Vous êtes sur la page 1sur 39

Aplikasi Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia untuk Pemetaan pada Jalan Raya

Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno Leave a comment July 15, 2010 I. Pendahuluan Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala, dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Alat yang dimaksud adalah sensor dari satelit sedangkan data yang dihasilkan berupa citra satelit. Saat ini satelit pengideraan jauh yang banyak digunakan antara lain: Landsat, SPOT, NOAA, Ikonos, dan Quick Bird. Pada awalnya penginderaan jauh kurang dipandang sebagai bagian dari geografi, dibandingkan kartografi. Meskipun demikian, lambat laun disadari bahwa penginderaan jauh merupakan satusatunya alat utama dalam geografi yang mampu memberikan synoptic overview pandangan secara ringkas namun menyeluruh atas suatu wilayah sebagai titik tolak kajian lebih lanjut. Penginderaan jauh juga mampu menghasilkan berbagai macam informasi keruangan dalam konteks ekologis dan kewilayahan yang menjadi ciri kajian geografis. Di samping itu, dari sisi persentasenya, pendidikan penginderaan jauh di Amerika Serikat, Australia dan Eropa lebih banyak diberikan oleh bidang ilmu (departemen, school atau fakultas) geografi. Estes dan Simonett (1975) dalam Sutanto (1992) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi orang2 yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya. Alat ukur yang digunakan dapat penggunakan wahana pesawat terbang atau satelit yang akan melintasi permukaan bumi tersebut. Jenis alat ukur yang digunakan akan sangat bergantung dengan karakter dari gelombang elektromagnetik yang akan dideteksi. Untuk mendeteksi elemen air, misalnya digunakan detector gelombang infra merah, karena elemen air mempunyai karakter suhu yang berbeda dengan eleman lainnya yang dapat di klasifikasikan dengan gelombang elektromagnetik pada frekwensi tersebut. Untuk mendeteksi kondisi tanah/daratan, digunakan gelombang elektromagnetik pada frekwensi cahaya tampak (merah, biru, dan hijau) karena pada spectrum ini akan dapat diklasifikasi kondisi lahan (kering, basah, batuan) dan vegetasi (jenis, usia, dan kesehatan tanaman). Pada sistem yang menggunakan spectrum cahaya tampak, hasil deteksi amat tergantung pada kondisi iluminasi atas permukaan bumi (dari cahaya matahari). Oleh sebab itu

orbit yang dipilih bagi satelit tersebut adalah sunsynchronous orbit, yakni orbit rendah (dibawah 1000 km) berorientasi polar, yang pergeseran ground-tracktnya membuatnya dapat melihat bumi dengan iluminasi yang sama sepanjang tahun. II. Teknik Pengumpulan Data Data dapat dikumpulkan dengan berbagai macam peralatan tergantung kepada objek atau fenomena yang sedang diamati. Umumnya teknik-teknik penginderaan jarak jauh memanfaatkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek yang diamati dalam frekuensi tertentu seperti inframerah, cahaya tampak, gelombang mikro, dsb. Hal ini memungkinkan karena faktanya objek yang diamati (tumbuhan, rumah, permukaan air, udara dll) memancarkan atau memantulkan radiasi dalam panjang gelombang dan intensitas yang berbedabeda. Metode penginderaan jarak jauh lainnya antara lain yaitu melalui gelombang suara, gravitasi atau medan magnet. III. Penginderaan Jauh pada Beberapa Objek Di masa modern, istilah penginderaan jarak jauh mengacu kepada teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar angkasa dan dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi sebenarnya adalah penerapan dari penginderaan jarak jauh (faktanya merupakan penginderaan jarak jauh yang intensif), istilah penginderaan jarak jauh umumnya lebih kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan cuaca. Untuk itu digunakan kamera yang terpasang pada wahana ruang angkasa yang diluncurkan ke angkasa luar dan sering disebut sebagai satelit. Satelit merupakan suatu benda yang beredar mengelilingi suatu objek yang lebih besar, contohnya bumi yang merupakan satelit dari matahari, ataupun bulan yang selalu mengitari bumi. Bumi atau bulan merupakan satelit alami sedangkan wahana ruang angkasa yang diluncurkan manusia ke angkasa luar merupakan satelit buatan . Kamera yang dipasang pada satelit berfungsi sebagai indera penglihatan yang melakukan perekaman terhadap permukaan bumi pada saat satelit tersebut beredar mengitari bumi menurut garis orbit atau edarnya. Sensor yang ada pada kamera akan mendeteksi informasi permukaan bumi melalui energi radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan keatas, data energi pantulan radiasi ini diolah menjadi gejala listrik dan data dikirim ke stasiun pengolahan satelit yang ada di bumi. Suatu Ei yang sampai di permukaan bumi terdiri dari sinar tampak (visible light), sinar infra merah dekat (Near Infra Red / NIR) dan infra merah gelombang pendek (Short Wave Infra Red / SWIR). Komponen Ei yang sampai dipermukaan bumi akan terbagi atas ER (Reflect Electromagnetic), EA adalah gelombang elektromagnetik yang diserap (Absorp Electromagnetic), Ee gelombang elektromagnetik yang teremisi (Emission Electromagnetic) dan ET (Transmittant Electromagnetic) yaitu diteruskan. Skema peredaran dan interaksi gelombang elektromagnetik ini

Komponen dari ER berasal dari spektrum cahaya tampak dan infra merah dekat. Sebagian dari Ei ada juga yang diserap (EA = Energy Adsorp) yang berada pada spektrum infra merah thermal. ET yang merupakan energy yang diteruskan akan berada pada spektrum daerah visibel biru dan hijau. Semakin besar energi yang diserap maka suhu objek yang naik pula yang mengakibatkan timbulnya radiasi emisi atau Ee yang semakin tinggi pula. Untuk ER tergantung kepada objek, semakin tinggi nilai ER semakin besar pantulan yang mengakibatkan semakin jelas kenampakan objek. Tidak semua sensor kamera dapat menerima Ee dan ER sekaligus. Sensor optis hanya dapat menerima ErR sedangkan Ee akan diterima oleh sensor thermal yang berada pada kisaran daerah inframerah thermal (Thermal Infra Red = TIR). Besarnya nilai persentase pantulan objek akan mencerminkan warna dari suatu objek. Untuk vegetasi akan terlihat pada spektrum cahaya tampak antara 0.4 0.7 m, dengan nilai 0.4 0.5 m untuk daun yang sehat yaitu pada kisaran warna biru dan hijau (sebagian besar gelombang elektromagnetik diserap oleh khlorofil) dan jika warna daun yang merah akan terlihat pada 0,65 m. Persentase pantulan dari daerah yang tertutup vegetasi berkisar antara 5 50% tergantung kerapatan dan jenis vegetasi yang menutupi daerah tersebut Untuk tanah kering yang terbuka akan terlihat coklat abu-abu dengan pantulan berkisar antara 5 45%. Sedangkan air yang jernih spektrum cahayanya akan terdapat pada panjang gelombang 0.4 0.78 m dengan pantulan yang rendah kurang dari 5%. Sistem penginderaan jauh didesain memiliki sifat multi aplikasi yaitu multi spektral, multi spasial dan multi temporal. Sifat multi spektral dari sistem penginderaan jauh dikarenakan sensor kamera satelit menggunanakan saluran penginderaan dua atau lebih pada saat yang bersamaan. Semakin banyak kanal atau saluran yang digunakan maka informasi yang didapat semakin banyak dan lengkap. Sifat multi spasial berarti sistem penginderaan jauh memiliki ketajaman (ketelitian) spasial sebanyak 2 atau lebih, sering juga disebutkan ketelitian spasial ini sebagai resolusi spasial. Jika resolusi spasial semakin tinggi maka semakin tinggi ketelitian citra yang berarti mempunyai skala yang semakin besar pula. Sedangkan sifat multi temporal berarti kemampuan sensor penginderaan jauh untuk melakukan pengulangan penyapuan suatu daerah tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Kembalinya satelit untuk menyapu suatu kawasan dapat pada periode 1 jam, 1 hari hingga 1 bulan berikutnya. Resolusi spasial dari citra satelit dapat dibagi 3 yaitu makro, sedang dan mikro dengan interpretasi deskripsi citra secara umum, agak rinci dan rinci. Resolusi spasial dikatakan makro jika pada suatu kawasan disebut mempunyai penutup lahan bervegatasi. Jika kawasan itu disebutkan mempunyai penutup lahan terdiri dari perkebunan, hutan atau sawah maka resolusi citra nya disebut sedang dan jika disebutkan suatu daerah mempunyai vegetasi hutan pinus, hutan jati, hutan bakau atau perkebunan kelapa sawit, maka resolusi spasialnya adalah mikro. Sistem sensor penginderaan jauh yang bekerja pada daerah sinar tampak (fotografi) disebut sebagai sensor optis. Adapun sensor yang bekerja pada daerah sinar inframerah disebut sebagai sensor thermal sedangkan yang bekerja pada gelombang mikro dikenal sebagai sensor radar. Masing-masing sensor mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Sensor optis dan thermal mudah digunakan dan diinterpretasikan tetapi hanya bekerja optimal pada keadaan ruang angkasa yang cerah tanpa ditutupi oleh awan, kabut atau hujan. Sensor optis dan thermal tidak mampu menembus hambatan ini. Untuk itu digunakan sensor radar

IV. Sistem Informasi Geografi Dalam bahasa Indonesia istilah GIS (Geographic Information System) sering diterjemahkan sebagai Sistem Informasi Geografis yang kemudian disingkat menjadi SIG. GIS merupakan sistem berbasis komputer yang digunakan dalam analisis informasi spasial (keruangan) serta menurunkan informasi baru yang berguna. Dalam sistem ini, terdapat banyak kelompok aktivitas dan analisis, mulai dari pemasukan, pemrosesan, hingga pencetakan keluaran berupa peta. Namun, untuk kepentingan perencanaan wilayah, operasi tumpang susun (overlay) peta merupakan metode yang dominan karena mampu menggabungkan banyak variabel keruangan dalam mencapai optimasi pemanfaatan lahan Penginderaan Jarak Jauh (Inderaja)/Remote Sensing hampir selalu digandeng dengan GIS. Di Indonesia remote sensing kurang berkembang engingat banyak kendala yang dihadapi untuk daerah tropis. Masalah klasik adalah awan, hampir semua wilayah Indonesia dan hampir setiap saat tertutup awan. Belum lagi kondisi vegetasi yang menyulitkan pengidentifikasian permukaan tanah. Lebih lagi untuk keperluan geologi yang memerlukan pemetaan lebih dalam dari sekedar lapisan tanah. Penerapan SIG dalam Kajian Geografi a. Inventarisasi sumber daya alam Penerapan SIG dengan teknik penginderaan jauh mampu menghasilkan data potensi sumber daya alam di berbagai daerah, serta dapat menyajikannya dengan cepat dan tepat. SIG dapat dimanfaatkan untuk inventarisasi sumber daya alam di antaranya. 1) Sumber daya air Inventarisasi sumber daya air menjelaskan tentang banyaknya distribusi air, kualitas air, baik permukaan maupun air tanah 2) Sumber daya lahan Inventarisasinya meliputi kesediaan, kesesuaian, dan kemampuan lahan 3) Sumber daya mineral Yang dapat dinventasisasi misalnya jenis, kualitas, cadangan dan persebarannya. 4) Sumber daya hutan Misalnya tentang luas, jenis dan kerusakan hutan,. 5) Sumber daya laut

Inventarisasinya meliputi potensi sumber daya laut, baik sumber daya mineral maupun sumber daya hayati laut, jenis, potensi, dan persebarannya,. b. Analisis Keruangan Untuk keperluan analisis keruangan SIG memiliki beberapa analisis, diantaranya : 1) Analisis overlay (tumpang tindih). Analisis ini untuk mencari dan mendata daerah yang diliputi oleh dua tema yang berlainan. Analisis ini juga untuk mengetahu perbedaan batas atau perubahan dari masa ke masa. 2) Analisis sebaran (distribusi). Analisis ini untuk memahami pola dan jumlah atribut terhadap peluang atau objeknya. 3) Analisis aliran (flow). Untuk menganalisis pola aliran lalu lintas 4) Analisis tiga dimensi Perencanaan Pembangunan wilayah Untuk penyusunan rencana pembangunan yang tepat dibutuhkan informasi yang lengkap dan akurat tentang berbagai masalah dan potensi sumber daya alam yang terkandung dalam wilayah yang bersangkutan. SIG dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dengan tepat dan cepat. Sehingga SIG daapt dimanfaatkan untuk merencanakan pola pembangunan suatu wilayah. Kegunaan SIG : a. Merencanakan pembangunan bendungan SIG digunakan untuk mengetahui daerah genangan air dan volume air, daerah yang harus digusur, daerah lahan pertanian yang akan tergenang, volume urukan untuk bendungan, besar masukan dan keluarnya volume air, daerah lahan pertanian yang diairi, rencana pembuatan pembangkit tenaga listrik, rencana pembangunan jalan, dan dampak dari pembangunan tersebut. b. Pemetaan sumber daya Sistem informasi geogarfi dalam pemetaan sumber daya digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan, pemetaan lahan hijau yang diperlukan bagi keberadaan lahan pertanian, pemetaan daerah pasang surut, pemetaan geologi untuk kepentingan eksplorasi dan penanggulanagan bencana c. Pertanian dan kehutanan SIG digunakan untuk menginventarisasi tanaman pangan, pemantauan perubahan penggunaan lahan, inventarisasi tanaman perkebungan, inventarisasi dan pemantauan hutan untuk reboisasi, perluasan hutan dan pencegahan kerusakan hutan, inventarisasi lahan kritis, dan inventarisasi tanaman sagu.

d. Transmigrasi Untuk keperluan transmigrasi SIG bermanfaat untuk pemilihan lokasi transmigrasi, perencanaan waktu pemindahan penduduk dengan keadaan daerah yang sesuai, perencanaan pembuatan jalan, dan irigasi e. Lingkungan Hidup SIG digunakan untuk perencanaan kota yang berkaitan dengan tata ruang, pemantauan terhadap pencemaran lingkungan hidup., f. Pemantauan bencana alam Dengan bantuan penginderaan jauh yang multitemporal dan multi spectral SIG dapat digunakan untuk menginventarisasi, mengevaluasi, dan memantau bencana alam, sepert gunung meletus, gempa bumi, kebaran hutan, dan serangan hama. g. Perencanaan dan pemantauan daerah pantai dan laut Dalam hal ini SIG digunakan untuk pencarian lokasi ikan laut, pemantauan perubahan garis pantai dan daerah abrasi,pantauan proses-proses yang terjadi di laut, seperti pengangkatan arus dan instrusi air laut. h. Pemantuan program IDT SIG digunakan untuk mendapatkan : 1) Informasi potensi desa yang berkaitan dengan LKMD, sarana jalan dan angkutan, mata pencaharian penduduk, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan ,pasar, sarana komunikasi dan jarak untuk berhubungan. 2) Informasi penduduk yang berkaitan dengan kepadatan, persebaran, pertambahan, susunan, atau komposisi penduduk. 3) Informasi lingkungan yang berkaitan dengan sumber air, penerangan, tempat ibadah, tempat pembuangan sampah, jamban atau MCK. i. Pembangunan jalan raya atau jalan tol baru SIG digunakan untk mengetahui pembebasan lahan pemukiman dan lahan pertanian, arah dan penempatan jalan yang efisien, volume pemotongan tanah untuk tanjakan, volume urukan tanah untuk penimbunan, pembuatan jealan penyebrangan yang efektif, dan dampak dari pembangunan tersebut. V. Bantuan Inderaja Dan Manfaatnya

Apabila dimanfaatkan secara proporsional, teknologi inderaja memberikan kontribusi signifikan dalam perencanaan wilayah dengan bantuan GIS. Kontribusi paling mendasar diberikan dalam bentuk synoptic overview, di mana gambaran umum wilayah dapat disajikan secara menyeluruh tetapi ringkas. Citra inderaja juga menjadi sumber revisi peta dasar yang baik, khususnya untuk fenomena yang cepat berubah seperti garis pantai yang dinamis. Di samping itu, citra inderaja multiwaktu dapat memberikan gambaran mengenai proses yang sudah dan sedang berlangsung. Perubahan penggunaan lahan karena urbanisasi dapat dipetakan dengan mudah. Zonasi kerentanan bencana dapat dilakukan dengan cepat karena setiap bencana besar meninggalkan jejak rekaman berupa pola kenampakan bentang lahan yang khas. Pertumbuhan garis pantai, abrasi, longsor, gempa bumi, bahkan tsunami baru-baru ini pun meninggalkan jejak yang dapat membantu para surveyor dan perencana dalam memetakan wilayahbencana. Banyak wilayah terpencil yang belum mempunyai data dasar spasial. Ada pula wilayah yang kehilangan seluruh datanya karena bencana. Untuk wilayah semacam ini, pendekatan holistik dengan citra inderaja merupakan salah satu alternatif terbaik. Dengan pendekatan ini, wilayah yang bersangkutan dapat dipetakan ke dalam satuan-satuan dengan karakteristik homogen, baik sifat fisik maupun kondisi penutup dan penggunaan lahannya. Berbagai karakteristik ini kemudian dapat dikelompokkan ke dalam potensi dan hambatan atau ancaman bencana yang ada. Melalui cara ini, evaluasi kemampuan atau kesesuaian lahan dan pemilihan letak peruntukan. Meskipun demikian, pendekatan holistik ini tentu saja mempunyai kekurangan karena terjadi oversimplification, di mana setiap satuan pemetaan memuat berbagai karakter lahan dalam batasbatas yang persis sama. Oleh karena itu, model inventarisasi dan evaluasi lahan semacam ini sebaiknya dijalankan terlebih dahulu untuk perencanaan yang tidak terlalu rinci sambil secara sistematis mulai menyusun (kembali) data spasial dasar dan tematik dalam kerangka GIS. VI. Penentuan batas daratan dan laut Batas yang jelas antara daratan dan lautan tidak selalu dapat diidentifikasi pada citra yang hanya menggunakan cahaya tampak. Hal ini dapat diantisipasi dengan penggunaan gelombang infra merah yang reflektansinya terhadap air rendah, namun terhadap daratan nilainya tinggi. Inilah yang selanjutnya mempermudah dalam penentuan batas yang jelas antara daratan dan lautan. Adapun pada satelit Landsat dapat dipilih band 4 dan 5. Untuk dapat melakukan penentuan batas daratan dan lautan, tentu saja diperlukan data nilai nilai kecerahan (BV) daratan terendah dan nilai BV lautan tertinggi. Nilai BV ini diperlukan untuk melakukan algoritma pemisahan antara BV daratan dan Lautan. Algoritma penentuan batas daratan dan lautan menggunakan teknik nearest integer dengan format 8 bit. Dengan sifat teknik tersebut dapat dilakukan algoritma penentuan batas daratan dan lautan. Algoritma tersebut di uraikan di bawah ini :

Lakukan operasi pembagian nilai piksel dengan (Nx2)+1; hal ini untuk menjadikan nilai seluruh piksel lautan menjadi 0. N merupakan nilai minimum BV daratan. Kalikan dengan (-1); untuk menjadikan semua nilai piksel daratan menjadi negatif. Tambahkan 1; untuk mendapatkan nilai akhir semua piksel lautan menjadi 1. Format data yang digunakan pada pengolahan ini harus 8 bit integer. Rentang nilai format ini antara 0 sampai 255. Hal ini akan menjadikan nilai negatif untuk daratan menjadi nol sebagai akibat adanya nearest positif integer, yaitu mencari nilai positif terdekat. Untuk dapat melihat batasan daratan dan lautan maka dilakukan penajaman kontras; yaitu mengeset rentang nilai bv menjadi 0 sampai 255. Hal ini akan menjadikan daratan berwarna hitam dan lautan berwarna putih, sehingga batas daratan dan lautan pun jelas. VII. Studi Batas Wilayah Darat dengan Inderaja Pemetaan batas wilayah darat memiliki beberapa aspek yang harus dimengerti baik oleh para pengambil keputusan di daerah, maupun oleh para pelaku pemetaan itu sendiri. Aspek-aspek ini adalah aspek penentuan, aspek pengukuran, dan aspek pemetaan. Dalam sebuah tinjauan yang komprehensif, aspek penentuan ternyata memiliki beberapa cara (alami, perjanjian, hierarkis), sebagaimana aspek pengukuran (kartometris, fotogrametris, inderaja, terestris). Dan dalam masalah pemetaan, batas wilayah darat memiliki hal-hal seharusnya penting untuk ditampilkan, seperti misalnya soal akurasi dan sumber penetapannya. Dengan diberlakukannya undang-undang No.22/1999 tentang pemerintahan daerah, yang membagi wilayah negara kedalam daerah besar yang disebut propinsi dan daerah kecil yang disebut dengan daerah kabupaten atau daerah kota, maka daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam. Oleh karena itu penentuan batas wilayah menjadi sangat penting, sebab dengan jelasnya batas wilayah antar daerah maka tiap daerah akan dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Dalam menghadapi otonomi daerah dan globalisasi, penentuan batas wilayah (batas administrasi), baik antar tinggi, persil tanah, batas konsesi HPH, atau hak pertambangan, batas antar kabupaten /kota, batas kewenangan di laut maupun batas negara menjadi strategis, dan harus dikerjakan dengan mutu. Tujuan penentuan batas wilayah darat ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Kegiatan penentuan batas wilayah terdiri atas dua tahap yaitu tahap penetapan dan tahap penegasan. Penetapan batas daerah di darat adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik diatas suatu peta dasar yang sudah disepakati (buku pedoman dan penegasan batas daerah). Sedangkan penegasan batas daerah didarat adalah proses penegasan batas daerah secara langsung di lapangan dengan memasang pilar-pilar batas.

Banyak cara dalam menentukan batas wilayah darat, diantaranya dengan melakukan pengukuran terestris, pengukuran fotogrametris, pengukuran melalui citra satelit inderaja, ataupun secara kartometris. Pada studi ini akan dikaji lebih lanjut tentang metode penentuan batas wilayah darat dengan melakukan pengukuran melalui citra satelit multisensor. Perkembangan teknologi inderaja dalam perekaman datanya memungkinkan penyediaan data dalam bentuk digital. Hal ini mengakibatkan perkembangan dan penggunaan proses pengolahan citra secara digital semakin banyak digunakan karena waktu pemrosesan menjadi lebih cepat dan memungkinkan pemanfaatan data yang lebih luas. Perkembangan teknologi inderaja kini semakin pesat. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kemampuan satelit penginderaan jauh dalam hal resolusi temporal, resolusi spektral dan juga resolusi spasial. Dengan demikian kegunaan akan teknologi tersebut juga semakin meluas. Dalam studi ini dikaji apakah citra satelit multisensor dapat digunakan untuk kegiatan penentuan batas wilayah darat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang yang berlaku dan pedoman penetapan dan penegasan batas daerah. VIII. Wetland Mapping Ada banyak definisi tentang lahan basah, dari definisi-definisi yang ada tersebut dapat disimpulkan secara umum bahwa lahan basah adalah suatu suatu wilayah yang tergenang air, baik alami maupun buatan, tetap atau sementara, mengalir atau tergenang, tawar asin atau payau. Ada tiga indikator yang menjadi ciri suatu wilayah merupakan lahan basah yaitu keberadaan air, hydric soil, dan tumbuhan air. Luas lahan basah di suatu daerah akan mempengaruhi ekosistem wilayah tersebut. Oleh karena itu adalah sangat penting keberdaan data luas lahan basah di tiap daerah. Telah disebutkan diatas bahwa pada intinya suatu lahan digolongkan kedalam lahan basah bila mengandung air atau terendam air, sedemikian hingga dalam periode tersebut tanah menjadi bersifat anaerob. Hal ini berimplikasi bahwa pada musim hujan lahan basah akan lebih luas dibandingkan lahan basah pada musim kemarau. Selain itu perubahan tata guna tanah juga menyebabkan perubahan luas lahan basah. Sehingga perlu diidentifikasi perubahan luas lahan basah sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan penataan suatu wilayah. Daerah Bandung sabagai daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi dan memiliki daerah pertanian yang cukup luas tentu saja memiliki lahan basah yang cukup luas. Sebagian besar lahan basah yang ada di daerah Bandung adalah berupa daerah pertanian. Akan tetapi perkembangan pembangunan telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, dalam hal ini lahan basah menjadi daerah industri, seperti yang terjadi di daerah Rancaekek. Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam lingkungan Bandung salah satunya adalah berkurangnnya daerah resapan air. Hilangnya lahan basah mengakibatkan turunnya sumber perikanan dan keanekaragaman hayati secara drastis; meningkatnya banjir serta timbulnya kekeringan juga mengakibatkan erosi di daerah pinggiran sungai. Perubahan lingkungan tersebut memberi dampak yang merugikan bagi masyarakat. Oleh karena itu dipelukan inventarisasi luas lahan basah yang ada di Bandung ini supaya perubahan luas lahan basah tersebut bisa dipantau. Teknologi penginderaan jauh melalui citra satelit dapat dipakai untuk melakukan pemetaan lahan basah di suatu daerah.

IX. Pemetaan Bidang Tanah GIS dan sistim pengelolaan informasi lingkungan saat ini merupakan alat utama yang digunakan di bidang pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam. Bagaimanapun juga, para peneliti menghadapi banyak tantangan yang diantaranya berkaitan dengan skala, perubahan dinamik penggunaan tanah, kelengkapan dan ketepatan data, efisiensi analisa dan penerapan alternatif dalam melakukan pemantauan status tanah. Dengan teknologi penginderaan jauh keberadaan penggunaan tanah dan kerusakan lingkungan akibat aktifitas manusia dapat diidentifikasi secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Sebagai ilustrasi, pembuatan pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia divisualisasikan dengan citra satelit. Ilustrasi ini diharapkan menjadi salah satu potret betapa pentingnya mengelola bidang tanah Indonesia melalui pengelolaan sumber-sumber daya hayati yang sistematik dan efisien menggunakan teknologi penginderaan jauh. Database pertanahan didasarkan kepada kedudukan batas dari interpretasi manual suatu foto udara ataupun citra satelit. Batas yang berdiri merupakan dasar garis dari unit-unit yang homogen suatu karakteristik hutan. Poligon yang berdiri dideskripsikan oleh satu set atribut dimana didalamnya terdapat komposisi jenis, ketinggian, umur, tutupan tajuk pohon. Data digital penginderaan jauh dapat digunakan untuk memperbaharui inventory database dengan mengubah informasi untuk mengontrol kualitas, pemeriksaan, dan mendeteksi perbedaan. Data digital penginderaan jauh juga dapat menambah beberapa attribut informasi dan mengidentifikasi perbedaan di dalam database penggunaan tanah. Penguraian poligon, menganalisa berbagai macam pixel suatu poligon bidang tanah pada gambaran penginderaan jauh untuk menjadikan informasi baru dan kemudian di tambahkan ke dalam inventory database pertanahan. Sebagai contoh, suatu analisis deteksi perubahan dari beberapa data image satelit landsat Thematic Mapper dapat mengidentifikasi luasan areal dan proporsi suatu pixel dimana kondisinya telah berubah. Pengenalan tutupan masing-masing pohon ataupun bangunan, merupakan didasarkan kepada analisa gambar yang memiliki resolusi spatial yang tinggi dari suatu karakteristik seperti areal tutupan, kerapatan, dan banyaknya pohon ataupun bangunan yang didapat. Berdasarkan hasil pengamatan dari data citra khususnya wilayah depok maka di dapat suatu bidang tanah yang dapat dilihat pada gambar peta sebelumnya dan juga didapat luasan dari masing-masing bidang tanah tersebut. Bidang-bidang tanah tersebut adalah Supermarket Borobudur/Hero, depok Town Square, desa Tugu, Kawasan Industri, Kawasan Pemancar RRI, kelurahan Sukamaju baru, kelurahan Abadi Jaya, Kelurahan Bhakti Jaya, Kelurahan Cisalak, Kelurahan Curug, Kelurahan Depok, kelurahan jatijajar, Kelurahan kemiri Muka, Kelurahan Mekar Jaya, Kelurahan mekarsari, Kelurahan Sukamaju, kelurahan Tirta Jaya, kelurahan Pondok Cina, Kolam air, Komp. Adhikarya, Komp. Bukit Cengkeh, Komp. Pondok Duta, Komp. RRI, Komp. RTM, Lahan Terbuka, Mal Depok, Margocity, Pesona Khayangan, Rawa Kalong, RS. Sentra Medika, S. Ciliwung, Stadion Baru Depok, Stasiun Depok, Universitas Indonesia, dan yang terakhir adalah Vegetasi.

Pada wilayah sebelah barat tepatnya di pinggir jalan raya Bogor terdapat suatu lahan terbuka yang sangat luas namun kami tidak memasukkannya ke dalam klasifikasi lahan terbuka Karena kami mengetahui bahwa wilayah tersebut merupakan areal yang terlindung dimana digunakan untuk keperluan komunikasi yaitu untuk pemancar RRI, dengan didekatnya tedapat kompleks RRI dimana tempat untuk tinggal para pekerja di pemancar tersebut. Untuk sungai ciliwung, kami menarik garis berdasarkan vegetasi yang ada di sekitar bantaran sungai ciliwung tersebut. Dimana terlihat jelas alur jalannya sungai ciliwung tersebut. Yang membedakan dari jalan raya adalah jika jalan raya terdapat perpotongan (simpangan) dengan sudut yang sangat kecil dan juga terdapat tikungan yang sangat tajam sedangkan untuk sungai walaupun memiliki persimpangan namun tidak seperti jalan raya dan juga alurnya yang halus. Masalah yang dihadapi dalam penggunaan lahan ini adalah konversi lahan pertanian (lahan basah) menjadi kegiatan non pertanian. Persoalannya adalah perkembangan nilai tanah (land rent) yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas pertanian sawah, dan diperkirakan akan semakin mempercepat perubahan menjadi lahan perkotaan. Jika dilihat dari sebarannya dapat dikenali kawasan perumahan terkonsentrasi dominan di bagian utara yang berdekatan dengan Jakarta yaitu Kecamatan Limo, Beji dan Sukmajaya. Kemudian di bagian tengah diapit olehJalan Margonda Raya, Sungai Ciliwung dan Jalan Tole Iskandar. Penggunaan pertanian tersebar di Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas bagian selatan dan sebagian Kecamatan Cimanggis. Selain itu terdapat beberapa penggunaan lahan yang cenderung intensif seperti industri yang tersebar di Jalan Raya Bogor (Kecamatan Cimanggis), perdagangan dan jasa, pendidikan dan perkantoran yang tersebar di sepanjang Jalan Margonda Raya dan Jalan Akses UI. Jenis penggunan lahan di Kota Depok dapat dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Jenis kawasan yang perlu dilindungi terdiri dari Cagar Alam Kampung Baru (Kelurahan Depok) area pinggir sungai dan situ. Berdasarkan jenis kawasan lindung yang ada menggambarkan bahwa kondisi morfologis Kota Depok relatif datar. Badan air yang terdiri dari sungai dan situ-situ lokasinya tersebar mencakup luasan 551,61 Ha (2,80%) dari total luas Kota Depok 20502,33 Ha. Comment

Aplikasi Global Positioning System (GPS) Dalam Pembangunan Informasi Spasial


Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno Leave a comment July 15, 2010 I. Pendahuluan Definisi geomatika muncul dari perkembangan kebutuhan masyarakat akan informasi spasial yang cepat dan akurat. Geomatika merupakan satu disiplin ilmu yang mempelajari/berkaitan dengan proses-proses mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan mengirimkan informasi-

informasi geografis atau informasi-informasi yang memiliki referensi spasial. Definisi yang cukup baik tentang geomatika dapat diambil dari website University of Calgary (2006) tentang Geomatika yaitu bahwa: Geomatika adalah disiplin ilmu modern yang mengintegrasikan proses akuisisi, pemodelan, analisis, dan pengelolaan data yang bereferensi secara spasial. Dengan berdasar pada kerangka kerja ilmiah geodesi, geomatika menggunakan sensor-sensor terestris, kelautan, udara dan dirgantara untuk memperoleh data spasial dan yang lainnya. Geomatika juga melibatkan proses transformasi data bereferensi spasial dari sumber-sunber yang berlainan ke dalam sistem informasi bersama yang memiliki karakteristik akurasi yang sudah baik. Istilah Geomatika sendiri berkaitan dengan ilmu, teknologi dan seni yang mengintegrasikan disiplin-disiplin ilmu, antara lain, geodesi, surveying, pemetaan, penentuan posisi (positioning), teknik geomatika, navigasi, kartografi, penginderaan jauh, fotogrametri, SIG, GPS, Geospasial dll. II. Data Spasial Pengertian umum dari istilah data spasial adalah suatu data yang memiliki referensi spasial atau posisi geografis (geo-referenced). Data spasial, seperti juga data untuk berbagai disiplin lain, dapat berupa angka, teks, maupun gambar. Sedangkan posisi yang menjadi acuan tersebut dari pendekatan statistik spasial dan juga SIG dapat berupa posisi dalam ruang yang kontinyu (geostatistik), dalam ruang lattice, atau dalam bentuk pola titik (point pattern atau cluster) (Cressie 1993). Gambar 1. memperlihatkan perbedaan ruang referensi spasial yang biasa dipakai sebagai referensi data spasial. Dengan pendekatan statistik spasial dapat dijelaskan bahwa data spasial merupakan hasil keluaran (outcome) dari pengamatan/percobaan yang dilakukan pada satu posisi geografis tertentu, Z_xi_,dengan Z bisa berisi satu variabel(uni-variate) maupun multi-variabel (multivariate) yang bisa berasal dari berbagai sumber yang berbeda. Dalam konsep SIG, Z ini dapat dianalogikan sebagai kumpulan basisdata lapisan-lapisan (layers) atribut data tertentu. Sedangkan xiadalah posisi yang bisa satu dimensi (1D), dua dimensi (2D), tiga dimensi (3D), ataupun empat dimensi (4D) dengan dimensi ke-empat adalah dimensi waktu t. Sebelum era satelit navigasi, georeferensi yang banyak dipakai untuk keperluan geodesi dan pemetaan adalah datum lokal. Elipsoid yang dipilih pada umumnya hanya cocok (fit) untuk menjadi referensi pengukuran dan pemetaan pada daerah itu saja. Dengan alasan tersebut, setiap negara memilih dan mendefinisikan sendiri kerangka referensi dan datum. Perkembangan globalisasi pada berbagai bidang juga membawa dampak pada kerangka referensi koordinat. Georeferensi yang dipakai saat ini adalah satu sistem kerangka koordinat (datum) yang bersifat global, yaitu WGS (World Geodetic Datum) 1984, yang juga menjadi datum untuk sistem satelit navigasi GPS. Sistem referensi global mulai digunakan saat sistem TRANSIT Doppler dimanfaatkan untuk menentukan posisi sejumlah titik-titik (stasiun) kerangka dasar geodesi dan pemetaan. Saat itu digunakan referensi ellipsoid NWL-9D yang kemudian diadopsi menjadi GRS 1967. Di Indonesia, titik datum yang ditentukan dengan sistem TRANSIT Doppler

adalah titik Datum Padang yang kemudian didefinisikan sebagai ID74 (Indonesian Datum 1974). Ketika sejumlah parameter lain ikut diperhitungkan dalam penentuan datum, mulai dirilislah WGS 1972 yang kemudian dipertajam menjadi WGS84 (Seeber 1993). III. Global Positioning System (GPS) Sesuai dengan tujuan pembangunannya, teknologi satelit navigasi GPS telah menjadi satu teknologi yang relatif mudah dan murah untuk mewujudkan posisi geografis dan waktu. Walaupun, tentu ada suatu keterbatasan antara biaya yang diinvestasikan dengan ketelitian (presisi, precision, internal accuracy) dan ketepatan (akurasi, accuracy, reliability) yang akan diperoleh (Seeber 1993, p. 324-326). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hasil survai GPS terutama adalah jenis peralatan dan metoda pengukuran serta metoda pengolahan data yang digunakan. Peralatan penerima sinyal GPS (receiver) bervariasi dari kelas rakitan sendiri, kelas navigasi dengan ketelitian 20 meteran, sampai kelas geodetik yang mampu mengukur sampai ketelitian milimeter. Variasi receiver ini terutama berkaitan dengan jenis jam atom (clock) yang dipakai dan jenis data (kode dan gelombang pembawa) yang bisa direkam (Kaplan 1996). Dari sisi metoda pengukuran dapat dibedakan antara metoda pengukuran statik dengan pengukuran kinematik. Metoda pengukuran statik mengasumsikan bahwa antenna receiver tidak bergerak terhadap kerangka referensi, sedangkan metoda pengukuran kinematik menggunakan asumsi bahwa antena receiver bergerak terhadap titik referensi. Sedangkan dari sisi metoda pengolahan data, dapat dibedakan antara pengolahan satu titik (single point positioning SPS, absolute positioning) dan pengolahan baseline (differential positioning, relative positioning) tunggal maupun dalam bentuk jaring. Berdasarkan variasi-variasi kemungkinan penggunaan teknologi di atas, dapat diurutkan sejumlah kemungkinan aplikasi GPS mulai dari yang paling teliti (dan paling mahal) untuk keperluan ilmiah sampai yang paling seadanya (dan paling murah) untuk keperluan hiburan. Dalam rangka pembangunan informasi spasial, GPS dapat berperan mulai dari realisasi referensi koordinat dengan survai yang sangat teliti sampai pada kegiatan pematokan yang merupakan aplikasi hasil analisis informasi spasial. IV. Satelit GPS Satelit GPS pertama kali diluncurkan pada tahun 1978 dan mengorbit pada ketinggian 20.200km dan yang mutakhir (satelit GPS ke-52) diluncurkan 6 November tahun lalu. Satelit GPS tidak bersifat geostasioner posisi relatif tetap pada garis ekuator, mengorbit satu bidang dengan putaran bumi seperti satelit yang kita pakai untuk komunikasi internet dan siaran televisi, namn mengorbit dua kali dalam satu hari (kecepatan linearnya mungkin sama dengan kecepatan linear satelit geostasioner, tetapi karena orbitnya lebih rendah bisa mengelilingi bumi dua kali dalam 24 jam, bandingkan dengan kecepatan linear satelit LEO yaitu 8km perdetik, tentunya kecepatan linear satelit MEO lebih tinggi).

Seluruh satelit GPS mengorbit sambil mem-broadcast sinyal ke bumi. Sinyal yang dikirimkan adalah waktu atom epoch, koordinat satelit, inklinasi, kecepatan orbit dan lain sebagainya yang berguna bagi GPS receiver dalam menentukan posisi secara presisi. Sebuah GPS receiver bisa menentukan posisi koordinat lintang/bujur serta elevasi di atas permukaan laut secara tepat apabila menerima sinyal dari empat satelit GPS, jika hanya tiga sinyal yang didapat maka elevasi tidak akan akurat. Setiap satelit mem-broadcast sinyal yang dibedakan dengan kode CDMA dan perbedaan perioda waktu pada frekuensi yang sama. GPS receiver mengkalkulasi 4 sinyal satelit yang didapat dengan database internal yang sudah terstandar tersedia. Elevasi bisa ditentukan akibat perhitungan delay setiap sinyal dari setiap satelit, delay ini kemudian dianggap sebagai jarak (range), disebut kemudian sebagai pseudorange. Ketika GPS receiver menerima 4 sinyal satelit maka pada saat itu posisi GPS receiver menjadi irisan empat garis sinyal satelit, dari sinilah posisi presisi GPS receiver bisa ditentukan, yaitu koordinat Lintang, Bujur dan Elevasi. Referensi waktu pada GPS receiver tidak harus akurat, cukup dengan tingkat akurasi dalam jangka yang pendek (misalnya cukup dalam hitungan menit) karena untuk selanjutnya referensi waktu akan didapatkan dari sinyal satelit, yang merupakan waktu atom, atomic clock. Penentuan posisi GPS pun tak luput dari faktor kesalahan, kesalahan tersebut bisa timbul dari:

Referensi waktu, untuk ketepatan minimal 4 sinyal satelit harus didapat. Ionosfer, kondisi cuaca memengaruhi delaynya waktu penerimaan sinyal, sebagai koreksi satelit mengirimkan sinyal lain pada frekuensi yang berbeda, sebagai komparasi perhitungan untuk mencapai presisi. Multipath, GPS receiver tidak hanya menerima sinyal dari satelit tapi bisa saja dari pantulan, dari perangkat lain di daratan dan sebagainya. GPS mengirimkan sinyal pada frekuensi L1 (1575, 42MHz), L2 (1227, 60MHz) yang dipakai untuk koreksi karena ionosfer, L3 (1381, 05MHz), L4 (1841, 40MHz) dan L5 (1176, 45MHz). Selective Availability, awalnya kalangan sipil tidak bisa menangkap semua sinyal GPS namun setelah Bill Clinton membuka hak pemakaian GPS ini maka kalangan sipil bisa lebih mendapatkan kepresisian posisi GPS.

Ke depan mungkin perangkat telepon selular akan dilengkapi GPS dan dibuat massal, sehingga pengguna dan operator mampu menjejak posisi. Salah satu kelemahan dasar GPS adalah receiver harus berada di ruang terbuka. Mungkin juga suatu saat BTS selular GSM dan CDMA bisa berfungsi sebagai relay satelit GPS, sehingga di dalam ruangan atau di basement posisi bisa ditentukan secara tepat. V. Kegunaan GPS Secara Umum Militer GPS digunakan untuk keperluan perang, seperti menuntun arah bom, atau mengetahui posisi pasukan berada. Dengan cara ini maka kita bisa mengetahui teman dan lawan untuk menghindari salah target ataupun menentukan pergerakan pasukan.

Navigasi GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi seperti kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi dengan GPS untuk alat bantu navigasi dengan menambahkan peta, sehingga dapat digunakan untuk memandu pengendara mengetahui jalur yang sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sistem Informasi Geografis Untuk keperluan Sistem Informasi Geografis, GPS sering juga diikutsertakan dalam pembuatan peta, seperti mengukur jarak perbatasan ataupun sebagai referensi pengukuran. Pelacak_kendaraan Kegunaan lain GPS adalah sebagai Pelacak kendaraan, dengan bantuan GPS pemilik kendaraan/pengelola armada bisa mengetahui ada di mana saja kendaraan/aset bergeraknya berada saat ini. Pemantau gempa Bahkan saat ini, GPS dengan ketelitian tinggi bisa digunakan untuk memantau pergerakan tanah, yang ordenya hanya mm dalam setahun. Pemantauan pergerakan tanah berguna untuk memperkirakan terjadinya gempa, baik pergerakan vulkanik ataupun tektonik. Pada lingkup penelitian, GPS dapat digunakan untuk beberapa studi seperti: Geodinamika dengan menempatkan titik- titik pantau di beberapa lokasi yang dipilih, secara periodik maupun kontinyu untuk ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GPS. Ground deformation pada tubuh gunungapi dengan cara menempatkan beberapa titik di beberapa lokasi yang dipilih, ditentukan koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GPS. Dengan mempelajari pola dan kecepatan perubahan koordinat dari titik-titik tersebut dari survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik ground deformation pada tubuh gunung api akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut. Studi mengenai ionosfer dan troposfer. Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal gelombang elektromagnetik yang sebelum diterima oleh antena receiver GPS akan melewati medium lapisan-lapisan atmosfer yaitu ionosfer dan troposfer. Dalam kedua lapisan ini, sinyal GPS akan mengalami gangguan (bias) sehingga jarak yang dihitung akan memberikan nilai yang mengandung kesalahan. Jarak digunakan untuk menghitung posisi titik. Dalam lingkup kajian GPS, kedua lapisan ini menjadi bias tersendiri yang harus dikoreksi sebelum menentukan posisi titik. Studi oseanografi dengan GPS buoy system digunakan diantaranya untuk penentuan pasut lepas pantai, pasut pantai, studi pola arus, tsunami EWS, dan lain-lain. GPS mampu memberikan

ketelitian posisi sampai dengan ketelitian sentimeter bahkan milimeter. Untuk mencapai ketelitian yang tinggi dengan menggunakan GPS dalam studi GPS Buoy digunakan metoda kinematik diferensial baik itu secara real time (RTK) maupun cinematic post processing. Untuk beberapa kasus biasa digunakan Differential GPS (DGPS). Studi gempa bumi. Data GPS dapat dengan baik melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempa Bumi. Studi mengenai tahapan mekanisme gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi potensi bencana alam gempa bumi, untuk memperbaiki upaya mitigasi dimasa datang. Meskipun ketelitian GPS sudah cukup akurat, namun kelemahan GPS adalah ketika melakukan pengukuran komponen tinggi. Komponen tinggi GPS mempunyai ketelitian yang lebih rendah dibandingkan komponen horisontal disebabkan oleh faktor geometri satelit yang tidak memungkinkan pengamatan di bawah horison, sehingga kekuatan ikatan jaring untuk komponen tinggi lebih lemah, kemudian adanya beberapa bias seperti bias troposfer yang akan mempengaruhi tingkat ketelitian (memperjelek ketelitian) yang lebih pada komponen tinggi. Hasil penelitian seorang engineer GPS bernama Jaldelhag (1995) menyatakan bahwa ketelitian komponen tinggi GPS lebih rendah sekitar 3 kalinya ketelitian horizontal. Saat ini telah banyak aplikasi dari teknologi GPS untuk memonitor land subsidence (penurunan tanah), platform (struktur) subsidence, inflasi dan deflasi gunung api yang memanfaatkan komponen tinggi (tinggi elipsoid) yang diberikan sistem GPS. Di Indonesia sendiri, GPS telah berhasil digunakan dalam studi geodinamika di daerah Sulawesi, studi mekanisme gempa bumi aceh, pemantauan deformasi gunung api di Jawa dan Bali dan banyak studi kasus lain yang dilakukan oleh Kelompok Keilmuan Geodesi Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung. VI. Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik Titik-titik dasar teknik diperlukan sebagai kerangka dasar referensi nasional. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa titik-titik ini diperlukan untuk pemetaan bidang tanah secara nasional, di mana letak, ukuran, luas dan dimensi lain dari suatu bidang tanah dapat diketahui dan direkonstruksi secara tepat dan akurat. Tingkatan titik dasar teknik dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu: titik dasar orde 0, orde 1, orde 2, orde 3, dan orde 4. Titik dasar orde 0 dan 1 dilaksanakan dan dibangun oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Titik dasar orde 2 dan 3 dilaksanakan oleh BPN Pusat, sedangkan titik dasar orde 3 dapat dilaksanakan oleh Kantor Wilayah BPN Propinsi, dan titik dasar orde 4 umumnya dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pengukuran titik dasar teknik orde 2, 3, dan 4 dilaksanakan dengan menggunakan metoda pengamatan satelit atau metoda lainnya. Metoda yang dimaksud adalah penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS). Sedangkan penetapan titik dasar teknik orde 4 umumnya dilaksanakan melalui pengukuran terestris dengan cara perapatan dari titik-titik dasar orde 3.

GPS adalah sistem penentuan posisi dan radio navigasi berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus (simultan) dan dalam segala keadaan cuaca, memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi secara teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia. Dengan penghapusan Selective Availability (SA) pada sistem GPS oleh Amerika Serikat, maka ketelitian posisi absolut secara real time yang tinggi dapat meningkat secara signifikan. Sistem koordinat nasional menggunakan koordinat proyeksi Transverse Mercator Nasional dengan lebar zone 3 derajat atau kemudian disebut TM-3 derajat. Sedangkan model matematik bumi sebagai bidang referensi adalah spheroid pada datum WGS-1984 (Sistem Koordinat Kartesian Terikat Bumi). Pusatnya berimpit dengan pusat massa bumi, sumbu Z-nya berimpit dengan sumbu putar bumi yang melalui CTP (Conventional Terrestrial Pole), sumbu X-nya terletak pada bidang meridian nol (Greenwich), dan sumbu Y-nya tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z dan membentuk sistem tangan kanan. (Sumber: PMNA/KaBPN No.3 Tahun 1997 dan DR. Hasanuddin Z. Abidin: Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya; Penghapusan SA pada Sistem GPS dan Dampaknya Bagi Survei dan Pemetaan). VII. Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Melalui pengikatan kepada titik-titik dasar orde 4, maka dilaksanakan pengukuran tanah bidang per bidang. Bidang-bidang tanah hasil pengukuran kemudian dipetakan dalam Peta Dasar Pendaftaran. Peta ini berskala 1:1000 atau lebih besar untuk daerah perkotaan, 1:2500 atau lebih besar untuk daerah pertanian, dan 1:10000 atau lebih kecil untuk daerah perkebunan besar. Peta ini harus mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada skala peta. Sebelum suatu bidang tanah diukur, wajib dipasang dan ditetapkan tanda-tanda batasnya, setelah mendapat persetujuan dari pemilik tanah yang berbatasan langsung. Apabila sampai dilakukannya penetapan batas dan pengukuran bidang tanah tidak tercapai kesepakatan mengenai batas-batasnya (terjadi sengketa batas), maka ditetapkan batas sementara yang menurut kenyataannya merupakan batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan. Kepada yang bersengketa diberitahukan agar menyelesaikannya melalui Pengadilan. Pengukuran bidang tanah dapat dilakukan secara terestrial, fotogrametrik, atau metoda lainnya. Pengukuran terestris adalah pengukuran dengan menggunakan alat ukur theodolite berikut perlengkapannya seperti: pita ukur, baak ukur, electronic distance measurement (EDM), GPS receiver, dan lain sebagainya. Adapun pemetaan secara fotogrametrik adalah pemetaan melalui foto udara (periksa foto simulasi di atas). Hasil pemetaan secara fotogrametrik berupa peta foto tidak dapat langsung dijadikan dasar atau lampiran penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah. Pemetaan secara fotogrametrik tidak dapat lepas dari referensi pengukuran secara terestris, mulai dari penetapan ground controls (titik dasar kontrol) hingga kepada pengukuran batas tanah. Batas-batas tanah yang diidentifikasi pada peta foto harus diukur di lapangan.

VIII. Penggunaan GPS dan Citra Satelit dalam Survey Teknis dan Desain dalam Koridor Bila anda akan merencakanan suatu koridor baru baik untuk jalan rel maupun jalan raya, maka anda akan dihadapkan pada kurangnya informasi yang uptodate soal peta dasar topografi (Peta Rupa Bumi Indonesia). Apalagi daerah yang didesain adalah wilayah Sumatera. Beberapa masalah yang ada adalah: Berdasarkan informasi dari pihak BAKOSURTANAL, peta topografi atau rupa bumi untuk sebagian besar wilayah Sumatera baik yang berupa kertas maupun digital merupakan terbitan Dinas Topografi AD tahun 1974 dengan skala 1:50000. Tidak tersedianya peta skala 1:25000 dapat diatasi dengan banyaknya data di internet berupa peta satelit baik berupa foto satelit Quick Bird ataupun citra satelit IKONOS produksi tahun 2000-2002. Menurut Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, peta geologi berskala 1:100.000 1:250.000 memakai peta US ARMY terbitan tahun 1953 sebagai peta dasar. Datum peta ini adalah Datum Batavia (Bessel 1846). Transformasi datum harus dilakukan ke datum internasional WGS84 atau datum Indonesia Datum IDN95. Peta-peta tersebut diatas tidak lengkap dalam menampilkan kontur. Sebagai tambahan referensi untuk terrain, maka data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dari NASA tahun 2000, dapat menghasilkan kontur dengan kerapatan sampai 0.5 m. Pemakaian GPS tipe navigasi akan diperlukan untuk melengkapi peta 1:50.000 diatas dan tracing desain alinyemen baru di lapangan. GPS tipe ini mempunyai akurasi 5-15 meter. Agar semua peta, baik itu peta topografi, peta geologi, peta tata guna lahan maupun peta kepemilikan tanah yang ada akan dirubah dan digitasi kedalam peta GIS sehingga dapat dilakukan superimpose terhadap layer-layer yang ada. Dengan demikian dapat terlilhat apakah alinyemen yang baru melewati daerah patahan atau tidak, melewati lahan milik siapa dan lainnya. IX. Inderaja untuk Pertanian dengan GPS Teknologi penginderaan jauh (inderaja) memiliki banyak kegunaan untuk diaplikasikan di bidang pertanian, di antaranya untuk memonitor kondisi tanaman, estimasi produksi, deteksi hama dan penyakit tanaman, mengontrol penggunaan herbisida, pemupukan, kekurangan air, dan bahkan pendugaan sifat tanah. Di antara aplikasi inderaja untuk pertanian, pemantauan kondisi tanaman adalah yang paling banyak digunakan. Sejak 1990-an, National Agricutural Statistic Service (NASS) menggunakan data Advanced Very High Resolution Radio meter (AVHRR) dari satelit National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) untuk memonitor kondisi tanaman di Amerika Serikat. Pengaruh banjir besar terhadap tanaman pertanian di Midwest pada tahun 1993 dan awal musim dingin 1995, kekeringan parah di daerah gandum pada tahun 1996, dan

keterlambatan tanam pada tahun 1996 di sentra produksi gandum telah dimonitor menggunakan data tersebut. Di Thailand, penelitian menggunakan Japanese Earth Resources Satelite (JERS) bertujuan untuk mengkaji kekeringan. Di masa yang akan datang, teknologi inderaja dapat digunakan secara komersial, seperti pengelolaan lahan perkebunan secara precision farming system agar lebih efisien. Untuk hamparan lahan yang lebih luas, misalnya hamparan lahan pertanian di dataran rendah atau dataran tinggi yang mengharuskan adanya perlakuan budi daya yang bervariasi, telah dikembangkan metode precision agriculture yang mengkombinasikan data remote sensing dengan GPS dan GIS. Hal yang menarik adalah pekembangan aplikasi inderaja untuk tanaman komersial dan asuransi tanaman. Di bidang komersialisasi pertanian, data inderaja digunakan untuk identifikasi, inventarisasi areal tanam, dan estimasi potensi hasil dan nilai panen. Informasi inderaja dapat juga digunakan untuk mendeteksi kondisi hara lahan. Data tentang kondisi kerusakan berguna untuk pengelolaan tanaman dan akurasi perhitungan pembayaran asuransi tanaman. Di Arkansas, Amerika Serikat, data satelit Landsat 5 membantu para pengacara untuk membatalkan klaim kerusakan tanaman kapas yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, yang sebenarnya tidak pernah ditanami. Di Eropa, pemerintahan menggunakannya untuk pengelolaan subsidi petani. Salah satu data yang digunakan untuk tujuan tersebut adalah European Remote Sensing (ERS). Teknologi inderaja untuk pertanian perlu diadopsi dan diaplikasikan di Indonesia yang merupakan negara agraris. X. GPS untuk Mengukur Muka Laut Pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS) untuk mengukur tinggi muka laut, dinilai memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan teknologi lainnya. Sejumlah cara digunakan untuk mengukur tinggi muka laut. Di antaranya dengan memanfaatkan satelit altimetri. Namun, altimetri ternyata memiliki resolusi rendah sebab pengukuran dilakukan secara global. Apalagi jika telah mendekati pantai maka ketelitiannya semakin berkurang. Selain itu, pengukuran melalui stasiun pasang surut yang dilengkapi sumur atau pipa yang terhubung ke laut. Pasang surut air dapat terukur melalui sensor yang ada di dalam stasiun tersebut. Teknik ini memiliki keterbatasan karena hanya mampu melakukan pengukuran di sekitar lokasi pasang surut saja. Jika pengukuran tinggi muka laut di lokasi yang agak jauh dari pantai maka ketelitiannya akan berkurang. Pasalnya kita harus membuat pemodelan lagi, sedangkan seperti kita ketahui selama ini, pengkuran pasang surut air sifatnya time dependent dan spatial dependent. Melalui penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) ini, keterbatasan dari kedua teknik pengukuran dapat tertutupi. Ini Karena GPS mampu mengukur baik di daerah pantai maupun di bagian laut yang bergelombang sekalipun.

Meski demikian, isu yang paling penting sekarang adalah pembangunan infrastruktur database yang lebih baik. Sebab, selama ini di Indonesia, infrastruktur tak terbangun dengan baik. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan memberikan referensi untuk mengetahui tinggi muka laut lebih baik pula. Selama ini memang ada stasiun pasang surut yang berada di sejumlah wilayah tetapi setiap tempat itu memiliki karakter pasang surut yang berbeda. Di samping itu, teknologi GPS memungkinkan untuk mencegah kerugian negara dalam menentukan batas wilayah. Perbatasan wilayah laut suatu negara biasanya ditentukan dengan menghitung garis pantai, berdasarkan air pasang yang paling tinggi atau keadaan air yang paling surut, melalui stasiun pasang surut. Padahal, stasiun tersebut kerap memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah. Akibatnya hasil pengukuran pun berbeda. Tak heran jika banyak nelayan dari negara asing yang dengan tenangnya mengeruk kekayaan laut kita, seakan dianggap wilayah laut negaranya. Comment

Aplikasi Foto Udara Pada Analisa Geomorfologi Teknik


Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno Leave a comment July 15, 2010 I. Interpretasi Foto Udara Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi tentang suatu objek serta keadaan disekitarnya melalui suatu proses pencatatan, pengukuran dan interpretasi bayangan fotografis (hasil pemotretan). Salah satu bagian dari pekerjaan fotogrametri adalah interpretasi foto udara. Oleh karena itu dengan adanya praktikum tentang interpretasi foto udara dan pembuatan peta tutupan lahan kali ini diharapkan mahasiswa Program Studi Teknik Geodesi mampu melakukan interpretasi foto udara dengan menggunakan prinsip-prinsip interpretasi yang benar serta dilanjutkan dengan pembuatan peta tutupan lahan. Adapun prinsip yang digunakan dalam interpretasi foto terdiri dari 7 (tujuh) kunci interpretasi yang meliputi : bentuk, ukuran, pola, rona, bayangan, tekstur, dan lokasi. Dengan beracuan pada 7 (tujuh) kunci tersebut maka kita dapat mengidentifikasi dengan jelas objek yang sebenarnya. Interpretasi foto udara merupakan kegiatan menganalisa citra foto udara dengan maksud untuk mengidentifikasi dan menilai objek pada citra tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip interpretasi. Interpretasi foto merupakan salah satu dari macam pekerjaan fotogrametri yang ada sekarang ini. Interpretasi foto termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan pengenalan dan identifikasi suatu objek. Dengan kata lain interpretasi foto merupakan kegiatan yang mempelajari bayangan foto secara sistematis untuk tujuan identifikasi atau penafsiran objek. Interpretasi foto biasanya meliputi penentuan lokasi relatif dan luas bentangan. Interpretasi akan dilakukan berdasarkan kajian dari objek-objek yang tampak pada foto udara. Keberhasilan dalam interpretasi foto udara akan bervariasi sesuai dengan latihan dan pengalaman penafsir, kondisi objek yang diinterpretasi, dan

kualitas foto yang digunakan. Penafsiran foto udara banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu dalam memperoleh informasi yang digunakan. Aplikasi fotogrametri sangat bermanfaat diberbagai bidang. Untuk memperoleh jenis-jenis informasi spasial diatas dilakukan dengan teknik interpretasi foto/citra,sedang referensi geografinya diperoleh dengan cara fotogrametri. Interpretasi foto/citra dapat dilakukan dengan cara konvensional atau dengan bantuan komputer. Salah satu alat yang dapat digunakan dalam interpretasi konvensional adalah stereoskop dan alat pengamatan paralaks yakni paralaks bar. Didalam menginterpretasikan suatu foto udara diperlukan pertimbangan pada karakteristik dasar citra foto udara.Dan dapat dilakukan dengan dua cara yakni cara visual atau manual dan pendekatan digital.Keduanya mempunyai prinsip yang hampir sama. Pada cara digital hal yang diupayakan antara lain agar interpretasi lebih pasti dengan memperlakukan data secara kuantitatif. Pendekatan secara digital mendasarkan pada nilai spektral perpixel dimana tingkat abstraksinya lebih rendah dibandingkan dengan cara manual. Dalam melakukan interpretasi suatu objek atau fenomena digunakan sejumlah kunci dasar interpretasi atau elemen dasar interpretasi. Dengan karakteristik dasar citra foto dapat membantu serta membedakan penafsiran objek objek yang tampak pada foto udara. Berikut tujuh karakteristik dasar citra foto yaitu : Bentuk Bentuk berkaitan dengan bentuk umum, konfigurasi atau kerangka suatu objek individual. Bentuk agaknya merupakan faktor tunggal yang paling penting dalam pengenalan objek pada citrta foto. Ukuran Ukuran objek pada foto akan bervariasi sesuai dengan skala foto. Objek dapat disalahtafsirkan apabila ukurannya tidak dinilai dengan cermat. Pola Pola berkaitan susunan keruangan objek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau keterkaitan merupakan karakteristik banyak objek, baik alamiah maupun buatan manusia, dan membentuk pola objek yang dapat membantu penafsir foto dalam mengenalinya. Rona Rona mencerminkan warna atau tingkat kegelapan gambar pada foto.ini berkaitan dengan pantulan sinar oleh objek. Bayangan Bayangan penting bagi penafsir foto karena bentuk atau kerangka bayangan menghasilkan suatu profil pandangan objek yang dapat membantu dalam interpretasi, tetapi objek dalam bayangan memantulkan sinar sedikit dan sukar untuk dikenali pada foto, yang bersifat menyulitkan dalam interpretasi.

Tekstur Tekstur ialah frekuensi perubahan rona dalam citra foto. Tekstur dihasilkan oleh susunan satuan kenampakan yang mungkin terlalu kecil untuk dikenali secara individual dengan jelas pada foto. Tekstur merupakan hasil bentuk, ukuran, pola, bayangan dan rona individual. Apabila skala foto diperkecil maka tekstur suatu objek menjadi semakin halus dan bahkan tidak tampak. Lokasi Lokasi objek dalam hubungannya dengan kenampakan lain sangat bermanfaat dalam identifikasi. II. Analisis Geomorfologi dengan Foto Udara Penginderaan jauh berkembang sangat pesat, salah satunya adalah pengunaan foto udara sebagai pengumpul data dan pemberi informasi yang tepat, cepat dan akurat dalam mempelajari geologi. Foto udara digunakan melakukan analisis geomorfologi, untuk mempelajari bentuk-bentuk lahan dan bentang alam. Analisis geomorfologi yang dilakukan pada dasarnya berkaitan dalam menentukan tingkat pengaruh struktur dan litologi pada suatu batuan yang berkembang menjadi morfologi. Analisis tersebut meliputi analisis pola penyaluran, bentuk lahan, pola patahan dan rona. Analisis pola penyaluran merupakan langkah yang paling utama dalam mempelajari geomorfologi, dengan memperhatikan tekstur dari pola penyaluran tersebut. Namun, analisis-analisis lain juga mempunyai peranan yang penting dalam mendukung interpretasi geomorfologi secara keseluruhan. Pengetahuan geomorfologi dan analisis bentuk lahan dapat diaplikasikan pada pelbagai bidang, misalnya aplikasi geomorfologi pada bidang pertanian, khususnya ilmu tanah dan pelbagai bidang teknik sipil atau kontruksi bangunan. Proses geomorfik merupakan faktor sangat penting yang menentukan proses pembentukan dan perkembangan tanah. Batas unit sebaran jenis tanah di lapang sering sejajar dengan batas unit bentuk lahan, sehingga hasil analisis suatu bentuk lahan sangat membantu dalam pekerjaan survai tanah dan evaluasi kesesuaian lahan, khususnya dalam hal pembatasan unit tanah atau lahan untuk kegunaan tertentu. Proses geomorfik sangat dipengaruhi oleh struktur geologi kerak bumi pada landform tersebut berada. Bukti terjadinya perubahan atau proses geologis itu tampak atau membekas (in print) pada landform yang terbentuk oleh proses itu. Proses geologis yang telah dan sedang terjadi yang dapat dikenali dari kharakteristik landform dan merupakan informasi penting bagi perencanaan atau desain pembuatan konstruksi jalan, jembatan, bendungan dan sebagainya. III. Tahapan Pelaksanaan Foto Udara

Tahapan Umum Menentukan Peta dasar Menentukan Peta kerja Menentukan Prosedur analisa manual dan otomatis

Menentukan Str Geospasial untuk (Industri, Perencanaan, sesuai tujuan pemetaan) Menentukan Akurasi Kriteria Akurasi Horisontal Kriteria Akurasi Vertikal Kriteria Akurasi dalam Labeling Menentukan data data yang dibutuhkan Peta dan Skala basis data Model data dan Model Permukaan Medan (tentukan model yang paling sesuai dengan penelitian ) Kontur digital Mass Points Breaklines Triangulated Irregular Netorks Digital elevation Models (DEMs) Akurasi Vertikal Akurasi Vertikal sebagi vungsi Akurasi Horisontal Akurasi vertikal sebagai fungsi dari Resolusi Horisontal Menentukan: Tipe, ukuran dan buffer file citra Area pemetaan Cross section/Penampang melintang Struktur Hidrolik Format Data Elevasi Data yang berkaitan dengan aspek hidrologis Titik Kontrol Menentukan sistem referensi spasial Menentukan Kontrol horisontal Menentukan kontrol vertikal Survey lapangan Survey kontrol fotogrametrik Survey cross section Survey checkpoint Survey pencatatan data lapangan pendudung Survey Fotogrametrik Survey fotoudara Survey Triangulasi Georeferencing langsung Ekstraksi informasi fotogrametrik Cross section Kontur Aspek planimetrik lainnya Kontrol Kualitas Membarui Informasi Banjir (terhadap space-time) Frekuensi banjir Tahap bajir Membarui Peta Banjir

Membuat Representasi digital 3D Permukaan Lahan Membuat Representasi digital 3D Permukaan Banjir (ini kunci yang menentukan keberhasilan simulasi ) Manajement Data Analisa Limitasi dan Oportuniti dari studi yang lakukan

IV. Pemetaan Kerentanan Gerakan Tanah Dengan Analisis SIG Melalui Foto Udara Parameter penggunaan lahan dilakukan analisis berdasarkan pengelolaan (vegetasi), beban gaya berat, serta porusivitas air dalam setiap jenis penggunaan lahan. Dari analisis yang dihasilkan bahwa jenis penggunaan lahan pemukiman merupakan jenis dari parameter dari gerakan tanah yang mempunyai kepekaan tinggi hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengelolaan (vegetasi) yang efektif, mempunyai gaya beban yang berat, serta mempunyai tingkat porusivitas air ke dalam tanah rendah. Jenis penggunaan lahan yang kedua yang mempunyai kepekaan sedang terhadap gerakan tanah adalah lahan sawah. Sawah mempunyai pengelolaan yang baik akan tetapi tingkat porusivitas air ke dalam tanah sangat rendah sehingga beban menjadi lebih berat. Jenis pengunaan lahan yang mempunyai kepekaan rendah adalah lahan kebun, ladang, lahan kering. Penggunaan lahan-penggunaan lahan tersebut mempunyai pengelolaan yang sedang dengan beban yang tidak terlalu berat dan kemampuan air untuk meresap kedalam tanah mudah. Jenis parameter penggunaan lahan yang memiliki kepekaan sangat rendah yaitu berupa lahan hutan. Hutan mempunyai pengelolaan vegetasi yang baik, dengan jenis tanah yang relative stabil dan porusivitas air ke dalam tanah sangat baik. Dari peta yang dihasilkan akan memberikan sebaran gambaran yang telah terdefinisikan jenis penggunaan lahan dan juga nilai kepekaan terhadap gerakan tanah. Nilai ini disebut juga suatu skor. Setiap jenis penggunaan lahan memiliki skor yang berbeda tergantung akan kemudahan terhadap gerakan tanah. Parameter penggunaan lahan ini merupakan faktor penentu terakhir dalam menentukan proses gerakan tanah, sehingga dalam penelitian ini agar diperoleh nilai yang tertimbang setiap parameter dikalikan dengan bobot kepentingan sesuai dengan urutan kepekaan setiap parameter. Parameter kedua proses gerakan tanah adalah kemiringan lereng. Pengolahan data spasial berupa kemiringan diperoleh dari data kuantitatif yang dirubah menjadi data spasial yang bersifat kualitatif. Untuk mendapatkan poligon peta kemiringan lereng garis kontur dirubah menjadi TIN (kenampakan 3 Dimensional) kemudian diubah menjadi grid-grid dan dilakukan reklasifikasi. Setiap pixel dalam grid memberikan nilai sesuai dengan ketinggian tempat. Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter pemicu terjadinya gerakan tanah. Hal tersebut karena semakin terjal suatu lereng material yang ada diatas permukaan akan semakin mudah untuk jatuh/tergelincir ke bawah karena adanya gaya grafitasi. Pengkelasan kemiringan lereng mendasarkan pada kemudahan untuk menjadi gerakan tanah, semakin tinggi kemiringan kelas lereng akan semakin besar. Bobot kepentingan yang diberikan pada parameter kemiringan lereng ini adalah 2 atau tingkat sedang. Parameter yang ketiga dalam kaitannya dengan gerakan tanah adalah ketebalan tanah. Ketebalan tanah ini dapat dilakukan pengukuran dengan cara tidak langsung, yaitu dengan mengetahui jenis

tanah dan kemiringan lerengnya. Kemiringan lereng yang semaki landai maka tanah akan semakin landai karena adanya pegendapan, agradasi tanah dari daerah diatasnya. Setiap kelas ketebalan tanah diberikan niliai/skor sesuai dengan kemudahanya untuk menjadi gerakan tanah. Nilai bobot untuk paramater ketebalan tanah ini tergolong yang terkahir seperti parameter penggunaan lahan dan diberikan nilai 1 sehingga pengaruhnya terhadap gerakan tanah ringan. Parameter terbesar yang sangat menentukan proses gerakan tanah adalah kondisi stratigrafi (tipologi kerentanan lereng), parameter ini tidak lepas dari kondisi geologi. Pengkelasan pada parameter stratigrafi ini didasarkan pada kriteria-kriteria adanya bidang lincir/slicing pada permukaan, adanya perlapisan yang terdapat tanah diatasnya dengan kondisi yang tidak stabil, serta kenampakan lereng keluar. Bobot kepentingan yang diberikan pada parameter stratigrafi ini adalah 3 yaitu nilai paling tinggi dari semua parameter yang memicu terjadinya gerakan tanah. Untuk mendapatkan peta gerakan tanah peta peta tersebut dilakukan tumpang susun (overlay) serta dilakukan query, perhitungan dari jumlah skor dikalikan dengan bobot kepentingan untuk mendapatkan nilai/hasil yang tertimbang. Komponen yang ada di dalam SIG mencakup tiga hal, yaitu input, proses, dan output. Input dapat berupa bahan data berupa citra/foto udara dan data primer dari lapangan yang dilakukan intepretasi serta digitasi, dalam penelitian ini digunakan diqityzing on screen. Proses dalam SIG mencakup suatu teknik query dari parameter-parameter input yang dilakukan tumpang susun (overlay). Untuk melakukan analisis pada peta terlebih dahulu dilakukan penyamaan koordinat serta sistem proyeksi setiap parameter peta. Di dalam penelitian ini digunakan koordinat UTM (Universal Trade Mercator) dengan tujuan agar dalam perhitungan luasan didapatkan nilai yang akurat. Pada query dilakukan suatu perhitungan data baik berupa penjumlahan, pengurangan, pembagian serta perkalian nilai dari peta. Sebagai output yaitu berupa data peta yang disajikan guna tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam analisis SIG mengenai kerentanan terhadap bahaya gerakan tanah di wilayah CAG karangsambung ini adalah metode tidak langsung, yaitu suatu metode yang digunakan dengan malalui beberapa pendekatan berdasarkan parameter yang mendukung. Parameter-parameter tersebut antara lain : tipologi lereng rentan, jenis penggunaan lahan, kemiringan lereng dan ketebalan tanah diberikan suatu nilai (skor) sesuai dengan tingkat kerentanannya. V. Manfaat Foto Udara Salah satu bentuk pengindraan jauh yang paling umum, ekonomis dan banyak digunakan adalah foto udara. Manfaat utama foto udara bila dibandingkan dengan pengamatan di lapangan meliputi beberapa hal sebagai berikut : - Meningkatkan Titik Keuntungan Fotografi udara memungkinkan untuk mengamati gambar yang besar yang di dalamnya terdapat objek-objek yang diinginkan. Foto udara memperlihatkan kenampakan menyeluruh di mana semua yang ada di muka bumi yang dapat diamati dan direkam secara serentak. Namun informasi yang diperoleh bagi tiap orang yang mengamatinya akan berbeda tergantung dari

keperluannya masing-masing. Hidrologis akan memusatkan perhatiannya pada tubuh air permukaan, geologis pada struktur batuan dan geomorfologinya, pakar pertanian pada jenis tanah dan tanamannya, dan sebagainya. - Kemampuan untuk Menghentikan Kegiatan Tidak seperti mata manusia, foto dapat memberikan suatu gambaran kegiatan yang terhenti atas kondisi yang bersifat dinamik. Foto udara sangat berguna untuk mempelajari fenomena yang dinamik dari banjir, populasi binatang liar yang bergerak, lalu lintas, tumpahan minyak, dan kebakaran hutan. - Catatan Permanen Foto udara pada dasarnya merupakan rekaman permanen atas kondisi yang ada. Rekaman tersebut dapat dipelajari dengan lebih enak, lebih banyak di kantor. Satu citra dapat dipelajari banyak pengguna. Foto udara juga dapat sebagai pembanding suatu data sejenis yang diperoleh pada waktu sebelumnya, sehingga perubahan sesuai dengan berlalunya waktu dapat dipantau. - Kepekaan Spektral Diperlebar Film dapat mengindra dan merekam pada rentang panjang gelombang sebesar dua kali lebih lebar daripada kepekaan mata manusia (0,3 0,9 mm dibandingkan 0,4 0,7 mm). Dengan fotografi, panjang gelombang ultraviolet dan inframerah pantulan yang tidak tampak dapat dideteksi, kemudian direkam dalam bentuk citra yang tampak, sehingga kita bisa melihat fenomena yang tidak tampak oleh mata. - Meningkatkan Resolusi Spasial dan Ketelitian Geometrik Melalui pemilihan yang tepat atas kamera, film, dan parameter penerbangan, kita dapat merekam data keruangan yang lebih rinci pada foto dibandingkan yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Data tersebut tersedia untuk kita dengan mengamati foto udara tersebut dibantu dengan pembesaran. Dengan data rujukan lapangan yang tepat, kita juga dapat memperoleh pengukuran teliti atas posisi, jarak, arah, luas, ketinggian, volume, dan lereng berdasarkan foto udara. Sesungguhnya, kebanyakan peta planimetrik dan peta topografik yang ada sekarang dihasilkan dengan menggunakan pengukuran-pengukuran dari foto udara. VI. Penggunaan SRTM dan Aster 3B VNIR Untuk Analisis Geomorfologi Tektonik Dengan adanya perkembangan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (geographic information system) yang pesat saat ini, analisis spasial wilayah dalam hubungannya dengan bidang ilmu kebumian seperti geologi, geomorfologi, tataguna lahan dan lain-lainnya mudah dilakukan. Penggabungan atau integrasi hasil interpretasi dan data sekunder lainnya dapat dilakukan dengan cepat dan akurat dengan bantuan teknik sistem informasi geografis. Sajian dalam SIG dapat berupa manipulasi data yang berupa spasial serta data yang berupa atribut, serta mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memodelkan suatu 3D permukaan sebagai DEM (Digital Elevation Model ;, Model Digital Ketinggian) ; DTM (Digital Terrain model : Model

Digital Permukaan) atau TIN (Triangular Irregular Network ; Jaringan Bersegitiga yang tidak beraturan). Berbagai kepentingan yang berkaitan dengan bidang spasial kebumian dapat dianalisa dan dimodelkan. Secara umum geomorfologi merupakan ilmu yang membicarakn mengenai konfigurasi permukaan yang dalam hal ini tidak terlepas bahasan kita terkait dengan bentuklahan. Tenaga geomorfologi di bagi menjadi 2 yaitu tenaga endogen dan tenaga eksogen. Salah satu tenaga endogen akan menghasilkan suatu bentuklahan struktural dimana dalam sub bentuklahannya merupakan patahan/ blok patahan. Penggunaan data-data spasial dalam penelitian ini menggunakan bahan data berupa citra SRTM, citra aster, serta peta dasar digital. Data srtm dilakukan peng-konversian ke dalam bentuk vektor yaitu berupa data kontur dengan interval kontur pada penelitian ini sebesar 3 meter, hal ini dilakukan guna pembuatan peta TIN (triangular irregular network) sehingga konfigurasi permukaan dengan kesan 3 dimensional dapat terlihat dengan jelas. Kesan topografi ini dapat mempermudah untuk mengetahui jalur sesar utama serta untuk mengetahui pola-pola aliran yang terbentuk pada daerah tersebut. Data raster berupa citra aster dilakukan pengkoreksian terlebih dahulu sebelum dilakukan intepretasi dan analisis, koreksi tersebut meliputi koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik dimaksudkan agar citra sesuai dengan kondisi di permukaan, sedangkan koreksi radiometrik dimaksudkan guna piksel-piksel dalam citra bebas dari pengaruh awan pada saat perekaman data, sehingga data dapat digunakan untuk intepretasi lebih lanjut. Saluran citra aster yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan band 3B, VNIR (Visible and Near Infrared) dengan panjang gelombang 0, 78 0, 86 mm dengan resolusi spasial 30 meter, pemilihan saluran ini dikarenakan pada band 3B citra aster memiliki sudut penyiaman 27, 6 untuk mempertegas kenampakan permukaan maka digunakan penajaman citra linier 2%, kesankesan topografis lebih terlihat jelas sehingga intepretasi mengenai sesar serta pola aliran pada sesar lembang dapat dengan mudah dilakukan. Pembuatan formula untuk mengetahui suatu kelurusan pun dapat dilakukan baik menggunakan aplikasi dari grid, dimana nilai piksel grid dirubah secara seragam. Permasalah yang sering dihadapi bahwa piksel grid mempunyai resolusi spasial yang sangat besar, sehingga diperlukan pembuatan data grid berdasarkan meta data dari citra SRTM. Hal ini juga terbentur dengan kemampuan komputer dalam mengolahnya. Ketika pembuatan data kontur dengan interval 0,5 meter diharapkan dapat memberikan output piksel DEM yang kecil dengan resolusi spasial memadai untuk mendapatkan kedetilan kelurusan. Data citra aster pun dapat dilakukan suatu analisis dengan beberapa pemodelan. Penggunaan formula untuk mengetahui kondisi permukaan guna mempertegas kenampakan permukaan salah satunya digunakan filter, menggabungkan beberapa parameter hasil klasifikasi. Kenampakan kelurusan ini hanya sebatas mengetahui keberadaan patahan-patahan (mikro) dan masih perlu dilakukan cross cek dengan data pendukung lainnya. Untuk mengetahui keaktifan sesar maka masih dilakukan survei dan pengukuran lapangan dengan beberapa metoda. Comment

Aplikasi Penggunaan Satelit Penginderaan Jauh di Indonesia untuk Analisa Hidrologi


Filed under: Sipilian by Fadly Sutrisno Leave a comment July 15, 2010

I. Pendahuluan Penginderaan jauh merupakan alat yang memudahkan dalam pengambilan suatu data dari jarak jauh. Selain memudahkan dalam pengambilan data, penginderaan jauh dapat digunakan dalam dunia teknik sipil dan dapat juga digunakan dalam bidang lainnya. Dalam dunia teknik Sipil penginderaan jauh telah banyak digunakan. Salah satu aplikasinya dengan menggunakan GIS. GIS merupakan alat yang sangat baik untuk melihat secara keseluruhan dengan cara pandang baru dan dapat mengungkapkan semua keterkaitannya yang selama ini tersembunyi, pola dan kecendrungan nya. GIS dapat membantu kita dalam membuat tampilan peta untuk keperluan presentasi, menggambarkan dan menganalisa informasi dengan pandang baru. Dalam bidang Transportasi GIS dapat juga digunakan untuk mengelola jalan, jalur kereta api, fasilitas pelabuhan dan lainnya. Dalam bidang lingkungan dan geologi GIS dapat juga digunakan untuk perlindungan terhadap lingkungan. Dalam Irigasi GIS dapat digunakan untuk membantu memantau dan mengendalikan irigasi dari tanah-tanah pertanian. Jadi, banyak sekali kegunaan dan keuntungan kita memakai GIS selain data yang kita dapat akurat, kita juga memperoleh Informasi dengan cepat. II. Teknik Pengumpulan Data Data dapat dikumpulkan dengan berbagai macam peralatan tergantung kepada objek atau fenomena yang sedang diamati. Umumnya teknik-teknik penginderaan jarak jauh memanfaatkan radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek yang diamati dalam frekuensi tertentu seperti inframerah, cahaya tampak, gelombang mikro, dsb. Hal ini memungkinkan karena faktanya objek yang diamati (tumbuhan, rumah, permukaan air, udara dll) memancarkan atau memantulkan radiasi dalam panjang gelombang dan intensitas yang berbeda-

beda. Metode penginderaan jarak jauh lainnya antara lain yaitu melalui gelombang suara, gravitasi atau medan magnet. III. Pemodelan Hidrologi untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir di Sebagian Wilayah Surakarta Menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) Banjir di daerah Surakarta merupakan banjir yang jarang terjadi sebelumnya, banjir ini disebabkan karena sungai bengawan solo tidak mampu menampung aliran langsung permukaan sehingga terjadi luapan yang menggenangi wilayah disekitar sungai. Penggunaan hidrologi modeling pada SIG (Sistem Informasi Geografis) dapat digunakan sebagai pendeteksi dan identifikasi lokasi-lokasi yang rawan terhadap banjir. Dengan mendasarkan pada tipologi wilayah dalam identifikasi aliran langsung permukaan secara kualitatif serta grid spasial guna mengetahui arah aliran, akumulasi aliran serta konsentrasi aliran. Wilayah yang teridentifikasi mempunyai akumulasi aliran serta konsentrasi aliran tinggi yaitu meliputi kecamatan Banjarsari, Jebres, Masaran, Sragen, Sambungmacan, Tangen, dan Gesi. Wilayah di dalam DAS yang teridentifikasi rawan terhadap banjir meliputi kecamatan Masaran, Sidoredjo, Plupuh dan Sebagian daerah Jebres curah hujan harian maksimal sebesar 104-121 mm/hari. Secara umum banjir merupakan suatu keluaran (output) dari hujan (input) yang mengalami proses dalam sistem lahan yang berupa luapan air yang berlebih. Kejadian atau fenomena alam berupa banjir yang terjadi ahir-akhir ini di Indonesia memberikan dampak yang amat besar bagi korban baik dalam segi material maupun spiritual. Untuk melakukan suatu mitigasi bencana banjir maka diperlukan suatu pemetaan daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya banjir. Lahan merupakan sumberdaya penting yang memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan. Dari sudut pandang hidrologi informasi tersebut dapat digunakan untuk teknik penyadapan mengenai karakteristik dan data sumberdaya air, seperti pemetaan banjir, pemetaan batas-batas air permukaan serta zonasi-zonasi wilayah yang mengalami pengendapan. Menurut Gunawan (1992) interpretasi hidrologi pada teknik penginderaan jauh diarahkan untuk menduga hubungan/interaksi kenampakan bentang lahan (landscape features) dengan prosesproses hidrologi. Penggunaan citra penginderaan jauh untuk pemetaan hidrologi permukaan cukup didekati dengan mendasarkan pada elemen-elemen lahan dan karakteristik citra. Dengan menggunakan pendekatan kenampakan secara tiga dimensi (3D) karakteristik wilayah dapat diketahui dengan jelas, yaitu adanya tenaga alam yang berperan dalam pembentukan konfigurasi permukaan bumi (geomorfologi) sebagai indikasi atau gamnbaran kejadian alam yang telah lalu hingga prediksi fenomena ataupun kejadian yang akan datang. Analisis SIG mengenai fenomena permukaan lahan dapat dimodelkan dalam kaitannya untuk mencari lokasi-lokasi yang rawan terhadap banjir yaitu dengan mendasarkan pada sifat-sifat air dipermukan lahan. Sajian dalam SIG dapat berupa manipulasi data yang berupa spasial serta data yang berupa atribut, serta mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memodelkan suatu 3D permukaan sebagai DEM (Digital Elevation Model ;, Model Digital Ketinggian) ; DTM (Digital Terrain

model : Model Digital Permukaan) atau TIN (Triangular Irregular Network ; Jaringan Bersegitiga yang tidak beraturan). Berbagai kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya air dapat dianalisa dan dimodelkan, misalnya seperti saluran air, konsentrasi aliran air, akumulasi aliran air, arah aliran air permukaan, wilayah pengendapan, zonasi satuan Sub DAS (Daerah Aliran Sungai), serta daerah dataran banjir. Berdasarkan analisis flow direction, daerah yang mempunyai kemampuan dalam menampung aliran air permukaan paling tinggi terdapat di Kabupaten Sragen, yaitu sekitar daerah Sidoredjo, Plupuh dan Masaran. serta untuk Kota Surakarta di sebagian wilayah Banjarsari Sehingga dapat dimungkinkan terjadi banjir yang berupa banjir luapan akibat akumulasi serta konsentrasi aliran pada tipologi lahan yang rendah dan datar. Selain akumulasi dan konsentrasi aliran pada sistem sungai yang mengakibatkan luapan, adalah adanya cekungan-cekungan permukaan dapat digunakan sebagai identifikasi arah larian dari luapan air yang mengakibatkan adanya banjir genangan pada wilayah-wilayah tertentu. IV. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh untuk Mengkaji Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak di DAS Kreo Semarang Alih fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi akan cenderung meningkatkan nilai koefisien aliran permukaan yang akan berpengaruh terhadap debit puncak. DAS Kreo merupakan DAS yang berada di daerah Semarang yang telah mengalami perubahan penggunaan lahan. Tujuan dalam penelitian ini adalah menguji kemampuan dan ketelitian teknik penginderaan jauh untuk penyadapan data mengenai karakteristik fisik dan morfometri DAS guna estimasi debit puncak serta mengevaluasi pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak dengan menggunakan metode rasional. Data pokok yang digunakan antara lain foto udara pankromatik H/P skala 1:25.000 tahun 1992, foto udara pankromatik H/P skala 1:10.000 tahun 1999, data tinggi muka air pos Kalipancur, tabel debit sungai, data debit sungai maksimum dan debit minimum, data intensitas hujan, data hujan dan peta-peta bantu lainnya seperti peta tanah, peta RBI, peta geologi. Pengolahan dilakukan berbasis komputer dengan menggunakan SoftWare pemetaan Arc view. Dalam melakukan estimasi nilai debit puncak digunakan rumus rasional. Parameter-parameter yang dipertimbangkan dalam rumus tersebut antara lain koefisien aliran, intensitas hujan dan luas DAS. Koefisien aliran menggunakan Metode Bransby dan William yang meliputi intensitas hujan, lereng, kerapatan aliran, penggunaan lahan, infiltrasi tanah. Dalam mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak maka dilakukan analisis mengenai perubahan luasan lahan yang signifikan yang dapat mempengaruhi volume air larian serta digunakan hidrograf dan perbandingan nilai debit maksimum dengan nilai debit minimum. Foto udara merupakan salah satu jenis citra penginderaan jauh yang paling tua perkembangannya dan paling banyak digunakan sampai saat ini. Hal ini dikarenakan foto udara mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan jenis citra lainnya, yaitu caranya yang sederhana, relatif murah, resolusi spasial baik dan integritas geometrinya baik, dan yang sangat menguntungkan adalah kerana foto udara menggambarkan ujud dan letak obyek yang mirip ujud dan letaknya dipermukaan bumi, serta meliputi daerah yang luas dan permanen (Sutanto, 1986).

Salah satu metode yang digunakan dalam menentukan nilai debit puncak yang berdasarkan pada faktor-faktor karakteristik fisik lahan dikenal dengan metode rasional. Dalam metode rasional variabel-variabelnya adalah koefisien aliran, intensitas hujan dan luas DAS. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung besarnya debit puncak dengan rumus rasional adalah sebagai berikut : Qp = 0,278 CIA..(1) (Sumber : Chow, V, T. 1964) dimana : Qp = Debit puncak rancangan (m3/det) I = Intensitas (mm/jam)

C = Koefisien aliran (tanpa dimensi) A = Luas DAS (km2) Sebagai pembanding nilai koefisien aliran permukaan melalui foto udara maka digunakan data hidrograf aliran untuk mendapatkan nilai koefisien terukur. Hidrograf aliran yang digunakan merupakan hidrograf aliran yang mempunyai curah hujan merata dalam DAS. Pada analisa hidrograf tanggal 12 April 1992 didapatkan nilai koefisien aliran permukaan terukur sebesar 34.34 % dan pada tanggal 5 januari 1999 didapatkan nilai koefisien aliran permukaan terukur sebesar 54.2 %. DAS Kreo mempunyai luasan 80, 66 km2, dari hasil perhitungan debit puncak melalui foto udara dengan menggunakan metode rasional pada tahun 1992 maka didapat nilai sebesar sebesar 284.88 m3/detik dengan intensitas hujan sebesar 29.6 mm/jam yang terjadi pada tanggal 12 April 1992 sedangkan nilai debit puncak melalui foto udara tahun 1999 sebesar 368.71 m3/detik yang diakibatkan oleh intensitas hujan sebesar 33.40 mm/jam yang terjadi pada tanggal 9 Januari 1999. Pada analisis hidrograf yang dilakukan menggunakan data TMA pada saat terjadi puncak banjir dan intensitas hujan dengan curah hujan merata di seluruh DAS pada saat waktu konsentrasi. Data perhitungan nilai debit puncak terukur tahun 1992 dengan menggunakan metode rasional yaitu sebesar 228.7 m3/detik. Sedangkan pada tahun 1999 debit puncak terukur menggunakan metode rasional sebesar 314.6 m3/detik. Nilai debit puncak terjadi peningkatan dari tahun 1992 sampai tahun 1999 sebesar 85.9 m3/detik. V. Penggunaan Sistem Informasi Geografi untuk Pendeteksian Konsentrasi Aliran Permukaan di DAS Citarum Hulu Analisa Konsentrasi aliran dalam suatu sistem sungai sangat penting diketahui untuk mendeteksi penyebab banjir. Disamping itu tingkat kerapatan drainase, pola drainase dan bentuk DAS juga

merupakan faktor yang penting pula dalam mempengaruhi hidrograf aliran, cepat atau lambatnya jumlah aliran air dari permukaan lahan untuk dibawa kealur sungai, selain itu dapat digunakan untuk mengetahui kondisi daerah mudah kering atau mudah mengalami penggenangan. Dengan menggunakan pemodelan SIG penyebab terjadinya diharapkan dapat dianalisis secara lebih jelas. Secara keruangaan terdapat unsur-unsur terkait yang merupakan respon dari hujan pada suatu zona topografi. Unsur tersebut seperti misalnya aliran runoff, erosi tanah, penumpukan sedimen yang semuanya sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan yang ada dalam kawasan. Bandung merupakan kota yang masuk dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang mermuara di laut utara Jawa,. Pemukiman-pemukiman yang memadati kawasan tersebut mempengaruhi optimalisasi fungsi DAS sehingga akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi wilayah tersebut. Berdasarkan kajian hidrologi bentuk dari DAS citarum hulu ini memberikan suatu gambaran yang seperti cekung, mempunyai tingkat kelerengan yang tinggi di hulu serta kanan-kiri sungai, sehingga aliran permukaan yang terjadi sangat cepat untuk masuk dalam sungai.Sebaran hujan yang merata di hampir seluruh DAS mempengaruhi laju dan akumulasi aliran air permukaan. Berdasarkan dari hasil analisa pemodelan SIG daerah Bojongsoang merupakan tempat terjadinya akumulasi aliran sehingga daerah ini merupakan langganan banjir. Dengan menggunakan pendekatan kenampakan secara 3 dimensional karakteristik wilayah dapat diketahui dengan jelas, adanya tenaga alam yang berperan dalam pembentukan konfigurasi permukaan bumi (geomorfologi) merupakan indikasi yang menggambarkan kejadian alam yang telah lalu sehingga fenomena ataupun kejadian yang akan terjadi dapat diprediksi. VI. Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa Banjir merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di Pulau Jawa. Pendekatan kakarteristik fisik adalah potensi kawasan yang dapat digunakan dalam pemetaan bencana banjir. Parameter yang digunakan dalam pemetaan bencana banjir adalah bentuklahan (geomorfologi), tipe batuan induk, jenis tanah, kemiringan lereng, dan hujan sebagai input utamanya. Banjir merupakan salah satu keluaran dari proses alam yang disebabkan oleh adanya input berupa hujan. Hujan merupakan faktor utama yang mengakibatkan banjir. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat menumpangsusunkan berbagai parameter yang mengakibatkan banjir. Indonesia Negara agraris yang mempunyai dua jenis musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut memberikan gambaran bahwa di Indonesia terdapat keseimbangan musim yang saling berinteraksi. Waktu musim yang terjadi pada dasarnya sama dalam pembagiannya. Pada saaat terjadi musim penghujan air-air akan mengisi cekunganekungan tanah, tertahan dalam tumbuhan-tumbuhan serta tertampung dalam tanah. Sehingga pada musim kemarau simpanan air yang tertampung dalam tanah dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam pembuatan peta kerawanan banjir tersebut merupakan rangkaian dari tumpang susun dari kelima parameter pemicu terjadinya banjir, dari kelima faktor tersebut peranan yang cukup besar adalah pada tingkat curah hujan yang ada. Untuk menghasilkan daerah yang rawan terhadap

banjir merupakan daerah dengan kondisi bentuklahan yang merupakan dataran banjir dengan kemiringan lereng rendah, curah hujan yang tinggi serta kemampuan tanah dan batuan dalam meloloskan air ke dalam bawah permukaan sangat kecil. Peta kerawanan tersebut tingkat daerah yang paling rawan terhadap banjir adalah sebagian wilayah Jakarta, jawa tengah pesisir selatan, banten, semarang sampai dengan jepara, Surabaya dan sekitarnya serta sebagian daerah pasuruan dan probolinggo. Secara umum pulau jawa merupakan wilayah yang berpotensi terhadap banjir. Hasil dari pemetaan rawan banjir tersebut akan lebih detil dan baik apabila ditambahkan parameter-parameter lainnya seperti kerapatan aliran, karakteristik sungai, penggunaan lahan yang ada, serta penambahan analisa hujan. VII. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Kerusakan DAS sering dipicu oleh perubahan tata guna lahan akibat naiknya tingkat kebutuhan hidup manusia serta lemahnya penegakan hukum. Penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual. Perkembangan bentuklahan ditentukan oleh proses pelapukan dan perkembangan tanah, erosi, gerakan massa tanah, banjir, sedimentasi, abrasi marin, oleh agensia iklim., gelombang laut, gravitasi bumi, dan biologi termasuk manusia. Perubahan bentuk lahan berpengaruh terhadap kondisi tanah, tata air (hidrologi), potensi bahan tambang, potensi bencana seperti banjir, erosi, dan longsor lahan, vegetasi, dan kegiatan manusia dalam bidang pertanian, permukiman, kerekayasaan, industri, rekreasi, dan pertambangan. Secara garis besar, penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. Analisis tingkat bahaya erosi dilakukan dengan cara memperkirakan (memprediksi) laju erosi tanah pada satuan-satuan lahan. Sedangkan untuk menghitung laju erosi tanah digunakan pendekatan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut: A = RKLSCP ..(2) dimana : A R K LS C = jumlah tanah yang hilang (ton/ha/tahun) = erosivitas hujan tahunan rata-rata (mm/jam) = ndeks Erodibilitas Tanah = Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng = Pengelolaan Tanaman

Erosivitas Hujan merupakan kemampuan hujan untuk mengerosi tanah. Semakin tinggi nilai erosivitas hujan suatu daerah, semakin besar pula kemungkinan erosi yang terjadi pada daerah tersebut. Erodibilitas merupakan suatu ketahanan dari tanah yang yang menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energi kinetik air hujan dan ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Pada pembuatan peta indek panjang dan kemiringan lereng, panjang lereng dapat diabaikan dan yang berpengaruh hanya kemiringan lereng (kemiringan lereng berpengaruh 3x panjang lereng terhadap erosi) didasarkan pada satuan topografi pada wilayah penelitian. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah (1) melalui fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, (2) menurunkan kecepatan air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya dan (4) mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (chay asdak, 1995: 452). Konsentrasi kemudahan penggunaan lahan untuk ter-erosi penyebarannya bayak terdapat disebelah barat dan tengah pada DAS Lukulo Hulu yang sebagian besar berupa tanah ladang dengan tanama pertanian yang berupa biji-bijian. Secara kerapatan tajuk tanaman ini merupakan tanama dengan kerapatan jarang, bertekstur kasar, kemampuan tanaman dalam stroughfall dan streamfall sangat kecil, sehingga penggerusan permukaan tanah terhadap aliran air permukaan besar. Wilayah yang mempunyai kriteria erosi sangat ringan seluas 13787.088 hektar (51,77%) dengan jumlah erosi kurang dari 15 ton/ha/tahun banyak ditemukan di formasi karangsambung, di daerah basalt, dan gabro. Formasi karangsambung merupakan suatu formasi dengan tanah berupa lempung sehingga air susah untuk permeabilitas. Kriteria erosi ringan yang ada di DAS Lukulo Hulu seluas 6076.038 hektar (22,82%) dengan jumlah erosi 15 sampai 60 ton/ha/tahun banyak ditemukan di daerah formasi waturanda, formasi peniron, daerah sekis dan filit, dan anggota batu gamping formasi napal. Kriteria erosi sedang mempunyai luasan sebesar 3804.078 hektar (14,28%) dengan jumlah erosi 60 sampai 180 ton/ha/tahun dan penyebarannya di sebelah barat dan timur pada DAS Lukulo Hulu. Kriteria erosi berat mempunyai luasan sebesar 1564.231 hektar (5,87%) dengan jumlah erosi 180 sampai 480 ton/ha/tahun dan erosi sangat berat seluas 1399.518 hektar dengan jumlah erosi lebih dari 480 ton/ha/tahun (5,26%). VIII. Aplikasi Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan Kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan pesediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Kekeringan paling sering dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar. Kabupaten Kebumen merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berada di bagian selatan. Penggunaan lahan yang berupa lahan pertanian di Kabupaten Kebumen lebih dari 50% dari total jenis penggunaan lahannya, masyarakat secara umum masih banyak yang menggantungkan mata pencahariannya terhadap lahan pertanian. Tahun 2008 Sedikitnya 26 desa yang tersebar di Kabupaten Kebumen dilanda kekeringan, masyarakat kesulitan air bersih dan air irigasi menyusul menurunnya debit sumber air dan Sungai Luk Ulo, Kalibanda, dan Telomoyo hal tersebut mengakibatkan sekitar 2000 hektar lahan pertanian mengalami kekeringan dan gagal panen.

Penggunaan data penginderaan jauh dan SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi daerah yang rawan kekeringan. Menggunakan transformasi mengenai indeks kecerahan, indeks kebasahan serta indeks vegetasi dapat mengetahui kondisi permukaan dalam hubunganya dengan kekeringan, parameter lain seperti kondisi akuifer, curah hujan serta jenis penggunaan lahan pertanian kering faktor penentu dalam mengidentifikasi kekeringan. Hasil dari penelitian ini mengidentifikasikan bahwa sebagian Kecamatan di Kabupaten Kebumen yang meliputi Karanggayam, Karangsambung, Sadang, Alian, Puring, Klirong, Buluspesantren, Ambal dan Mirit terdeteksi memeliki potensi kekeringan. Metode yang digunakan dalam memperoleh hasil adalah menumpangsusunkan parameterparameter yang berpengaruh terhadap kekeringan dengan menggunakan SIG, sebagai bahan data primer digunakan data citra satelit Landsat TM (thematic mapper). Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain peta digital Kabupeten Kebumen, Citra Landsat TM path/row 120/065, data curah hujan, data geohidrologi, seperangkat alat komputer lengkap dengan program pemetaan data vektor dan pemroses citra digital. Parameter-parameter yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bentuklahan, geohidrologi, curah hujan, serta penggunaan lahan yang berupa lahan pertanian kering. Data-data tersebut di dapat dari bahan data primer berupa citra landsat TM, data sekunder dari penelitian sebelumnya, serta data hasil ceking lapangan. IX. Analisis Sedimentasi dengan Inderaja Sedimentasi atau pelumpuran di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan sedimen. Peningkatan buangan sedimen ke dalam perairan pesisir disebabkan oleh semakin tingginya laju erosi tanah karena pengelolaan lahan atas yang tidak mengindahkan asas konservasi lahan dan lingkungan seperti penebangan hutan atau pengolahan pertanian pada lahan dengan kemiringan > 40 %. Sedimentasi dapat meningkatkan kekeruhan air yang berdampak negatif pada kelestarian ekosistem alami dan biota perairan sehingga menyebabkan tidak optimalnya nilai ekologi dan ekonomis kawasan pesisir (Beatly, et.al., 1994). Pencemaran laut dan pesisir didefinisikan sebagai perubahan sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungan perairan yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh limbah kegiatan manusia dengan bahan polutan yang dapat membahayakan kehidupan biota, sumber daya, kesehatan manusia, dan nilai guna ekosistem. Sumber pencemaran dibedakan menjadi point pollution yaitu sumber polutan diketahui lokasinya, misalnya pipa pembuangan limbah pabrik yang bermuara di sungai, dan non point pollution yaitu sumber polutan berupa suatu luasan sehingga sulit dikontrol karena tidak diketahui pasti titik tempat polutan berasal, hal ini berkaitan dengan pola penggunaan lahan, serta kondisi dan respon landscape terhadap pergerakan air permukaan. Terjadinya pencemaran perairan pesisir dapat dilihat dari elemen penentu kualitas air yaitu parameter fisik, kimia, dan biologi. Dalam konteks penginderaan jauh (inderaja) paramater yang dikaji hanya parameter yang dapat mempengaruhi nilai spektral citra yaitu salinitas, kekeruhan, temperatur permukaan, suspended sedimen, dan konsentrasi klorofil. Dari hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa salinitas akan sulit dideteksi karena hampir tidak ada perbedaan pantulan

antara air tawar dengan air asin, sedangkan ukuran kekeruhan juga menujukkan besarnya suspended sedimen yang terkait dengan proses sedimentasi (Khorram, 1985). Dasar penentuan tercemar atau tidaknya perairan pesisir berdasarkan Kep.Men. KLH No.02 tahun1988 tentang baku mutu perairan secara nasional. Baku mutu perairan merupakan ukuran batas daya asimilasi dan kapasitas lingkungan perairan untuk mengakomodasi suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat ditolerir (Dahuri, et.al., 1996). Baku mutu digunakan sebagai strategi monitoring dan pengendalian sumber pencemaran perairan melalui penetapan standar emisi pada tiap jenis aktivitas. Penetapan bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian terhadap kapasitas asimilasi perairannya. Pemanfaatan potensi daratan kawasan pesisir untuk berbagai sektor perekonomian memberikan andil terintroduksinya material ke dalam lingkungan perairan, yang menyebabkan kualitasnya menurun sampai tingkat tertentu sehingga fungsi perairan menjadi berkurang atau bahkan tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. X. GPS untuk Mengukur Muka Laut Pemanfaatan teknologi Global Positioning System (GPS) untuk mengukur tinggi muka laut, dinilai memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan teknologi lainnya. Sejumlah cara digunakan untuk mengukur tinggi muka laut. Di antaranya dengan memanfaatkan satelit altimetri. Namun, altimetri ternyata memiliki resolusi rendah sebab pengukuran dilakukan secara global. Apalagi jika telah mendekati pantai maka ketelitiannya semakin berkurang. Selain itu, pengukuran melalui stasiun pasang surut yang dilengkapi sumur atau pipa yang terhubung ke laut. Pasang surut air dapat terukur melalui sensor yang ada di dalam stasiun tersebut. Teknik ini memiliki keterbatasan karena hanya mampu melakukan pengukuran di sekitar lokasi pasang surut saja. Jika pengukuran tinggi muka laut di lokasi yang agak jauh dari pantai maka ketelitiannya akan berkurang. Pasalnya kita harus membuat pemodelan lagi, sedangkan seperti kita ketahui selama ini, pengkuran pasang surut air sifatnya time dependent dan spatial dependent. Melalui penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) ini, keterbatasan dari kedua teknik pengukuran dapat tertutupi. Ini Karena GPS mampu mengukur baik di daerah pantai maupun di bagian laut yang bergelombang sekalipun. Meski demikian, isu yang paling penting sekarang adalah pembangunan infrastruktur database yang lebih baik. Sebab, selama ini di Indonesia, infrastruktur tak terbangun dengan baik. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan memberikan referensi untuk mengetahui tinggi muka laut lebih baik pula. Selama ini memang ada stasiun pasang surut yang berada di sejumlah wilayah tetapi setiap tempat itu memiliki karakter pasang surut yang berbeda. Di samping itu, teknologi GPS memungkinkan untuk mencegah kerugian negara dalam menentukan batas wilayah. Perbatasan wilayah laut suatu negara biasanya ditentukan dengan

menghitung garis pantai, berdasarkan air pasang yang paling tinggi atau keadaan air yang paling surut, melalui stasiun pasang surut. Padahal, stasiun tersebut kerap memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap wilayah. Akibatnya hasil pengukuran pun berbeda. Ttak heran jika banyak nelayan dari negara asing yang dengan tenangnya mengeruk kekayaan laut kita, seakan dianggap wilayah laut negaranya. XI. Aplikasi Penginderaan Jauh bagi Para Nelayan Kebanyakan ikan sasaran tangkap yang dapat ditangkap dengan menggunakan alat bantu penginderaan jarak jauh (INDERAJA), adalah jenis ikan yang banyak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan tiap musimnya sering didapati di kawasan laut yang temperatur permukaannya bervariasi. Untuk menemukan lokasi ikan ini, para nelayan biasanya memanfaatkan termometer dan mengamati warna air laut kalau-kalau terdapat tanda plankton yang menjadi bahan makanan ikan. Cara ini membuat tak jarang para nelayan harus menghabiskan waktu dan biaya untuk menjelajah lautan yang biayanya cukup tinggi. Kalau dihitung-hitung, rata-rata sekitar 20 50 % biaya penangkapan dialokasikan untuk kepentingan pencarian tadi. Teknologi penginderaan jarak jauh (INDERAJA) untuk kegiatan perikanan tangkap, sebenarnya telah banyak diterapkan di berbagai negara. Meskipun harus mengeluarkan biaya tambahan, teknologi tersebut telah dapat membantu nelayan dalam meningkatkan hasil tangkapan. Kebanyakan ikan sasaran tangkap yang dapat ditangkap dengan menggunakan alat bantu penginderaan jarak jauh, adalah jenis ikan yang banyak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan tiap musimnya sering didapati di kawasan laut yang temperatur permukaannya bervariasi. Sebenarnya, untuk menemukan lokasi ikan ini, para nelayan biasanya memanfaatkan termometer dan mengamati warna air laut kalau-kalau terdapat tanda plankton yang menjadi bahan makanan ikan. Cara ini membuat tak jarang para nelayan harus menghabiskan waktu dan biaya untuk menjelajah lautan. Artinya, mereka juga harus menyiapkan banyak bahan bakar untuk kapal penangkap ikan yang biayanya cukup tinggi. Kalau dihitung-hitung, rata-rata sekitar 20 50 % biaya penangkapan dialokasikan untuk kepentingan pencarian tadi. Sebagai solusinya, para nelayan khususnya nelayan-melayan tradisional di Indonesia sudah harus mengenal peranan penginderaan jarak jauh (INDERAJA) bagi kegiatan usaha penangkapan ikan. Nelayan-nelayan tradisional di Indonesia sudah harus mulai diperkenalkan dengan istilah Sea Surface Temperature (SST), yang dibuat berdasarkan kumpulan gambar gambar dari satelit penginderaan jarak jauh NOAA-H milik Amerika Serikat. Gamber satelit ini nantinya bisa menentukan temperatur permukaan laut dan kemungkinan lokasi keberadaan ikan. Diharapkan pengenalan peta tadi telah membuka pengetahuan nelayan tradisional di Indonesia terhadap pentingnya keberadaan antara suatu jenis ikan tertentu dengan suhu permukaan laut. Untuk meningkatkan kemampuan para nelayan didalam mengefisienkan kegiatan penangkapan ikan, seyogyanya dilatih dulu pengetahuan mengenai oceanografi perikanan, tingkah laku ikan dan cara navigasi yang lebih tepat. Aneka informasi penting bagi nelayan juga mutlak diberikan,

antara lain artikel tentang peralatan terbaru, peraturan penangkapan ikan di laut lepas pantai, data statistik penangkapan ikan, dan petapeta satelit serta instruksi penggunaanya. Penggunanan peta SST juga diharapkan mampu meningkatkan kawasan perikanan yang dikelola para nelayan. Diharapkan pada gilirannya dengan pemakaian teknologi penginderaan jarak jauh, usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisionil mampu melampaui pasar lokal, dan berkembang menjadi industri berorientasi ekspor yang nilai ekonomisnya lebih tinggi. Alangkah baiknya kalau teknologi penginderaan jarak jauh (INDERAJA) tersebut tidak hanya diperkenalkan, namun dapat diterapkan oleh nelayan tradisionil di Indonesia, mengingat luasnya kawasan laut yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentunya memiliki potensi tangkapan ikan juga akan semakin besar. XII. Penutup Inderaja diintegrasikan dengan SIG akan membentuk data base yang dapat digunakan untuk keperluan penyususunan rencana tata ruang wilayah pesisir, Amdal maupun untuk memonitor perubahan fisik dari pantai,air laut, mangrove maupun terumbu karang. Dengan menggunakan citra SPOT yang mempunyai resolusi tinggi, nilai aset fisik sumber daya alam maupun buatan dapat diukur. Secara singkat teknologi Inderaja bila digunakan secara tepat akan meningkatkan efisiensi (data digunakan oleh semua sektor yang ingin mengembangkan wilayah pesisir dan lautan, perhubungan, parawisata, pemukiman dan konservasi), keadilan sosial terwujud (hak-hak masyarakat terpenuhi, akses informasi untuk semua sama), dengan begitu ekosistem akan lestari. Pada penyususunan tata ruang dimana diperlukan masukan dari masyarakat,data Inderaja dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan potensi dan masalah wilayah yang akan direncanakan kepada masyarakat. XIII. Kesimpulan Penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu atau teknik untuk mendapatkan informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dari suatu alat, tanpak kontak langsung dengan objek, wilayah atau gejala tersebut. Perlengkapan yang diperlukan dalam proses penginderaan jauh antara lain: a. Sumber energi, terdiri dari sumber energi alamiah (matahari) dan sumber energy buatan. b. Sensor atau alat pengindera, terdiri dari sensor fotografi (kamera) dan sensor elektronik. c. Wahana atau kendaraan yang digunakan, yaitu pesawat udara atau satelit maupun radar. Produk penginderaan jauh adalah citra, yaitu gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau atau sensor. Citra dapat berupa foto udara dan non foto. Citra foto dapat diklasifikasikan berdasarkan: a. Spektrum elektromagnetik yang digunakan.

b. Sumbu kamera yang digunakan. c. Jenis kamera yang digunakan. d. Jenis wahana yang digunakan. e. Wahana yang digunakan. Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan, foto dibedakan atas foto ultra violet, ortokromatik, pankromatik dan infra merah. Berdasarkan posisi sumbu kamera saat pemotretan, foto dibedakan atas foto udara condong, dan foto udara tegak. Berdasarkan wahana yang digunakan, foto dibedakan atas foto udara dan foto satelit. Termasuk dalam citra non foto antara lain Citra Satelit, Citra Infra Merah Thermal, Citra radar, Citra MSS, dan lain-lain. Wahana yang digunakan dalam pembuatan citra non foto antara lain satelit dan radar. Beberapa contoh satelit Penginderaan jauh adalah SPOT, NOAA, GMS, Landsat dan sebagainya. Wahana radar adalah SLAR. Untuk menganalisis foto udara dengan baik, harus diperhatikan bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur dan situs dari objek yang sedang diamati. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem yang men-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spatial (keruangan) mereferensikan kepada kondisi bumi. Kemampuan sistem informasi geografis (SIG) untuk analisa hidrologi antara lain untuk mengidentifikasi daerah rawan banjir, mengkaji pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak, pendeteksian konsentrasi aliran permukaan, pemetaan potensi rawan banjir, pemetaan erosi DAS, megidentifikasi potensi kekeringan, menganalisis sedimentasi, megukur muka laut, serta manfaat lain bagi para nelayan.

Vous aimerez peut-être aussi