Vous êtes sur la page 1sur 5

Apresiasi terhadap "Babi" Karya Putu Wijaya Posted by Sri on Jul 5, '08 1:43 AM for everyone APRESIASI PROSA

FIKSI

Resume Judul Pengarang Penerbit Tahun terbit : Babi (Gres: 17 cerita pendek) : Putu wijaya : Balai Pustaka : 2005

Cerpen yang berjudul babi ini menceritakan seorang tokoh ia yang pada akhir cerita diketahui bernama Anwar. Ia menghadapi sebuah masalah yaitu tangannya yang kanan tak bisa menulis namanya. Setiap kali ia menulis namanya, maka, yang nampak adalah tulisan BABI. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk datang ke dokter bedah, agar tangannya yang kanan dipotong saja karena sudah berbeda prinsip dengan dirinya. Namun, dokter tersebut menyuruh ia untuk memikirkan terlebih dahulu sebelum ia memutuskan. Agar nantinya ia tak menyesal. Dan, dokter pun mempunyai pendapat yang lain yaitu bahwa yang harus dipotong itu bukan tangan yang kanan, melainkan tangannya yang kiri. Kenapa dokter berpendapat seperti itu? Ini politik!, jawab dokter. Menurut dokter, ini hanya strategi tangan kiri yang merasa iri terhadap tangan kanan yang mendapat beberapa perhiasan,. Lalu, ia menanyakan apa buktinya. Buktinyaialah sebelum tangan kanan dipotong, perhiasan yang berada di tangan kanan dipindahkan ke tangan kiri. Untuk membuktikan hal tersebut, maka, dokter pun menyuruh ia untuk melakukan tes lagi. Dokter menyuruh Ia menulis kembali namanya. Awalnya ia menolak melakukan titah dokter itu. Namun, dengan bujukan dokter itu, ia mau juga melakukan pembuktian itu meskipun dengan perasaan terpaksa. Akhirnya ia berhasil menulis: ANWAR. Dokter pun merasa lega melihat tulisan itu. Namun, tidak begitu dengan Anwar. Iat tetap bergeming. Dokter pun menyuruh Ia membaca kata yang tertulis. Dengan wajah pucat dan tubuhnya yang gemetaran, ia tetap mengatakan apa yang ia tulis adalah BABI.

Pengalaman Estetika Pada Saat Membaca

Ada yang menggelitik dihati dan pikiran saya pada saat pertama kali membaca karya Putu Wijaya ini. Kok ada sih karya yang seperti ini! Lucu, lugas dan enak untuk dibaca. Dan, tidak membuat lelah para pembaca. Mungkin itu yang menjadi ciri khas cerpen Putu Wijaya. Saat pembaca membaca karyanya, orang tak akan lelah atau bosan membaca tiap kalimatnya. Karena, setiap kalimat ditulis dengan gaya lugas dan jumlah kata di dalam kalimatnya sedikit (baca: cukup dengan satu tarikan napas saat membacanya). Dengan kata lain, cerpen Putu Wijaya ini tidak berumit-rumit dengan diksi yang membingungkan.

Namun, meskipun cerpen yang berjudul BABI ini tidak berumit-rumit dengan diksi yang elok, isi ceritanyaatau konflik yang ada di dalamnya sungguh di luar dugaan dan ada gaya-gaya simbolik. Saat membaca karyanya ini, pikiran saya jadi mengawangawang. Kalau saja benar ada kejadian seperti itu. GILA! Ya, Gila. Karena itu di luar kebiasaan. Mungkin si tokoh di dalam cerita mengalami tekanan batin. Namun, yang menjadi persoalan di pikiran saya ialah kenapa konflik tokoh itu malah dengan babi? Maksudnya ialah kenapa pengarang lebih memilih babi untuk menjadi konflik tokoh di dalam ceritanya? Kenapa pengarang tidak menulis konflik tokoh ANWAR yang katanya selalu salah tulis menjadi nama manusia lain yang sepadan dengan dirinya, atau kalau tidak dengan nama hewan lain seperti kucing, panda, atau ayam? Misalnya harusnya menulis nama Anwar, namun, yang tertulis malah Elisa.

Lagi-lagi ini tentang keunikan sang pengarang. Kalau melihat setiap karyanya, memang Putu Wijaya ini mempunyai karya-karya yang bukan hanya judulnya saja yang menggelitik melainkan juga judul di setiap karyanya yang memesona pembaca untuk segera membacanya. Mungkin saja kalau pengarang menulis konfliknya yang harusnya menulis nama ANWAR, namun, yang tertulis malah Elisa. Maknanya berbeda dan kaitan secara psikologis juga beda. Kalau kejadiannya seperti itu, mungkin si tokoh sedang ingat pada pacarnya, sehingga setiap mau menulis namanya sendiri, yang tertulis malah selalu nama pacarnya. Tapi, Putu Wijaya di dalam cerpennya ini mempunyai idealisme lain tentang amanah yang ingin ia sampaikan di ceritanya. Kenapa harus babi yang dimunculkan. Alasan pertama karena itu merupakan bahasa simbolik untuk menggambarkan sesuatu yang kotor atau jijik. Pada saat berusaha mengapresiasi karya ini, penulis mendapatkan penafsiran bahwa tokoh yang dihidupkan oleh Putu Wijaya ini mempunyai konflik kalau dirinya itu tak bisa melihat dirinya sendiri. Dan, pada saat mencoba melihat dirinya sendiri, yang muncul adalah sesuatu yang kotor. Namun, yang salah ternyata bukan bagian dirinya itu yang kotor melainkan paradigma atau cara pandangnya.

Apa yang ingin Putu Wijaya suguhkan di dalam cerpennya ini? Ya, Putu Wijaya ingin mengangkat tentang paradigma. Namun, ada pula yang menafsirkan bahwa cerpen ini menceritakan tentang kisruh ideologiyang terjadi di masyarakatpada saat penulisan cerpen ini. Karena , didalam cerpen ini , tokoh menyinggung persoalan ideologi yang di ceritakan lewat kata-kata tokoh anwar yang kenapa harus babi ? lagi-iagi itu soal idealisme penulis . tapi, bisa dijawab juga yaitu karena babi itu mempunyai makna yang kontras tentang sesuatu yang kotor. Dan, ini lebih menggambarkan atau lebih mengena pada pesan yang ingin disampaaikan Putu Wijaya.

Tentang pengalaman saya pada saat membaca pertama kali cerpen ini ialah kok ada sih cerita seperti itu? judulnya begitu mengigit. Babi? Maksudnya apa? Apakah tokoh mempunyai kisah traumatis dengan hewan tersebut? Ataukah pacarnya sang tokoh mempunyai peternakan hewan itu? kalau saya pribadi belum pernah mempunyai pengalaman dengan hewan tersebut. Namun, kalau lihat pernah. Jijik namun lucu kalau dibuat boneka imitasinya.

Jadi, kenapa musti babi? Lagi-lagi ini persoalan yang berkaitan dengan idealisme penulis. Tapi, bisa dijawab juga yaitu karena babi itu mempunyai makna yang kontras yaitu tentang sesuatu yang kotor. Dan, ini lebih menggambarkan atau lebih mengena pada pesan yang ingin disampaikan putu wijaya.

Tentang pengalaman penulis pada saat membaca pertama kali cerpen ini ialah kok ada sih cerita seperti ini? Judulnya begitu menggigit. Babi? Maksudnya apa? Apakah sang tokoh mempunyai kisah traumatis dengan hewan tersebut? Ataukah pacarnya sang tokoh mempunyai peternakan hewan itu? Penulis pribadi belum pernah. Jijik namun lucu kalau dibuat boneka imitasinya.

Jadi, kenapa musti babi? Lagi-lagi ini persoalan yang berkaitan dengan idealisme penulis.

Selamat mengapresiasi prosa fiksi, tumbuhkan obsesi menulis, dan perkuat idealisme saat menulis!

Apresiasi Karya Sastra

BABI; Realita Multitafsir Ada yang menarik dari cerpen berjudul babi karya Putu Wijaya ini. Apa yang akan terjadi seandainya di dalam realita sekarang ada kejadian nyata seperti itu. GEMPAR! Ya, karena fenomena itu berada di luar kebiasaan. Dan, orang yang mengalaminya mungkin akan dicap sakit menurut ilmu kejiwaan.

Namun, kembali pada makna yang dimiliki setiap karya. Ada yang disampaikan secara implisit adapula yang secara eksplisit. Seperti yang ditulis oleh Putu Wijaya dalam prolog di kumpulan cerpennya ini. Sebuah cerita pendek adalah bagaikan sebuah mimpi baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan, karena kadang-kadang ada kadangkala tidak. Yang utama adalah pekabaran yang dibawanya, daya pukau, daya magis, tamsil, ibarat, tikaman jiwa, firasat, dan berbagai efek yang diberondongnya menyerang siapa yang mengalami mimpi itu. Ia bisa gamblang, jelas secara mendetail dan persis melukiskan apa yang akan terjadi, tetapi ia juga bisa kebalikan atau buram sama sekali sebagai sebuah ramalan yang memerlukan tafsir

Setiap karya ada yang digambarkan secara gamblang dan mendetail. Namun, adapula yang buram sehingga membuat kita meraba-raba dan menerka apa adanya karya tersebut. Atau kalau ingin mendapat gambaran utuh menurut versi kita maka kita harus berusaha ekstra memahami karya tersebut. Dan, di situlah uniknya sebuah karya. Semakin berusaha secara gamblang kita mengapresiasi sebuah karya, maka di sana kita pun akan semakin banyak bertemu dengan variasi tafsir menurut apreisator lain yang mempunyai rasa penasaran yang sama tentang karya tersebut. Dan, di sanalah akan terasa bahwa karya tersebut mempunyai denyutan yaitu pada saat karya tersebut mempunyai ragam variasi pemaknaan atau penafsiran dari apresiator yang berbeda. Begitupun di dalam cerpen babi ini. Pada saat pertama kali membaca, kita akan tahu isi ceritanya yaitu tentang tokoh ia yang mempunyai problem dengan tangan kanannya karena selalu salah menulis namanya yang seharusnya ANWAR dan yang tertulis selalu BABI. Sampai pada saat ia ingin memotong tangannya itu yang sudah dianggap tak sejalan lagi. Namun, di akhir cerita pembaca akan menyimpulkan ternyata yang salah itu bukan tangannya melainkan penglihatannya. Ya, itu gambaran singkat tentang isi ceritanya. Namun, bagaimana dengan makna atau amanat yang terkandung dalam karya tersebut?

BABI; Teror Mental Bagi pembaca

Saat membaca pertama kali cerpen ini, kita akan dibuat bingung. Apa maksudnya Putu Wijaya menulis cerpen ini? Oleh sebab itu, penulis akan mencoba mengapresiasi karya Putu Wijaya ini.

Kalau rangkaian isi cerita telah penulis tuliskan di awal-awal tulisan ini, maka, penulis sekarang akan menuliskan tentang maknanya secara tersirat. Cerpen ini mengajak pembaca untuk sedikit bingung dengan makna yang dimilikinya. Secara umum, penulis menangkap makna yaitu tentang masalah pengkambinghitaman sesuatu. Ada sebuah realita yang kacau balau atau tidak semestinya, dan yang disalahkan adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan itu. Seharusnya kita tak mengambil keputusan salah atau benar dari satu sisi saja dan kita harus memeriksa atau mencari info ke pihak lain pula. Mungkin saja yang salah itu pihak lain. Seperti digambarkan oleh Putu Wijaya dalam cerita ini melalui bagian cerita yang menceritakan dokter yang mengatakan bahwa yang salah itu bukan tangan kanan melainkan tangan kiri yang iri. Di cerita tersebut pula dokter memberikan pendapat yang ditunjukkan dengan bukti-bukti kuat. Yaitu pada saat sebelum tangan anwar dipotong, jam dan cincin dipindahkan ke tangan kiri. Namun, selain harus mencari-cari sumber masalah dari orang lain kita pun harus intropeksi diri. Siapa tahu kitalah pelaku yang bersalah. Siapa tahu kita yang salah memahami persoalan. Seperti yang disiratkan dia akhir cerita cerpen ini. Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa yang salah itu bukanlah kedua tangannya melainkan penglihatannya atau paradigmanya.Mungkin itu pula yang terjadi pada masalah-masalah manusia sekarang. Pada saat timbul sebuah masalah, maka yang akan langsung dicari adalah siapa yang salah dan akan menghakimi yang salah itu. Sehingga bisa merugikan salah satu pihak. Apalagi kalau pihak itu tak bersalahsama sekali. Dan, seharusnya saat ada sebuah masalah maka kita harus mengadakan investigasi dan intropeksi total dalam memandang dan menyelesaikan masalah itu. Takutnya, malah kita yang salah memandang sebuah masalah dan mengambil keputusan yang asal-asalan dalam menyelesaikan masalah itu.

Akhirnya penulis mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kembali tulisan Putu Wijaya di awal kumpulan cerpennya ini. Cerita pendek adalah teror mental kepada manusia. Pengertian teror tidak hanya berarti memporak-porandakan apa yang sudah tersusun rapi. Teror memang mengacau dan membakar supaya jiwa manusia ambruk. Tetapi, sebuah cerita pendek juga adalah teror mental bagi keadaan yang ambruk, keadaan yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras, sehingga akhirnya pada puncaknya bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada manusia pembacanya.

Vous aimerez peut-être aussi