Vous êtes sur la page 1sur 7

Ramadhana Anindyajati 1006737283

Analisis

 Pendahuluan  Berkaitan dengan kasus ini, penulis akan lebih menyoroti akar permasalahan dari penangkapan kapal nelayan Malaysia tersebut, yakni masalah delimitasi antara RI-Malaysia yang belum ada kejelasan hingga saat ini.  Indonesia sebagai negara pantai (coastal state) sesuai rezim hukum laut menurut UNCLOS 1982 mempunyai kedaulatan wilayah (sovereignty) atas perairan pedalaman, laut teritorial, dan perairan kepulauan. Sedangkan di kawasan ZEEI dan Landas Kontinen, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat (sovereign rights) atau sering disebut kedaulatan atas sumber kekayaan alam.  Sebagaimana kita ketahui, Perjanjian Batas Maritim RI yang telah ada dengan beberapa negara tetangga sebagian besar masih menggunakan UNCLOS 1958. Maka dengan berlakunya UNCLOS 1982, keadaan tersebut telah menimbulkan perubahan bagi masing-masing negara dalam mengajukan klaim atau tuntutan. Baik terhadapa Perjanjian yang telah ada, maupun Perjanjian yang masih akan dirundingkan.  Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah melakukan implementasi ketentuan UNCLOS 1982 di Indonesia berdasarkan hukum nasional, termasuk diantaranya adalah menggunakan UNCLOS 1982 dalam perundingan -perundingan delimitasi batas maritim RI dengan negara-negara yang berbatasan atau berdekatan.  Berkaitan dengan kasus di atas antara Indonesia dengan Malaysia, menurut pandangan saya inti permasalahannya adalah sengketa perbatasan maritim. Hai ini diakibatkan oleh

ketidakjelasan batas-batas nrgara antara Indonesia dan malaysia di Selat Malaka, dan status wilayah yang saling bertupang tindih menurut versi masing-masing negara pantai.  Terlepas dari faktor ekonomis sumberdaya alam, pada dasarnya tindakan-tindalan sepihak (unilateral) untuk meng-klaim wilayah laut yang bersambungan dan berbatasan langsung dengan pantai bertujuan untuk menguasai bagian perairan tersebut sebagai kawasan perlindungan terhadap ancaman baik poten sial maupun faktual yang datang dari luar dan sebagai wilayah melakukan akses komunikasi dan perhubungan.  Kedua unsur itulah yang sangat mendasari berbagai tuntutan negara-negara pantai atas wilayah laut. Tuntutan negara -negara atas wilayah laut juga dipengaruhi oleh sifat historis suatu wilayah laut dan bentuk-bentuk lingkungan geografis yang sangat bervariasi.  Kemudian di samping itu sejak UNCLOS 1982 yang mengatur konsep negara kepulauan, ZEE, landas kontinen, atau penambangan laut telah menimbulkan klaim -klaim batas maritim baik oleh Indonesia maupun oleh Ma laysia menurut sudut pandang yang menguntungkan kepentingan masing -masing. Dalam kasus ini permasalahan perlindungan sumberdaya hayati di laut seperti perikanan juga dapat mempengaruhi dasar delimitasi wilayah laut RI  Fakta-Fakta Delimitasi Wilayah Laut R I Pada legal substance, masalah perbatsan maritim yaitu delimitasi batas wilayah laut RI-Malaysia merupakan salah satu masalah yang menonjol dan perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah RI dalam rangka implementasi UNCLOS 1982, dimana antara satu kasus dengan kasus yang lain berbeda fakta dan legal aspect-nya yang cara penyelesaiannya tentu juga berbeda. untuk

Namun secara legal fundamental UNCLOS 1982 dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian masalah perbatasan tersebut.  Permasalahan yang Menonjol Mengenai Batas ZEE dan Landas
Kontinen Antara RI-malaysia di Selat Malaka:

 Perjanjian garis batas landas Kontinen tanggal 27 Oktober 1969 masih berdasarka UNCOLS 1958. Malaysia menganggap batas landas kontinen di Wilayah Selat Malaka dan Laut Natuna berimpit dengan garis batas ZEE. Malaysia menggunakan Pulau Jarak dan Pulau Perak sebagai baseline-nya, sedangkan RI menghendaki batas ZEEI ditetapkan terpisah berdasarkan UNCLOS 1982, yaitu dengan median line. Selain itu penarikan garis pangkal Malaysia menyalahi konfigurasi pantai. Sejak 1997 penetapan batas ZEE ini belum pernah dibicarakan.  Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan Malaysia sanggat berkepentingan terhadap sumber kekayaan hayati bagi kehidupan perekonomian dan kelestarian sumber perikanan tersebut sehingga merasa perlu untuk menetapan batas maritim dengan Malaysia. Selain itu, dalam kedudukannya sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, penetapan batas-batas maritim ini merupakan salah satu bentuk

implementasi ketentuan yang telah digariskan oleh k onvensi.  Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE Malaysia, maka penetapan batasnya semestinya diselesaikan melalui persetujuan dan apabila persetujuan tersebut atau persetujuan sementara belum dapat dicapai, maka batas maritim tersebut adalah garis tengah (median line) atau garis sama jarak.  Berkaitan dengan kasus di atas, mengenai perjanjian penetapan perikanan atau ZEE yang paling menonjol, terbukti bahwa faktor faktor geografis, ekonomi, dan lingkungan adalah yang paling penting untuk dipertimbangkan.

 Batas Maritim Bagi Pengelolaan Perikanan RI -Malaysia Kemudian dalam hal batas maritim bagi pengelolaan perkanan RI Malaysia, dalam penetapan Batas ZEE dengan Malaysia

khususnya di perairan Natuna perlu dipertimbangkan perjanjian penetapan batas landas kontinen antara kedua negara tahun 1969 serta perjanjian RI-Malaysia 1981 tentang hak nelayan tradisional Malaysia pada perairan Indonesia yang memisahkan Malaysia Barat dengan Malaysia Timur.

 ZEE di Indonesia Negara-negara tertentu dapat memanfaatkan surplus perikanan ZEE berdasarkan suatu kesepakatan/persetujuan dengan negara pantai. Di ZEE tidak ada ketentuan tentang traditional fising rights. Berbagai ketentuan laut bebas juga berlaku untuk ZEE. Pada umumnya ZEE mengatur kawasan air laut (water column) sedangkan daerah dasar laut dan tanah di bawahnya diator oleh ketentuan tentang landas kontinen. Indonesia sudah mempunyai UU tentang ZEE (UU No. 5/1985) tetapi belum menetapkan batas batasnya dengan negara-negara tetangga di beberapa wilayah yang masih tumpang tindih.

 Hubungan Klaim ZEE dan Klaim Landas Kontinen  Antara landas kontinen dan ZEE sesungguhnya saling mengisi dan melengkapi sebagai dua konsepsi dalam penetapan batas klaim yurisdiksi eksklusif. Kedua konsepsi tersebut telah diatur cukup jelas dalam UNCLUS 1982, menskipun pada prakteknya masih belum dapat dijadikan pedoman untuk menyelesaikan batas landas kontinen dan ZEE secara tuntas. Oleh karena itu masih sangat diperlukan suatu proses pen yelesaian berdasarkan

persetujuan internasional dengan menerapkan hukum kebiasaan atau praktek-praktek internasional dan mengadopsi putusan -

putusan pengadilan interna sional. Menurut OConnell dalam The International Law of the Sea Vol. II, mengemukakan b ahwa The Third Law of the Sea Conference wrought a fundamental change in hte wording of the formula for the delimitation of the continental shelf. It was eliminated and acommon formula adopted, for the continental shelf and the EEZ alike, that delimitatio n shall be affected by agreement in accordance with equitable principles, employing where appropriate the median and equidistance line, and taking into account all the relevant circumstances. Leih lanjut, OConnell juga menyatakan bahwa delimitasi Landa s Kontinen dan ZEE dapa tmempertimbangkan konvensi dan hukum kebiasaan ataupun praktek-praktek yang berlaku serta memperhatikan putusan-putusan ICJ.  Berdasarkan hal di atas maka apabila Indonesia melakukan perundingan dengan malaysia dimana bataas maritimn ya tidak terdapat kepanjangan alamiah seperti special circumstances atau aspek-aspek lain yang mempengaruhi seperti faktor historis, faktor yuridis, dan letak pulau maka sebaiknya klaim ZEE diasumsikan sama dengan klaim landas kontinen. Namun sebaliknya, apabila terdapat special circumstances dan beberapa fakta yang

mempengaruhi maka klaim ZEE dan klaim landas kontinen dianggap tidak berimpit sehingga pengajuan klaimnya sendiri sendiri. Namun persetujuan yang akan dibuat tidak akan membatasi legal efek UNCLOS 1982 yang fundamental.

 Hubungan Delimitasi Batas Maritim dengan Penegakan Hukum


di Laut

 Implementasi UNCLOS 1982sangat berkaitan dengan wewenang TNI AL dalam rangka constabulary function sesuai pasal 224 UNCLOS 1982 tentang wewenang pemaksaan penataan untuk melindungi kedaulatan wilayah n egara dan kepentingan nasional.

Pelaksanaan wewenang tersebut sangat dipengaruhi adanya kondisi faktual, salah satu diantaranya belum selesainya

persoalan delimitasi batas maritim RI dengan negara -negara tetangga, dalam kasus ini khususnya dengan Malaysia.  Semua titik-titik korrdinat garis batas negara di laut yang diatur oleh undang-undang mempunyai kekuatan mengikat demi hukum sebagai kedaulatan dan hak berdaulat RI atas wilayah perairan tersebut. Semua negara termasuk Malaysia wajib mematuhinya, dan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban di perairan yang ditunjuk oleh garis batas dalam peraturan perundang -undangan nasional yang telah diakui oleh hukum internasional tersebut dapat dikenai sanksi hukum.  Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU No. 6 tahun 1996 dan PP No. 38 tahun 2002 maka salinan daftar titik -titik koordinat geografis telah diterjemahkan dan didepositkan pada Sekretariat Jeknderal PBB. Maka dengan pendepositan ini, delimitasi RI atas wilayah perairan lebih jelas sehingga pe laksanaan penegakan hukum di perairan Indonesiasesuai Pasal 24 (3) UU No. 6 tahun 1996 yang dilakukan oleh TNI AL dan Dinas pemerintah lainnya telah mendapt legitimasi internasional .  Dengan adanya aspek-aspek yang cukup rawan akibat belum

selesainya masalah batas maritim RI maka sangat diperlukan peningkatan pengawasan serta patroli keamanan khususnya oleh TNI AL di wilayah Batas ZEEI dan Landas Kontinen yang masih diperdebatkan, mengingat kawasan tersebut merupakan lokasi rencana eksplorasi minyak dan juga fishing ground banyak nelayan baik asing maupun Indonesia.

Penutup

Masalah delimitasi atau penetapan batas maritim RI pada dasarnya adalah masalah hukum atau teknis yuridis. Namun karena pada saat ini

terdapat faktor-faktor di luar hukum yang begitu rumit maka terdapat kecenderungan untuk membatasi peranan hukum internasional dalam hal ini UNCLOS 1982 sebagai sarana untuk pemecahan masalah secara luas dan fundamental. Prospek penyelesaian secara hukum belum dapat menjamin pemecahan masalah baik kare na rumitnya persoalan maupun karena UNCLOS 1982 atau praktek -praktek huku internasional belum dapat menampung semua kasus batas maritim yang makin banyak timbul. Oleh karena itu tampaknya penyelesaian harus mempertimbangkan faktor-faktor lain sebagai lengk ah awal untuk kemudian ditempuh prinsip-prinsip hukum internasional. Semua

perundingan yang dilakukan harus didorong untuk mencapai suatu persetujuan yang fair yang berasal dari equal bargaining position . Indonesia sebagai coastal state harus menjaga dan menjamin integritas batas maritim tersebut sebagai bagian kedaulatan dan hak berdaulat RI. Langkah -langkah perundingan oleh RI harus disiapkan secara matang dengan klaim atau tuntutan yang akurat dan dapat dibenarkan baik secara teknis yuridis maupun prinsip-prinsip hukum internasional. Penyelesaian batas-batas maritim RI dengan malaysia juga harus memperhatikan faktor politik dan keamanan Negara RI sebagai negara pantai. Dengan demikian diperlukan peningkatan pengawasan control of sea yang terus menerus oleh aparat penegak hukum di laut dimana TNI AL beritndak sebagai focal pont penegakan hukum di laut untuk melaksanakan coverage di semua kawasan batas maritim RI.

Vous aimerez peut-être aussi