Vous êtes sur la page 1sur 11

Akhlak Mr.

Gun

Arti Akhlak Dalam kamus besar bahasa indonesia online kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan.[1]. Sebenarnya kata akhlak berasal dari bahasa Arab, dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti perangai, tabiat[2] . Sedang arti akhlak secara istilah sebagai berikut; Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M) mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam AlGhazali (1015-1111 M) mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[3]

Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku/perbuatan manusia.

Pembagian Akhlak Secara umum akhlak atau perilaku/perbuatan manusia terbagi menjadi dua; pertama; akhlak yang baik/mulia dan kedua; aklak yang buruk/tercela.

Macam-macam akhlak 1. Akhlak terhadap diri sendiri 2. Aklak terhadap keluarga (Orang tua, akhlak terhadap adik/kakak) 3. Akhlak terhadap teman/sahabat, teman sebaya 4. Akhlak terhadap guru 5. Akhlak terhadap orang yang lebih muda dan lebih tua 6. Akhlak terhadap lingkungan hidup/linkungan sekitar. Dan inti dari berkakhlak tersebut diatas intinya adalah berakhlak baik kepada Allah SWT. Karena Allah SWT telah menjadikan diri dan lingkungan sekitar dengan lengkap dan sempurna.

Tugas Manusia/Tindakan Manusia Allah SWT menciptakan manusia dengan tujuan utama penciptaannya adalah untuk beribadah. Ibadah dalam pengertian secara umum yaitu melaksanakan

segala perintah dan menjauhi segala larangannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Manusia diperintahkan-Nya untuk menjaga, memelihara dan mengembangkan semua yang ada untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dan Allah SWT sangat membeci manusia yang melakukan tindakan merusak yang ada. Maka karena Allah SWT membenci tindakan yang merusak maka orang yang cerdas akan meninggalkan perbuatan itu, dia sadar bahwa jika melakukan per buatan terlarang akan berakibat pada kesengsaraan hidup di dunia dan terlebih-lebih lagi di akhirat kelak, sebagai tempat hidup yang sebenarnya. Maka intinya manusia harus berakhlak yang mulia.

APA ITU AKHLAK? Ibnu Atsir menyebutkan al-khuluqu dan al-khulqu dalam AnNihayah (2/70), berarti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia, yaitu jiwa dan kepribadiannya. [1] Dari ucapan di atas terkandung beberapa faidah: Manusia terdiri dari lahir dan batin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan. Sebagaimana jasmani membutuhkan makanan dan minuman, begitu pula rohani membutuhkan makanan dan siraman berupa ilmu, iman dan amal shalih. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata bahwa, manusia membutuhkan makanan dalam sehari sekali atau dua kali dan membutuhkan ilmu dalam sehari sebanyak desahan nafas. Kita harus mempunyai perhatian yang serius dalam upaya menyempurnakan akhlak kita karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik , suku, leturunan, gelar kesarjanaan, kedudukan ataupun harta, tetapi terletak pada iman, takwa dan akhlak seseorang. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian. (QS. Al-Hujuraat: 13) Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian. [2] Penyair Arab berkata: Wahai pelayan jasmani Seberapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya Engkau telah menyusahkan diri Untuk sebuah kerugian yang nyata Hadapkan perhatian kepada ruhani Dan sempurnakan keutamaannya Dengan ruhani, bukan jasmani Engkau sempurna menjadi manusia Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlak; ada yang menyatakan bahwa akhlak yang baik adalah berderma, tidak

menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Ada lagi yang mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam bukunya Madarijus Salikin. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan dalam Mukhtahsar Minhaj Al-Qashidin, bahwa akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik jika buruk disebut akhlak yang buruk. Akhlak juga bisa berarti dien (agama) sebagaimana firman Allah: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung. (QS. Al-Qalam: 4) Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata tentang ayat di atas, yaitu dien yang agung (Islam). Mujahid, Abu Malik, As-Suddi, Rabi bin Anas, Adh Dhahhak dan Ibnu Zaid berkata demikian pula. Terdapat dalam Shahih Muslim bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya tentang akhlak Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam lalu beliau menjawab, Akhlak Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah Al-Quran. Segala perintah yang terdapat dalam Al-Quran beliau melaksankan semuanya dan segala larangan yang terdapat dalam Al-Quran beliau meninggalkannya. Syaikh Salim Al-Hilali berkata, Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlak yang agung di mana Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintahperintah Allah dan larangan-Nya sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada. [3] Dari beberapa keterangan tentang pengertian akhlak kami simpulkan bahwa kata akhlak mempunyai cakupan yang luas, yaitu mencakup akhlak kepada Allah dan akhlak kepada makhluk; hanya saja yang sering kita dapati penggunaan kata akhlak dimaksudkan oleh pembicara atau penulis dalam pengertian yang sempit, yaitu terbatas kepada perilaku kepada sesama makhluk. Untuk dapat mengetahui makna mana yang diinginkan oleh pembicara atau penulis harus dilihat dari konteks kalimatnya sehingga kita dapat membedakannya.

Sumber: Buku Bengkel Akhlak oleh Fariq Gasim Anuz, hal. 1216, Darus Sunnah. Footnote: [1] Syaikh Ibnu Utsaimin, Makarimul Akhlak, hal. 9 [2] Diriwayatkan Muslim (Lihat Ghayatul Maram, no. 415) [3] Makarimul Akhlak (23)

Menghiasi Diri Dengan Akhlak Yang Baik


Menghiasi diri dengan akhlak yang baik termasuk unsur-unsur ketakwaan, dan tidak sempurna ketakwaan seseorang itu kecuali dengan akhlak yang baik. Allah Taala berfirman:(Surga itu) disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imron: 133-134) Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Taala menganggap bahwa bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik termasuk pilar-pilar ketakwaan. Apa keutamaan akhlak yang baik itu ? Diantara keutamaannya adalah : Pertama : Akhlak yang baik termasuk tanda kesempurnaan iman seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam: Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami, No. 1241) Kedua : Dengan akhlak yang baik, seorang hamba akan bisa mencapai derajat orang-orang yang dekat dengan Allah Taala, sebagaimana penjelasan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dalam sabda beliau: Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan qiyamul lail. (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami, No. 1937) Ketiga : Akhlak yang baik bisa menambah berat amal kebaikan seorang hamba di hari kiamat, sebagaimana sabda beliau shalallahu alaihi wa sallam : Tidak ada sesuatu yang lebih berat ketika diletakkan di timbangan amal (di hari akhir) selain akhlak yang baik. (Shahihul Jami, No. 5602) Keempat : Akhlak yang baik merupakan sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah ketika ditanya tentang apa yang bisa memasukkan manusia ke dalam surga. Beliau menjawab: Bertakwa kepada Allah dan akhlak yang baik. (Riyadhus Shalihin) Apa yang dimaksud akhlak yang baik itu ? Imam Hasan Al-Bashri berkata : Akhlak yang baik diantaranya: menghormati, membantu dan menolong. Ibnul Mubarak berkata: Akhlak yang baik adalah: berwajah cerah, melakukan yang maruf dan menahan

kejelekan (gangguan). Imam Ahmad bin Hambal berkata: Akhlak yang baik adalah jangan marah dan dengki. Al-Imam Muhammad bin Nashr mengatakan: Sebagian ulama berkata: Akhlak yang baik adalah menahan marah karena Allah, menampakkan wajah yang cerah berseri kecuali kepada ahlul bidah dan orang-orang yang banyak berdosa, memaafkan orang yang salah kecuali dengan maksud untuk memberi pelajaran, melaksanakan hukuman (sesuai syariat Islam) dan melindungi setiap muslim dan orang kafir yang terikat janji dengan orang Islam kecuali untuk mengingkari kemungkaran, mencegah kedzaliman terhadap orang yang lemah tanpa melampaui batas.(Iqadhul Himam, hal. 279) Bagaimana memperbaiki akhlak seorang hamba ? Akhlak seorang hamba itu bisa baik bila mengikuti jalannya (sunnahnya) Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, sebab beliaulah orang yang terbaik akhlaknya. Allah Taala berfirman: Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Al-Qalam: 4). Allah Taala juga menegaskan: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yakni) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (datangnya) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21) Maka sudah selayaknya bagi setiap muslim mempelajari riwayat hidupnya dari setiap sisi kehidupan beliau (secara menyeluruh), yakni bagaimana beliau beradab dihadapan Rabbnya, kelurganya, sahabatnya dan terhadap orang-orang non muslim. Salah satu cara untuk mempelajari itu semua adalah sering duduk (bergaul) dengan orang-orang yang bertakwa. Sebab seseorang itu akan terpengaruh dengan teman duduknya. Nabi bersabda: Seseorang itu dilihat dari agama teman dekatnya. Karena itu lihatlah siapa teman dekatnya.(HR Tirmidzi) Kemudian wajib juga bagi setiap muslim untuk menjauhi orang yang jelek akhlaknya. Mudah-mudahan dengan begitu kita termasuk hamba-hamba Allah yang menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik. Wallahu waliyyut taufiq.

APA ITU AKHLAK ?


0 komentar Posted in Label: ARTIKEL

Akhlak memiliki keabsahan filosofis jika dipisahkan dari unsurunsur nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta, bijaksana, kehendak dan mahapengatur di dunia dan di akhirat. Perlu kita ketahui bahwa jenis argumen ini harus disandarkan pada argumen fitrah, atau dirujukkan pada argumen tentang kemestian diutusnya para nabi, dimana argumen tentang kenabian itu sendiri terletak sesudah pembuktian eksistensi Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, atau didasarian pada salah satu argumen-argumen, seperti argumen imkan dan wujub, huduts, gerak. Jika demikian, maka argumen akhlak memiliki kesetaran validitas dengan argumen-argumen tersebut di atas dan terhitung sebagai bentuk argumen baru. Dan jika argumen akhlak tidak disandarkan pada salah satu dari argumen-argumen yang disebutkan di atas, maka ia sama sekali tidak memiliki validitas sebagai sebuah argumen atau dalil dalam menetapkan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, apabila argumen akhlak diasumsikan memiliki landasan-landasan yang sempurna, maka tetap dikategorikan sebagai filsafat praktis dan bukan merupakan filsafat teoritis dan tidak dapat digunakan sebagai dalil pembuktian Sumber Eksistensi. Jika argumen-argumen akhlak digolongkan dalam wilayah wahyu dan kenabian, wilayah tersebut terhitung sebagai bagian dari pembahasan filsafat teoritis dan masalah penetapan Tuhan merupakan asas makrifat agama, kenabian dan wahyu, maka tetap tidak dapat dijangkau oleh argumen ini, yakni argumen ini tidak dapat membuktikan prinsipalitas wujud Tuhan. Kesimpulannya, jika argumen akhlak disandarkan pada filsafat teoritis maka dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai bagian filsafat teoritis, juga landasan-landasan yang digunakan cukup sempurna. Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk menetapkan eksistensi Tuhan. Apakah hukum akal mengenai kebaikan? Apakah kebaikan memiliki makna kemestian jika ditinjau dari bentuknya yang mutlak? Secara hakiki makna kebaikan yang ada dalam kebaikan

akhlak dan kebaikan alami (yang bersifat inderawi) adalah sama. Oleh karena itu, kebaikan akhlak bukan satu-satunya kebaikan, meskipun kebaikan tersebut adalah paling tinggi, terdapat juga kebaikan yang merupakan subyek keinginan-keinginan indrawi. Jadi kebaikan mutlak tersusun dari dua kebaikan tersebut, dan dua kebaikan tersebut mengantarkan kita untuk mengkonsepsi suatu komprehensi dan pengertian tentang kebaikan tertinggi, kebaikan tertinggi inilah yang secara hakiki menyatukan keinginan-keinginan alamiah dan kehendak murni. Dan kebaikan tersebut, jika dipandang dari sisi keutamaan adalah kebahagiaan, sedangkan keutamaan dilihat dari dimensi bahwa dia adalah kebaikan maka secara esensi menjadi syarat kebahagiaan. Untuk terwujudnya kebaikan tertinggi yang berpengaruh terhadap semua realitas wujud maka harus dikonsepsi suatu wujud yang pada dirinya menyatu secara bersama kesucian, keutamaan dan kebahagiaan. Dan wujud ini disebut sebagai Tuhan. Untuk memahami kemestian eksistensi Tuhan harus diketahui secara mendalam hubungan antara manusia, alam dan akhlak. Kebahagiaan adalah kondisi pribadi dimana segala sesuatu didapatkan sesuai dengan keinginan dan kehendak. Jadi kebahagiaan adalah kesesuaian dan keselarasan antara watak alami dan tujuan-tujuan yang diusahakan hingga tercapai. Jika wujud kebahagiaan mesti berhubungan dengan keutamaan dan saling bersesuaian dengannya, maka tidak mungkin kebahagiaan ini mewujud kecuali dengan perantara adanya suatu sebab bagi seluruh realitas alam yang berbeda darinya, yang meliputi landasan hadirnya kesesuaian dan kesatuan antara kebahagiaan dan keutamaan. Oleh karena itu, kebaikan hakiki (mutlak) tertinggi menjadi perantara terwujudnya kebaikan tinggi relatif, yakni kebaikan mutlak tertinggi menciptakan suatu alam yang merupakan paling baik dan sempurnanya alam. Menurut Kant perkara-perkara, seperti kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalildalil yang berpijak pada akal praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah menjadi "hal yang sudah diterima" (al-musallamah) oleh akal praktis. "Al-Musallamah" tersebut bukan sekedar keyakinan pribadi yang subyektif, akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang mengasumsikan "al-musallamah" tersebut, karena itu keyakinan terhadapnya merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah" tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis. Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna

bahwa dari jalan akal praktis dihasilkan suatu ilmu terhadap "almusallamah" itu, dimana akal teoritis tidak memiliki kemampuan untuk mengetahuinya, akan tetapi ketinggian derajat tersebut berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan kemestian-kemestiannya (syarat-syaratnya) dan kemudian kita menyandarkan keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan akal praktis yang bersifat universal. Tidak terdapat problem yang mengarah pada keimanan ini, tetapi sebaliknya, keimanan ini secara sempurna sesuai dengan kita. Oleh karena itu, jika kita memiliki ilmu teoritis yang sempurna tentang Tuhan dan keabadian jiwa, maka ditinjau dari dimensi kesusastraan adalah mustahil tak terdapat pemaksaan dan tekanan dari ilmu ini yang mengarah kepada irdah (kehendak) kita, atau akhlak menjadi perantara dan kita menyerupai suatu darah yang mengalirkan ketakutan dan keinginan kepadanya, padahal keimanan menyiapkan suatu wadah bagi pilihan kehendak, kemuliaan dan keutamaan. Konklusi dari teori ini membenarkan kita melihat tugas-tugas dalam bentuk perintah-perintah yang tidak hanya bersumber dari akal tetapi juga berasal dari Tuhan. Jadi dengan bentuk tersebut maka kita menerima agama dimana suatu agama yang diletakkan setelah akhlak dan peletakan tugas-tugas, akan tetapi kebalikan dari itu adalah suatu agama yang berlandaskan atas akhlak dan akhlak juga berlandaskan atas akal (akal praktis) Akhlak memiliki rumusan dan uraian yang beragam. Sebagian diantaranya berdalil dengan ketetapan dan kemutlakan perintahperintah akhlak atas keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan kebalikan darinya. Sebagian lagi menggunakan keniscayaan undang-undang dengan pembuat undang-undang untuk menetapkan sumber undangundang, atau dikarenakan adanya undang-undang akhlak yang sama dalam kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda menegaskan asumsi adanya Tuhan yang meletakkan pandangan undang-undang ini dalam kalbu manusia. Panggilan nurani atau perintah akhlak kemudian disusul oleh perasaan bersalah, malu dan menyesal, atau takut ketika melakukan kemaksiatan, atau takut sebelum melakukan perbuatan buruk, merupakan premis-premis yang terdapat pada semua

argumen-argumen akhlak, sebab sesudah menetapkan semua itu memungkinkan terbentuk rumusan dan uraian -yang mungkin berbeda dengan rumasan-rumusan yang telah disebutkan di atastentang keberadaan Sumber Eksistensi, meskipun rumusan argumen tersebut belum sampai menetapkan kemestian esensi dan keazalian dzat Tuhan. Jika mukadimah pertama yakni keberadaan undang-undang yang sama adalah diterima dimana manusia sebelum melakukan perbuatan merasa cemas dan sesudah melakukan keburukan merasa menyesal dan malu. Keuniversalan undang-undang dan hukum-hukum ini dimana individu-individu yang berbeda dan bangsa-bangsa yang beragam serta kebudayaan-kebudayaan dan kondisi-kondisi kemasyarakatan yang beragam mencapai puncak puncak kekuatan atau jatuh ke lembah kehinaan, atau mendapat dukungan atau penentangan, atau terasing dari masyarakat atau berjaya di masyarakat desa atau masyarakat kota modern ketika mengamalkan undang-undang atau terdapat perasaan takut dan berdosa ketika menyalahinya, maka dapat diambil konklusi bahwa sumber undang-undang ini sama sekali tidak dari kondisi-kondisi dan asumsi-asumsi yang disebutkan, tapi baginya terdapat sebab dan sumber luar yang menyertai keseluruhan ini.

Vous aimerez peut-être aussi