Vous êtes sur la page 1sur 25

ASPEK HUKUM MEDIA MASSA

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-
norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999).

Pers nasional dalam menyiarkan inIormasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan
kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta
dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
(Penjelasan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999).

Analisis:
Pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia memiliki kewajiban untuk
memberitakan setiap peristiwa dan menuliskan setiap opini yang berhasil dihimpun dengan tetap
memperhatikan setiap norma yang berlaku terutama norma yang berkembang di masyarakat.
Setiap pemberitaan yang berhasil dihimpun oleh pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers
Indonesia berkewajiban untuk menaati hukum dengan tidak menjadi hakim atas suatu kasus atau
memberi kesempatan terbentuknya opini masyarakat yang pada pokoknya dapat berbeda dengan
pendapat hakim yang menangani kasus tersebut. Perusahaan pers Indonesia juga berkewajiban
berlaku adil dengan mengakomodasi semua kepentingan yang terkait dengan pemberitaan yang
berhasil dihimpun.
Pers asing tidak memiliki kewajiban ini, namun terhadap pemberitaan dari pers asing dapat
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran di Indonesia.

Perusahaan pers dilarang memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan
atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa
kesusilaan masyarakat.
(Pasal 13 huruI a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999).

Analisis:
Setiap iklan yang dimuat dalam setiap perusahaan pers wajib menaati norma terutama norma
yang berlaku di masyarakat. Baik tulisan, gambar, perkataan, maupun media lain untuk
menyampaikan maksud pembuat iklan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat seperti
penistaan terhadap agama tertentu, penghinaan terhadap tokoh agama dan masyarakat serta
aspek-aspek kesusilaan misalnya iklan kondom dengan menampakan hal-hal yang bukan
konsumsi publik dan sebagainya.

Pelanggaran ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 13 huruI a dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999).

Analisis:
Setiap pelanggaran terhadap ketentuan yang melindungi masyarakat atau setidak-tidaknya dapat
menimbulkan keresahan masyarakat akan mendapat sanksi pidana, baik pidana penjara maupun
pidana denda.

HIERARKI PER-UU-AN
Dalam kerangka berIikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori StuIIen Bow karya Hans Kelsen
(selanjutnya disebut sebagai Teori Aquo). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas
mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.
Namun sekarang Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positiI di Indonesia dalam
bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang
menganai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositiIkan dalam Undang-
Undang Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut sebagai UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2004). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004 setidak-tidaknya mengatur
mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk peraturan perundang-undangan.
Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung
perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti. Kemudian, pergantian tersebut ditandai
dengan adanya undang-undang terbaru mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan 2011; download klik disini --~ UU 12/2011). UU Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan 2011 secara umum Secara umum memuat materi-materi pokok
yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-
undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan; perencanaan
Peraturan Perundangundangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang;
pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah.
Sebagai penyempurnaan terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2004, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 memuat materi muatan baru yang
ditambahkan, yaitu antara lain:
a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis
Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya
untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan,
peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
I. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang
ini.

Sedangkan baik UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004, maupun UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011, sama-sama mengatur mengenai Teori Aquo.
Adapun sebelumnya, dalam Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004
mengatur Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai
berikut:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
c. Peraturan Pemerintah,
d. Peraturan Presiden,
e. Peraturan Daerah

Sedangkan Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 mengatur
Teori Aquo pada bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
b. Ketetapan Mafelis Permusyawaratan Rakyat,
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
d. Peraturan Pemerintah,
e. Peraturan Presiden,
f. Peraturan Daerah Provinsi, dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994 sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan meyebutkan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum
dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

DeIinisi Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetufuan bersama Presiden.

DeIinisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dalam Pasal 1 angka 4
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

DeIinisi Peraturan Pemerintah diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menfalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

DeIinisi Peraturan Presiden diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menfalankan perintah Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau
dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.`

DeIinisi Peraturan Daerah Provinsi diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetufuan bersama Gubernur.`

DeIinisi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetufuan bersama
Bupati/Walikota.

Dengan demikian, secara sederhana terdapat tambahan yang serta perubahan dari UU
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004 kepada UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan 2011 yaitu :
1. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat menjadi norma yang mengacu dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus menjadi acuan
dari Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
2. Peraturan Daerah Provinsi (sebelumnya Peraturan Daerah) menjadi norma yang
mengacu pada Peraturan Presiden, dan sekaligus menjadi acuan dari Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (sebelumnya Peraturan Daerah) menjadi norma
yang mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi.

Kemudian yang pasti menjadi menarik adalah mengenai Ketetapan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat yang kembali dikenal sebagai peraturan perundang-undangan setelah
dihilangkan selama 7 tahun (2004-2011) dalam urutan peraturan perundang-undangan. Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat ini ternyata diatur dalam bagaian Penjelasan UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan 2011 yaitu :

Ketetapan Mafelis Permusyawaratan Rakyat` adalah Ketetapan Mafelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Mafelis Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Mafelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor. I/MPR/2003 tentang Peninfauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Mafelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Mafelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003.

Namun patut disayangkan hingga sekarang, walaupun adanya Ketetapan Majelis
Pemusyawaratan Rakyat ditetapkan sebagai norma lebih tinggi dari undang-undang/peraturan
perundang-undangan (PERPU); ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat belum diaplikasikan
dalam undang-undang selanjutnya sebagai dasar acuan pembuatan undang-undang/PERPU.
Sebagai contoh dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
pada bagian MENGINGAT yang masih mendasarkan hanya pada (tidak memuat mengenai
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat) :

'1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat
(3) dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945,
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesefahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4967),

Dan juga, contoh ketiadaan nyata, dari Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat
sebagai dasar dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Pertanggungjawaban atas
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 pada bagian
MENGINGAT mengatur pada ketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 23 ayat (1) dan Pasal
23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286),
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4355),
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389),
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400),



,


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BeIakang
Adanya kasus-kasus penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Perempuan (TKW) dari
ndonesia di negara-negara tujuan telah menunjukkan adanya pelanggaran hak-hak
perempuan sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia. Kasus-kasus
penganiayaan terhadap TKW ndonesia telah terjadi sejak dulu. Pada tahun 2007, TKW
asal Desa Ngrangkah Pawon, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jatim, Endah
Sugiarti (24) disiram air keras oleh majikannya di Hongkong.[1] Selain itu terdapat pula
kasus-kasus penganiayaan lain yang terjadi dan dialami oleh para TKW khususnya di
Arab Saudi. Jumlah kasus penganiayaan terhadap TKW di Arab Saudi tertinggi di
seluruh negara penempatan TK. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TK, sepanjang Januari-Juni 2007 saja tercatat 118 kasus. 20 kali lipat
lebih tinggi bila dibandingkan kasus serupa di Malaysia yang hanya 6 kasus. Selain
penganiayaan, juga tercatat 118 kasus pelecehan seksual. Padahal di negara-negara
Asia Pasifik seperti Malaysia, Hongkong, Singapura dan Taiwan jumlah kasus
pelecehan seksual hanya 9.Bahkan jumlah kasus pemutusan hubungan kerja secara
sepihak di negara itu mencapai 1.127 kasus. Dua kali lipat dibandingkan kasus yang
terjadi di seluruh negara Asia Pasifik.[2]
Salah satu kasus penganiayaan terhadap TKW yang baru-baru ini terjadi adalah
kasus penganiayaan terhadap Siti Hajar. TKW asal Garut,Jawa Barat akhir-akhir ini
ramai diperbincangkan terkait penyiksaan terhadap dirinya oleh majikannya di
malaysia.Kasus Siti hajar ini bukanlah yang pertama yang diterima oleh para TKW
ndonesia di Malaysia, sebelumnya sudah banyak kasus-kasus yang seperti ini. Kali ini
Kasus Siti hajar yang menyita banyak perhatian masyarakat.Betapa kejamnya warga
negara malaysia dan tak henti-hentinya membuat masalah dengan negara ini. Siti Hajar
mengalami penyiksaan berat oleh majikannya Hau Yuang Tyng alias Michele. Selama
bekerja 34 bulan di rumah majikannya, Siti juga tidak pernah mendapatkan gaji. Karena
tak tahan dengan perlakuan majikannya, Siti Hajar kabur dari rumah majikannya dan
menumpang taksi yang kemudian membawanya ke KBR Kuala Lumpur.[3]
Adanya tindakan penganiayaan yang dilakukan terhadap TKW ndonesia
tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan terkait dengan hak asasi
manusia.[4] HAM sejatinya adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang
Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti dengan
hak-haknya itu manusia dapat berbuat sesuatu yang dikategorikan melanggar hak asasi
orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.[5] Oleh karena
itulah hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang ini harus diikuti juga dengan
sikap dan perilaku manusia lainnya untuk menghormati keberadaan hak asasi manusia
yang dimiliki setiap orang. Penghormatan tersebut tentunya dilakukan dengan tidak
melakukan pelanggaran HAM [6] oleh pihak lain terhadap diri seseorang.
Penghormatan atas HAM yang diharapkan pada pribadi seseorang tentunya tidak dapat
kita temukan dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi pada TKW-TKW asal
ndonesia di luar negeri.
Salah satu jenis dan ranah hak asasi manusia yang terlanggar dengan adanya
kasus-kasus penganiayaan TKW asal ndonesia adalah hak-hak perempuan. Setiap
perempuan mempunyai hak-hak khusus yang berkaitan dengan hak asasi manusia
yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Dalam undang-undang HAM, hak-hak
perempuan dilindungi dalam beberapa macam, antara lain :[7]
1. Hak-hak perempuan di bidang politik dan pemerintahan
2. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan
3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran
4. Hak-hak perempuan di bidang ketenagakerjaan
5. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan
6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum
7. Hak-hak perempuan dalam ikatan/ putusnya perkawinan
Terkait dengan adanya kasus-kasus penganiyaan terhadap TKW di luar negeri
maka hak perempuan yang telah dilanggar adalah hak-hak perempuan di bidang
ketenagakerjaan dan di bidang kesehatan. Adanya kasus-kasus tersebut telah
menyadarkan kita bahwa di samping perbuatan-perbuatan dari pelaku yang bersifat
kriminal atau tindak pidana, perbuatan pelaku juga merupakan perbuatan yang telah
melanggar hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan.
Karena itulah pada penulisan makalah kali ini penulis akan berusaha
menjelaskan hak-hak perempuan apa saja yang telah dilanggar atas kasus-kasus TKW
yang telah terjadi, khususnya pada kasus penganiayaan yang dialami oleh Siti Hajar
yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Penulisan dilakukan
dengan melakukan analisa terhadap kasus dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Peraturan-peraturan yang terkait antara lain;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Dasar 1945, Convention On the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women (1979)/ CEDAW dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
Universal Declaration of Human Rights /Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1947),
Internasional Covenant on Civil and Political Rights / CCPR, Konvensi nternasional
tentang Hak-Hak Politik Wanita, Kovenan nternasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya / ECOSOC, Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin,
Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita, Konvensi Melawan Diskriminasi Dalam
Pendidikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Atas dasar analisa itulah maka penulis akan membuat makalah dengan judul
"Pelanggaran Hak-Hak Perempuan Atas Penganiayaan yang Dilakukan Terhadap
Tenaga Kerja Wanita Asal ndonesia di Luar Negeri.
B. Pokok PermasaIahan
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun sebelumnya penulis akan mengangkat
pokok permasalahan yang terkait dengan kasus-kasus penganiayaan TKW dan hak-
hak perempuan yang telah dilanggar. Pokok permasalahan dalam penulisan makalah
kali ini yaitu ; Bagaimanakah pelanggaran yang terjadi atas hak-hak perempuan
berdasarkan instrumen internasional dan nasional dikaitkan dengan kenyataan adanya
penganiayaan yang terjadi terhadap TKW?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak-Hak Perempuan
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang perempuan terkadang mendapatkan
diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik
dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang
dilaluinya dalam masyarakat. Dengan adanya diskriminasi inilah maka kemudian
banyak pihak terutama perempuan sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak
perempuan sebagai salah satu jenis hak asasi manusia yang harus dapat diakui dan
dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih
dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi perempuan.
Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah
hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum
tentang hak asasi manusia.[8] Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan
mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem
hukum tentang hak asasi manusia. System hukum tentang hak asasi manusia yang
dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah
internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat
dalam system hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit
maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat
pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini
dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.
Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan
jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tersebut. Jenis hak-
hak perempuan yang ada, antara lain:
. Hak-Hak Perempuan di Bidang PoIitik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang
sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan
dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang
politik, antara lain :
a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam
perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk
menentukan wakil rakyat di pemerintahan
c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-
pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan
pemerintah dan politik negara tersebut.
Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat
ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan
dalam bahasa yang umum dalam Pasal 21 DUHAM butir 1 dan 2, Pasal 25 CCPR,.
Sedangkan dasar hukum yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan
tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi
Hak-Hak Politik Perempuan.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan
dalam instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai
berikut : "sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan
sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan
wanita sesuai persyaratan yang ditentukan".
. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan
Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk
mendapatkan kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal.
Misalnya seseorang yang hidup dan tinggal di negara ndonesia, sesuai dengan
Undang-Undang Kewarganegaraan maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan ndonesia. Apabila
syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi maka setiap orang tersebut mempunyai hak
untuk mendapatkan kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai salah satu hak
yang harus dipenuhi terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak yang
sama untuk mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di
negara terkait.
Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan tersebut
dapat ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat
ditemukan dalam bahasa yang umum dalam Pasal 15 DUHAM yang berbunyi :
. "Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan
2. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari
kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraannya".
Sedangkan dasar hukum dalam ranah internasional yang menggunakan
bahasa yang lebih khusus dan spesifik dapat ditemukan dalam Pasal 9 CEDAW,
Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin, Pasal 1
Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan. Dimana dari dasar hukum tersebut
dapat diketahui bahwa seorang perempuan mempunyai hak untuk memperoleh,
mengganti atau mempertahankan kewarganegaraanya akibat perkawinannya dengan
seorang pria. Dan setiap negara dari asal perempuan tersebut harus dapat menjamin
keberadaan haknya tersebut.
Dalam ranah nasional, dasar hukum mengenai hak perempuan di bidang
kewarganegaraan dapat ditemukan dalam Pasal 47 UU HAM yaitu "seorang wanita
yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis
mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk
mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status
kewarganegaraannya." si pasal tersebut jika dibandingkan dengan pengaturan
internasional terkait yang ada mempunyai pengaturan yang hampir sama. Dengan
kata lain pengaturan hak-hak perempuan di ndonesia merupakan adaptasi dari
pengaturan yang ada dalam ranah internasional. Dengan demikian jaminan atas hak
perempuan tersebut tentunya selain diakui di ndonesia namun juga diakui dalam
tingkat internasional.
. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran
Pendidikan adalah dasar yang paling penting bagi kehidupan manusia.
Dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari
kualitas akal, pemikiran, perilaku hingga ekonomi. Dan pendidikan tersebut tentunya
didapatkan dengan pengajaran. Pengajaran harus diberikan pada setiap orang untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Oleh karena itulah maka
kemudian setiap manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran, tidak terkecuali untuk semua perempuan. Setiap perempuan sama
halnya dengan setiap pria mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran.
Atas dasar itulah maka kemudian dalam instrumen internasional dapat kita
temukan pengaturan-pengaturan yang menjamin hal tersebut. Pengaturan tersebut
dapat bersifat umum untuk semua orang, maupun bersifat khusus untuk setiap
perempuan. nstrumen internasional yang bersifat umum antara lain dapat ditemukan
dalam Pasal 26 (1) DUHAM. Sedangkan yang bersifat lebih khusus dapat ditemukan
dalam Pasal 10 CEDAW, Pasal 13 ayat (2) Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi
Sosial dan Budaya, Pasal 4 (d) Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan.
Selain itu pengaturan mengenai hak tersebut dapat juga kita temukan dalam
instrumen nasional kita. Pengaturan yang bersifat lebih umum dapat kita temukan
pada Pasal 31 (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dan yang bersifat lebih khusus
melindungi hak perempuan dapat ditemukan dalam Pasal 48 UU HAM yang
menyebutkan bahwa "Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran
di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan".
. Hak-hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan
Berkaitan dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan, terdapat
hak-hak yang harus didapatkan perempuan baik sebelum, saat, maupun sesudah
melakukan pekerjaan. Sebelum mendapat pekerjaan, seorang perempuan
mempunyai hak untuk diberikan kesempatan yang sama dengan pria untuk
mendapatkan pekerjaan yang seseuai dengan kemampuannya, sehingga mereka
perempuan harus dapat dilakukan seleksi terhadapnya tanpa ada diskriminasi
apapun. Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan juga mempunyai hak-hak
yang harus dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya,
mendapatkan kondisi kerja yag aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk
dapat meningkatkan pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak
untuk mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya. Setelah
mendapat pekerjaan, tentunya ada saatnya ketika perempuan harus berhenti dan
meninggalkan pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu berakhir, seorang perempuan
juga mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil dan sesuai dengan
kinerja dan kualitas pekerjaan yang dilakukannya.
Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan
dalam Pasal 23 DUHAM, Pasal 6 ayat (1), 7 dan Pasal 8 ayat 1 butir (a) dan (b)
Konvensi nternasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana
didalamnya diatur hak-hak seseorang atas suatu profesi dan pekerjaan yang berlaku
bagi semua orang. Dan pada Pasal 11 CEDAW, Pasal 3 Konvensi tentang Hak-Hak
Politik Perempuan, dapat ditemukan adanya perlindungan hak tersebut yang
diberlakukan lebih khusus kepada semua perempuan.
Dalam instrumen nasional mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 76
Undang-Undang Nomor 76 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM
disebutkan bahwa "Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-
undangan".
. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan
Perlu diketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak-hak perempuan di
bidang kesehatan adalah penjaminan kepada para perempuan untuk mendapatkan
perlindungan yang lebih dan khusus. Hal ini terutama akibat rentannya kesehatan
wanita berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Seorang wanita telah mempunyai
kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengalami kehamilan, menstruasi setiap
bulan dan juga kekuatan fisik yang lebih lemah dibandingkan pria. Adanya hal-hal
tersebut inilah maka kemudian dirasakan perlu untuk melakukan perlindungan yang
lebih khusus kepada mereka perempuan.
Dalam instrumen internasional mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal
25 (2) DUHAM yang berbunyi "ibu dan anak berhak mendapat perhatian dan bantuan
khusus. Semua anak baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
menikmati perlindungan sosial yang sama". Dan pada Pasal 12 ayat (1) Konvensi
nternasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta dalam Pasal 11 butir
(f), Pasal 12 dan Pasal 14 CEDAW. Sedangkan untuk instrumen nasional dapat
ditemukan dalam Pasal 28 H UUD 1945 yaitu "setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat
serta berhak memperoleh kesehatan". Adanya dasar pengaturan ini menunjukkan
bahwa negara kita menjamin setiap warganya untuk mendapatkan jaminan
kesehatan dari negara. Khusus untuk setiap wanita perlindungan kesehatan
dijaminkan lebih lagi dalam Pasal 49 (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM yang menyebutkan bahwa "perempuan berhak untuk mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal
yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita".
. Hak-hak perempuan untuk meIakukan perbuatan hukum
Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang
sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini
seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan
pria. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran bagi para perempuan
bahwa setiap perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata
hukum, sehingga kemudian muncul salah satu hak perempuan lainnya yang diakui
baik di tingkat internasional maupun nasional.
Dasar hukum dalam instrumen internasional atas hak-hak perempuan ini secara
umum dapat ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 26
Kovenan nternasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara khusus dalam
Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam instrument nasional dasar hukum atas hak-hak ini
dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi "wanita yang telah dewasa
dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali
ditentukan lain oleh hukum agamanya".
Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan yang berhubungan dengan
hukum dan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang menimpa
perempuan di ndonesia diantaranya :[9]
1. Kekerasan terhadap perempuan
2. Perempuan sebagai korban perkosaan
3. Perempuan sebagai pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi
4. Perempuan dan aborsi
5. Perempuan dan pornografi dan pornoaksi
6. Perdagangan perempuan
. Hak-hak perempuan daIam ikatan /putusnya perkawinan
Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa
harus melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas
putusnya perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu
kedua belah pihak juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta
bersama dengan persentase yang adil.
Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat
ditemukan dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 16 butir (c) sampai dengan butir (g)
CEDAW. Dan dalam instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 51 ayat (1)
dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :
2) "Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan
tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik
bagi anak".
) "Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan".
B. KronoIogis Kasus
Untuk mengetahui bagaimana pelanggaran yang terjadi atas hak-hak perempuan
berdasarkan instrumen internasional dan nasional dikaitkan dengan kenyataan adanya
penganiayaan yang terjadi terhadap TKW, maka pada penulisan kali ini penulis akan
memaparkan salah satu kasus penganiyaan TKW yang baru-baru ini terjadi dan
menjadi perhatian publik dan pemerintah. Kasus yang dimaksudkan adalah kasus
penganiayaan yang terjadi pada Siti Hajar yaitu TKW yang bekerja di Malaysia. Berikut
akan dipaparkan bagaimana kronologis terjadinya kasus hingga bagaimana dia bisa
lolos dan ditolong oleh pihak pemerintah ndonesia. Kasus Siti Hajar seorang TK yang
disiksa oleh majikannya Hau Yuan Tyng (Michele):[10]
W Pada hari Senin tanggal 8 Juni 2009 pukul 08.30 seorang TK a.n. Siti Hajar datang ke
KBR Kuala Lumpur untuk meminta perlindungan atas penyiksaan fisik (disiram air
panas) yang dialaminya dari majikannya.
W KBR Kuala Lumpur, pada hari Senin 8 Juni 2009 memanggil majikan a.n. Hau Yuan
Tyng (Michele), Mr. Mark Neo dari Agensi Pekerja Venture Provision dan Sdri. Tanti,
Wakil dari PT. Mangga Dua Mahkota di Kuala Lumpur. KBR Kuala Lumpur
menyampaikan 2 hal kepada majikan, yaitu akan meneruskan kasus ini melalui jalur
hukum dan meminta pembayaran gaji Siti Hajar selama 34 bulan sebesar RM.
17.000 (gaji: RM. 500/bulan).
W KBR Kuala Lumpur, telah membawa Siti Hajar membuat laporan Polisi di Balai Polis
Mont Kiara, Sri Hartamas. Selanjutnya kasus Siti Hajar ditangani oleh nvestigation
Officer/O nspektur Zul dari bu Pejabat Polis Daerah/PD (setingkat Polres)
Brickfields.
W Setelah membawa Siti Hajar membuat laporan polisi, KBR Kuala Lumpur kemudian
telah membawa Siti Hajar ke Pusat Perubatan Universitas Malaya (PPUM) untuk
dilakukan visum et repertum dengan didampingi O dan saat ini Siti Hajar
dirawat/diopname di PPUM guna mendapatkan rawatan lebih lanjut.
W Majikan Siti Hajar pada hari Senin, 8 Juni 2009 pukul 19.00 telah diserahkan oleh
KBR Kuala Lumpur kepada Polisi Malaysia untuk proses penahanan.
W Pada tanggal 9 Juni 2009, Duta Besar R menjenguk Siti Hajar di Pusat Perubatan
Universiti Malaya (PPUM). Dalam kesempatan tersebut, Siti Hajar dihubungkan
secara langsung melalui telepon untuk berbicara dengan keponakannya bernama
Asep. Duta Besar R juga berbicara langsung dengan keluarga Siti Hajar di
ndonesia untuk menginformasikan keadaan Siti Hajar saat ini, dan langkah-langkah
yang dilakukan KBR Kuala Lumpur untuk melakukan pendampingan terhadap Siti
Hajar.
W Pada hari Rabu, 10 Juni 2009 kakak dari majikan Siti Hajar telah menyerahkan hak
Siti Hajar melalui KBR yaitu berupa pembayaran gaji selama 34 bulan sebesar RM
17.000.
W Pada saat Duta Besar Da'i Bachtiar mengunjungi Siti Hajar (TK korban
penganiayaan) tanggal 11 Juni 2009 jam 11.45, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menelefon dan kemudian berbicara langsung dengan Siti Hajar. Siang
hari tanggal 12 Juni 2009, KBR Kuala Lumpur telah mempertemukan Siti Hajar
dengan keluarganya yaitu Sdri Nani Suryani (kakak kandung Siti Hajar) dan Sdr.
Samsul Rizal (keponakan Siti Hajar). Pertemuan Siti Hajar dengan keluarganya
setelah lebih kurang 3 tahun tidak berjumpa, berlangsungdalam suasana yang
mengharukan di lobby KBR Kuala Lumpur.
W Sementara menunggu proses penyelidikan lebih lanjut dari pihak Kepolisian dan
proses penyembuhannya, Siti Hajar ditempatkan di penampungan sementara KBR
Kuala Lumpur. Klinik kesehatan di penampungan sementara KBR Kuala Lumpur,
telah dirubah menjadi ruangan khusus dengan fasilitasi yang cukup memadai bagi
Siti Hajar.
D. AnaIisa Kasus
Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa Siti Hajar telah mendapat perlakuan yang
tidak adil terutama dari pihak majikannya. Ketidakadilan ini terjadi dalam ranah hak
asasi manusia khususnya hak perempuan. Dalam kasus tersebut dapat diketahui
bahwa Siti Hajar telah dilanggar hak-haknya dalam bentuk :
1. Telah dilakukan penganiayaan terhadap Siti Hajar dalam bentuk pemukulan dan
penyiraman air panas ke tubuh dan mukanya.
2. Selama 34 bulan bekerja, Siti Hajar tidak mendapatkan haknya berupa gaji atau
imbalan atas kerja kerasnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Apabila melihat kasus tersebut maka dapat diketahui bahwa Siti Hajar telah
dilanggar hak-hak asasinya terutama hak-hak perempuan karena kodratnya sebagai
perempuan. Hal ini dapat diketahui dengan melihat pengaturan yang ada mengenai
hak-hak perempuan baik dalam instrumen internasional maupun nasional. Hak-hak
perempuan yang telah dilanggar oleh majikannya antara lain adalah :
. Hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan
Hak perempuan dalam bidang ini adalah terkait dengan adanya hak-hak
perempuan sebelum, sesaat dan sesudah bekerja. Terkait dengan kasus yang terjadi
pada Siti Hajar, maka pelanggaran atas haknya dilakukan oleh majikannya di saat ia
bekerja. Pelanggaran hak yang dilakukan majikannya terkait dengan hak perempuan
di bidang profesi dan ketenagakerjaan adalah tidak adanya pembayaran gaji
terhadap Siti Hajar setelah 34 bulan bekerja kepada majikannya.
Hal ini tentunya bertentangan dengan dasar hukum atas hak perempuan
tersebut, yaitu pada Pasal 11 butir (d) CEDAW yang menyebutkan bahwa "setiap
wanita dan pria mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengupahan yang
sama, termasuk semua kemanfaatan dan atas perlakuan yang sama, dalam hal
pekerjaan yang bernilai sama, seperti halnya persamaan perlakuan di dalam
penilaian mengenai kualitas pekerjaan". Dengan demikian seharusnya majikan dari
Siti Hajar dapat membayarkan upah yang seharusnya menjadi hak darinya. Karena
atas haknya tersebut Siti Hajar telah dijamin dan diakui oleh peraturan dalam lingkup
internasional.
Selain itu bila melihat instrumen hukum nasional kita, maka terkait dengan
kasus Siti Hajar tersebut peraturan perundang-undangan yang terkait adalah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada
Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan
kata lain setiap pekerja baik itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
untuk mendapatkan imbalan atas pekerjaannya dalam bentuk gaji. Pembayaran
upah atau gaji ini tentunya merupakan kewajiban dari pengusaha/ majikan sebagai
pihak yang memperkerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan dari keberadaan
mereka. Sehingga sudah seharusnyalah majikan dari Siti Hajar tersebut membayar
gajinya selain karena itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhinya hal tersebut
juga merupakan hak dari pekerja yang harus dihormati dan dijaminkan oleh mereka.
. Hak perempuan di bidang kesehatan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat penjaminan yang
lebih khusus diberikan kepada seorang perempuan terkait dengan kesehatan yang
dimilikinya. Hal ini dikarenakan kodrat wanita yang berbeda dengan pria dalam hal-
hal tertentu seperti perempuan harus mengalami menstruasi, mengalami kehamilan
hingga kekuatan fisik yang lebih lemah dari seorang pria. Hak atas kesehatan ini
dijaminkan kepada setiap perempuan bukan hanya dalam kehidupannya sehari-hari
di masyarakat namun juga ketika mereka sedang melakukan pekerjaan. Atas
seorang pekerja harus dilakukan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan
kerjanya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya pengaturan dalam Pasal 86 (1)
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi "setiap pekerja / buruh mempunyai
hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja
b. Moral dan kesusilaan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama".
Dengan demikian dapat diketahui bahwa seorang pekerja harus mendapatkan
perlindungan atas kesehatan dan keselamatan ketika melakukan pekerjaan. Terkait
dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar maka dapat diketahui bahwa Siti Hajar
tidak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatannya ketika bekerja.
Dengan dilakukannya penganiayaan dan penyiksaan terhadapnya maka
keselamatan Siti Hajar ketika melakukan pekerjaan tidaklah terlindungi. Selain itu
dengan adanya penyiksaan tersebut maka perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia juga tidak terlindungi. Seseorang yang dipukul dan disiram air
panas karena kesalahan kecil merupakan hal yang tidak sesuai dengan harkat dan
martabat manusia. Siti Hajar diperlakukan seperti bukan manusia yang bermartabat
dan berbudi. Ketika perlindungan tidak terjadi maka salah satu dampak yang terjadi
adalah adanya penganiayaan yang dialami oleh Siti Hajar yang berakibat pada
keadaan Siti Hajar yang harus dirawat di rumah sakit dengan tubuh yang babak belur
dan tidak lagi sehat. Dengan demikian maka hak atas kesehatan yang seharusnya
didapatkan oleh menjadi terlanggar.
Perlindungan atas hak kesehatan seseorang juga dapat ditemukan dalam
instrument hukum nasional kita yaitu pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa "setiap orang mempunyai hak
yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal." Pada pasal tersebut
dapat diketahui bahwa secara umum setiap manusia baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan kesehatan, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun ketika bekerja. Hal inilah yang seharusnya dialami oleh Siti
Hajar, sebagai seorang warga Negara ndonesia Siti Hajar harus mendapatkan hak
yang sama untuk memperoleh kesehatan. Karena itulah sudah seharusnya ketika
akibat dari perlindungan yang tidak dapat dilakukan terhadapnya terjadi dan
pelanggaran atas hak terjadi, pemerintah langsung bertindak untuk mengobati dan
mengurus Siti Hajar untuk mendapatkan kesehatannya kembali.
. Hak perempuan untuk meIakukan perbuatan hukum
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam hal hak-hak
permpuan untuk melakukan perbuatan hukum terdapat permasalahan yang dapat
menimpa perempuan ketika berhubungan dengan hukum dan masyarakat. Salah
satu permasalahan yang terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar adalah
kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah suatu
penghambat bagi tercapainya sasaran-sasaran persamaan, pembangunan dan
perdamaian. Kekerasan terhadap kaum perempuan melanggar dan merugikan atau
membatalkan penikmatan kaum perempuan akan hak-hak asasi dan kebebasan
dasarnya. Di semua masyarakat baik di tingkat luas atau yang lebih kecil, perempuan
dan anak-anak perempuan telah menjadi penyalahgunaan fisik, seksual, psikologi,
yang tidak pandang tingkat pendapatan, kelas sosial, dan kebudayaan. Rendahnya
status sosial dan ekonomi para perempuan dapat menjadi sebab maupun akibat dari
kekerasan yang dilakukan terhadap kaum perempuan.[11]
Salah satu sebab yang mengakibatkan adanya kekerasan terhadap
perempuan adalah adanya pandangan bahwa status sosial dan ekonomi para
perempuan mempunyai derajat yang lebih rendah dibandingkan pria. Adanya
pandangan ini bertentangan dengan hak perempuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Hak untuk melakukan perbuatan hukum dapat diartikan bahwa setiap
perempuan mempunyai derajat yang sama di mata hukum. Karena itulah kekerasan
yang terjadi pada perempuan merupakan pelanggaran atas hak perempuan dalam
melakukan perbuatan hukum.
Kekerasan yang dilakukan dalam terhadap perempuan dapat berupa
penyiksaan, penyalahgunaan fisik dan mental dan lain sebagainya. Terkait dengan
kasus yang terjadi pada Siti Hajar, dapat diketahui bahwa telah terjadi penganiayaan
terhadapnya. Penganiayaan yang terjadi pada Siti Hajar dilakukan majikannya dalam
bentuk pemukulan dan penyiraman air panas kepada muka dan tubuh Siti Hajar.
Atas kekerasan yang dialami oleh Siti Hajar perlu diketahui bahwa hal tersebut
menandakan adanya pandangan dari majikannya bahwa status sosial perempuan
khususnya Siti Hajar mempunyai derajat yang berbeda dengannya. Karena itulah
maka kemudian dia merasa bahwa tindakan kekerasan yang dilakukannya adalah
hal yang wajar diterima oleh Siti Hajar sebagai seorang pembantu rumah tangga.
Adanya pandangan tersebut menimbulkan pertentangan dengan hak perempuan
yang mempunyai derajat yang sama di mata hukum dengan pihak manapun.
Persamaan derajat seseorang di mata hukum tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
CEDAW yang berbunyi bahwa "negara peserta akan memberikan kepada
perempuan persamaan dengan pria di depan hukum".
Dengan melihat analisa kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan
adanya penyiksaan yang dilakukan terhadap tenaga kerja wanita ndonesia di luar
negeri telah terjadi pelanggaran atas hak-hak perempuan yang terkait dengan hak asasi
manusia. Pelanggaran tersebut dapat terjadi akibat factor-faktor terkait yang
memperbesar kemungkinan dilakukannya pelanggaran. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1. Kurangnya pengetahuan dari TKW sendiri mengenai hak asasi manusia
khususnya hak-hak perempuan. Dimana jika TKW mengetahui hal tersebut
mereka dapat berusaha mendapatkan dan mempertahankan hak-haknya.
2. Kurangnya perlindungan hukum bagi TKW saat berada di luar negeri. Sehingga
jikalaupun terjadi pelanggaran, akan sulit melakukan penegakkan hukum
terhadapnya.
3. Kurangnya perhatian dari pemerintah untuk menjamin hak-hak perempuan dari
TKW untuk tidak dilanggar oleh pihak lain terutama majikan dimana mereka
bekerja.
Adanya faktor-faktor tersebut maka diharapkan baik dari pihak pemerintah,
penyalur TKW maupun calon-calon TKW sendiri untuk memberikan perhatian yang
lebih kepada permasalahan mengenai hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak
perempuan terhadap calon TKW. Hal ini diharapkan agar kejadian seperti yang
ditimpa oleh Siti Hajar tidak akan terulang kembali di lain waktu.
BAB III
PENUTUP
A. KesimpuIan
Dengan melihat pembahasan dalam bab sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan
adanya penganiayaan yang terjadi pada Tenaga Kerja Wanita ndonesia di luar negeri
telah mengakibatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak-hak
perempuan. Khusus untuk kasus penganiayaan yang terjadi pada TKW ndonesia di
Malaysia yaitu Siti Hajar dapat diketahui bahwa telah terdapat pelanggaran hak-hak
perempuan khususnya hak-hak perempuan yang dimiliki oleh Siti Hajar. Hak-hak
perempuan tersebut antara lain adalah hak perempuan di bidang profesi dan
ketenagakerjaan, yang diakibatkan tidak dibayarnya Siti Hajar oleh majikannya selama
34 bulan bekerja. Selain itu hak perempuan di bidang kesehatan telah dilanggar pula
dengan adanya pemukulan dan tindakan yang tidak bermartabat karena dilakukannya
penyiraman air panas terhadap Siti Hajar. Dan juga telah dilanggar pula hak perempuan
untuk melakukan perbuatan hukum terkait dilakukannya kekerasan terhadapnya.
B. Saran
Dengan adanya fakta-fakta dan pembahasan yang telah ditemukan dalam
penulisan kali ini, maka penulis dalam kesempatan ini akan berusaha untuk
memberikan saran terutama kepada pemerintah. Adanya faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya penganiayaan terhadap TKW tersebut, dapat diketahui bahwa
pihak pemerintah adalah pihak yang paling terkait dengan adanya kejadian tersebut.
Oleh karena itu saran dari penulis akan ditujukan kepada pemerintah agar dilakukan
kembali sosialisasi yang lebih baik dan tajam kepada para calon TKW maupun TKW
mengenai hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan yang merupakan pihak
yang menjadi obyek yang harus dilindungi. Selain itu diharapkan pula pemerintah dapat
melakukan kerjasama yang baik dengan negara-negara tujuan TKW agar perlindungan
hukum atasnya dapat dilakukan dengan maksimal, baik perlindungan yang dilakukan
oleh pemerintah ndonesia maupun pemerintah dari negara tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
ndonesia. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999. LN
No.165. TLN No. 3886.
ndonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No. 23 Tahun 1992. LN No. 100.
TLN No. 3495
ndonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003. LN No.
39. TLN No.4279.
B. BUKU
Yazid, Abdullah, dkk. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. 2008. Malang: Averroes
Press.
Eddyono, Sri Wiyanti. Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW Seri Bahan
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X). 2004. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat.
Hikmah, Mutiara. Hak-hak Perempuan sebagai Modul Mata Kuliah Hukum dan HAM.
C. WEBSTE
Kedutaan Besar ndonesia di Kuala Lumpur. Perlindungan Terhadap WNI di Indonesia.
http://www.kbrikualalumpur.org/pameran/booklet-perlindungan-wni.pdf.
TKW Asal Kediri Disiram Air Keras di Hongkong. http://www.antara.co.id/view. Selasa,
21 Agustus 2007.
Kasus Penganiayaan TKW di Arab Saudi Tertinggi. http://www.tempointeraktif.com.
Jumat, 17 Agustus 2007.
Kasus Penganiayaan Siti Hajar. http://masrois.com/kasus-penganiayaan-siti-hajar.

1 TKW Asal Kediri Disiram Air Keras di Hongkong, http://www.antara.co.id/view,
Selasa, 21 Agustus 2007.
2 Kasus Penganiayaan TKW di Arab Saudi Tertinggi, http://www.tempointeraktiI.com,
Jumat, 17 Agustus 2007.
3 Kasus Penganiayaan Siti Hafar, http://masrois.com/kasus-penganiayaan-siti-hajar.
4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
3 Abdullah Yazid, dkk, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang: Averroes Press,
2008), hal.1.
6 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
7 Pasal 45-51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
8 Sri Wiyanti Eddyono, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW (Seri Bahan
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X), (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
2004), hal. 1.
9 Mutiara Hikmah, Hak-hak Perempuan sebagai Modul Mata Kuliah Hukum dan HAM.
10 Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Perlindungan Terhadap WNI di
Indonesia, http://www.kbrikualalumpur.org/pameran/booklet-perlindungan-wni.pdI.
11 Mutiara Hikmah, Hak-Hak Perempuan Sebagai Modul Hukum dan HAM.

Vous aimerez peut-être aussi