Vous êtes sur la page 1sur 5

Koas tht: agustinus sigit/margaretha Olivia/Yohanes Danang/Tyas Cempaka Sari s/d 3-2-2012

30-1-2012

Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan ataupun membaca kata malpraktek. Banyak media masa baik elektronik atau cetak memuat tentang kata malpraktek. Ada yang didahului dengan kata dugaan (dugaan malpraktek), ada yang langsung menyebut malpraktek. Dan profesi dokter yang selalu dihubungkan dengan kata tersebut. Bahkan disertai dengan contoh-contoh korban akibat (dugaan) malpraktek itu sendiri, yang terkadang membuat hati nurani kita bertanya-tanya, apa benar terjadi tindakan malpraktek, lantas membuat diri kita was-was dengan berkata dalam hati jangan sampai terjadi pada keluarga kita. Tetapi apa sebenarnya malpraktek itu sendiri? Benarkah semua itu korban (dugaan) malpraktek? Benarkah dokter yang telah disebut-sebut tersebut benar-benar melakukan malpraktek?

MALPRAKTEK DAN PROFESI Malpraktek yang dalam bahasa Inggris disebut malpractice dan dalam bahasa Belanda disebut professie mishandeling oleh Steven H Gifis diartikan sebagai sikap yang tidak bermoral (tidak pantas) dalam menjalankan tugasnya, yang dilakukan baik secara sengaja, secara ceroboh atau dengan pengabaian. Disini ditekankan dalam menjalankan tugasnya. Artinya seseorang dikatakan melakukan malpraktek apabila dia dalam menjalankan tugasnya tidak pantas menurut aturan-aturan yang berlaku didalam prinsip-prinsip professional profesinya. Sebuah pekerjaan dikatakan sebagai profesi apabila pekerjaan itu menuntut menerapan pengetahuan secara sistematis, berkompetensi, didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin, mempunyai etik tersendiri, dan otoritas dalam dalam bidangnya. Di dalam masyarakat terdapat bermacammacam pekerjaan yang sudah merupakan profesi seperti dokter, bidan, perawat, pengacara, polisi, wartawan dll. Dengan demikian malpraktek sebenarnya dapat terjadi tidak hanya pada profesi dokter saja, tetapi dapat terjadi pada semua profesi tadi.

PROFESI DOKTER Undang-Undang Praktek Kedokteran Republik Indonesia tahun 2004 pasal 1 mendefinisikan profesi kedokteran adalah pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyakarat. Untuk mendapatkan gelar dokter, seseorang lulusan SMA harus menempuh study selama minimal 6 tahun, bagi dokter umum/gigi.

Koas tht: agustinus sigit/margaretha Olivia/Yohanes Danang/Tyas Cempaka Sari s/d 3-2-2012

30-1-2012

Untuk dokter spesialis bedah/anak/internis/kandungan ditambah lagi minimal 4 tahun. Untuk spesialis khusus (bedah jantung) harus ditambah lagi waktunya. Setelah lulus seorang dokter harus mengucapkan sumpah dokter (Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960) dan wajib menghayati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia/KODEKI (pasal 19, KODEKI). Sejak tahun 2004 seorang dokter harus tunduk pula pada UU Praktek Kedokteran dalam menjalankan profesinya.

HUBUNGAN DOKTER-PASIEN Dalam mukadimah KODEKI, hubungan dokter dan pasien disebut hubungan (transaksi) terapeutik yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insani. Dalam memeriksa pasien, dokter selalu mempercayai apa yang diungkapkan oleh pasiennya. Semua keluhan pasien akan dipercaya dokter dan dijadikan dasar dalam mengobati atau melakkukan tindakan medis. Apabila dirasakan oleh dokter datanya kurang lengkap, maka dilakukan pemeriksaan berupa fisik, laboratorium, ronsen, dsb. Demikian juga halnya pasien, dia datang ke seorang dokter karena pasien itu percaya bahwa dokter tersebut bisa membantunya. Tidak mungkin pasien mau meminta tolong kalau tidak ada unsur percaya pada diri dokternya. Setelah daya saling percaya ini, dokter akan melakukan analisa dan menyimpulkan serta dilanjutkan dengan mengobati atau melakukan tindakan. Jadi jelas, bahwa hasil dari hubungan ini merupakan kerjasama antara dokter dan pasien. Selayaknya dalam bidang hukum, sebuah hubungan yang telah disepakati akan membawa konsekuensi pada hak dan kewajiban bagi yang melakukan perhubungan tersebut. Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien juga melahirkan hak dan kewajiban bagi keduanya. UU No 29 Tahun 2004 pasal 50 sampai dengan pasal 54 telah mengatur dengan jelas apa dan bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban dokter dan pasien. Masing-masing pihak seharusnya tahu akibat dari tidak menggunakan haknya atau melanggar kewajibannya. Jadi jelas, bahwa hubungan dokter-pasien dalam mengobati penyakitnya dibutuhkan kerjasama untuk memperoleh hasil yang diinginkan bersama, yang dalam bidang hukum terdapat dalam hak dan kewajiban.

Koas tht: agustinus sigit/margaretha Olivia/Yohanes Danang/Tyas Cempaka Sari s/d 3-2-2012

30-1-2012

SEMBUH, CACAT DAN MENINGGAL Hasil dari hubungan dokter-pasien yang membutuhkan kerjasama tersebut diatas dapat berupa sembuh, sembuh dengan cacat, atau pasien tidak tertolong hingga meninggal dunia. Hasil pengobatan selain ditentukan oleh pihak dokternya, juga ditentukan oleh berbagai factor yakni pertama penderitanya. Bagaimana kepatuhan pasiennya terhadap anjuran dokter (minum obat, istirahat, kontrol ulang, dsb). Bagaimana status gizinya. Orang yang bergizi buruk akan lebih lama untuk diobati meski penyakitnya ringan. Bagaimana reaksi tubuh pasien terhadap obat. Tidak sedikit tubuh pasien menolak (alergi) terhadap obat yang paling poten (bagus) untuk suatu penyakit, yang membuat dokter harus memilih obat yang kurang poten. Bagaimana prilaku pasiennya. Orang perokok jelas lebih sulit sembuh dari TBCnya dibanding yang tidak merokok. Bagaimana adat istiadat pasiennya. Orang yang berpegang pada adat bahwa habis operasi tidak boleh makan telur/daging akan sembuh lebih lama, karena telur/daging banyak mengandung protein yang berguna untuk proses penyembuhan luka. Pasien mempunyai penyakit lain atau tidak. Penderita AIDS akan lama sembuh apabila menderita batuk pilek. Kedua Kondisi penyakitnya. Penyakit kanker stadium IV akan berbeda angka keberhasilannya dibanding yang stadium I. Atau usus buntu yang sudah jebol (perforasi) karena terlambat datang, akan lebih berisiko gagal (atau mengancam jiwanya) dibanding yang belum jebol. Ketiga Tadir Tuhan. Sebagai makhluk insan, kita tentunya percaya bahwa ada kekuatan yang maha segalanya. Separah apapun penyakit dan seminim obat serta peralatan, tetapi kalau Tuhan menghendaki sembuh, ya sembuh. Begitu pula sebaliknya, sehebat apapun dokternya dan selengkap alat serta obatnya, tetapi kalau Tuhan menghendaki cacat/meninggal, manusia tidak bisa berbuat banyak. Dari uraian di atas, kita dapat mengerti bahwa hasil sebuah pengobatan baik itu sembuh, cacat ataupun meninggal tidak semata-mata ditentukan oleh dokternya saja. Apabila dokter telah melakukan sesuai prinsip-prinsip profesinya maupun standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien dan telah berusaha sekuat tenaga demi keselamatan pasien, begitu juga pasien telah bekerjasama dengan baik dalam proses penyembuhan, (hak dan kewajiban masingmasing telah dilaksanakan dengan baik) maka sembuh/cacat/meninggalnya seorang pasien tersebut adalah benar-benar kekuasaan Tuhan. Adalah terlalu gegabah dan tidak berdasar apabila kecacatan/kematian setelah proses pengobatan atau tindakan yang disetujui pasien (operasi) dengan ditandai penandatanganan persetujuan operasi lantas disebut sebagai akibat malpraktek sebelum meneliti secara jauh bagaimana masing-masing pihak (dokter-pasien) melaksanakan hak dan kewajibannya.

Koas tht: agustinus sigit/margaretha Olivia/Yohanes Danang/Tyas Cempaka Sari s/d 3-2-2012

30-1-2012

KOMUNIKASI KUNCI UTAMA Menurut kodratNya, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama. Aristoteles (384 SM), seorang ahli piker Yunani Kuno pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia selalu ingin bergaul dengan sesama manusia lainnya, yang disebut makhluk sosial. Hubungan manusia satu dengan lainnya tersebut menggunakan bahasa (lisan, tulis, sandi/gerak, alat bantu dll) sebagai alat komunikasi. Dengan komunikasi, seseorang bisa mengerti/memahami keinginan orang lain. Demikian hal dengan dokter dan pasien, dalam berhubungan tidak bisa dilepaskan dari komunikasi. Komunikasi dokter-pasien merupakan faktor utama dalam melaksanakan transaksi terapeutik. Bagaimana pasien mengungkapan keluhan, perjalanan penyakitnya, dan hal-hal yang berhubungan dengan penyakitnya sangat beragam karena perbedaan pendidikan, sosial budaya, harapan, emosi, kepribadian dsb. Orangtua yang anak satu-satunya sakit akan menceritakan dengan cara yang berbeda dengan orangtua yang mempunyai anak banyak, meski penyakitnya sama. Orangtua yang pertama hampir pasti bersifat hiperbola dalam bahasa komunikasinya. Begitu juga halnya dengan cara berkomunikasi dokternya, mulai yang pendiam hingga yang banyak bicara. Dokter yang sibuk (bisa karena dia satu-satunya dokter yang ada di daerah itu ataupun dia mempunyai banyak pasien) akan menggunakan kata dengan hemat (seperlunya, praktis, cepat, dan terkesan tanpa ekspresi). Perbedaan tingkat pendidikan juga berpengaruh pada kualitas komunikasi yang berujung pada kesalahpahaman makna. Dokter harus menjelaskan penyakit, pengobatan, atau tindakan medis dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien, meski terkadang banyak kendala karena tidak semua istilah kedokteran dapat diterjemahkan dalam bahasa lokal. Tidak sedikit contoh kasus gugatan yang diajukan pasien kepada dokter di pengadilan karena adanya ketimpangan komunikasi yang berakibat pada rasa tidak puas pada penjelasan dokter mengenai penyakit dan perjalanannya serta akibatnya. Meski dokter telah melakukan tugas sesuai dengan standar profesi maupun prosedur operasional serta kebutuhan medis pasiennya sebagaimana tercantum dalam pasal 51 huruf a UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan pasien juga telah berusaha melaksanakan kewajibannya sebagaimana pasal 53, serta hasil pengobatan/tindakan sudah terprediksi oleh ilmu kedokteran, namun apabila komunikasi (serta masalah bahasa) tidak berlangsung baik, maka akan bisa berakibat masingmasing pihak mencari kambing hitam dan mencari unsur membenar. Karena sejak awal sudah terjadi miskomunikasi, maka hubungan yang awalnya didasari oleh saling percaya tadi berubah menjadi saling merasa benar. Keadaan semakin tidak dapat dicarikan titik temu apabila sudah

Koas tht: agustinus sigit/margaretha Olivia/Yohanes Danang/Tyas Cempaka Sari s/d 3-2-2012

30-1-2012

menyangkut sudut pandang yang berbeda. Pasien membicarakan tentang keberhasilan pengobatan dan di pihak dokter membicarakan proses pengobatan. Ketimpangan dalam komunikasi akibat berbagai sebab tersebut diatas seharusnya dicarikan jalan keluar dengan berlandaskan unsur saling percaya sebagaimana awal terjadinya hubungan yaitu hubungan saling mempercayai. Sebagai contoh, dokter yang sibuk dapat menunjuk (bahkan mendelegasikan) kepada dokter lain/perawat untuk menjelaskan perihal penyakitnya. Pasien juga dapat menunjuk kerabatnya yang lebih berpendidikan untuk meminta penjelasan pada pihak dokter. Dengan cara seperti ini diharapkan masalah yang timbul akibat miskomunikasi (apabila ada) dapat segera dicarikan penyelesaian terutama menyangkut keselamatan penderita. Penulis yakin, apabila komunikasi antara dokter-pasien tidak terjadi ketimpangan, hal-hal yang terjadi baik selama pengobatan/tindakan medis atau sesudahnya akan dapat diterima dengan lapang dada oleh masing-masing pihak, sehingga usaha pengobatan yang melibatkan kerjasama antara dokter-pasien benar-benar dimaknai sebagai usaha makhluk insani yang sadar akan keterbatasan kemampuannya dihadapan Tuhan dan bukti berserah diri pada Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan.

Vous aimerez peut-être aussi