Vous êtes sur la page 1sur 16

PENDAHULUAN Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang tidak pernah berhenti melimpahkan

berjuta-juta kenikmatan, taufik, inayah serta hidayah kepada hamba-Nya. Shalawat, salam dan berkah semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan seluruh umat Nabi Besar Rasullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabatsabahat dan siapa saja yang selalu berusaha melaksanakan sunnahnya. Dewasa ini terdapat berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks yang akibatnya dapat mempengaruhi psikis ataupun fisik. Dan hubungan atau interaksi individu dengan individu yang lain terkadang terjadi hubungan yang tidak harmonis serta menyebabkan perilaku yang berbeda atau lazimnya disebut kelainan. Manusia merupakan makhluk yang unik dan menarik untuk dipelajari seluk-beluknya. Hal ini mencakup semua aspek yang membentuk pribadi individu, baik dari segi individunya sendiri, ataupun kehidupan sosialnya. Dalam menjalani kehidupannya manusia pasti mempunyai permasalahan dan dari permasalahan ini harus dicari penyelesaiannya. Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah permasalahannya tentang Gangguan Seksual. Seks merupakan energi psikhis yang ikut mendorong manusia untuk bertingkah laku. Tidak Cuma bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan non seksual. Sebagai energi psikhis, seks merupakan motivasi atau dorongan untuk berbuat atau bertingkah laku. Seks itu adalah satu mekhanisme, dengan mana manusia mampu mengadakan keturunan. Sebab itu, seks merupakan mekhanisme yang vital sekali, dengan mana manusia mengabdikan jenisnya. Di samping hubungan social biasa, di antara wanita dan pria itu bisa terjadi hubungan khusus yang sifatnya erotis, yang disebut sebagai relasi seksual. Dengan relasi seksual ini kedua belah pihak menghayati bentuk kenikmatan dan puncak kepuasaan seksual atau orgasme, jika dilakukan dalam hubungan yang normal sifatnya. Laki-laki dan wanita dewasa itu ialah mereka yang nantinya mampu melakukan relasi seksual yang adekwat. Dengan kata-kata lain, wanita itu disebut normal dan dewasa, bila

dia mampu mengadakan relasi seksual dengan seorang pria dalam bentuk yang normal dan bertanggung jawab. Dan sebaliknya, seorang pria disebut normal, bila mampu mengadakan relasi seksual dengan wanita yang sehat sifatnya.

Baik pria maupun wanita harus menyadari, bahwa relasi sekisual itu harus dilakukan dalam batas-batas norma ethis atau susila, sesuai dengan norma masyarakat dan norma agama. Oleh kedua cirri tersebut di atas, yaitu normal dan bertanggung jawab, maka hal ini mewajibkan manusia melakukan hubungan seks dalam satu ikatan yang teratur, yaitu dalam ikatan perkawinan yang syah. Selanjutnya, bentuk relasi seks yang abnormal dan perverse (buruk, jahat) adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, didorong oleh kompulsi-kompulsi dan dorongan-dorongan yang abnormal, yang akan dibahas dalam makalah ini.

A. Pengertian Identitas Gender dan Gangguan Identitas Gender 1. Identitas Gender : Identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan dalam diri seseorang berkaitan dengan keberadaaan diri sebagai laki-laki atau perempuan (Fausiah, 2005). Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim. Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat. 2. Gangguan Identitas Gender: Gangguan Identitas Gender adalah Keinginan untuk memiliki jenis kelamin yang berlawanan dengan kenyataan (wanita ingin menjadi pria, pria ingin menjadi wanita); atau keyakinan bahwa seseorang telah masuk ke dalam sebuah tubuh dengan jenis kelamin yang salah (www.medicastore.com). Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.

Criteria diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain: Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya) Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak . anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama) Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya. Tidak terdapat kondisi interseks. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak. anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.

Sejarah Gender Identity dan Gender Identity Disorder Sebelum tahun 1955, kata gender terbatas khusus pada area untuk mengindikasikan pria atau wanita ketika dipakai baik pada kata benda, pronoun, dan kata sifat. Definisi pertama untuk istilah peran gender dierikan oleh John Money dalam artikelnya 'Hermaphroditism, gender and precocity in hyperadrenocorticism:

psychological findings' yang diterbitkan oleh Bulletin of the John Hopkins Hospital pada tahun 1955. money ingin membedakan sebuah situasi dari perasaan, penerimaan, dan tingkah laku yang mengidentifikasikan seseorang sebagai anak laki-laki atau anak

perempuan, pria atau wanita, berbeda dengan kesimpulan bahwa identifikasi dapat dilakukan hanya dengn mempertimbangkan gonad mereka. Istilah 'gender identity' muncul pada pertengahan 1960-an dalam hubungannya dengan pendirian sebuah kelompok studi gender identity pada University of California. Stoller mendefinisikannya sebagai :sebuah sistem yang kompleks dari kepercayaan mengenai dirnya sendiri tentang perasaan maskulinitas dan feminitas mereka. Hal ini tidak menunjukkan apapun mengenai dasar perasaan tersebut. Kemudian istilah ini menjadi konotasi psikologi menjadi keadaan sujektif sesorang.

Awal mula Gangguan Identitas Gender Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003). Nevid (2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif, bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka. B. Penyebab Gangguan Identitas Gender 1. Faktor Biologis Gangguan Identitas Gender terlepas dari berbagai isu, bahwa secara meragukan pola tersebut dapat disebabkan oleh gangguan fisik.Secara spesifik, bukti menunjukkan bahwa identitas gender dipengaruhi oleh hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosterone yang mempengaruhi neuron otak, dan berkontribusi terhadap maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti: hipotalamus, dan sebaliknya dengan hormone feminism. Sebuah studi yang menunjukkan poin ini dilakukan terhadap para anggota sebuah Keluarga Batih di Republik Dominika (Imperato McGinley,dkk., 1974).Para peserta dalam studi ini tidak mampu memproduksi suatu hormone yang bertanggung jawab untuk

membentuk penis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin laki-laki. Mereka lahir dengan penis dan skrotum yang sangat kecil yang mirip seperti lipatan bibir.Dua pertiganya dibesarkan sebagai perempuan, namun ketika mereka memasuki pubertas dan kadar testosteronnya meningkat, organ kelamin mereka berubah-penis mereka membesar dan testikel mengecil menjadi skrotum.Akhirnya, sebanyak 17 dari 18 peserta kemudian memiliki identitas gender laki-laki. 2. Faktor Sosial dan Psikologis Menurut pendekatan PsikoSosial, terbentuknya Gangguan Identitas Gender

dipengaruhi oleh interaksi temperamen anak, kualitas dan sikap dari orang tua.Secara budaya, masih terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminisme dan anak wanita menjadi tomboy, termasuk akan pembedaan terhadap pakaian dan mainan untuk anak laki-laki dan wanita (Kaplan, Sadock, &Grebb, 1994). Hipotesis lain adalah bahwa perilaku feminism yang stereotip pada anak laki-laki di dorong oleh ibu yang sejak sebulan kelahiran anak sangat menginginkan anak perempuan (Davison dan Neale,2001). C. CIRI-CIRI (Nevid, 2002) Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis, Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anakanak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri. Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual

C. Dinamika Gangguan Identitas Gender 1. Pengalaman Homoseksual ketika penderita pernah dijadikan obyek seksual oleh orang dewasa sesama jenis.

2. Pola asuh keluarga yang sangat menginginkan anak perempuan sehingga mendandani anak laki-lakinya seperti mendandani anak perempuan, pada masa anak-anak tahap perkembangan psikoseksual. Perlu dicatat adalah sejak bayi dilahirkan, orang tua sebagai lingkungan terdekat sudah membuat perbedaan perlakuan terhadap bayi laki-laki dan bayi perempuan. Ayah akan bermain relatif lebih kasar terhadap bayi laki-laki dibandingkan terhadap bayi perempuan, sementara ibu akan memberikan perlakuan yang lebih hangat dan penuh kasih sayang terhadap bayi perempuan. Akan tetapi, terkadang orang tua menginginkan anak yang berbeda dari yang telah dilahirkannya, memperlakukan anak tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Sehingga, hal tersebut dapat menyebabkan pembentukan identitas yang berlawanan dengan gender anak tersebut. 3. Identifikasi yang dekat dengan orang tua jenis kelamin yang berbeda, anak laki-laki terhadap ibunya. Pada masa kanak-kanak awal, khususnya pada tahap perkembangan psikoseksual (Selama dua tahap terakhir), dalam tahap ini anak memulai relasi khusus dengan orang tua lawan jenisnya. Anak akan menggunakan relasi ini sebagai landasan kesehatan relasi dengan lawan jenisnya di kemudian hari.Oedipus Complex pada anak laki-laki dan Electra Complex pada anak perempuan merupakan drama relasi segitiga antara anak dengan pasangan sejenis dan berlawanan jenis, fase inilah yang menentukan identitas seksual anak dikemudian hari. Dalam hal ini, anak harus menerima kenyataan akan ketidakmampuan untuk memiliki orang tua yang berlawanan jenis, baik secara emosional maupun seksual. Relasi cinta terhadap jenis kelamin ini harus direlakan demi kemungkinan kepuasan relasi cinta dengan orang lain di kemudian hari. Hanya dengan sikap menyerah dalam pertarungan keluarga untuk merebut posisi orang tua dari jenis kelamin lain, anak akan mampu melalui perkembangan identitas seksual yang sehat dan proporsional. Apabila pada saat tersebut lingkungan keluarga tidak bersifat hangay dalam pertarungan segitiga ini, maka anak akan berpeluang untuk mengambil alih ciri hakekat identitas gender dari orang tua yang berlawanan jenis.

Maksudnya ialah, anak laki-laki akan mengambil alih ciri kewanitaan dari ibunya, sedangkan anak perempuan akan mengambil ciri hakekat kelaki-lakian dari ayahnya. Efek yang muncul kemudian adalah anak laki-laki akan mengembangkan kepribadian homo, sedangkan anak perempuan akan mengembangkan kepribadian lesbian. Freud menyebeutkan bahwa hubungan antara perkembangan identitas seksual secara kompleks yang melanda anak laki-laki dan perempuan itu, dengan istilah proses identifikasi, yaitu proses perkembangan identitas seksual sejalan dengan kenyataan seksual biologis anak. Hal ini berarti bahwa anak laki-laki mengambil alih dan menginternalisasikan hakekat kelaki-lakian dari pihak ayah, sedang anak perempuan mengambil alih dan menginternalisasikan hakekat kewanitaan dari ibunya. Namun, kehangatan relasi yang dibina dalam keluarga baik oleh figure ayah maupun ibu akan membuka peluang perkembangan kemampuan anak dalam menjalin relasi yang hangat dan sehat pula dengan jenis kelamin lain di kemudian hari. D. Jenis-Jenis Gangguan Identitas Gender 1. Transeksual Transeksual adalah suatu kelainan identitas jenis kelamin yang nyata dimana penderita meyakini bahwa mereka adalah korban dari suatu kecelakaan biologis yang terjadi sebelum mereka lahir yang secara kasar terpenjarakan dalam sebuah tubuh yang tidak sesuai dengan identitas jenis kelamin mereka yang sesungguhnya. Penderita gangguan transeksual sebagian besar adalah laki-laki yang mengenali dirinya sebagai wanita, yang biasanya timbul pada awal masa kanak-kanak dan melihat alat kelamin dan penampakan kejantanannya dengan perasaan jijik. Transeksual jarang ditemukan pada wanita. Penyebab terjadinya transeksual karena adanya perasaan tidak nyaman akan kondisi fisik tubuhnya yang kemudian menyebabkan individu terkait melakukan penggantian alat vitalnya. Dalam Diagnosis Gangguan Jiwa (Maslim, 2003), diagnosa transeksualisme yaitu: a. Untuk menegakkan diagnosis, identitas transeksual harus sudah menetap selama minimal 2 tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain

seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom. b. Gambaran Identitas,sbb: - Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian, dengan anatomi seksualnya; dan - Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan. 2. Transvestisme Peran Ganda Pedoman Diagnostik(PPDGJ III), yaitu: a. Mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya; b. Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelamin secara lebih permanen atau berkaitan dengan tindakan bedah; c. Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan jenis tersebut, yang membedakan gangguan ini dengan transvetisme fetishistik. 3. Homoseksual Homoseksual menjelaskan adanya dorongan seksual yang kuat terhadap sesama jenis. Semenjak kata ini ditemukan pada tahun 1869 oleh Karl-Maria Kertbeng, Homoseksual memberi pengaruh hebat terhadap konsep modern orientasi seksual. Homoseksual sendiri dapat mengacu pada(www.wikipedianindonesia.com) : a. Orientasi Seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama. b. Perilaku seksual dengan seseorang yang bergender sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender

c. Identitas seksual atau Identifikasi Diri yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual. Istilah homoseksual lebih lazim digunakan bagi pria yang menderita penyimpangan ini, sedangkan bagi wanita keadaan yang sama lebih lazim disebut lesbian. Kecenderungan ini dapat dibagi atas beberapa kualitas tingkah laku homoseksual antara lain: a. Homoseksual ekslusif Bagi pria yang memiliki kecenderungan homoseksual ekslusif, daya tarik wanita sama sekali tidak membuatnya terangsang, bahkan ia sama sekali tidak mempunyai minta seksual terhadap wanita. Dalam kasus semacam ini, penderita akan impoten apabila ia memaksakan diri untuk mengadakan relasi seksual dengan wanita. b. Homoseksual Fakultatif Hanya pada situasi yang mendesak dimana kemungkinan ini mendapatkan partner lain sejenis,sehingga tingkah laku homoseksual timbul sebagai usaha menyalurkan dorongan seksualnya.Misalnya dipenjara. Nilai tingkah laku ini dapat disamakan dengan tingkah laku onani atau masturbasi. c. Biseksual Orang ini dapat mencapai kepuasan erotis optimal baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Biseksualitas berarti memiliki responsivitas seksual terhadap kedua jenis kelamin. Tak jarang anak-anak dan remaja memiliki ketertarikan seksual terhadap orang dengan jenis kelamin yang sama. Biseksualitas sejati lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan lelaki. Banyak psikiater yang percaya bahwa homoseksualitas dapat pula dibagi atas dua kategori yaitu kategori Pasif dan Kategori Aktif. Tipe Aktif adalah tipe maskulin dimana pada relasi homoseksual tipe ini menunjukkan sikap aktif dan dalam sodomi, maka penetrasi penis dilakukan oleh tipe ini. Sedangkan tipe pasif sering lebih mengambil alih setiap pseudofeminin, dimana kemudian tipe ini justru menjadi tipe yang betul-betul

menderita karena kebanyakan memiliki bentuk tubuh yang kewanita-wanitaan walaupun tidak selalu demikian. Pembedahan atas dua kategori ini menurut penulis tidak dapat diajdikan patokan yang kaku karena pada umumnya sering partner menginginkan aktivitas resiprokal, yang saling mengisi di dalam relasi homoseksual. Walaupun demikian, ciri-ciri tertentu apakah aktif maupun pasif sering lebih mendominasi sikap homoseksual pada salah satu partner. Kecuali itu, pembagian ketiga kualitas homoseksual diataspun sebenarnya tidak memungkinkan untuk mengkotak-kotakkan para penderita homoseksual secara

tegas.Karena, mungkin saja kecenderungan dan satu kategori tingkah laku homoseksual menjadi faktor yang berperan dalam kategori homoseksual yang lain. E. Perspektif pada Gangguan Identitas Gender 1. Perspektif Psikodinamika Berdasarkan teori psikodinamika, gangguan transvertism dilihat dari penyangkalan seorang ibu yang dianggap sebagai pengebirian. Memakai pakaian wanita tapi masih mempunyai penis, orang-orang banci dapat secara tidak sadar meyakinkan dirinya bahwa ibunya tidak mengalami pengebirian dan maka dari itu dia tidak takut akan takdir yang sama bagi dirinya(Neilson,1960). 2. Perspektif Behavioral Berdasarkan teori behavioral, proses belajar mungkin memainkan beberapa peran pada perkembangan transvestism dan gangguan identitas gender.Sejarah kasus dari orangorang ini sering menampakkan bahwa mereka dipaksa oleh perhatian yang diebrikan dan dikatakan bahwa mereka lucu ketika mereka dipakaikan pakaian ibu mereka dan saudarasaudara perempuan. F. Intervensi 1. Penderita Gangguan Homoseksual Berdasarkan studi kasus yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa hal penting yang harus dilakukan untuk menangani penderita homoseksual yaitu dengan melakukan

terapis dengan bantuan seorang psikolog atau psikiater yang lebih memusatkan perhatiannya serta lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan serta ketenangan kehidupan perasaan penderita gangguan tersebut. 2. Penderita Gangguan Transeksual dan biseksual Penderita Transeksual mungkin akan mencari pertolongan psikologis , baik untuk membantu mereka dalam mengatasi kesulitan hidup dalam sebuah tubuh yang menimbulkan perasaan tidak nyaman untuk membantu mereka melewati suatu peralihan jenis kelamin. Penderita lainnya mungkin mencari bantuan dokter ahli dalam pembedahan penggantian seks dan pembedahan palstik. Beberapa penderita mungkin puas dengan perubahan peranan jenis kelamin mereka tanpa harus melakukan pembedahan; dengan bekerja tinggal dan berpakaian seperti lawan jenisnya di dalam pergaulan. Mereka merubah identitas yang memperkuat perubahannya, tanpa perlu melakukan pembedahan yang mahal dan beresiko. G. Terapi Body Alterations Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan

kelamin.Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi. Ganti kelamin Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan. Tahap tahap tersebut adalah: Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan.

Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli bedah harus menolak permintaanya. Orang yang ingin merubah dari pria menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon androgennya ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin sekunder pria.Sebelum operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan payudaranya dengan membuang jaringan lemak. Pengubahan Identitas Gender Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.

KESIMPULAN Istilah seksual masih sering dianggap sebagai kata yang sifatnya tabu untuk diperbincangkan. Akibatnya beberapa orang mencari tahu tentang apa itu seksual dengan cara yang tidak semestinya. Yang kita sebut dengan abnormalitas seksual atau gangguan seksual. Ada beberapa gangguan seksual yang diantaranya adalah kelompok Parafilia. Parafilia (Para artinya penyimpangan dan filia artinya obyek atau situasi yang disukai). Parafilia menunjuk pada obyek seksual yang menyimpang (misalnya dengan benda atau anak kecil) maupun aktivitas seksual yang menyimpang (misalnya dengan memamerkan alat genital). Ada beberapa jenis gangguan seksual Parafilia yaitu: Pedofilia Eksibionisme Voyeurisme Sadisme Seksual Masokhisme Seksual Fetisisme Transvestisme Zofilia Froteurisme Homoseksual Ada juga gangguan seksual yang masuk kelompok disfungsi seksual diantaranya : Gangguan keinginan seksual Gangguan gairah seksual Orgasme terhambat Ejakulasi dini. Dispareunia Vaginismus, dan juga gangguan-gangguan seksual lainnya.

Treatmen yang digunakan untuk menyembuhkan pasien bukan hanya bergantung pada pasien, akan tetapi individu yang bersangkutan juga sangat berperan. Misalnya, seberapa besar keinginan dari dalam diri pasien untuk merubah perilaku seksual yang menyimpang, motivasi yang dimiliki oleh pasien, sikap individu yang bersangkutan terhadap tingkah laku seksual yang menyimpang, treatmnen ini juga tergantung pada struktur kepribadian individu yang bersangkutan, dan usia pasien itu sendiri (jika usia pasien sudah tua, maka akan semakin sulit untuk penyembuhannya). Adakalanya pasien diberi obat medis.

Misalnya pada pengidap gangguan seksual yang tidak mampu mengendalikan hasrat seksualnya, maka akan diberi obat anti-estrogen yang fungsinya untuk menurunkan libido.

DAFTAR PUSTAKA Davinson, C.G., Neal, J.M., & Kring, A.M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada Fausiah, F., & Widury, J. 2005. Psikologi Abnormal: Klinis Dewasa. Jakarta: UI-Press Maslim, Rusdi. .PPDGJ-III. . Sadarjoen, S.S. 2005. Bunga Rampai : Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung : Refika Aditama.

Maramis..PSikologi Abnormal ed. Kesembilan.. Nevid, Jeffrey S. 2005. psikologi Abnormal jil.2. jakarta : Penerbit erlangga. V. Mark Durand & David H. Barlow, Psikologi Abnormal, 2006. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2002). Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Vous aimerez peut-être aussi