Vous êtes sur la page 1sur 22

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

PERATAAN LABA, KUALITAS LABA DAN NILAI PERUSAHAAN Alwan Sri Kustono Abstract This study was aimed to analyze the influence of the income smoothing tendency towards income quality and firm value on non financial public companies at the Jakarta Stock Exchange. This study was performed using field research. Data were collected from Indonesian Capital Market Directories. Sample in this study is 100 non financial firms which listed at the Jakarta Stock Exchange from 2000-2006 and is derived using some criteria. This study used Partial Least Square regression technique. The result showed that income quality influenced firm value. The findings refused third hypothesis. The study contributed to the literature in that it high income quality information drive to increase the firm value. Managers should not exercise income smoothing because public did not care the practice. Key words: income smoothing, income quality, firm value.
1. Pendahuluan Praktek perataan laba merupakan upaya sengaja untuk menekan variabilitas laba pada sejumlah periode tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tingkat laba yang sesuai dengan yang diharapkan. Definisi perataan laba dikemukakan secara berbeda-beda oleh Copeland (1968), Beidleman (1973), Ronen dan Sadan (1975), Barnea dkk. (1976), Ronen dan Sadan (1981), Imhoff (1977), Koch (1981), Givoly dan Ronen (1981), Moses (1987), Ma (1988), Ashari dkk. (1994), Beattie dkk. (1994), Fern dkk. (1994), Fudenberg dan Tirole (1995), Assih dan Gudono (2000), serta Kustono (2008). Dari banyak pendapat tersebut perataan laba dapat didefinisi sebagai suatu cara yang dipakai manajemen untuk mengurangi variabilitas laba di antara deretan jumlah laba, yang timbul karena adanya perbedaan antara jumlah laba yang seharusnya dilaporkan dengan laba yang diharapkan (laba normal). Usaha tersebut dapat berupa meningkatkan jumlah laba yang dilaporkan, jika laba yang seharusnya dilaporkan lebih kecil dari laba normal, atau menurunkan jumlah laba yang dilaporkan jika laba yang seharusnya dilaporkan lebih besar dari laba normal. Perataan laba adalah cara untuk menggeser volatilitas laba dengan menurunkan pada saat laba mencapai puncak dan menaikkan ketika berada di bawah.
1

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi Univ. Jember

41

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

Perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu teknik perekayasaan laba dengan tujuan menampilkan figur arus laba yang stabil. Perataan laba hanya dapat dilakukan pada beberapa periode pelaporan dan ini berbeda dengan teknik perekayasaan laba lainnya seperti pengungkitan laba (income increasing) atau penurunan laba (income decreasing) yang dapat dilakukan pada satu periode saja. Dari berbagai studi yang telah dilakukan, motivasi untuk melakukan perataan laba disebabkan dalam jangka panjang serial perataan laba memberikan banyak manfaat bagi manajer perusahaan dan untuk publik. Pada studi-studi perataan terdahulu dihipotesiskan bahwa manajemen dimotivasi untuk mengurangi laba dan variabilitas arus kas dalam upaya untuk mengurangi risiko yang diterima perusahaan. Brayshaw dan Eldin (1989) mengungkapkan bahwa alasan utama mengapa manajemen sangat diuntungkan dengan adanya praktek perataan laba adalah fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan cara pengambilalihan atau penggantian manajemen secara langsung. Dengan alasan adanya ancaman penggantian ini, maka manajemen terdorong untuk membuat laporan yang sesuai dengan keinginan pemilik. Secara implisit hal ini menyatakan bahwa dorongan manajemen melakukan praktik perataan laba adalah karena ingin memuaskan pemegang saham. Wang dan Williams (1994) menyatakan bahwa perataan justru sebuah tindakan yang seharusnya dilakukan manajer. Mereka menganggap bahwa perataan laba memiliki nilai informasi atas laba yang dilaporkan. Hasil studi yang dilakukannya menyediakan bukti-bukti yang mengindikasi bahwa laba yang diratakan lebih disukai pasar, dan perusahaan dengan serial laba dianggap memiliki risiko yang lebih rendah. Temuan ini mendukung bahwa perataan laba dapat memberikan manfaat baik bagi pemegang saham dan investor yang potensial. Bukti-bukti empiris yang ada mendukung bahwa manipulasi laba yang dilaporkan merupakan tuntutan pasar. Pasar menggunakan tekanan kepada manajer untuk memanipulasi earnings salah satunya meratakan laba (Barth dkk., 1999; Bushee, 1998; Burgstahler dan Dichev, 1997). Hal in juga diungkapkan oleh Moses (1987). Menurutnya perataan mengimplikasikan adanya hubungan direct dan cause-effect antara fluktuasi laba dan risiko pasar. Laba yang rata mengindikasi kekuatan dan stabilitas. Investor dan kreditur lebih menginginkan untuk menanam ataumeminjamkan danaya kepada perusahaan yang kelihatan kuat. Pemasok juga lebih menyukai bekerja sama dengan perusahaan semacam ini sebab mereka berharap pembayarannya dapat tepat waktu dan perusahaan akan dapat melakukan pembelian secara berlanjut. Pekerja juga akan merasa lebih tenang dan bersemangat bekerja sebab mereka berpikir perusahaan akan hidup terus dan karenanya memperoleh keamanan kerja (job security) yang lebih tinggi (Atik dan Sensoy (2005). Badrinath, Gay dan Kale (1989) menemukan bahwa kelompok investor tertentu menghindari perusahaan yang memiliki variasi laba yang tinggi atau perusahaan yang dirasakan berisiko. Bagaimanapun, kelompok investor ini cenderung untuk lebih menyukai perusahaan dengan arus laba yang rata. Dye (1988) menyatakan bahwa persepsi investor terhadap nilai perusahaan dapat dipengaruhi dengan menggunakan praktek perataan laba. Ronen dan Sadan (1981) mengatakan bahwa perataan laba memperbaiki kemampuan investor untuk memprediksi arus kas mendatang, dan pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan.

42

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

Michelson dkk. (2000) menguji apakah respon pasar saham terhadap ukuran kinerja akuntansi yang dikaitkan dengan perataan laba yang dilaporkan. Mereka menemukan bahwa perusahaan yang melaporkan income yang lebih rata memiliki signifikansi cumulative average abnormal returns dibanding perusahaan yang tidak. Bitner dan Doan (1996) menganggap nilai pasar ekuitas sebagai motivasi untuk perataan. Studi ini menunjukkan dukungan keterkaitan teoritis antara perataan laba dengan nilai pasar. Mereka mengembangkan dua hipotesis bahwa pasar menunjukkan preferensi terhadap arus laba yang diratakan. Hasilnya mengindikasi bahwa selaras dengan pertumbuhannya, pasar mengapresiasi laba yang diratakan. Namun demikian, pasar juga sensitif terhadap cara perataan yang dilakukan. Ini menunjukkan adanya bentuk pasar yang setengah efisien. Hasil empiris menunjukkan bahwa penilaian pasar ekuitas sebanding baik perataan yang artifisial maupun senyatanya. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu: 1. menguji kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap kualitas laba 2. menguji kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan 3. menguji kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 2. Tinjauan Teori

2.1 Perataan Laba Dan Nilai Perusahaan Perataan laba menjadi topik penting penelitian akuntansi karena menganalisis upaya manajemen dalam merekayasa laba laporan dengan mengambil keuntungan dari celah-celah standar akuntansi. McHugh (1992) menganggap perataan laba sebagai rekayasa informasi keuangan. Perataan laba adalah suatu intervensi dalam proses pelaporan keuangan kepada pihak eksternal dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ketika perataan diratakan secara artifisial, pengungkapan laba menjadi menyesatkan. Perataan laba seringkali merupakan upaya untuk mengelabuhi pemegang saham dan calon investor. Investor tidak memperoleh informasi secara akurat mengenai laba untuk mengevaluasi kembalian dan risiko portofolionya. Praktik perataan laba dapat saja berakhir pada suatu bentuk kecurangan. Praktik perataan laba merupakan rekayasa manajemen untuk menekan variabilitas laba pada sejumlah periode tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tingkat laba sesuai dengan yang diharapkan. Pengurangan variabilitas itu dilakukan karena adanya perbedaan antara laba yang seharusnya dilaporkan dengan laba yang diharapkan. Dengan kata lain, perataan laba adalah rekayasa laba yang dilakukan manajemen sehingga laba laporan memiliki fluktuasi yang relatif rendah. Pada praktik perataan laba , laba laporan kadang-kadang lebih tinggi dibanding dengan laba yang seharusnya dan kadang-kadang lebih rendah. Perusahaan boleh jadi menyembunyikan (menyimpan) beberapa bagian dari laba sekarang untuk laporan di periode mendatang ketika laba mendatang diprediksi rendah. Penyembunyian itu juga dapat terjadi jika pelaporan laba mendatang yang lebih tinggi diasumsi akan direaksi pasar dengan sangat positif. Hand (1989) menganggap manajer melakukan perataan laba untuk mengarahkan hasil dengan ekspektasi pasar, dan meningkatkan kualitas laba. Jika laba diratakan untuk mengurangi efek transitory cash flows dan menyesuaikan laba yang dilaporkan agar lebih stabil, menurutnya

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

43

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

perataan laba akan dapat meningkatkan relevansi laba. Sementara Subramanyan (1996) menyimpulkan bahwa akrual dikresionari diapresiasi oleh pasar dan bahwa terdapat bukti perataan laba memperbaiki persistensi dan prediktibilitas earning. Menurut Kirschenheiter dan Melumad (2002), pihak eksternal seringkali meminta perusahaan untuk melakukan perataan dengan tujuan meningkatkan harga saham. Hal yang sama diungkapkan oleh Makaryanawati (2003). Ia menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif antara praktek perataan laba dengan nilai perusahaan. Pasar modal membayar premium dan memberi preferensi terhadap perusahaan yang melakukan perataan. Sepanjang alasan manfaat perataan laba yang dilaporkan adalah untuk memuaskan pemegang saham, maka indikatornya tentu adanya peningkatan nilai perusahaan. Gordon (1964) menyatakan bahwa level perataan akan menghasilkan rata-rata deviden yang lebih tinggi dan tentunya harga saham yang lebih tinggi. Dengan menggunakan agensi model, Demski, dkk. (1984) menyimpulkan bahwa dengan mengijinkan manajemen untuk memilih metode akuntansi alternatif, pemilik dapat menmanfaatkan sebesar-besarnya keahlian manajer. Trueman dan Titman (1988) menyatakan proposisi bahwa perataan laba dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui efeknya terhadap cost of debt. Semakin rendah volatilitas laba maka akan menurunkan kemungkinan perusahaan bangkrut, dan bagaimana pun akan menurunkan biaya utang. Semakin rendah biaya untuk berutang, seharusnya memiliki efek positif terhadap nilai pasar perusahaan. Sementara menurut Beattie dkk. (1994), laba yang lebih rata akan menurunkan kemungkinan batasan rasio keuangan dan mengurangi biaya renegoisasi dan default ekspektasian. Manajemen memiliki insentif untuk perataan laba dengan tujuan untuk memperbaiki akuransi peramalan laba. Peramalan umumnya dipertimbangkan sebagai sumber informasi untuk penting investor yang diindikasi dengan reaksi pasar untuk mengungkapkan peramalannya. Laba yang diratakan akan memberikan manfaat informasi kepada pemegang saham dari pengumuman laba. bahwa perusahaan yang tidak meratakan laba memiliki return tak terduga yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang meratakan laba (Easton dan Zmijewski, 1989; Booth dkk., 1996). Bricker dkk. (1995) menunjukkan bukti asosiasi antara kualitas laba dengan kapabilitas manajer perusahaan untuk melakukan manajemen laba sehingga menghindarkan kejutan laba yang negative (negative earnings surprises). Badrinath dkk. (1989) beralasan bahwa investor institusional secara normal akan menghindari perusahaan yang memiliki variasi besar pada laba perusahaan yang dirasakan sebagai perusahaan yang berisiko. Investor institutional cenderung untuk menyukai perusahaan dengan arus laba yang lebih rata. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemegang saham umumnya menghendaki fluktuasi laba yang rendah. Chaney dan Lewis (1994) mengembangkan model yang menunjukkan bahwa perusahaan yang meratakan laba dengan tujuan untuk memberi sinyal nilai perusahaan pada investor. Level laba dilaporkan yang konsisten merupakan cara untuk memberi signal nilai perusahaan kepada investor. Permintaan terhadap rekayasa laba dihasilkan dari keinginan pemegang saham untuk mempengaruhi persepsi investor terhadap nilai perusahaan. Hal ini sejalan dengan Easton dkk. (1992) yang menyatakan bahwa dalam studi jangka panjang, return akuntansi secara agregat menjelaskan bahwa investor sebenarnya membeli laba.

44

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

Berdasarkan teori dan temuan empiris di atas, diduga terdapat pengaruh perataan laba terhadap nilai perusahaan. 2.2 Perataan Laba Dan Kualitas laba Proses perataan laba berkaitan dengan pemahaman manajer mengenai kinerja perusahaan di masa mendatang (Chaney dan Lewis, 1995). Mereka menganggap bahwa derajat laba laporan yang konsisten sebagai cara untuk memberikan sinyal kualitas perusahaan. Jadi, pengetahuan ini akan memberikan efek yang menyenangkan bagi kesejahteraan pemegang saham dan pada saat yang sama akan mengurangi risiko. Pemilik perusahaan akan merasa lebih konfiden dengan perusahaan yang melaporkan laba yang stabil. Perataan laba memperbaiki kemampuan investor untuk memprediksi arus kas mendatang. Adanya pertimbangan keamanan kerja (job security) akan mendorong manajer untuk melakukan perataan laba dengan mempertimbangkan kinerja relatif sekarang dan masa depan. Kinerja yang buruk akan memberikan anacaman pemecatan bagi manajemen dan juga kinerja sekarang yang baik tidak akan memberi kesempatan atau kelonggaran bagi manajer ketika kinerja mendatang buruk. Hal ini memunculkan pendapat bahwa ketika kinerja sekarang buruk, maka manajer akan menggeser laba mendatang ke periode sekarang. Jika kinerja mendatang diprediksi buruk, manajer dapat menggeser laba periode sekarang untuk mengurangi kemungkinan di pecat. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yakni, (1) ketika kinerja sekarang relatif buruk tetapi laba mendatang diekspektasi baik, manajer akan mengambil pilihan akuntansi yang meningkatkan akrual diskresionari sekarang. Artinya manajer akan mengambil sebagian laba tahun depan. (2) Ketika kinerja sekarang adalah tinggi, tetapi laba mendatang diekspektasikan buruk, manajer akan membuat pilihan akuntansi yang menurunkan laba periode sekarang. Manajer melakukan penyimpanan laba untuk laba periode mendatang. Beaver (2002) menyatakan bahwa rekayasa laba dapat memperbaiki kualitas laba. Peningkatan kualitas laba dapat mengakibatkan informasi laba tahun berjalan menjadi lebih bermanfaat dalam memprediksi laba di masa depan. Easton dan Zmijewski (1989) menyatakan bahwa perataan laba memberikan kemampuan kepada investor untuk mengumpulkan informasi yang lebih banyak dari pengumuman laba. Proses perataan laba dapat dianggap berhubungan dengan pemahaman manajer mengenai kondisi perusahaan dan kinerja perusahaan di masa depan. Gordon (1964) menyatakan perataan laba dapat menghindarkan bias pemegang saham dalam mengekstrapolasi laba masa lalu untuk mengestimasi laba periode mendatang. Perataan laba memberikan kemampuan bagi pengguna laporan keuangan untuk memprediksi laba periode mendatang dengan mendasarkan pada informasi laba sekarang. Penelitian yang menguji pengaruh perataan laba terhadap kualitas laba belum banyak dilakukan. Logika pengaruh perataan laba terhadap kualitas laba adalah bahwa perataan laba dilakukan dengan menekan fluktuasi laba antar periode. Penekanan ini dilakukan dengan menyimpan laba pada periode baik dan meminjam laba dari periode yang lain pada periode yang buruk. Rendahnya volatilitas ini memberikan kemampuan laba laporan sekarang sebagai instrumen untuk memprediksi laba laporan pada periode mendatang. Perataan laba mengurangi ancaman terhadap volatilitas laba laporan. Manajer menggunakan perataan laba untuk menyampaikan informasi privat yang dimilikinya mengenai

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

45

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

kinerja perusahaan di masa mendatang. Dalam kasus ini, perataan laba memuat lebih banyak informasi mengenai laba dan arus kas mendatang. Moses (1987) serta Atik dan Sensoy (2004) menemukan bahwa terdapat hubungan antara perataan laba dan laba sebelum perubahan. Perusahaan yang memiliki perbedaan laba realisasian dan laba ekspektasian yang cukup besar akan melakukan upaya perataan laba. Ini mengindikasikan bahwa laba perata lebih dapat dipergunakan untuk memprediksi laba periode mendatang. Assih dan Gudono (2000) menyatakan bahwa laba yang dilaporkan oleh perusahaan merupakan sinyal mengenai laba di masa yang akan datang, sehingga penggunaan laporan keuangan dapat memprediksi laba perusahaan untuk masa yang akan datang berdasarkan sinyal yang disediakan oleh manajemen melalui laba yang dilaporkan. Dalam hal ini perataan laba merupakan suatu teknik pensinyalan yang dimaksudkan untuk menyediakan sinyal guna akurasi prediksi. Tucker dan Zarowin (2005) mengungkapkan bahwa perataan laba dapat menyebabkan laba sekarang dan periode lalu lebih informatif jika manajer menggunakan diskresinya untuk mengkomunikasikan keyakinannya mengenai laba periode mendatang. Hasil penelitiannya menemukan bahwa perusahaan perata memberikan informasi mengenai prospek perusahaan di masa depan dibandingkan yang bukan perata. Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) mengungkapkan bahwa tindakan manajemen untuk mengatur laba laporan memiliki kontribusi 47.56% terhadap kualitas laba. Ini berarti bahwa semakin tinggi derajat pengaturan akan diikuti dengan kenaikan kualitas laba. Pengguna laporan keuangan mengasumsikan bahwa laba laporan menunjukkan kinerja manajerial dan prospeknya di masa depan. Perataan laba dilakukan dengan menekan fluktuasi laba antar periode sehingga laba laporan lebih dapat dipergunakan untuk memprediksi laba periode berikutnya. Karena kualitas laba merupakan kemampuan laba sekarang memprediksi laba tahun mendatang, maka diharapkan perataan laba dapat meningkatkan kualitas laba. Hipotesis studi ini adalah kecenderungan perataan laba berpengaruh signifikan terhadap kualitas laba. 2.3 Perataan Laba , Kualitas laba, Dan Nilai Perusahaan Perspektif informasi merupakan penjabaran dari asumsi dasar mengenai informasi asimetri antara manajer dan pemegang saham. Pendekatan ini menganggap diskresi untuk meratakan dapat sejalan dengan kepentingan pemegang saham. Manfaat yang muncul adalah dengan melihat persepsi pemegang saham terhadap nilai perusahaan (Dye, 1988), atau dengan mengurangi kemungkinan risiko kebangkrutan, yang pada ujungnya meningkatkan nilai perusahaan (Trueman dan Titman, 1988). Perspektif ini menyatakan bahwa metode akuntansi diambil oleh manajer merujuk pada ekpektasi manajer mengnai arus kas perusahaan di masa depan (Suh, 1990). Jadi perataan yang efektif adalah jika pilihan akuntansi manajer dapat diobservasi. Argumen yang lain menyatakan bahwa perataan mungkin mengurangi ancaman terhadap laba yang dilaporkan, mengurangi kovarian dari return harapan dengan return pasar, membawa ke arah harga saham yang tinggi. Hal ini secara nyata menggambarkan hubungan antara fluktuasi laba dengan risiko pasar. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pasar mengindikasikan ukuran resiko pasar

46

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

yang dikaitkan dengan ukuran akuntansi semacam varaibilitas laba (Lev dan Kunitzky, 1974). Asumsi yang jamak adalah bahwa terdapat hubungan langsung antara ukuran akuntansi dan parameter pasar. Variabilitas laba yang redah akan berakibat risiko pasar yang rendah pula, tetapi laba yang dilaporkan semakin tinggi mengimplikasi return akuntansi dan return pasar yang semakin tinggi. Konsekuensinya, manajemen seharusnya dimotivasi untuk menggunakan perubahan akuntansi untuk meningkatkan level laba sekaligus mengurangi variabilitas laba yang menurun (Moses, 1987). Perusahaan dengan kecenderungan perataan yang lebih tinggi memiliki harga saham yang lebih informatif. Pasar menganggap manajer menggunakan perataan laba untuk menyampaikan informasi privat mengenai laba perusahaan di masa depan (Zarowin, 2002). Hipotesis tiga: Kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 2.4. Model Penelitian Asosiasi antar variabel pengujian dapat dibentuk sebagai model penelitian yang mendasari penelitian ini. Gambar berikut menyajikan model penelitian. Kualitas laba Perataan Laba . 3. Konsep dan Definisi Operasional 3.1 Variabel Kualitas laba Variabel endogen pertama dalam penelitian ini adalah kualitas laba. Kualitas laba diukur dengan persistensi laba yaitu kemampuan laba laporan dipergunakan untuk memprediksi laba periode berikutnya. Persistensi laba diukur dengan menggunakan model autoregresif (AR1) kualitas laba. Model ini dihitung dengan menggunakan data tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Persistensi laba diklasifikasi berdasarkan tujuan perataan laba yakni kualitas laba usaha dan kualitas laba bersih. Pengukurannya mengikuti Lipe (1990) yang menggunakan model persistensi laba yakni: Laba t+1 = + Laba t + t+1. Nilai beta yang semakin mendekati 1 menunjukkan adanya persistensi laba yang lebih baik. Persistensi yang baik menunjukan kualitas laba yang baik. Nilai Perusahaan

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

47

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

3.2. Variabel Nilai Perusahaan Variabel endogen kedua dalam penelitian ini adalah nilai nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham, sangat dipengaruhi oleh peluangpeluang investasi. Pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan. Nilai perusahaan diukur dengan Price Book Value (PBV). Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham, 1999: 92). Harga Pasar per Lembar Saham PBV = --------------------------------------Nilai Buku per Lembar Saham 3.3.Perataan laba Variabel kecenderungan perataan laba diukur dalam bentuk indeks yang diukur menggunakan indeks Eckel (1981). Angka indeks 1 (satu) atau kurang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut melakukan praktek perataan laba. Tidak seperti ukuran lainnya, indeks Eckel mengukur timbulnya perataan laba tanpa memilah-milah prediksi laba, modeling laba dan beban ekspektasi, dan judgement yang subyektif. Indeks ini mengukur perataan laba dengan mengumpulkan seluruh variabel-variabel potensial dan menginvestigasi perilaku perataan laba selama beberapa waktu (Ashari et. al., 1994). Pendekatan Eckel (1981) dilakukan dengan membandingkan variabilitas laba dengan variabilitas penjualan untuk mengendalikan efek dari perataan riil dan secara inheren arus laba yang rata. Karena bank merupakan industri jasa, variabel penjualan dikonversi dengan variabel pendapatan sehinggan perhitungan indeks Eckel dilakukan dengan perhitungan: Indeks perataan laba =[(CVI/CVS )] Dimana I S CVS CVI = = = = perubahan laba dalam satu periode perubahan pendapatan dalam satu periode Koefisien variasi untuk perubahan dalam runtun waktu (time series) pendapatan Koefisien variasi untuk perubahan dalam runtun waktu (time series) laba

CVI dan CVS =

(X ) : n-1

48

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

dimana : X = Perubahan pendapatan (S) atau laba (I) antara tahun n dengan n-1 = mean dari perubahan pendapatan (S) atau laba (I) dari tahun 2001-2006. n = Banyaknya tahun yang diamati. Untuk menentukan koefisien variasi dihitung dalam periode amatan lima tahun yakni 2001-2006. Dalam penelitian ini, tujuan perataan tujuan perataan laba yang diteliti meliputi (a) laba usaha dan laba bersih. 4.Hasil Panelitian Keseluruhan data yang diolah berasal dari laporan keuangan auditan perusahaan pada periode 2001-2006. Laporan keuangan auditan 2000 digunakan untuk menyeleksi pemenuhan kriteria populasi. Statistik deskriptif seluruh variabel menunjukkan hasil seperti pada tabel 1. Tabel 1 STATISTIK DESKRIPTIF Perataan Laba (Laba Usaha) Perataan Laba (Laba Bersih) Nilai Perusahaan (PBV) Kualitas laba (Laba Usaha) Kualitas laba (Laba Bersih) Min. Max. Mean Std. Dev. Median 0,07 19,24 3,4503 3,79948 2,0470 0,11 17,15 3,6643 3,63422 2,4130 0,13 7,97 1,290 1,2355 0,875 0,003 0,99 0,4768 0,32079 0,4266 0,001 0,99 0,4335 0,29192 0,3774

Rentang nilai perataan laba memperlihatkan kisaran antara 0,07 sampai dengan 19,24 untuk objek perataan laba usaha dan 0,11 sampai dengan 17,51 untuk objek perataan laba bersih. Angka ini mengindikasi bahwa beberapa perusahaan publik di Indonesia melakukan kecenderungan perataan laba. Mean berada pada angka 3,4 dan 3,5 serta median 2,04 dan 2,4. Dengan kata lain perusahaan publik di Indonesia lebih cenderung menghindari praktik perataan laba. Nilai perusahaan berkisar 0,13 sampai dengan 7,97 dengan mean 1,290 mengindikasi bahwa beberpa perusahaan publik dinilai undervalued dan beberapa yang lain dinilai lebih tinggi dari nilai bukunya. Mean menunjuk angka 1,23 dan median 0,875. Hal ini berarti bahwa rata-rata perusahaan publik dinilai mendekati dengan nilai bukunya. Kualitas laba menunjukkan kisaran angka 0,01 sampai dengan 0,99 mengindikasi bahwa beberapa laporan keuangan perusahaan melaporkan laba yang tidak persisten sementara yang lain melaporkan laba cukup persisten. Mean variabel ini memperlihatkan kisaran 0,4 dan median 0,42 untuk objek perataan laba usaha serta 0,37 untuk objek perataan laba bersih mengindikasi bahwa rata-rata perusahaan publik melaporkan laba dengan tingkat persistensi yang rendah. Deskripsi Variabel Kecenderungan perataan laba dihitung dengan menggunakan kerangka kerja Eckel (1981) untuk objek laba usaha dan laba bersih. Data laba usaha dan bersih diperoleh dari

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

49

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

laporan keuangan tahunan auditan dari yahun 2001-2005. Nilai perataan laba dengan objek laba usaha berada pada rentangan 0,067 sampai dengan 19,24 dan rata-rata 3,45. Perataan laba dengan objek laba bersih 0,11 sampai 17,15 dengan rata-rata 3,663. Hasil ini memperlihatkan adanya indikasi bahwa perusahaan yang melakukan perataan laba. Dari hasil pengklasifikasian perata dan bukan perata berdasarkan kerangka kerja Eckel (1981), laba usaha adalah yang paling banyak menjadi objek perataan (tabel 5.2). Perusahaan yang terindikasi melakukan perataan laba pada objek laba usaha adalah 29 perusahaan (29%). Perusahaan yang terindikasi melakukan perataan laba pada objek laba bersih adalah 24 perusahaan (24%). Tabel 2 Klasifikasi Perusahaan Perata Dan Bukan Perata Klasifikasi* Objek Perataan Perata Non Perata Laba Usaha 29% 71% Laba Bersih 24% 76% *Klasifikasi berdasarkan kerangka kerja Eckel (1981) Variabel kualitas laba yang diproksi dengan kualitas laba usaha dan kualitas laba bersih. Data persistensi diperoleh dari nilai koefisien beta untuk model autoregresive (AR1) laba usaha dan laba bersih perusahaan antara tahun 2001-2005. Kualitas laba untuk perusahaan observasian memperlihatkan kisaran angka 0,003 sampai dengan 0,99. Rata-rata kualitas laba (usaha) observasian adalah 0,477. Kualitas laba yang diproksi dengan kualitas laba bersih memperlihatkan kisaran angka 0,001 sampai dengan 0,99 dan rata-rata 0,433. Hasil ini mengindikasikan bahwa secara rata-rata perusahaan observasian kurang menunjukkan kualitas laba yang baik karena nilai beta hanya menunjukkan skor kurang dari 0,5. Persistensi yang baik adalah jika angka persistensi (beta) mendekati nilai 1. Variabel nilai perusahaan diukur dengan rasio price to book value. Data PBV diperoleh dari Capital Market Indonesia Directory. Hasilnya menunjukkan PBV perusahaan observasian berada pada rentangan 0,13 sampai dengan 7,97. Angka ini menunjukkan bahwa pasar mempersepsi sebagian perusahaan dibawah nilai buku (0,13) dan seba gian perusahaan yang lain dinilai jauh di atas nilai buku (7,97). Rata-rata nilai perusahaan observasian adalah 1,29. Angka ini berarti bahwa secara rata-rata, pasar menilai perusahaan di atas nilai buku ekuitasnya perusahaan. Dengan kata lain, pasar mempersepsi perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta lebih tinggi dibanding nilai perusahaan tercatat. 4.1 Hasil Pengujian Pengujian hipotesis satu sampai dengan hipotesis tiga dilakukan dengan teknik regresi partial least squares dengan perangkat Visualpls. Hasil pengujian analisis jalur partial least square dilakukan dengan menspesifikasi hubungan antar variabel dalam inner model. Dalam laporan laba rugi perusahaan publik non keuangan di Indonesia, setidaknya memuat klasifikasi laba yakni laba usaha dan laba bersih. Dalam pengujian hipotesis dilakukan pengujian perataan laba pada dua objek perataan tersebut. Persamaan model I menggunakan laba

50

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

usaha sebagai objek perataan laba dan model II menggunakan laba bersih sebagai objek perataan laba. Model I Model II Estimasi Estimasi Sampel Sampel Perataan Laba Nilai Perusahaan -0,009 -0,045 0,1774 0,8283 Perataan Laba Kualitas laba -0,151 0,086 1,4307 1,4189 Kualitas laba Nilai Perusahaan 0,122 0,322 0,0734 0,0498* RSq (Kualitas laba ) 0,023 0,007 RSq (Nilai Perusahaan) 0,013 0,019 RSq (total) 0,036 0,026 *) signifikan pada 0,05 Beberapa penelitian terdahulu menggunakan laba operasi sebagai objek perataan laba (Albrecht dan Richardson, 1990; Ashari dkk., 1994; Sheikholeslami, 1994; Godfrey dan Jones, 1999; Subekti, 2006). Hasil pengujian koefisien jalur inner model untuk model persamaan I seperti dalam tabel 5.4 dapat diikhtisarkan sebagai berikut: 1. Pengaruh variabel dalam model tidak menunjukkan signifikansi yang cukup. 2. Variabel perataan laba tidak berpengaruh terhadap variabel nilai perusahaan. 3. Variabel perataan laba tidak berpengaruh terhadap variabel kualitas laba. 4. Variabel kualitas laba tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan laba bersih sebagai objek perataan laba (Brayshaw dan Eldin, 1989; Craig dan Walsh, 1989; Albrecht dan Richardson, 1990; Ashari dkk., 1994; Sheikholeslami, 1994; Michelson dkk., 1995; Breton dan Chenail, 1997; Juniarti, 2005; Subekti, 2006). Dari tabel hasil pengujian inner model pada tabel 5.4 dapat diikhtisarkan sebagai berikut. 1. Variabel perataan laba tidak berpengaruh terhadap variabel nilai perusahaan. 2. Variabel perataan laba tidak berpengaruh terhadap variabel kualitas laba. 3. Variabel kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 4.2 Hasil Pengujian Hipotesis Statistik deskriptif pada tabel 5.3 memperlihatkan bahwa praktik perataan laba merupakan sesuatu yang ada dan dilakukan oleh sebagian perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Indeks perataan laba merupakan formula yang dihitung dari pembandingan koefisien variasi laba dibagi dengan variasi laba. Angka ini dapat dinterpretasi bahwa angka kurang dari satu berarti perusahaan adalah perata dan lebih dari satu berarti bukan perata. Koefisien ini bermakna

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

51

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

negatif terhadap kecenderungan perataan laba. Semakin besar angka koefisien variasi perataan laba berarti perusahaan semakin tidak melakukan praktik laba , demikian sebaliknya. Berdasarkan pengujian koefisien jalur sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 5.4, maka diperoleh hasil pengujian hipotesis untuk laba usaha sebagai objek perataan adalah: 1. Kecenderungan perataan laba (Y1) tidak berpengaruh terhadap kualitas laba (Y2) dengan koefisien jalur sebesar 0,151. Temuan studi ini gagal mendukung pernyataan hipotesis delapan yang menyatakan bahwa kecenderungan kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap praktik perataan laba perusahaan publik di Indonesia. 2. Kecenderungan perataan laba (Y1) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (Y3) dengan koefisien jalur sebesar 0,009. Temuan studi ini gagal mendukung hipotesis dua yang menyatakan kecenderungan perataan laba perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan publik di Indonesia. 3. Kualitas laba tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan dengan koefisien jalur 0,122. Temuan studi ini gagal mendukung hipotesis tiga yang menyatakan bahwa kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan publik di Indonesia. Tabel 5.4 pengujian inner model untuk model persamaan III menunjukkan hasil pengujian hipotesis penelitian sebagai berikut. 1. Kecenderungan Perataan laba (Y1) tidak berpengaruh terhadap kualitas laba (Y2) dengan koefisien jalur sebesar 0,086. Temuan studi ini gagal membuktikan pernyataan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap praktik perataan laba perusahaan publik di Indonesia. 2. Kecenderungan Perataan laba (Y1) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (Y3) dengan koefisien jalur sebesar 0,045. Temuan studi ini gagal membuktikan hipotesis pertama bahwa kecenderungan perataan laba perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan publik di Indonesia. 3. Kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan dengan koefisien jalur 0,332. Temuan studi berhasil mendukung hipotesis tiga yang menyatakan bahwa kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan publik di Indonesia. 4.3. Pembahasan Studi ini bertujuan membuktikan pengaruh perataan laba terhadap kualitas laba dan nilai perusahaan. Dua objek perataan laba yakni laba usaha dan laba bersih memberikan hasil yang berbeda. Baik pada pengujian perataan laba dengan objek laba usaha (model I) dan perataan laba dengan objek perataan laba bersih (model II) menunjukkan hasil bahwa perataan laba tidak berpengaruh terhadap kualitas laba atau nilai perusahaan. Kualitas laba hanya berpengaruh terhadap nilai perusahaan jika yang diukur hdala laba bersih perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan perataan laba tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis satu yang menyatakan terdapat pengaruh kecenderungan perataan laba terhadap kualitas laba gagal didukung. Hasil studi ini bertentangan dengan Feltham dan Pae (2000) serta Pudjiastuti dan Mardiyah (2006). Feltham dan Pae (2000) mengungkapkan bahwa tindakan manajemen

52

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

merekayasa laba berpengaruh positif terhadap kualitas laba. Pemakai laporan beranggapan bahwa laba laporan dapat menunjukkan kinerja manajemen. Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menunjukkan bahwa rekayasa laba mempengaruhi kualitas laba. Manajer memanfaatkan keluasaan pilihan akuntansi untuk mempengaruhi persepsi dan keputusan investor. Menurut mereka semakin tinggi kecenderungan manajemen melakukan perekayasaan maka kualitas laba akan meningkat. Beaver (2002) beralasan bahwa perataan laba dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan dan laba. Bao dan Bao (2004) menyimpulkan bahwa semakin rendah variabilitas laba maka laba laporan lebih berkualitas. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa penurunan variablitas laba akan memperbaiki kualitas laba. Studi ini juga berlawanan dengan Sugiri (2004). Menurut Sugiri, semakin tinggi hubungan antara laba dan arus kas atau kembalian saham, maka kualitas laba akan semakin meningkat. Laba bersih yang direkayasa secara artifisial merefleksikan asosiasi yang rendah dengan arus kas. Laba yang direkayasa tersebut berarti memiliki kualitas yang rendah. Hasil studi ini mendukung penelitian Boediono (2005) yang membuktikan bahwa besarnya pengaruh rekayasa laba terhadap kualitas laba adalah sangat lemah. Boediono (2005) mengatakan bahwa hubungan antara kedua variabel dalam arah positif tetapi tidak cukup signifikan untuk dapat disimpulkan adanya hubungan. Hasil ini mengindikasi bahwa perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan rekayasa laba dengan tidak melanggar standar akuntansi keuangan. Studi ini menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan di antara kedua variabel. Dilihat dari motivasinya, perataan laba yang dilakukan perusahaan publik di Indonesia mungkin tidak bertujuan untuk memberi sinyal informasi tetapi lebih pada motivasi opportunitas manajemen sehingga tidak diketemukan adanya signifikansi pengaruh dengan kualitas laba.. Manajemen bermaksud untuk menyelaraskan dengan kepentingan biaya politik dan agensi. Kedua, manajemen melakukan perataan laba dengan mengabaikan komponen transitori dan permanen sehingga menghilangkan kualitas laba. Hasil ini membenarkan pendapat Kirschenheiter dan Melumad (2005) yang menyimpulkan bahwa perataan laba dapat meningkatkan kualitas laba ketika manajer dapat membedakan komponen laba transitori dan permanen. Manajer yang memiliki pengetahuan lebih baik melaporkan laba yang rata dengan menggunakan komponen transitori. Jika ini tidak terjadi, maka perataan laba tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Hasil pengujian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa kecenderungan perataan laba tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan hasil tersebut, hipotesis sembilan yang menyatakan bahwa kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan tidak terbukti. Fudenberg dan Tirole (1995) mengemukakan bahwa manajemen yang melakukan perataan laba mengasumsikan investor adalah orang yang menolak risiko. Investor lebih menyukai stabilitas laba perusahaan. Laba periodik yang stabil dapat mendukung tingkat dividen yang lebih tinggi diperoleh investor dibandingkan pola laba periodik yang fluktuatif (Beidelman, 1973). Salah satu risiko yang dihindari adalah adanya laba perusahaan yang tidak stabil. Laba yang tidak stabil memberikan ketidakjelasan prospek masa depan yang berkaitan dengan dividen, arus kas, dan laba. Hasil studi ini bertentangan dengan studi yang dilakukan Zhang dkk. (2004). Mereka menyimpulkan adanya penurunan nilai perusahaan karena manajemen melakukan rekayasa laba dengan akrual. Bao dan Bao (2004) membuktikan bahwa perataan laba dapat memperbaiki

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

53

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

kualitas laba dan nilai perusahaan. Asih, dkk (2005) menyatakan bahwa praktik rekayasa laba yang dilakukan manajemen adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan. Hasil studi ini konsisten dengan temuan Bitner dan Dolan (1996), Mursalim (2005), dan Subekti (2006). Bitner dan Dolan (1996) meneliti tentang hubungan antara perataan laba dengan nilai perusahaan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pasar mengabaikan perataan riil dan perataan akuntansi. Lebih lanjut hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku perataan laba dapat dideteksi oleh pasar tetapi pasar mengabaikannya. Mursalim (2005) menunjukkan bukti empiris bahwa perataan laba melalui perataan riil dan akuntansi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap motivasi investor untuk berinvestasi pada perusahaan publik di Indonesia. Pasar tidak menggunakan perataan laba yang dilakukan perusahaan sebagai pertimbangan keputusan berinvestasi. Subekti (2006) membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan reaksi pasar antara perusahaan perata laba dan perusahaan bukan perata laba ketika laporan keuangan diumumkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pasar modal Indonesia belum merespon secara lebih detail informasi laba perusahaan. Kesimpulannya adalah bahwa berdasarkan teori hipotesis pasar efisien, pasar modal Indonesia belum efisien. Hasil studi ini dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, keberadaan perataan laba tidak dapat dideteksi oleh pihak yang menggunakan informasi laporan keuangan, sehingga pasar tidak memberikan reaksi yang berlebihan. Karena tidak dapat mendeteksi perilaku perataan maka pasar tidak bereaksi apapun terhadap perekayasaan laba yang dilakukan manajemen. Kedua, pasar dapat mendeteksi perataan laba tetapi tidak memberikan reaksi apapun pada praktik tersebut karena investor lebih menyandarkan kepercayaannya kepada variabel perusahaan lainnya semisal ukuran aset dan auditornya untuk menilai perusahaan. Hasil pengujian pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa untuk laba bersih, kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan hasil tersebut, hipotesis tiga yang menyatakan bahwa kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan berhasil didukung. Hasil studi ini dapat dianalisis sebagai berikut. Investor lebih memperhatikan laba bersih dibandingkan dengan laba usaha. Alasannya karena laba bersih menjadi acuan kebijakan deviden dan laba bersih merupakan pengukur kinerja keuangan secara keseluruhan. Perusahaan yang memiliki kualitas laba, dalam hal ini persistensi laba yang lebih baik, lebih meyakinkan investor atas prospek masa depan perusahaan dalam menghasilkan laba. Ini memberikan sentimen positif pada nilai perusahaan. 5. Penutup 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis hasil studi dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka kesimpulan dalam studi ini adalah sebagai berikut. 1. Perusahaan-perusahaan publik di Indonesia sebagian terindikasi melakukan perataan laba. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa praktik perataan laba juga dilakukan oleh perusahaan di Indonesia.

54

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

2. Kecenderungan perataan laba tidak berpengaruh terhadap kualitas laba. Hipotesis delapan yang menyatakan bahwa kecenderungan perataan laba berpengaruh terhadap praktik perataan laba perusahaan publik di Indonesia tidak dapat diterima. Kesimpulan ini mengindikasikan bahwa tujuan perataan laba bukanlah untuk kepentingan memberikan informasi privat kepada investor tetapi karena opportunitas manajemen. Perataan laba bukan merupakan mekanisme pensinyalan seperti yang diprediksi dalam teori sinyal. 3. Kecenderungan perataan laba tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Hipotesis sembilan yang menyatakan kecenderungan perataan laba perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan publik di Indonesia tidak dapat diterima. Kesimpulan ini memperkuat indikasi bahwa perataan laba lebih ditujukan untuk kepentingan manajemen dan bukannya untuk menyampaikan informasi privat mengenai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dana arus kas di masa depan. 4. Kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan pada objek laba bersih. Hipotesis tiga yang menyatakan bahwa kualitas laba berpengaruh terhadap nilai perusahaan tidak dapat diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas laba merupakan pertimabangan investor dalam menilai perusahaan. 5.2. Keterbatasan Studi Studi ini memiliki keterbatasan-keterbatasan yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari studi secara keseluruhan. Keterbatasan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan dan memiliki implikasi perbaikan penelitian berikutnya. Beberapa keterbatasan studi ini adalah sebagai berikut. 1. Studi ini dilakukan pada populasi perusahaan dengan kriteria-kriteria tertentu sehingga hasil analisis data tidak dapat dipergunakan untuk generalisasi seluruh semesta perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta. Hasil analisis dan kesimpulan hanya berlaku pada perusahaan dengan karakteristik yang sesuai. Populasi perusahaan yang diuji hanya 30% dari keseluruhan semesta populasi perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta pada periode pengujian. Untuk penelitian selanjutnya penelitian dapat memperluas populasi untuk seluruh perusahaan publik di Indonesia. 2. Perusahaan yang menjadi populasi tidak diklasifikasi kondisi keuangannya. Perusahaan yang mengalami tekanan keuangan dan yang sehat tentu memiliki perbedaan motivasi dan kebijakan akuntansi yang dipilih. Rivest (1999) menyatakan bahwa pengukuran kebijakan akuntansi perusahaan perlu memisahkan antara perusahaan yang sehat dan perusahaan yang ada dalam tekanan keuangan. Penelitian mendatang dapat mengklasifikasi keadaan perusahaan untuk memastikan perbedaan motivasi perataan laba. 3. Studi ini menggunakan angka indeks yang dihasilkan dari formula Eckel untuk mengukur kecenderungan. Formula ini mengklasifikasi perusahaan sebagai perata jika memiliki indeks kurang dari satu. Penggunaan kategorikal ini mengurangi nuansa pengaruh masing-masing variabel. Studi ini memperbaikinya dengan melihat kecenderungan untuk melakukan perataan laba. Dalam studi ini pergerakan angka indeks ke angka yang lebih kecil diidentifikasi sebagai kecenderungan melakukan perataan laba. Namun demikian, pada angka indeks yang tinggi simpulan yang diambil dapat menjadi bias. Penelitian mendatang perlu untuk menyempurnakan metode pengukuran ini sehingga tidak menimbulkan kerancuan simpulan. Perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonversi dalam matriks ordinal.

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

55

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

4. Perataan laba pada studi ini dianggap sebagai penomena yang konstan. Perusahaan dianggap melakukan perataan laba dari tahun ke tahun dengan motivasi yang sama. Penelitian mendatang perlu kiranya menggunakan studi peristiwa untuk menguji motivasi utama perataan laba. Penggunaan data pooling dapat mengurangi kelemahan cross sectional dan runtun waktu sehingga pengambilan kesimpulan dapat lebih baik.

56

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

Daftar Pustaka Albrecht, W.D., and F.M. Richardson. 1990. Income smoothing by economy sector. Journal of Business Finance and Accounting 17(5): 713-730. Ashari, N., H.C. Koh, S.L. Tan. and W.H. Wong. 1994. Factors affecting income smoothing among listed companies in Singapore. Accounting and Business Research 24 (96): 291-301. Assih, P., dan Gudono. 2000. Hubungan tindakan perataan penghasilan dengan reaksi pasar atas pengumuman informasi laba perusahaan yang terdapat di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 3 (1): 35-53 ________, Parawiyati, dan A.W. Hastuti. 2005. Pengaruh manajemen laba pada nilai dan kinerja perusahaan periode penawaran publik perdana. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Volume 2 Nomor 2, Desember, pp:l 125-144 Atik, A. and N. ensoy. 2004. Detecting income smoothing behaviours of Turkish listed firms through discretionary accounting changes. www.SSRN.com Bao, B.H and D.H. Bao. 2004. Income Smoothing, Earnings Quality and Firm Valuation. Journal of Business Finance &Accounting 31: 0306-686X Barnea, A., J. Ronen and S. Sadan, 1976. Classificatory smoothing of income with extraordinary items. The Accounting Review: 110-122. Barth, M. E., J. A. Elliott, and M. W. Finn. 1999. Market rewards associated with patterns of increasing earnings. Journal of Accounting Research 37: 387-413. Beattie, V., S. Brown, D. Ewers, B. John, S. Manson, D.Thomas and M. Turner. 1994. Extraordinary items and income smoothing: A positive accounting approach. Journal of Business Finance and Accounting 216: 0306-686X Beaver, W.H. 2002. Perspectives on recent capital market research. The Accounting Review: 45374. Beidleman, C.R. 1973. Income smoothing: The role of management. The Accounting Review 48(4): 653-667. Bitner, L.N., and R. Dolan. 1996. Assessing the relationship between income smoothing and the value of the firm. Quarterly Journal of Business and Economics. Winter : 16-35. Boediono, G S. B. 2005. Prediktabilita Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisa Jalur. Makalah. Simposium Nasional Akuntansi IX. Booth, G.G., J.P. Kallunki and T. Martikainen. 1996. Post-announcement drift and income smoothing: Finnish evidence. Journal of Business Finance & Accounting 23(8): 1197-1211. Burgstahler, D. and I. Dichev. 1997. Earnings management to avoid earnings decreases and losses. Journal of Accounting and Economics 24: 99-126. Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009 57

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

Bushee, B. 1998. The influence of institutional investors on myopic R and D investment behavior. The Accounting Review 73 (3): 305333. Chaney, P.K. and C.M. Lewis. 1995. Earnings management and firm valuation under asymmetric information. Journal of Corporate Finance 1: 319-345. Dye, R.A. 1988. Earnings management in an overlapping generations model. Journal of Accounting Research 26(2): 195-235. Easton and E. Zmijewski. 1989. Cross-sectional variation in the stock market response to accounting earnings announcements. Journal of Accounting and Economics 11: 117141. Fern, R.H., B. Brown and S.W. Dickey. 1994. An empirical test of politically-motivated income smoothing in the oil refining industry. Journal of Applied Business Research 10(1): 92. Fudenberg, D. and J. Tirole. 1995. A theory of income and dividend smoothing based on incumbency rents. Journal of Political Economy 103(1): 75-93. Godfrey, J.M., and K.L. Jones. 1999. Political cost influences on income smoothing via extraordinary item classification. Accounting and Finance 39 (3): 229-254. Gordon, M.J. 1964. Postulates, principles and research in accounting. The Accounting Review 39: 251-263. Hand, J. 1989. Did firms undertake debt-equity swaps for an accounting paper profit or true financial gain? The Accounting Review 64: 587-623. Imhoff, E.A. 1977. Income smoothing A case for doubt. Accounting Journal: 85-100. Kirschenheiter, M., and N. Melamud. 2002. Can Big bath and earnings smoothing co-exist as equilibrium financial reporting strategies? Journal of Accounting Research 40(3): 761-796. _______________. and N. Melumad. 2005. Earnings Quality and Smoothing. September. Working Paper Klein, A. 2002. Audit committee, board of director characteristics, and earnings management. Journal of Accounting and Economics 33: 375400 Koch, B.S. 1981. Income smoothing: An experiment. The Accounting Review 56(3): 574586. Lipe, R.C. 1990. The Relation between stock returns and accounting earnings given alternative information. The Accounting Review 65: 49-71. Makaryanawati, 2003. Analisis perbedaan praktik perataan penghasilan melalui ukuran perusahaan. Ekuitas, Jurnal Ekonomi dan Keuangan 7 (1): 1-15. Mediastusi, P.P., dan M. Machfoedz. 2003. Analisis hubungan mekanisme corporate governance dan indikasi manajemen laba. Makalah. Simposium Nasional Akuntansi VI 2003. Surabaya. Hal 176-199 Michelson, S., J.J. Wagner and C.W. Wooton. 1995. A Market based analysis of income smoothing. Journal of Business Finance and Accounting 228:0306-686X. 58 Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

Alwan Sri Kustono: Paerataan Laba, Kualitas Laba.

ISSN: 1412-5366

_____________________________________. 2000.The Relationship between the Smoothing of Reported Income and Risk-Adjusted Returns. Journal of Economics and Finance 24 (2) :141-159. Moses, O.D. 1987. Income Smoothing and Incentives: Empirical Test Using Accounting Changes. The Accounting Review 62 (2): 358-377. Mursalim. 2005. Income Smoothing dan Motivasi Investor: Studi Empiris pada Investor di BEJ.Kumpulan Makalah. SNA VIII Solo, 15 16 September 2005 Peasnell, K.V., P.F. Pope, and S. Young. 2000. Detecting earnings management using cross sectional abnormal accruals models. Accounting and Business Research 30 (4): 313-326. Pudjiastuti, W., dan A.A. Mardiyah. 2006. The influence of earnings manajemen on earnings quality. Makalah. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ronen, J. and S. Sadan. 1975. Classificatory smoothing: Alternative income models. Journal of Accounting Research (Spring): 133-149. ____________________. 1981. Smoothing income numbers, objectives, means, and Implications. Reading, MA, Addison Wesley. Stolowy, H., and G. Breton. 2000. A framework for the classification of accounts manipulations. Paper. EAA Annual Meeting (Munich). Subekti, I. 2005. Asosiasi antara praktik Perataan Penghasilan dan reaksi pasar modal di Indonesia. Makalah. Simposium Nasional Akuntansi VIII: 223-237. Suh, Y.S. 1990. Communication and income smoothing through accounting method choice. Management Science 36(6): 704-723. Sugiri. S. 2004. Does earning quality moderate the perdictive content of nonoperating income. Gadjah Mada International Journal of Business. Vol.4 No. 6. pp: 275-291 Trueman, B. and S. Titman, 1988. An explanation for accounting income smoothing. Journal of Accounting Research 26 (Supplment): 127-139. Tucker, X.J. and P. Zarowin, 2004. Does income smoothing improve earnings informativeness? www.SSRN.com. Wang, Z. and T.H. Williams. 1994. Accounting income smoothing and stockholder wealth. Journal of Applied Business Research 10(3): 96-110. Zarowin, P. 2002. Does income smoothing make stock prices more informative? Working Paper. New York University. June Zhang, Y, D.R. Deis, P. Huang, and J.S. Moffitt. 2004. Earnings smoothing choice, firm value and corporate monitoring. www.SSRN.com.

Artikel ini dimuat dalam jurnal: JEAM Vol. VIII No.I/2009

59

Vous aimerez peut-être aussi