi-lagi, pilihan ini mempunyai dampak praktis yang besar. Jika digunakan hanya satu suara, maka pilihan si pemilih secara efektif dapat dihitung dua kali sekali untuk menentukan pemenang dalam suatu konstituensi dan satu kali lagi untuk menentukan alokasi daftar partai. Yang lebih umum dalam sistem gabungan adalah bahwa seorang pemilih mempunyai dua suara: satu untuk distrik pemilihan individu tempat mereka terdaftar dan yang satu lagi untuk daftar nasional. Namun demikian, selama pemilihan untuk dua jenis anggota tidak sepenuhnya terpisah
258
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
(seperti di Jepang dan Rusia), maka mungkin saja dijalankan sistem dengan satu suara saja, bukan dua.
4. Jenis sistem pemilihan apa yang akan digunakan untuk kursi-kursi distrik?
Pada prakteknya, kebanyakan contoh dari sistem gabungan menggambarkan kombinasi antara perwakilan proporsional daftar partai dan pluralitas langsung, yaitu pertarungan mengenai siapa yang lebih dulu sampai (First-Past-The-Post atau FPTP). Dalam sejumlah negara, kontes dua ronde digunakan jika tak ada yang memenangkan suara dalam mayoritas mutlak di distrik-distrik. Hal ini mengatasi masalah umum yang biasa terdapat dalam sistem perwakilan proporsional, di mana seorang calon dengan proporsi kecil suara menang atas lawan-lawannya yang berasal dari daerah yang terpecah dan mengumpulkan sedikit kurang dari mayoritas. Sistem kontes/aduan awal menghilangkan kemungkinan terjadinya hal ini, tetapi sistem inipun mempunyai masalah sendiri karena ronde kedua dari pemilihan harus dilangsungkan seminggu atau dua minggu setelah pemilihan pertama untuk memperebutkan sejumlah kursi. Salah satu cara untuk menghindari masalah ini adalah dengan menggunakan aduan langsung seperti digambarkan di bawah ini. Salah satu hal menonjol dari meningkatnya demokratisasi di kawasan Asia Pasifik adalah bahwa hampir semua negara demokrasi Asia yang telah mapan maupun yang baru muncul kini menggunakan sistem gabungan. Di Jepang, negara demokrasi Asia yang paling mapan, reformasi pemilihan umum dalam tahun 1993 menjamin adanya 60 persen kursi yang berasal dari pemilihan di distrik beranggota tunggal dengan 40 persen sisanya berasal dari partai-partai. Di Filipina, sistem pemilihan barunya membawa 80 persen kursi yang berasal dari pemilihan di distrik-distrik beranggota tunggal, sedangkan 20 persen sisanya berasal dari partai-partai. Taiwan tidaklah lazim karena menggunakan FPTP dalam distrik dengan banyak anggota bersamaan dengan komponen perwakilan proporsional. Namun, mayoritas kursi (78 persen) dipilih di distrik, bukan berdasarkan daftar partai. Reformasi pemilihan umum di Thailand menghasilkan parlemen yang amat menyerupai struktur yang diusulkan untuk Indonesia. Dewan Perwakilan Thailand akan terdiri dari kombinasi 40 anggota dewan dari konstituensi beranggota tunggal dan 100 anggota dari daftar kepartaian.
259
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
pejabat yang tidak dipilih yaitu anggota badan pemilihan itu sendiri antara pemilih dan si presiden. Karena alasan ini, usulan untuk melangsungkan pemilihan presiden secara langsung di Indonesia hendaknya mempertimbangkan berbagai model pemilihan president secara langsung lain. Dua model yang paling umum adalah pluralitas sistem (FPTP) dan sistem aduan dua ronde. Namun demikian, kedua sistem ini juga mempunyai masalah serius. Sebagaimana telah saya berikan catatan sebelumnya, sistem pluralitas dapat dengan mudah memilih calon yang sebenarnya merupakan calon yang secara keseluruhan paling tidak populer. Di Filipina, misalnya, pemilihan presiden diselenggarakan berdasarkan sistem pluralitas. Sebagai hasilnya, tak satupun dari calon-calon presiden belakangan ini mampu memperlihatkan dukungan mayoritas suara. Dalam pemilihan presiden Mei 1992, Fidel Ramos menang hanya dengan mengumpulkan 23,6 persen suara. Pesaing terdekatnya memenangkan 19,7 persen suara. Dalam tahun 1998 terdapat 10 calon presiden dan hasil yang terpecah-pecah mendudukan Estrada sebagai presiden terpilih walaupun ia hanya mengumpulkan kurang dari 40 persen suara. Dalam keadaan-keadaan seperti ini, dan dengan adanya sejumlah besar calon yang mengikuti pemilihan presiden, tidaklah mungkin bagi calon yang nantinya berhasil untuk mendapatkan mayoritas suara oleh karena semakin banyak partai semakin terpecah suara ke berbagai pihak. Dalam kasus ekstrem seperti di Papua Niugini, di mana biasanya terdapat 40 hingga 50 calon untuk satu kursi, para pemenang akan terpilih walaupun mengantongi hanya kurang dari 10 persen suara. Hal semacam ini akan merupakan malapetaka bila terjadi di Indonesia. Salah satu cara untuk mengatasai kemungkinan ini adalah menjalankan prosedur yang mendorong adanya pemenang mayoritas dalam pemilihan kursi distrik. Terdapat beberapa cara untuk melakukan hal ini, termasuk sistem dua ronde yang populer itu. Dalam sistem dua ronde ini, ronde kedua pemilihan diselenggarakan jika tak ada calon yang memenangkan mayoritas suara dalam ronde pertama. Namun masalah yang timbul adalah masalah besar dalam administrasi, logistik dan keamanan oleh karena secara efektif ronde kedua harus dilaksanakan di seluruh negeri hanya seminggu atau dua minggu setelah ronde pertama. Karena alasan ini, sejumlah negara yang menginginkan adanya pemenang dengan mayoritas suara tapi tanpa penyelengaraan pemilihan untuk kedua kalinya, akan menggunakan sistem aduan langsung. Sistem ini terdiri dari beberapa macam. Di Australia, misalnya, semua anggota dewan perwakilan dipilih dengan menggunakan apa yang dinamakan suara alternatif . Dengan sistem ini, pemilih
261
akan membuat ranking para calon di surat suara menurut susunan pilihan mereka dengan memberikan tanda pada angka-angka yang tersedia. Angka 1 untuk calon yang paling mereka sukai, angka 2 untuk pilihan kedua, angka 3 untuk pilihan ke 3 dan seterusnya. Seorang calon yang memenangkan mayoritas absolut suara sebagai calon yang paling disenangi sebagaimana terjadi dalam kurang lebih separuh dari semua kasus akan langsung dipilih. Tetapi, jika tidak ada yang memperoleh mayoritas suara, maka calon dengan jumlah suara yang paling kecil akan disingkirkan dan surat suaranya akan diperiksa untuk pilihan kedua, yang akan diberikan kepada calon-calon yang masih ada menurut susunan yang tertera dalam surat suara. Proses ini akan berulang terus hingga seorang calon berhasil mendapatkan mayoritas absolut: suara dari calon dengan jumlah suara yang paling sedikit akan distribusikan kembali kepada para calon yang masih tinggal, hingga seorang calon memiliki lebih dari 50 persen suara dan dinyatakan terpilih. Sistem ini digunakan untuk kebanyakan pemilihan majelis rendah pada tingkat federal, dan negara bagian di Australia. Sistem yang serupa tapi lebih sederhana digunakan dalam pemilihan presiden di Sri Lanka dan pemilihan walikota London. Dengan sistem ini, para pemilih mendapatkan surat suara yang berisikan dua kolom: kolom untuk pilihan pertama bagi calon yang paling disukai dan kolom pilihan kedua untuk pilihan kedua. Sebagaimana suara alternatif di Australia, pilihan kedua ini hanya penting artinya jika tidak ada calon yang memperoleh mayoritas absolut suara. Jika ini yang terjadi maka kedua calon utama dari pilihan pertama akan dipisahkan dari yang lainnya dan semua surat suara dari calon-calon lainnya diperiksa kembali untuk melihat pilihan kedunya, yang akan dialokasikan pada salah satu dari dua calon utama tadi. Hal ini berarti bahwa calon yang menang biasanya akan terpilih dengan persentase suara yang jauh lebih besar daripada persentase yang diperoleh menurut sistem FPTP yang standar. Hal ini juga berarti bahwa pemilih tidak harus melalui proses yang bisa membingungkan karena dituliskannya secara manual angka 1,2,3 di atas kertas suara. Sebaliknya mereka bisa memberikan tanda atau membuat lubang dalam memberikan suara untuk pilihan pertama dan kedua. Sistem macam ini juga menguntungkan para pemilih yang berasal dari kelompok-kelompok minoritas karena mereka bisa menunjukkan dalam suara pilihan kedua mereka calon dari partai besar mana yang mereka dukung. Sejumlah ahli mengatakan bahwa sistem ini dapat menciptakan gaya kampanye pemilihan yang lebih moderat dan dapat menghasilkan pemenang yang lebih bersifat moderat sehingga ketegangan yang bersumber pada kesukuan dan lain-lain dalam pemilihan dapat diperkecil.
262
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
Keuntungan lain sistem ini adalah bahwa dengan demikian orang akan terdorong untuk mengadakan koalisi: suatu partai dapat meminta pendukungnya untuk memberikan tanda pilihan kedua untuk partai pesaing, sedangkan partai pesaing juga dapat melakukan hal yang sama. Dengan demikian kedua partai akan diuntungkan dan mereka akan terdorong untuk berkerjasama. Sesuai dengan keperluan Indonesia dalam masa yang krusial ini, mekanisme seperti itu patut dipertimbangkan secara serius sebagai sarana untuk meperkecil kerugian yang mungkin timbul dari sistem gabungan dan pada saat yang sama memberikan pengaruh yang secara penting memoderatkan perlakuan terhadap kelompok etnik minoritas dan juga mendorong kampanye yang bersifat kooperatif dan akomodatif. Sarana terakhir yang patut dipertimbangkan di Indonesia adalah rumusan distribusi yang digunakan oleh Nigeria. Dengan rumusan ini para calon yang berhasil dalam pemilihan presiden diwajibkan untuk dapat mengantongi sejumlah suara dari daerah-daerah yang berbeda-beda sehingga satu daerah tidak dapat mendominasi pemilihan presiden. Di Nigeria, calon-calon presiden harus memperoleh bukan saja mayoritas suara tetapi juga tidak kurang dari seperempat suara yang diberikan dalam paling tidak dua pertiga dari 36 negara bagian. Maksud sistem wajib distribusi ini yang pertama kali diperkenalkan dalam tahun 1979 dan sejak itu telah dilaksanakan di dua negara Afrika lainya adalah untuk menjamin bahwa calon yang menang memperoleh dukungan lintas suku di seluruh negeri dan bukan hanya dari satu bagian negeri saja. Dalam pemilihan tahun 1999, bukti awal memberikan harapan: calon yang menang, Olesanjun Obasanjo, mengikuti pemilihan dengan platform lintas suku dan senyatanya memperoleh lebih banyak suara di luar daerahnya sendiri (nampaknya, hal ini terjadi karena ia berkampanye dengan menggunakan platform lintas wilayah dan multi-suku). Mengingat kesamaan antara Nigeria dan Indonesia dalam hal luas wilayah, keberagaman dan perbedaan suku, sarana ini mungkin patut juga dipertimbangkan untuk Indonesia.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, usulan reformasi terhadap sistem pemilihan Indonesia haruslah mendapat pujian. Dengan adanya perpindahan dari sistem yang berdasarkan daftar nasional ke sistem yang berdasarkan distrik baik dalam hal pengaturan distrik saja ataupun sebagain bagian dari sistem gabungan adanya reformasi akan meningkatkan akuntabilitas dan ketanggapan anggota-anggota DPR yang terpilih. Dengan demikian prospek konsolidasi demokrasi akan menjadi makin baik. Begitu pula, mengingat kekuasaan seorang presiden menurut UUD Indonesia, adanya seorang presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, saya kira, merupakan reformasi yang penting dan perlu.
263
Namun demikian, tidak semua sistem pemilihan sama cocoknya untuk mencapai sasaran-sasaran ini. Jelas, perbedaan-perbedaan kecil dalam rancangan lembaga-lembaga pemilihan bisa mempunyai dampak jangka panjang terhadap berfungsinya sistem politik. Harapan saya, makalah ini dapat memberikan beberapa masukan penting mengenai pilihan-pilihan yang tersedia.
264
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
Kondisi di Indonesia a. Proyeksi hasil pemilu dengan sistem distrik berwakil tunggal
Dari hasil pemilu 1999 telah dibuat sebuah proyeksi hasil pemilu apabila Indonesia menggunakan sistem distrik berwakil tunggal. Tabel dibawah ini menunjukkan proyeksi hasil pemilu berdasarkan data 1999 apabila Indonesia menggunakan sistem distrik berwakil tunggal jenis first-past-the-post dan alternative vote dengan asumsi bahwa perwakilan Jawa dan Bali diberi bobot yang sama.1 Besarnya distrik diasumsikan sama untuk seluruh negara.
Tabel Proyeksi Perolehan Kursi Per Parpol dengan Sistem Distrik Berwakil Tunggal
Partai PDI-P Golkar PKB PPP PAN PBB 42 Jumlah Jumlah lainnya total partai kursi terwakili 11.6 33 462 21
Suara nasional % Sistem sekarang Proporsional menggunakan unit propinsi Distrik berwakili tunggal FPTP Distrik berwakili tunggal AV Distrik berwakili tunggal FPTP, tidak bias terhdp Jawa/Bali
33.7 153
22.4 120
12.6 51
10.7 58
7.1 34
1.9 13
136 56 113
30 51 34
20 48 20
5 28 3
1 1
0 1
462 462
6 7
462
Dengan mengasumsikan bahwa pemilih Indonesia cenderung untuk mempertahankan pola pemilihan yang sama dalam sistim pemilu yang berbeda, kita dapat melakukan perkiraan kasar dari hasil setipa pemilihan umum yang berbeda. Bertahannya pola pilih yang ditunjukkan pada pemilu 1995 dan 1999 memperlihatkan bahwa kesetiaan adalah faktor penentu asli dalam pilihan pemberian suara orang Indonesia.
Sekarang pemilih di pulau Jawa diberi bobot suara yang lebih rendah dari pemilih di luar Jawa untuk membatasi kemenangan berlebihan dari penduduk Jawa yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia.
266
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
persen dari anggota PDIP akan datang dari Jawa dan Bali, dan selebihnya kebanyakan dari Sumatera. Sebaliknya, 85 persen dari anggota Golkar yang terpilih akan datang dari luar Jawa-Bali dengan sepertiganya sepenuhnya akan datang dari Sulawesi yang didominasi oleh Golkar. Dinamika politik yang dihasilkan akan mengakibatkan segmentasi wakil rakyat berdasarkan wilayah pendukungnya. Wakil rakyat dari PDIP akan berbicara mewakili kepentingan pemilih Jawa dan Bali. PDIP juga dengan mudah akan dapat meloloskan perundangan tanpa dukungan dari kelompok-kelompok lain sementara wakil rakyat dari Golkar akan berbicara untuk kepentingan pemilih mereka di Sulawesi dan pulau-pulau lainnya. Anggota-anggota PKB akan seluruhnya datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan banyak anggota PPP yang akan berasal dari bagian barat Sumatera. Akibatnya jurang antara Jawa-Bali di satu sisi dan wilayah Indonesia lainnya akan semakin besar sehingga bisa membahayakan stabilitas politik Indonesia.
Dampaknya adalah partai akan cenderung menominasikan caleg-caleg pria yang umumnya diangap memiliki peluang besar untuk menang di suatu distrik daripada caleg wanita. Di negara- negara yang menganut sistim ini, anggota parlemen perempuan yang terpilih biasanya hanya akan mencapai setengah dari jumlah anggota parlemen perempuan yang dapat terpilih dalam sistem proporsional. Efek yang serupa akan terjadi pada distrik-distrik yang penduduknya memiliki tingkat keragaman etnis yang tinggi. Partai-partai cenderung bermain aman dan memilih kandidat dari kelompok etnis mayoritas. Peluang kandidat dari kelompok minoritas yang sebenarnya memiliki kemampuan dan kompetensi justru akan sangat kecil apabila kriteria berdasarkan merit tidak ditekankan.
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
loyalitas pada partai tetapi lebih menekankan loyalitas pada distrik pemilihannya masing-masing. Ini akan menyebabkan ketiadaan suatu kesinambungan dalam hal dukungan terhadap suatu garis kebijakan. Akibatnya, mustahil bagi presiden dari partai manapun untuk menerapkan kebijakan yang konsisten. Bahkan partai asal presidenpun akan cenderung mengkompromikan dukungan mereka untuk setiap RUU-dan harus dianggap rasional apabila mereka melakukan hal tersebut dalam suatu sistem distrik berwakil tunggal politik akan berpusat pada upaya untuk memperoleh imbalan politik berupa barang dan jasa bagi distrik pemilihan masing masing wakil rakyat. Dalam hal ini akan ada intensif yang kuat untuk melakukan KKN dan semakin kecil peluang ke arah proses perumusan kebijakan yang integratif dan konsisten.
f. Kepraktisan
Masalah-masalah praktis dalam penerapan sistem distrik berwakil tunggal juga perlu dikemukakan disini. Proses penarikan batas-batas distrik pemilihan secara teknis merupakan proses yang sangat rumit dan juga melibatkan perdebatan politis. Terlebih lagi, tidak ada kesatuan prinsip-prinsip teknis universal yang dapat diterapkan dalam menentukan batas batas distrik pemilihan. Beberapa metode tertentu dalam proses pembuatan batas-batas distrik pemilihan ini juga dapat menghasilkan keuntungan dan kerugian politis yang berbeda bagi setiap partai. Ini yang sering disebut dengan gerrymandering atau upaya untuk memanipulasi penentuan batas-batas distrik pemilihan untuk menguntungkan suatu partai atau kelompok tertentu.
Lokakarya 3: Mendefinisikan Peran Legislatif & Eksekutif, serta Peran Sistem Pemilu
untuk menciptakan ketertarikan tersebut tanpa harus mengadopsi sistem distrik berwakil tunggal sepenuhnya. Misalnya, dapat diterapkan suatu sistem campuran, dimana sebagian anggota parlemen dipilih melaui sistem daftar distrik dan sebagian lainnya akan dipilih dari daftar partaipartai di tingkat provinsi maupun nasional untuk menghasilkan proporsionalitas secara keseluruhan. Juga dapat diterapkan sistem proporsional dengan daftar terbuka di mana pemilihan dalam suatu distrik pemilihan dengan multi-wakil dapat memberikan suara mereka untuk seorang kandidat tertentu dan bukan kandidat lain meskipun keduanya dicalonkan oleh partai yang sama. Buruknya keterkaitan yang terlihat antara para wakil rakyat dengan pemilih mereka juga disebabkan karena sejumlah besar anggota DPR yang ada sekarang adalah penduduk Jakarta. Banyak anggota DPR yang tidak memiliki ikatan kedaerahan dengan pemilih. Hal ini merupakan konsekweksi logis dari dominasi pengurus pusat partai dan bukan pengurus tingkat daerah dalam mencalonkan caleg. Ini menunjukan bahwa perdebatan mengenai keterwakilan perlu mengikutsertakan demokrasi internal partai sebagaimana halnya dengan perturan pemilu yang mengatur pertandingan antar partai. Masalah ini dapat dengan mudah ditangani dengan memperkenalkan persyaratan bahwa seorang kandidat harus merupakan penduduk atau memiliki basis di wilayah yang akan mereka wakili. Kesimpulannya, sistem distrik berwakil tunggal akan cenderung membahayakan persatuan nasional dengan mempertahankan suatu sistem yang memberi peluang bagi partai politik untuk menarik hampir seluruh dukungan politik untuk wilayah tertentu, serta menimbulkan kecenderungan besar untuk menciptakan mayoritas absolut buatan dalam parlemen. Terlebih lagi, sistem ini akan meninggalkan aliran politik tertentu, kelompok minoritas dan perempuan yang akan berkurang atau tidak ada sama sekali keterwakilannya di parlemen. Sistem ini juga akan menimbulkan banyak kecurigaan terutama mengenai transparansi dan integritas hasil pemilu terutama apabila diterapkan sistem distrik dengan metode alternative voting Tantangan yang harus dihadapi oleh mereka yang ingin mereformasi sistim pemilu di Indonesia agar terdapat kedekatan hubungan antara rakyat dan wakil rakyatnya adalah untuk memastikan bahwa sistim yang dipilih akan dapat menawarkan solusi terhadap masalah tersebut tanpa mengakibatkan kerugian yang lebih besar dari yang sudah ada sekarang. Analogi yang tepat untuk menggambarkan hal ini adalah jangan berusaha menyembuhkan luka di jari kaki anda dengan memotong kaki anda.
271
Bagian III
272
273
Bagian III
274
Andrew Ellis
Andrew Ellis adalah penasehat senior untuk National Democratic Institute (NDI) di Indonesia dan terlibat erat dalam transisi menuju demokrasi di Indonesia sejak tahun 1998.
275
Bagian III
Gary F. Bell
Gary F. Bell adalah asisten profesor di Fakultas Hukum, National University of Singapore. Gelarnya diperoleh dari McGill University, Kanada dan Columbia University, Amerika Serikat. Ia telah menangani masalah-masalah reformasi hukum di Asia Tenggara, khususnya di Vietnam di mana ia membantu Kementerian Keadilan pada proyek reformasi hukum dari tahun 1993 sampai 1995, dan ikut menangani pembuatan konsep kode etik untuk para hakim di Vietnam. Ia pernah mengadakan penelitian di Indonesia di bidang hukum kontrak.
Gothom Arya
Gothom Arya baru selesai masa jabatan sebagai Komisaris Komisi Pemilihan Umum, Thailand. Ia memperoleh gelar sarjana teknik dari University of Paris. Ia adalah profesor di Chulalongkorn University dan pernah menjabat sebagai direktur Institute of Technology for Rural Development. Ia juga pernah menjadi sekretaris di Pollwatch.
Ibrahim Assegaf
Ibrahim Assegaf adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Ia juga merupakan direktur manajemen PT. Justika Siar Publika, sebuah perusahaan yang menerbitkan www.hukumonline.com, sebuah jaringan internet yang menyediakan informasi mengenai hukum dan reformasi hukum di Indonesia. Ia memperoleh gelarnya di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia tahun 1997.
276
N.R.L. Haysom
Nicholas Haysom adalah penasehat untuk Ketua Parlemen Afrika Selatan, penasehat strategi peradilan untuk Komisaris Jawatan Pajak Afrika Selatan, dan ketua komite negosiasi masalahmasalah konstitusional pada pembicaraan damai Burundi. Ia juga menjadi penasehat hukum Presiden Nelson Mandela di kantor kepresidenan dari tahun 1994 sampai tahun 1999. Ia berpartisipasi dalam tim pembuat konsep legislatif dan tugas kebijakan, terutama di bidang pertahanan dan keamanan, keuangan dan etika eksekutif. Ia juga terlibat dalam pemilihan komisaris untuk Truth and Reconciliation Commission di Afrika Selatan. Ia adalah salah satu penulis untuk buku Fundamental Rights in the Constitution: Commentary and Cases.
Pratikno, Ph.D.
Pratikno, Ph.D saat ini adalah dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), dan Program Pasca Sarjana Politik Local dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
277
Bagian III
278
Teresa Melgar
Teresa Melgar adalah ketua Democracy Watch di Institute for Popular Democracy di Filipina. Melgar juga menjadi Koordinator Nasional untuk Advokasi dan Pengembangan Basis di Koalisi Bebas Utang. Artikel-artikel yang ditulisnya antara lain: Reforming the Ombudsman (2001) dan Corruption in the Time of Erap (2001). Keduanya dipublikasikan di jurnal IPD, Political Brief. Ia memperoleh gelar M.A di bidang sosiologi dari University of the Philippines.
Teten Masduki
Teten Masduki lulus dari jurusan kimia IKIP Bandung pada tahun 1986. Ia bergabung dengan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) tahun 1987, sampai menjadi koordinator divisi perburuhan. Bulan Juni 1998, bersama beberapa aktivitas lainnya, ia mendirikan ICW (Indonesian Corruption Watch) dan menjadi koordinator Badan Pekerja hingga saat ini.
T.A. Legowo
Tommi Legowo adalah peneliti senior di CSIS (Center for Strategic and International Studies), Jakarta. Gelar sarjananya diperoleh dari jurusan hubungan international, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia melanjutkan pendidikan formalnya di bidang teori politik di University of Essex, Inggris. Beberapa buku dan artikel yang telah dipublikasikan antara lain: Revitalisasi Sistem Politik Indonesia, bersama Soedjati Djiwandono (CSIS, 1996) dan artikel Otonomi Daerah dan Akomodasi Politik Lokal, dalam buku Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, edisi e-book (CSIS, 2001)
279