Vous êtes sur la page 1sur 20

METODOLOGI SYARAH HADITS

Apriyanto Ranoedarsono, SHI Pengertian Metodologi Syarah Hadits Sebelum menguraikan langkah-langkah atau metodologi syarah hadits, alangkah baiknya diketahui terlebih dahulu apa itu syarah hadits. Syarah hadits adalah menjelaskan keshahihan dan kecatatan sanad dan matan hadits, menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya1. Dalam definisi yang diungkapkan oleh Mujiyo Nurkholis di atas, syarah hadits meliputi tiga aspek yaitu: 1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadits baik dari segi sanad maupun matan. Dengan kata lain menjelaskan status hadits yang disayarah. 2. Menguraikan makna dan maksud hadits
3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya2

Syarah hadits juga berarti meneliti, kemudian menjelaskan setiap komponen yang terdapat pada sebuah hadits. Secara umum, para ulama hadits menjelaskan ada dua komponen yang terdapat pada sebuah hadits yakni sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Sedangkan matan adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya3. Selain kedua komponen tersebut, untuk kepentingan syarah hadits dijelaskan pula komponen lain yakni asbab al-wurud. Syarah asbab al-wurud ini untuk memberikan pemahaman yang jelas terhadap sebuah hadits. Metode Syarah Sanad Hadits Telah dijelaskan di atas bahwa sanad adalah rangkaian perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya. Dari definisi tersebut diketahui
1 2 3

Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, (Fasygil Grup, Bandung, 2011), hlm 3 Ibid Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (GMP, Jakarta,, 2007), hlm 12

ada tiga unsur utama dalam sanad yakni perawi, shighat al-ada

dan

rangkaian perjalanan matan hadits. Syarah sanad hadits berarti menjelaskan ketiga unsur sanad tersebut. Setelah penjelasan unsur sanad, kemudian dijelaskan pula status hadits tersebut. Diterima atau tidak haditsnya. Shahih, hasan atau dhaifkah hadits tersebut? Termasuk dideskripsikan pula pendapat para ahli hadits tentang keshahihannya. Dalam beberapa kondisi, akan ditemukan perbedaan pandangan para ahli hadits mengenai shahih atau tidaknya hadits yang diayarah. Menjelaskan perawi berati menjelaskan identitas perawi yang meliputi nama, kunyah, laqab dan nisbat mereka. Termasuk biografi dan karakter mereka, baik secara lengkap atau sebatas telah dipandang cukup memadai dalam suatu perkenalan dan dapat menghindarkan kesalahpahaman terhadapnya4. Termasuk yang harus diperhatikan adalah ketika mensyarah nama, kunyah, laqab dan nisbat para rawi adalah perlunya dijelaskan cara bacanya, bahkan dalam keadaan tertentu perlu juga dijelaskan ejaannya, sebab seringkali terjadi tulisan nama, tulisan kunyah, tulisan laqab atau tulisan nisbat dua orang periwayat atau lebih terdiri dari huruf-huruf yang sepenuhnya sama, namun cara membacanya berbeda5. Masih berkenaan dengan identitas rawi, terkadang ditemukan dua nama yang berbeda, baik itu kunyahnya, laqabnya atau nisbatnya, tapi sesungguhnya keduanya adalah nama orang yang sama. Seperti nama Muhammad bin Syihab al-Zuhri. Dalam sanad hadits beliau tidak pernah disebut nama aslinya, melainkan dengan menyebut Ibnu Syihab atau alZuhri. Bagi sebagian orang, Ibnu Syihab dan al-Zuhri itu orang yang berbeda. Padahal Ibnu Syihab itu kunyah sedangkan al-Zuhri adalah nisbat dari orang yang sama6. Untuk mendapatkan keterangan yang memadai tentang problematika ini dibutuhkan kitab-kitab rijal al-hadits yang membahas identitas para rawi dengan tuntas.

4 5 6

Mujiyo Nurkholis, ibid, hlm 59 ibid Ibid, hlm 60

Selain identitas rawi, biografi mereka pun sangat diperlukan untuk menilai bertemu atau tidaknya antara satu rawi dengan yang lainnya. Penilaian bertemu atau tidaknya para perawi akan menentukan bersambung atau tidaknya rangkaian sanad sebuah hadits. Untuk mengetahui biografi rawi, pensyarah hadits harus menguasai ilmu tarikh al-Ruwat. Ilmu ini mencakup penjelasan tentang keadaan para rawi, sejarah kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda, masa belajarnya, sebelum dan sesudah mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan-persoalan hadits7. Sekali lagi ditegaskan bahwa dengan ilmu tarikh al-ruwat seorang pensyarah dapat menilai apakah sanad sebuah hadits muttashil (bersambung) atau munqathi (terputus). Pengetahuan ini sangat penting untuk menjelaskan keshahihan sebuah hadits. Telah diketahui bahwa di antara syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad8. Selain penjelasan tentang rangkaian sanad, karakter rawi juga harus dijelaskan. Apakah ia memiliki karakteristik rawi yang dapat diterima periwayatannya atau tidak. Ajaj al-Khatib menjelaskan ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk menilai dapat diterima atau tidaknya sebuah periwayatan. Keempat syarat tersebut adalah: 1. Islam Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijma ulama baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? 2. Baligh
7 8

Ajaj al-Khatib, ibid, hlm 227 A. Qadhir Hassan, Ilmu Musthalah Hadits, (Diponegoro, Bandung, 2007), hlm. 29

Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh merupakan usia digaan adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan mengahalanginya untuk melakukannya. Kemudian syara juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam masalah keduniawiannya, apalagi dalam masalah agama. Namun walaupun begitu, para ulama memberikan kelonggaran bagi anak yang sudah tamyiz. Yakni bila anak mampu memahami memberikan jawaban, maka ia sudah berstatus mumayyiz. 3. Adil Adil merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa dan memlihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk ke dalamnya, juga sebagian dosa kecil. 4. Dhabt Dhabt adalah keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya menerima ketika mendengarnya serta kepada menghafalnya orang lain. sejak Dhabt sampai menyampaikannya dan mampu

mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya seorang perawi harus benarbenar hafal bilsa ia meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya9. Dua syarat terakhir, yakni adil dan dhabt merupakan karakter yang harus dimiliki oleh seorang perawi. Perawi yang adil dan dhabit dinilai sebagai rawi yang tsiqat. Apabila kedua karakter tersebut tidak sempurna,
9

Ajaj al-Khatib, ibid, hlm 202-204

maka kesempurnaan keadilan periwayat harus diperhatikan daripada ke dabhitannya, karena kecacatan yang berkaitan dengan keadilan berarti kecacatan fatal yang sama sekali tidak dapat ditoleransi, sedangkan cacat yang berkaitan dengan kadhabitan masih dapat ditoleransi, selama tidak parah10. Untuk mengetahui seorang rawi diterima atau tidak periwayatannya, seorang pensyarah hadits harus menguasai ilmu jarh wa al-tadil. Sebuah ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat dari mereka11. Menurut Ajaj al-Khatib, ilmu ini merupakan ilmu hadits yang terpenting, teragung posisinya dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan tadil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda12. Mentajrih merupakan upaya yang cukup sulit, karena diperlukan kejujuran dalam melakukan penilaian, kecermatan dalam meneliti dan menilai, mematuhi etika al-jarh dan tuntas dalam melakukan penelitiannya13. Oleh karenanya tidak semua ahli hadits melakukan tajrih. Bagi seorang pensyarah cukup kiranya merujuk pada kitab-kitab dalam bidang ilmu jarh wa al-tadil ini. Di antara kitabnya adalah:
1. Kitab al-Jarh wa al-Tadil karya Abdurrahman bin Abu Hatim al-Razi

(240-327 H)
2. Kitab al-Tsiqat karya Abu Hatim bin Hibban al-Bustiy (w. 354 H) 3. Kitab al-Kamil Fi Marifat Dhuafa al-Muhadditsin wa Ilal al-Hadits karya

al-Hafidz Abdullah bin Muhammad bin Addiy al-Jurjaniy (277-365 H)


4. Kitab Mizan al-Itidal karya Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahamd

al-Dzahabiy (673-748 H)
5. Kitab Lisan al-Mizan karya al-hafidz Syihabuddin Ahmad bin Ali bin

Hajar al-Atsqalaniy (773-852 H)


10 11 12 13

Mujiyo Nurkolis, ibid, hl. 61 Ajaj al-Khatib, ibid, hlm 233 Ibid, Ibid, hlm 238-240 diringkas

Setelah diketahui identitas dan biografi seluruh perawi, kemudian menilai karakter masing-masing perawi, maka selanjutnya ditentukan status hadits yang disyarah, apakah shahih, hasan atau dhaif. Apakah hadits tersebut bisa diterima atau tidak. Namun, kajian yang berbasis ilmu rijal alhadits ini tidaklah cukup. Karena boleh jadi, setelah dikaji dengan ilmu tarikh al-ruwat dan dinilai dengan ilmu al-jarh wa al-tadil, ditemukan juga sanad yang cacat. Oleh karenanya, hasil penelitian dengan menggunakan kedua ilmu tersebut perlu diuji dengan ilmu ilal al-hadits. Ilmu ilal al-hadits segi adalah ilmu yang membahas sebab-sebab seperti tersembunyi dari keberadaannya mencacatkan hadits,

memuttashilkan yang munqathi, memarfukan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits lain, mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang sejenis14. Dengan ilmu ini sebuah hadits yang sanadnya dianggap tsiqat akan terkuak apakah ia memiliki illat atau tidak. Dalam mensyarah hadits, seorang pensyarah harus merujuk pada kitab-kitab yang membahas ilal al-hadits. Berikut ini adalah di antara kitab yang membahas ilmu tersebut: 1. Kitab al-Tarikh wa al-Ilal karya al-Imam al-Hafidz Yahya ibn Main (158 233 H) 2. Kitab Ilal al-hadits karya Imam ahmad ibn Hanbal (164 241 H) 3. Kitab al-Musnad al-Muallal karya al-Hafidz Yaqub ibn Syaibah alSadusiy al-Bashriy (209 262 H)
4. Kitab al-Ilal karya al-Imam Muhammad ibn Isa al-Tirmidzi (209

279 H)15 Setelah meneliti kualitas perawi, perlu juga diteliti jumlah perawi yang meriwayatkan sebuah hadits pada berbagai tingkatan. Sampai pada tingkatan sahabat. Hal ini diperlukan untuk menentukan status haditsnya, apakah hadits ahad (istilah lain fard atau gharib), aziz, masyhur atau mutawatir. Apabila sahabat yang meriwayatkan itu hanya satu orang, maka
14 15

Ajaj al-Khatib, ibid, hlm 263 Ibid, hlm 265

sanad yang bersangkutan dinamai sebagai sanad yang padanya terjadi tafarrud dan hasditsnya disebut sebagai hadits fard atau gharib (atau ahad). Apabila jumlah mereka dua atau tiga orang, maka disebut sebagai sanad atau hadits aziz. Apabila jumlah mereka lebih dari tiga orang dan masih mudah dihitung, maka disebut sebagai sanad atau hadits masyhur. Apabila jumlah mereka sangat banyak, maka disebut sebagai sanad atau hadits mutawatir16. Untuk mempermudah, seorang pensyarah bisa melihat kitab-kitab hadits yang disusun atas dasar jumlah sahabat yang meriwayatkannya, seperti kitab al-azhar al-Mutanatsirah yang disusun oleh al-Suyuthi dan kitab Nadzam al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawatir karya Ibnu Jafar al-Kattani17. Dari uraian di atas, terlihat jelas langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mensyarah sanad hadits. Secara ringkas langkah-langkah tersebut adalah: 1. Menjelaskan identitas dan biografi perawi dengan menggunakan ilmu tarikh al-ruwat
2. Meneliti kualitas perawi dengan menggunakan ilmu al-jarh wa al-tadil,

kemudian menjelaskannya 3. Mengetahui kecacatan sanad hadits dengan menggunakan ilmu ilal hadits, kemudian menjelaskannya 4. Menjelaskan jumlah sahabat yang meriwayatkan hadits Demikian langkah-langkah syarah sanad hadits. Namun karena adanya alasan tertentu, banyak pensyarah yang sama sekali tidak mengomentari kualitas sanad suatu hadits apabila hadits yang bersangkutan terdapat dalam kitab yang secara umum telah diakui kesahihannya, terutama alkutub al-sittah dan lebih khusus sahihain18. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Nawawi, seorang imam yang dikenal sebagai ahli hadits dan seorang mujtahid dari kalangan Syafiiyyah. Dalam mensyarah hadits pada kitab al-Majmu, ia menjelaskan kualitas hadits secara global, yaitu apabila
16 17 18

Mujiyo Nurkholis, Ibid, hlm 63 Ibid, hlm. 64 Ibid, hlm 65

hadits yang bersangkutan adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim, maka ia memandang cukup dengan menyandarkannya pada kedua imam itu19. Pun demikian pada masa sekarang. Para pensyarah mencukupkan diri pada penilaian ulama-ulama hadits mutaqaddimin dan mutaakhirin. Seperti yang dilakukan Fachruddin Nursyam ketika mensyarah hadiits berikut: Dari Syadad bin Aus bahwa Rasulullah SAW bersabdaa: Seorang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematiannya. (HR Ahmad dan Tirmidzi) Mengomentari sanad hadits di atas, dikemukakan: hadits ini

dishahihkan Imam al-Suyuthi dalam al-Jami al-Shaghir (6468). Dalam kitab kasyf al-Khafa, Imam al-Ujluni berkata, diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, alHakim, al-Askari, al-QudhaI dan Tirmidzi. Ia berkata, Hadits hasan dari Syadad bin Aus secara marfu. Al-Albani berkata, Hadits ini ndiriwayatkan al-hakim dan ia menshahihkannya serta Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Kenyataannya hadits ini seperti yang mereka katakan (Misykatul Mashabih;3/5289)20. Metode Syarah Matan Hadits Matan adalah isi redaksi hadits yang diriwayatkan oleh para perawi. Syarah matan hadits meliputi tiga hal: 1. Menjelaskan keshahihan hadits melalui matan 2. Menjelaskan makna dan kandungan matan 3. Menjelaskan hukum dan hikmah hadits Selain dengan meneliti sanad, kesahihan sebuah hadits bisa pula dinilai dari matannya. Dalam hal ini al-Adlabi memberikan dua syarat agar matan hadits dinilai sahih. Keduanya adalah: 1. Hadits itu tidak syadz. Karena kadang-kadang sanadnya shahih, tetapi ada hadits lain yang lebih shahih dan lebih kuat sanadnya, dan hadits
19 20

ibid Fakhruddin Nursyam, Syarah Lengkap Arbain Ruhiyah, (Bina Insani Press Solo, Solo, 2007), hlm. 25

kedua ini berbeda dengan hadits pertama, serta keduanya tidak dimungkinkan sama-sama bersumber dari Nabi SAW. dengan demikian hadits pertama memiliki sanad shahih, tetapi matannya syadz, dan tetapi dinilai sebagai matan yang dhaif, meskipun sanadnya shahih. Sedangkan hadits kedua memiliki sanand shahih dan matannya mahfudz dan dinilai sebagai matan yang shahih.
2. Hadits itu tidak mengandung illat. Karena kadang-kadang suatu hadits

memiliki sanad shahih tanpa syadz, tetapi ada seorang pakar yang mampu melihat bahwa matan hadits mengandung cacat. Misalnya salah seorang periwayat melakukan kekeliruan dengan memasukkan sebuah pernyataan yang sebenarnya bukan sabda Rasul SAW. dan hal itu dilakukannya tanpa sadar21. Jadi, bila sanad suatu hadits dinyatakan shahih, dan matannya juga tidak syadz serta tidak mengandung illat, maka hadits inilah yang disebut shahih matan dan shahih sanadnya. Terkecuali hadits mutawatir, karena hadits ini memiliki derajat pasti dlaam kaitan penyandarannya kepada sumber22. Untuk menjelaskan kandungan matan hadits, perlu kiranya mengetahui jenis-jenis matan hadits. Hal ini dikarenakan setiap jenis matan memiliki karakter yang berbeda. Matan hadits setidaknya dibagi ke dalam empat jenis yaitu matan qauliy, matan fli, matan taqriri dan fadhail amal. 1. Matan Hadits Qauliy Matan hadits qauliy adalah ucapan Rasulullah Saw atau ucapan yang disandarkan kepada beliau. Ciri-ciri matan hadits qauliy adalah pada ujung sanadnya diakhiri dengan kata-kata yang menunjukkan bahwa redaksi matan yang bersangkutan merupakan ucapan Rasulullah SAW, yaitu katakata, Qala Rasulullah SAW, Anna Rasulullah SAW qala, annahu qala atau samitu rasulallah SAW yaqulu, Sedangkan matannya berisi pernyataan
21

Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, (GMP, Jakarta, 2004), cet.ke-1, hlm 18 22 Ibid, hlm 19

Rasulullah SAW dan berupa kalimat langsung, baik yang diriwayatkan secara lafdzi maupun secara maknawi23. Dalam hal hadits qauliy secara maknawi, jenis kalimatnya termasuk matan hadits filiy. Seperti hadits, Naha Rasulullah SAW an tsaman alkalbi (HR Bukhari, Muslim dan lainnya dari Abu Masud al-anshari dan lainnya). Hadits ini semula merupakan ucapan Rasulullah SAW, namun ketika diriwayatkan secara makna dengan menggunakan kalimat tidak langsung, maka hadits ini menyerupai hadits fili dari sisi jenis kalimatnya, akan tetapi dari sisi maknanya masih dapat dikategorikan sebagai matan hadits qauli. Dalam metodologi syarah hadits, hadits semacam ini tidak diperlakukan sebagai matan hadits fili, melainkan matan hadits qauliy24. Jenis matan hadits qauli yang lain adalah hadits mauquf fi hukm almarfu, yaitu pernyataan seorang sahabat dengan mengutip perkataan Rasulullah SAW, namun tidak disandarkannya kepada beliau secara langsung, sehingga secara formal ilmu hadits ia dihukumi sebagai hadits mauquf. Tetapi, dalam kajian metodologi syarah hadits, matan hadits yang demikian diperlakukan sebagai matan hadits qauliy yang marfu. menjadi empat, yaitu: a. Matan hadits qauliy lafdzi dengan menggunakan kalimat langsung b. Matan hadits qauliy maknawi dengan menggunakan kalimat langsung
c. Matan hadits qauliy
25

Dari segi jenis kalimat, matan hadits qauliy dapat diklasifikasikan

maknawi yang menggunakan kalimat tidak

langsung atau matan hadits qauliy hukmi


d. Matan hadits qauliy mauquf fi hukm al-marfu26

Matan hadits qauliy terdiri dari dua aspek pokok yakni redaksi dan makna. Keduanya memiliki sifat dasar yang berbeda. Redaksi matan hadits qauliy merupakan kalimat yang menggunakan bahasa Arab dngan seluruh karakternya, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan penguasaan kaidah23 24 25 26

Mujiyo Nurkholis, ibid, hlm 77 Ibid, hlm. 77-78 ibid Ibid, hlm. 78-79

10

kaidah bahasa arab yang memadai. Sedangkan dari sisi makna, secara umum hadits qauliy merupakan bayan terhadap al-Quran dan respon Rasulullah SAW terhadap kondisi sosial masyarakat Arab yang beliau jumpai, sehingga untuk memahami suatu matan hadits dengan tuntas tidak cukup dengan berpijak kepada kaidah-kaidah bahasa saja, melainkan juga harus berpijak kepada ilmu-ilmu lainnya.27 Untuk memahami matan hadits secara utuh, diperlukan ilmu-ilmu berikut sebagai pendekatan memahami matan hadits: a. Syarah dengan pendekatan ilmu hadits riwayah, terutama takhrij dan Itibar. Suati teori kajian hadits tahap awal dengan menelusuri berbagai kitab induk hadits. Dengan ini akan diketahui seluruh atau sebagian besar riwayat hadits yang akan disyarah, sekaligus dengan berbagai redaksinya b. Syarah dengan pendekatan ilmu hadits dirayah (naqd al-matn) dengan menganalisa redaksi dan makna matan hadits. Dengan pendekatan ini akan diketahui kelayakan redaksi dan makna kallimat yang bersangkutan sebagai ucapan, tindakan dan ketetapan Rasul SAW c. Syarah dengan pendekatan ilmu sharf, suatu teori pengkajian terhadap bentuk dan asal kata-kata dalam matan, bahkan mengkaji fungsi dab makna huruf=huruf tertentu dalam suatu kata, baik kata benda maupun kata kerja. Pendekatan ini merupakan kajian awal terhadap redaksi dan makna. Kajian sharf dalam metodologi syarah hadits mempunayi fungsi ganda, yakni bersifat eksploratif dan kadangkadang bersifat evaluatif dalam arti dapat dijadikan sebagai standar untuk menilai kebenaran redaksi matan hadits d. Syarah dengan pendekatan ilmu nahwu, yaitu teori pengkajian terhadap struktur kalimat dalam matan guna mengetahui makna matan tersebut secara gramatikal. Suatu kalimat myang menggunakan bahasa apapun hanya dapat dipahami dengan tuntas

27

ibid

11

apabila dikaji berdasarkan tata bahasa yang digunakan ketika kalimat itu disusun. e. Syarah dengan ilmu dilalah (semantik), suatu teori pengambilan petunjuk pokok suatu teks (istimbat) dengan penalaran yang sangat logis. Dengan pendekatan ini akan diketahui berbagai petunjuk matan (fiqh al-hadits), baik petunjuk secara tekstual, petunjuk yang tersirat, maupun pengembangan petunjuknya. Pendekatan ini didominasi teori dilalah yang dikembangkan para ulama ushul fiqh. f. Syarah dengan pendekatan ilmu balaghah. Suatu khazanah keilmuan klasik yang sebenarnya sangat relevan untuk memahami teks hadits yang lahir dalam tradisi kebahasaan yang sarat dengan muatan ilmu bayan, ilmu maani dan ilmu badi. Pendekatan ilmu balaghah yang optimal akan mampu menjawab tuduhan bahwa metode penafsiran dan syarah yang berkembang selama ini tidak mempertimbangkan aspek-aspek di luar teks. Dengan pendekatan ilmu balaghah juga akan diketahui makna yang lebih dalam di balik makna yang tampak.
g. Syarah

dengan

pendekatan

hermeneutika,

suatu

kerangka

metodologis yang menekankan penggunaan pertimbangan konteks kelahiran hadits, antropologi teks hadits dan upaya kontekstualisasi petunjuk hadits kepada kondisi pengguna hadits di setiap saat dan setiap tempat. Kajian dengan pendekatan hermeneutik merambah ke segala bidang, baik yang tersaji dalam bentuk teks maupun dalam bentuk lain. Hanya saja, sehubungan dengan kajian terhadap teksteks suci, khususnya teks yang merupakan tuangan dari firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW, penggunaan metode ini perlu dibatasi dengan paradigma yang berpijak pada norma-norma agama yang merupakan wujud dari kasih sayang Tuhan bagi umat manusia. h. Syarah dengan pendekatan ilmu-ilmu terkait. Pendekatan ini dilandasi oleh pemikiran bahwaa petunjuk matan hadits itu sangat mungkin berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berkembang dan bukan ilmu-ilmu agama murni yang bersifat kewahyuan, sehingga matan hadits yang
12

bersangkutan sangat terbuka untuk dianalisis berdasarkan ilmu-ilmu terkait dalam perkembangannya yang mutakhir
i. Syarah dengan berlandaskan kepada pendapat para ulama terdahulu

mengenai maksud matan hadits yang bersangkutan, karena setiap matan hadits telah melalui pengkajian dan pengamalan sepanjang perjalanannya hingga sampai ke tangan kita. Meskipun tidak mutlak benar, pendapat-pendapat tersebut yang dikemukakan oleh ahli yang berkompeten di bidang apapun selalu dapat dijadikan pertimbangan bagi pemahaman dan pengembangan konsep dan teori dalam bidang yang bersangkutan28. 2. Matan Hadits Fili Hadits fili adalah tindakan yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW atau hadits berupa laporan seorang sahabat tentang tindakan Rasulullah SAW, baik tindakan yang nyata maupun tindakan yang tidak nyata. Adapun ciri-ciri hadits fili dapat dilihat dari sanad dan matannya. Ciri hadits fili dari sisi sanadnya adalah akhir dari sanadnya tidak berupa kata-kata Qala Rasulullah SAW, sedangkan dari sisi matan adalah diawali dengan katakata, Kana Rasulullah SAW atau kata lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melakukan sesuatu29. Hadits fili merupakan hasil pengamatan para sahabat terhadap tindakan-tindakan Rasulullah SAW. kemudian para sahabat meriwayatkan tindakan-tindakan tersebut, yang kemudian dianggap amalan sunnah Rasulullah SAW. Seperti hadits mengenai tata cara Shalat, kebanyakan hadits tentang shalat merupakan hadits fili. Para sahabat melihat Rasulullah SAW shalat kemudian meriwayatkannya. Karakter matan hadits fili jelas berbeda dengan matan hadits qauliy. Perbedaannya terletak pada karakter readaksinya. Hadits filiy adalah rekaman para sahabat terhadap tindakan Rasulullah SAW, kemudian
28 29

Ibid, hlm. 81-83 Ibid, hlm 167

13

meriwayatkannya

dengan

bahasa

sendiri.

Sedangkan

hadits

qauliy,

redaksinya langsung dari Rasulullah SAW yang direkam para sahabat. Dalam mensyarah matan hadits fili, seorang pensyarah harus mengetahui jenis tindakannya tersebut. Apakah tindakan tersebut adalah tindakannya sebagai umumnya manusia, seperti makan, minum, berjalan, baju yang dipakai dan tindakan lainnya. Ataukah tindakan itu sebagai Rasul yang menjelaskan ajaran-ajaran Islam. Mensyarah hadits filiy berarti memahami tindakan Rasulullah SAW dan maksud serta ptunjuk hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya memahami redaksi matan hadits filiy tidak cukup dengan memahami redaksi matan hadits semata, karena apa yang tertulis dalam redaksi matan itu merupakan ungkapan hasil pengamatan seorang sahabat terhadap tindakan Rasulullah SAW yang adakalanya disampaikan apa adanya dan adakalanya telah melalui penafsiran sebelumnya30. Di bawah ini adalah langkah-langkah untuk mensyarah matan hadits fili: a. Menghimpun seluruh riwayat mengenai suatu tindkan yang sama atau serupa (takhrij hadits) b. Menganalisanya dengan menggunakan pendekatan kebahasaan untuk dipahami makna leksikal dan makna gramatikal riwayatnya c. Mengklasifikasikan tindakan yang bersangkutan berdasarkan latar belakangnya, sehingga diketahui apakah tindakan itu merupakan refleksi kemanusiaan Rasulullah SAW, tindakan yang terikat oleh tradisi bangsa Arab, tindakan yang berkenaan dengan urusan duniawi, tindakan supra rasional, tindakan yang spesifik ataukah termasuk tindakan yang merupakan bayan dan tasyri d. Merekonstruksi tindakan yang bersangkuktan dengan mengaitkannya kepada tindakan-tindakan lain yang terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap seluruh rangkaian tindakan beliau berkenaan dengan satu tema tertentu. e. Memperhatikan petunjuk ayat dan teks hadits qauliy yang berkaitan
30

Ibid, hlm 173

14

f. Memperhatikan

tindakan

para

sahabat,

terutama

sahabat yang

meriwayatkannya
g. Memperhatikan tindakan atau keterangan para tabiin dan para ulama,

terutama ahli hadits dan ahli fiqh al-mutamad31 3. Matan Hadits Taqriri Hadits taqriri berarti hadits yang berupa sikap Rasulullah SAW membiarkan atau menyetujui tindakan yang dilakukan oleh para sahabat, baik yang beliau saksikan secara langsung maupun yang dilaporkan kepada beliau, atau mengingkarinya dengan menunjukkan sebuah sikap32. Ciri matan hadits taqriri adalah sebagai berikut: a. Pada awal matan suatu hadits taqriri berupa pernyataan sahabat, seperti: kunna nafalu kadza ala ahdi Rasulillah SAW b. Matan hadits diawali dengan cerita tentang perbuatan sahabat dan disaksikan atau diketahui oleh Rasulullah SAW, baik langsung maupun tidak langsung, lalu Rasulullah SAW memujinya, mendiamkannya atau mengingkarinya. Jenis kalimat matan taqriri memiliki kesamaan dengan matan hadits filiy. Perbedaannya terletak pada siapa yang melakan tindakan. Dalam matan hadits filiy, tindakan dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan dalam matan hadits filiy tindakan itu dilakukan oleh para sahabat. Oleh karenanya, langkah-langkah mensyarah matan hadits taqriri sama dengan hadits filiy. Hanya saja diperlukan penelitian tambahan tentang tradisi para sahabat dan bangsa Arab pada umumnya, faktor psikologis, faktor dampaknya bagi perkembangan moral dan hukum dsb33.
4.

Matan Hadits Fadhail amal Hadits fadhail amal adalah hadits yang mengemukakan keutamaan-

keutamaan amal kebaikan dan dosa-dosa kejahatan. Hadits fadhail amal


31 32 33

Ibid, hlm 185-194 diringkas Ibid, hlm 195 Ibid, hlm 202

15

disebut juga sebagai hadits al-targhib34 wa al-tarhib35. Kebanyakan hadits fadhail amal berupa hadits qauliy, karena pengungkapan fadhail melalui hadits qauliy lebih mudah. Tetapi banyak juga hadits fiil dan hadits taqriri yang dilalahnya dapat memberikan kesan yang sama dengan hadits-hadits fadhail amal yaitu menunjukkan kelebihan dan keistimewaan sesuatu yang baik sehingga dapat menggairahkan umat untuk meningkatkan kebaikan dan menjauhkan mereka dari kejahatan36. Termasuk ke dalam hadits fahail amal, hadits yang memuat keutamaan dan kelebihan orang, sebuah kaum, benda dll. Dalam menyampaikan targhib dan tarhibnya, paling tidak ditempuh dengan dua jalan, yaitu:
a. Perintah dan larangan semata-mata atau yang semakna dengannya.

Dalam cara ini, seorang mukmin dianggap telah cukup terdorong untuk melakukan sesuatu amal perbuatan semata-mata hanya karena Allah telah mewajibkan atau memerintahkannya, sebab Allah tidak memerintahkan kecuali kebaikan dan tidak pernah memerintahkan keburukan. melakukan Demikian sesuatu pula ia telah cukup hanya terperingatkan karena Allah dari telah semata-mata

mengharamkan, melarang atau membencinya, sebab Allah tidak melarang kecuali keburukan dan kerusakan.
b. Mengaitkan perintah dan larangan dengan balasan pahala dan siksa37.

Boleh jadi cara kedua inilah yang banyak kita temui dalam hadits fadhail amal. Hadits semacam ini tidak memiliki implikasi hukum. Hadits ini hanya memiliki implikasi motivasi saja, sehingga banyak ulama yang tidak terlalu ketat dalam menilai keshahihannya. Bagi mereka, hadits fahail yang dhaif pun bisa digunakan, asal kedhaifannya tidak terlalu parah. Hal ini bisa dimengerti, namun dampaknya sangat dahsyat. Sampai sekarang, ribuan hadits fadhail amal yang dhaif bahkan maudhu banyak berseliweran.
34 35

Targhib artinya dorongan untuk menggemarkan amal-amal kebaikan Tarhib artinya mengancam amal-amal keburukan 36 Ibid, hlm 208 37 Yusuf al-Qaradhawi, Seleksi Hadits-hadits Shahih Tentang Targhib dan Tarhib, terj, (Robbani Press, Jakarta, 1996), Jilid 1, hlm, 8-9

16

Tentu saja kondisi ini cukup mengerikan. Oleh karenanya seorang pensyarah hadits harus mampu menjelaskan status haditsnya, yang kemudian menjelaskan apakah hadits tersebut layak digunakan atau tidak. Metodologi syarah hadits fadhail amal tidak jauh dengan metodologi syarah matan hadits qauliy, karena mayoritas hadits fadhail amal berupa qauli. Di awali dengan kajian sharaf dan nahwu, kemudian dianalisa dengan ilmu-ilmu lain yang telah disebutkan di atas. Namun ada prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh pensyarah hadits ketika mensyarah hadits fadhail amal. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Tidak mengejar makna tekstual redalksinya, melainkan mencari maksud yang berada di balik redaksi tersebut. Terutama pada hadits yang redaksinya lebih jauh daripada maksudnya
2. Hukum pokok amal yang bersangkutan tidak boleh diabaikan, karena

kadang-kadang

sesuatu

yang

kesunnahannya

telah

masyhur

berdasarkan sejumlah dalil yang pasti, namun dinyatakan sebagai sesuatu yang wajib38 Perselisihan Dilalah Hadits Setidaknya ada dua faktor penyebab perselisihan dilalah hadits, yaitu:
1. Perbedaan kondisi dan situasi yang berkaitan dengan proses lahirnya

(asbab al-wurud). Namun karakter tema-tema hadits itu berbeda sehubungan dengan asbab al-wurud. Aturan pokok dalam akidah bersifat statis, sehingga perbedaan asbab al-wurud tidak dominan dalam mengubah ketentuan akidah. Adapun aturan ibadah yang pada saat itu ditetapkan secara bertahap, maka hadits-hadits tentang ibadah yang berbeda petunjuknya perlu diketahui tarikh tasyri-nya, termasuk adanya kemungkinan naskh. Sedangkan ketentuan akhlaq bersifat sangat dinamis, elastis dan akomodatif, sehingga boleh jadi hadits yang berkaitan dengan kepentingan seseorang berbeda dengan hadits yang berkaitan dengan kepentingan orang lain.
38

Mujiyo Nurkholis, ibid, hlm 221

17

2. Proses periwayatannya. Apabila suatu hadits diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, maka sebagian riwayatnya ada yang masih tetap dan tidak mengalami perubahan, sementara sebagian yang lain mengalami perubahan, sedikit maupun banyak. Lalu perbedaan dan perubahan itu adakalanya hanya pada redaksi saja dan adakalanya pada redaksi dan maknya sekaligus. Kemudian perbedaan redaksi dan makna itu adakalanya hanya bersifat variatif, sehingga tidak menimbulkan perubahan dilalah dan adakalanya bersifat kontradiktif. Proses ini menggambarkan bahwa perbedaan yang terjadi bukan perbedaan yang hakiki. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa hadits-hadits yang bersangkutan hakikatnya satu, sehingga harus dipilih dengan cara yang benar39. Untuk menyelesaikan perselisihan dilalah hadits, para ulama telah merumuskan langkah-langkah berikut: a. Al-Jamu Langkah ini adalah langkah penyelesaian terbaik dan harus ditempuh sebagai alternatif pertama, karena dengan langkah ini kehujahan kedua hadits tidak terabaikan b. Al-Naskh Langkah ini tidak boleh ditempuh bila tidak ada data yang kuat tentang masa kelahiran kedua hadits yang bersangkutan, sehingga diketahui mana yang lahir lebih dahulu dan mana yang lahir belakangan. c. Al-tarjih Apabila dua hadits berbeda dan kedua-keduanya diakui shahih, serta kedua-keduanya dapat diamalkan sekaligus atau pada dua kesempatan yang berbeda dan tidak ada petunjuk naskh, maka kehujjahan keduanya tidak boleh diabaikan dan tidak boleh ditarjih lebih lanjut, seperti haditshadits tentang teknik pelaksanaan ibadah d. Al-Tawaqquf atau al-Takhyir

39

Ibid, hlm 225-227 diringkas

18

Dengan teknik tawaqquf, kedua hadits yang bertentangan itu sama-sama ditinggalkan dan lari kepada ijtihad, sedangkan dengan teknik takhyir berarti memilih salah satu dari kedua hadits tersebut berdasarkan ijtihad

DAFTAR PUSTAKA

A. Qadhir

Hassan,

2007.

Ilmu

Musthalah

Hadits,

Bandung,

CV.

Diponegoro. Fakhruddin Nursyam, 2007, Syarah Lengkap Arbain Ruhiyah, Solo, Bina Insani Press Solo. Mujiyo Nurkholis, 2011, Metode Syarah Hadits, Bandung, Fasygil Grup.

19

Muhammad Ajaj al-Khatib, 2007, Ushul al-Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, 2004, Metodologi Kritik Matan Hadits, Jakarta, Gaya Media Pratama Yusuf al-Qaradhawi, 1996, Seleksi Hadits-hadits Shahih Tentang Targhib dan Tarhib, terj, Jakarta, Robbani Press, Jilid 1

20

Vous aimerez peut-être aussi