Vous êtes sur la page 1sur 9

AKIDAH ISLAMIYYAH

(Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat)






































Sofwan Abbas, MA
Taliq : Abdullah Assaif




Metode Pembelajaran :

Dalam mempelajari akidah, terdapat dua metode yang digunakan. Yaitu metode tradisional dan metode
modern.

Metode tradisional ini menggunakan tiga hal sebagai wasilah (alat) pembelajarannya, yang pertama
adalah at-talqin (pendiktean), al-hifdz (hafalan), dan yang terakhir adalah ilmul kalam (filsafat). Dalam
metode tradisional ini terdapat banyak kendala yang membuatnya sulit untuk diterapkan, terlebih pada
zaman kita sekarang ini. Misalnya saja dominannya penggunaan doktrin tanpa menyertakan dalil berupa
sumber nash Quran dan hadits. Hal ini membuat seseorang sulit untuk mengambil doktrin langsung dari
sumber aslinya.

Sedangkan metode modern menggunakan lima hal sebagai dasar bahan pembelajarannya.

1. Menggunakan petunjuk dari Al-Quran dan Al-Hadits.
2. Menggabungkan antara aql (logika / akal) dan naql (nash Quran dan Hadits).
3. Memanfaatkan IPTEK.
4. Keserasian antara Akal dan Hati.
5. Mengintregasikan (Menyatukan) dan tidak memisahkan.

Yang pertama metode modern ini langsung mengambil akidah Islam murni dari sumber aslinya, yaitu Al-
Quran dan Hadits. Hal ini akan makin memudahkan aplikasi (penerapan) dari nilai-nilai akidah tersebut
karena di dalamnya terdapat penjelasan yang rinci dan konkrit. Ibarat air minum pegunungan, apabila
air kita ambil dari sumbernya langsung maka akan terasa lebih segar daripada kita meminumnya ketika
telah masuk botol kemasan.

Disinilah nilai lebih pembelajaran akidah dengan system modern, yaitu mengambil langsung dari
sumbernya dan bukan dari filsafat yang sebagian besarnya malah mengadopsi pemikiran para filsuf non-
muslim.

Al-Quran dan Hadits itu ibarat gizi dan vitamin yang selalu dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan filsafat
ibarat obat yang hanya boleh dikonsumsi ketika sakit. Dahulu memang dibutuhkan filsafat ini untuk
mengobati penyakit para penganut agama paganisme penyembah berhala untuk mengajaknya kepada
Islam. Tapi bila terus menerus digunakan oleh kaum muslimin maka bisajadi filsafat ini hanya akan
menjadi racun yang dapat merusak akidah. Oleh karena itu, metode yang menggunakan nash Al-Quran
maupun hadits itu lebih dapat digunakan kapanpun dan tidak terikat waktu.

Yang kedua, metode modern ini juga menggabungkan antara dalil aqli (logika) dan naqli (nash). Karena
akal yang sehat akan menunjukkan nilai kebenaran nash tekstual. Kita ambil contoh pada zaman Rasul.
Banyak kaum musyrik Quraisy yang tidak percaya dengan isi teks Al-Quran, lalu bagaimana caranya
mengajak mereka masuk Islam dan meyakini kebenarannya..???

Nah, disinilah akal sehat berperan sebagai hujjah, bukti, serta dalil yang membuktikan kebenaran Al-
Quran. Orang-orang Quraisy dahulu mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu adalah
orang yang jujur dan tidak pernah berdusta sedikitpun hingga mereka pun menggelarinya Al-Amin (Yang
Sangat Terpercaya). Bahkan ketika Rasulullah berteriak memanggil mereka dari bukit Shafa dan
bertanya, Apabila ku katakan kepada kalian bahwa di balik gunung ada sepasukan yang akan
menyerang Mekkah, apakah kalian akan percaya? Maka refleks orang-orang Quraisy membenarkan
beliau tanpa pikir-pikir lagi.

Lalu, bagaimanakah Rasulullah Muhammad Shallallahu alahi wasallam, seorang yang sangat terpercaya
dan tidak pernah berdusta dalam hidupnya walau untuk hal-hal yang sepele, akan bisa berdusta dalam
masalah besar seperti kenabian, wahyu, syurga, dan neraka..???

Dan pada zaman IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sekarang ini lebih banyak lagi dalil logika yang
membenarkan keotentikan Al-Quran sebagai wahyu Allah, Tuhan semesta alam. Hal inilah yang telah
membuat banyak ilmuwan dengan rela berpindah agama menjadi seorang Muslim.

Yang ketiga, metode modern ini juga memanfaatkan IPTEK untuk menguatkan akidah Islam. Ini
membuktikan bahwa Islam adalah akidah yang berlaku sepanjang masa serta tidak kuno. Islam bisa
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri dan orosinalitasnya.

Dengan pemanfaatan IPTEK ini akan bisa lebih menguatkan iman dan akidah, karena medan
pembahasan IPTEK adalah alam dan segala ciptaan Allah yang ada di dalamnya. Sesuai dengan kaidah
yang menyebutkan, Ciptaan itu menunjukkan adanya pencipta.

Kita ambil satu contoh bagaimana bagian kecil dari alam itu bisa menjadi dalil dan hujjah. Kita sekarang
tidak memungkiri bagaimana canggih dan rumitnya hasil IPTEK ciptaan manusia. Sekarang kita bisa
melihat manusia terbang melintasi antar negara, sedang dulu rasanya hal yang seperti ini hanya terlihat
seperti mimpi dan omong kosong. Tapi serumit dan sercanggih-canggihnya IPTEK zaman ini, ternyata
tidak satu ilmuwan pun yang mampu menciptakan seekor lalat sebagaimana yang telah Allah ciptakan
lengkap dengan detailnya yang mengagumkan. Lalu bila IPTEK yang rumit itu saja diciptakan oleh
manusia yang cerdas, lalu bagaimana dengan lalat yang sangat luar biasa melebihi kecanggihan IPTEK,
apakah lalat itu tercipta dengan sendirinya??? Tentu akal yang masih sehat akan mengatakan dengan
tegas.., Mana mungkin!

Yang keempat, metode modern ini mengedepankan keserasian antara akal dan hati. Karena kedua hal
ini adalah alat ukur dan barometer yang digunakan manusia untuk merasakan kebenaran. Kita ambil
satu contoh bagaimana Al-Quran mengkorelasikan antara akal pikiran dan hati, seperti di dalam ayat
berikut :

Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)... (QS. Al-Araf :
179)

Bagaimana Allah mengaitkan hati yang Dia berikan dengan aktifitas memahami yang merupakan
pekerjaan akal. Dengan kata lain, ternyata hati juga salah satu parameter yang harus digabungkan
dengan akal. Karena akal tanpa hati hanya akan menyesatkan pikiran. Kita bisa lihat contohnya terpapar
luas di hadapan kita. Bagaimana para pemikir yang mendukung teori revolusi darwinisme mati-matian
membela akal pro etheisnya itu. Mereka bilang manusia itu adalah hasil revolusi dari kera, lantas saya
bertanya kepada saudara-saudara sekalian, siapakah diantara kalian yang setuju dan mau dbilang
kera??

Keimanan dengan akal dan hati akan menjauhkan manusia daripada kesesatan taklid ataupun
kemunafikan. Iman itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu iman quli (secara tersurat) dan iman amali
(secara tersirat). Iman secara tersurat yaitu pengakuan secara lisan dengan bersyahadat yang sesuai
dengan suara hati (hati membenarkan ucapannya). Karena ucapan syahadat tanpa pembenaran hati
adalah sebuah kemunafikan, dan pembenaran tanpa ikrar syahadat adalah sebuah keraguan. Sedangkan
Iman itu adalah keyakinan yang mantap dan tak diselubungi keraguan serta kemunafikan.

Lalu iman secara tersirat yaitu proses pembuktian ikrar syahadat di dalam amal kehidupan sehari-hari.
Seorang yang yakin di dalam hatinya lalu diucapkan dengan ikrar, maka dia juga harus membuktikan
ikrarnya itu di dalam amal nyata. Sebagaimana pengertian iman yang mahsyur di kalangan para ulama,
bahwa iman adalah apa yang dibenarkan di dalam hati, diucapkan (diikrarkan) dengan lisan, dan
diamalkan dengan anggota tubuh.

Amal ini terbagi dua, yaitu amalan hati, serta amalan anggota tubuh. Amalan hati seperti niat, cinta,
sedih, takut, harap, dan lain sebagainya. Dan amal yang dikerjakan dengan anggota tubuh seperti shalat,
puasa, membaca Al-Quran dan sebagainya.


IMAN KEPADA ALLAH

Iman kepada Allah mengandung tiga makna :
A. Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan) semesta alam.
B. Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah saja yang berhak untuk disembah dan diibadahi.
C. Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa Allah itu memiliki sifat-sifat yang sempurna dan
terbebas daripada segala sifat cacat dan kekurangan.

Tiga makna inilah yang menyusun dan membagi jenis-jenis tauhid menjadi tauhid rububiyyah, tauhid
uluhiyyah, dan tauhid asma wa shifaat. Kita akan bersama membahas lebih rinci ketiga jenis tauhid
tersebut.

1. Tauhid Rububiyyah

Tauhid jenis pertama adalah tauhid Rububiyyah, maknanya adalah : Keyakinan yang kokoh dan mantap
bahwa ALLAH adalah RABB (TUHAN) semesta alam dan tidak ada Tuhan selain Dia.

Kuatnya keyakinan ini tergantung pada kuatnya dalil, yaitu dasar alasan mengapa seseorang beriman.
Semakin kuat dasar yang membuat dia beriman, maka akan semakin kuat pula iman yang dihasilkan dari
dasar tersebut.

Ada beberapa pengertian Rabb, diantaranya adalah pencipta, yang menghidupkan, yang mematikan,
yang memberi rizki, yang menguasai, dan lain sebagainya. Jadi bermakna, Allah adalah pencipta dan
tidak ada yang menciptakan selain Allah. Allah adalah yang menghidupkan serta tidak ada yang
menghidupkan selain Dia. Allah adalah yang memberi rizki, dan tidak ada yang bisa memberi rizki
kepada makhluk selain Dia. Allah adalah penguasa alam semesta serta tidak ada yang memiliki kekuatan
kecuali Dia.

Barangsiapa yang mengakui bahwa ada Tuhan lain yang menciptakan selain Allah, maka dia telah
berbuat syirik, menyekutukan Allah dengan makhluk. Barangsiapa yang percaya bahwa ada kekuatan
lain di samping kekuatan Allah yang menyamai kekuatan-Nya, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa
mengakui ada yang memberi dia kenikmatan dan rizki selain Allah, maka dia telah berbuat syirik. Begitu
seterusnya.

Tauhid rububiyyah ini adalah asas dan pondasi dari dua jenis tauhid lainnya. Kenapa? Karena bagaimana
mungkin ada orang yang mau menyembah tuhan yang tidak dia yakini memiliki kekuatan dan
kekuasaan? Bagaimana mungkin pula ada orang yang mau mengakui tuhan bila tuhan itu tidak terlepas
daripada sifat-sifat kecacatan atau kekurangan.

2. Tauhid Uluhiyyah

Tauhid kedua adalah tauhid uluhiyyah, maknanya adalah : Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa
ALLAH adalah satu-satunya TUHAN yang berhak untuk DIIBADAHI, serta tidak ada selain-Nya yang
berhak untuk disembah dan diibadahi.

Tauhid ini disebut juga tauhid niat dan tujuan. Karena di dalam tauhid ini mengandung pemurnian niat
di dalam ibadah kepada Allah. Bukan karena riya, bukan karena ingin dipuji atau ingin mendapatkan hal-
hal lainnya diatas tujuannya untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Uluhiyyah berasal dari dua kata, yang pertama adalah Al-Walah yang bermakna tempat bergantung. Dan
yang kedua adalah Al-ilahah yang bermakna ibadah. Bila kita renungi mengenai makna tauhid uluhiyyah
ini terkandung di dalam surat Al-Ikhlas :

Katakanlah : Dialah Allah yang maha tunggal. Allah adalah tempat bergantung. Dia tidak beranak
dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. (QS. Al-Ikhlas : 1-3)

Tauhid Uluhiyyah ini mengandung intisari dari dua tauhid lainnya. Karena dengan memurnikan ibadah
kepada-Nya itu sama saja kita telah mengakui Allah sebagai Rabb semesta alam. Bagaimana mungkin
kita mau menyembah Tuhan yang tidak kita akui kekuasaannya..?

Di dalam ibadah itu pula kita mengikrarkan dan memuji sifat-sifat kesempurnaan Allah (asma wa
shifaat). Ketika rukuk misalnya, kita berdoa, Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung, dan segala puji
bagin-Nya atau ketika sujud, Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi, serta segala puji bagi-Nya., serta
lain sebagainya.

Orang yang memurnikan ibadahnya kepada Allah, maka di dalam hatinya akan terpupuk bibit ikhlas,
cinta kepada dan karena Allah, rasa takut akan adzab-Nya, tawakkal (berserah diri) kepada-Nya, serta
doa yang tulus.

Di tauhid inilah orang-orang musyrik Quraisy pada zaman Rasulullah tergelincir. Mereka sebenarnya
mengakui bahwa Allah lah satu-satunya Rabb dan pencipta alam raya beserta segala isinya. Namun
disamping itu mereka juga menyembah selain Allah berupa berhala-berhala dari batu dan kayu.

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?,
niscaya mereka menjawab: Allah. Katakanlah: Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang
kamu seru (sembah) selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah
berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi
rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah
bagiku." Kepada-Nya lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar : 38)

Orang-orang kafir Quraisy itu mengakui Allah sebagai Rabb, satu-satunya Rabb semesta alam. Namun
disamping itu mereka menyembah batu dan kayu, (sebagaimana pada zaman sekarang ada yang
menyembah kuburan para wali dengan alasan yang sama) dengan alasan agar batu dan kayu itu
mendekatkan mereka kepada Allah, sebagaimana termaktub di dalam Quran :

Dan orang-orang yang mengambil pelindung (tempat bergantung) selain Allah (berkata): "Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat- dekatnya." (QS. Az-Zumar : 39)

3. Tauhid Asma wa Shifat

Tauhid ketiga bermakna : Keyakinan yang kokoh dan mantap bahwa hanya Allah satu-satunya yang
memiliki sifat-sifat yang kesempurnaan dan terbebas daripada segala sifat cacat dan kekurangan.

Tauhid ini dilakukan dengan menetapkan dan meyakini segala asma (nama-nama) dan sifat-sifat Allah
sebagaimana yang telah ditetapkan Allah Taala dan Rasul-Nya di dalam Quran dan Hadits. Tanpa
melakukan tasybih (penyerupaan), tahrif (perubahan dan penggantian makna), tathil (pengosongan
makna), dan takyif (mencari tahu detailnya). Hal-hal ini adalah hal yang dapat merusak tauhid asma wa
shifaat. Kita akan jelaskan secara ringkas pada tempatnya, insyaallah.

Tiga Kaidah Dalam Iman Kepada Sifat-Sifat Allah

1) Mensucikan Allah daripada tasybih (penyerupaan) terhadap makhluk.

..Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
(QS. Asy-Syura : 11)

Di dalam ayat tersebut terdapat keterangan bahwa Allah itu melihat dan juga mendengar, namun
pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama seperti penglihatan makhluk. Karena makhluk melihat
dengan dua mata serta mendengar dengan dua telinga. Akan tetapi, bagaimana dengan penglihatan dan
pendengaran Allah? Hanya Dia sendirilah yang mengetahui hal ini, sedang hamba-hamba-Nya itu lemah
dan tidak mengetahui hal ini.

..Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.. (QS. Al-Baqarah : 255)

Hakikat pendengaran dan penglihatan antara Allah dan makhluk itu tidak pernah sama, hal ini
dipertegas di dalam firman Allah, Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya. (QS. Al-Ikhlas : 3)

Setiap sifat Allah dan sifat makhluk yang serupa secara lafadz di dalam syariat, maka tidak serupa di
dalam makna hakikinya. Keserupaan antara keduanya hanya terbatas pada kemiripan lafadz. Misalnya
ayat-ayat berikut :

..Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka (para sahabat nabi).. (QS. Al-Fath : 10)
Kemiripan antara lafadz tangan Allah dan tangan mereka (makhluk), namun secara makna hakiki
(makna sebenarnya), kedua hal ini berbeda.

Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat dalam keadaan berbaris-baris. (QS. Al-Fajr : 22) Lafadz
datang disini berbeda dengan makna hakiki daripada proses datangnya makhluk. Hanya Allah lah yang
Maha Mengetahui sedang kita semua lemah dan tidak memahami.

Hakikat sifat itu berbeda sesuai dengan perbedaan benda atau hal yang disifati. Contohnya saja, wanita
cantik dan gol cantik pada permainan sepakbola.

Dua-duanya memang sama secara lafadz, yaitu cantik. Tapi secara hakikat gol cantik dan wanita cantik
itu jauh berbeda. Bila wanita cantik itu identik dengan kulitnya yang halus, dan parasnya yang menawan,
namun gol cantik malah sebaliknya. Gol cantik itu identik dengan kesan kasar, keras, dan cerdas. Tentu
akan berbeda lagi bila kita rubah bendanya menjadi siasat yang cantik, atau cantk-cantik yang lain.

2) Beriman dan yakin sepenuhnya terhadap sifat-sifat dan nama-nama Allah yang dijelaskan di
dalam Quran dan Sunnah.

Maksud dari kaidah ini adalah mencukupkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang
diterangkan di dalam Quran atau Hadits serta tidak menambah-nambahnya.

Misalnya saja, ada yang menyebut Allah sebagai Sang Arsitek, Sang Pembangun, atau Sang Tabib
(dokter). Hal ini tidak dibenarkan karena nama Sang Tabib ataupun nama-nama ini tidak pernah
disebutkan oleh Allah Taala maupun Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Namun Allah memiliki
nama lainnya yang boleh digunakan, yaitu As-Syaafi (penyembuh) sebagaimana doa ruqyah yang
diajarkan Rasulullah,

" ' -' - - - - , ' - ' ' ' ' - - "....
Sembuhkanlah ya Allah, Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada yang dapat menyembuhkan (penyakit)
selain Engkau.

Malahan, bila kita menamai Allah dengan nama Sang Tabib itu sama saja kita mensifati Allah dengan
sifat kekurangan. Sudah berapa kali kita mendengar berita seorang dokter yang malpraktek ataupun
gagal mengobati pasiennya. Juga seorang arsitek yang salah membuat sketsa bangunan sehingga
menyebab bangunannya rapuh. Namun Allah (Maha Suci Allah) terbebas dari sifat-sifat cacat seperti itu.

Allah berfirman, Katakanlah: Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah yang lebih
mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 140)

Ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat Allah ini didapat melalui pendengaran (ayat Quran atau hadits),
bukannya penglihatan. Wallahu alam.

3) Tidak mencari tahu detail sifat-sifat ini secara indrawi.

Allah melarang seseorang untuk mencaritahu (takyif) detail sifat-sifatNya karena bila kita mencaritahu
detail sifat Allah, itu sama saja kita mencaritahu detail wujud Allah. Padahal tidak ada satu makhluk pun
di dunia ini yang mampu mengindra dzat Allah, dan bahkan manusia dilarang untuk itu. Namun Allah
menjanjikan kepada para ahli syurga bahwa di dalam syurga nanti Allah akan memberikan mereka
puncak kenikmatan yaitu bertemu dan melihat-Nya.

Kita mungkin pernah mendengar ada orang yang mengatakan, Hati-hati, belajar agama jangan terlalu
dalam. Nanti bisa gila..! Lantas, benarkah isi pernyataan ini..??? Maka kita jawab dengan tegas, Tidak
ada orang yang gila karena belajar agama. Yang ada malah mereka yang tambah cerdas setelah
menghafal Quran, tambah kuat pikirannya setelah aktif d pengajian..!!

Pada kasus pertama, sebenarnya bukan agama yang mereka pelajari, melainkan mereka mencari tahu
hakikat dzat Allah Taala, pantas saja mereka jadi gila (wal iyyadzu billah). Kasus ini terjadi di tengah
beberapa kelompok sufi yang nyeleneh. Mereka nekad mencoba mengindra dan mencari tahu dzat
Allah, juga detail sifat-sifat Allah. Akhirnya mereka menjadi gila karena akal mereka tidak mampu
menangkapnya. Mereka menganggap sedang belajar hakikat tapi pada dasarnya mereka sebenarnya
malah belajar untuk mencerna sesuatu yang tidak mampu mereka cerna. Pantas saja Allah melarang kita
daripada hal tersebut.

Kita dilarang untuk bertanya dan mencaritahu tentang detail sifat Allah. Misalnya saja sifat Allah pada
ayat berikut :

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. (QS. Taha : 5)

Para Ulama terdahulu memberikan sebuah jawaban singkat ketika mereka ditanya mengenai detail dari
sifat ini (bagaimana cara Allah bersemayam?), mereka berkata : Kata bersemayam itu bisa dimengerti
(secara umum), sedang tata cara bersemayam itu tidak diketahui. Beriman kepadanya adalah wajib,
dan bertanya mengenainya adalah bidah (bidah = mengada-ada)

Ada sebuah kaidah tambahan yang diberikan para Ulama mengenai hal ini :

' ' . = = ' * - - - . = - = - '

Ketidakmampuan untuk mengetahui adalah sebuah pengetahuan
Sedangkan mencaritahu dzat Allah adalah kesyirikan

Begitupula kita dilarang untuk menyerupakan sifat Allah dengan bahasa isyarat. Misal menerangkan
bahwa Allah bersemayam, dia memang tidak menjelaskan tatacara bersemayamnya Allah, namun dia
malah memberi isyarat gerakan duduk diatas kursi. Itu sama dengan menyerupakan sifat Allah dan sifat
manusia.

Perusak Tauhid Asma wa Shifaat

Tasybih (Penyerupaan), yaitu menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, atau menyamakan sifat
makhluk sama seperti sifat Allah.

Menyerupakan sifat makhluk seperti sifat Allah : Yaitu kita mensifati seseorang dengan sifat yang khusus
untuk Allah Taala. Misalkan saja menamai seseorang dengan Ar-Rahman (yang maha pengasih) atau
mensifati seseorang dengan mengetahui hal yang ghaib, padahal Allah sudah tegaskan di dalam
Quran, Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah. (QS. An-Naml : 65)

Sedang dengan menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, itu sama saja dengan kita mensifati
Allah dengan sifat cacat dan kurang yang dimiliki oleh makhluk.

Kedua hal tersebut adalah perusak tauhid Rububiyyah.

Tahrif, yaitu mengganti dan merubah makna sifat Allah yang disebutkan di dalam Al-Quran maupun
hadits.

Perbuatan ini banyak dlakukan oleh orang-orang mutazilah (salah satu madzhab yang menyimpang dari
akidah ahlus sunnah), mereka mengganti dan merubah ayat-ayat Allah agar tidak menyerupakan sifat
Allah dengan sifat makhluk. Mereka memang tidak terjebak dalam tasybih menyerupakan sifat Allah
dengan makhluk, namun sayang mereka gugur di bagian ini.

Misalkan saja firman Allah, Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya. (QS.
An-Nisa : 164) Mereka (mutazilah) mengatakan, Berbicara (dengan lisan) itu adalah sifat manusia
(sedangkan pada ayat ini disebutkan bahwa Allah berbicara), dan tidak mungkin Allah menyerupai sifat
makhluk. Oleh karena itu mereka merubahnya menjadi, Dan Musa telah berbicara kepada Allah
dengan sebenar-benarnya. Menjadi Musa yang berbicara, bukannya Allah.

Sedangkan sikap ahlus sunnah dalam hal ini sudah jelas, bahwa Allah itu berbicara, dan kita bisa
memahami kata bicara itu secara umum. Namun berbicaranya Allah tidak sama dengan makhluk. Kita
semua wajb mengimaninya sepenuh hati dan dlarang untuk bertanya mengenai detail hal ini. Kenapa?
Karena kita tidak akan mampu untuk memahaminya, selain itu hal ini juga tidak bermanfaat bagi kita.
Masih banyak hal berguna lain yang harus dilakukan ketimbang bertanya mengenai suatu hal yang tidak
mungkin dicerna.

Tathil, yaitu mengosongkan makna dari sifat dan nama Allah yang disebutkan di dalam Quran atau
hadits.

Tathil ini juga dilakukan oleh sebagian mutazilah. Agar tidak menyerupakan sifat Allah dengan makhluk
dan tidak merubah-rubah sifat Allah yang ada di dalam Quran, akhirnya mereka mengatakan, Kata
Allah berbicara (di dalam ayat) itu tidak memiliki makna.

Tentu saja hal ini tidak benar, di dalam Quran jelas dan gamblang disebutkan, Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka (QS. Ali-Imran : 191)

Takyif, yaitu bertanya mengenai criteria atau detail sifat Allah yang ada di dalam Quran atau hadits.
Untuk takyif ini telah kita bahas sebelumnya.

Vous aimerez peut-être aussi