Vous êtes sur la page 1sur 4

Apakah Orang Katolik HARUS Membesarkan Anakanaknya Sebagai Orang Katolik ?

oleh Katolik Indonesia pada 30 Januari 2012 pukul 9:40 T: Anak perempuan seorang teman berencana untuk menikah dengan seorang Lutheran. Mereka akan menikah di paroki kami dengan dipimpin oleh pastor pembantu. Teman saya mengatakan kepada saya bahwa dewasa ini, jika seorang Katolik menikah dengan non-Katolik, mereka tidak harus membesarkan anakanak mereka sebagai orang Katolik. Aku terkejut! Apakah ini benar? -Tom

J: Hukum mengenai topik ini sebenarnya sedikit dibahasaulangkan dalam beberapa dekade terakhir, namun cukup mengejutkan menemukan banyak orang Katolik salah berpikir bahwa kewajiban yang fundamental ini telah dihilangkan sama sekali.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam kolom ini, Kitab Hukum Kanonik saat ini dipromulgasikan oleh Yohanes Paulus II pada tahun 1983, menggantikan kitab hukum sebelumnya tahun 1917. Sementara sejumlah besar hukum Gereja tetap tidak berubah, terdapat pula jumlah signifikan dari kanon yang diubah dalam kitab hukum yang baru. Kanon yang berkaitan dengan anak-anak dari perkawinan campur adalah salah satunya.

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, kanon 1061 1 ditujukan pada perkawinan antara orang Katolik dan orang yang dibaptis non-Katolik. Agar dapat menikahi seorang Katolik, pihak non-Katolik harus memberikan jaminan, secara tertulis, bahwa dia tidak akan mencoba untuk "menyesatkan" pasangan Katoliknya dengan kata lain, dia harus berjanji bahwa dia tidak akan berusaha untuk mengkonversi pihak Katolik ke agama non-Katolik. Iman Katolik tidak boleh terancam oleh perkawinan semacam itu, atau Gereja tidak akan mengizinkannya untuk terjadi. Selain itu, baik pihak Katolik maupun pihak non-Katolik harus berjanji (lagi, secara tertulis) bahwa anakanak dari pernikahan itu akan dibaptis dan dibesarkan dalam iman Katolik. Jika pastor yang menerima janji-janji tertulis ini dari pasangan tersebut memiliki keprihatinan yang beralasan bahwa janji-janji itu tidak akan dipatuhi, pernikahan itu tidak dapat diizinkan(kanon 1061 1 no. 3).

Pada tahun 1970, Surat Apostolik Matrimonia Mixta (Pada Perkawinan Campur) dari Paus Paulus VI mencoba mengambil beberapa langkah ekumenis progresif. Surat itu mengakui bahwa perkawinan antara orang Katolik dan orang non-Katolik jarang membangun jembatan ekumenis dan mencapai persatuan antar iman sebuah fakta yang sayangnya mungkin banyak dari kita bisa membuktikan dengan pengetahuan personal dari orang-orang yang terlibat dalam pernikahan semacam itu! Terlalu sering

perbedaan keyakinan beragama membawa kesengitan di antara pasangan-pasangan itu; atau salah satu pihak (atau bahkan keduanya!) mengabaikan imannya sama sekali. Sementara Gereja Katolik memiliki hak untuk melindungi iman dari pihak Katolik pada pernikahan semacam itu, Gereja sekarang mencoba untuk menuliskan aturanaturannya dalam bahasa yang kurang konfrontatif. Antara lain, dalam upaya untuk mengakui niat baik orang-orang itu yang lahir dan dibesarkan dalam iman nonKatolik, dan menghormati hati nurani mereka, Paulus VI mengolah kembali hukum yang berkaitan dengan aspek perkawinan ini. Koreksian Sang Paus kemudian dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanon tahun 1983.

Kanon 1124 dari kitab hukum sekarang yang berlaku saat ini, menyatakan bahwa sebagai suatu aturan, perkawinan antara seorang Katolik dan seorang yang dibaptis non-Katolik dilarang. Namun uskup dari pihak Katolik dapat memberikan izin untuk perkawinan semacam itu jika ada alasan yang wajar dan masuk akal (kanon 1125). Keprihatinan utama Gereja tetap menyangkut iman dari pihak Katolik pada pernikahan semacam ini. Jika keprihatinan itu muncul bahwa dengan menikahi seorang non-Katolik, iman pihak Katolik akan terkikis atau bahkan hilang, izin tidak dapat diberikan. Jadi uskup tersebut tidak boleh memberikan izin jika dia melihat (misalnya) bahwa pihak yang non-Katolik itu sungguh anti-Katolik yang sengit di mana dia berniat untuk mencoba mencegah pihak yang Katolik untuk mempraktekkan imannya; atau bahwa pihak non-Katolik secara aktif bekerja untuk mengkonversi yang Katolik ke iman pihak yang lain itu dan iman yang Katolik tampaknya sangat lemah sehingga rentan terhadap kemungkinan seperti itu. Kita bisa melihat bahwa sejauh ini, tidak ada banyak perbedaan antara hukum lama dan yang baru.

Tetapi bagian-bagian berikutnya sedikit berbeda. Sebelum uskup tersebut dapat memberikan izinnya, pihak Katolik harus menyatakan bahwa dia siap untuk menghilangkan bahaya kerusakan iman Katoliknya. Dia juga harus berjanji sungguhsungguh untuk melakukan semua sekuat tenaga guna memastikan bahwa semua anakanak dari pernikahannya itu akan dibaptis dan dibesarkan dalam iman Katolik (kanon 1125 no. 1).

Sebaliknya, pihak non-Katolik pada pernikahan itu kini tidak perlu membuat berbagai janji seperti itu. Meskipun begitu, hukum tersebut menuntut bahwa pihak non-Katolik diberitahu tentang janji-janji yang dibuat oleh pihak Katolik untuk pernikahan itu (kanon 1125 no. 2). Perhatikan di sini bahwa hukum tersebut hanya mengikat pihak Katolik, dan bukan pihak non-Katolik.

Jika pihak non-Katolik sungguh-sungguh berkomitmen pada imannya, dia mungkin keberatan dengan sendirinya dalam hati nurani yang baik pada gagasan bahwa anakanaknya harus dibesarkan dalam sebuah agama yang berbeda dari agamanya. Dengan demikian masalah sering muncul ketika seorang Katolik dan seorang non-Katolik,

yang menikah di dalam Gereja Katolik, memiliki bayi dan orang tua yang Katolik ingin membesarkan sang anak sebagai seorang Katolik. Dalam situasi seperti ini, orang Katolik harus ingat janji pra-perkawinan untuk melakukan segala upaya dengan sekuat tenaga untuk membesarkan anak-anaknya dalam iman Katolik.

Tetapi pada saat yang sama, sebagaimana sebuah prinsip hukum Latin kuno menyatakan, "tidak seorang pun dapat diwajibkan untuk melakukan hal yang mustahil" (nemo ad impossibile obligari potest). Kadangkala melakukan segala upaya sekuat tenaga pun tidaklah cukup! Jika pihak non-Katolik begitu berkeras sehingga, katakanlah, tidak ada jalan bagi pihak Katolik untuk "memenangkan" argumen semacam itu, maka pihak Katolik mungkin akhirnya dipaksa untuk mengizinkan demi perdamaian dalam keluarga itu. Dalam skenario seperti itu, pihak Katolik sebenarnya telah melakukan segalanya sekuat tenaga untuk membesarkan anak-anaknya secara Katolik namun tidak berhasil. Hasilnya jelas tidak ideal, tapi upaya tersebut telah dibuat. Dan sementara itu, orang tua yang Katolik tetap diharapkan untuk melakukan upaya-upaya yang masuk akal, begitu ada kesempatan, untuk mengajarkan iman Katolik kepada anak-anaknya, bahkan jika mereka smentara dibesarkan dalam agama yang berbeda.

Apa yang terjadi jika seorang Katolik secara bebas, pasrah dan sukarela menyetujui anak-anaknya dibaptis dan dibesarkan dalam agama non-Katolik? Yah, kanon 1366 sebenarnya menegaskan bahwa sebuah penalti akan dikenakan pada orang tua Katolik itu yang menyerahkan anak-anak mereka untuk dibaptis atau dididik dalam iman nonKatolik!

Jadi hal itu terlalu menyederhanakan dan sangat menyesatkan bagi siapa saja yang menyarankan bahwa seorang Katolik tidak "harus" membesarkan anak-anaknya sebagai orang Katolik. Tuntutan-tuntutan nyata, seperti yang baru saja kita lihat, jauh lebih kompleks - dan lebih menuntut. Tidak mengherankan, tuntutan-tuntutan itu juga dalam keserasian yang lengkap dengan ajaran Katolik. Sementara kita orang Katolik seharusnya secara pasti menginginkan (dan mendoakan) agar yang non-Katolik suatu hari nanti dapat berbagi keyakinan-keyakinan kita, kita tidak dapat memaksa mereka untuk melakukannya yang melawan kehendak mereka. Seseorang yang tidak dibesarkan di dalam Gereja kita, memiliki hati nurani yang telah dibentuk sedemikian rupa sehingga dia mungkin benar-benar tidak percaya bahwa yang terbaik bagi anak-anaknya adalah untuk dibesarkan sebagai orang Katolik. Itu terjadi tanpa mengatakan bahwa kita orang Katolik memiliki pandangan yang berbeda terhadap situasi tersebut! Sesulit apa pun dan tidak memuaskan, seringkali satu-satunya solusi dalam kenyataan seperti itu adalah terus berdoa. Dengan rahmat Allah, dari waktu ke waktu baik anak-anak maupun pasangan non-Katolik mungkin dibawa dengan sangat baik kepada iman sejati kita berkat ketekunan doa-doa kita.

Cathy Caridi, J.C.L. adalah seorang ahli kanon berlisensi yang berpraktik hukum dan mengajar di daerah Washington DC.

Sumber: http://catholicexchange.com/2009/01/22/115217/

Vous aimerez peut-être aussi